Anda di halaman 1dari 31

METODELOGI PENELITIAN II

HUBUNGAN STRES DENGAN KUALITAS TIDUR LANSIA HIPERTENSI

KELOMPOK 16

SRI HARVITA SARI MARPAUNG (181101125)

AQNEST OCTAVIANI NAIBAHO (181101126)

SITI NURHALIZA (181101127)

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

T.A 2020/2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Hipertensi atau biasa disebut darah tinggi adalah penyakit yang sering terjadi pada lansia
(lanjut usia) berusia diatas 50 tahun, dimana hipertensi atau darah tinggi terjadi karena adanya
gangguan pada pembuluh darah yang menyebabkan suplay oksigen dalam darah menjadi lambat
sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkan. Dimana kondisi medis orang yang tekanan
darahnya meningkat diatas normal yaitu 140/90 mmHg (Agustina dkk, 2015). Berbagai
faktor yang banyak di rasakan pada penderita hipertensi yaitu salah satunya kualitas tidur
menjadi menurun, dimana disebabkan karena peningkatan stress yang dialami penderita (Baiq
dkk,2015).

Hipertensi juga dipengaruhi oleh gaya hidup yang kurang sehat dimana salah satunya
hipertensi disebabkan oleh stress yang berkepanjangan yang menyebabkan tekanan darah
menjadi cepat meningkat dan kualitas tidur menjadi menurun. Menurut Sofiana (2015) stress
berpengaruh pada kualitas tidur. Stress dapat mengakibatkan adrenalin meningkat, jantung
berdebar dan aliran darah meningkat pada penderita. Selain itu stress pada lansia dengan
hipertensi bisa juga di sebabkan oleh perubahan yang mendadak pada aktivitas yang biasanya
penderita hipertensi lakukan, selain itu bisa disebabkan karena ketidakmampuan penderita dalam
menyesuaikan diri terhadap penyakitnya sehingga penderita bisa memperlihatkan stress yang
mereka alami, depresi maupun keputusasaan.

Lansia yang mengalami stres tidak hanya berpengaruh pada terjadinya penyakit hipertensi
akan tetapi juga berpengaruh pada kualitas tidurnya. Kualitas tidur merupakan kemampuan
seseorang dalam mempertahankan keadaan tidurnya untuk mendapatkan kebutusan tidur yang
sesuai dengan tidur yang dibutuhkan. Namun biasanya efek dari paparan stres juga sangat
berpengaruh dengan kesulitan tidur. Menurut Potter & Perry (2012), seseorang yang mengalami
kekurangan tidur dapat menyebabkan gangguan metabolisme dan endokrin yang berkontribusi
menyebabkan gangguan kardiovaskuler sehingga terjadinya hipertensi. Kualitas tidur yang buruk
berdampak pada penurunan anti bodi dengan gejala lemas dan mudah lelah sehingga mengubah
hormon stress kortisol dan sistem saraf simpatik yang menyebabkan terjadi peningkatan tekanan
darah.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Baiq, dkk (2015) dimana menunjukan hasil
wawancaranya pada penderita hipertensi yang sudah lanjut usia mengatakan bahwa tidurnya
sering terganggu karena sering mengalami pusing yang berlebih sehingga menyebabkan
badannya menjadi lemas, selain itu penderita sering merasa minder karena merasa dirinya sudah
tak dibutuhkan karena fisik mereka sudah tak bisa di harapkan sepenuhnya, oleh sebab itu yang
menyebabkan penderita menjadi stress dan penyakitnya tidak kunjung sembuh. Berdasarkan
fenomena dan permasalahan tersebut mendorong peneliti untuk melakukan suatu penelitian
tentang “Hubungan Stress Dengan Kualitas Tidur Lansia Dengan Hipertensi”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka permasalahan yang akan diteliti adalah apakah ada
hubungan stress dengan kualitas tidur lansia dengan hipertensi di Panti Jompo Graha Residen
Senior Karya Kasih, Medan.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan stress dengan kualitas
tidur pada lansia dengan hipertensi di Panti Jompo Graha Residen Senior Karya Kasih, Medan.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Mengidentifikasi karakteristik responden di Panti Jompo Graha Residen Senior


Karya Kasih, Medan kecamatan Polonia.
2. Mengidentifikasi hubungan stress dengan kualitas tidur pada lansia dengan
hipertensi di Panti Jompo Graha Residen Senior Karya Kasih, Medan, Kecamatan
Polonia.
3. Mengetahui kualitas tidur lansia di panti jompo graha residen Senior Karya Kasih,
Medan, Kecamatan Polonia.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1. Bagi Pendidikan Keperawatan


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pengembangan ilmu pengetahuan
tentang hubungan stress dengan kualitas tidur lansia dengan hipertensi dan dapat
mengaplikasikan ilmu pengetahuan tersebut dalam ilmu pendidikan keperawatan.

1.4.2. Bagi Pelayanan Keperawatan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan saran dan masukan terhadap program – program
di pelayanan keperawatan.

1.4.3. Bagi Peneliti Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat menjadi sumber informasi tambahan dan dapat dijadikan menjadi
salah satu referensi bagi peneliti lain terutama tentang hubungan stress dengan kualitas tidur pada
lansia dengan hipertensi.

1.4.4. Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang


peningkatan kualitas tidur pada lansia dengan penyakit hipertensi yang mengalami stress.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stres

2.1.1 Pengertian Stres


Kata stress berasal dari kosakata Bahasa Inggris. Menurut Kamus Oxford, stress memiliki
paling tidak enam pengertian, sesuai penggunaannya dibidang-bidang yang berbeda. Disana
stress diterjemahkan sebagai: (1) tekanan atau kecemasan yang disebabkan oleh masalah-masalah
dalam kehidupan seseorang; (2) tekanan yang diberikan ke suatu benda yang bisa merusak benda
itu atau menghilangkan bentuknya; (3) kepentingan khusus yang diarahkan kepada sesuatu; (4)
suatu kekuatan ekstra yang dikerahkan ketika mengucapkan suatu kata khusus; (5) suatu
kekuatan ekstra yang digunakan untuk membuat suara khusus dalam musik; (6) penyakit yang
ditimbulkan oleh kondisi fisik yang terganggu.

Pada tahun 1600-an, Robert Hooke membuat konsep stres berdasarkan prinsip mekanika
dan beban (tenaga eksternal), stres (daerah yang mendapat tenaga), dan ketegangan
(strain,kerusakan sebagai hasil beban dan stres). Penelitian ilmiah tentang stres semula dilakukan
untuk menguji bagaimana reaksi makhluk hidup menggunakan sumber dayanya untuk melawan
atau lari dari stimulus yang mengancam, baik menghadapi ketegangan fisik (seperti beban yang
di luar kemampuannya), atau ketegangan psikologis (seperti kesulitan atau emosi negatif yang
dihasilkan dari konflik hubungan sosial).

Stres merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari. Sarafino dalam Smet
mendefinisikan stres sebagai suatu kondisi yang disebabkan oleh transaksi antara individu
dengan lingkungan yang menimbulkan jarak antara tuntutan-tuntutan yang berasal dari berbagai
situasi dengan sumber-sumber daya sistem biologis, psikologis dan sosial seseorang.

Menurut Taylor stres adalah pengalaman emosional negatif yang disertai dengan
perubahan fisiologis, biokimiawi, kognisi, dan perilaku yang bertujuan untuk mengubah atau
menyesuaikan diri terhadap situasi yang menyebabkan stres.

