Anda di halaman 1dari 37

REFERAT

Psikosomatik

Oleh :
Dea Amelia Glorie
112022154

Pembimbing :
dr. Hj. Meutia Laksmingrum, Sp.KJ

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA


WACANA
KEPANITRAAN KLINIK ILMU PENYAKIT JIWA
RSJ PROVINSI JAWA BARAT
PERIODE 6 MARET 2023 – 8 APRIL 2023
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
LEMBAR PENILAIAN
Nama Dea Amelia Glorie
NIM 112022154
Tanggal 15 Maret 2023
Judul kasus Psikosomatik
Aspek yang dinilai Skor
1 2 3 4 5
Pengumpulan data
Analisa masalah
Penguasaan teori
Referensi
Pengambilan keputusan
klinis
Cara penyajian
Bentuk laporan
Total
Nilai %= (Total/35)x100%
Keterangan : 1 = sangat kurang (20%), 2 = kurang (40%), 3 = sedang (60%),
4 = baik (80%), dan 5 = sangat baik (100%)
Komentar penilai

Nama penilai Paraf/Stempel


dr. Hj. Meutia
Laksmingrum,
Sp.KJ
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tidak ada Kesehatan tanpa Kesehatan Jiwa (No Health without Mental
Health), sebuah slogan yang sesuai dengan Undang-undang Kesehatan No 36
tahun 2009, bahwa kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental,
spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif
secara sosial dan ekonomis. Meskipun konsep sehat ini sudah disepakati, tapi
kenyataannya petugas kesehatan tetap saja berfokus pada kesehatan fisik.1
Orang dengan pikiran yang sehat harus mampu berpikir dengan jelas, mampu
memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi dalam hidup, menikmati
hubungan baik dengan teman-teman, rekan kerja, keluarga dan merasa tenteram
secara spiritual serta membawa kebahagiaan bagi orang lain. Aspek kesehatan
inilah yang disebut sebagai kesehatan jiwa.1
Meskipun kita membicarakan tentang pikiran (jiwa) dan tubuh (fisik) secara
terpisah, pada kenyataannya keduanya hampir seperti dua sisi mata uang.
Keduanya berpengaruh satu sama lain tetapi menunjukkan manifestasi yang
berbeda. Bila salah satu terganggu dipastikan yang lain juga terganggu. Hanya
karena kita sering berpikir tentang tubuh dan pikiran secara terpisah, bukan berarti
keduanya tidak saling bergantung satu sama lain.1
Seperti halnya tubuh secara fisik dapat jatuh sakit, begitu juga dengan pikiran,
keadaan ini disebut gangguan jiwa. Gangguan jiwa adalah penyakit yang dialami
oleh seseorang yang mempengaruhi emosi, pikiran dan tingkah laku mereka, di
luar kepercayaan budaya dan kepribadian mereka, dan menimbulkan akibat
negatif bagi kehidupan mereka dan keluarga. Gangguan jiwa dapat dialami oleh
individu maupun masyarakat dari berbagai kalangan dan tingkat usia baik anak-
anak, remaja, dewasa, maupun lanjut usia.1
Berdasarkan penelitian Katon dan Sulivan (dalam Pomerantz, 2013)
diperkiraan 15-33% orang yang pergi ke dokter, sebenarnya menderita penyakit
karena sebab emosional seperti, khawatir, ketakutan, frustasi, dan rasa tidak aman.
Hal-hal tersebutlah yang menjadi penyebab timbulnya bermacam-macam keluhan
seperti sariawan, serangan jantung, susah tidur, usus buntu, diabetes, asma,
skizofrenia, gangguan pencernaan, bahkan kanker.2
Pasien dengan gangguan psikosomatis selalu mengeluhkan sakit pada beberapa
bagian tubuh seperti pegal-pegal, nyeri di bagian tubuh tertentu, mual, muntah,
kembung atau perut tidak enak, sendawa, serta sekujur tubuh terasa tidak nyaman,
tak jarang, ada yang merasa kulitnya seperti gatal, kesemutan, mati rasa, pedih
seperti terbakar, rasa sakit di kepala (seperti migrain), nyeri di bagian dada,
punggung dan tulang belakang, linu pada persendian, nyeri dan menstruasi yang
tidak teratur bahkan sampai rasa nyeri saat berhubungan seks. Namun, keluhan–
keluhan tersebut tidak dapat di jelaskan oleh penyebab fisik serta berlangsung
lama dan berulang-ulang serta berganti-ganti atau berpindah-pindah tempat, dan
dirasa sangat mengganggu sehingga tak jarang beberapa pasien bolak-balik ke
dokter untuk melakukan pemerikasaan.3

