Anda di halaman 1dari 30

Laporan Tutorial Modul 3 Makassar, 24 Juli 2019

BLOK NEUROPSIKIATRI

LAPORAN TUTORIAL
MODUL “GANGGUAN SOMATOFORM”
KELOMPOK 8

DOSEN PEMBIMBING :
dr. Farah Ekawati Mulyadi

Anggota Kelompok:
Fadhillah : 110 2017 0035
Miftahul Janna : 110 2017 0042
Ririn Ramadhani Ridwan : 110 2017 0070
Miftahul Jannah : 110 2017 0071
Anisa Suryani : 110 2017 0074
Nurul Fitriana Ibrahim : 110 2017 0084
Wa Ode Nur Fatimah Rifaat : 110 2017 0118
Muh. Arief Wahyu Adama : 110 2017 0126
Adibah Afriastini Wenni : 110 2017 0133
Muhammad Farhan Hadytiaz : 110 2017 0155

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2019
A. SKENARIO 4
Seorang laki-laki berusia 42 tahun mengalami sakit punggung yang terus
menerus selama 6 bulan sejak terjatuh di rumah. Rasa sakitnya dirasakan
sangat hebat, terletak di dekat tulang ekor. Tidak ada faktor yang memperburuk
atau meringankan dan rasa sakit tidak menyebar ke bagian lain. Pasien tidak
dapat bekerja sejak kejadian itu. Tidak ada patah tulang yang ditemukan pada
saat kecelakaan. Selama 6 bulan terakhir tidak menunjukkan adanya alasan
anatomis atau fisiologis untuk merasa terus sakit. Pasien memiliki riwayat
kekerasan dalam rumah tangga dan berkali-kali dibawa ke unit gawat darurat
dengan luka memar dan laserasi.

B. KATA SULIT
Tidak ditemukan kata sulit

C. KALIMAT KUNCI
1. Laki-laki berusia 42 tahun
2. Sakit punggung yang terus menerus selama 6 bulan sejak terjatuh di rumah
3. Sakitnya terletak di dekat tulang ekor
4. Tidak ada faktor yang memperburuk atau meringankan
5. Rasa sakit tidak menyebar ke bagian lain
6. Tidak dapat bekerja sejak kejadian itu
7. Tidak ada patah tulang yang ditemukan pada saat kecelakaan
8. Tidak menunjukkan adanya alasan anatomis atau fisiologis untuk merasa
terus sakit
9. Riwayat kekerasan dalam rumah tangga
10. Berkali-kali dibawa ke unit gawat darurat dengan luka memar dan laserasi.

D. PERTANYAAN PENTING
1. Jelaskan definisi dan klasifikasi gangguan somatoform!
2. Jelaskan patofisiologi gangguan somatoform!
3. Jelaskan bagian-bagian otak yang terlibat sesuai skenario!

2
4. Jelaskan langkah-langkah diagnosis sesuai skenario!
5. Jelaskan diagnosis banding sesuai skenario!
6. Jelaskan penatalaksanaan awal sesuai skenario!
7. Jelaskan prognosis sesuai skenario!
8. Jelaskan efek samping penggunaan obat-obatan untuk gangguan
somatoform!
9. Jelaskan perspektif islam sesuai skenario!

E. JAWABAN PERTANYAAN
1. Definisi dan klasifikasi gangguan somatoform
Definisi Gangguan Somatoform
Istilah somatoform berasal dari bahasa yunani “soma” yang artinya
tubuh. Gangguan ini merupakan kelompok besar dari berbagai gangguan
yang komponen utama dari tanda dan gejalanya adalah tubuh. Gangguan ini
mencakup interaksi tubuh-pikiran. Pemeriksaan fisik dan laboratorium tidak
menunjukkan adanya kaitan dengan keluhan pasien.

Klasifikasi gangguan somatoform


Gangguan ini meliputi : (1) gangguan somatisasi, (2) gangguan konversi,
(3) hipokondriasis, (4) body dysmophic disorder, (5) gangguan nyeri.
(1) Gangguan Somatisasi : gangguan somatisasi dicirikan dengan gejala-
gejala somatik yang banyak yang tidak dapat dijelaskan berdasarkan
pemeriksaaan fisik maupun laboratorium. Keluhan yang diutarakan
pasien sangat melimpah dan meliputi berbagai sistem organ seperti
gastrointestinal, seksual, saraf dan bercampur dengan keluhan nyeri.
Gangguan ini bersifat kronis, berkaitan dengan stresor psikologis yang
bermakna, menimbulkan hendaya dibidang sosial dan okupasi, serta
adanya prilaku mencari pertolongan medis yang berlebihan.
(2) Gangguan Konversi : adalah gangguan pada fungsi tubuh yang tidak
sesuai dengan konsep anatomi dan fisiologis dari sistem saraf pusat dan
tepi. Hal ini secara khas terjadi dengan adanya stress dan memunculkan

3
disfungsi berat. Kumpulan gejala yang saat ini disebut dengan
gangguan konversi dengan gangguan somatisasi, dikenal dengan
sebutan histeria, reaksi konversi atau reaksi disosiatif.
(3) Hipokondriasis : didefinisikan sebagai seseorang yang berpreokupasi
dengan ketakutan atau keyakinan menderita penyakit yang serius.
Pasien dengan hipokondriasis memiliki interpretasi yang tidak realistis
maupun akurat terhadap gejala ataupun sensasi fisik, meskipun tidak
ditemukan penyebab medis. Preokupasi pasien menimbulkan
penderitaan bagi dirinya dan menggangu kemampuan untuk berfungsi
secara baik di bidang sosial, interpersonal dan pekerjaan.
(4) Body Dysmorphic Disorder : pasien dengan body dysmorphic disorder
mempunyai perasaan subyektif yang pervasif bahwa beberapa aspek
penampilannya buruk padahal penampilannya normal atau nyaris baik.
Inti dari gangguan ini bahwa pasien berkeyakinan kuat atau takut kalau
dirinya tidak menarik atau bahkan menjijikkan. Ketakutan ini sulit
diredakan dengan penentraman atau pujian, meskipun penampilan
pasien ini sangat normal.
(5) Gangguan Nyeri : definisi dari gangguan nyeri menurut DSM-IV-TR
adalah adanya nyeri yang merupakan keluhan utama dan menjadi fokus
perhatian klinis. Faktor psikologis sangat berperan pada gangguan ini.
Gejala utama adalah nyeri pada satu tempat atau lebih, yang tidak dapat
dimasukkan secara penuh sebagai kondisi medik nonpsikiatrik maupun
neurologik. Gangguan ini berkaitan dengan penderitaan emosional dan
hendaya dalam fungsi kehidupan. Gangguan ini juga disebut juga
sebagai gangguan nyeri somatoform, gangguan nyeri psikogenik,
gangguan nyeri idiopatik dan gangguan nyeri atipikal.

