PANDUAN
PRAKTIK
KLINIS
PSI KOSO
ANSI ETAS
PENGERTIAN
Ansietas merupakan kecemasan yang berlebihan dan lebih bersifat subyektif.
Pada umumnya pasien datang ke poliklinik penyakit dalam dengan keluhan somatik.
Sindrom ansi etas menurut Diagnostic and Statistical Manual ofMental Disorder Fourth
Edition Text Revision (DSM IV-TR) dibedakan menjadi beberapa macam yaitu: ansi etas
GAD (Generalized Anxiety Disorder), ansietas panik (Panic Disorder), ansietas OCD
(Obsessive Compulsive Disorder), Fobia, PTSD (Post Traumatic Stress Disorder), dan
ansietas lainnya. 1
Pada bab ini akan lebih dibahas mengenai Generalized Anxiety Disorder (GAD)
karena kasusnya yang lebih sering ditemukan. Pada beberapa penelitian menyebutkan
adanya pengaruh dari agen anxiogenic sebagai penyebab. 1
PENDEKATAN DIAGNOSJS3.4
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan bila dicurigai adanya kelainan organik.
• Hb, Ht, Leukosit, Ureum, Kreatinin, gula darah, tes fungsi hati, urin lengkap.
• Analisa gas darah, Na+, K+, Ca 2 -, T3, T4, TSH sesuai indikasi.
• Foto toraks, bila perlu.
• EKG, elektromiogram, elektroensefalogram, bila perlu.
• Endoskopi, kolonoskopi, USG bila perlu.
• Stress analyzer/ Heart rate variability untuk menilai vegetative imbalance
DIAGNOSIS BANDING
Ansietas panik, fobia, PTSD, gangguan campuran ansietas dan depresi, depresi,
gangguan somatisasi, kelainan organ yang ditemukan (koinsidensi).
TATALAKSANA5·6
• Nonfarmakologis : Edukasi, Reassurance, psikoterapi
• Farmakologis
a. Benzodiazepin : Diazepam, alprazolam, clobazam
b. Nonbenzodiazepin : Buspiron, penyekat beta bila gejala hiperaktivitas
menonjol
c. SSRI : Sertraline, fluoxetine, citalopram
d. SNRI : Duloxetine, venlafaxine
e. Simtomatik : Sesuai indikasi
KOMPLIKASI
Kurang atau tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari
PROGNOSIS
Angka remisi kurang dari 50% dalam rentang 5 - 12 tahun. Penurunan angka
remisi dapat disebabkan oleh:
1. Hubungan keluarga yang tidak harmonis.
2. Komorbid dengan kepribadian menghindar.
3. Komorbid dengan kepribadian dependent.
674
4. Komorbid dengan gangguan kepribadian obsesif kompulsif.
5. Komorbid dengan gangguan Axis I.
6. Jenis kelamin perempuan.
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. Mudjaddid E. Pemahaman dan penanganan psikosomatik gangguan ansietas dan depresi: di
bidang ilmu penyakit dalam. Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo AW.
Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid Ill edisi V. Jakarta: Intern a Publishing; 2010:2105-8.
2. Reus VI. Mental disorders. In: Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Jameson JL, Kasper DL, Longo
DL. Harrison's rinciples of Internal Medicine 17th Edition. New York: McGraw-Hill Companies;
201 0:2547-61 .
3. Diagnostic and statistical manual of mental disorders 41h ed. Washington DC. American Psychiatric
Association. 2000
4. Yonkers A. Factors predicting the clinical course of generalised anxiety disorder .The British Journal
of Psychiatry.2000; 176: 544-9.
5. Baldwin DS, Anderson IM, Nutt DJ, et al. Evidence-based guidelines for the pharmacological
treatment of anxiety disorders: recommendations from the British Association for
Psychopharmacology. J Psychopharmacol, Nov 2005; 19: 567- 596.
6. Kendall T, Cape J, Chan M, Taylor C .Management of generalised anxiety disorder in adults:
summary of NICE guidance. BMJ;2011 :342: c7460.
DEPRESI
PENGERTIAN
Depresi merupakan gangguan afektifyang ditandai adanya mood depresi (sedih),
hilang minat, dan mudah Ielah. Pad a umumnya pasien datang ke klinik penyakit dalam
dengan keluhan somatik. Pada pembahasan berikut, depresi berat dengan gejala
psikotik tidak termasuk didalamnya. 1•2
DIAGNOSIS BANDING
Gangguan campuran ansietas dan depresi, ansi etas, gangguan somatisasi, kelainan
organ yang ditemukan (koinsidensi), kelainan karena pengaruh obat-obatan. 1
TATALAKSANA
Nonfarmakologis : edukasi, reassurance, psikoterapF· 5•6
Farmakologis : 1•2
• Antidepresan:
o antidepresan trisiklik (nortriptilin, imipramin, desipramin, amineptin)
o penghambat reversibel MAO (moklobemid)
o antidepresan generasi dua (amoksapin, maprotilin, trazodon, bupropion)
o golongan SRRI (sertralin, paroksetin, fluoksetin, sitalopram, esitalopram)
• Simtomatik, sesuai indikasi
Berikut ini adalah algoritma penatalaksaan depresi mayor menggunakan terapi
farmakologis.
KOMPLIKASI
Berkurangnyajtidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari (bekerja), bunuh
diri, komplikasi akibat pengobatan. 5
PROGNOSIS
Di antara individu dengan depresi mayor dengan pengobatan, 76% mencapai
remisi dengan angka rekurensi mencapai 70% dalam waktu 5 tahun dan setidaknya
80% dalam 8 tahun. 1
Tanyakan riwayat pengobatan depresi sebelumnya pada pasien atau pada keluarga lini
pertama yang pernah menjalani pengobatan, bila ada, pertimbangkan untuk menggunakan
obat yang soma. Bila tidak ada, evaluasi karakteristik pasien dan sesuaikan dengan obat-
obatan yang ada, pertimbangkan status kesehatan, efek samping, kenyamanan, harga,
preferensi pasien, interaksi obat, potensi bunuh diri dan riwayat kepatuhan pasien
lnisiasi terapi, mulai dengan 1/3 hingga 'h dosis sasaran apabila obat yang akan
digunakan adalah golongan antidepresan trisiklik, bupropion, venlafaksin, mirtazapin.
A tau gunakan dosis penuh yang dapat ditoleransi apabila menggunakan obat
golongan SSRI
Apabila efek samping berlanjut, turunkan dosis obat bertahap dalam satu minggu dan
inisiasi terapi baru. Pertimbangkan interaksi obat-obatan yang dipilih.