1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian psikosomatik.
2. Untuk mengetahui penyebab dan gejala psikosomatik.
3. Untuk mengetahui terapi terhadap psikosomatik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Psikosomatik berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari dua kata, yaitu psyche
yang artinya psikis dan soma yang artinya tubuh. Gangguan psikosomatis adalah
kondisi psikologis yang melibatkan terjadinya gejala fisik, biasanya tidak
memiliki penjelasan medis. Orang dengan kondisi ini mungkin memiliki pikiran,
perasaan, atau kekhawatiran yang berlebihan tentang gejalanya yang
memengaruhi kemampuan mereka untuk berfungsi dengan baik.4
Secara umum, gangguan ini digambarkan sebagai satu atau lebih faktor
psikologis atau masalah perilaku yang secara jelas memperburuk perjalanan atau
hasil kondisi medis umum; atau secara jelas meningkatkan risiko seseorang
mengalami hasil atau kondisi yang lebih buruk.5
Orang dengan gangguan psikosomatis biasanya tidak melaporkan gejala
tekanan kejiwaan yang nyata. Sebaliknya, mereka percaya masalah mereka
disebabkan oleh kondisi medis. Mereka cenderung sering mengunjungi penyedia
layanan kesehatan untuk mendapatkan tes dan perawatan, seringkali tidak
menerima diagnosis, yang dapat menyebabkan frustrasi dan kesusahan. 4
Dalam pandangan kedokteran psikosomatik merupakan interdisplin beberapa
cabang kedokteran yang memperlajari penyakit-penyakit psikosomatik. Saat ini
lebih tertuju kepada penyakit-penyakit psiko-fisiologis, memandangnya sebagai
suatu gangguan yang gejalanya lebih disebabkan oleh proses mental dari pada
penyebab fisiologis secara langsung.5
Cabang kedokteran ini memelajari evaluasi dan tata-laksana secara terintegratif
dan melibatkan berbagai cabang ilmu kedokteran, seperti psikiatri, neurologi,
bedah, obstetri-ginekologi, kedokteran paliatif, pediatrik, der-matologi, ilmu
penyakit dalam dan psikoneuroimunologi. Situasi klinis atau proses psikologis
merupakan faktor utama yang mempengaruhi kondisi klinis, kepatuhan klinis dan
atau hasil terapi (mis.pembedahan), adalah kompetensi dari Kedokteran
Psikosomatik.5
2.2 Epidemiologi
Gangguan gejala somatik umum terjadi, terjadi pada sekitar 5% sampai 7%
dari populasi umum. Untuk alasan yang tidak dipahami, wanita mengalami nyeri
somatik sekitar 10 kali lebih sering daripada pria.4
2.3 Etiologi dan Faktor Risiko
Tidak ada penyebab tunggal untuk gangguan psikosomatis, seperti kebanyakan
kondisi kejiwaan, gangguan adalah hasil akhir dari interaksi yang antara faktor
genetik dan berbagai peristiwa dalam sejarah kehidupan yang dari individu.
Berbagai mekanisme psikologis, sosial, patofisiologis, keluarga, dan genetik telah
diusulkan untuk menjelaskan asal gangguan psikosomatis. 7 Pada pasien
psikosomatis perlu ditanyakan beberapa faktor yaitu:3
1. Faktor sosial dan ekonomi
Kepuasan dalam pekerjaan, kesukaran ekonomi, pekerjaan yang tidak tentu,
pekerjaan yang terburu-buru, kualitas pelayanan yang tidak memuaskan, yang
dapat mengakibatkan peningkatan hilangnya jam kerja karena ketidakm
hadiran, kecelakaan di tempat kerja, kurangnya motivasi dengan komitmen.
2. Faktor perkawinan atau keluarga
Kepuasan dalam pernikahan seperti perselisihan, perceraian dan kekecewaan
dalam hubungan seksual, anak-anak yang nakal dan menyusahkan. Kondisi
dimana keluarga dapat menimbulkan stres yang dapat membuat tubuh
menjadi tertekan serta dapat menyebabkan atau bahkan memperburuk secara
langsung kondisi saat sakit.
3. Faktor kesehatan
Kesehatan juga dapat menjadi faktor penyebab terjadinya gangguan
psikosomatis seperti adanya kerusakan akibat dari berbagai macam hal seperti
penggunaan obat, benturan, penyakit-penyakit yang menahun, pernah masuk
rumah sakit, pernah dioperasi, adiksi terhadap obat-obatan, tembakau,
maupun efek dam ekses dari pembedahan.
4. Faktor psikologis
Pengaruh psikologis yang dapat menyebabkan muncul maupun memperparah
penyakit-penyakit fisik yang disebabkan oleh stressor, terutama muncul dari
sikap maladaptif. Stres psikologis seperti keadaan jiwa waktu dioperasi,
waktu penyakit berat, status didalam keluarga dan stres yang timbul juga
dapat mempengaruhi berkembangnya gangguan psikosomatis maupun
memperparah penyakit-penyakit fisik yang dialami oleh pasien.
Siapa pun dapat memiliki gejala somatik pada usia berapa pun. Studi telah
menemukan bahwa hal-hal tertentu dapat membuat orang lebih cenderung
memiliki gejala somatik:4
1. Gaya hidup kacau.
2. Kesulitan mengenali dan mengekspresikan emosi.
3. Pengabaian masa kecil.
4. Sejarah pelecehan seksual.
5. Kondisi psikologis lainnya, seperti depresi atau gangguan kepribadian.
6. Penyalahgunaan zat (seperti alkoholisme atau kecanduan narkoba).
7. Pengangguran.
2.4 Patomekanisme
Para peneliti tidak belum dapat memastikan patofisiologi terjadinya
psikosomatik. Beberapa percaya bahwa stres melepaskan hormon dan bahan
kimia dalam tubuh yang menyebabkan kerusakan atau disfungsi.4 Mekanisme
gangguan psikosomatik diterangkan melalui teori sebagai berikut:5
Teori Stres
Walter Cannon (1875-1945), pada tahun 1920an memperkenalkan studi
sistematis tentang hubungan antara stres dengan suatu penyakit. Stres yang
menstimulasi sistem saraf otonom, terutama sistem simpatis, menimbulkan
reaksi "fight or flight" pada binatang. Pada manusia, yang karena peradabannya
tidak bisa melakukan keduanya, stres memicu timbulnya suatu penyakit.
Harold Wolf (1898-1962), menjelaskan hubungan antara kondisi emosi
spesifik dengan fisiologi pada saluran gastrointestinal. Hostilitas berhubungan
dengan hiperfungsi, sedangkan kesedihan berkaitan dengan hipofungsi. Reaksi
tersebut dianggap sebagai reaksi nonspesifik, yang ditandai oleh situasi umum
serta persepsinya terhadap suatu stressful event. Sebelumnya, William
Beumont (1785-1853), mengenali bahwa aliran darah ke perut dipengaruhi
oleh emosi.
Hans Selye (1907-1982) mengembangkan model stres yang disebut sebagai
general adaptation syndrome yang terditi atas 3 fase, yaitu: fase reaksi alarm,
fase pertahanan, yaitu saat diharapkan teriadinva proses adaptasi, serta fase
kelelahan. Stres yang dimaksud bisa berupa kondisi yang menyenangkan
ataupun yang tidak menyenangkan. Diperlukan proses adaptasi untuk dapat
menerima kedua tipe stres tersebut.
a. Sistem Neurotransmiter
Tubuh manusia bereaksi terhadap stres dan memberikan respons yang
bertujuan meredakan stres tersebut dan terciptanya kembali suatu homeostatsis.
Respons neurotransmiter terhadap stres mengaktivasi sistem noradrenergik di
otak, tepatnya di locus cerolens, menyebabkan pelepasan katekolamin dari
sistem saraf otonom. Stres juga mengaktivasi sistem serotonergik di otak.
Demikian pula, stres meningkatkan neurotransmisi dopaminergik pada jalur
mesofrontal. Respons terhadap stres juga terjadi pada corticotrpin-releasing
factor (CRF), glutamat dan gama-amino butiric acid (GABA).
b. Sistem Endokrin
Sebagai respons terhadap stres, hipotalamus mengeluarkan CRF kedalam
sistem bypophysial-pituitar-portal. CRF mencetuskan pelepasan ACTH yang
merangsang pembuatan dan pelepasan glukokortikoid di korteks adrenal. Efek
glukokortikoid terhadap tubuh sangat banyak, namun dapat digabung dalam
waktu singkat menimbulkan peningkatan penggunaan tenaga, meningkatkan
aktivitas kardiovaskular, dan menghambat beberapa fungsi seperti
pertumbuhan, reproduksi dan imunitas.
c. Sistem Imunologik
Stres menyebabkan glukokortikoid menghambat sistem imun. Inhibisi ini
menimbulkan aksi kompensasi aksis hipotalamik-pituitati-adrenal untuk
mengurangi efek fisiologis lain dari stres. Sebaliknya, stres juga dapat
mengakibatkan aktivasi sistem imun melalui beberapa jalur.
CRF merangsang pelepasan norepinefrin melalui reseptor CRF di locus
cerulens, yang kemudian mengaktifkan sistem saraf simpatik sehingga mening-
batkan pelepasan epinefrin dari medula adrenal. Sebagai tambahan, juga ada
jalur neuron norepinefrin yang bersinaps di sel target imun. Peningkatan
aktivitas sistem imun juga melalui pelepasan faktor imun humoral.
d. Perubahan Kehidupan
Thomas Holmes dan Richard Rahe membuat skala penilaian reaksi
penyesuaian yang terjadi akibat perubahan peristiwa kehidupan. Penilaian
dilakukan terhadap 100 orang dari berbagai latar belakang. Mereka yang
menghadapi stres secara optimis lebih jarang mengalami gangguan
psikosomatis ketimbang mereka yang menghadapinya dengan pesimis.
Kalaupun terjadi gangguan, biasanya akan lebih cepat pulih kembali.
2.5 Manifestasi Klinis
Ciri utama gangguan ini adalah adanya keluhan-keluhan gejala fisik yang
berulangulang disertai dengan permintaan pemeriksaan medik, meskipun sudah
berkali-kali terbukti hasilnya negatif serta dari penjelasan dokter yang
memeriksan bahwa tidak ditemukan kelainan yang menjadi dasar keluhannya.
Penderita juga menyangkal dan menolak untuk membahas kemungkinan kaitan
antara keluhan fisiknya dengan problem atau konflik dalam kehidupan yang
dialaminya, meskipun didapatkan gejala-gejala anxietas dan depresi.6
Gangguan psikosomatis dapat mempengaruhi hampir semua bagian tubuh.
Contoh umum meliputi:4
1. Kelelahan
2. Insomnia
3. Sakit dan nyeri, seperti nyeri otot atau nyeri punggung.
4. Tekanan darah tinggi (hipertensi).
5. Kesulitan bernapas (dyspnea, atau sesak napas).
6. Gangguan pencernaan (sakit perut).
7. Sakit kepala dan migrain.
8. Disfungsi ereksi (impotensi).