Lazarus dalam Hasan mengembangkan teori penilaian kognitif (cognitive appraisal)


untuk memberikan penjelasan tentang stres dalam lingkup yang luas. Ia memberikan definisi
stres yang mencakup berbagai faktor, yang terdiri dari stimulus, tanggapan, penilaian kognitif
terhadap ancaman, gaya pertahanan (coping styles), perlindungan psikologis dan situasi sosial.
Lazarus menilai bahwa ancaman (threat) merupakan kata kunci dari stres, yang dinilai secara
subjektif ketika seseorang mempersepsikan efek negatif potensial dan stresor. Dalam teorinya ini,
Lazarus mengatakan bahwa terdapat dua tahap penilaian dari stresor potensial. Penilaian utama
(primary appraisal) merupakan penilaian pribadi, apakah kejadian memiliki hubungan dan
memiliki implikasi negatif. Penilaian sekunder (secondary appraisal) melibatkan determinasi
pribadi, apakah ia memiliki kemampuan dan sumber daya yang memadai untuk mengatasi
potensi ancaman dan bahaya. Menurut teori ini, seseorang baru mengalami stres sebagai reaksi
setelah penilaian diberikan.

Lazarus menambahkan bahwa stres terjadi jika pada individu terdapat tuntutan yang
melampaui sumber daya yang dimiliki individu untuk melakukan adjustment. Adapun yang
dimaksud dengan tuntutan adalah segala elemen fisik maupun psikososial dari situasi, yang
ditanggapi melalui tindakan fisik maupun mental oleh individu sebagai upaya untuk
menyesuaikan diri. Stres juga terjadi apabila terdapat ketidakseimbangan antara tuntutan yang
dihadapi oleh individu dan kemampuan yang dimilikinya.

Berdasarkan berbagai definisi diatas, maka dapat di ambil kesimpulan bahwa stres adalah
keadaan yang disebabkan oleh adanya tuntutan internal maupun eksternal (stimulus) yang dapat
membahayakan, tidak terkendali atau melebihi kemampuan individu akan bereaksi baik secara
fisiologis maupun secara psikologis (respon) dan melakukan usaha-usaha penyesuaian diri
terhadap situasi tersebut.

2.1.2 Klasifikasi Stres

Selye dalam Rice menggolongkan stres menjadi dua golongan. Penggolongan ini
didasarkan atas persepsi individu terhadap stres yang dialaminya:

a. Distress (stres negatif)


Selye menyebutkan distress merupakan stres yang merusak atau bersifat tidak
menyenangkan. Stres dirasakan sebagau suatu keadaan dimana individu mengalami
rasa cemas, ketakutan, khawatir, atau gelisah. Sehingga individu mengalami keadaan
psikologis yang negatif, menyakitkan, dan timbul keinginan untuk menghindarinya.
b. Eustress (stres positif)
Selye menyebutkan bahwa eustress bersifat menyenangkan dan merupakan
pengalaman yang memuaskan. Hanson mengemukakan frase joy of stress untuk
mengungkapkan hal-hal yang bersifat positif yang timbul dari adanya stres. Eustress
juga dapat meningkatkan motivasi individu untuk menciptakan sesuatu, misalnya
menciptakan karya seni.

Sedangkan variabel yang dapat diidentifikasikan sebagai penyebab timbulnya stres


disebut stressor. Datangnya stressor dapat sendiri-sendiri atau dapat pula bersamaan.

2.1.3 Penyebab Stres

Menurut Sunaryo dalalm Hidayah Stresor adalah semua kondisi stimulasi yang berbahaya
dan menghasilkan reaksi stres, misalnya jumlah semua respons fisiologis nonspesifik yang
menyebabkan kerusakan dalam sistem biologis. Stress reaction acute (reaksi stres akut) adalah
gangguan sementara yang muncul pada seorang individu tanpa adanya gangguan mental lain
yang jelas, terjadi akibat stres fisik dan atau mental yang sangat berat, biasanya mereda dalam
beberapa jam atau hari. Kerentanan dan kemampuan koping (coping capacity) seseorang
memainkan peranan dalam terjadinya reaksi stres akut dan keparahannya.

Sumber stres dapat berasal dari dalam tubuh dan di luar tubuh, sumber stres dapat berupa
biologik/fisiologik, kimia, psikologik, sosial dan spiritual, terjadinya stres karena stressor
tersebut dirasakan dan dipersepsikan oleh individu sebagai suatu ancaman sehingga
menimbulkan kecemasan yang merupakan tanda umum dan awal dari gangguan kesehatan fisik
dan psikologis contohnya:

a. Stressor biologik dapat berupa; mikroba; bakteri; virus dan jasad renik
lainnya, hewan, binatang, bermacam tumbuhan dan mahluk hidup lainnya
yang dapat mempengaruhi kesehatan misalnya; tumbuhnya jerawat (acne),
demam, digigit binatang dll, yang dipersepsikan dapat mengancam konsep
diri individu.

b. Stressor fisik dapat berupa; perubahan iklim, alam, suhu, cuaca, geografi;
yang meliputi letak tempat tinggal, domisili, demografi; berupa jumlah
anggota dalam keluarga, nutrisi, radiasi kepadatan penduduk, imigrasi,
kebisingan dll.
c. Stressor kimia; dari dalam tubuh dapat berupa serum darah dan glukosa
sedangkan dari luar tubuh dapat berupa obat, pengobatan, pemakaian
alkohol, nikotin, cafein, polusi udara, gas beracun, insektisoda, pencemaran
lingkungan, bahan-bahan kosmetika, bahan-bahan pengawet, pewarna dan
lain-lain.

d. Stressor sosial psikologik, yaitu labeling (penamaan) dan prasangka,


ketidakpuasan terhadap diri sendiri, kekejaman (aniaya, perkosaan) konflik
peran, percaya diri yang rendah, perubahan ekonomi, emosi yang negatif,
dan kehamilan.

e. Stressor spirital; yaitu adanya persepsi negatif terhadap nilai-nilai


keTuhanan.

2.1.4 Tanda dan Gejala Stres

Menurut dr LA Hartono (2007) dalam stroke dan stres, beberapa gejala awal akibat stres
dapat dibagi menjadi keluhan somatik, psikis, dan gangguan psikomotor dengan atau tanpa gejala
psikotik.

a. Keluhan Somatik (sakit)


Keluhan Somatik antara lain adalah sebagai berikut:
1) Gangguan cerna.
2) Nyeri dada atau debar jantung (palpitasi).
3) Insomnia berupa sulit tidur atau tidur tapi mudah terbangun.
4) Gangguan yang tidak spesifik seperti sakit kepala atau tidak nafsu makan.
5) Nyeri otot, letih, lesu, tidak bergairah.
b. Keluhan Psikis
Keluhan psikis antara lain adalah sebagai berikut:
1) Putus asa, merasa masa depan suram.
2) Sedih dan merasa bersalah.
3) Impulsif dan mudah marah.
4) Selalu tegang dan suka menyendiri.
c. Gangguan psikomotor
Gangguan psikomotor antara lain adalah sebagai berikut:
1) Gairah kerja/belajar menurun.
2) Mudah lupa dan konsentrasi berkurang.