Klasifikasi gangguan somatoform berdasarkan PPDGJ – III dan DSM-


5:
Gangguan somatoform :
F45.0 Gangguan somatisasi

4
F45.1 Gangguan somatoform tak terinci
F45.2 Gangguan hipokondrik
F45.3 Disfungsi otonomik somatoform
F45.4 Gangguan nyeri somatoform menetap
F45.8 Gangguan somatoform lainnya
F45.9 Gangguan somatoform YTT

F45.0 Gangguan Somatisasi


a) Adanya banyak keluhan-keluhan fisik yang bermacam-macam yang
tidak dapat dijelaskan atas dasar adanya kelainan fisik, yang sudah
berlangsung sedikitnya selama 2 tahun.
b) Tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter
bahwa tidak ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan-
keluhannya.
c) Terdapat disabilitas dalam fungsinya di masyarakat dan keluarga, yang
berkaitan dengan sifat keluhan-keluhannya dan dampak dari
perilakunya.
F45.1 Gangguan Somatoform Tak Terinci
a) Keluhan-keluhan fisik bersifat multipel, bervariasi dan menetap, akan
tetapi gambaran klinis yang khas dan lengkap dari gangguan somatisasi
tidak terpenuhi.
b) Kemungkinan ada ataupun tidak faktor penyebab psikologis belum
jelas, akan tetapi tidak boleh ada penyebab fisik dari keluhan-
keluhannya.
F45.2 Gangguan Hipokondrik
a) Keyakinan yang menetap adanya sekurang-kurangnya satu penyakit
fisik yang serius yang melandasi keluhan-keluhannya, meskipun
pemeriksaan yang berulang-ulang tidak menunjang adanya alasan fisik
yang memadai, ataupun adanya preokupasi yang menetap
kemungkinan deformitas atau perubahan bentuk penampakan fisiknya
(tidak sampai waham).

5
b) Tidak mau menerima nasehat atau dukungan penjelasan dari beberapa
dokter bahwa tidak ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yang
melandasi keluhan-keluhannya.
F45.3 Disfungsi Otonomik Somatoform
a) Adanya gejala-gejala bangkitan otonomik, seperti palpitasi,
berkeringat, tremor, flushing, yang menetap dan mengganggu.
b) Gejala subjektif tambahan mengacu pada sistem atau organ tertentu
(gejala tidak khas).
c) Preokupasi dengan dan penderitaan (distress) mengenai kemungkinan
adanya gangguan yang serius (sering tidak begitu khas) dari sistem atau
organ tertentu, yang tidak terpengaruh oleh hasil pemeriksaan-
pemeriksaan berulang.
d) Tidak terbukti adanya gangguan yang cukup berarti pada
struktur/fungsi dari sistem atau organ yang dimaksud.
F45.4 Gangguan Nyeri Somatoform Menetap
a) Keluhan utama adalah nyeri hebat, menyiksa dan menetap, yang tidak
dapa dijelaskan sepenuhnya atas dasar proses fisiologik maupun adanya
gangguan fisik.
b) Nyeri timbul dalam hubungan dengan adanya konflik emosional atau
problem psikososial yang cukup jelas untuk dapat dijadikan alasan
dalam mempengaruhi terjadinya gangguan tersebut.
c) Dampaknya adalah meningkatkan perhatian dan dukungan, baik
personal maupun medis, untuk yang bersangkutan.
F45.8 Gangguan Somatoform Lainnya
a) Pada gangguan ini keluhan-keluhannya tidak melalui sistem saraf
otonom, dan terbatas secara spesifik pada bagian tubuh atau sistem
tertentu. Ini sangat berbeda dengan gangguan somatisasi, dan gangguan
somatoform tak terinci, yang menunjukkan keluha yang banyak dan
berganti ganti.
b) Tidak ada kaitan dengan adanya kerusakan jaringan.

6
2. Patofisiologi gangguan somatoform
Sebenarnya, patofisiologi dari gangguan somatoform masih belum
diketahui dengan jelas hingga saat ini. Namun, gangguan somatoform
primer dapat diasosiasikan dengan peningkatan rasa awas terhadap sensasi-
sensasi tubuh yang normal. Peningkatan ini dapat diikuti dengan bias
kognitif dalam menginterpretasikan berbagai gejala fisik sebagai indikasi
penyakit medis.
Pada penderita gangguan somatoform biasanya ditemukan juga gejala-
gejala otonom yang meningkat seperti takikardi dan hipermortilitas gaster.
Peningkatan gejala otonom tersebut adalah sebagai efek-efek fisiologis dari
komponen-komponen noradrenergic endogen.
Sebagai tambahan, peningkatan gejala otonom dapat pula berujung
pada rasa nyeri akibat hiperaktivitas otot dan ketegangan otot seperti pada
pasien dengan muscle tension headache.

3. Bagian-bagian otak yang terlibat sesuai scenario


Pasien dengan keluhan ini mengalami suatu disfungsi di sistem saraf
pusat terutama di sistem saraf otonom dan jaras hipotalamus pituitary
adrenal (HPA Axis).
HPA Axis adalah bagian utama dari sistem neuroendokrin yang
mengendalikan reaksi terhadap stres dan mengatur banyak proses tubuh,
termasuk pencernaan , sistem kekebalan tubuh , suasana hati dan emosi,
seksualitas, penyimpanan dan pengeluaran energi. Sumbu HPA juga terlibat
dalam gangguan kecemasan , gangguan bipolar , gangguan somatoform,
pasca traumatic stres disorder, depresi klinis , kelelahan.

7
Gambar hipotalamus

4. Langkah-langkah diagnosis sesuai skenario


1) Anamnesis
 Identitas Pasien
Nama: Pasien X
Umur: 42 Tahun
Jenis Kelamin: Laki-laki
Status Perkawinan: Menikah
Suku/Bangsa: -
Pendidikan: -
Pekerjaan: -
Alamat: -
 Keluhan Utama:
Sakit punggung terus menerus. Rasa sakit sangat hebat terletak di
dekat tulang ekor.
 Riwayat Penyakit Sekarang:
Sakit punggung. Tidak ada faktor yang memepreburuk dan
memperingan dan rasa sakit tidak menyebar ke bagian lain. Pasien
tidak dapat bekerja sejak saat itu. Tidak ada patah tulang yang
ditemukan pada saat kecelakaan.