9. Ruam kulit (dermatitis).
10. Tukak lambung (penyakit tukak lambung).
Selain gejala somatik itu sendiri, penderita gangguan psikosomatis
seringkali:4
1. Menjadi depresi atau cemas.
2. Kunjungi penyedia layanan kesehatan sesering mungkin, sering berpindah
dari satu dokter ke dokter lainnya.
3. Mengalami kesulitan berfungsi di tempat kerja, sekolah atau sosial.
4. Menjadi marah atau mudah tersinggung karena merasa kebutuhan
medisnya tidak terpenuhi.
2.6 Jenis Gangguan Psikomatik
Istilah psikosomatik sudah tidak digunakan lagi di PPDGJ III. Istilah
psikosomatik digolongkan menjadi Faktor Psikologis Dan Perilaku Yang
Berhubungan Dengan Gangguan atau Penyakit Ydk (F54 ). Kategori ini harus
digunakan untuk mencatat adanya pengaruh psikologis atau perilaku yang
diperhitungkan mempunyai peranan besar dalam etiologi terjadinya gangguan
fisik yang diklasifikasi ditempat lain.6
Untuk klasifikasi jenis gangguan psikosomatik, maka jenis gangguan dibagi
menurut organ yang paling sering terkena, yaitu gangguan gastrointestinal,
gangguan kardiovaskular, gangguan pernapasan, gangguan endokrin, gangguan
kulit, dan gangguan muskuloskeletal.12
a. Gangguan Gastrointestinal
1) Dispepsia Fungsional
Merupakan perasaan tidak enak dan sakit pada daerah epigastrium,
sering disebabkan karena kelainan fungsi lambung: sekresi asam
lambung yang berlebihan, motilitas dan tonus yang meninggi pada otot-
otot dinding lambung.8 Legarde dan Spiro (1984) mengatakan bahwa
keluhan tidak enak pada perut bagian atas yang bersifat intermitten
sedangkan pada pemeriksaan tidak didapatkan kelainan organis.
Gejala-gejala yang sering dikeluhkan pasien berupa rasa penuh
pada ulu hati sesudah makan, kembung, sering bersendawa, cepat
kenyang, anoreksia, nausea, vomitus, rasa terbakar pada daerah ulu hati
dan regurgitasi.9 Peran faktor psikososial pada dispepsia fungsional
sangat penting karena dapat menyebabkan hal-hal di bawah ini:
- Menimbulkan perubahan fisiologi saluran cerna
- Perubahan penyesuaian terhadap gejala-gejala yang timbul
- Mempengaruhi karakter dan perjalanan penyakitnya
- Mempengaruhi prognosis
Rangsangan psikis/emosi sendiri secara fisiologi dapat mempengaruhi
lambung dengan dua cara:
 Jalur Neurogen: rangsangan konflik emosi pada korteks serebri
mempengaruhi kerja hipotalamus anterior dan selanjutnya ke
nucleus vagus, dan kemudian ke lambung
 Jalur Neurohormonal: rangsangan pada korteks serebri diteruskan
ke hipotalamus anterior selanjutnya ke hipofisis anterior yang
mengeluarkan kortikotropin. Hormon ini merangsang korteks
adrenal dan kemudian menghasilkan hormon adrenal yang
selanjutnya merangsang produksi asam lambung.9
Pengobatan melalui pendekatan psikosomatis yaitu dengan
memperhatikan aspek-aspek fisik, psikososial, dan lingkungan. Terhadap
keluhan-keluhan dispepsia dapat diberikan pengobatan simptomatis
seperti antasida, obat-obat H2 antagonis seperti Cimetidin, ranitidine.
Obat inhibitor pompa proton seperti omeprazole, lansoprazole. Yang
tidak kalah pentingnya ialah melakukan psikoterapi dengan beberapa
edukasi dan saran agar dapat mengatasi atau mengurangi stress dan
konflik psikososial.9
2) Konstipasi Psikogenik
Buang air besar biasanya terjadi setelah timbul rangsangan di
hipotalamus yang diteruskan ke kolon dan sfingter ani melalui susunan
saraf autonom. Pada waktu tertentu kemungkinan rangsangan tersebut
tidak timbul. Hal ini dapat terjadi pada seseorang yang sedang murung,
kecewa, putus asa, dan gangguan jiwa lain. Pasien sering mempunyai
keluhan tidak dapat atau mengalami kesulitan buang air besar. Akibat
kelainan tersebut, rangsangan di hipotalamus ikut menurun sampai tidak
ada, sehingga rangsangan di usus besar pun sangat berkurang. Bila
berlangsung terus-menerus akan terjadi atoni kolon dan konstipasi kronik
yang selanjutnya disebut konstipasi psikogenik.10
Pengelolaan pasien konstipasi psikogenik lebih menitikberatkan pada
psikoterapi. Perlu pendekatan psikomatik dengan memperdulikan faktor-
faktor psikis sebagai penyebabnya. 10
3) Diare Psikogenik
Seseorang yang sedang mengalami ketegangan jiwa, sedang emosi,
atau sedang dalam keadaan stress , hidupnya tidak teratur. Keadaan
demikian akan menyebabkan terangsangnya hipotalamus terus-menerus
secara tidak teratur. Rangsangan di hipotalamus ini akan diteruskan ke
susunan saraf autonom. Susunan saraf yang berulang kali terangsang ini
akan menyebabkan timbulnya hiperperistaltik kolon, sehingga bolus
makanan terlalu cepat dikeluarkan karena hiperperistaltik tersebut,
reabsorpsi air di kolon terganggu, dan timbullah diare. Bila terjadi
berulang kali, timbul diare kronik. Keadaan demikian disebut diare
psikogenik kronik. 10
Sifat diare psikogenik pada umumnya memperlihatkan sering buang
air besar yang bersifat lembek, hampir tidak pernah bersifat cair, jarang
disertai lender dan darah, dan tidak pernah disertai demam. Diare yang
timbul biasanya berlangsung beberapa hari, selama masih ada gangguan
psikis. 10
4) Obesitas
Pada obesitas yang hebat sering didapati faktor psikologik. Tidak
dapat diterangkan secara memuaskan dengan teori: efisiensi otot-otot
yang tinggi, “respiratory quotient” yang rendah, “specific dynamic
action” dari makanan atau penyimpanan yang abnormal oleh orang
gemuk itu.8
Faktor psikologik, mulai dari ketegangan yang ringan smapai dengan
suatu nerosa yang hebat dapat menyebabkan makan berlebihan. Kadang-
kadang orang yang merasa tidak bahagia mencari kesenangan dalam
makanan. Mungkin bila ia mengalami banyak kekecewaan dalam
pekerjaan atau kehidupan seksual, makanan bukan saja daoat merupakan
pembelaan atau hiburan, tetapi juga dapat merupakan substitusi. 8
Pengobatan ialah meyakinkan penderita bahwa berat badan itu perlu
diturunkan, mengatur tabiat makanan, diet yang pantas, dan psikoterapi
bila terdapat konflik; dapat juga diberikan obat-obat untuk menekan
nafsu makan beserta vitamin supaya tidak kekurangan bila makan
berkurang. 8
b. Gangguan Kardiovaskular
1) Hipertensi
Hipertensi oleh banyak peneliti dianggap sebagai suatu penyakit yang
multifaktorial. Selain faktor psikis yang menstimulasi efek
simpatikotonik, pengaruh lingkungan sekitar dan sosio-kultural juga ikut
berperan. Faktor-faktor psikis stuasional yang menyebabkan kenaikan
tekanan darah, merupakan model outlet yang aman sebagai reaksi normal
fisiologis.11
Menurut Groen, mekanisme utama perkembanghan menjadi hipertensi
yaitu perubahan suatu reaksi fisiologis yang dihubungkan dengan
behavior readiness, oleh suatu reaksi neuroviseral; sebagai ganti aktivitas
neuromuscular yang kuat dan volume semenit jantung yang meningkat,
serta resistensi pembuluh darah yang meningkat pula. 11
Karena sifat etiologi yang multifaktorial, kebanyakan pasien
membutuhkan terapi kombinasi. Terapi dengan obat seringkali perlu
diberikan, namun efek samping harus diperhatikan. Reserpine, misalnya,
juga mempunyai efek samping depresif. Latihan autogen (autogenic
training) sebagai latihan rileks pada hakikatnya sangat baik, namun
seringkali menambah rasa takut dan kegelisahan, karena aktivitas defense
yang menutup-nutupi rasa takut dihilangka, sehingga konflik internal
malah dialami lebih jelas. 11
2) Gangguan Irama Jantung
Mekanisme regulasi jantung mudah bereaksi terhadap rangsangan
pikis dan penilaiannya dalam hal khayalan dan pengalaman merupakan
faktor-faktor yang menentukan dalam terjadinya penyakit. Faktor-faktor
emosional dapat bekerja dengan 2 cara:
 Afek seperti rasa takut, sedih, gembira atau ketegangan jiwa
mempengaruhi fungsi somatik secara tidak khas.emosi agresif
mempercepat frekuensi jantung. Pengalaman depresif menekan dan
memperlambatnya.
 Bila dalam keadaan normal, jantung berdenyut teratur, maka
persepsi gangguan irama dapat menimbulkan kecemasan atau
ketidakseimbangan vegetatif.11
Faktor-faktor psikis berpengaruh pada timbulnya gangguan frekuensi
denyut dan disaritmia jantung. Pada gangguan frekuensi jantung,
pengaruh fisis, toksik, infeksi dan degenerasi, juga faktor piskis.11
Aritmia psikogenik tanpa adanya gangguan struktural pada
umumnya tidak akan menyebabkan kematian, namun dapat memberikan
impilkasi yang buruk terhadap kondisi ppsikis pasien. Maka psikoterapi
suportif dan pemberian ansiolitik dapat mencegah perburukan kondisi
psikis dan menghilangkan ritma.11
c. Gangguan Pernapasan
1) Sindrom Hiperventilasi
Sindrom hiperventilasi didefinisikan sebagai suatu keadaan ventilasi
berlebihan yang menyebabkan perubahan hemodinamik dan kimia
sehingga menimbulkan berbagai gejala. Mekanisme yang mendasari
hingga terjadi sindrom hiperventilasi belim jelas diketahui.12
Menurut Arautigam (1973) secara psikologis penyebab yang
mencetuskan penyakit ini ialah perubahan pernapasan, yang ia namakan
“sindrom pernapasan nervous” yang biasanya disebabkan oleh faktor
emosional/stress psikis. Terapat 2 jenis pernapasan yang dapat
ditemukan, yaitu:12
 Pernapasan yang tidak teratur yang dianggap sebagai pengutaraan
rasa takut yang khas.
 Pernapasan yang dangkal yang diselingi dengan penarikan napas
dalam sebagai pengutaraan situasi pribadi yang bersifat keletihan
dan pasrah, yaitu pertanda tujuan tidak dapat dicapai kendati sudah
diusahakan.
Gejala klinis yang dapat ditemukan pada pasien adalah napas sesak,
napas pendek, dada tertekan, nyeri pada epigastrium, pusing, sakit
kepala, mulut dan tenggorokan kering, disfagi, dan rasa penuh pada
