Anda di halaman 1dari 49

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dispepsia berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys- (buruk) dan –peptein
(pencernaan).1 Dispepsia didefinisikan sebagai keluhan atau kumpulan gejala
(sindroma) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual,
muntah, kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh, sendawa.2 Sindroma atau
keluhan ini lebih dikenal sebagai penyakit maag.1 Sindroma dispepsia terbagi
menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok penyakit organik (seperti tukak peptik,
gastritis, batu kandung empedu, dll) dan kelompok fungsional dimana sarana
penunjang diagnostik tidak dapat memperlihatkan adanya gangguan patologik
struktural atau biokimiawi.2
Dispepsia sangat umum terjadi, dengan prevalensi dispepsia didunia
ditemukan hampir 20%.3 Pada praktik dokter sehari-hari, kasus dispepsia dapat
ditemukan di praktik umum sekitar 30% dan pada praktik gastroenterologist
sebanyak 60%. Belum ada data mengenai prevalensi dispepsia di Indonesia. 2 Data
dari Profil Kesehatan Indonesia tahun 2006, dispepsia menduduki peringkat ke-10
dari penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit Indonesia pada tahun
2006.4 Data dari Dinas Kesehatan Kota Padang tahun 2015 berdasarkan seluruh
laporan puskesmas yang ada di kota Padang, sindroma dispepsia tidak termasuk
ke dalam 10 penyakit terbanyak. Hal ini disebabkan karena di Puskesmas
umumnya menggunakan istilah gastritis.5Gastritis merupakan inflamasi lapisan
mukosa dan sub mukosa lambung.6 Gastritis diduga menjadi salah faktor
penyebab dispepsia.7 Gejala gastritis mirip dengan sindroma dispepsia. 8 Insiden
gastritis di kota Padang mencapai 13.453 kasus baru dan 11.882 kasus lama.5
Patofisiologi dispepsia hingga saat ini belum pasti diketahui, namun sudah
banyak ahli mengemukakan hipotesis mengenai patofisiologi dispepsia, salah
satunya yaitu tentang adanya gangguan psikologik atau psikiatrik dari pasien. 2
Hubungan antara gangguan psikologi dengan gangguan saluran cerna diyakini
melalui jalur Hipotalamik-Adrenal-Pituitari (HPA axis). Saraf hypophysiotropic
yang berada di medial Paraventrikular Nukleus (PVN) menyekresikan
Coticotropin-Releasing Factor (CRF).9 CRF menstimulasi kelenjar pituitari

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 1


anterior untuk memproduksi dan menyekresikan Adrenocotropic Hormone
(ACTH), yang selanjutnya ACTH akan menginduksi sintesis glukokortikoid. 10
Glukokortikoid utama di tubuh manusia yaitu hormon stres kortisol.Hormon
kortisol ini akan merangsang produksi asam lambung dan bisa menghambat
prostaglandin yang bersifat protektif pada lambung. Jika prostaglandin berkurang
akan memudahkan terjadinya kerusakan pada lambung sehingga timbul keluhan
sindroma dispepsia.11
Penelitian oleh Rahmaika (2014) mendapatkan bahwa ada hubungan
antara dispepsia dengan stres.12 Penelitian lain pada tahun 2015 oleh Lee, dkk
didapatkan stres bisa menjadi faktor predisposisi terjadinya dispepsia fungsional. 13
Selain itu, Syeli (2016) juga meneliti mengenai hubungan antara tingkat stres
dengan derajat dispepsia dan hasilnya adalah terdapat hubungan antara kedua
variabel tersebut.14 Stres merupakan suatu tekanan atau sesuatu yang terasa
menekan dalam diri individu.15 Stres psikologis pada seseorang terjadi karena
tuntunan kehidupan yang berasal dari lingkungan melebihi kapasitas adaptasi
yang dimilikinya.16 Suatu keadaan yang menimbulkan stres disebut stresor.
Stresor psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang
menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang, sehingga orang itu terpaksa
melakukan penyesuaian diri (adaptasi) untuk menanggulangi stresor (tekanan
mental) yang timbul. Pada umumnya jenis stresor psikososial dapat digolongkan
menjadi problem orang tua, hubungan interpersonal, pekerjaan, lingkungan hidup,
keuangan, hukum, perkembangan penyakit fisik atau cedera, faktor keluarga, dan
lainnya.17 Sepuluh pengalaman atau kejadian hidup dengan skor tertinggi yang
akan menunjukkan gejala-gejala stres secara berurutan menurut skala Holmes
yaitu kematian suami/istri, kematian keluarga dekat, perkawinan, kehilangan
jabatan, pensiunan atau pengasingan diri, kehamilan istri, kesulitan seks, tambah
anggota baru, kematian teman dekat, dan konflik suami istri. 18 Sali, dkk (2013)
menemukan bahwa stresor berupa kematian orangtua, pasangan, atau saudara
merupakan stresor yang paling berpengaruh terhadap timbulnya stres.19
Stresor kesehatan berupa trauma dan riwayat penyakit gangguan lambung
lainnya memiliki hubungan dengan terjadinya dispepsia.8,20 Selain itu, Kim, dkk
(2013) melaporkan bahwa penderita dispepsia mengalami kualitas tidur yang

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 2


rendah akibat dari shift kerja bergilir yang merupakan salah satu contoh dari
stresor pekerjaan.21 Banyak penelitian melaporkan kejadian dispepsia tinggi pada
ibu rumah tangga akibat pekerjaan yang monoton yang bisa menyebabkan stres.
Penelitian lain mengenai stresor ekonomi atau keuangan contohnya seperti
pendapatan yang rendah memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian
dispepsia.8
Disimpulkan dari teori dan hasil penelitian yang telah dijabarkan seperti di
atas, bahwa stres berkaitan erat dengan terjadinya dispepsia. Stres terjadi karena
ketidakmampuan seseorang beradaptasi dengan stresor. Tingginya tingkat stresor
maka semakin tinggi pula tingkat stres.22 Tingkat stres memiliki hubungan dengan
derajat dispepsia, semakin tinggi tingkat stres semakin tinggi pula derajat
dispepsia.14 Selama ini, stresor yang dialami oleh penderita dispepsia tidak
menjadi perhatian oleh dokter, sementara penanganan stresor menjadi salah satu
kunci dalam mengatasi keluhan pada penderita dispepsia. Sebab itu, peneliti ingin
mengetahui hubungan antara jenis stresor psikososial dengan derajat dispepsia,
sehingga bisa menjadi pedoman untuk menangani stresor yang menjadi pemicu
stres pada penderita dispepsia.
Saat ini merupakan era JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) yang
mengharuskan pengelolaan penderita dispepsia dilakukan di Fasilitas Tingkat
Pertama (FKTP) yaitu Puskesmas. Menurut data Dinas Kesehatan Kota Padang
tahun 2015 angka tertinggi insiden gastritis terjadi di Puskesmas Andalas yaitu
3.091 kasus.14 Maka, penelitian ini akan dilaksanakan di Puskesmas Andalas
Padang.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah terdapat hubungan jenis stresor psikososial dengan derajat dipepsia?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan jenis stresor psikososial dengan derajat dispepsia
pada pasien dispepsia di Puskesmas Andalas Padang.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui jenis stresor psikososial pada pasien dispepsia yang
mengalami stres di Puskesmas Andalas Padang.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 3


b. Mengetahui derajat dispepsia pada pasien dispepsia yang mengalami
stres di Puskesmas Andalas Padang.
c. Mengetahui hubungan jenis stresor psikososial dengan derajat
dispepsia pada pasien dispepsia yang mengalami stres di Puskesmas
Andalas Padang.
d. Mengetahui jenis stresor psikososial yang paling dominan pada derajat
dispepsia pada pasien dispepsia yang mengalami stres di Puskesmas
Andalas
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Instasi dan Tenaga Kesehatan
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan data tentang hubungan jenis
stresor psikososial dengan derajat dispepsia.
1.4.2 Bagi Bidang Penelitian
Memberikan informasi bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian lebih
lanjut yang berhubungan dengan stresor psikososial dan dispepsia
1.4.3 Bagi Bidang Pendidikan
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana untuk melatih berpikir
secara logis dan sistemis serta mampu menyelenggarakan suatu penelitian
berdasarkan metode yang baik dan benar. Penelitian ini juga dapat
digunakan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 4