Evaluasi respon setelah 6 minggu pada dosis sasaran, apabila respon tidak adekuat,
tingkatkan dosis bertahap sesuai kemampuan toleransi pasien.
Apabila setelah pemakaian dosis maksimal respon belum adekuat, pertimbangkan untuk
penurunan dosis bertahap dan ganti dengan obat jenis lain atau pertimbangkan terapi
tambahan. Apabila obat yang dipakai adalah antidepresan trisiklik, periksa kadar obat
dalam plasma sebagai dasar untuk pemilihan obat selanjutnya
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. Mudjaddid E. Pemahaman dan penanganan psikosomatik gangguan ansietas dan depresi: di
bidang ilmu penyakit dalam. In: Sudoyo A Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors.
Buku ajar ilmu penyakit dalam edisi V. Jakarta: Intern a Publishing; 2009:2105 -10
2. Reus V.Mental disorders. In: Fauci A Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J,
Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine 18'" ed. New Yark: McGraw-Hill Medical
Publishing Division; 2012: 3529-43.
3. Diagnostic and statistical manual of mental disorders 4'"ed. Washington DC. American Psychiatric
Association. 2000
4. Sharp L Lipsky M. Screening for depression across the lifespan: a review of measures for use in
primary care settings. Am Fam Physician. 2002;66(6):1001- 9.
5. Current depression among adults---United States, 2006 and 2008. MMWR Morb Mortal Wkly Rep.
201 0;59 (38): 1229-35
6. Eisendrath S, Lichtmacher J. Psychiatric disorders. In: McPhee S, Papadakis M, Rabow M, editors.
Current medical diagnosis and treatment 2012. 51" ed. Asia; The McGraw -Hill Education.
2012:1034-47
7. Qaseem A Snow V, Denberg, TD, et al. Using Second-Generation Antidepressants to Treat
Depressive Disorders: A Clinical Practice Guideline from the American College of Physicians.
Ann Intern Med. 2008;149:725-733
679
DISPEPSIA FUNGSIONAL
PENGERTIAN
Dispepsia merupakan gejala atau kumpulan gejala berasal dari regio
gastroduodenum yang dapat berupa nyeri epigastrium, rasa terbakar, rasa penuh
setelah makan, perasaan cepat kenyang, dan lainnya termasuk rasa kembung pada
area abdomen atas, mual, muntah, dan berdahak. Keluhan dispepsia kronik dapat
terjadi terus-menerus, intermiten, atau kambuhan yang dirasakan minimal 6 bulan
atau lebih. 1•2•3
Berdasarkan kriteria Roma III, dispepsia fungsional adalah adanya satu atau lebih
dari:
• Rasa penuh (kekenyangan) setelah makan (bothersome postprandial fullness)
• Perasaan cepat kenyang
• Nyeri ulu hati
• Rasa terbakar di ulu hati
• Tidak ditemukan kelainan struktural yang dapat menjelaskan keluhan saat
dilakukan pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas (SCBA).
Keluhan berlangsung ~ 3 bulan terus menerus, a tau dimulai sejak 6 bulan sebelum
diagnosis ditegakkan. Dispepsia fungsional dibagi kedalam dua kategori diagnostik,
yaitu: 1•2•3
1. Postprandial distress syndrome (PDS)
2. Epigastric Pain Syndrome (EPS)
Penyebab dispepsia fungsional bersifat multifaktorial, diduga dapat timbul karena
keterlambatan pengosongan lam bung, hipersensitif aferen visera terhadap zat asam
dan lemak sehubungan dengan rangsang sentral maupun perifer, status inflamasi
ringan, serta predisposisi genetis. Rangsang psikis atau emosi dapat mempengaruhi
23
fungsi saluran cerna melalui jalur neurogenik atau jalur neurohormonal. •
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Diagnosa ditegakkan berdasarkan klinis dan pemeriksaan endoskopi saluran cerna
bagian atasu
Anamnesis 1·4
Rasa sakit dan tidak enak di ulu hati. Perih, mual, muntah, cepat kenyang,
kembung, sering bersendawa, regurgitasi. Keluhan dirasakan umumnya berhubungan /
dicetuskan dengan adanya stres, berlangsung lama dan sering kambuh. Sering disertai
gejala- gejala ansietas dan depresi (misalnya dysphoric state)
Pemeriksaan Fisik1.4
• Evaluasi sistem kardiovaskuler, hepatobilier, ginjal, tiroid: dalam batas normal
• Turgor kulit, berat badan
I Tanda "alarm"
I Terapi empiris I ~
Respon setelah
Tidak
I Tes dan terapi untuk H.py/ori 1-----+ 4 minggu
Ya
Ya
Tidak
I Etiologi keluhan :
I
!
Jika ada indikasi klinis : pemeriksaan feses untuk parasit I
Ya dan darah samar, kimia darah, dan/atau imaging abdomen
j_
I Dispepsia organik I Ya I Hasil dapat menjelaskan l
I keluhan I
Tidak
·l Dispepsia fungsional J
Algoritma 1. Diagnose Dispepsia Fungsional'
Sebelum mendiagnosa dispepsia fungsional, hendaknya diperhatikan terlebih
dahulu apakah ada tanda-tanda bahaya seperti: ( lebih lanjut lihat di bab Dispepsia ). 2
• Penurunan berat badan
• Disfagia yang progresif
• Muntah yang berulang atau menetap
• Perdarahan saluran cerna
• Anemia
• Demam
• Mempunyai riwayat keluarga menderita kanker lambung
• Dispepsia pertama kali dirasakan pada kasus keganasan
• Usia > 45 tahun atau > 50 tahun pada populasi yang prevalensinya rendah
TATALAKSANA 1.4.s
• Pendekatan psikosomatik terhadap aspek fisik, psikososial dan lingkungan:
psikoterapi suportif dan psikoterapi perilaku
• Pengaturan diet untuk mencegah pencetus gejala
• Simptomatik: diberikan antasida, antagonis H2 (simetidin, ranitidin), penghambat
pompa proton (omeprazol, lansoprazol) dan obat prokinetik (metoklopramid,
domperidon, cisapride ).
• Bila jelas terdapat ansietas atau depresi diberikan anti cemas atau anti depresan
yang sesuai.
• Eradikasi Helicobacter pylori bila terbukti ada infeksi penyerta.