lambung. Penyebab paling sering untuk hiperventilasi ialah emosi rasa
takut dan kegelisahan.12
Terapi untuk pasien dengan sindrom hiperventilasi:
 Pasien disuruh bernapas (inspirasi dan ekspirasi) ke dalam sungkup
kantong plastic bila didapatkan tanda alkalosis agar PCO2 dalam
darah naik.
 Suntikkan 10 cc larutan kalsium glukonas 10% intravena
mempunyai efek placebo. Pasien merasa hangat dan enak, tetapi
kadar ion kalsium tidak akan naik.
 Belajar bernapas torako-abdominal dengan menggerakkan
diafragma.
 Psikoterapi: membantu menyelesaikan problem-problem emosional
pada pasien, termasuk melakukan terapi pelaku (Cogntive
Behavioral Teraphy).
 Karena hiperventilasi sering merupakan bagian dari serangan panic
(panic disorder), maka pemberian obat yang tepat adalah golongan
benzodizepin atau golongan SSRI (Selective Serotonin Reuptake
Inhibitor)
2) Asma Bronkial
Asma merupakan suatu gangguan karena hiperaktivitas yang diikuti
bronkokontriksi yang reversible serta adanya reaksi inflamasi kronik
serta kerusakan epitel. Dalam perkembangannya, pathogenesis asam
dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu faktor genetik , permusuhan,
kejengkel(atopi dan hiperaktivitas bronkus pada keluarga), faktor
lingkungan, allergen seperti debu rumah, serbuk sari bunga, virus dan
bakteri, polusi udara; faktor individu, adanya stressor dan kemampuan
untuk mengatasi asma.13
Beberapa keadaan yang merupakan stressor psikososial, sebagai
berikut:
 Pengalaman luar biasa: permulaan masuk sekolah, ujian, pertama
masuk kerja, menderita penyakit, berpisah dengan orang tua, dll
 Kejadian-kejadian traumatic: perkelahian/pertentangan dengan orang
tua, permusuhan, kejengkelan dalam kerja
 Pengalaman yang menyedihkan: kematian orang tua, atau anak,
kehilangan harta benda, dan musibah lainnya13
Terhadap gejala asma secara fisik diberikan pengobatan standar yang
sudah baku sesuai dengan tingkat beratnya penyakit (bronkodilator,
kortikosteroid). Sedangkan untuk gangguan psikosomatik seperti adanya
anxietas atau depresi secara bersamaan dilakukan psikoterapi dan
psikoedukasi serta psiokfarmaka yang sesuai. Pada gangguan anxietas
yang menyertai atau mencetuskan asma dapat diberikan golongan
benzodiazepine seperti alprazolam, klobazam. Bila dijumpai adanya
presi, maka dapat diberikan antidepresan yang aman misalnya golongan
SRI seperti sertraline, fluoksetin.13
Cara pengobatan psikosomatik yang khusus pada asma memang
belum ada standar, namun pada umumnya pengobatan meliputi
psikoterapi superfisial, edukasi, instruksi.
 Psikoterapi individual dan psikoterapi kelompok. Mereka diberikan
edukasi mengenai perjalanan penyakit asma, mekanisme timbul,
faktor resiko, pengobatan dan pencegahan. Psikoterapi ini diberikan
untuk meningkatkan daya adaptasi dan kemampuan untuk
menyelesaikan atau menghilangkan stressor psikososial yang dialami
pasien. 8,13
 Instruksi tentang penatalaksanaan mandiri dengan monitoring PEFR
(Peak Expiratory Flow Rate) di rumah.
 Autogrnic training yaitu latihan untuk dapat bersantai dengan
memahami bahwa faktor psikis dapat menimbulkan reaksi
bronkospasme.
 Cara sugestif yaitu mengalihkan atau mencurahkan perhatian diri
sendiri kepada hal-hal yang bermanfaat.
 Psikoterapi analisis yang sederhana.13
d. Gangguan Endokrin
1) Kelainan Tiroid
Pasien tirotoksikosis umumnya datang dengan keluhan yang dianggap
bersifat psiksi belaka. Misalnya rasa cemas, mudah marah, paranoid, rasa
seperti leher tercekik atau terikat, rasa takut tanpa sebab yang jelas,
insomnia dengan mimpi buruk, dan gugup. Keluhan ini sering diikuti
dengan hiperaktivitas saraf otonom seperti keringat banyak, mulut
kering, pupil lebar, kulit pucat, nadi cepat, dan sebagainya.14
Pengobatan ialah usaha untuk mengendalikan metabolism dengan
obat-obat dan bila perlu dioperasi. Transquilaizer dapat sangat
membantu. Psikoterapi perlu, terutama pada penderita dengan konflik
yang mendalam dan yang tidak dapat menyesuaikan diri.8
2) Diabetes Melitus
Diabetes Melitus adalah suatu kelompok penyakit meabolik yang
ditandai dengan adanya defek pada sekresi insulin, kerja insulin, atau
keduanya. Hipetglikemia kronik pada pasien diabetes berhubungan
dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan berbagai
organ seperti mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah serta
mempengaruhi kondisi psikis. Gangguan psikis yang biasa terjadi pada
penderita diabetes mellitus adalah depresi.15
Depresi terjadi akibat faktor psikologis dan psikososial yang
berhubungan dengan penyakit atau terapinya. Depresi pada diabetes
terjadi akibat meningkatnya tekanan pasien yang dialami dari
penyakitnya yang kronik. Hubungan ketidakmampuan adaptasi dengan
gejala depresi ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:15
 Pandangan terhadap penyakit yang diderita.
 Dukungan sosial yang kurang baik.
 Coping strategy, mencegah pikiran untuk lari dari kenyataan dan
adaptasi psikologis menjadi lebih baik sehingga mengurangi
kemungkinan gejala depresi.
Pengobatan depresi dan diabetes dilakukan bersama-sama dengan
psikoterapi, psikoedukasi, psikofarmaka secara serentak. Cognitive
Behavioral Theraphy (CBT) sangat bermanfaat diberikan pada pasien
depresi dengan diabetes mellitus dan dikombinasikan dengan edukasi
diabetes. Teknik CBT tersebut adalah:15
 Merubah perilaku dengan mengembalikan aktuvitas fisik dan
kehidupan sosial yang menyenangkan pasien.
 Upaya pemecahan masalah atau stress yang dihadapi.
 Teknik kognitif dengan mengidentifikasi adanya maldaptasi dan
menggantinya dengan pandangan yang akurat, adaptif dan akurat.
Beberapa golongan obat antidepresan yang biasa diberikan untuk
penderita diabetes melitus adalah golongan SSRI (Selective
Serotonin Reuptake Inhibitor) dapat mengurangi resistensi insulin
sehingga gula darah dapat lebih terkontrol.
Beberapa golongan obat SSRI seperti fluoksetin memiliki efek
menurunkan berat badan sehingga baik diberikan pada penderita
diabetes yang gemuk. Efek samping yang perlu diperhatikan adalah
kemungkinan terjadinya hipoglikemia, disfungsi seksual dan pasien
yang disertai gangguan ginjal.15
e. Gangguan Muskuloskeletal
Arthritis rheumatoid adalah penyakit inflamasi kronik dengan
pathogenesis autoimun dan etiologi yang multikompleks. Berbagai faktor
yang dapat berperan penting seperti immunogenetik, kelamin, umur dan
stress. Hubungan stress dengan AR masih belum jelas, meskipun pada
berbagai penelitian terdapat perkembangan bahwa faktor stressor lingkungan,
psikologis, dan biologis menjadi faktor predisposisi.16
Sebelum timbulnya penyakit AR, pasien menunjukkan ciri-ciri psikodinaik
dan kepribadian yang khas, yaitu:
 Ketelitian yang berlebihan, perfeksionisme, kepatuhan, dengan
kecenderungan menekan semua dorongan agresi dan permusuhan.
 Ciri mesokistis-depresif dengan tendensi pengorbanan diri, sifat
menolong yang berlebihan, bermoral tinggi dan cenderung depresif.
 Kebutuhan aktivitas badaniah seperti olahraga, kerja di rumah dan
berkebun sebagai penyaluran agresi.8,16
Kepribadian, stressor psikologis, ancaman terserang AR, kemampuan
menanggulangi nyeri dan menanggulagi ketidakmampuan serta dukungan
sosial telah terbukti berhubungan dengan derajat nyeri, disabilitas dn
aktivitas penyakit AR. Faktor psikososial seperti stress psikologis,
penyesuaian, depresi, keyakinan dalam kemampuan menanggulangi penyakit
dan dukungan sosial berperan pada keadaan sakit dengan mempengaruhi
pelepasan hormone stress, yang selanjutnya berpengaruh pada mekanisme
dalam tubuh termasuk kerentanan dan kekambuhan penyakit AR.16
2.7 Diagnosis
Penyedia layanan kesehatan dapat mulai mendiagnosis gangguan psikosomatis
berdasarkan:4
1. Riwayat kunjungan ke penyedia layanan kesehatan.
2. Pemeriksaan fisik.
3. Serangkaian hasil negatif pada pemeriksaan penunjang.
Untuk dapat didiagnosis dengan gangguan gejala somatik, seseorang harus
memiliki:4
1. Satu atau lebih gejala yang menyusahkan atau mengganggu kehidupan
sehari-hari.
2. Riwayat gejala tersebut setidaknya selama enam bulan.
3. Pikiran, kekhawatiran, atau kecemasan yang terus-menerus tentang
gejalanya.
Penyedia layanan kesehatan mungkin memesan beberapa tes untuk
mengesampingkan kondisi medis lainnya, seperti tes darah atau pencitraan. Tetapi
ketika penyedia layanan kesehatan percaya bahwa gejalanya adalah psikosomatis,
mereka biasanya tidak melakukan tes apa pun.4
Penilaian faktor biopsikososial19
Faktor Komentar
1 Genetik Riwayat keluarga somatisasi
Kesulitan masa kecil seperti perpisahan dari ibu,
Peristiwa kehidupan
2 pelecehan atau penganiayaan, pengabaian, keterikatan
awal
yang tidak aman
Peristiwa hidup baru-
3 Peristiwa besar dalam hidup dalam satu tahun terakhir
baru ini
Stres kehidupan Ini termasuk merasa tertekan di tempat kerja, merasa
4
sehari-hari yang kronis “tegang”, sering bertengkar dengan anggota keluarga
5 Mengatasi Tidak mampu menangani tuntutan hidup sehari-hari
6 Gaya hidup tidak sehat Kurang olahraga, penggunaan zat, pola tidur tidak teratur
7 Faktor kepribadian Kehadiran alexithymia, perilaku Tipe A, gaya koping
Kurangnya dukungan sosial (emosional atau
8 Sistem pendukung
instrumental), Status pekerjaan, Kondisi keuangan
Gangguan medis atau Penyakit medis jangka panjang, penggunaan zat,
9
psikiatri komorbid komorbiditas psikiatri lainnya
1
Faktor budaya Kecenderungan somatisasi yang lebih tinggi
0