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Stresor Psikososial
2.1.1.1 Definisi
Stresor psikososial adalah setiap situasi sosial, yaitu peristiwa yang
menyebabkan perubahan dalam kehidupan seorang, sehingga orang tersebut harus
mengadakan adaptasi, berusaha menanggulangi stresor yang timbul. 23 Pemicu
stres psikososial atau disebut stresor psikososial merupakan peristiwa-peristiwa
atau psikologis fisik yang membuat seorang tertekan.24
2.1.1.2 Jenis Stresor Psikososial
Jenis stresor psikososial yang memicu stres di kehidupan sehari-hari
sangat banyak dan beragam pada tiap individu. Stresor psikososial diantaranya
yaitu pekerjaan, hubungan, situasi keuangan, anak-anak, kelainan psikologis,
rendahnya rasa percaya diri, kondisi dunia (situasi politik internasional, masalah-
masalah di lingkungan tempat tinggal, dll).24 Jenis stresor psikososial lainnya
yaitu pernikahan yang tidak bahagia, pekerjaan, keluarga, gangguan fisik.23
Beberapa contoh jenis stresor psikososial yaitu:
a. Perkawinan
Perkawinan menurut UU Nomor 1 tahun 1974 adalah bukan hanya
suatu perbuatan perdata saja, akan tetapi juga merupakan suatu perbuatan
keagaaman, karena sah atau tidaknya suatu perkawinan tolak ukur
sepenuhnya ada pada hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang
dianutnya.25 Masalah perkawinan dapat berupa pertengkaran, perpisahan,
perceraian, kematian salah satu pasangan, ketidaksetiaan, dsb.18 Sumber
konflik perkawinan yang saling berpengaruh satu sama lain secara
dinamis, yaitu perbedaan yang tidak terelakkan, perbedaan harapan,
kepekaan, keintiman dalam perkawinan, aspek kumulatif dalam
perkawinan dan perubahan dalam perkawinan.26 Selain itu, tidak
diamalkannya kehidupan religius di rumah tangga dapat menyebakan
konflik dalam perkawinan.18 Keintiman perkawinan maksudnya adalah
kecendrungan individu untuk menunjukkan perilaku yang terbaik di

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 5


lingkungan umum, tetapi ketika berada di dalam lingkungan keluarga akan
menampilkan diri sebagaimana adanya.27 Pada lima tahun awal kehidupan
perkawinan, masalah yang sering ditemukan adalah mengenai pendapatan
atau ekonomi.23 Aspek kumulatif dari kehidupan perkawinan akan
bertumpu pada satu titik yaitu stres.27
b. Pekerjaan
Masalah pekerjaan merupakan sumber stres kedua setelah perkawinan.
Masalah pekerjaan misalnya pekerjaan terlalu banyak, pekerjaan tidak
cocok, mutasi, jabatan, kenaikan pangkat, pensiun, kehilangan pekerjaan,
dsb.18
Stres pada orang yang memiliki perkerjaan disebut stres kerja.
Penyebab stres yang penting dalam pekerjaan yaitu waktu yang dihabiskan
ditempat kerja atau sekitarnya.28 Pernyataan ini diperkuat oleh penelitian
yang dilakukan Yolanda dan Tualeka, faktor terkuat yang membuat stres
dalam masalah pekerjaan yaitu shift kerja (waktu kerja).29 Penyebab
lainnya yaitu:28
1. Organisasional
a) harapan dan tenggang waktu yang tidak logis
b) hubungan dengan majikan yang buruk
c) bertambahnya tanggung jawab tanpa pertambahan gaji
d) karier yang melelahkan
e) pekerja dikorbankan (penurunan laba yang didapat)
2. Individu
a) pertentangan antara karier dan tanggung jawab keluarga
b) ketidakpastian ekonomi
c) kejenuhan
d) kurangnya pengakuan dan penghargaan kerja
e) konflik dengan rekan kerja
3. Lingkungan
a) buruknya kondisi lingkungan tempat kerja (pencahayaan,
kebisingan, ventilasi, suhu,dll)
b) kekerasan di tempat kerja

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 6


c) diskriminasi ras
c. Keuangan atau ekonomi
Peran keuangan atau ekonomi dalam kehidupan manusia sangat
penting. Uang menjadi salah satu alat untuk bertahan hidup bagi manusia.
Sebab itulah, seseorang dapat menjadi stres apabila perekonomiannya
terganggu. Masalah keuangan yaitu misalnya pendapatan jauh lebih rendah
daripada pengeluaran, terlibat hutang, kebangkrutan usaha, soal warisan,
dsb.18 Permasalahan keuangan diciptakan oleh individu yang terlalu
banyak menghabiskan sumber daya finansial yang dimilikinya. 30 Dewasa
ini, masih banyak individu yang berprilaku konsumtif terhadap barang
yang diinginkannya bukan yang dibutuhkannya sehingga pengeluaran pun
lebih tinggi.
d. Kesehatan
Masalah kesehatan seperti penyakit fisik terutama yang kronis dan
atau cidera yang mengakibatkan invaliditas dapat menyebabkan stres pada
diri seseorang, sebagai contoh penyakit jantung, paru-paru, stroke, kanker,
pengerasan hati, HIV/AIDS, kecelakaan, dsb. Masalah kesehatan yang
dialami oleh individu ataupun keluarga bisa membuat stres, seperti
penyakit yang dialami oleh keluarga atau perubahan kesehatan seorang
anggota keluarga, penyakit atau trauma yang berat.18
e. Keluarga
Faktor keluarga misalnya disebabkan karena kondisi keluarga yang
tidak baik (yaitu sikap orang tua) seperti hubungan kedua orang tua yang
dingin atau penuh ketegangan, komunikasi antara orang tua dengan anak
yang tidak baik, orang tua yang keras atau otoriter, kedua orangtua
berpisah atau bercerai, salah satu orang tua menderita gangguan jiwa atau
kelainan kepribadian.18 Konflik lain dalam keluarga yaitu termasuk
didalamnya masalah perkawinan atau konflik suami istri, single parent,
broken home. Broken home dalam kamus Oxford diartikan sebagai
keluarga yang orangtuanya berpisah atau bercerai. Berbagai penelitian
mengenai dukungan keluarga terhadap tingkat stres individu didapatkan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 7


ada hubungan yang bermakna. Adanya dukungan keluarga yang baik,
maka bisa mengurangi tingkat stres.
f. Trauma
Pengalaman traumatis yang menimbulkan stres misalnya seseorang
mengalami bencana alam, kecelakaan transportasi, kebakaran, kerusuhan,
perperangan, kekerasan, penculikan, perampokan, perkosaan, kehamilan
diluar nikah, dsb.18 Berbagai kejadian ini dapat mengakibatkan seseorang
menderita Posttraumatic Stress Disorder (PTSD). PTSD ditandai dengan
sekumpulan gejala seperti gejala mengalami kembali, kenangan yang
menyedihkan, penghindaran terus menerus, dan waspada yang berlebihan
sebagai respon terhadap satu atau beberapa peristiwa.31
g. Perumahan
Masalah perumahan yang dapat menimbulkan stres yaitu tinggal di
ruang yang sempit, tata ruang yang tidak teratur, dan kesesakan sehingga
menyebabkan perasaan tidak nyaman.32 Selain itu, stresor perumahan
dapat berupa kehilangan rumah, perubahan pada tempat tinggal, serta
kesulitan dalam masalah tempat tinggal.33 Masalah di sekitar tempat
tinggal seperti lingkungan hidup yang buruk besar pengaruhnya bagi
kesehatan seseorang, misalnya seperti masalah sarana dan prasarana
pemukiman hendaknya memenuhi syarat kesehatan, polusi, serta masalah
suasana kehidupan yang bebas dari gangguan kriminalitas yaitu keamanan
dan ketertiban masyarakat.18
h. Hubungan Sosial
Hubungan sosial menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
merupakan hubungan seseorang dengan orang lain dalam pergaulan hidup
di tengah-tengah masyarakat. Hubungan sosial atau hubungan antar
sesama yang tidak baik merupakan sumber stres. Misalnya hubungan yang
tidak serasi, tidak baik atau buruk dengan kawan dekat atau kekasih, antara
sesama rekan, antara atasan dan bawahan, pengkhianatan. 18 Stresor yang
menjadi bagian dari hubungan sosial pada kuesioner Stressful Life Events
yaitu perubahan sosial yang besar, diskriminasi, insecurity atau perasaan
tidak aman, serta perhatian pada masa depan.19

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 8


2.1.1.3 Alat Ukur Stresor Psikososial
Alat ukur yang digunakan untuk melihat jenis stresor psikososial
adalah kuesioner Stressful Life Events (SLE). Pada penelitian ini, kuesioner SLE
yang akan digunakan adalah kuesioner yang sudah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia oleh ahli Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Gadjah Mada
dan sudah dilakukan uji validitas dan realibilitasnya pada sindroma metabolik.
Kuesioner ini terdiri dari 15 peristiwa hidup yang biasanya dapat membuat orang
tertekan atau dapat mengakibatkan stres dalam satu tahun terakhir. Jenis stresor
psikososial dikelompokkan menjadi 5 kelompok, yaitu: stresor keuangan, stresor
pekerjaan, stresor hubungan sosial, stresor kondisi kesehatan dan stresor
perumahan. Tidak mempunyai stresor psikososial apabila responden menjawab
tidak pernah terjadi (0) atau terjadi tetapi sama sekali tidak membuat stres (1),
mempunya stresor psikososial apabila responden menjawab terjadi dan sedikit
membuat stres (2), atau cukup membuat stres (3), atau sangat membuat stres (4).
Pada setiap jenis stresor psikososial, walaupun hanya ada 1 dari 3 item yang diisi
pada setiap jenis stresor dengan skor 2,3,4 sudah dikategorikan mempunyai jenis
stresor psikososial tersebut.33
Tabel 2.1 Kuesioner SLE33
Kelompok No. Peristiwa Hidup 0 1 2 3 4
Keuangan 1. Kesulitan keuangan yang masih
berlangsung sampai saat ini
2. Kesulitan keuangan yang berat atau
kerugian dalam usaha/bisnis
3. Terancam mengalami pemutusan
hubungan kerja (PHK), menganggur
atau bangkrut dalam usaha
perseorangan
Pekerjaan 4. Kelebihan beban kerja yang terus
menerus
5. Bermasalah dengan rekan kerja
6. Memulai pekerjaan baru
Hubungan 7 Memulai kesulitan dalam menjalin
sosial hubungan dengan sesesorang
8. Bercerai atau terpisah dari
suami/istri/ pasangan hidup