• Obat relaksan fundus gaster (nitrat, sildenafil (phosphodiesterase-S inibitor) dan
sumartiptan (antagoni reseptor 5-HT 1)
DIAGNOSIS BANDING 6
• Dispepsia organik, misalnya ulkus peptikum, gastritis erosif, infeksi saluran cerna,
GERD
• Gangguan pada sistem hepato-bilier dan pankreas
• Intoleransi laktosa atau karbohidrat lain (fruktosa, sorbitol), sindrom kolon iritabel
• Dispepsia yang disebabkan penyakit kronik seperti gagal ginjal, diabetes melitus,
keganasan,dsb
• Iskemia jantung, gagal jantung kongestif, tuberkulosis
• Gangguan psikologis (ansietas dengan ataupun tanpa aerofagia, gangguan
penyesuaian, somatisasi pada depresi, hipokondriasis)
Tes dan eradikasi H.pylori apabila
belum pernah dilakukan sebelumnya
KOMPLIKASI
• Dehidrasi hila muntah berlebihan
• Gangguan gizi
• Berat badan turun
PROGNOSIS
Dispepsia fungsional merupakan penyakit kronis dan keluhan dapat menyerupai
gangguan gastrointestinallainnya. Pada beberapa pasien, keluhan akan tetap dirasakan
10 % kasus akan mempunyai keluhan menyerupai gangguan gastrointestinal lain,
sedangkan 10% kasus akan remisi spontan. Walaupun perjalanan penyakit ini tidak
stabil, tetapi hanya 2 % kasus akan berkembanga menjadi ulkus peptikum dalam 7
7
tahun, bel urn terbukti penyakit ini menyebabkan kematian.
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Gastroentero-Hepatologi, Divisi Ginjal-Hipertensi,
Divisi Metabolik Endokrin - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. Asian Consensus Report on Functional Dyspepsia, J Neurogastroenterol Motil. 2012 April; 18(2):
150-168. http:/ /www.ncbi.nlm.nih.gov /pmc/articles/PMC3325300/
2. Mudjaddid E. Dispepsia Funsional. Dalam: Sudoyo AW, et al editor. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam
jilid II edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI, 2006. him 916
3. Hasler, W L. Naussea, Vomiting and Indigestion. In : Kasper D L, et al ediors. Harrison's Principal
of Internal Medicine 16th ed. Me Grow-Hill Companies: 2005. p222- 223.
4. Djojoningrat Dharmika. Dispepsia fungsional. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam jilid 1 edisi IV. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI, 2006. Hal 354-356.
5. Karamanolis Georgios P, Tack Jan. Current management of functional dyspepsia: impact of Rome
Ill subdivision, Annals of gastroenterology. Volume 25. No. 2 (2012). http:/ /www.annalsgastro.gr/
index.php/annalsgastro/article/view/111 0/819
6. HANNAH VU, D.O. Ferri Fred F. Irritable bowel syndrome. In: Ferri's Clinical Advisor 2008, lOth ed.
Mosby. 2008.
7. Bhatia Shobna, Grover Anumeet Singh. Natural History of Functional Dyspepsia. SUPPLEMENT
TO JAPI • march 2012. VOL. 60. http:/ /www.japi.org/march_2012_special_issue_dyspepsia/05_
natural_history_of.pdf
NYERI PSIKOGENIK
PENGERTIAN
Nyeri psikogenik adalah keluhan nyeri yang penyebabnya bukan penyebab penyakit
organik. Faktor psikologis berperan dalam persepsi, awitan, keparahan, eksaserbasi
dan lamanya nyeri. Nyeri psikogenik tidak pura-pura diciptakan atau dibuat-buat.
Nama lainnya adalah pain disorder.1.3
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis 2 ·3
Faktoryang harus ditanyakan adalah lokasi nyeri, intensitas sifatnya terus-menerus
atau hilang timbul, karakteristik nyeri, faktor-faktor pemberat dan peringan nyeri,
faktor penyebabnya, akut atau kronik, riwayat penggunaan analgetik sebelumnya,
dan keadaan lain yang berhubungan dengan nyerinya. Perlu juga dilakukan penilaian
status psikis. 1
Nyeri psikogenik pada umumnya bersifat difus, tidak jelas hubungannya dengan
struktur jaringan, intensitasnya berubah-ubah, terdapat disparitas an tara mekanisme
yang mencetuskan dengan jenis dan beratnya nyeri. Pasien umumnya memiliki riwayat
sudah berulang kali mengunjungi petugas kesehatan, riwayat telah mengonsumsi
berbagai obat penghilang nyeri, dan riwayat memiliki stresor psikososial, an tara lain
masalah pernikahan, pekerjaan, a tau keluarga. Sering disertai komorbid depresi a tau
ansietas atau penyalahgunaan obat. Pemeriksaan status psikis menunjukkan bahwa
keluhan utama akan memburuk hila terdapat stres.
Pemeriksaan Fisik1·3
Diperlukan pemeriksaan yang teliti pada area nyeri dan sekitarnya, sistem saraf,
fungsi motoris dan sensoris serta fungsi organ-organ dalam.
Pada nyeri psikogenik tidak terdapat temuan fisis, atau temuan fisis tidak adekuat
untuk menjelaskan keparahan nyeri.
Pemeriksaan Penunjang 1· 3
• Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi dan diagnosis banding nyeri
organik Untuk menilai nyeri secara obyektif dapat dilakukan metode visual analog
scale (VAS). Untuk menilai deskripsi nyeri secara terperinci dapat digunakan
McGill Pain Questionnaire (MPQ). Untuk menilai nyeri kronik dapat digunakan
The Westhave-Yale Multidimensional Pain Inventory (WHYMPI). Stress analyzer j
Heart rate variability untuk menilai vegetative imbalance.
Kriteria Diagnosis
Kriteria diagnosis nyeri psikogenik menurut Diagnostic and Statistical Manual ofMental
Disorder Fourth Edition Text Revision (DSM-IV-TR):'
1. Nyeri pada satu atau lebih daerah anatomis dengan keparahan yang cukup sehingga
membutuhkan perhatian klinis.
2. Menyebabkan distres atau gangguan pada bidang sosial, pekerjaan, atau bidang
fungsionallain yang signifikan secara klinis
3. Faktor psikologis dinilai memiliki peran penting dalam awitan, keparahan,
eksaserbasi atau lamanya nyeri.
DIAGNOSIS BANDING
Nyeri organik sesuai dengan lokasi nyeri
TATALAKSANA 3- 6
Nonfarmakologis
istirahat, cognitive behavior therapy (CBT)
Farmakologis
1. Antidepresan: Fluoxetin, citalopram, fluvoxamin, mianserin, clomipramin
2. Antiansietas : benzodiazepin
3. Antinyeri
KOMPLIKASP
Kurang/tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari (bekerja), bunuh diri
PROGNOSIS
Bel urn ada studi yang melaporkan prognosis nyeri psikogenik
UNIT TERKAIT
• RS Pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. Shatri H, Setiyohadi B. Nyeri psikogenik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jakarta; lnternaPublishing; 2009. hal.