Sedangkan menurut Kozier, mengemukakan bahwa gejala psikologis


individu yang mengalami stres, antara lain:

a. Kecemasan
Cemas adalah perasaan yang tidak menyenangkan tidak menentu dari individu dimanan
penyebabnya tidak pasti/tidak ada objek yang nyata misalnya; cemas kalau hasil ujian
jelek, cemas tidak naik kelas, cemas menunggu kedatangan, menunggu keberangkatan,
terlambat, dll. Cemas dapat digolongkan menjadi; cemas ringan, cemas sedang dan cemas
berat.
b. Marah
Marah adalah suatu reaksi emosi yang subyektif, atau kejengkelan dan ketidakpuasan
individu terhadap tuntutan yang tidak terpenuhi. Ada tiga cara ekspresi marah yang
konstruktif :
a) Perhatian; yaitu aksi mencari perhatian ornag lain dengan cara memanggil nama.
b) Mencari penjelasan; proses mencari penjelasan atas masalah yang menyebabkan
marah misalnya; ...”apa yang sedang terjadi? Ada apa?”.
c) Identifikasi; yaitu mencari respon dan mendukung orang lainmisalnya; apa yang saya
lakukan ini salah?

2.1.5 Tahapan Stres

Menurut Dr. Robert J. Van Amberg sebagaimana dikemukakan oleh Prof Dadang Hawari
dalam Sunaryo membagi tahapan-tahapan stres sebagai berikut :

1) Stres tahap I
Tahapan ini merupakan tahapan stres yang paling ringan dan biasanya disertai dengan
perasaan-perasaan sebagai berikut:
a. Semangat bekerja besar, berlebihan (over acting)

b. Penglihatan “tajam” tidak sebagaimana biasanya

c. Merasa mampu menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya, namun


tanpa disadari cadangan energi semakin menipis.

2) Stres tahap II
Dalam tahapan ini dampak/respon terhadap stresor yang semula menyenangkan
sebagaimana diuraikan pada tahap I di atas mulai menghilang dan timbul keluhan-
keluhan yang disebabkan karena cadangan energi yang tidak lagi cukup sepanjang
hari, karena tidak cukup waktu untuk beristirahat. Istirahat yang dimaksud antara lain
dengan tidur yang cukup, bermanfaat untuk mengisi atau memulihkan cadangan
energi yang mengalami defisit. Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh
seseorang yang berada pada stres tahap II adalah sebagai berikut:
a. Merasa letih sewaktu bangun pagi yang seharusnya merasa segar

b. Merasa mudah lelah sesudah makan siang

c. Lekas merasa lelah menjelang sore hari

d. Sering mengeluh lambung/perut tidak nyaman (bowel discomfort)

e. Detakan jantung lebih keras dari biasanya (berdebar-debar)

f. Otot-otot punggung dan tengkuk terasa tegang

g. Tidak bisa santai.

3) Stres Tahap III

a. Apabila seseorang tetap memaksakan diri dalam pekerjaannya tanpa


menghiraukan keluhan-keluhan pada stres tahap II, maka akan menunjukkan
keluhan-keluhan yang semakin nyata dan mengganggu, yaitu:
b. Gangguan lambung dan usus semakin nyata; misalnya keluhan maag, buang
air besar tidak teratur (diare)

c. Ketegangan otot-otot semakin terasa

d. Perasaan ketidaktenangan dan ketegangan emosional semakin meningkat

e. Gangguan pola tidur (insomnia), misalnya sukar untuk mulai masuk tidur
(early insomnia) atau terbangun tengah malam dan sukar kembali tidur
(middle insomnia) atau bangun terlalu pagi atau dini hari dan tidak dapat
kembali tidur (late insomnia)

f. Koordinasi tubuh terganggu (badan terasa akan jatuh dan serasa mau pingsan).
Pada tahapan ini seseorang sudah harus berkonsultasi pada dokter untuk
memperoleh terapi, atau bisa juga beban stres hendaknya dikurangi dan tubuh
memperoleh kesempatan untuk beristirahat guna menambah suplai energi
yang mengalami defisit.

4) Stres Tahap IV
Gejala stres tahap IV, akan muncul:
a. Untuk bertahan sepanjang hari saja sudah terasa amat sulit
b. Aktivitas pekerjaan yang semula menyenangkan dan mudah diselesaikan menjadi
membosankan dan terasa lebih sulit
c. Yang semula tanggap terhadap situasi menjadi kehilangan
kemampuan untuk merespons secara memadai (adequate)
d. Ketidakmampuan untuk melaksanakan kegiatan rutin sehari-hari
e. Gangguan pola tidur disertai dengan mimpi-mimpi yang menegangkan. Seringkali
menolak ajakan (negativism) karena tiada semangat dan kegairahan
f. Daya konsentrasi daya ingat menurun
g. Timbul perasaan ketakutan dan kecemasan yang tidak dapat dijelaskan apa
penyebabnya.

5) Stres Tahap V
Bila keadaan berlanjut, maka seseorang itu akan jatuh dalam stres tahap V, yang
ditandai dengan hal-hal sebagai berikut:
a. Kelelahan fisik dan mental yang semakin mendalam (physical dan
psychological exhaustion)
b. Ketidakmampuan untuk menyelesaikan pekerjaan sehari-hari yang ringan dan
sederhana
c. Gangguan sistem pencernaan semakin berat (gastrointestinal disorder)
d. Timbul perasaan ketakutan, kecemasan yang semakin meningkat, mudah
bingung dan panik.

2.2 Tidur

2.2.1 Pengertian Tidur

Tidur merupakan alah satu cara untuk melepas kelelahan baik jasmani maupun mental.
Menurut (Peter, 1985: 10) berpendapat bahwa tidur merupakan suatu keadaan yang sederhana.
Dalam keadaan tidur, sedikit sekali yang dapat diingat secara normal dapat dikatakan bahwa
dalam tidur semua system dalam tubuh kita berkurang kegiatannya. Pengurangan ini sampai
batas paling dasar dan akan tetap dalam batas ini sapai kita bangun kembali keesokan harinya.

Tidur adalah suatu proses yang sangat penting bagi manusia, karena dalam tidur terjadi
proses pemulihan, proses ini bermanfaat mengembalikan kondisi seseorang pada keadaan
semula, dengan begitu, tubuh yang tadinya mengalami kelelahan akan menjadi segar kembali.
Proses pemulihan yang terhambat dapat menyebabkan organ tubuh tidak bisa bekerja dengan
maksimal, akibatnya orang yang kurang tidur akan cepat lelah dan mengalami penurunan
konsentrasi (Ulimudiin, 2011).

Saat “ tidur dalam,” otak memperbaiki dirinya sendiri dan merangsang pembentukan
sistem kekebalan. Kita ketahui bahwa tidur adalah sebuah reflek yang rumit, yang mensyaratkan
relaksasi dan sejumlah kondisi lain fasilitasi untuk proses ini dikenal sebagai tidur higinis
(hygien) (Rafknowledge, 2004: 23- 24). Wicaksono (2012) (Menurut Lanywati, 2001),
kebutuhan tidur yang cukup, ditentukan selain oleh jumlah faktor jam tidur (kuantitas tidur), juga
oleh kedalaman tidur (kualitas tidur). Kualitas tidur adalah kepuasan seseorang terhadap tidur,
sehingga seseorang tersebut tidak merasa lelah, mudah terangsang dan gelisah, lesu dan apatis,
kehitaman di sekitar mata, kelopak mata bengkak, konjungtiva merah, mata perih, perhatian
terpecah-pecah, sakit kepala dan sering menguap atau mengantuk Hidayat (2006). Kualitas tidur
meliputi aspek kuantitatif dan kualitatif tidur, seperti lamanya tidur, waktu yang diperlukan untuk
bisa tertidur, frekuensi terbangun dan aspek subjektif seperti kedalaman dan kepulasan tidur.
Buysse et al (1998).