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 9


9. Kematian pasangan
hidup/suami/istri/teman dekat
Kesehatan 10. Penyakit atau trauma yang berat
11. Keprihatinan atas kesehatan
anggota keluarga atau teman dekat
12. Keprihatinan atas kemampuan
sendiri atau anak dalam mengatasi
stres
Perumahan 13. Kehilangan rumah
14. Perubahan tempat tinggal
15. Kesulitan dalam masalah tempat
tinggal

2.1.2 Hubungan Stresor Psikososial dengan Derajat Dispepsia


Stresor menjadi faktor presipitasi penting terjadinya penyakit mental dan
somatik. Psiko-neuro-imunologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara
faktor psikososial, sistem saraf dan kekebalan. Stresor psikososial ditangkap oleh
panca indera lalu diteruskan melalui saraf ke pusat emosi dari sistim limbik di
otak, kemudian diteruskan ke kelenjar adrenalin yang akan menghasilkan hormon
adrenalin akibat rangsangan tersebut. Produksi hormon adrenalin yang meningkat
akan mempengaruhi jantung (berdebar-debar), tekanan darah meninggi, asam
lambung meningkat, emosi tidak terkendali. Apabila individu menghadapi stresor
secara terus menerus, lama kelamaan ia akan mengalami stres, kekebalan atau
imunitas fisik dan mentalnya menurun dan akhirnya dapat jatuh sakit. Stimulus
atau rangsangan psikososial tadi pada mulanya merupakan gangguan fungsional
atau faal organ tubuh, namun bila berkelanjutan akan menyebabkan kelainan pada
organ tubuh itu sendiri.18
Stres merupakan salah satu patofisiologi dispepsia. Berbagai penelitian
membuktikan bahwa adanya keterkaitan antara stres dengan gangguan kesehatan
fisik. Gangguan psikis/konflik emosi yang menimbulkan gangguan psikosomatik
diikuti oleh perubahan-perubahan fisiologis dan biokimia pada tubuh seseorang. 34
Stres menyebabkan perubahan komposisi mikrobiota di saluran cerna dengan
menginduksi perubahan neurotransmiter dan level sitokin proinflamasi yang akan
mempengaruhi mikrobiota secara langsung ataupun tidak langsung. 35 Faktor psikis
dan emosi (seperti pada ansietas dan depresi) dapat mempengaruhi fungsi saluran

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 10


cerna dan mengakibatkan perubahan sekresi asam lambung, mempengaruhi
motilitas dan vaskularisasi mukosa lambung serta menurunkan ambang rasa
nyeri.7
Hubungan stres dengan gangguan saluran cerna bisa terjadi melalui dia
jalur yaitu:
1. Jalur Neurogen
Rangsangan konflik emosi pada korteks serebri mempengaruhi kerja
hipotalamus anterior dan selanjutnya ke nukleus vagus dan kemudian ke
lambung.36
Traktus gastrointestinal memiliki sistem persarafan sendiri yang disebut
sistem saraf enterik. Sistem saraf enterik adalah sistem saraf yang berperan
penting terhadap regulasi fisiologis saluran cerna termasuk lambung. Regulasi
yang dipengaruhi yaitu motilitas, sekresi cairan lambung, dan pelepasan berbagai
neuropeptida dan hormon.37 Sistem saraf enterik terutama terdiri atas dua pleksus,
yaitu pertama pleksus mienterikus atau pleksus Auerbach merupakan pleksus
bagian luar yang berada di antara lapisan otot longitudial dan sirkular. Kedua
yaitu pleksus submukosa atau pleksus Meissner yang terletak di dalam
submukosa.38
Pleksus mienterikus mengatur pergerakan gastrointestinal, dan pleksus
submukosa mengatur sekresi gastrointestinal dan aliran darah lokal. Terdapat
sera-serat simpatis dan parasimpatis ekstrinsik yang berhubungan ke sistem saraf
enterik. Sistem saraf enterik dapat bekerja tanpa bergantungan pada sistem saraf
ekstrinsik, namun perangsangan oleh sistem parasimpatis dan simpatis dapat
meningkatkan atau menghambat fungsi gastrointestinal.38 Saraf simpatis
mempertahankan respon tubuh saat keadaan tertekan atau reaksi “fight or flight”
dan saat latihan, sementara saraf parasimpatis bekerja pada saat tubuh dalam
keadaan istirahat.39

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 11


Gambar 2.1 Pengaturan persarafan traktus gastrointestinal38
Disregulasi dari aktivitas daraf sensorik, motorik intestinal dan aktivitas
susunan saraf pusat menimbulkan perubahan fungsional saluran cerna yang tejadi
melalui hubungan Brain-Gut-Axis, diantaranya meliputi perubahan dari motilitas
lambung dan usus, perubahan imunitas di mukosa dan hipersentivitas viseral.
Perubahan ini menimbulkan keluhan dan gejala dispepsia, khususnya pada
keluhan dispepsia fungsional seperti kembung, mual, muntah, cepat kenyang, rasa
tidak nyaman serta nyeri lambung yang berulang.40
2. Jalur Neurohormonal
Efek utama respon stres dilokalisasi di nukleus paraventrikular (PVN)
hipotalamus, lobus anterior kelenjar pituitari, dan kelenjar adrenal. Kumpulan
struktur ini sering disebut sebagai sumbu Hipotalamus-Hipofisis-Adrenal (HPA).
HPA axis merupakan sistem yang teraktivasi untuk memberikan energi kepada
tubuh dalam merespon stresor. PVN akan mensintesis dan mensekresikan faktor
pelepas kortikotropin (CRF) sebagai pengatur utama sumbu utama HPA. Sebagai
respons terhadap stres, CRF dilepaskan di hipofisis anterior dan menginduksi
pelepasan hormon adrenokortikotropik (ACTH) ke dalam sirkulasi sistemik.
Target utama sirkulasi ACTH adalah korteks adrenal yang akan merangsang
sintesis glukokortikoid. Glukokortikoid berfungsi mengatur perubahan fisiologis
tubuh sebagai respon stres.9
Korteks adrenal akan mengeluarkan kortisol dan hormon-hormon lainnya.
Hormon kortisol adalah hormon steroid utama yang mengatur proses metabolik,
kardiovaskular, kekebalan, dan perilaku. Hormon kortisol akan meningkat pada
keadaan stres emosional. Peningkatannya akan merangsang produksi asam
lambung dan dapat menghambat prostaglandin E yang bekerja sebagai
penghambat enzim pencernaan yang berperan sebagai proteksi lambung,
akibatnya mempengaruhi kerja fisiologis dari lambung.41,42
Stres psikologis yang berkepanjangan meningkatkan reaksi inflamasi dan
mencetuskan lepasnya mediator inflamasi serta meningkatkan aktivitas mikrobiota
usus yaitu H.pylori. Mikrobiota usus memainkan peranan penting terjadinya

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 12


gastrointestinal fungsional. Infeksi H.pylori diduga berhubungan dengan keluhan
dispepsia karena terdapat satu hormon peptida di saluran cerna yaitu ghlerin yang
merangsang motilitas lambung. Infeksi H.pylori dapat mengurangi sekresi ghlerin
dan berefek menurunkan motilitas dari lambung sehingga terjadi gejala sindroma
distres post prandial.43 Lepasnya mediator inflamasi serta meningkatkan aktivitas
H.pylori mempercepat reaksi inflamasi di mukosa gaster dan menyebabkan
rusaknya mukosa lambung secara makroskopik dan mikroskopik.44
Tidak semua orang yang mengalami stresor psikososial yang sama akan
mengalami stres.18 Tiap individu memiliki mekanisme koping yang berbeda.
Mekanisme koping merupakan suatu upaya yang dilakukan individu untuk
menangani masalah dan menyeimbangkan emosi dalam situasi yang penuh
tekanan.46 Mekanisme koping akan mempengaruhi tingkatan stres pada seseorang.
Penelitian oleh Suminarsis didapatkan bahwa tingkat stres yang tinggi cendrung
memiliki mekanisme koping mal adaptif.47
Rahmaika mendapatkan 92% pasien dispepsia mengalami stres di
Puskesmas Purwodinigratan Jebres Surakarta.12 Penelitian oleh Morita bahwa
tingkat stresor memiliki hubungan bermakna terhadap tingkat stres. Semakin
tinggi tingkat stresor maka semakin tinggi pula tingkat stres. 22 Uleng, dkk meneliti
hubungan stresor psikososial dengan gangguan psikis lainnya yaitu kecemasan
pada penderita dispepsia organik, didapatkan bahwa semakin banyak stresor yang
dialami oleh pasien akan semakin tinggi pula derajat kecemasan yang dialami. 48
Susanti, dkk mendapatkan bahwa tingkat stres yang tinggi akan semakin tinggi
pula risiko untuk mengalami dispepsia.8 Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
yang dilakukan Syeli didapatkan tingkat stres memiliki hubungan dengan derajat
dipepsia.14
2.1.3 Alat Ukur Stres
Alat ukur stress dapat menggunkan kuesioner DASS 42. Tes DASS
merupakan kuesioner yang terdiri dari berbagai pertanyaan tentang pengalaman
saat mengadapi situasi hidup sehari-hari. Pertanyaan pada DASS 42 berjumlah 42
item dan DASS 21 berjumlah 21 item. Para ahli sudah mengonfirmasi bahwa
item-item yang ada pada DASS dapat dikelompokkan menjadi 3 skala yaitu
depresi, kecemasan dan stres. Tiap skala terdiri dari 14 item. Item-item skala

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 13


depresi yaitu nomor 3, 5, 10, 13, 16, 17, 21, 24, 26, 31, 38, 42, item-item untuk
skala stres yaitu nomor 2, 4, 7, 9, 15, 19, 20, 23, 25, 28, 30, 36 ,40, 41 dan item-
item untuk skala stres yaitu nomor 1, 6, 8, 11, 12, 14, 18, 22, 27, 29, 32, 33,
35 ,39.49
Tabel 2.2 Kuesioner DASS 4249
No. PERNYATAAN 0 1 2 3

1 Saya merasa bahwa diri saya menjadi marah


karena hal-hal sepele.