2143-7.
2. Reus VI. Mental disorders. Dalam: Longo DL. Kasper DL. Jameson JL Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo
J, penyunting. Harrison's principle of internal medicine. Edisi XVIII. McGraw-Hill Companies; 2012.
Hal. 3529-3545
3. Oyama 0, Paltoo C, Greengold J. Somatoform disorders. Am Fam Physician 2007;76:1333-8.
4. Kroenke K. Efficacy of treatment for somatoform disorders: a review of randomized controlled
trials. Psychosomatic Medicine 69:881--888 (2007)
5. Diagnostic and statistical manual of mental disorders. 41h ed. Washington DC. American Psychiatric
Association. 2000
6. Fishbain DA, Cutler RB, Rosomoff HL. , et al. Do antidepressants have an analgesic effect in
psychogenic pain and somatoform pain disorder? A meta-analysis. Psychosom Med 1998 ;
6:503.
PENY A KIT JANTUNG FUNGSIONAL
(NEUROSIS KARDIAK)
PENGERTIAN
Penyakit jantung fungsional adalah kelainan dengan keluhan seperti penyakit
jantung tanpa disertai kelainan organik. Etiologi berhubungan dengan keadaan
psikiatri, paling sering disebabkan ansietas, biasanya berhubungan dengan depresi
aktif dan tidak jarang dengan gejala histerik. 1
Menurut ICD 10, Penyakit jantung fungsional dikategorikan dalam gangguan
somatisasi. 3
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis 2
1. Nyeri dada menyerupai angina pectoris, biasanya dicetuskan suatu stressortertentu
2. Berdebar-debar jpalpitasi, sesak nafas, nafas terasa be rat
3. Keluhan vegetatif: kesemutan, tremor, sakit kepala, tidak bisa tidur, dan sebagainya
4. Keluhan psikis: rasa takut, risaujwas-was, gelisah, dan sebagainya
5. Keluhan-keluhan umum lainnya seperti pandangan mata gelap, berkunang-kunang
6. Terdapat stressor psikososial
7. Pemeriksaan penunjang1
8. EKG, echocardiography, maupun tes Treadmill normal
9. Stress analyzer I Heart rate variability untuk menilai vegetative imbalance
DIAGNOSIS BANDING
Penyakit jantung Koroner (angina pectoris, infark miocanl)l
TATALAKSANA2 .4
Nonfarmakologis
• Memberikan edukasi dan bimbingan, menjelaskan tentang gejala yang timbul
dengan tepat tanpa menakuti pasien, meluruskan pola pikir pasien yang salah
ten tang penyakit jan tung.
• Terapi Kognitif dan Perilaku (Cognitive Behavioural Therapy I CBT)
Farmakologis
• Analgetik untuk rasa nyeri
• Vasodilator koroner
• Psikotropik go Iongan benzodiazepine untuk mengurangi kecemasan
• Terapi simptomatik lain dapat diberikan sesuai indikasi.
KOMPLIKASP
• Merasa memiliki penyakit jantung organik sehingga menghindari aktivitas I
kegiatan sehari-hari.
• Pada pasien usia tua dengan faktor psikis yang menonjol dapat mencetuskan
timbulnya penyakit jan tung organik.
• Aritmia.
PROGNOSIS
Gangguan ini bersifat kronis, hilang timbul dan jarang sembuh secara sempurna.
Sangat jarang seseorang dengan gangguan ini dapat bebas dari gejala selama lebih
dari 1 tahun. 3
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Kardiovaskular - Departemen Penyakit Dalam
• RS nonpendidikan
REFERENSI
1. Shatri H. Gangguan jantung fungsional. Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M,
Sudoyo A W. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid Ill Edisi V. Jakarta: Intern a Publishing; 201 0:21222126.
2. Wood P. Refresher Course for General Practitioners Cardiac Neurosis. British Medical Journal.
1950; 2(4669) :33-5.
3. Sa dock BJ, Sadock VA. Somatization disorders. In: Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry
Behavioural sciece/Ciinical Psychiatry 1Oth Edition. Lippincott Williams & Wilkins; 2007.
4. Thompson DR, Lewin RJP. Management of the post-myocardial infarction patient: rehabilitation
and cardiac neurosis. Heart 2000;84: 101-105
SINDROM KOLON IRITABEL
PENGERTIAN
Berdasarkan Rome III, Sindrom Kolon Iritabel (SKI) merupakan nyeri abdomen
berulang atau ketidaknyamanan abdomen (sensasi tidak nyaman yang tidak bisa
dikatakan sebagai nyeri) paling tidak 3 hari dalam satu bulan pada 3 bulan terakhir
yang berhubungan dengan 2 atau lebih hal berikut:
• Perbaikan gejala setelah defekasi
• Onset berhubungan dengan perubahan frekuensi defekasi
• Onset berhubungan dengan perubahan bentuk feses
Dikatakan positif jika kriteria terpenuhi pad a 3 bulan terkahir dengan onset paling
tidak 6 bulan sebelum didiagnosis. 1 •3
Sindrom kolon iritabel dibagi menjadi beberapa subtipe berdasarkan konsitensi
feses yaitu tipe konstipasi, tipe diare, tipe campuran, dan tipe lainnya1.3
IBS dengan konstipasi Feses keras > 25%, dan feses lunak atau cair <25%
IBS dengan diare Feses lunak atau cair >25% dan feses keras < 25 %
IBS tipe campuran Feses keras > 25% dan feses lunak atau cair > 25%
IBS yang tak terklasitikasi Abnormalitas yang tidak memenuhi semua kriteria di atas
Penyebab sindrom ini belum diketahui pasti, diperkirakan karena beberapa faktor
pencetus seperti: 1
• Gangguan Motilitas
Kemungkinan terdapat gangguan intestinal inhibitory reflex karena distensi kolon
tidak dapat mengurangi motilitas duodenal.
• Hipersensitivitas viseral
Yaitu sensitivitas terhadap nyeri yang meningkat pada stimulasi usus. Hal ini yang
menyebabkan nyeri kronik pada pasien ini.
• Post Infeksi
Biasa terjadi setelah infeksi Shigella, Salmonella dan Campylobacter, ditandai
dengan meningkatnya jumlah limfosit dan sel mast pada mukosa usus.