2.2.2 Kualitas Tidur

Setiap malam seseorang mngalami dua jenis tidur yang berbeda dan saling bergantian yaitu:
tidur (Rapid-Eye Movement) dan non REM (Non Rapid- Eye Movement). (Rafknowledge, 2004:
2-3).

a. Tidur REM
Tidur REM (rapid eye movement) terjadi disaat kita bermimpi hal tersebut ditandai
dengan tingginya aktivitas mental, dan fisik. Ciri-cirinya antara lain; detak jantung,
tekanan darah, dan cara bernapas sama dengan yang dialami saat kita terbangun. Masa
tidur REM kira-kira dua puluh menit dan terjadi selama empat sampai lima kali dalam
sehari.
b. Tidur Non-Rem
Tidur non-REM memiliki empat tingkatan. Selama tingkatan terdalam berlangsung (3 dan
4), orang tersebut akan cukup sulit dibangunkan. Beranjak lebih malam, status tidur non-
REM semakin ringan.Pada tingkat 4, tidur serasa menyegarkan/ meguatkan.Selama
periode ini, tubuh memperbaiki dirinya dengan menggunakan hormon yang dinamakan
somastostatin.Ilmuwan mendefinisikan bahwa tidur yang terbaik adalah tidur yang
mengalami perpaduan tepat antara mengalami REM dan non-REM.

2.2.3 Tahap-tahap / Fase Tidur

Tahapan-tahapan/ fase tidur dapat dimati melalu pengamatan gelombang otak selama
periode tidur dengan menggunakan alat EEG (electroencephalograph) (Solso, 2008: 254). Ada
beberapa tahapan dalam tidur; tahap I adalah tahapan paling “ringan“Dari keempat tahapan tidur
dan hal itu terjadi saat kita mulai merasa mengantuk. selama tahapan ini, terdapat periode-
periode singkat akivitas gelombang theta (4-7 Hz), yang mengindikasikan rasa ngantuk. Tahap II
dicirikan oleh “ kumparan “ tidur (sleep spindles), yang berupa lonjakan-lonjakan ritmik aktivitas
EEG yang bekisar pada 12-15 Hz.

Tahap III terdapat sejumlah gelombang delta berfungsi sangat rendah (1-4 Hz) , dan pola
“ kumparan “ juga berlangsung Tahap IV rekaman-rekaman EEG menunjukan hasil serupa
dengan tahap III, namun memiliki lebih banyak gelombang delta .tahap ke IV adalah tahap tidur
yang paling dalam, saat orang paling sulit di bangunkan.

2.2.4 Fungsi Tidur

(Wulandari, 2012) Fungsi tidur tetap belum jelas (Hodgson,1991 dalam Potter & Perry,
2005). Namun, tidur dapat berfungsi dalam pemeliharaan fungsi jantung terlihat pada denyut
turun 10 hingga 20 kali setiap menit.Selain itu, selama tidur, tubuh melepaskan hormon
pertumbuhan untuk memperbaiki dan memperbaharui sel epitel dan khusus seperti sel otak. Otak
akan menyaring informasi yang telah terekam selama sehari dan otak mendapatkan asupan
oksigen serta aliran darah serebral dengan optimal sehingga selama tidur terjadi penyimpanan
memori dan pemulihan kognitif. Fungsi lain yang dirsakan ketika individu tidur adalah reaksi
otot sehingga laju metabolik basal akan menurun. Hal tersebut dapat membuat tubuh menyimpan
lebih banyak energi saat tidur. Bila individu kehilangan tidur selama waktu tertentu dapat
menyebebkan perubahan fungsi tubuh, baik kemampuan motorik, memori dan keseimbangan.
Jadi, tidur dapat membantu perkembangan perilaku individu karena individu yang mengalami
masalah pada tahap REM akan merasa bingung dan curiga.

2.3 Lansia

2.3.1 Pengertian Lansia

Manusia lanjut usia (manula) merupakan populasi penduduk yang berumur tua dengan
kelompok usia 60 tahun atau lebih (Bustan, 2007). Menurut (Fatmah, 2010) lansia merupakan
proses alamiah yang terjadi secara berkesinambungan pada manusia dimana ketika menua
seseorang akan mengalami beberapa perubahan yang pada akhirnya akan mempengaruhi keadaan
fungsi dan kemampuan seluruh tubuh. Istilah manusia usia lanjut belum ada yang mematenkan
sebab setiap orang memiliki penyebutannya masing-masing seperti manusia lanjut usia (manula),
manusia usia lanjut (lansia), usia lanjut (usila), serta ada yang menyebut golongan lanjut umur
(glamur) (Maryam, 2008: 32).

2.3.2 Proses Menua

Proses menua merupakan proses fisiologis tubuh pada setiap manusia (Darmojo, 2004:
635). Proses menua ini ditandai dengan proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk
memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tubuh tidak
mampu mempertahankan dirinya terhadap infeksi serta tubuh tidak mampu memperbaiki
kerusakan yang diderita (Azizah, 2011).

Penuaan akan mengakibatkan penurunan kondisi anatomis dan sel akibat menumpuknya
metabolit dalam sel. Metabolit bersifat racun terhadap sel sehingga bentuk dan komposisi
pembangun sel akan mengalami perubahan. (Azizah, 2011: 7-8). Seiring dengan meningkatnya
usia, sistem kerja pada jantung dan pembuluh darah pun akan mengalami perubahan dari segi
struktur dan fungsinya. Perubahan pada lansia khususnya sistem kerja pada jantung meliputi
perubahan pada ventrikel kiri dan katup jantung yang mengalami penebalan dan membentuk
tonjolan, jumlah sel pacemaker mengalami penurunan yang mana implikasi klinisnya akan
menimbulkan disritmia pada lansia, kemudian terdapat arteri dan vena yang menjadi kaku ketika
dalam kondisi dilatasi sehigga katup jantung tidak kompeten yang akibatnya akan menimbulkan
implikasi klinis berupa edema pada ekstremitas (Stanley & Beare, 2006: 179).

Lansia dapat mengalami perubahan struktur pada jantung. Ketebalan dinding ventrikel
cenderung meningkat akibat adanya peningkatan densitas kolagen dan hilangnya fungsi serat
elastis. Sehingga dapat berdampak pada kurangnya kemampuan jantung untuk berdistensi. Pada
permukaan di dalam jantung seperti pada katup mitral dan katup aorta akan mengalami penebalan
dan penonjolan di sepanjang garis katup. Obstruksi parsial terhadap aliran darah selama denyut
sistole dapat terjadi ketika pangkal aorta mengalami kekakuan sehingga akan menghalangi
pembukaan katup secara sempurna (Stanley & Beare, 2006: 179).

Perubahan struktural dapat mempengaruhi konduksi sistem jantung melalui peningkatan


jumlah jaringan fibrosa dan jaringan ikat. Dengan bertambahnya usia, sistem aorta dan arteri
perifer menjadi kaku. Kekakuan ini terjadi akibat meningkatnya serat kolagen dan hilangnya
serat elastis dalam lapisan medial arteri. Proses perubahan akibat penuaan ini akan menyebabkan
terjadinya ateriosklerosis yaitu terjadinya peningkatan kekakuan dan ketebalan pada katup
jantung (Stanley & Beare, 2006: 180).