Diagnosis ditegakkan bila :5


1. Didapatkan adanya kondisi medis umum, yang dicantumkan pada aksis III,
diagnosis Multi Aksial.
2. Terdapat faktor psikologis yang secara bermakna dan tidak
menyenangkan, mempengaruhi kondisi medis umum dalam hal:
a. Mempengaruhi perjalanan penyakit
b. Menghambat atau mengganggu pengobatan
c. Menimbulkan tambahan risiko kesehatan
d. Respon fisiologis akibat stres mencetuskan atau mengeksa. serbasi
simtom dari kondisi medis umumnya.

2.8 Tatalaksana
Tujuan terapi adalah kesembuhan, dalam arti resolusi gangguan, reorganisasi
kepribadian, adaptasi yang lebih matang, meningkatkan kapasitas fisik dan
okupasi serta proses penyembuhan, perbaikan penyakit, mengurangi secondary
gain terhadap kondisi medisnya, serta menjadi patuh dengan pengobatan. Hal
tersebut dilakukan dengan:5
a. Terapi Kombinasi
Terapi penyakit somatik dalam keadaan akut, yang utama adalah terapi
medis. Pada umumnya diberikan anti ansietas dan anti depresan serta
farmakoterapi untuk penyakit konkomitannya.5
Psikoterapi pada kondisi ini lebih bersifat suportif. Apabila seorang dokter
spesialis penyakit dalam, misalnya, bersamaan dengan terapi medisnya juga
telah memberikan terapi suportif (ventilasi, reassurance) serta manipulasi
lingkungan dan menghasilkan hasil yang baik selama serangan awal gangguan
psikosomatik, tidak diperlukan psikoterapi dari seorang psikiater.5
Pada keadaan kronis, atau bila tidak responsif terhadap terapi medis, harus
dilakukan evaluasi psikosomatis oleh psikiater bersamaan dengan terapi
medisnya.5
Selayaknya terapi menghasilkan kemampuan penyesuaian yang matang,
peningkatan kemampuan aktivitas fisik dan okupasi, sikap yang lebih baik
terhadap penyakitnya, mencegah komplikasi, mengurangi secondary gain, serta
meningkatnya kemampuan penyesuaian terhadap keberadaan penyakit
tersebut.5
1. Anti-Depresi17
Obat anti-depresi atau dikenal juga dengan istilah Thymoleptics,
Psychic Energizers, Anti Depressants, Anti Depresan. Berikut pilihan obat
anti depresan:
No. Nama Nama Dagang Sediaan (mg) Dosis
Generik Anjuran
(mg/h)
1. Amitriptyline Amitriptyline (Indofarma) Drag 25 75-300
Trilin (Harsen) Tab. 25
2. Tianeptine Stablon (Servier) Tab. 12,5 25-50
3. Maprotiline Sandepril – 50 Tab. 50 100-225
(Mersifarma)
4. Setraline Zoloft (Pfizer-Pharmacia) Tab. 50 50-150
Fatral (Fahrenheit) Tab. 50
Anexin (Sanbe) Tab. 50
Fridep (Mersifarma) Tab. 50
Sernade (Novell Pharma) Tab. 50
Deptral (Meprofarm) Cap. 50
Serlof (Kalbe) Tab. 50
Zerlin (Pharos) Tab. 50
5. Fluoxetine Prozac (Eli Lily) Cap. 20 10-40
Nopres (Dexa Medica) Caplet 20
Tab. 20
Noxetine (Novell Pharma
Deprezac (Activis) Cap. 20
Deproz (Sanbe) Cap. 20
Foransi(Gracia Pharmindo) Cap. 10-20
Antiprestin (Pharos) Cap. 10-20
Elizac (Mersifarma) Cap. 20
Kalxetin (Kalbe) Cap. 10-20
Zac (Ikapharmindo) Cap. 10-20
6. Citalopram Cipram (Lundbeck) Tab. 20 10-60
7. Mirtazapine Remeron (Organon) Tab. 30 15-45
8. Duloxetine Cymbalta (B-Ingelheim) Caplet 60 40-60
9. Venlafaxine Efexor-XR (Pfizer) Cap. 75 150-375
10. Agomelatine Valdoxan (Servier) Tab. 65 25-50
Penggolongan :
1. Obat Anti-depresi Trisiklik = Tricyclic Antidepressants (TCA) Seperti
: Amitriptyline, Impramine, Clomipramine, Tianeptine
2. Obat Anti-depresi Tetrasiklik
Seperti : Maprotiline, Mianserin, Amoxapine
3. Obat Anti-depresi MAOI-Reversible = Reversible Inhibitor Of
Monoamine Oxydase - A (RIMA)
Seperti Moclobemide
4. Obat Anti-depresi SSRI (Selective Serotonin Re-uptake Inhibitors)
Seperti : Sertraline, Paroxetine, Fluvoxamine, Fluoxetine, Citalopram.
5. Obat Antidepresi SNRI (Selective Norepinephrine Re-uptake
Inhibitors)
Seperti : Venlafaxine, Duloxetine.
6. Obat Anti-depresi Melatonergic (Melatonergic agonist MT1&MT2
receptors and 5-HT2C antagonist)
Seperti : Agomelatine.
7. Obat Anti-depresi "atypical"
Seperti : Trazodone, Mirtazapine.
Indikasi penggunaan :
Gejala Sasaran (target syndrome) : Sindrom Depresi
Butir-butir diagnostik Sindrom Depresi :
Selama paling sedikit 2 minggu dan hampir setiap hari mengalami :
1. rasa hati yang murung
2. hilang minat dan rasa senang
3. kurang tenaga hingga mudah lelah dan kendur kegiatan
Keadaan diatas disertai gejala-gejala :
1. penurunan konsentrasi pikiran dan perhatian
2. pengurangan rasa harga diri dan percaya diri
3. pikiran perihal dosa dan diri tidak berguna lagi
4. pandangan suram dan pesimistik terhadap masa depan
5. gagasan atau tindakan mencederai diri/bunuh diri
6. gangguan tidur
7. pengurangan nafsu makan
Hendaya dalam fungsi kehidupan sehari-hari bermanifestasi dalam
gejala seperti penurunan kemampuan bekerja, hubungan sosial dan
melakukan kegiatan rutin
Efek samping Obat Anti-depresi dapat berupa :
1. Sedasi (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja psikomotor
menurun, kemampuan kognitif menurun, dll)
2. Efek Anti-kolinergik (mulut kering, retensi urin, penglihatan kabur,
konstipasi, sinus takikardia, dll).
3. Efek Anti-adrenergik alfa (perubahan EKG, hipotensi)
4. Efek Neurotoksis (tremor halus, gelisah, agitasi, insomnia)
Efek samping yang tidak berat (tergantung daya toleransi dari
penderita) biasanya berkurang setelah 2-3 minggu bila tetap diberikan
dengan dosis yang sama.
Pada keadaan Overdosis/Intoksikasi Trisiklik dapat timbul "Atropine
Toxic Syndrome" dengan gejala eksitasi SSP, hipertensi, hiperpireksia,
konvulsi, toxic confusional state (confusion, delirium, disorientation).
Tindakan untuk keadaan tersebut :
1. gastric lavage
2. diazepam 10 mg (im) untuk mengatasi konvulsi
3. prostigmine 0,5- 1,0 mg (im) untuk mengatasi efek anti-kolinergik
(dapat diulangi setiap 30- 45 menit sampai gejala mereda)
4. monitoring EKG untuk deteksi kelainan jantung.
Kematian dapat terjadi ole karena Cardiac Arrest. Lethal Dose
Trisiklik sama dengan sekitar 10 kali therapeutic dose, maka dari itu tidak
diberikan obat dalam jumlah besar kepada penderita depresi (tidak lebih
dari dosis seminggu), dimana pasien seringkali sudah ada pikiran untuk
bunuh diri. Obat anti-depresi golongan SSRI relatif paling aman pada
overdosis.