8
 Riwayat Penyakit Terdahulu:
Sakit punggung sejak 6 bulan sejak terjatuh di rumah. Sejak 6 bulan
terakhir tidak menunjukkan adanya alasan anatomis atau fisiologis
untuk merasa terus sakit. Pasien memiliki riwayat kekerasan dalam
rumah tangga dan berkali-kali dibawa ke UGD dengan luka memar
dan laserasi.
2) Pemeriksaan Status Mental
- Deskripsi Umum (penampilan, perilaku, aktivitas psikomotorik,
sikap terhadap pemeriksa)
- Bicara (cepa, lambat, memaksa dan ragu-ragu)
- Mood dan Afek (keserasian antara mood dan afek)
- Pikiran dan Persepsi
Bentuk pikiran (produktivitas, arus pikiran, gangguan berbahasa)
Isi pikiran
Gangguan Pikiran (waham, ideas)
Gangguan persepsi (halusisnasi, ilusi, derealisasi, fantasi
- Fungsi Kognitif
3) Pemeriksaan Lanjutan
- Pemeriksaan Fisik
- Pemeriksaan Neurologis
- Pemeriksaan Laboratorium

5. Diagnosis banding sesuai skenario


1) GANGGUAN NYERI
DEFINISI
Definisi dari gangguan nyeri menurut DSM-IV-TR adalah nyeri
yang merupakan keluhan utama dan menjadi fokus perhatian klinis.
Faktor psikologis sangat berperan pada gangguan ini. Gejala utama
adalah nyeri pada satu tempat atau lebih, yang tidak dapat dimasukkan
secara penuh sebagai kondisi medik nonpsikiatrik maupun neurologik.
Gangguan ini berkaitan dengan penderitaan emosional dan hendaya

9
dalam fungsi kehidupan. Gangguan ini disebut juga sebagai gangguan
nyeri somatoform, gangguan nyeri psikogenik, gangguan nyeri idiopatik
dan gangguan nyeri atipikal.

EPIDEMIOLOGI
Nyeri merupakan keluhan tersering dalam praktek kedokteran. Di
Amerika diperkirakan sebanyak 7 juta orang menderita dan mengalami
hendaya akibat nyeri pinggang bawah.
Gangguan nyeri lebih banyak didiagnosis pada wanita dibandingkan
pria. Puncak awitan pada usia empat- puluhan dan lima-puluhan, yang
mungkin disebabkan toleransi terhadap rasa nyeri menurun sesuai
peningkatan usia. Gangguan nyeri sering terjadi pada pekerja-pekerja
kasar, mungkin karena berkaitan dengan tingginya kejadian trauma
karena pekerjaan. Keturunan pertama dari pasien dengan gangguan nyeri
mempunyai kesempatan yang lebih tinggi untuk menderita gangguan
yang sama; jadi warisan genetik atau mekanisme perilaku kemungkinan
berperan dalam transmisi gangguan ini.

ETIOLOGI
Faktor psikodinamik
Pasien yang mengalami sakit dan nyeri pada tubuh tanpa penyebab
fisik yang dapat diidentifikasi mungkin mengekspresikan konflik
intrapsikik secara simbolik melalui tubuh. Pasien yang menderita
aleksitimia, yang tidak mampu mengartikulasikan perasaannya secara
verbal akan mengekspresikan diri lewat tubuh. Pasien lain secara tak
disadari menganggap Iuka emosional sebagai suatu kelemahan dan tak
diperbolehkan secara sosial sehingga dengan memindahkan (displacing)
masalah pada tubuh, mereka merasa mempunyai cara yang sah untuk
memenuhi kebutuhan akan ketergantungannya. Makna simbolik dari
gangguan tubuh juga dapat berkaitan dengan penebusan terhadap rasa
berdosa atau bersalah, atau untuk merepresi agresi. Banyak pasien sulit

10
dan tidak berespons terhadap pengobatan karena mereka yakin dirinya
pantas untuk menderita.
Nyeri dapat berfungsi sebagai cara untuk memperoleh cinta,
hukuman terhadap kesalahan, dan menebus rasa bersalah serta perasaan
bahwa dirinya jahat. Mekanisme defensi yang digunakan pasien dengan
gangguan nyeri adalah pemindahan (displacement), substitusi dan
represi. Idendifikasi sampai taraf tertentu berperan apabila pasien
mengambil-alih peran obyek cinta ambivalen (misalnya orangtua) yang
juga menderita nyeri.

Faktor perilaku
Perilaku nyeri diperkuat apabila dihargai dan dihambat apabila
diabaikan atau diberi hukuman. Misalnya keluhan nyeri sedang menjadi
berat ketika orang lain mencemaskannya dan memberi perhatian,
mendapat keuntungan finansial, atau bila keluhan nyeri berhasil dipakai
untuk menghindari aktivitas yang tak menyenangkan.

Faktor interpersonal
Nyeri yang sulit diobati telah diketahui sebagai sarana untuk
memanipulasi dan memperoleh keuntungan dalam hubungan
interpersonal, misalnya untuk memastikan kesetiaan anggota keluarga
atau untuk menjaga stabilitas perkawinan yang rapuh. Keuntungan
sekunder merupakan hal terpenting dari pasien dengan gangguan nyeri.

Faktor biologis
Korteks serebral dapat meng- tersulutnya serabut aferen hambat
nyeri. Serotonin mungkin merupakan neurotransmiter utama dalam Jaras
penghambatan, dan endorfin berperan dalam memodulasi susunan saraf
pusat untuk nyeri. Defisiensi endorfin berhubungan dengan peningkatan
stimulus sensorik yang datang. Beberapa pasien yang menderita
gangguan nyeri dan tidak gangguan mental lainnya, kerena abnormalitas

11
struktur limbik dan sensorik atau kimiawi yang menjadi faktor
predisposisi untuk mengalami nyeri.