2 Saya cenderung bereaksi berlebihan


terhadap suatu situasi.

3 Saya merasa sulit untuk bersantai.

4 Saya menemukan diri saya mudah merasa


kesal.

5 Saya merasa telah menghabiskan banyak


energi untuk merasa cemas.

6 Saya menemukan diri saya menjadi tidak


sabar ketika mengalami penundaan
(misalnya: kemacetan lalu lintas, menunggu
sesuatu).

7 Saya merasa bahwa saya mudah


tersinggung.

8 Saya merasa sulit untuk beristirahat.

9 Saya merasa bahwa saya sangat mudah


marah.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 14


10 Saya merasa sulit untuk tenang setelah
sesuatu membuat saya kesal.

11 Saya sulit untuk sabar dalam menghadapi


gangguan terhadap hal yang sedang saya
lakukan.

12 Saya sedang merasa gelisah.

Saya tidak dapat memaklumi hal apapun


yang menghalangi saya untuk menyelesaikan
13 hal yang sedang saya lakukan.

14 Saya menemukan diri saya mudah gelisah.

2.1.4 Alat Ukur Derajat Dispepsia


Skor dispepsia dapat menentukan derajat berat ringannya dispepsia
fungsional.  Skor dispepsia dapat menilai adanya anoreksia, mual, muntah, rasa
cepat kenyang, kembung, dan nyeri perut. Tiap keluhan diberi skor 0 sampai 3
dimana jika tidak ada keluhan nilai 0, jika ada keluhan ringan nilai 1, jika ada
kelluhan sedang nilai 2, dan untuk keluhan berat nilai 3. Dispepsia ringan bila
total skor 1-6, sedang jika skor 7-12, berat jika total skor 13-18.50
Tabel 2.2 Pedoman Skor Dispepsia50
No Dalam dua minggu terakhir apakah anda mengalami: Skor
. 0 1 2 3
1. Rasa sakit di ulu hati
2. Rasa tidak enak di perut bagian atas
3. Rasa kembung
4. Mual
5. Muntah
6. Sendawa
Jumlah Skor

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 15


2.2 Kerangka Teori

Faktor Eksternal:
-Stresor Psikososial:
a. Perkawinan
b. Pekerjaan
c. Keuangan atau
ekonomi
d. Penyakit fisik
atau cedera
e. Keluarga
f. Trauma
g. Hubungan sosial Stres Dispepsia
h. Perumahan

Faktor Internal:
a. Brain-Gut-Axis
b. Mekanisme
Koping

Gambar 2.1 Kerangka Teori18,36,39

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 16


2.3 Telaah Sistematis
No Nama Penulis Judul Jurnal Desain Variabel yang diteliti Nilai p Hasil
Penelitian
1. Sang Pyo Lee, et al The Effect of Cross Bebas: Penyakit Dispepsia Fungsional Stress dan depresi
Emotional Stress and Sectional pencernaan (DF): <0.001 berhubungan
Depression on the Terikat: Stress dan Irritable Bowel dengan beberapa
Prevalence of depresi Syndrom (IBS): <0.001 penyakit
Digestive Disease pencernaan serta
bisa menjadi faktor
predisposisi terjadi
DF dan IBS
2. Mona Rahmi Hubungan depresi dan Cross Bebas: Sindrom <0.01 Hubungan yang
Rulianti, et al sindrom dispepsia Sectional dispepsia pada pasien cukup dan searah
pada pasien penderita keganasan yang antara depresi dan
keganasan yang menjalani kemoterapi sindrom dispepsia
mengalami Terikat: Kejadian yang terjadi pada
kemoterapi di RSUP depresi pasien keganasan
Dr. M. Djamil Padang yang menjalani
kemoterapi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 17


3. Nadia Yolanda, et al Analisis Hubungan Cross Bebas: Stress Kerja - Faktor paling kuat
Faktor Pekerjaan Sectional Terikat: Faktor mempengaruhi
dengan Stress Kerja Pekerjaan terjadinya stress
Bidan di RS kerja yaitu shift
Syamrabu Bangkalan kerja (C=0,378)
dan gaji (C=311)
4. Hye In-Kim, et al Impact of Shiftwork Cohort Faktor risiko pada DF pekerja shift: DF:
on Irritable Bowel shiftworker yang - Kualitas tidur = 0.054 Pada pekerja shift
Syndrom and mengalami dispepsia - Stress = 0.015 yang mengalami
Functional Dyspepsia fungsional (DF) dan IBS pekerja shift: DF memiliki
Irritable Bowel - Kualitas tidur: 0.001 hubungan yang
Syndrom (IBS) - Kantuk siang hari: signifikan dengan
0.031 kualitas tidur yang
- Stress: 0.017 buruk dan stres
yang lebih tinggi
dibandingkan
dengan pekerja
harian
IBS:

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 18


Pada pekerja shift
yang mengalami
IBS memiliki
hubungan yang
signifikan dengan
kualitas tidur yang
buruk, sering
mengalami kantuk
serta stres
dibandingkan
dengan perkerja
harian
5. Evi Meizara Puspita Konflik Perkawinan Cross Bebas: kebersamaan 0.00 Terdapat perbedaan
Dewi, et al dan Model Sectional pasangan suami istri intensitas konflik
Penyelesaian pada Terikat: intensitas perkawinan pada
Pasangan Suami Istri konflik perkawinan istri yang tinggal
bersama dengan
istri yang tinggal
terpisah dengan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 19


suami.
6. Suryanti, et al Pengalaman Emosi Fenomenologi Pengalaman emosi - Proses dinamis dari
dan Mekanisme dan mekanisme subjek dalam
Koping Lansia yang koping mengatasi masalah
Mengalami Penyakit penyakit dan akibat
Kronis yang
ditimbulkannya
7. Kate Naphtali, et al Women and Literature - - Dispepsia
functional dyspepsia review merupakan
penyakit yang
sering ditemukan
dalam praktek
kedokteran sehari-
hari. Namun,
pengobatan yang
efektif untuk
dispepsia sampai
saat ini belum
dapat ditemukan.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 20


8. Andri Susanti Faktor Risiko Case Control Bebas: Faktor-faktor <0.05 Keteraturan makan,
Dispepsia pada risiko dispepsia frekuensi makan,
Mahasiswa Institut Terikat: Frekuensi mengonsumsi
Pertanian Bogor dispepsia (gastritis minuman
dan tukak peptik) berkarbon dan
konsumsi lemak
berhubungan nyata
dengan frekuensi
munculnya gejala
dispepsia
9. Mary Ann C Stress and the HPA Literature - - Tingkat kortisol
Stephens, et al axis: Role of review dapat bermanfaat
Glucocorticoids in indikator klinis
Alcohol Dependence kerentanan kambuh
pada orang yang
bergantung pada
alkohol
10. Sean M. Smith, et al The role of the Literature - - Sejumlah sistem
Hypotalamic- review neuronal dan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 21


Pituitary-Adrenal Axis endokrin berfungsi
in Neuroendocrine untuk mengatur
responses to stress secara ketat proses
adaptif pada saat
stres, karena respon
stres yang beragam
dan berpotensi
patogen.
11. Sukadiyanto Stress dan Cara Literature - - Beberapa cara
Menguranginya review untuk mengurangi
stres yaitu
mengonsumsi
makanan yang
sehat dan
bernutrisi, berlibur,
menjaga olahraga,
relaksasi, dll.
12. Kriscillia Molly Hubungan Stresor Cross Bebas: Prestasi belajar 0.000 Hubungan yang
Morita dengan Stres dan Sectional mahasiswa STIKES sangat bermakna