• Faktor dalam lumen yang merangsang kolon
Komponen dalam makanan (eksogen) atau faktor kimiawi (endogen) yang terlibat
dalam proses pencernaan. Faktor endogen seperti hormon kolesistokinin (CCK)
dapat mempercepat motilitas sigmoid
• Respon terhadap stress
Stress yang berasal dari lingkungan dan riwayat penyiksaan masa kanak-kanak
adalah faktor predisposisi.
PENDEKATAN DIAGNOSIS2
Anamnesis
Pasien mengeluhkan nyeri pacta abdomen bagian bawah dengan kelainan pola
defekasi selama periode waktu tertentu tanpa progresivitas penyakit. Keluhan muncul
selama stress atau perubahan emosional tanpa disertai keluhan sistemik. Apakah nyeri
dirasakan hanya pacta satu tempat atau berpindah-pindah, seberapa sering merasakan
nyeri, berapa lama nyeri dirasakan, bagaimana keadaan nyeri jika pasien defekasi
atau flatus; memenuhi kriteria Rome III. Pacta anamnesis juga perlu menyingkirkan
tanda-tanda "alarm" seperti: usia> 55 tahun, riwayat gejala yang progresif atau sangat
berat, riwayat keluhan pertamakali kurang dari 6 bulan, berat badan menurun, gejala
nokturnal,laki-laki, riwayat kanker kolon pacta keluarga, anemia, anoreksia, perdarahan
rektal, anemia, distensi abdomen, demam. 1•2
Pemeriksaan Fisik
Perut tampak kembung atau distensi, kadang dapat teraba kolon pacta fosa
iliaka kiri (86%) disertai nyeri tekan (78%), bising usus meningkat pacta fosa iliaka
kanan(36%). Pacta colok dubur didapatkan adanya rasa nyeri (52%), rectum kosong
(64%), feses yang keras dalam rectum (68%), dan lendir yang banyak. 2
Pemeriksaan Penunjang 2A
• Laboratorium: dilakukan untuk mencari etiologi lain misalnya pemeriksaan darah
lengkap,
• Pemeriksaan hormon TSH dan serologis sesuai indikasi.
• Pemeriksaan feses: melihat adanya darah samar, bakteri a tau paras it jika dicurigai
pacta kasus diare kronik
• Rontgen abdomen: jika dicurigai adanya penyakit Crohn atau ada obstruksi
• Kolonoskopi atau sigmoidoskopi: dilakukan sesuai indikasi.
• Stress analyzer/ Heart rate variability untuk menilai vegetative imbalance
DIAGNOSA BANDING2 ·3
• Intoleransi laktosa ~ diperiksa dengan hydrogen breath test
• Intoleransi makanan ~ contohnya MSG
• Infeksi
• Penyakit Celiac ~ diidentifikasi dengan analisis kadar lgA, antibodi anti
transglutaminase
• Pertumbuhan bakteri usus halus berlebih ~ ditandai malabsorpsi nutrient
• Inflammatory bowel disease ~ ditandai anemia, leukositosis. Kolonoskopi:
inflamasi, eritema, eksudat, ulserasi
• Kolitis mikroskopik
• Divertikulitis
• Obstruksi mekanis pada usus halus
• Iskemia
• Maldigesti
• Malabsorbsi
• Penyakit hati dan kandung empedu
• Pankreatitis kronik
• Endometriosis .
TATALAKSANA
Tabei2.Terapi FarmakologP
KOMPLIKASI
Sindrom kolon irritabel tidak menyebabkan komplikasi yang berbahaya. Beberapa
gangguan akibat Sindrom Kolon Iritabel seperti menurunnya kualitas hid up, dan waktu
cuti dari sekolah dan kerja yang memanjang, masalah psikologis seperti ansietas dan
depresi, malnutrisi. 5
PROGNOSIS
Keluhan akan membaik dan hilang setelah 12 bulan pada 50% kasus, dan hanya
kurang dari 5 %yang akan memburuk, dan sisanya dengan gejala menetap. 6
REFERENSI
1. Owyang C. Irritable bowel syndrome. In: Kasper, Braunwald, Fauci et al. Harrison's Principles of
Internal Medicine volll 17th ed. McGrawHill. 2008 pg 1899-1903.
2. Mudjaddid E. Sindrom kolon iritabel. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati
S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4 ed. Vol. II. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen llmu
Penyakit Dalam FKUI. 2006; hal2115-2118.
3. Ferri Fred F. Irritable bowel syndrome. Ferri's Clinical Advisor 2008, 1Oth ed. Mosby. 2008.
4. Hay David W.lrritable bowel syndrome. The Little Black Book of Gastroenterology. 2nd ed. Jones
and Bartlett Publishers. 2006; hal 154-1 62.
5. Friedman S. Irritable bowel syndrome. In: Greenberger NJ, Blumberg RS, Burakoff R. Lange Current
Diagnosis &Treatment, Gastroenterology, Hepatology, Endoscopy. McGrawHill. 2009.
6. Manon Chudahman, Ari Fahrial Syam. Irritable bowel syndrome. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
4 ed. Vol. I. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI. 2006; hal383-385.
7. R Spiller, Q Aziz, F Creed, A Emmanuel, L Houghton, P Hungin, R Jones, D Kumar, G Rubin, N
Trudgill, and P Whorwell. Guidelines on the irritable bowel syndrome: mechanisms and practical
management. Gut. 2007 December; 56(12): 1770-1798.
8. Aragon G, Graham DB, Borum M, Doman DB. Probiotic Therapy for Irritable Bowel Syndrome.
Gastroenterol Hepatol (NY). 2010 January; 6(1 ): 39-44.