GAMBARAN KLINIS
Pasien dengan gangguan nyeri merupakan sekumpulan orang yang
bersifat heterogen dengan nyeri pinggang bawah, sakit kepala, nyeri
fasial atipikal, nyeri pelvik kronik dan nyeri lainnya. Nyeri mungkin
terjadi setelah trauma, nueropatik, neurologik, iatrogenik atau
muskuloskeletal. Untuk menegakkan diagnosis gangguan nyeri harus
terdapat faktor psikologis bermakna yang terlibat dalam terjadinya
keluhan nyeri.
Pasien dengan gangguan nyeri memiliki riwayat panjang perawatan
medis dan pembedahan. Mereka mengunjungi banyak dokter, meminta
banyak obat, bahkan mendesak untuk dilakukan pembedahan. Mereka
berpreokupasi dengan rasa nyerinya dan menyalahkan hal itu sebagai
sumber kesengsaraannya. Seringkali pasien menyangkal sumber lain
sebagai penyebab emosi disforiknya dan meyakini hidupnya penuh
kebahagiaan bila tidak didera nyeri. Gambaran klinis dapat bercampur
dengan gangguan akibat penggunaan zat, apabila pasien menggunakan
alkohol atau zat lainnya sebagai upaya untuk mengurangi rasa nyeri.
Gangguan depresi berat terjadi pada 25-50% pasien gangguan nyeri,
dan 60- 100% menderita gangguan distimik atau gejala-gejala depresi.
Ada pendapat yang meyakini bahwa nyeri kronik merupakan varian dari
gangguan depresi, depresi terselubung atau depresi dengan gejala
somatisasi. Gejala depresi yang menonjol pada pasien nyeri adalah
anergia, anhedonia, penurunan libido, insomnia dan iritabel. Sedangkan
varian diurnal, penurunan berat badan dan retardasi psikomotor lebih
jarang dialami.

12
DIAGNOSIS
Diagnosis berdasarkan DSM-IV-TR:
a. Nyeri pada satu tempat anatomis atau lebih yang merupakan fokus
utama dari manifestasi klinis dan cukup berat untuk dijadikan
perhatian klinis.
b. Nyeri menyebabkan penderitaan klinis bermakna atau hendaya di
bidang sosial, pekerjaan dan fungsi penting lainnya.
c. Faktor psikologis berperan penting dalam awitan, keparahan,
eksaserbasi, atau bertahannya nyeri.
d. Gejala atau defisit tidak dibuat dengan sengaja atau berpura-pura
(seperti pada gangguan buatan atau berpura-pura)
e. Nyeri tidak dapat dijelaskan sebagai akibat gangguan suasana
perasaan (mood), cemas, atau gangguan psikotik dan tidak
memenuhi kriteria untuk dipareunia.
Beri kode sbb:
Gangguan nyeri berasosiasi dengan faktor psikologis: faktor
psikologis dinilai mempunyai peran dalam awitan, keparahan,
eksaserbasi, atau bertahannya nyeri. (Bila terdapat kondisi medik
umum, hal itu tidak berperan sebagai onset, keparahan, atau
bertahannya nyeri). Jenis gangguan nyeri ini tidak didiagnosis bila
kriterianya juga memenuhi untuk gangguan somatisasi.
Golongkan:
Akut: durasi kurang dari 6 bulan
Kronik: durasi 6 bulan atau lebih
Gangguan nyeri berasosiasi baik dengan faktor psikologis
maupun kondisi medik umum: baik faktor psikologik maupun
kondisi medik umum dinilai berperan dalam awitan, keparahan,
eksaserbasi, atau bertahannya nyeri. Kondisi medik umum yang
terkait atau letak anatomis dari nyeri dikodekan pada aksis Ill.
Catatan: Berikut ini tidak dimasukkan sebagai gangguan mental dan
dimasukkan di sini untuk memfasilitasi diagnosis diferensial.

13
Gangguan nyeri berasosiasi dengan kondisi medik umum: kondisi
medik umum berperan besar dalam awitan, keparahan, eksaserbasi atau
bertahannya nyeri. (Bila terdapat faktor psikologis, hal itu tidak berperan
besar dalam awitan, keparahan, eksaserbasi atau bertahannya nyeri).
Kode diagnosis nyeri dipilih berdasarkan kondisi medik umum yang
terkait bila sudah ditentukan atau pada lokasi anatomis nyeri, bila kondisi
medik umum yang mendasari belum ditegakkan dengan jelas —
misalnya pinggang bawah, skiatik, panggul, kepala, wajah, dada, sendi,
tulang, perut, payudara, ginjal, telinga, mata, tenggorok dan saluran
kemih.

PERJALANAN PENYAKIT DAN PROGNOSIS


Nyeri pada gangguan nyeri umumnya muncul tiba-tiba dan derajat
keparahan meningkat dalam beberapa minggu atau bulan. Prognosis
bervariasi, namun biasanya menjadi kronik, menimbulkan penderitaan
dan ketidakberdayaan yang parah. Apabila faktor psikologis
mendomonasi gangguan nyeri, nyerinya akan hilang bila penguat
eksternal diobati atau dikurangi. Pasien dengan prognosis yang buruk,
dengan atau tanpa pengobatan, mempunyai masalah yang menetap
terutama menjadi pasif dan tak berdaya. Biasanya pasien terlibat dalam
penyalahgunaan zat, dan memiliki riwayat panjang nyeri.

TERAPI
Pendekatan terapi harus menyertakan rehabilitasi, karena tidak
mungkin mengurangi rasa nyerinya. Sejak awal pengobatan terapis sudah
harus mendiskusikan tentang faktor psikologis yang merupakan faktor
sangat penting sebagai penyebab dan konsekuensi dari nyeri fisik
maupun psikogenik. Jelaskan pula bagaimana berbagai sirkuit di dalam
otak yang terlibat dengan emosi (misalnya sistem limbik) mempengaruhi
jaras nyeri sensorik. Namun terapis harus memahami bahwa nyeri yang
dialami pasien adalah sesuatu yang nyata.

14
Farmakoterapi
Obat-obatan analgetik tidak membantu pasien. Hati-hati
memberikan Obat analgetik, sedatif dan anti cemas karena selain tak
bermanfaat, cenderung menimbulkan ketergantungan dan
disalahgunakan.
Antidepresan trisiklik dan penghambat ambilan serotonin spesifik
(SSRI) paling efektif untuk gangguan nyeri. Keberhasilan SSRI
mendukung hipotesis bahwa serotonin mempunyai peran penting dalam
patofisiologi terjadinya gangguan ini. Amfetamin yang mempunyai efek
analgesik dapat bermanfaat pada beberapa pasien, khususnya bila
digunakan sebagai tambahan bersama SSRI, namun dosis harus dipantau.

Psikoterapi
Psikoterapi sangat bermanfaat bagi pasien. Langkah awal
psikoterapi adalah membangun aliansi terapeutik dengan pasien empati.
Jangan melakukan konfrontasi dengan pasien, karena nyeri yang dialami
pasien nyata meskipun menyadari bahwa hal itu berasal intrapsikik.
Terapi kognitif berguna untuk mengubah pikiran negatif dan
mengembangkan sikap positif.