Proses penuaan ini mampu menjadikan lansia mengalami perubahan fungsional dari sudut
pandang sistem kardiovaskuler. Dimana perubahan utama yang terjadi adalah menurunnya
kemampuan untuk meningkatkan keluaran sebagai respon terhadap peningkatan kebutuhan
tubuh. Seiring bertambahnya usia denyut dan curah jantung pun mengalami penurunan, hal itu
terjadi karena miokardium pada jantung mengalami penebalan dan sulit untuk diregangkan.
Katup-katup yang sulit diregangkan inilah yang dapat menimbulkan peningkatan waktu
pengisian dan peningkatan tekanan diastolik yang diperlukan untuk mempertahankan preload
yang adekuat (Stanley & Beare, 2006: 180).

2.3.3 Karakteristik dan Klasifikasi Lansia


a. Karakteristik Lansia

Menurut (Maryam, 2008: 33) karakteristik lansia disebutkan menjadi 3 diantaranya adalah :

1) Seseorang yang berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) UU No.13
tentang kesehatan)
2) Variasi lingkungan tempat tinggalnya
3) Masalah dan kebutuhan lansia yang beragam.

b. Klasifikasi Lansia

Menurut Word Health Organization (WHO), (Fatmah, 2010: 8) dan (Aspiani, 2014: 20),
klasifikasi lansia dibedakan menjadi 4 kelompok usia :

1) Usia Pertengahan (Middle Age): Usia 45-59 Tahun


2) Usia Lansia (Elderly): Usia 60-74 Tahun
3) Usia Lansia Tua (Old): Usia 75-90 Tahun
4) Usia Sangat Tua (Very Old): Usia Diatas 90 Tahun

2.4 Hipertensi

2.4.1 Pengertian Hipertensi

Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan peningkatan tekanan darah sistolik lebih
dari 140 mmHg (milimeterhidrogen) dan peningkatan pada tekanan darah diastolik lebih dari 90
mmHg (milimeterhidrogen) pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam
keadaan cukup istirahat/tenang. (Kemenkes RI, 2014). Hipertensi terjadi akibat kombinasi efek
retensi garam dan cairan serta efek vasokontriksi kelebihan angiotensin II (Sherwood, 2014:
575).

2.4.2 Jenis Hipertensi

Tekanan darah diklasifikasikan menjadi dua yaitu tekanan darah siatolik atau angka atas
dan tekanan darah diastolik atau angka bawah. Ketika terjadi pengerutan bilik jantung dan darah
memompa dengan tekanan maksimalnya maka itu yang disebut dengan tekanan darah siastolik
atau angka atas pada penentuan tekanan darah (Suprapto, 2014: 13). Angka bawah atau tekanan
darah diastolik terjadi ketika jantung mengalami penurunan tekanan darah akibat jantung dalam
keadaan mengembang atau dalam keadaan istirahat kekuatan penahan pada dinding pembuluh
darah (Suprapto, 2014: 13).

2.4.3 Klasifikasi Hipertensi

Menurut (Syamsudin, 2011: 22) Penyakit hipertensi merupakan penyakit multifaktor.


Pada penyakit hipertensi terjadi peningkatan resistensi vaskular akibat efek vasokonstriksi yang
melebihi efek vasodilatasi (Syamsudin, 2011: 22). Peningkatan aktivasi Renin Angiotensin
System (RAS), meningkatnya sensitivitas arteriol perifer terhadap mekanisme vasokonstriksi
normal, dan karena efek alpha adrenergic merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi
peningkatan vasokonstriksi (Syamsudin, 2011: 22). Berikut klasifikasi hipertensi menurut
(Suprapto, 2014: 14):

a. Hipertensi Primer (essensial hypertension/primary hypertension)

Hipertensi primer dijelaskan oleh (Susanto, 2010: 12) bahwa penyebab spesifik
hipertertensi ini masih belum diketahui. Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi
primer. Diantara banyak faktor yaitu hiperaktivitas, susunan saraf simpatis, sistem renin
angiotensin, obesitas, merokok, stres, genetika dan lingkungan.

b. Hipertensi Sekunder (secondary hypertension)

Susanto (2010: 12) pun menjelaskan mengenai hipertensi sekunder bahwa peningkatan
angka kejadian hipertensi sekunder semakin meningkat. Hipertensi sekunder diakibatkan oleh
gangguan pada pembuluh darah, dimana pembuluh darah mengalami penyempitan terutama pada
bagian ginjal, selain itu terdapat penyakit lain yang menjadi faktor meningkatnya hipertensi
sekunder yaitu tumor dan gangguan hormon. Gangguan tersebut dapat mengakibatkan kerja
jantung lebih maksimal sehingga peningkatan tekanan darah terjadi.

2.4.4 Penyebab Hipertensi


Penyebab hipertensi menurut (Susanto, 2010: 13) terjadi karena beberapa faktor yaitu
diantaranya genetika, obesitas, stres lingkungan, jenis kelamin, pertambahan usia, asupan garam
berlebih, gaya hidup yang kurang sehat, obat-obatan dan akibat penyakit lain. Penyebab
hipertensi memang belum jelas (Susanto, 2010: 13). Hipertensi menurut (Susanto, 2010: 12)
disebabkan oleh peningkatan volume darah yang dipompa oleh jantung yang mengakibatkan
peningkatan darah pada pembuluh arteri. Hipertensi sejatinya memiliki gejala dan penyebab yang
spesifik jika dikaji lebih lanjut. Hipertensi juga tidak memiliki satu penyebab yang pasti. Pada
masing-masing individu memiliki perbedaan penyebab hipertensi yang spesifik. (Susanto, 2010:
17). (Suprapto, 2014: 19) menambahkan kejadian hipertensi terjadi oleh karena beberapa hal
diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Volume cairan bertambah besar ketika terjadi peningkatan kerja jantung dalam memompa
darah di dalam tubuh
b. Volume darah meningkat akibat ketidakmampuan ginjal dalam membuang garam dan air
dalam tubuh yang biasa terjadi pada penderita dengan kelainan fingsi ginjal
c. Rangsangan saraf atau hormon dalam darah meningkat, adanya ateriosklerosis (kekakuan
dan ketebalan) pada arteri besar yang menjadi penyebab darah tidak dapat mengalir
secara sempurna melalui arteri tersebut sehingga tekanan darah meningkat oleh karena
darah yang mengalir melalui arteri kecil.
Variabel Dependen

Kualitas Tidur Pada


Lansia Hipertensi
BAB III

KERANGKA PENELITIAN

Bab ini akan menguraikan kerangka konsep dari penelitian yang akan menjelaskan lebih
singkat variabel – variabel apa saja yang diteliti.

3.1 Kerangka Konsep

Variabel Independen
Stres

Skema 1 Kerangka Konsep Hubungan Stres dengan Kualitas Tidur Lansia Hipertensi.

3.2 Defenisi Operasional

No Variabel Defenisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala


Operasional
1 Independen Stres merupakan Menggunakan • Stres Ordinal
stres reaksi tubuh kuisioner yang ringan
terhadap terdiri dari 10 (total
pengalaman dan pertanyaan tentang skor
persepsi lansia perasaan dan 1-14)
tentang apa yang pikiran responden • Stres
dirasakan dalam dalam satu bulan sedan
kehidupan sehari – terakhir. g
harinya dari 1. Jawaban (total
perasaan tidak tidak skor
terprediksi, pernah 15-
perasaan tidak diberi skor 26)
terkontrol dan 2. Jawaban • Stres
perasaan tertekan. Hampir berat
Tidak (total
pernah skor
diberi skor >26)
1
3. Jawaban
Kadang –
kadang
diberi skor
2
4. Cukup
sering
diberi skor
3.
5. Sangat
sering
diberi skor
4.