SINDROM LELAH KRONIK
.~
PENGERTIAN
Suatu kumpulan gejala yang ditandai dengan keluhan rasa Ielah yang berlangsung
terus-menerus atau berulang dalam waktu enam bulan atau lebih, dapat disertai
gejala demam tidak tinggi, mialgia, artralgia, sefalgia, nyeri tenggorok (faringitis)
yang kadang-kadang disertai pembesaran kelenjar, gejala psikis terutama depresi
dan gangguan tidur. Kelelahan yang tidak berkurang dengan istirahat dan mungkin
akan bertambah berat saat melakukan aktifitas fisik atau mental, sehingga sering
menurunkan tingkat aktivitas seseorang. Keluhan pasien dapat bervariasi dan
tidak spesifik, seperti kelemahan, nyeri otot, gangguan daya ingat atau konsentrasi,
gangguan tidur, dan kelelahan setelah aktifitas yang berlangsung minimal 24 jam
atau lebih, bahkan bertahun-tahun. Beberapa keluhan-keluhan pada sindrom Ielah
kronik seperti : 1 •2•3 ·4
L~~~~.,.~{;t+-~24;~-~;~~~fi~-?~#-:;'H·····,j~·J4i~~t~~~~~~~·!f'r',.~~~~i
Fatigue 100
Sulit berkonsentrasi 90
Sakit kepala 90
Sa kit tenggorokan 85
Pembesaran KGB 80
Nyeri otot 80
Nyeri sendi 75
Demam 75
Sulit tidur 70
Permasalahan psikiatri 65
Alergi 55
Keram perut 40
Berat badan menurun 20
Rash 10
Nadi cepat 10
Berat badan menurun 5
Nyeri dada 5
Keringat malam 5
PENYEBAB
Bel urn diketahui penyebab pastinya, ada kemungkinan bahwa sindrom Ielah kronik
menggambarkan tingkat akhir dari beberapa penyakit. Beberapa kemugkinan seperti
infeksi, gangguan imunologi, faktor stres yang mengaktifkan jalur hipotalamik-pituitari,
hipotensi neural, danjatau defisiensi nutrisi. 4
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Kriteria untuk diagnosis hila memenuhi 2 kriteria dan tidak memenuhi kriteria
eksklusi (Tabel 3) 2
Tabel 3. Kriteria diagnostik sindrom Ieiah kronik2
~~f~~n~~~~Jr;~«~*tii~!~~~fq~~bfi€!~~~*~~~Jtf)~~~~¥4i~~!1~~ii~~~!@qJt!~t~9!~~f~!ii~~@~f~t~;~~; ~;;,~r
Lelah selama 6 bulan terakhir
Lelah onset baru atau definitif
Lelah bukan merupakan hasil dari penyakit organik atau pengeluaran tenaga secara terus-menerus
Lelah tidak berkurang dengan istirahat
Lelah merupakan hasil reduksi substansi dari pekerjaan,edukasi,sosial.dan aktivitas personal
sebelumnya
Empat gejala atau leb.i.b dari gejala berikut.dan berlanjut terus-menerus selama 6 bulan:
Gangguan memori daifkonsentrasi,nyeri tenggorok;p~emb-esaran kelenjargetah-bening-o3rvil<alis - -··-
atau, nyeri otot.nyeri beberapa sendi,sakit kepala,tidur yang tidak nyenyak.atau malaise setelah
pengeluaran tenaga
I
23
dan pemeriksaan fisik. '
DIAGNOSIS BANDING 3
• Depresi psikososial, dysthymia, gangguan cemas, dan penyakit psikiatrik lainnya.
• Penyakit infeksi (SBE, penyakit Lyme, janur, mononucleosis, HIV, hepatitis B kronik
atau C, TB, parasit kronik.
• Autoimun : SLE, miastenia gravis, multi pel sklerosis, tiroiditis, rheumatoid arthritis
• Kelainan endokrin: hipotiroid, hipopituari, insufisiensi adrenal, sindroma Cushing,
diabetes mellitus, hiperparatiroid, kehamilan, hipoglikemia reaktif
• Penyakit keganasan tersamar
• Ketergantungan obat
• Gangguan sistemik: gaga! ginjal kronik, penyakit kardiovaskular, anemia, kelainan
elektrolit, penyakit hati.
• Lain-lain : kurang istirahat, sleep apnea, narcolepsy, fibromyalgia, sarkoidosis,
medikasi, paparan bahan toksik, granulomatosis Wegener.
TATALAKSANA
Terapi Farmakologi
Umumnya bersifat paliatif, seperti anti depresi, anti inflamasi non steroid, terapi
alternatif (multivitamin, suplemen nutrisi). 2,3
KOMPLIKASI
lsolasi sosial,tidak mampu kerja
698
PROGNOSIS
Perbaikan sempurna dari sindrom Ielah kronik yang tidak diobati jarang: tingkat
pemulihan median adalah 5% (rentang 0-31 %) dan tingkatperbaikan dan 39% (rentang
8-63%). Hasil akan lebik buruk bila pasien dengan latar belakang gangguan psikiatri
dan kondisi gejala yang berlanjut tanpa ditangani secara medis .Keluhan berkurang
pada > 50 % kasus Penyembuhan total dalam 1 tahun terjadi pada 22 - 60 % kasus. 2•3
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. Mudjaddid E, Shatri H. Sindrom Lelah Kronik. dalam: Sudoyo,Setiyohadi, Buku Ajar llmu Penyakit
Dalam. Edisi V. Jakarta. lnterna Publishing. 2011.
2. Bleijenberg G.Chronic Fatigue Syndrome. In: Longo Fauci Kasper, Harrison's principles of internal
medicine 18'h edition.United States of America.Mcgraw Hill.
3. Ferri Fred F. Chronic Fatigue Syndome. In: Ferri's Clinical Advisor 2008, 1Oth ed. Mosby. 2008.
4. CDC (http:/ /www.cdc.gov /cfs/general/index.html)
5. Fernandez AA, Martfn AP, Martinez MI. Bustillo MA, Hernandez FJB, Labrado JC, et al. Penas RD,
Chronic fatigue syndrome: aetiology, diagnosis and treatment. BMC Psychiatry. 2009; 9 (Suppl
1): S1
6. White PD, Goldsmith KA. Johnson AL, Potts L Walwyn R, DeCesare JC, et al. Comparison of
adaptive pacing therapy, cognitive behaviour therapy, graded exercise therapy, and specialist
medical care for chronic fatigue syndrome (PACE): a randomised trial. Lancet. 2011 March
5; 377(9768): 823--836 ..
SINDROM HIPERVENTILASI
I PENGERTIAN
Hiperventilasi didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana terjadi ventilasi
berlebihan yang mengakibatkan menurunnya PaC0/· 2 Ketika hiperventilasi
berlangsung lama (kronis) atau terjadi episode berulang dan berkaitan dengan
gejala somatik (respirasi, neurologis, intestinal) ataupun psikologis (ansietas), maka
kumpulan gejala ini dinamakan sindrom hiperventilasi (SH). Etiologi dan mekanisme
terjadinya hiperventilasi belum diketahui dengan jelas, namun SH erat kaitannya
dengan gangguan panik (panic disorder], karena sebagian besar pasien menunjukkan
karakteristik dari kedua kelainan tersebut namun tidak ditemukan kelainan organik
pada keduanya. 3•4
Pada level fisiologis, hiperventilasi murni merupakan gangguan pernapasan. Hal
ini hampir tidak pernah menjadi masalah hingga saatnya bermanifestasi sebagai gejala
menjadi kunci penting dalam memahami mengapa hiperventilasi menjadi masalah
besar bagi sebagian pasien. Oleh karena itu, sangat penting untuk mencari faktor
pencetus terjadinya SH pada pasien. 5
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Cari faktor pencetus :5•6
1. Fisiologis: setelah berolahraga, nyeri. dispnea, pireksia, efek progesteron pada
wanita hamil
2. Organik: asma, pireksia, obatjalkohol, hipertiroid, gagal jantung, emboli paru,
hipertensi pulmonal, alveolitis fibrosa, gangguan metabolik (contoh: diabetes
ketoasidosis), dll
3. Psikogenik: pura-pura, depresijansietas, gangguan panik, fobia
Gambaran Klinis 6
1. Kesulitan be rna pas intermiten yang bersifat episodik dan tidak berkaitan dengan
olahraga, meskipun dapat diperburuk dengan olahraga.