2. Anti-Cemas17
Obat anti-cemas atau dapat disebut juga dengan Psycholeptics, Minor
Framouillizer, Anxiolytics, Antianxiety Drugs, dan Ansiolitica. Pilihan
obat yang dapat kita berikan:
No Nama Nama Dagang Sediaan Dosis Anjuran
. Generik
1. Diazepam Diazepam Tab. 2-5 mg Oral = 2,5-40
(Indofarma) mg/h
Ampul 10 Injeksi = 5-10
mg/2cc mg(im/iv), maks.
30 mg/hari
Valisanbe Tab. 2-5 mg
(Sanbe)
Ampul 10
mg/2cc
Stesolid Tab. 2-5 mg
(Actavis)
Ampul 10
mg/2cc
Rectal 5 Rectal tube =
Tube mg/2,5cc Anak<10 kg/bb
10 = 5 mg
mg/2,5cc Anak>10 kg/bb
= 10 mg
Valdimex Tab. 5 mg
(Mersifarma)
Ampul 10
mg/2cc
Trazep Rectal 5
(Fahrenheit) Tube mg/2,5cc
Valium Tab. 2-5 mg
(Roche)
Ampul 10
mg/2cc
2. Lorazepam Renaquil Tab. 1 mg 2-6mg/h
(Fahrenheit)
Merlopam Tab. 0,5-2 mg
(Mersifarma)
3. Clobazam Frisium Tab. 10 mg 20-30 mg/h
(Sanofi Aventis)
Clobazam Ogb Tab. 10 mg
Dexa
(Dexa Medica)
Anxibloc Tab. 10 mg
(Dexa Medica)
Clofritis Tab. 10 mg
(Mersifarma)
Proclozam Tab. 10 mg
(Meprofarm)
4. Bromazepam Lexzepam-3 Tab. 3 mg 3-18 mg/h
(Mersifarma)
5. Alprazolam Alprazolam Dm Tab. 0,5-1 mg 0,25-4 mg/h
(Dexa Medica)
Actazolam Tab. 0,5-1 mg
(Actavis)
Apazol Tab. 0,5-1 mg
(Dexa Medic)
Alprazolam Tab. 0,5-1 mg
Ogm Mersi
(Mersifarma)
Xanax Tab.XR 0,5-1 mg 1 x 0,5-1 mg/h
(Plizer-
Pharmacia)
Tab. 0,25-0,5- 3 x 0,25-0,5
1 mg mg/h
Feprax Tab. 0,25-0,5-
(Ferron) 1 mg
Atarax Tab. 0,5 mg
(Mersilarma)
Alviz Tab. 0,5-1 mg
(Pharos)
Zyprax Cap. 0,25-0,5-
(Kalbe Farma) 1 mg
Zolastin Tab. 0,5-1 mg
(Gracia
Pharmindo)
Frixitas Tab. 0,25-0,5-
(Novell Pharma) 1 mg
6. Sulpiride Dogmatil Cap. 50 2-3 x 50-100
(Soho) mg/h
7. Buspirone Xiety Tab 10 10-60 mg/h
(Lapi)
Penggolongan : 1. Benzodiazepine
Diazepam, Chlordiazepoxide, Lorazepam, Clobazam,
Bromazepam, Alorazolam.
2. Non-Benzodiazepine
Sulpiride, Buspirone.
Indikasi penggunaan :
Gejala Sasaran (target syndrome) : Sindrom Ansietas
Diagnostik Sindrom Ansietas :
Adanya perasaan cemas atau khawatir yang tidak realistik terhadap 2 atau lebih
hal yang dianggap sebagai ancaman, perasaan ini menyebabkan individu tidak
mampu istirahat dengan tenang (inability to relax). Hendaya dalam fungsi
kehidupan sehari-hari, bermanifestasi dalam gejala penurunan kemampuan
bekerja, hubungan sosial dan melakukan kegiatan rutin.
Terdapat paling sedikit 6 dari 18 gejala-gejala berikut :
Ketegangan motorik 1. Kedutan otot atau rasa gemetar
2. Otot tegang/kaku/pegal linu
3. Tidak bisa diam
4. Mudah menjadi lelah
Hiperaktivitas otonomik 5. Nafas pendek/terasa berat
6. Jantung berdebar-debar
7. Telapak tangan basah-dingin
8. Mulut kering
9. Kepala pusing/rasa melayang
10 Mual, mencret, perut tak enak
.
11 Muka panas/badan menggigil
.
12 Buang air kecil lebih sering
.
13 Sukar menelan/rasa tersumbat
.
Kewaspadaan berlebihan dan 14 Perasaan jadi peka/mudah ngilu
Penangkapan berkurang .
15 Mudah terkejut/kaget
.
16 Sulit konsentrasi pikiran
.
17 Suka tidur
.
18 Mudah tersinggung
.

