Oleh kelompok 5 :
NAMA NIM
2. FIONALIASTI 190105040
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah “Obat Depresi Dan Ansietas” untuk
melengkapi tugas dalam pembelajaran mata kuliah Farmakologi 2 Universitas Harapan Bangsa
Purwokerto.
Dalam penyelesaian makalah ini penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu
penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan petunjuk-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini.
2. Ibu Apt. Peppy Octaviani DM, M.H.,M.Sc yang telah memberi tugas dan bimbingan
kepada penulis dalam penyusunan makalah ini.
3. Semua pihak yang telah membantu penulis. Penulis telah berusaha semaksimal mungkin
untuk menulis makalah ini dengan harapan dapat memberi manfaat bagi pembaca. Kritik
dan saran yang membangun sangat dibutuhkan penulis untuk memperbaiki makalah ini.
Akhir kata, penulis mengucapkan terimakasih dan berharap semoga Allah memberikan imbalan
yang setimpal kepada mereka yang telah memberikan bantuan, serta menjadikan ini sebagai
ibadah. Aamiin yaa Rabb.
Tim Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Depresi
2.1.1 Definisi
2.1.2 Epidemiologi
2.1.3 Patofisiologi
2.1.6 Farmakoterapi
2.2 Ansietas
2.2.1 Definisi
2.2.2 Epidemiologi
2.2.3 Patofisiologi
2.2.6 Farmakoterapi
3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Orang yang sehat jiwanya adalah orang yang mempunyai kemampuan untuk
menyesuaikan diri pada lingkungan, serta berintegrasi dan berinteraksi dengan baik dan
tepat. Adapun pengertian Kesehatan Jiwa yang baik menurut Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia adalah kondisi ketika batin kita berada dalam keadaan tentram dan
tenang, sehingga memungkinkan kita untuk menikmati kehidupan sehari-hari dan
menghargai orang lain di sekitar (Muhtih, 2015). Pada konteks kesehatan jiwa, dikenal dua
istilah untuk individu yang mengalami gangguan jiwa. Pertama, Orang dengan Masalah
Kejiwaan (ODMK) merupakan orang yang memiliki masalah fisik, mental, sosial,
pertumbuhan dan perkembangan, dan atau kualitas hidup sehingga memiliki risiko
mengalami gangguan jiwa. Kedua, Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) adalah orang
yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi
dalam bentuk sekumpulan gejala dan atau perubahan perilaku yang bermakna
(Ayuningtyas dkk, 2018).
Ansietas merupakan respon tubuh terhadap peristiwa yang terjadi, dimana respon
tubuh tersebut lebih bersifat negatif sehingga menimbulkan ketidaknyamanan bagi klien
(Zaini, 2019). Menurut DepKes RI, (1990) Kecemasan adalah ketegangan, rasa tidak aman
dan kekhawatiran yang timbul karena dirasakan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan
tetapi sumbernya sebagian besar tidak diketahui dan berasal dari dalam (Wahyuni, 2018).
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa ansietas merupakan suatu gejala
yang tidak menyenangkan, sensasi cemas, rasa takut dan terkadang panik akan suatu
bencana yang mengancam serta menimbulkan ketidaknyamanan. Seseorang yang
mengalami ansietas merasa hidupnya tidak tenang karena akan selalu di hantui perasaan
cemas dan tidak nyaman seakan-akan terjadi sesuatu hal yang dirasakan sebagai ancaman.
Individu yang mengalami gangguan ansietas dapat memperlihatkan perilaku yang tidak
lazim seperti panik tanpa alasan atau rasa khawatir yang tidak dapat dijelaskan (Wahyuni,
2018).
Ansietas atau cemas sering dialami oleh hampir semua manusia yang sifatnya
subjektif dan patologik. Perasaan tersebut ditandai oleh rasa ketakutan yang difusi, tidak
menyenangkan, seringkali disertai oleh gejala otonomik seperti nyeri kepala, berkeringat,
palpitasi dan gelisah. Respon emosi yang berlebihan ini dialami setiap pasien TB paru
karena adanya ancaman atau bahaya dari penyakitnya yang dapat menyebabkan
penderitaan dan gangguan aktifitas hidup sehari-hari bahkan kematian (Terok, 2017).