2. Oapat berkaitan dengan gejala alkalosis respiratorik, seperti kebasjmati rasa
(numbness), kesemutan pada daerah ekstremitas (tingling of the extremities),
perasaan 'kiamat sudah dekat', dan rasa melayang (light-headedness), biasanya
sampai hilang kesadaran (vasokonstriksi serebral karena hipokapnia).
3. Sensasi tidak dapat bernapas dengan !ega.
4. Tidak ada riwayat sugestif gangguan pernapasan sebelumnya, meskipun terkadang
juga dapat ada.
5. Riwayat stres dalam kehidupan pasien.
6. Episode sebelumnya.
Pemeriksaan Penunjang 2
• Saturasi oksigen Sa0 2
• Hb, Ht, leukosit, ureum, kreatinin, gula darah, tes fungsi hati, urin lengkap, Elisa
0-dimer
• Analisa gas darah (AGO), K, Na, Ca
• Foto toraks, EKG (interval QT memanjang, ST depresi atau elevasi, gelombang T
inversi), sesuai diagnosis banding
• Hormon paratiroid
• VjQ scan, computed tomography pulmonary angiogram
• Stress analyzer/ Heart rate variability untuk menilai vegetative imbalance
Kriteria Diagnosis 6
Untuk menegakkan diagnosis SH, pada dasarnya menggunakan kriteria diagnosis
ekslusi namun tetap diperlukan pemeriksaan penunjang tambahan lain, an tara lain: 6
1. Tidak ditemukannya etiologi kardiak pada kesulitan bernapas
2. Tidak ditemukannya etiologi respirasi pada kesulitan bernapas (fungsi paru
normal, rontgen thorax paru normal, dan Sa0 2 normal dalam keadaan istirahat
maupun olahraga)
3. Pola napas ireguler dalam keadaan istirahat maupun olahraga
4. Tidak ada bukti adanya hipertensi pulmonal
5. Tidak ada bukti yang cukup kuat untuk menegakkan emboli paru
6. Tidak ada bukti hipertiroidisme
7. PaC0 2 rendah, pH meningkat pad a AGO (dan gradien A-a normal)
8. Tidak ditemukannya asidosis metabolik pada AGO (contoh: ketoasidosis,
laktoasidosis)
9. Masalah psikologis yang belum sembuh, atau fobia sosialjagorafobia
Selain itu, juga dapat digunakan skoring hiperventilasi Nijmegen.
I
Nyeri dada D D D D D
Perasaan D D D D D
tegang
Pandangan D D D D D
kabur
Pusing D D D D D
Rasa bingung D D D D D
Napas cepat D D D D D
I dalam
Napas D D D D D
pendek
Rasa tercekik D D D D D
di dada
Perut D D D D D
kembung
Jari D D D D D
kesemutan
Sulit bernapas D D D D D
dalam
Sulit buka D D D D D
mulut
Tongan atau D D D D D
kaki dingin
Palpitasi D D D D D
Ansi etas D D D D D
Total skor
Keterangan :
Formulir ini diisi oleh pasien. dan nilai <o 22 sugestif ke arah SH
DIAGNOSIS BANDING
Sangat penting untuk menyingkirkan penyebab patologis yaitu :6
1. Penyakit paru interstitial dengan rontgen thorax normal -7 pertimbangkan CT scan
2. Asma ringan dengan fungsi paru normal -7 pertimbangkan monitoring peak
expiratory flow rate (PEFR), provokasi olahraga, atau tes provokasi bronkus
3. Hipertensi pulmonal j penyakittromboembolus -7 pertimbangkan ekhokardiografi
atau CT pulmonary angiogram (CTPA)
4. Hipertiroidisme
5. Asidosis yang tidak terduga: misalnya pada gaga! ginjal, laktoasidosis, ketoasidosis
TATALAKSANA2 ·6·7
Pada penatalaksanaan pada pasien dengan SH, sangat penting untuk tidak
melupakan gejala pasien hanya karena beranggapan "ini hanya pikiran saja". Pasien
memiliki gejala, yang membutuhkan penjelasan sebenarnya. Belum ada rekomendasi
untuk manajemen pacta pasien SH, namun sebagian besar klinisi akan memberikan
penjelasan berdasarkan sensasi napas berlebihan yang diperburuk dengan ansietas.
Rekomendasi lama untuk bernapas di dalam paper bag belum sepenuhnya terbukti
dan tidak praktis. Penjelasan dengan hati-hati mungkin dirasakan cukup, atau dapat
digunakan anxiolitikjangka pendek (contoh: diazepam 2 x 2-5 mgjhari). Penanganan
dari bagian psikologis atau fisioterapi untuk latihan pernapasan mungkin dibutuhkan
untuk mengontrol gejala. Apabila pasien gagal merespon, selalu pikirkan penyakit
yang menyertai.
KOMPLIKASI
Sesuai dengan penyakit organik yang menyertai.
PROGNOSIS4 · 6
Baik pada serangan akut. Pada kasus kronik, 65% mengalami perbaikan dan 26%
keluhannya hilang dalam 7 tahun. Sindrom ini sangat jarang menyebabkan kematian.
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Divisi Pulmonologi, Divisi Kardiologi- Departemen PenyakitDalam
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. McConville J, Solway J. Chapter 264: Disorders of Ventilation. In: Longo D. Fauci A. Kasper D. et
al. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18th ed. New York: McGraw-Hill. 2011.
2. Mudjaddid E. Putranto R. Shatri H. Sindrom Hiperventilasi. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I.
Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jakarta: lnterna Publishing; 2009.p. 2130-32.
3. Malmberg L Tamminen K. Sovijarvi A. Orthostatic increase of respiratory gas exchange in
hyperventilation syndrome. Thorax 2000;55:295-301.