Efek samping Obat Anti-Ansietas dapat berupa :


1. Sedasi (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja psikomotor
menurun, kemampuan kognitif melemah).
2. Relaksasi otot (rasa lemas, cepat lelah, dil).
Potensi menimbulkan ketergantungan lebih rendah dari narkotika, oleh karena
"at therapeutic dose they have low re-inforcing properties". Potensi menimbulkan
ketergantungan obat disebabkan oleh efek obat yang masih dapat dipertahankan
setelah dosis terakhir, berlangsung sangat singkat.
Penghentian obat secara mendadak, akan menimbulkan gejala putus obat
(rebound phenomena) yang ditandai dengan pasien menjadi irritable, bingung.
gelisah, insomnia, tremor, palpitas, keringat dingin, konvulsi, dll. Hal ini
berkaitan dengan penurunan kadar Benzodiazepine dalam plasma. Untuk obat
Benzodiazepine dengan waktu paruh pendek lebih cepat dan hebat gejala putus
obatnya dibandingkan dengan obat Benzodiazepine dengan waktu paruh panjang
(misalnya, Clobazam sangat minimal dalam menimbulkan gejala putus obat).
Ketergantungan relatif lebih sering terjadi pada individu dengan riwayat
peminum alkohol (alcoholics), penyalahguna obat (drug-abus-ers), atau "unstable
personalities". Ole karena itu obat Benzodiazepine tidak dianjurkan diberikan
pada pasien-pasien tersebut. Untuk mengurangi risiko ketergantungan obat,
maksimum lama pemberian = 3 bulan (100 hari) dalam rentang dosis terapeutik.
b. Aspek Psikiatrik5
Terapi harus tetap fokus pada pengertian terhadap motivasi dan fungsi
mekanisme yang terganggu serta membantu pasien mengenali penyakit dan
dampak dari pola adaptif terhadap penyakitnya tersebut. Pasien dengan
gangguan psikosomatis biasanya lebih enggan berurusan dengan suasana
emosinya dibanding dengan gangguan psikiatrik lainnya. Mereka lebih suka
secara pasif “menyerahkan” organnya yang sakit untuk diobati dan
disembuhkan oleh dokternya, sambil menyangkal stres dan konfliknya. Hal ini
dapat mengalihkan perhatian dokter yang tidak jeli mengamati dan memahami
secara psikodinamik mengapa pasien tersebut mengalami gangguannya.
Psikoterapi berjalan lebih lambat dan hati-hati dibanding dengan gangguan
psikiatrik lainnya, transferensi positif biasanya terjadi secara bertahap. Dalam
perjalanannya dilakukan eksplorasi interpretasi sambil tetap memertahankan
hubungan relasi dokter - pasien yang adekuat.
Penderita gangguan psikosomatik biasanya adalah orang-orang yang
dependent. Karakteristik tersebut dapat dipakai secara suportif dan interaktif
didalam tatalaksana, pada saat krusial. Terapis 'mendorong' atau memberikan
kesempatan pasien mengekspresikan secara bebas dan sesuai akan sikap
hostilitas yang timbul.
Resistensi sering terjadi pada saat awal dan selama terapi, sehingga sering
terjadi penghentian terapi karena alasan yang dangkal. Dalam melakukan
interpretasi, terapis harus memperhatikan situasi kchidupan yang dihadapi
pasien saat in dan reaksi pasien terhadap terapis dan terapinya. Evaluasi yang
luas dengan penekanan terhadap karakteristik resulitan yang dihadapi perlu
dilakukan. Misalnya, pola reaksinya terhadap diri sendiri, seperti rasa bersalah,
rasa rendah diri, serta reaksi terhadap lingkungan, semisal sikap dependen atau
kebutuhan akan perhatian. Terapis juga diharapkan melakukan analisa terhadap
kecemasan pasien dan usahanya dalam menghadapi situasi yang mencemaskan,
seperti kebutuhan perlindungan menyeluruh, tidak bisa bersikap tegas dan
penekanan terhadap impuls yang terlarang.
Karena pasien biasanya kurang motivasi dalam mengikuti program terapi,
diperlukan teknik terapi yang mudah disesuaikan, dan dilakukan perubahan-
perubahan dalam pendekatan terapi. Penderita psikosomatik sering terlibat
dalam pola situasi stres yang berulang dan tidak menyadarinya. Membantu
pasien mengenali dan mengarahkan kepola yang lebih sehat akan sangat
bermanfaat.
Selama perjalanan psikoterapi, pasien dengan gangguan psikosomatik akan
memerlukan terapi medis atau tindakan pembedahan. Dengan sikap kooperatif
terhadap dokter bedah atau dokter lain yang mengobatinya, terapis diharapkan
tetap mempertahankan kontak dengan pasien, baik secara langsung maupun
melalui telepon. Hal ini merupakan dukungan emosi yang baik. Bila pasien
dirawat, terapis membantu staf medis mengerti dan toleran terhadap perilaku
pasien yang bisa bersifat provokatif. Kalau perlu dilakukan persiapan, sehingga
pasen tidak merasa dan menilai bahwa “dunia” bersikap hostil terhadapnya.
c. Aspek Medis5
Sikap yang diharapkan adalah tetap pada jalur manajemen medis yang yang
sudah ditetapkan. Secara umum, perlu waktu sebanyak mungkin bersama
pasien, mendengarkan dengan simpatik keluhan-keluhan pasien serta bersikap
suportif dan reassuring. Sebelum melakukan tindakan, diharapkan menjelaskan
dengan baik prosedur dan hasil yang diharapkan. Hal ini akan meredakan
kecemasan pasien, membuatnya lebih kooperatif dan mempermudah jalannya
terapi.
Kekambuhan bisa saja terjadi, baik penyakitnya ataupun pola perilaku yang
salah. Kadang-kadang hal ini perlu terjadi sebagai bagian dari proses
perubahan. Terapis harus menjelaskan bahwa itu bukan merupakan suatu
kegagalan dan memberi dukungan kepada pasien untuk terus melanjutkan
proses terapi.
d. Perubahan Perilaku5
Peran utama psikiater dan dokter yang lain dalam melakukan terapi kepada
pasien dengan gangguan psikosomatik adalah membawa pasien untuk
mengubah perilaku sehingga terjadi proses penyembuhan yang optimal. Hal ini
akan memerlukan perubahan gaya hidup secara umum atau perubahan perilaku
yang lebih spesifik. Terjadinya perubahan perilaku ini sangat bergantung pada
kualitas hubungan dokter-pasien.
Idealnya, secara bersama dokter dan pasien bekerja sama dan menentukan
jenis sikap terapi serta melakukan negosiasi terhadap pilihan terapi untuk
mencapai hasil yang sama-sama disetujui.
Beberapa strategi negosiasi yang digambarkan oleh Aaron Lazare:
1. edukasi langsung
2. intervensi pihak ketiga
3. eksplorasi pilihan
4. menyediakan contoh atau percobaan terapi
5. konfrontasi yang empatik
6. menentukan standar
e. Terapi Lainnya5
1. psikoterapi kelompok
2. terapi keluarga
3. teknik relaksasi
4. hipnosis
5. biofeedback
Cognitive Behavioral Therapy (CBT) merupakan pendekatan terapi berbasis
keterampilan yang berfokus pada memodifikasi perilaku dan mengubah pola pikir
disfungsional untuk memengaruhi suasana hati dan gejala fisiologis. Teknik yang
dapat digunakan:19
1. Psikoedukasi
Psikoedukasi adalah komponen kunci dari perawatan dan melibatkan
mendidik pasien tentang penyakitnya, menghilangkan mitos tentang
penyakitnya, respons stres fisiologis, dan alasan untuk perawatan perilaku.
Pendidikan ini meningkatkan kemungkinan pasien untuk melakukan
pengobatan CBT dan dapat meningkatkan wawasan pasien tentang
kemungkinan peran stres atau faktor gaya hidup pada gejala. Pasien
biasanya menghargai edukasi dan merasa terbantu untuk memahami
mengapa perawatan medis standar tidak efektif untuk mengobati gejala
secara memadai dan mengapa pendekatan perawatan perilaku diperlukan.
Bagian dari perawatannya ini hanya berfokus pada mengungkapkan kepada
pasien pentingnya mengikuti prosedur penghilang stres dan latihan
relaksasi.
2. Strategi relaksasi
Strategi relaksasi biasanya diperkenalkan di salah satu dari beberapa sesi
pertama dan ditujukan untuk mengajarkan keterampilan pasien untuk
mengatur gairah otonom. Teknik relaksasi yang paling umum digunakan
adalah pernapasan diafragma. Edukasi yang cukup diperlukan untuk
menjelaskan alasan untuk teknik ini (misalnya, pernapasan diafragma
melibatkan sistem saraf parasimpatis, yang dapat menurunkan ambang nyeri
dan menormalkan motilitas usus), jika tidak, pasien mungkin meremehkan
latihan pernapasan yang terlalu sederhana. Latihan relaksasi juga dapat
digunakan untuk meningkatkan kesadaran pasien akan ketegangan fisik
yang mungkin berkontribusi terhadap gejala.
3. Restrukturisasi kognitif
Ketrampilan restrukturisasi kognitif diperlukan untuk mengatasi
kecemasan dan kewaspadaan yang berlebihan terkait gejala. Edukasi
diberikan untuk meningkatkan kesadaran pasien tentang hubungan antara
pola pikir yang menyimpang, stres, dan gejala yang dialaminya.