2) GANGGUAN STRES PASCA TRAUMA


1. Batasan dan Uraian Umum
Keadaan yang timbul sebagai respons berkepanjangan dan/atau
tertunda terhadap kejadian atau situasi yang bersifat stresor
katastrofik, sangat menakutkan, yang cenderung menyebabkan
penderitaan pada hampir semua orang (misalnya perang, gempa bumi,
kecelakaan berat, menjadi korban penyiksaan, terorisme, dan
perkosaan)
2. Gangguan Stres Pasca Trauma Menurut ICD-10
Gangguan ini dianggap respon tertunda atau berkepanjangan atas
situasi atau kejadian penuh stres (baik berlangsung singkat maupun

15
lama) yang sifatnya mengancam jiwa atau katastrofik, dan hal ini
menyebabkan penderitaan pada hampir semua orang. Faktor
predisposisi, seperti ciri kepribadian (misalnya kompulsif, astenik)
atau riwayat gangguan neurotik, bisa menurunkan batas ambang
seseorang untuk berkembang menjadi sindrom atau memperparah
perjalanan penyakitnya, namun hal tersebut tidak bernilai mutlak.
Tampilan khas berupa episode kilas balik (flashback) ingatan
intrusive, mimpi buruk, penumpulan emosi, detachment terhadap
orang lain, , anhedonia, penghindaran akan aktivitas dan situasi yang
mengingatkan akan trauma. Biasanya ditemukan peningkatan
aktivitas otonomik, mudah terkejut dan insomnia.Sering dijumpai
ansietas dan depresi, disertai ide-ide bunuh diri. Onset setelah trauma
dengan periode laten dari beberapa minggu sampai beberapa bulan.
Perjalanan penyakit bersifat fluktuatif tapi mayoritas kasus
diharapkan pemulihan.
Sebagian kecil kasus berlangsung kronis menahun, menimbulkan
perubahan kepribadian yang menetap.
3. Pedoman Diagnostik Menurut PPDGJ III
 Mengalami atau menyaksikan atau dikonfrontasi peristiwa trauma.
Timbulnya gangguan enam bulan setelah peristiwa traumatik yang
bersifat katastrofik tersebut. Bila lebih dari enam bulan masih bisa
asal manifestasi klinisnya khas dan tidak didapat gangguan lain
(misalnya gangguan ansietas, obsesif-kompulsif atau episode
depresif)
 Bukti adanya trauma yaitu selalu adanya dalam ingatan bayangan
atau mimpi mengenai peristiwa tersebut, secara berulang
 Kriteria tambahan (tidak harus ada):
a. Penarikan diri secara sosial
b. Penumpulan perasaan
c. Penghindaran terhadap stimulus yg dapat mengingatkan
kembali traumanya

16
d. Gangguan otonom
e. Gangguan suasana perasaan.
4. Diagnosis banding
a. Psikosis Akut
b. Reaksi stres akut
c. Gangguan Penyesuaian
d. Gangguan Depresi Mayor
5. Penatalaksanaan
a. Farmakoterapi
Tergantung dari gejala yang menonjol saat itu, apakah sindrom
cemas, depresif atau disertai gejala psikotik.
1) Bila cemas, berikan Benzodiazepine, misalnya :
 Klobazam 2x(5-10mg)
 Lorazepam 1-2x(0,5-1 mg)
2) Bila depresif:
a) SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor), a.l:
 Sertralin, dosis awal 1x12,5-25 mg/hari, dapat dinaikkan
1x50mg
 Fluoksetin, dosis awal 1x5-10mg/hari, dapat dinaikan
menjadi 1x20-40mg/hari
 Fluvoksamin, dosis awal 1x25mg, dapat dinaikkan
menjadi 1x50-100mg/hari
 Escitalopram, dosis awal 1x5-10 mg/hari, dapat dinaikkan
menjadi 1x20 mg/hari
b) Derivat trisiklik:
 Amitriptilin: 2x(10-25) mg
 Imipramin: 1-2 x(10-25) mg
c) Bila ada gejala psikotik, berikan antipsikotik, contohnya:
 Haloperidol, dosis 2x1-5mg atau
 Risperidon, dosis 2x1-2mg atau

17
 Olanzapin, 1-2x2,5-10mg
 Quetiapin, 50-100mg
b. Terapi Psikososial
Tujuan terapi menuunkan atau menghilangkan reaksi kecemasan
pasien terhadap trauma yg berkaitan dengan stimulus, terdiri atas:
1) Edukasi tentang reaksi umum terhadap trauma
2) Latihan relaksasi
3) Terapi Kognitif Perilaku
4) Eye Movement Desensitation Reprocessing (EMDR)
5) Prolonged Exposure (PE)

3) GANGGUAN HIPOKONDRIASIS
DEFINISI
Hipokondriasis didefinisikan sebagai orang yang berpreokupasi
dengan ketakutan atau keyakinan menderita penyakit yang serius.
Pasien dengan hipokondriasis memiliki interpretasi yang tidak realistis
maupun akurat tentang gejala atau sensasi fisik, meskipun tidak
ditemukan penyebab medis. Preokupasi pasien menimbulkan
penderitaan bagi dirinya dan mengganggu kemampuannya untuk
berfungsi secara baik dibidang sosial, interpersonal maupun pekerjaan.

EPIDEMIOLOGI
Epidemiologi, prevalensi hipokondriasis 4-6% dari populasi
pasien medik umum, dan kemungkinan tertinggi adalah 15%. Awitan
dari gejala dapat terjadi pada segala usia, namun yang tersering
adalah usia 20-30 tahun. Angka kejadian tidak dipengaruhi oleh
strata sosial, pendidikan maupun perkawinan, namun bersifat
sementara saja.

ETIOLOGI
Etiologi hipokondriasis disebabkan pasien memiliki skema
kognitif yang salah. Pasien menginterpretasikan sensasi fisik yang

18
mereka rasakan secara berlebihan. Sebagai contoh, seseorang secara
normal mempersepsikan sebagai rasa kembung, oleh pasien
hipokokndriasis menambah dan memperbesar sensasi somatik yang
dialaminya. Menurut teori psikodinamik hipokondriasis terjadi
karena permusuhan dan agresi dipindahkan ke dalam bentuk
somatik melalui mekanisme repression dan displacement kedalam
keluahan somatik. Kemarahan yang dimaksud berasal dari kejadian
penolakan dan ketidakpuasan di masa lalu. Selain kemarahan, dapat juga
penyebabnya adalah rasa bersalah dan gejala timbul karena pasien ingin
menebus kesalahannya melalui penderitaan somatik.

GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis, pasien hipokondriasis yakin bahwa mereka
menderita penyakit serius yang belum bisa dideteksi dan mereka
sulit diyakinkan yang sebaliknya. Mereka mempertahankan
keyakinan bahwa dirinya mengidap suatu penyakit dan dengan
berjalannya waktu keyakinanya beralih ke penyakit lain.
Keyakinannya bertahan meskipun hasil laboratorium negative.
Jinaknya perjalanan penyakit yang dicurigai, dan penentraman dari
dokter. Meskipun demikian peyakinan tersebut tidak sampai bertaraf
waham. Hipokondriasis seringkali disertai dengan gejala depresi,
atau berkomorbid dengan gangguan depresi atau gangguan cemas.

DIAGNOSIS
Meskipun DSM-IV-TR menyebutkan bahwa gangguan ini
harus sudah berlangsung sekurangnya 6 bulan, keadaan hipokondriasis
sesaat dapat saja terjadi setelah adanya tekanan yang berat misalnya
kematian atau penyakit serius yang diderita seseorang yang
bermakna bagi pasien. Keadaan ini yang berlangsung kurang dari 6 bulan
harus didiagnosa sebagai gangguan somatoform yang tak tergolongkan.
Kondisi hipokondriasis sesaat sebagai respon terhadap tekanan biasanya

19
hilang bila tekanan tidak ada lagi, tetapi bisa menjadi kronik bila
diperkuat oleh orang dalam sistem pasien atau oleh profesi kesehatan.
Diagnosis berdasarkan DSM-IV, kriteria diagnosis
hipokondriasis adalah sebagai berikut
a. Preokupasi dengan ketakutan atau ide bahwa seseorang mempunyai
penyakit serius berdasarkan interpretasi yang salah terhadap gejala-
gejala tubuh.
b. Preokupasi menetap meskipun telah dilakukan evaluasi medik
dan penentraman.
c. Keyakinan pada kriteria A tidak mempunyai intensitas seperti waham.
d. Preokupasi menimbulkan penderitaan yang bermakna secara
klinis atau hendaya dalam bidang sosial, pekerjaan, dan fungsi
penting lainnya.
e. Lamanya gangguan sekurangnya 6 bulan.
f. Preokupasi bukan disebabkan gangguan cemas menyeluruh,
gangguan obsesif kompulsif, gangguan panik.

PERJALANAN PENYAKIT DAN PROGNOSIS


Perjalanan penyakit hipokondriasis biasanya episodik, yang
durasinya setiap episode berkisar antara bulan-tahun. Dapat terjadi
periode tenang di antara episode-episode.
Hipokondriasis cenderung menjadi kronis dengan periode
remisi dan eksaserbasi yang dipicu stres. Prognosis yang baik
berkaitan dengan status sosial ekonomi yang tinggi, pengobatan
terhadap cemas dan depresi yang responsif, onset gejala mendadak,
tidak ada gangguan kepribadian, dan tidak ada gangguan medis
non-psikiatrik yang terkait. Bila yang menderita hipokondriasis
adalah anak-anak maka akan membaik saat remaja atau dewasa awal.

20
PENATALAKSANAAN
Non-Farmakoterapi
Tatalaksana pasien dengan kondisi somatisasi dan hipokondriatik
sebenarnya lebih bertumpu pada upaya psikoterapi dan psikoedukasi.
Tiga pilar utama dalam penanganan kasus somatisasi dan hipokondriatik
adalah (a) hubungan dokter pasien yang kuat antara keduanya, (b)
edukasi pasien tentang sebab dan asal mula keluhan serta (c) dukungan
dan bantuan yang menenangkan pasien.

Farmakoterapi
Pada praktiknya sering ditemukan dasar dari keluhan somatic adalah
gangguan cemas dan depresi. Gangguan cemas yang sering dialamioleh
pasien adalah gangguan panik dan gangguan cemas menyeluruh
diberikan obat anti cemas golongan benzodiazepine. Efeknya sangat
beragam menimbulkan penyalahgunaan, toleransi, dan ketergantungan.
Beberapa golongan benzodiazepine yang sering digunakan adalah
alprazolam, clonazepam, lorazepam, dan diazepam. Menurut pedoman
pengobatan terkini American Psychiatric Assocoation (APA) dan Food
Drug Administration (FDA), gangguan panik yang sering menjadi dasar
keluhan psikomatik diobati dengan antidepresana golongan serotonin
selective reuptake inhibitor (SSRI) yaitu sertraline dan paroxetine.

6. Penatalaksanaan awal sesuai skenario


Non Farmakologi
1) Fase 1 : ialah fase pemeriksaan dan pemberian ketenangan, penderita dan
dokter bersama-sama berusaha dan saling membantu melalui anamnesis
yang baik, pemeriksaan fisik yang teliti dan tes laboratorium bila perlu.
Diusahakan membuktikan bahwa tidak terdapat penyakit organik dan
dijelaskan kepada penderita tentang mekanisme fisiologik serta
keterangan tentang gejala-gejala. Berikan kesempatan kepada penderita
untuk bertanya.

21
2) Fase 2 : merupakan fase pendidikan, fase ini dokter lebih banyak bicara.
Untuk memberi keterangan tentang keluhan, meyakinkan serta
menenangkan pasien, dapat dikatakan antara lain :
 Bahwa gejala-gejalanya benar ada, dapat dimengerti kalau ia
mengeluh dan menderita.
 Bahwa gejala-gejalanya sering terdapat juga pada orang lain yang
sudah kita obati.
 Bahwa tidak ada kanker atau penyakit berbahaya lain.
 Bahwa gejala-gejala itu timbul karena ketegangan sehari-hari dan
gangguan emosional.
 Bahwa gejala itu tidak akan segera hilang, diperlukan beberapa waktu,
tetapi akan hilang atau berkurang bila diobati dengan baik.
 Bahwa kita semua mengalami ketegangan, kekecewaan, godaan dan
kecemasan.
 Bahwa kelelahan fisik atau jiwa dapat mengurangi daya tahan tubuh
sehingga timbul gejala.
 Bahwa kita apabila terlalu terburu-buru akan timbul ketegangan jiwa.
 Bahwa tubuh kita bereaksi terhadap ketegangan yang terlalu berat.
Sering gejala merupakan pekerjaan alat tubuh yang bekerja
berlebihan.
 Bahwa ini akan lebih baik bila pasien mengerti akan penyebab gejala
3) Fase 3 : ialah fase keinsafan intelektual dan emosional. Pada fase ini
pasien yang lebih banyak bicara. Terjadi pengakuan, katarsis dan
wawancara psikiatrik. Hal ini harus berjalan sangat pribadi, rahasia,
tanpa sering terganggu dan dalam suasana penuh kepercayaaan dan
pengertian. Dokter menjelaskan saja agar pembicaraan berjalan dengan
baik, tidak terlalu menyimpang dari pokok pembicaraan.