4. Cowley DS, Roy-Byrne PP. Hyperventilation and panic disorder. Am J Med 1987;83:929-37.
5. Gardner W. The Pathophysiology of Hyperventilation Disorders. Chest 1996;109;516-534. DOl
10.1378/chest.l 09.2.516
703
6. Chapman S, Robinson G, Stradling J, et al. Chapter 29: Hyperventilation Syndrome. Oxford
Handbook of Respiratory Medicine. 2nd Ed. Oxford University Press. 2011
7. Kern B. Hyperventilation Syndrome. Emedicine(serial online) last updates April2012 (cited 2012,
Jun 2) Available from: URL: http:/ /www.emedicine.com.
8. Meuret AE, Ritz T. Hyperventilation in Panic Disorder and Asthma: Empirical Evidence and Clinical
Strategies.lnt J Psychophysiol. 2010 October; 78(1): 68-79.
I
PENGELOLAAN PALIATIF PADA
PENY A KIT KRONIS
PENGERTIAN
Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO) mendefinisikan
palliative care sebagai suatu intervensi yang dapat memperbaiki kualitas hid up pasien
dan keluarganya yang sedang mengalami pengalaman penyakit yang berat. Tujuan
intervensi ini adalah mengurangi keluhan nyeri dan gejala lain termasuk dukungan
psikososial dan spiritiual. Karakteristik penyakit kronis adalah perjalanan penyakit
yang fluktuatif dengan prognosis yang kadang tidak jelas. Menurut Centers for Disease
Control, yang termasuk penyakit kronis adalah heart disease, stroke, kanker, diabetes
dan arthritis. Klasifikasi lain penyakit kronis adalah depresi, diabetes, penyakit paru
obstruksi kronis,gagal ginjal kronis dan HIV j AIDS. Penyakit kronis menyebabkan
kecacatan dan kematian utama di Amerika serikat.
Murray dkk menyatakan bahwa pengelolaan pasien dengan penyakit kronis
progresif sering terlupakan aspek paliatif sehingga pengelolaan pasien tidak
holistik. Beberapa studi menunjukkan bahwa pasien dengan penyakit kronis non
kanker menunjukkan penderitaan yang lebih be rat dalam hal nyeri dan kualitas hid up
dibanding pasien kanker yang penilaiannya lebih baik. Pengelolaan paliatif dapat
digunakan sebagai model pelayanan kesehatan pasien penyakit kronis termasuk
kanker, sejak pasie terdiagnosis dan bukan saat pasien menjelang fase terminal.
Kementerian kesehatan telah mengeluarkan surat keputusan menteri yang
menegaskan bahwa seluruh rumah sakit diharapkan dapat menerapkan model
pelayanan paliatifbagi pasiennya. (SK Menkes Nomor: 812/MenkesjSK/VII/2007)
RUANG LINGKUP
1. Inisiasi diskusi tentang paliatif
2. Penapisan dan penilaian paliatif (lihat lampiran) serta tujuan pengelolaan
3. Pengelolaan aspek fisik, seperti :
• Nyeri
• Ansietas dan depresi
• Anoreksia dan kaheksia
• Konstipasi
• Delirium
• Diare
• Sesak nafas
• Fatik
• Gastroesophageal reflux disease
• Hypodermoclysis
• Malignant ascites and pleural effusions
• Mual dan muntah
4. Pengelolaan aspek psikis : ansietas, depresi (lihat ansietas, depresi)
5. Pengelolaan aspek kultural, psikologi, sosial, spiritual, religious, etika, dan legal
6. Hospis dan Rawatan rumah (Home care)
7. Konsultasi dan rujukan ke spesialis
8. Pengelolaan fase kritis (last day) dan masa duka cita
Rekomendasi 1: Setiap pasien rawat inap dengan penyakit seriusjberat pada fase
terminal, maka dokter harus secara reguler menilai adanya nyeri, sesak nafas, dan
depresi.
Recomendasi 2: Setiap pasien dengan penyakit berat pada fase terminal, dokter
harus melakukan pengelolaan nyeri dengan baik. Pada pasien kanker dapat anti-
inflammatory, opioid, dan bisphosphonate.
Recomendasi 3: Setiap pasien dengan penyakit berat pada fase terminal , dokter
harus dapat mengelola keluhan sesak napas dengan baik termasuk menggunakan
opioid pacta pasien yang tidak perbaikan dengan terapi stan dar dan pemberian oksigen
jangka pendek bila terjadi hipoksemia
Recomendasi 4: Setiap pasien dengan penyakit berat pada fase terminal, dokter
harus mengelola depresi dengan efektif, termasuk pasienkanker dengan trsiklik
antidepresan, selective serotonin reuptake inhibitors (SSRl), atau psikoterapi
Recomendasi 5: Para klinisi harus memastikan perencanaan lanjut (advance care
planning) pada setiap pasien penyakit berat.
UNIT YANG MENANGANI
• RS pendidikan : Divisi Psikosomatik - Departemen Penyakit Dalam
• RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
• RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
• RS non pendidikan
REFERENSI
1. Effiong A Effiong AI. Palliative care for the management of chronic illness: a systematic review
study protocol. BMJ Open. 2012; 2(3)
2. Keputusan Menteri Kesehatan Rl No 812 Menkes/VII/ 2007 tentang kebijakan perawatan paliatif
3. Qaseem A Snow V, Shekelle P, Casey Jr DE .. Cross Jr JT., Owens DK, for the Clinical Efficacy
Assessment Subcommittee of the American College of Physicians. Evidence-Based Interventions to
Improve the Palliative Care of Pain, Dyspnea, and Depression at the End of Life: A Clinical Practice
Guideline from the American College of Physicians. Ann Intern Med January 15, 2008 148:141-146
4. LoB, Quill T, Tulsky J. Discussing palliative care with patients. ACP-ASIM End-of-Life Care Consensus
Panel. American College of Physicians-American Society of Internal Medicine. Ann Intern
Med. 1999 May 4;130(9):744-9.
5. Beynon T, Hodson F,Coady K, Kinirons K, Selman L, Higginson I. Provision of palliative care for
chronic heart failure inpatients: how much do we need? BMC Palliat Care. 2009; 8: 8.
707
"~
Lampiran. Penapisan pasien paliatif
~
a. Kanker (Metastatis/Rekuren) d. Penyakit Ginjal Kronis
b. PPOK lanjut e. Penyakit Jantung Be rat- i.e. CHF, skor 2, Tiap pain
c. Stroke (dengan penurunan severe CAD, CM (LVEF < 2S%)
fungsional >50%) f. HIV/AIDS