Hubungan antara kognisi (pikiran), perasaan, dan perilaku.19

Berawal dari hubungan di atas, lebih khusus lagi pasien memahami bagaimana
pikiran yang tidak membantu berdampak negatif pada perasaan dan perasaan
negatif ini dapat memengaruhi perilaku. Dengan terlibat dalam perilaku yang
tidak membantu atau maladaptif, kita memperkuat pikiran kita yang tidak
membantu. Terapis memberikan contoh gejala dan menjelaskan bagaimana
penilaian kognitif ini berkontribusi terhadap stres dan eksaserbasi gejala
(misalnya, ketakutan buang angin di sebuah pesta dapat meningkatkan kecemasan,
yang menghasilkan hyperarousal dari usus dan kemungkinan peningkatan gejala
gastrointestinal). Pasien menggunakan lembar kerja untuk menuliskan pemikiran
yang terkait dengan gejala dan peristiwa yang membuat stres dan terapis
menyoroti pola gejala dan kemungkinan terbesar yang menjadi penyebab kondisi
pasien. Teknik restrukturisasi kognitif kemudian digunakan untuk membantu
pasien dalam menghasilkan perspektif yang lebih baik dan seimbang mengenai
stres dan gejala. Pasien terus melatih keterampilan ini menggunakan catatan
pikiran sampai akhirnya gaya kognitif baru terbentuk dan terintegrasi ke dalam
kehidupan sehari-hari. Setiap sesi didedikasikan untuk mengidentifikasi,
menganalisis, dan mengubah pikiran, perasaan, dan perilaku negatif dan terkadang
terdistorsi yang disebabkan oleh, dan mengaktifkan gejala yang dialami pasien.
Pasien diajari untuk menemukan dan mempraktikkan cara yang lebih efektif untuk
mengatasi gejalanya, dengan tujuan akhir untuk mengurangi gejala dan akhirnya
meningkatkan kualitas kehidupan mereka.19

Keterampilan pemecahan masalah

Teknik pemecahan masalah atau pelatihan keterampilan coping disertakan


untuk mendorong coping yang lebih fleksibel dan penggunaan strategi coping
yang berfokus pada emosi. Pasien dibantu untuk mengidentifikasi penyebab stres
yang tidak dapat dikendalikan dan berlatih menerapkan strategi coping yang
berfokus pada emosi (misalnya, penerimaan, pernapasan diafragma,
restrukturisasi kognitif, olahraga, dukungan sosial). 19

Teknik pemaparan

Perilaku menghindari dan “mencari aman” merupakan hal umum di antara


pasien dengan gejala somatik serta mempertahankan kecemasan terkait gejala
yang berkontribusi terhadap keparahan gejala. Misalnya, banyak pasien
menghindari situasi di mana mereka tidak memiliki akses mudah ke kamar kecil,
membatasi makan mereka dalam upaya untuk mengontrol gejala, atau
mengandalkan obat-obatan yang tidak perlu saat bepergian. Perilaku ini dapat
diatasi melalui penggunaan teknik terapi pemaparan atau eksperimen perilaku.
Paparan melibatkan menghadapi situasi pasien menghindari karena takut gejala
(misalnya, perjalanan panjang, makan di restoran). Teknik ini dilakukan secara
bertahap, saat pasien mempraktikkan latihan pemaparan ini diharapkan perilaku
menghindar menurun dan penilaian gejala sebagai berbahaya atau mengancam
berkurang, sehingga mengarah pada peningkatan efikasi diri. Eksperimen perilaku
juga digunakan untuk menghilangkan perasaan cemas.19

2.9 Pencegahan

Strategi untuk mengurangi dan mengelola stres dapat membantu individu


mencegah atau mengurangi gejala somatik. Contohnya meliputi:4

1. Bersikaplah realistis tentang apa yang bisa dan tidak bisa dikendalikan.
2. Berolahraga secara teratur.
3. Tidur yang cukup.
4. Batasi alkohol dan hindari merokok.
5. Jaga pola makan dan berat badan yang sehat.
6. Bermeditasi atau berlatih relaksasi otot progresif.
7. Mencari dukungan dari orang yang dicintai.
8. Tetapkan batasan untuk mengurangi tekanan pada diri sendiri.

2.10 Prognosis

Banyak orang belajar mengendalikan dan mengurangi gejala nyeri somatik dari
waktu ke waktu. Namun, bahkan dengan pengobatan, gejala psikosomatis dapat
datang dan pergi sepanjang hidup.4
BAB III
KESIMPULAN
Gangguan psikosomatik merupakan gangguan yang melibatkan antara pikiran
dan tubuh. Hal ini berarti bahwa adanya faktor psikologis yang mempengaruhi
kondisi medis. Komponen emosional memainkan peranan penting pada gangguan
psikosomatik. Gangguan psikosomatik dapat melibatkan berbagai sistem organ di
dalam tubuh sehingga memerlukan penanganan secara terintegrasi dari ahli medis
dan ahli psikiatri. Tujuan terapi haruslah mengerti motivasi dan mekanisme
gangguan fungsi dan untuk membantu pasien mengerti sifat penyakitnya. Tilikan
tersebut harus menghasilkan pola perilaku yang berubah dan lebih sehat.
Daftar Pustaka
1. Nuryati, Kresnowati L. Buku Bahan Ajar Rekam Medis dan. Informasi
Kesehatan (RMIK) Klasifikasi dan Kodefikasi Penyakit dan Masalah Terkait
III. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2018.
2. Pomerantz, A. M. E., et al. (2013). Psikologi Klinis. (third ed.). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
3. SP RA. Faktor-Faktor Penyebab Psikosomatis Pada Orang Dengan
Kecenderungan Psikosomatis. Psikoborneo J Ilm Psikol [Internet]. 2018 Sep
7 [cited 2023 Mar 13];6(3). Available from:
https://e-journals.unmul.ac.id/index.php/psikoneo/article/view/4659
4. Psychosomatic Disorder: What Is It, Symptoms, Diagnosis & Treatment
[Internet]. [cited 2023 Mar 9]. Available from:
https://my.clevelandclinic.org/health/diseases/21521-psychosomatic-disorder
5. Elvira SD, Gitayanti H. Buku Ajar Psikiatri Edisi ke Tiga. Jakarta; Balai
Penerbitan FKUI. 2018.
6. Departemen Kesehatan RI, 1983. Pedoman Rehabilitasi Pasien Mental
Rumah Sakit Jiwa di Indonesia. Ditkes. Yankes Depkes RI. Jakarta.
7. Colak, T. . Somatic Expression of Psychological Problems (Somatization):
Examination with Structural Equation Model. International Journal of
Psychology and Educational Studies. vol. 2. 2014. p. 8-14.
8. Maramis, W.F. Gangguan Psikosomatik. Dalam Catatan Ilmu Kedokteran
Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press.
9. Elvira, Sylvia D., Hadisukanto, Gitayanti. Faktor Psikologik Yang
Mempengaruhi Kondisi Medis (d/h Gangguan Psikosomatik). Dalam Buku
Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2010.
10. Mudjaddid, E. Dispepsia Fungsional. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006. p906
11. Hadi, Sujeno. Psikosomatik Pada Saluran Cerna Bagian Bawah. Dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI.
2006. p907-9
12. Halim, S. Budi, dkk. Aspek Psikosomatik Hipertensi. Dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006. p913-4
13. Putranto, Rudi. Mudjaddid, E. shatri, Hamzah. Sindrom Hiperventilasi.
Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat
Penerbitan FKUI. 2006. p920-1
14. Mudjaddid, E. Aspek Psikosomatik pada Asma Brokhial. Dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006.
p922-3
15. Djokomoeljanto, R. Psikosomatik Pada Kelainan Tirod. Dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006.
p937-8
16. Mudjaddid, E. Putranto, Rudi. Aspek Pikosomatik Pasien Diabetes Melitus.
Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat
Penerbitan FKUI. 2006. p939-40
17. Sukatman, D. Budihalim, S. Putranto, Rudi. Gangguan Psikosomatik Pada
Penyakit Reumatik dan Sistem Muskuloskeletal. Dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006. p924-5
18. Maslim R. Paduan praktis penggunaan klinis obat psikotropik. Jakarta;
Bagian ilmu kedokteran jiwa FK Unika Atma Jaya. 2014.
19. Agarwal V, Nischal A, Praharaj SK, Menon V, Kar SK. Clinical Practice
Guideline: Psychotherapies for Somatoform Disorders. Indian J Psychiatry
[Internet]. 2020 Jan 1 [cited 2023 Mar 13];62(Suppl 2):S263. Available from:
/pmc/articles/PMC7001354/

Anda mungkin juga menyukai