Farmakologi
Terdapat 3 golongan senyawa psikofarmako:
1) Obat tidur (hipnotik)

22
Diberikan dalam jangka waktu pendek 2-4 minggu. Obat yang
dianjurkan adalah senyawa benzodiazepine berkhasiat pendek seperti
nitrazepam, flurazepam, dan triazolam.
2) Obat penenang minor dan mayor
- Obat penenang minor
Diazepam merupakan obat yang efektif yang dapat digunakan pada
anxietas, agitasi, spasme otot, delirium, epilepsi. Benzodiazepine hanya
diberikan pada anxietas hebat maksimal 2 bulan.
- Obat penenang mayor
Yang paling sering digunakan adalah senyawa fenotiazin dan
butirofenon seperti clorpromazin, tioridazin dan haloperidol.
3) Antidepresan
Yang dianjurkan adalah senyawa trisiklik dan tetrasiklik seperti
amitriptilin, imipramin, mianserin dan maprotilin yang dimulai dengan
dosis kecil yang kemudian ditingkatkan.

7. Prognosis sesuai skenario


Gangguan somatoform merupakan kelompok besar dari berbagai
gangguan yang komponen utama dari tanda dan gejalanya adalah tubuh.
Gangguan ini terdiri atas gangguan somatisasi, gangguan konversi,
hipokondriasis, body dysmophic disorder, gangguan nyeri. Berikut ini
prognosis perjalan penyakit dari gangguan tersebut.
a. Gangguan Somatisasi
Perjalan penyakit gangguan somatisasi bersifat kronik. Daiagnosis
biasanya ditegakkan sebelum usia 25 tahun, namun gejala awal sudah
dimulai saat remaja. Masalah menstruasi biasanya merupakan keluhan
paling dini yang mucul pada wanita. Keluhan seksual sering kali
berkaitan dengan perselisihan dalam perkawinan. Periode keluhan yang
ringan berlangsung 9-12 bulan, sedangkan gejala yang berat dan
pengembangan dari keluhan-keluhan baru berlangsung selama 6-9 bulan.
Sebelum setahun biasanya pasien sudah mencari pertolongan medis.

23
Adanya peningkatan tekanan kehidupan mengakibatkan eksarserbasi
gejala-gejala kronik.
b. Gangguan Konversi
Hampir semua gejala awal (90%-100%) dari pasien dengan
gangguan konversi membaik dalam waktu beberapa hari sampai kurang
dari sebulan. Sebanyak 75% pasien tidak pernah mengalami gangguan
ini lagi, namun 25% mengalami episode tambahan pada saat mengalami
tekanan. Prognosis yang berkaitan dengan awitan yang mendadak,
adanya stresor yang bermakna, riwayat premorbid baik, tak terdapat
komorbid dengan gangguan psikiatrik lain atau gangguan medik, tak ada
proses hukum yang sedang berlangsung. Semakin lama gejala gangguan
konversi berlangsung, semakin buruk prognosisnya. Di kemudian hari
sebanyak 25%-50% pasien akan mempuyai gangguan neurologis atau
kondisi medik nonpsikiatrik yang mempengaruhi sistem persarafan. Oleh
karena itu pasien dengan gangguan konversi harus dilakukan evaluasi
medis dan neurologis pada saat diagnosis ditegakkan.
c. Gangguan Hipokondriasis
Perjalan penyakit hipokondriasis biasanya episodik. Setiap episode
berlangsung berbulan-bulan sampai tahun dan dipisahkan oleh periode
tenang yang sama lamanya. Terdapat asosiasi yang kuat antara
kekambuhan hipokondriasis dengan stresor psikososial. Kira-kira
sepertiga sampai setengah dari pasien hipokondriasis mengalami
perbaikan yang bermakna.prognosis yang baik berkaitan dengan status
sosial-ekonomi yang tinggi, pengobatan terhadap cemas dan depresi
yang responsif, awitan dari gejala yang mendadak, tidak ada gangguan
kepribadian, dan tidak ada kondisi medik nonpsikiatrik yang terkait. Pada
anak yang menderita hipokondriasis akan membaik saat remaja akhir
atau dewasa awal.
d. Body Dysmophic Disorder
Awitan dari Body Dysmophic Disorder biasanya bertahap. Orang
yang mengalami gangguan ini, kepeduliannya terhadap bagian tubuh

24
tertentu akan semakin menjadi-jadi, sehingga akan mencari bantuan
medis atau operasi untuk mengatasinya. Derajat kepeduliannya dapat
meningkat ataupun menyusut, namun gangguan ini biasanya bersifat
kronik bila tidak diobati.
e. Gangguan Nyeri
Nyeri pada gangguan nyeri umumnya muncul tiba-tiba dan derajat
keparahan meningkat dalam beberapa minggu atau bulan. Prognosis
bervariasi, namun biasanya menjadi kronik, menimbulkan penderitaan
dan ketidak berdayaan yang parah. Apabila faktor psikologis
mendominasi gangguan nyeri, nyerinya akan hilang bila penguat
eksternal diobati atau dikurang. Pasien dengan prognosis yang buruk,
dengan atau tanpa pengobatan, mempuyai masalah yang menetap
terutama yang terjadi pasif dan tak berdaya. Biasanya pasien terlibat
dalam penyalahgunaan zat, dan memiliki riwayat pajang nyeri.