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 22


Prestasi Belajar Yarsi Sumbar stresor dengan
Mahasiswa Studi Terikat: Stressor dan indeks prestasi
Cross Sectional di stres mahasiswa
STIKES Yarsi
Sumbar Bukittinggi
tahun 2014
13. Sheldon Cohen, et al Phychological Stress Literature - - Stres psikologis
and Disease review berhubungan
dengan beberapa
penyakit seperti
depresi, penyakit
jantung, HIV/AIDS
14. Savas LS, et al Irritable bowel Cross Bebas : ansietas, Ansietas: Veteran wanita
syndrome and Sectional depresi, Post- - IBS:<0.0005 memiliki pervalensi
dyspepsia among Traumatic Stress Dispepsia:<0.0005 IBS dan gejala
women veterans: Disorder (PTSD) Depresi: dispepsia yang
prevalence and Terikat : IBS dan - IBS:0.0005 tinggi, keduanya
association with dispepsia - Dispepsia:<0.0005 sangat terkait
psychological distress PTSD: dengan adanya

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 23


- IBS:<0.001 depresi, kecemasan
- Dispepsia:<0.0005 dan PTSD
15. P.C Konturek, et al Stress and the gut: Literature - - Efek utama stres
Pathophysiology, review pada fisiologi usus
clinical consequences, meliputi perubahan
diagnostic approach motilitas
and treatment options. gastrointestinal,
peningkatan
presepsi viseral,
perubahan sekresi
gastrointestinal,
peningkatan
permeabilitas usus,
efek negatif pada
kapasitas
regeneratif mukosa
gastrointestinal dan
aliran darah
mukosa dan efek

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 24


negatif pada
mikrobiota usus
16. M. Thumshirn Pathopysiology of Literature - - Mekanisme utama
Functional Dyspepsia review patofisologi
dispepsia
fungsional yaitu
faktor psikososial
dan perubahan
motilitas dan
sensasi pencernaan
17. Drossman DA Abuse, Trauma, and Literature - - Pada pasien yang
GI Illness: Is There a review memiliki riwayat
Link? kekerasan dan
trauma memiliki
gejala yang lebih
berat. Sebab itu,
pada saat
anamnesis perlu
ditanyakan riwayat

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 25


kekerasan dan
trauma
18. LK McCorry Physiology Of The Literature - - Sistem saraf
Autonomic Nervous review otonom terbagi atas
System 2 yaitu, simpatis
dan parasimpatis.
Simpatis teraktivasi
pada saat kondisi
fight or flight, dan
parasimpatis
teraktivasi pada
saat keadaan
tenang.
19. Uday C Ghoshal, et Epidemiology of Literature - - Di Asia penderita
al Uninvestigated and review dispepsia lebih
Functional Dyspepsia banyak ditemukan
In Asia: Facts and dispepsia
Fiction fungsional.
Prevalensi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 26


dispepsia
fungsional di Asia
jarang terjadi pada
usia >50 tahun

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 27


BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual

Stresor psikososial
(menurut kuesioner
SLE) :
-Keuangan
-Pekerjaan
-Hubungan sosial
-Kesehatan
-Perumahan

Stres

HPA axis

Neurogen Neurohumoral

Kortisol N. Vagus

Imunitas↓ Sekresi asam ↑ Hp ↑ PG↓ Dismotilitas Hipersensitivitas

Derajat dispepsia:
Sindroma -Ringan
dispepsia -Sedang
-Berat

Gambar 3.1 Kerangka Konseptual


Variabel diteliti
Variabel tidak diteliti

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 28


3.2 Hipotesis Penelitian
Terdapat hubungan jenis stresor psikososial dengan derajat dispepsia.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 29


BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini dilakukan secara analitik pada pasien dispepsia dengan
pendekatan cross sectional.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Puskesmas Andalas Padang dan tempat tinggal
responden. Waktu penelitian dimulai sejak bulan September 2017 sampai
dengan Februari 2018
4.3 Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel
4.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian adalah semua pasien dispepsia yang berobat ke
Puskemas Andalas Padang periode Mei 2017 sampai dengan Desember
2017. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian dispepsia fungsional
(pohon penelitian) dari sub bagian psikosomatik bagian Ilmu Penyakit
Dalam RSUP Dr.M.Djamil Padang.
4.3.2 Sampel
Sampel penelitian adalah bagian dari populasi yang memenuhi kriteria
inklusi
Kriteria inklusi :
1. Penderita dispepsia yang mengalami stres
2. Penderita dispepsia yang berobat ke Puskesmas Andalas Padang
3. Penderita yang bersedia menjadi responden
Kriteria eksklusi :
1. Penderita dispepsia yang berumur <20 tahun
2. Data pribadi penderita dispepsia seperti nomor telepon atau alamat
tempat tinggal yang tidak lengkap
4.3.3Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel
Besar sampel dihitung menggunakan rumusLemeshow:
Zα2 PQ
n=
d2

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 30


Keterangan:
n = besar sampel
Zα = deviat baku alfa (1,96)
P = proporsi jenis stresor psikososial pada derajat dispepsia (0,5karena
tidak diketahui)
Q = (1-P) = 1-0,5 = 0,5
d = derajat penyimpangan atau tingkat ketepatan absolut yang diinginkan
(10%)
Dengan demikian, besar sampel yang diperlukan adalah
(1,96)2x0,5x0,5
n=
0,12
0,9604
n=
0,01
n= 96,04 (dibulatkan menjadi 100 orang)
Jadi, sampel minimal yang dibutuhkan dalam penelitian ini sebanyak 100
penderita dispepsia yang mengalami stres.
Teknik pengambilan sampel yaitu quota sampling, yaitu
menentukan sampel dari populasi yang mempunyai ciri-ciri tertentu
sampai jumlah atau kuota yang diinginkan.
4.4 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
4.4.1 Variabel Penelitian
Variabel bebas : Jenis Stresor Psikososial
Variabel terikat : Derajat Dispepsia
1.4.2 Definisi Operasional
a. Derajat Dispepsia
Definisi :ukuran seberapa berat gejala dispepsia
yang dirasakan responden
Cara ukur :wawancara
Alat ukur :skor dispepsia
Hasil ukur :a.Dispepsia ringan jika skor 1-6

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 31


b.Dispepsia sedang jika skor 7-12
c. Dispepsia berat jika skor >13-18
Skala ukur :skala ordinal
b. Stres
Definisi :suatu tekanan atau sesuatu yang terasa
menekan dalam diri individu.13
Cara ukur :wawancara
Alat ukur :kuesioner Depression Anxiety Stress Scale
42 (DASS 42, Stres=14 item)
Hasil ukur :a. Tidak stres (skor = 0-14)
b. Stres (skor > 14)
Skala ukur :skala ordinal
c. Jenis stresor psikososial
Definisi :jenis keadaan atau peristiwa yang
menyebabkan perubahan dalam kehidupan
seseorang, sehingga orang itu terpaksa
mengadakan adaptasi atau penyesuaian
diri untuk menanggulanginya.16
Cara ukur :wawancara
Alat ukur :kuesioner Stressful Life Events (SLE)
Hasil ukur :a. Ada/ tidak ada stresor keuangan
b. Ada/tidak ada stresor pekerjaan
c. Ada/tidak ada stresor hubungan sosial
d. Ada/tidak ada stresor kesehatan
e. Ada/tidak ada stresor perumahan
(Tidak ada jika menjawab 0 dan 1, ada jika
menjawab 2,3, dan 4)
Skala ukur :skala ordinal

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 32


4.5 Instrumen Penelitian
1. Persetujuan ikut serta
2. Kuesioner skor dispepsia
Kuesioner skor dispepsia merupakan kuesioner NDI (The Nepean
Dyspepsia Index) yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan
telah melalui uji validitas dan reabilitas. Reabilitas kuesioner baik dengan
Croncbach’s Alpha dan Interclass Correlation Coeficient masing-masing
>0,70 dan nilai Kaiser-Meyer-Olkin>0,64.51
3. Kuesioner DASS 42 (Depression Anxiety Stress Scale 42)
Damanik tahun 2006 sudah menguji validasi dari kuesioner ini.
Kuesioner DASS 42 memiliki nilai validitas dan realibilitas sangat baik
yaitu 0,9483 yang diolah berdasarkan penilaian Croncbach’s Alpha.52
4. Kuesioner Stressful Life Events (SLE)
Fauziyati tahun 2014 sudah melakukan uji validitas kuesioner ini yang
sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Uji reabilitas dan validitas
menunjukkan Croncbach’s Alpha 0,7 yang artinya dapat diterima.33
4.6 Prosedur Pengumpulan Data
1. Penderita yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memiliki kriteria
ekslusi.
2. Penderita yang sudah memenuhi syarat diminta untuk ikut dalam
penelitian dan diminta secara sukarela menandatangani informed consent.
3. Dilakukan wawancara untuk menentukan stres dengan kuesioner DASS 42
yang berkaitan dengan stres. Jika didaptkan hasil bahwa responden
mengalami stres maka akan dilanjutkan wawancara menggunakan
kuesioner skor dispepsia dan SLE, namun apabila responden tidak
mengalami stres maka wawancara dengan kuesioner skor dispepsia dan
SLE tidak dilanjutkan.
4. Dilakukan wawancara untuk menentukan derajat dispepsia dengan
menggunakan skor dispepsia.
5. Dilakukan wawancara untuk menentukan stresor psikososial dengan
kuesioner SLE.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 33