2 Dependen Kualitas tidur Kuisioner Skor 0 = Ordinal


Kualitas lansia merupakan Pittsburgh Sleep Tidak ada
Tidur pada nilai kepuasaan dan Quality gangguan
Lansia kecukupan seorang Index(PSQI) tidur, skor 1-
dengan lansia terhadap PSQI memiliki 7 = gangguan
Hipertensi tidur sehingga konsisten internal tidur ringan,
lansia tersebut koefisien skor 8-13 =
tidak reliabilitas sebesar gangguan
memperlihatkan 0,83 untuk ketujuh tidur sedang,
perasaan kelelahan, komponennya. skor 15-21 =
gelisah, lesu, gangguan
apatis, kehitaman tidur berat
disekitar mata,
kelopak mata
bengkak,
konjungtiva merah,
sering menguap,
gangguan tidur,
perhatian terpecah-
pecah, dan sakit
kepala.

3.3 Hipotesa Penelitian

Hipotesis adalah sebuah dugaan dari hubungan antara dua atau lebih variabel (Polit & Beck,
2018). Hipotesis penelitian (Ha) adalah jawaban sementara masalah penelitian yang
memperlihatkan ada hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat.

1. Ho : Tidak ada hubungan antara stress dengan kualitas tidur pada lansia dengan hipertensi
di panti jompo graha residen senior karya kasih, kecamatan Medan Polonia.
2. Ha : Ada hubungan antara stress dengan kualitas tidur pada lansia dengan hipertensi di
panti jompo graha residen senior karya kasih, kecamatan Medan Polonia.
BAB IV

METODE PENILITIAN

4.1 Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah desain penelitian deskriptif korelatif. Penelitian
deskriptif korelatif bertujuan untuk mengambarkan atau mencari hubungan antara variable
independen yaitu stress dengan variable dependen yaitu kualitas tidur lansia hipertensi.
Berdasarkan sifat deskriptifnya, maka penelitian ini menggunakan pendekatan Cross Sectional
atau sering juga disebut penelitian transversal yang mana pengumpulan data dilakukan sekaligus
dalam waktu yang sama (Notoatmodjo, 2010).

4.2 Populasi, Sampel dan Teknik Sampling

4.2.1. Populasi

Populasi adalah subjek yang memenuhi kriteria yang telah di tetapkan (Nursalam, 2013).
Populasi dalam penelitian ini adalah 115 Lansia Hipertensi di panti jompo graha residen senior
karya kasih, kecamatan Medan Polonia.

4.2.2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi terjangkau yang dapat dipergunakan sebagai subjek
penelitian melalui sampling (Nursalam, 2013). Sampel dalam penelitian ini adalah 50 lansia
hipertensi di panti jompo graha residen senior karya kasih, kecamatan Medan Polonia.

4.2.3. Teknik Sampling

Teknik pengambilan sampel merupakan cara–cara yang ditempuh dalam pengambilan


sampel. Agar memperoleh sampel yang benar-benar sesuai dengan keseluruhan subjek penelitian
(Nursalam, 2013). Teknik sampling dalam penelitian ini menggunakan metode Probability
Sampling. Yang dimana setiap subjek dalam populasi mempunyai kesempatan untuk terpilih atau
tidak terpilih menjadi sampel. Dengan teknik Simple Random Sampling, yaitu teknik
pengambilan sampel dari anggota populasi yang dilakukan secara acak tanpa memperhatikan
strata yang ada dalam populasi (Sugiyono, 2018). Adapun kriteria yang akan dijadikan sampel
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kriteria Inklusi

a. Lanjut usia yang berusia 50 tahun keatas

b. Lanjut usia yang bersedia menjadi responden

c. Lanjut usia penderita hipertensi yang tinggal di panti jompo graha residen senior karya kasih,
kecamatan Medan Polonia.

d. Lanjut usia yang tidak mengalami gangguan penglihatan, pendengaran dan bisa berinteraksi
baik secara verbal maupun non verbal.

2. Kriteria Eklusi

a. Lansia yang mengalami ODGJ

b. Lansia yang droup out atau tidak mengikuti proses penelitian hingga selesai.

4.3 Instrumen Penelitian

4.3.1. Instrumen Penelitian Tingkat Stress

Instrumen pada penelitian ini adalah kuesioner Perceived Stress Scale (PSS-10) yang
dirancang oleh Cohen (1994). Skala ini dirancang untuk mengukur sejauh mana situasi dalam
kehidupan individu yang dinilai sebagai stress. Skala ini terdiri dari 10 item yang disusun
berdasarkan pengalaman dan persepsi individu tentang apa yang dirasakan dalam kehidupan
mereka, yaitu perasaan tidak terprediksi (feeling of unpredictability), perasaan tidak terkontrol
(feeling of uncontrollability) dan perasaan tertekan (feeling of overloaded), (Cohen, Kamarck &
Mermelstein, 1983). Skala ini menggunakan alternatif yaitu tidak pernah (TP), jarang (J),
kadang-kadang (KK), sering (S) dan sangat sering (SS) dengan skor 1-14 = Stress ringan, skor
15-26= Stress Sedang, dan skor >26 = stress berat.

4.3.2. Instrumen Kualitas Tidur Lansia Dengan Hipertensi

Instrumen pada penelitian ini adalah kuesioner Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI)
yang terdiri dari (tujuh) komponen, yaitu kualitas tidur subjektif, latensi tidur, durasi tidur,
efisiensi tidur sehari-hari, gangguan tidur, penggunaan obat tidur, dan disfungsi aktivitas siang
hari. Penilaian diperoleh dari skor yang diperoleh dari responden yang telah menjawab
pertanyaan-pertanyaan pada kuesioner PSQI dengan cara menjumlahkan skor 7 komponen
kemudian ketika suda dijumlahkan menjadi skor global 0-21 dengan skor 0 = tidak ada gangguan
tidur, skor 1-7= gangguan tidur ringan, skor 8-13= gangguan tidur sedang, dan skor 15-21=
gangguan tidur berat.

4.4 Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subyek dan proses
pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam suatu penelitian (Nursalam, 2013).
Langkah-langkah dalam pengumpulan data bergantung pada rancangan penelitian dan teknik
instrument yang digunakan. Pengumpulan data dalam penilitian ini menggunakan jenis data
primer. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian dengan alat
pengambilan atau alat pengukuran data, langsung pada subjek sebagai sumber informasi yang
diperlukan (Saryono, 2013).

Dalam penelitian ini data primer diperoleh dari kuesioner. kuesioner adalah suatu daftar
yang berisikan rangkaian pertanyaan mengenai sesuatu masalah atau bidang yang akan diteliti.
Untuk memperoleh data, kuesioner disebarkan kepada responden (orang-orang yang menjawab
atas pertanyaan yg diajukan untuk kepentingan penelitian), terutama pada penelitian survei (
Arikunto, 2016). Pemberian kuesioner pada lansia dengan hipertensi di panti jompo graha residen
senior karya kasih, kecamatan Medan Polonia.

4.4.1. Tahap Persiapan

1. Sebelum melakukan pengumpulan data, peneliti mengajukan surat penelitian ke komisi etik
penelitian.

2. Setelah mendapatkan izin dari Komisi etik penelitian, peneliti mengajukan surat permohonan
ke panti jompo graha residen senior karya kasih, kecamatan Medan Polonia dan menjelaskan
tujuan dari penelitian yang akan dilakukan.

3. Mempersiapkan lembar inform consent dan kuesioner yang berisi sejumlah pertanyaan yang
digunakan untuk memperoleh informasi dari responden sesuai dengan jumlah sampel yang telah
ditentukan.