8. Efek samping penggunaan obat-obatan untuk gangguan somatoform


ANTIDEPRESAN
Antidepresan digunakan untuk meringankan gejala depresi klinis. Jenis
yang paling sering digunakan disebut SSRI (Selective Serotonin Reuptake
Inhibitor), MAOIs (Monoamine Oxidase Inhibitori) dan antidepresan
trisiklik.
1) SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors)
Selective serotonin reuptake inhibitor sekarang jenis yang paling sering
digunakan untuk antidepresan. Mereka bekerja pada prinsip menghambat
reuptake dari serotonin neurotransmitter di bidang presynaptic neuron,
sehingga meningkatkan jumlahb serotonin pada sinapsis.
Efek samping : Rasa mual, susah tidur, sakit kepala dan rasa gugup.
2) SARI (Serotonin Antagonis Reuptake Inhibitor)
Antagonis serotonin reuptake inhibitor dibandingkan dengan kelompok
sebelumnya juga menghambat serotonin 5HT2A subtipe, yang

25
bertanggungjawab untuk efek samping serotonin seperti sulit tidur, dan
disfungsi seksual.
Contoh obat yang biasa digunakan adalah trazodone merupakan
campuran serotonin agonis dan antagonis dengan dominasi kegiatan
atletik.
Indikasi : depresi, kecemasan , insomnia.
Efek samping : pusing, mulut kering.
3) NaRI (Noradrenalin Reuptake Inhibitor) dan NaSSA (Noradrenalin and
Specific Serotonin Antagonis)
Noradrenalin reuptake inhibitor meningkatkan jumlah noradrenalin di
sistem saraf pusat.
Contoh obat : Reboxetine.
Indikasi : depresi dan gangguan panik.
Efek samping : NaSSA seringkali dikaitkan dengan efek samping
mengantuk dan kemungkinan pertambahan berat badan, sementara efek
samping NaRI yaitu bertahannya air seni didalam pembuyluh kencing,
mulut kering, sembelit, berkeringat, tekanan darah naik, susah tidur.
4) SNRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor dan noradrenalin)
Selective serotonin reuptake inhibitor dan noradrenalin adalah bentuk
baru dari antidepresan yang bertindak baik serotonin dan noradrenalin di
reseptor.
Contoh obat : Venlafaxine.
Indikasi : depresi , kecemasan.
Efek samping : rasa mual, susah tidur, sakit kepala, peningkatan tekanan
darah.
5) MAOI
Monoamine oxidase inhibitors kuat antidepresan digunakan setelah
kegagalan SSRI dan antidepresan trisiklik. Mencegah degradasi
neurotransmitter dopamine, serotonin dan norepinefrin.
Indikasi : depresi

26
6) Antiepresan trisiklik
Antidepresan trisiklik adalah antidepresan efektif yang pertama kali
diproduksi, yang tidak hanya ditujukan bagi depresi tapi juga efektif
untuk serangan panic dan telah terbukti berhasil untuk mengobati
penyakit rasa nyeri yang kronis. Antidepresan trisiklik mencegah
reuptake neurotransmitter ( serotonin, norepinerin, dan lain-lain ).
Contoh obat : Tianeptine.
Efek samping : pertambahan berat badan, mengantuk, mulut kering,
pusing dan keterbatasan dalam hal seksual.

9. Perspektif islam sesuai skenario


 Surat Al-Baqarah Ayat 155
َ ِّ‫ف َو أال ُجوعِّ َولَنَ أبلُ َونَّ ُك أم ب‬
َ‫ش أيءٍ ِّمن‬ ِّ ‫ص ِّمنَ أاْل َ أم َوا ِّل أالخ أَو‬ ِّ ‫صابِّ ِّرينَ َو أاْل َ أنفُ ِّس َوالث َّ َم َرا‬
ٍ ‫ت ۗ َونَ أق‬ َّ ‫َوبَش ِِّّر ال‬
Artinya :
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
Ayat diatas menjelaskan bahwa dalam mengahadapi berbagai
cobaan ini ada orang yang kuat dan tabah sehingga dapat mengatasi
masalahnya, tapi tidak sedikit yang tidak tabah dan kuat.
Ketika kekerasan terjadi dipastikan keharmonisan keluarga terkoyak
dan berbagai prahara tidak terelakkan. Batin menderita lantaran orang
yang semestinya mencurahkan segala cinta dan perhatiannya justru
berbalik arah dengan melakukan kezaliman dalam ucapan maupun
perbuatan.
 Dalam hadits qudsi Allah ta’ala berfirman,

َ َ‫ظ أل َم َعلَى نَ أف ِّس أي َو َج َع ألتَ ُِ هُ َب أينَ ُك أم ُم َح َّر ًما فَالَ ت‬


‫ظا لَ ُم أو‬ ُ ‫ي ِّإ ِِّنِّ أي َح َر أمتُ ال‬
‫َيا ِّع َبا ِّد أ‬

“Wahai hamba-hambaku! Sesungguhnya aku telah mengharamkan


kezaliman atas diriku. Dan aku menetapkannya sebagai perkara yang

27
diharamkan diantara kalian. Maka janganlah kalian saling menzalimi”.
(Shalih Muslim (IV/1583), (2577)).

28
DAFTAR PUSTAKA
1. Gabbard GO Somatoform Conpulsive Disorder dalam Psychodynamic
Psychiatry in Clinical Practice 3rd ed American Psychiatric Press. Inc. 2014:
237-243.
2. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jendral Pelayanan Medik. Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia (PPDGJ) III :
188-190.
3. Dr. Rusdi Muslim, SpKJ, M.Kes. 2013. Buku Saku DIAGNOSIS
GANGGUAN JIWA RUJUKAN RINGKAS dari PPDGJ – III dan DSM –
5. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK – Unika Atmajaya, Jakarta : PT. Nuh
Jaya.
4. Yates William R, etc. Somatoform Disorder. Juli 15th 2010.
5. Malenka RC, Nestler EJ, Hyman SE (2009). "Bab 10: Kontrol
Neuralendokrin dan Internal Milieu". Di Sydor A, Brown RY
6. Selye, Hans (1974). Stres tanpa kesulitan . Philadelphia: Lippincott
7. Buku Pegangan Mahasiswa Gangguan Somatoform Fakultas Kedokteran
UNHAS 2017. Pemeriksaan Klinik Neurologi.
8. Elvira, Sylvia dan Hadisukanto, Gitayanti. 2013. Buku Ajar Psikiatri. Edisi
II. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
9. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan. Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia (PPDGJ) III.
Cetakan Pertama. 1993.
10. Kaplan dan Sadock. Comprehensive textbook of Psychiatry 7th ed.
Lippincott William & Wilkins (2000): 1500-1501.
11. Andri. Konsep biopsikososial pada keluhan psikosomatik. J Indon
Med Assoc September 2011; 61(9):377-79.
12. Gabbard GO Somatoform Compulsive Disorder dalam Psychodynamic
Psychiatry in Clinical Practice 3rd ed American Psychiatric Press. Inc. 2014:
237-243.
13. Indonesia, F. K. U. (2017). Buku ajar psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI, Edisi ketiga, 318-334.

29
14. Kee, joyce L dan Evelyn R. Hayes. 2012. Farmakologi. Jakarta: EGC
penerbit buku kedokteran.

30

Anda mungkin juga menyukai