6. Data dikumpulkan dan dianalisis dengan menggunakan sistem
komputerisasi.
4.7 Cara Pengolahan Data dan Analisis Data
4.7.1 Cara Pengolahan Data
Setelah semua data terkumpul, data tersebut diolah dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
a. Pemeriksaan Data (Editing)
Memeriksa data, memeriksa jawaban, memperjelas serta
melakukan pengolahan terhadap data yang dikumpulkan dan
memeriksa kelengkapan dan kesalahan.
b. Pemberian Kode (Coding)
Memberi kode jawaban responden sesuai dengan indikator
pada kuesioner.
c. Pengelompokan Data (Tabulating)
Data yang sudah diedit dan diberi kode diolah secara
komputerisasi dan ditampilkan dalam distribusi sesuai variabel
yang diteliti.
d. Memproses Data (Procesing)
Processing dilakukan pada semua kuesioner yang lengkap
dan benar untuk dianalisa. Pengolahan data dilakukan dengan
bantuan program komputer SPSS (Statistical Program for
Social Science).
e. Pembersihan (Cleaning)
Kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di entry,
untuk mengetahui apakah terdapat kesalahan sehingga nilai yang
ada sesuai dengan hasil pengumpulan data.
4.7.2 Analisis Data
Data akan diolah dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Analisis Univariat
Menganalisis pasien dispepsia yang mengalami stres, jenis
stressor psikososial, dan derajat dispepsia secara deskriptif

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 34


dengan menghitung distribusi frekuensi. Kemudian data disajikan
dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.

b. Analisis Bivariat
Menganalisis hubungan antara dua variabel yaitu variabel
bebas (jenis stresor psikososial) dan variabel terikat (derajat
dispepsia) dengan menggunakan uji statistik yaiu uji chi-square.
Nilai yang digunakan untuk melihat ada tidaknya hubungan antara
dua variabel adalah nilai p. Bila p≤0,05 menunjukkan ada hubungan
bermakna antara kedua variabel.
c. Analisis Multivariat
Menganalisis jenis stresor psikosial yang paling dominan
pada tiap derajat dispepsia pada pasien dispepsia yang mengalami
stres di Puskesmas Andalas. Uji yang digunakan adalah uji regresi
logistik.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 35


BAB 5
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan cross
sectional menggunakan sumber data berupa rekam medis pasien yang terdiagnosis
dispepsia di Puskesmas Andalas Padang dari bulan Mei 2017 sampai dengan
Desember 2017. Sampel penelitian ini adalah penderita dispepsia yang mengalami
stres sebanyak 100 orang. Penelitian ini dilakukan dengan cara menghubungi
responden melalui telepon atau mengunjungi tempat tinggal responden sesuai
dengan data pribadi responden yang terdapat di rekam medis, lalu mengajukan
beberapa pertanyaan yang tertera pada kuesioner DASS 42, kuesioner SLE, dan
kuesioner Skor Dispepsia. Selanjutnya, dilakukan analisis data menggunakan
SPSS.
5.1 Distribusi Frekuensi Jenis Stresor Psikososial pada Pasien Dispepsia yang
Mengalami Stres di Puskesmas Andalas Periode Mei 2017-Desember
2017
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Jenis Stresor Psikososial pada Pasien Dispepsia
yang Mengalami Stres di Puskesmas Andalas Periode Mei 2017-
Desember 2017
Jenis Stresor Psikososial Frekuensi (n) %
Keuangan Ada 59 59%
Tidak ada 41 41%
Total 100 100%
Pekerjaan Ada 53 53%
Tidak ada 47 47%
Total 100 100%
Hubungan Sosial Ada 48 48%
Tidak ada 52 52%
Total 100 100%
Kesehatan Ada 71 71%
Tidak ada 29 29%
Total 100 100%
Perumahan Ada 38 38%

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 36


Tidak ada 62 62%
Total 100 100%
Berdasarkan tabel 5.1 didapatkan pada pasien dispepsia yang mengalami
stres mempunyai stresor keuangan sebesar 59%, pekerjaan 53%, hubungan sosial
48%, kesehatan 71%, perumahan 38%. Data diatas menunjukkan jenis stresor
psikososial yang paling banyak dialami pasien dispepsia yaitu stresor kesehatan.
5.2 Distribusi Frekuensi Derajat Dispepsia pada Pasien Dispepsia yang
Mengalami Stres di Puskesmas Andalas Periode Mei 2017-Desember
2017
Derajat dispepsia didapatkan secara berturut-turut dari yang terbanyak
yaitu dispepsia sedang 54%, dispepsia ringan 38%, dan dispepsia berat 8%.
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Derajat Dispepsia pada Pasien Dispepsia yang
Mengalami Stres di Puskesmas Andalas Periode Mei 2017-Desember
2017
Derajat Dispepsia Frekuensi (n) %
Ringan 38 38%
Sedang 54 54%
Berat 8 8%
Total 100 100%
Berdasarkan tabel 5.2 derajat dispepsia terbanyak pada penderita dispepsia
di Puskesmas Andalas Padang yaitu derajat dispepsia sedang.
5.3 Hubungan Jenis Stresor Psikososial dengan Derajat Dispepsia pada
Pasien Dispepsia yang Mengalami Stres di Puskesmas Andalas Periode
Mei 2017-Desember 2017
Tabel 5.3 Hubungan Jenis Stresor Psikososial dengan Derajat Dispepsia pada
Pasien Dispepsia yang Mengalami Stres di Puskesmas Andalas
Periode Mei 2017-Desember 2017
Jenis Stresor Psikososial Dispepsia Dispepsia Signifikansi
Ringan Sedang-Berat p
Keuangan Ada 21 38 0,700
Tidak ada 17 24

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 37


Pekerjaan Ada 22 31 0,575
Tidak ada 16 31
Hubungan Ada 16 32 0,473
Sosial Tidak ada 22 30
Kesehatan Ada 24 47 0,260
Tidak ada 14 15
Perumahan Ada 12 26 0,410
Tidak ada 26 36
Tabel 5.3 menunjukkan hasil penelitian mengenai hubungan jenis stresor
psikososial dengan derajat dispepsia. Masing-masing nilai p pada tiap stresor
dengan derajat dispepsia yaitu stresor keuangan p=0,700, stresor pekerjaan
p=0,575, stresor hubungan sosial p=0,473, stresor kesehatan p=0,260, dan stresor
perumahan p=0,410. Hasil tersebut menunjukkan tidak ada nilai p≤0,05, yang
artinya tidak ada hubungan signifikan antara jenis stresor psikososial dengan
derajat dispepsia.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 38


BAB 6
PEMBAHASAN
6.1 Frekuensi Derajat Dispepsia
Data dari hasil penelitian menunjukkan bahwa derajat dispepsia yang
paling banyak ditemukan adalah penderita dispepsia derajat sedang yaitu 54%.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh Syeli di Puskesmas Andalas
Padang pada tahun 2016 yang mendapatkan derajat dispepsia yang terbanyak
adalah derajat sedang yaitu 53.3%.18 Hasil yang sama juga ditemukan pada
penelitian Sari pada tahun 2015 di RSUP M. Djamil Padang didapatkan derajat
dispepsia sedang merupakan jumlah terbanyak yaitu 45,7%.53
Dispepsia derajat sedang dapat mengganggu aktifitas sehari-hari sehingga
dapat mengakibatkan suatu dampak terhadap kualitas hidup dan peningkatan
pengobatan.18 Penelitian oleh Sari, peningkatan derajat dispepsia berbanding lurus
dengan penurunan kualitas hidup.53 Sekitar 30%penderita dispepsia terpaksa bolos
kerja atau sekolah karena keluhan dispepsianya sehingga dapat mengganggu
produktivitas penederitanya dan dapat menimbulkan kerugian.8
6.2 Frekuensi Jenis Stresor Psikososial
Data dari hasil penelitian menunjukkan stresor keuangan 59%, stresor
pekerjaan 53%, stresor hubungan sosial 48%, stresor kesehatan 71%, dan stresor
perumahan 38%. Jenis stresor yang paling banyak dialami penderita dispepsia di
Puskesmas Andalas Padang yaitu stresor kesehatan. Penelitian ini tidak sejalan
dengan penelitian Murni (2006) yang mendapatkan stresor psikososial yang
paling banyak dialami oleh pasien dispepsia di RSUP M. Djamil Padang yaitu
faktor lingkungan sebesar 22,5% dan permasalahan suami/istri sebesar 20%. 42
Masalah kesehatan seperti masalah pencernaan yang sebelumnya pernah
dialami, maka orang tersebut lebih rentan mengalami dispepsia karena perubahan
kebiasaan yang tidak sehat, sementara bagi orang yang tidak memiliki riwayat
gangguan lambung, perilaku hidup yang kurang baik akan memicu munculnya
gangguan lambung yang diawali dengan sindroma dispepsia.8 Gangguan
kesehatan pencernaan bisa diawali dengan perubahan pola makan yang kurang