4.4.2. Tahap Pelaksanaan

1. Menentukan sampel yang akan diambil, atas pertimbangan dari data yang diperoleh dari hasil
wawancara di panti jompo graha residen senior karya kasih, kecamatan Medan Polonia.

2. Setelah mendapatkan izin dari kepada manager panti jompo graha residen senior karya kasih,
kecamatan Medan Polonia untuk melakukan penelitian.

3. Mengumpulkan responden dan menjelaskan kegiatan yang ingin dilakukan.


4. Memberikan inform consent kepada responden dan meminta responden menandatangani surat
pernyataan bersedia menjadi responden.

5. Membagikan lembar kuesioner dan menjelaskan prosedur pengisian kuesioner.

6. Meminta responden mengisi kuesioner dengan sejujur – jujurnya.

4.4.3 Tahap Evaluasi

1. Mengecek kode, kelengkapan identitas, dan kesesuaian responden.

2. Mengecek kelengkapan data.

3. Memeriksa kembali jika ada pengisian yang salah atau kurang lengkap.

4.4.4 Pengelolaan Data

Analisa data dilakukan melalui pengolahan data yang dilakukan melalui beberapa tahap yaitu
editing, coding, entry, cleaning data dan tabulating data (Notoatmodjo, 2012) :

1. Editing data
Hasil yang diperoleh dari kuesioner atau pengamatan peneliti dari lapangan,
kemudian dilakukan penyuntingan (editing). Secara umum editing merupakan kegiatan
untuk dilakukan pemeriksaaan atau pengecekan dan perbaikan isian formulir dari alat
ukur yang digunakan, seperti Perceived Stress Scale (PSS-10) dan Pittsburgh Sleep
Quality Index (PSQI) (Notoatmodjo, 2012).
2. Coding data
Tujuan dari coding data yaitu mengidentifikasi data yang terkumpul dan
memberikan angka. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah dalam melakukan analisa
data. Dalam penelitian ini yang dilakukan oleh peneliti adalah Setelah dilakukan editing
atau penyuntingan, kemudian dilakukan Peng “kodean” atau “coding”, yakni mengubah
data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data angka atau bilangan (Notoatmodjo, 2012).
3. Entry data
Peneliti memasukkan jawaban-jawaban dari setiap responden dalam bentuk
“kode” (angka atau huruf) dimasukkan ke dalam program atau “software” komputer. Data
dari responden, seperti karakteristik responden, serta variabel dari kuesioner Perceived
Stress Scale (PSS-10) dan Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI). Program yang sering
digunakan untuk memasukkan data dalam penelitian adalah program SPSS for Window
(Notoatmodjo, 2012). (Notoatmodjo, 2012).
4. Cleaning data
Cleaning data Merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di entry
untuk melihat kemungkinan ada kesalahan kode, ketidaklengkapan, dan kemudian
dilakukan koreksi. Setelah semua data diolah, peneliti melakukan pengecekan kembali
untuk memastikan tidak ada kesalahan kode atau ketidaklengkapan (Notoatmodjo, 2012).
5. Tabulating data
Memasukkan data dalam tabel distribusi frekuensi yang disajikan dalam
prosentase sehingga diperoleh data dari masing-masing variabel (Notoatmodjo, 2010).
Dalam penelitian ini peneliti melakukan tabulasi data menggunakan program SPSS of
window (Notoatmodjo, 2012).
4.5 Analisa Data

Analisis data bertujuan untuk memperoleh gambaran dari hasil penelitian yang telah
dirumuskan dalam tujuan penelitian, membuktikan hipotesis penelitian yang telah dirumuskan,
dan memperoleh kesimpulan secara umum dari penelitian yang merupakan kontribusi dalam
pengembangan ilmu yang bersangkutan (Notoatmodjo, 2012). Analisa data yang akan digunakan
pada penelitian ini adalah :

4.5.1. Analisa Univariat

Analisa univariat bertujuan untuk menyajikan data setiap variable baik variabel dependen
maupun variabel independen. Penyajian data menggunakan data deskriptif yang di sajikan
dengan tabel dalam frekuensi masing-masing variabel yaitu tingkat stres dan kualitas tidur lansia
dengan hipertensi.

4.5.2. Analisa Bivariat

Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variable yang diduga berhubungan atau
berkorelasi. Untuk dapat menguji hipotesis dan menganalisa data yang diperoleh digunakan uji
Chi Square.

4.6 Etika Penelitian

Etika dalam penelitian sangat penting dalam pelaksanaan penelitian, beberapa penelitian
menggunakan subjek manusia yang menjadikannya sebagai isu sentral yang berkembang pada
saat ini. Pada penelitian ilmu keperawatan hampir 90% subjek yang dipergunakan adalah
manusia, maka dari itu perlu di pahami prinsip-prinsip etika penelitian, apabila hal ini tidak
dilaksanakan, maka peneliti akan melanggar hak-hak (otonomi) manusia sebagai klien
(Nursalam, 2015).
Etika dalam penelitian kesehatan didasari oleh kode etik. Kode merupakan pedoman
untuk membantu kelompok profesional jika timbul pertanyaan tentang praktik atau perilaku yang
benar, sedangkan kode etik merupakan sekumpulan petunjuk yang disetujui oleh semua anggota
profesi, diartikan juga sebagai pernyataan kolektif tentang harapan dan standar perliaku
kelompok (Nursalam, 2015). Peneliti dalam menjalankan penelitian perlu memegang teguh sikap
ilmiah (scientific attitude) serta berpegang teguh pada etika penelitian. Berikut etika penilitian
yang digunakan yaitu :

4.6.1 Lembar persetujuan penelitian (Informed Consent)

Lembar persetujuan diberikan pada subjek yang akan diteliti yaitu lansia dengan
hipertensi di panti jompo graha residen senior karya kasih, kecamatan Medan Polonia. Peneliti
menjelaskan maksud dan tujuan penelitian yang akan dilakukan. Jika responden bersedia untuk
diteliti, maka mereka harus menandatangani lembar persetujuan tersebut. Jika calon responden
menolak untuk diteliti maka peneliti tidak boleh memaksa dan tetap menghormati hak calon
responden (Notoatmodjo, 2010). Dalam penelitian ini sebelum peneliti memberikan kuesioner
untuk diisi oleh responden terlebih dahulu peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitan dan
bertanya kepada calon responden tentang kesediaannya untuk menjadi responden, kemudian
setelah calon responden bersedia untuk menjadi responden terlebih dahulu mengisi tanda tangan
pada lembar persetujuan atau disebut dengan informed consent. Peneliti menjelaskan hasil
penelitiannnya hanya digunakan untuk keperluan pendidikan dan apabila responden (lansia)
tersebut tidak mau maka berhak menolak untuk tidak mengikuti penelitian.

4.6.2 Kerahasiaan (Confidentialitity)

Peneliti ini tidak boleh menampilkan informasi mengenai identitas baik nama maupun
alamat subjek yang ada di kuesioner untuk menjaga kerasasian dan dipergunakan untuk
keperluan pendidikan. Cukup dengan memberi nomor kode atau tanda pada masing-masing
lembar tersebut (Notoatmodjo, 2010). Pada penelitian ini pada lembar kuesioner masing-masing
responden diberi kode nomor urut untuk menjaga kerahasiaan responden selain itu menjamin
bahwa informasi mengenai subjek tidak akan dilaporkan dengan membuka identitas subjek dan
tidak dapat diakses oleh orang lain selain peneliti (Polit and Beck, 2004; Potter dan Perry, 2010).