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 39


baik. Tahun 2015, Nasution mendapatkan pola makan seperti makan tidak teratur
dan sering mengonsumsi makanan dan minuman iritatif banyak yang mengalami
dispepsia.54
Stresor keuangan atau masalah ekonomi ditemukan pada penderita
dispepsia. Bitzer, dkk tahun 2000 mendapatkan bahwa masalah ekonomi dapat
menjadi faktor risiko terjadinya gangguan saluran cerna.55 Masalah ekonomi yang
dialami dapat berupa pendapatan yang rendah dan ketidakpuasan terhadap
pendapatan.56
Harahap (2009) mendapatkan penderita dispepsia banyak dialami oleh ibu
rumah tangga sebesar 30%, ini bisa disebabkan oleh pekerjaan yang monoton
sehingga bisa menjadi suatu stresor yang akan berakibat terhadap gangguan psikis
seperti stres, nantinya akan menjadi faktor risiko terjadinya dispepsia.57 Penelitian
lain mendapatkan pasien dispepsia banyak terjadi pada karyawan perusahaan.
Stres pada karyawan terjadi karena kebanyakan pekerjaan dengan waktu sangat
sempit ditambah lagi dengan tuntunan harus serba cepat dan tepat.58
Hubungan sosial seperti berpisah, bercerai, dan kematian pasangan hidup
menurut penelitian Spurgeon, dkk menyatakan bahwa kejadian-kejadian hidup
tersebut merupakan stresor yang paling berat. Penelitian oleh Murni tahun 2006
mendapatkan hasil penelitian pada pasien dispepsia di RSUP M.Djamil Padang
sebanyak 20% memiliki permasalahan suami/istri.42
Kesulitan dalam masalah tempat tinggal seperti rumah tinggal yang
sempit, tata ruang yang tidak teratur, dan kesesakan sehingga menyebabkan
perasaan yang tidak nyaman.32 Perasaan yang tidak nyaman tersebut dapat
menimbulkan stres, yang mana sesuai dengan penelitian terdahulu ditemukan
bahwa stres dapat menjadi faktor risiko terjadinya dispepsia.
6.3 Hubungan Jenis Stresor Psikososial dengan Derajat Dispepsia
Hasil signifikansi (p) pada penelitian ini antara jenis stresor psikososial
dengan derajat dispepsia yaitu stresor keuangan (p=0,700), stresor pekerjaan
(p=0,575), stresor hubungan sosial (p=0473), stresor kesehatan (p=0,260), stresor
perumahan (p=0,410). Data tersebut menunjukkan hasil bahwa tidak ada nilai
p≤0,05 pada setiap jenis stresor terhadap derajat dispepsia, yang artinya jenis
stresor tidak ada hubungan yang signifikan antara derajat dispepsia. Penelitian

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 40


mengenai hubungan jenis stresor psikososial dengan derajat dispepsia sampai saat
ini belum peneliti temukan.
Stresor atau pemicu stres merupakan peristiwa-peritiwa atau psikologis
fisik yang membuat seseorang tertekan.24 Stresor menjadi presipitasi penting
terjadinya penyakit mental dan somatik.18 Stresor akan menyebabkan seseorang
menjadi stres. Berbagai penelitian membuktikan bahwa adanya keterkaitan stres
dengan kejadian dispepsia, salah satunya penelitian oleh Rahmaika (2014) yang
menunjukkan adanya korelasi yang kuat antara stres dengan kejadian dispepsia. 12
Penelitian Morita (2014) mendapatkan tingkat stresor memiliki hubungan
bermakna terhadap tingkat stres. Semakin tinggi tingkat stresor maka akan
semakin tinggi pula tingkat stres.22 Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Uleng
(2011) pada penderita dispepsia organik semakin tinggi derajat stresor psikososial
semakin tinggi pula tingkat kecemasannya.48 Berbeda dengan hasil penelitian oleh
Syeli tahun 2016 mendapatkan bahwa tingkat stres berhubungan dengan derajat
dispepsia. Semakin tinggi tingkat stres maka semakin tinggi pula derajat
dispepsia.18
Giorgi dkk, mendapatkan tingkat stres mempengaruhi keparahan dari
gejala dispepsia pada penderita dispepsia, dimana tingginya hormon stres seperti
kortisol mempengaruhi derajat dispepsia.59 Sejalan dengan penelitian Murni
(2006) bahwa terdapat perbandingan nilai kortisol serum pada penderita dispepsia
sedang dengan dispepsia berat, didapatkan peningkatan kortisol serum pada
penderita dispepsia berat dibandingkan dispepsia sedang. Peningkatan kortisol
akan merangsang produksi asam lambung dan menghambat prostaglandin, dengan
demikian terjadi gangguan keseimbangan antara peningkatan asam lambung dan
penurunan prostaglandin yang berpengaruh terhadap kerja fisiologis dari
lambung.42
Penelitian ini menunjukkan bahwa apapun jenis stresornya tidak
mempengaruhi seberapa berat derajat dispepsia seseorang, namun stresor yang
dialami akan menyebabkan stres, sehingga bisa mempengaruhi derajat dispepsia.
Pada penelitian ini tidak meneliti hubungan jenis stresor dengan derajat stres,
dimana derajat stres tersebut berpengaruh terhadap derajat dispepsia.
6.4 Keterbatasan Penelitian

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 41


Keterbatasan penelitian ini adalah penelitian ini merupakan penelitian
kuantitatif yang menggunakan kuesioner, sehingga hanya berfokus pada item-item
yang ada pada kuesioner tersebut. Penelitian ini hanya melihat dari jenis stresor
psikososial dan derajat dispepsia, dan juga penelitian ini tidak mengkaji hubungan
jenis stresor psikososial dengan tingkat stres pada penderita dispepsia.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 42


BAB 7
PENUTUP
7.1 Kesimpulan
1. Penderita dispepsia di Puskesmas Andalas Padang lebih banyak
mengalami dispepsia derajat sedang
2. Penderita dispepsia memiliki jenis stresor psikososial yang bervariasi,
dimana jenis stresor psikososial yang paling banyak adalah stresor
kesehatan.
3. Tidak terdapat hubungan bermakna antara jenis stresor psikososial dengan
derajat dispepsia di Puskesmas Andalas Padang.
7.2 Saran
1. Disarankan kepada tenaga kesehatan untuk memberikan edukasi tentang
manajemen stres sesuai dengan stresor yang dialami penderita dispepsia.
2. Disarankan kepada petugas pencatatan rekam medik untuk lebih
memperhatikan kelengkapan data pasien terutama alamat dan nomor
telepon pasien sehingga memudahkan peneliti lain yang akan
menggunakan data rekam medik sebagai data pendukung penelitian.
3. Disarankan kepada peneliti selanjutnya yang akan meneliti dan mendalami
mengenai jenis stresor psikososial lebih baik melakukan penelitian secara
kualitatif.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 43


Daftar Pustaka

1. Abdullah M, Gunawan J. Dispepsia. Cermin Dunia Kedokteran. 2012 Des


02;39(9):647.
2. Djojoningrat D. Ilmu penyakit dalam. In: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,
Simadibrata M. Setiyohadi B, Syam AF, editors. Dispepsia fungsional. 6th
ed. Jakarta: InternaPublishing; 2014. p.1805-06.
3. Naphtali K, Koloski N, Walker MM, Talley NJ. Women and functional
dyspesia. Womens Health. 2016 Feb 22;12(2):243.
4. Departemen Kesehatan RI (2008). Profil kesehatan indonesia 2006.
http://www.depkes.go.id- Diakses 24 September 2017.
5. Rifani M. Hubungan stres dengan kualitas hidup penderita sindroma
dispepsia di Puskesmas Andalas (skripsi). Padang: Universitas Andalas;
2016.
6. Hirlan. Ilmu penyakit dalam. In: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,
Simadibrata M. Setiyohadi B, Syam AF, editors. Gastritis. 6th ed. Jakarta:
InternaPublishing; 2014. p.1768.
7. Mudjaddid E. Ilmu penyakit dalam. In: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,
Simadibrata M. Setiyohadi B, Syam AF, editors. Dispepsia fungsional. 6th
ed. Jakarta: InternaPublishing; 2014. p.3593-94.
8. Susanti A. Faktor risiko dispepsia pada mahasiswa Institut Pertanian
Bogor (IPB). J Kedokteran Indonesia. 2011 Jan;2(1):80-3.
9. Smith SM, Vale WW. The role of The hypothalamic-pituitary-adrenal
axis in neuroendocrine responses to stress. Dialouges in Clinical
Neuroscience. 2006;8(4):384.
10. Stephens MA, Gary W. Stress and the HPA axis: Role of glucocorticoids
in alcohol dependence. Alcohol Res. 2012;34(4):469.
11. Rulianti MR, Almasdy D, Murni AW. Hubungan depresi dan sindrom
dispepsia pada pasien penderita keganasan yang menjalani kemoterapi di
RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. 2013; 2(3):139.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 44


12. Rahmaika BD. Hubungan antara stres dengan kejadian dispepsia di
Puskesmas Purwodinigratan Jebres Surakarta (skripsi). Surakarta:
Universitas Muhammadiyah; 2014.
13. Lee SP, Sung IK, Kim JH. Lee SY. Park HS, Shim CS. The effect
emotional stress and depression on the prevalence of digestive diseases. J
Neurogastroenterol Motil. 2015 April;21(2):273-82.
14. Syeli P. Hubungan tingkat stres dengan derajat sindroma dispepsia
pada penderita sindroma dispepsia di Puskesmas Andalas (skripsi).
Padang: Universitas Andalas; 2016.
15. Sukadiyanto. Stress dan cara menguranginya. Cakrawala Pendidikan.
2010 Feb;(1):56.
16. Cohen S, Deverts DJ, Miller GE. Psychological stress and disease. J Am
Med Assoc. 2007 Okt 10;298(14):1685.
17. Pratami YN. Skizofrenia paranoid pada seorang wanita dengan faktor
psikososial sebagai stresor. Medula. 2013 Okt;1(4):121.
18. Hawari D. Manajemen stres cemas dan depresi. 2nd ed. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2016.
19. Sali R, Roohafa H, Sadeghi M, Andalib E, Shavandi H, Sarrafadegan N.
Validation of the revised stressful life event questionnaire using a hybrid
model of genetic algorithm and artificial neural networks. Computational
and Mathematical Methods in Medicine. 2013 Jan 02;2013:4.
20. Savas LS, White DL, Wieman M, Daci K, Fitgeraid S, Smith SL, et al.
Irritable bowel syndrome and dyspepsia among women veterans:
Prevalence and association with psychological distress. NIH-PA Author
Manuscript. 2009 Jan;29(1).2.
21. Kim HI, Jung SA, Choi JY, Kim SE, Jung HK, Shim KN, et al. Impact of
shiftwork on irritable bowel syndrome and functional dyspepsia. J Korean
Med Sci. 2013 Jan; 2013(28). 431.
22. Morita KM. Hubungan stresor dengan stres dan prestasi belajar mahasiswa
studi coss sectional di STIKES Yarsi Sumbar Bukittinggi tahun
2014.’Afiyah. 2014 Jan; 1(1). 6 leaves.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 45


23. Gunarsa YS. Asas-asas psikologi keluarga idaman. Jakarta: PT BPK
Gunung Mulia; 1999. p.138.
24. Hyman M. Ultra metabolisme 7 langkah sehat mengurangi berat badan
anda secara otomatis. Setiawan I, translator. Yogyakarta: B-First; 2006.
p.149.
25. Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan (LN 1974
Nomor 1, TLN 3019).
26. Sadarjoeun SS. Konflik marital: Pemahaman konseptual, actual dan
alternatif solusinya. Bandung: Refika Aditama; 2005
27. Dewi EM, Basti. Konflik perkawinan dan model penyelesaian konflik
pada pasangan suami istri. Jurnal Psikologi. 2008 Des; 2 (1). 49.
28. National Safety Council. Manajemen stres. Yulianti D, editor. Jakarta:
EGC; 2004. p.7.
29. Yolanda N, Tualeka AR. Analisis hubungan faktor pekerjaan dengan stres
kerja bidan di Rumah Sakit Syamrabu Bangkalan. The Indonesia Journal
of Occupational Safety and Health. 2014 Jul-Des; 3(2).138-47.
30. Lianasari D. Sumber stres karyawan lini depan perbankan: Studi kasus
PT. Bank Rakyat Indonesia (persero) tbk kantor cabang Jakarta- Pasar
Minggu dan Depok (skripsi). Jakrta: Universitas Indonesia; 2009.
31. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & sadock’s synopsis of psychiatry
behavioral sciences / clinical psychiatry. In: Mitchell CW, Murphy JA,
Millet K, Dougherty B, editors. Posttraumatic stress disorders of infancy,
childhood and adolescence. 10th ed. Philadelphia: Lippincot Williams &
Wilkins; 2007. p.1274.
32. Erlinda A. Hubungan kesesakan dengan tingkat stres pada penghuni
rumah susun pekunden Semarang (skripsi).Semarang: Universitas
Negeri Semarang; 2016.
33. Fauziyati A. Faktor jenis stresor psikososial sebagai faktor risiko gejala
depresi pada pasien sindrom metabolik (tesis). Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada; 2014.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 46


34. Murni AW. Ilmu Penyakit Dalam. In: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,
Simadibrata M. Setiyohadi B, Syam AF, editors. Gangguan psikosomatik
saluran cerna. 6th ed. Jakarta: InternaPublishing; 2014. p. 3586.
35. Konturek PC, Brzozowski T, Konturek SJ. Stress and the gut:
Pathophysiology, clinical consequences, diagnostic approach and
treatment options. J Physiol Pharmacol. 2011; 62(6).593.
36. Thumshirn M. Patophysiology of functional dyspepsia. Gut. 2002;51(1).
163-66.
37. Drossman D. Abuse, trauma and gi illness: is there a link?. Am J
Gasteroenterol. 2011 Jan; 106 (1). 14-5.
38. Hall JE. Guyton dan hall buku ajar fisiologi kedokteran. Dalam: Ilyas EI,
penerjemah. 12th ed. Jakarta: Elsevier; 2011.
39. McCorry LK. Physiology of the autonomic nervous system. Am J
Pharmaceutical Education. 2007; 71(4).1-11.
40. Drosman D. The functional gastrointestinal disorder and the rome III.
Gastroenterology. 2006;30;1377-90.
41. Zubir N. Diagnosis dan penatalaksanaan dispepsia fungsional. Dalam:
Manaf A, Amir E, Fauzan, editor. Naskah lengkap PIB IPD III. Padang:
Bag. Penyakit Dalam FKUA; 2002; 115:22.
42. Murni AW. Nilai kortisol plasma pada pasien dispepsia dengan
psikosomatik (tesis). Padang; Universitas Andalas; 2006
43. Ghoshal UC, Singh R, Chang FY, Hou X, Wong BCY, Kachintorn U.
Epidemiology of uninvestigated and functional dyspepsia in asia: Facts
and Fiction. J Neurogastroenterology and Motility. 2011; 17 (3); 235-44.
44. Murni AW. Hubungan stres psikologis dengan kortisol plasma, ekspresi
interleukin-6 dan interleukin-8 serta aktivitas helicobater pylori (disertasi).
Padang: Universitas Andalas; 2017.
45. Mert H. Stress and the gut.https://www.med.unc.edu/ibs/files/educational-
gi handouts/Stress%20and%20the%20Gut.pdf- Diakses 27 September
2017.
46. Ekowarni E. Pengalaman emosi dan mekanisme koping lansia yang
mengalami penyakit kronis. Jurnal Psikologi. 2012 Desember; 39(2). 209.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 47


47. Suminarsis TA. Hubungan antara tingkat stres dengan mekanisme koping
pada mahasiswa keperawatan menghadapi praktek belajar lapangan di
rumah sakit (skripsi). Surakarta: Universitas Muhammadiyah; 2009.
48. Uleng AST, Jayalangkara A, Hawaidah, Patellongi I. Hubungan derajat
ansietas dengan dispepsia organik. 2011.
49. Lovibond PF, Lovibond SH. Manual for the depression anxiety stress
scales 2nd ed. 1995.
50. Murni AW. Hubungan depresi dengan infeksi helicobacter pylori serta
perbedaan gambaran histo-patologi mukosa lambung pada penderita
dispepsia fungsional (thesis). Jakarta: Universitas Indonesia; 2010.
51. Arinton IG, Samudro P, Soemohardjo S. The napean dyspepsia index:
translation and validation indonesian languange. The Indonesian J of
Gastroenterology Hepatology and Digestive Endoscopy. 2006 Agus; 7(2).
52. Damanik ED. Pengujian reliabilitas, validitas, analisis item, dan
pembuatan norma depression, anxiety and stress scale (DASS).
http://www2.psy.unsw.edu.au/groups/dass/Indonesian/Damanik.htm-
Diakses 01 Oktober 2017
53. Sari UY. Hubungan derajat sindroma dispepsia dengan kualitas hidup pada
pasien dispepsia fungsional di RSUP Dr. M.Djamil padang (skripsi).
Padang: Universitas Andalas; 2015.
54. Nasution NK. Hubungan pola makan dengan kejadian sindroma dispepsia
pada mahasiswa fakultas kesehatan masyarakat universitas sumatera utara
tahun 2015 (skripsi). Medan: Universitas Sumatera Utara; 2016.
55. Bytzer P, Howell S, Leemon M, Young LJ, Jones MP, Talley NJ. Low
soscioeconomic class is a risk factor for upper and lower gastrointestinal
sympotpms: a population based study in 15000 australian adults.
http://gut.bmj.com/content/49/1/66 - Diakses 1 Februari 2018.
56. Muya Y. Karakteristik penderita dispepsia fungsional yang mengalami
kekambuhan di bagian ilmu penyakit dalam RSUP Dr. M. Djamil padang,
sumatera barat tahun 2011. Jurnal Kesehatan Andalas. 2015; 4(2).
57. Harahap Y. Karakteristik penderita dispepsia rawat inap di rs martha friska
medan tahun 2007 (skripsi). Medan: Universitas Sumatera Utara; 2009.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 48


58. Armi. Hubungan stres dengan kejadian dispepsia pada karyawan perum
peruri di karawang barat 2014 (skripsi). Jakarta: Universitas
Muhammadiyah Jakarta; 2014
59. Giorgi F, Sarnelli G, Cirillo C, Savino IG, Turco F, Nardone G,et al.
Increased severity of dyspeptic symptoms relaed to mental stres sis
associated with sympathetic hyperactivity and enhanced endocrine
response in patients with postprandial distress syndrome.
Neurogastroenterol Motil. 2013 Jan; 25(1)

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 49

Anda mungkin juga menyukai