4.6.3 Keadilan (Justice)

Dalam penelitian ini subjek (Lansia) harus diperlakukan secara adil baik sebelum
dilakukan penelitian, selama penelitian, ataupun sesudah keikutsertaan dalam penelitian.
Penilitian perlu menghindari adanya diskriminasi dalam sebuah penelitian, apabila subjek
penelitian tidak bersedia atau keluar dari penelitian (Nursalam, 2015). Keadilan merujuk pada
kejujuran, keterbukaan, dan kehati-hatian. Peneliti berusaha bersikap adil dalam melaksanakan
kegiatan dengan menjamin subjek penelitian memperoleh perlakuan dan keuntungan yang sama
(Potter dan Perry, 2010). Peneliti memperlakukan semua lansia sama tanpa membeda-bedakan,
tidak membandingkan responden dalam pengisian kuesioner, hati-hati, profesional, dan juga
memperlakukan responden sesuai dengan moral, martabat dan hak asasi manusia.

4.6.4. Kemanfaatan (Benefience)

Pada dasarnya ebuah penelitian harus memberikan manfaat bagi masayarakat, bidang
ilmu, ataupun subjek penelitian pada khususnya. Peneliti perlu mengurangi dampak yang
merugikan bagi subjek penelitian (Notoatmodjo, 2012).. Manfaat dalam penelitian ini untuk
mengetahui tingkat stress dan kualitas tidur lansia dengan hipertensi. Peneliti melakukan
penelitian sesuai dengan prosedur penelitian, dan memberikan jaminan kepada lansia bahwa yang
bersangkutan terbebas dari segala penderitaan selama dilakukannya penelitian dikarenakan
peneliti tidak melakukan intervensi.

LAMPIRAN

KUESIONER PERCEIVED STRESS SCALE (PSS)

Kode :

Petunjuk Pengisian
Kuesioner ini adalah menanyakan tentang perasaan dan pikiran bapak/ibu/Saudara selama
sebulan terkhir. Terdapat lima pilihan jawaban yang disediakan untuk setiap pernyataan, yaitu:

0 : Tidak pernah.

1 : Hampir tidak pernah (1-2 kali).

2 : Kadang-kadang (3-4 kali).

3 : Hampir sering (5-6 kali) .

4 : Sangat sering (lebih dari 6 kali).

Selanjutnya, Bapak/Ibu diminta untuk menjawab pertanyaan dibawah dengan cara melingkari
pada salah satu pilihan jawaban yang paling sesuai dengan perasaan dan pikiran
Bapak/Ibu/Saudara selama satu bulan terakhir.

No PERTANYAAN 0 1 2 3 4
1 Selama sebulan terakhir, seberapa sering anda 0 1 2 3 4
marah karena sesuatu yang tidak terduga
2 Selama sebulan terakhir, seberapa sering anda 0 1 2 3 4
merasa tidak mampu mengontrol hal-hal yang
penting dalam kehidupan anda
3 Selama sebulan terakhir, seberapa sering anda 0 1 2 3 4
merasa gelisah dan tertekan
4 Selama sebulan terakhir, seberapa sering anda 0 1 2 3 4
merasa yakin terhadap kemampuan diri untuk
mengatasi masalah pribadi
5 Selama sebulan terakhir, seberapa sering anda 0 1 2 3 4
merasa segala sesuatu yang terjadi sesuai dengan
harapan anda
6 Selama sebulan terakhir, seberapa sering anda 0 1 2 3 4
merasa tidak mampu menyelesaikan hal-hal yang
harus dikerjakan
7 Selama sebulan terakhir, seberapa sering anda 0 1 2 3 4
mampu mengontrol rasa mudah tersinggung
dalam kehidupan anda
8 Selama sebulan terakhir, seberapa sering anda 0 1 2 3 4
merasa lebih mampu mengatasi masalah jika
dibandingkan dengan orang lain
9 Selama sebulan terakhir, seberapa sering anda 0 1 2 3 4
marah karena adanya masalah yang tidak dapat
anda kendalikan
10 Selama sebulan terakhir, seberapa sering anda 0 1 2 3 4
merasakan kesulitan yang menumpuk sehingga
anda tidak mampu untuk mengatasinya
Skor
Sumber : (Cohen, 1994)

LAMPIRAN 2

KUESIONER KUALITAS TIDUR (PSQI)

1. Jam berapa biasanya anda mulai tidur malam?

2. Berapa lama anda biasanya baru bisa tertidur tiap malam?

3. Jam berapa anda biasanya bangun pagi?

4. Berapa lama anda tidur di malam hari?

5 Seberapa sering masalah-masalah Tidak 1x 2x >3x


dibawah ini mengganggu tidur anda? pernah semin semingg seming
ggu u gu
a) Tidak mampu tertidur selama 30 menit
sejak berbaring
b) Terbangun ditengah malam atau terlalu
dini
c) Terbangun untuk ke kamar mandi
d) Tidak mampu bernafas dengan leluasa
e) Batuk atau mengorok
f) Kedinginan di malam hari
g) Kepanasan di malam hari
h) Mimpi buruk
i) Terasa nyeri
j) Alasan lain…
6 Seberapa sering anda menggunakan obat
tidur
7 Seberapa sering anda mengantuk ketika
melakukan aktifitas di siang hari
Tidak Kecil Sedang Besar
antusias
8 Seberapa besar antusias anda ingin
menyelesaikan masalah yang anda hadapi
Sangat Baik Kurang Sangat
baik kurang
9 Pertanyaan pre intervensi : Bagaimana
kualitas tidur anda selama sebulan yang
lalu
Pertanyaan post intervensi : Bagaimana
kualitas tidur anda selama seminggu yang
lalu
DAFTAR PUSTAKA

Agustina.,Sari.,Savita. (2015). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi Pada Lansia


di Atas Umur 65 Tahun. Jurnal Kesehatan Komunitas. Vol. 2, No. 4.

Arikunto. (2016).Prosedur Penelitian.Jakarta : Rineka cipta

Baiq, Ulfa., Abi, H., Budinugroho, A. (2015). Hubungan Tingkat Stress dan Peningkatan
Tekanan Darah Terhadap Kualitas Tidur Pada Penderita Hipertensi Lansia di Desa Wonorejo
Kecamatan Polokarto. Surakarta : Fakultas Ilmu Kesehatan. Universitas Muhammadiyah
Surakarta.

Nursalam. (2015). Metodelogi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pendekatan Praktis. Ed. 4. Jakarta:
Salemba Medika.

Masfuati, A. (2015). Hubungan Tingkat Stres Dengan Kualitas Tidur Lansia di Panti Sosial
Tresna Wredha Unit Budi Luhur Yogyakarta. Yogyakarta : Program Studi Ilmu Keperawatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Notoatmodjo.(2010).Metologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka cipta.

Notoatmodjo, S. (2012).Metodelogi Penelitian Kesehatan. Ed.4. Jakarta: Rhineka Cipta.


Potter& Perry,. (2012). Buku Ajar Fundamental Keperawatan : konsep, proses dan praktik
keperawatan.Edisi4. Vol 2. Jakarta : ECG.

Sofiana, E. (2014). Hubungan Tingkat Stres Dengan Kejadian Insomnia Pada Lansia di Desa
Tahunan Kabupaten Jepara. Kudus : Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES Cendekia
Utama Kudus.

Sugiyono.(2018). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R dan D. Bandung: Alfabet

Anda mungkin juga menyukai