Gangguan ansietas dan depresi biasa terjadi pada semua daerah di seluruh dunia. Penyakit
kronis meningkatkan morbiditas dengan gangguan perasaan atau gangguan ansietas, dan
penyakit tuberkulosis dengan durasi pengobatan yang lama merupakan salah satu penyakit
kronis. Tuberkulosis paru tetap menjadi masalah kesehatan utama di seluruh dunia. Dalam
beberapa tahun ini, banyak usaha dilakukan untuk menilai kualitas hidup yang
berhubungan dengan kesehatan yang dialami oleh orang-orang yang terinfeksi tuberkulosis
paru. Ada kebutuhan untuk menilai kontribusi gangguan mood, khususnya gangguan
ansietas (Terok, 2017).
1.3 Tujuan
1. Mengetahui definisi depresi dan ansietas.
2. Mengetahui gejala-gejala depresi dan ansietas.
3. Mengetahui penyebab dari depresi dan ansietas.
4. Mengetahui farmakoterapi dari depresi dan ansietas.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Depresi
2.1.1 Definisi
2.1.2 Epidemiologi
2.1.3 Patofisiologi
5. Peran dopamin
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa peningkatan neurotransmisi
dopamin pada jalur mesolimbik terkait dengan mekanisme kerja antidepresan
(Wells et al, 2009).
Gejala depresi adalah kumpulan dari perilaku dan perasaan yang secara
spesifik dapat dikelompokkan sebagai depresi. Gejala-gejala depresi ini bisa kita lihat
dari tiga segi, yaitu dari segi fisik, psikis, dan sosial.
A. Gejala Fisik
1) Gangguan pola tidur
2) Menurunnya tingkat aktivitas
3) Menurunnya efisiensi kerja
4) Menurunnya produktivitas kerja
5) Mudah merasa letih dan sakit
B. Gejala Psikis
1) Kehilangan rasa percaya diri
2) Sensitif
3) Merasa diri tidak berguna
4) Perasaan bersalah
5) Perasaan terbebani
C. Gejala Sosial
2.1.6 Farmakoterapi
2.2 Ansietas
2.2.1 Definisi
Ansietas adalah suatu perasaan takut yang berasal dari eksternal atau
internal sehingga tubuh memiliki respons secara perilaku, emosional, kognitif, dan
fisik (Videbeck, 2011). Ansietas adalah perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran
yang samar disertai respon otonom (sumber tidak diketahui oleh individu) sehingga
individu akan meningkatkan kewaspadaan untuk mengantisipasi (Nanda, 2015).
Ansietas adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, berkaitan dengan
perasaan tidak berdaya dan respons emosional terhadap penilaian sesuatu. Gangguan
ansietas adalah masalah psikiatri yang paling sering terjadi di Amerika Serikat
(Stuart, 2013).
Menurut Bystritsky, et al., gangguan anxietas termasuk kondisi kesehatan
mental yang paling umum, meskipun kurang terlihat seperti skizofrenia, depresi atau
gangguan bipolar, tetapi bisa sama-sama melumpuhkan. Sedangkan menurut
Simpson, et al., gangguan anxietas didefinisikan dengan kekhawatiran yang
berlebihan, hiperarousal, ketakutan yang kontraproduktif dan melemahkan, yang
mana gangguan anxietas ini termasuk kondisi kejiwaan yang paling umum di negara
barat.
2.2.2 Epidemiologi
2.2.3 Patofisiologi
1. Model Noradrenergik
Model ini menunjukkan bahwa sistem saraf otonom pada penderita
gangguan anxietas, hipersensitif dan bereaksi berlebihan terhadap berbagai
rangsangan. Glukokortikoid mengaktifkan locus caeruleus, yang berperan dalam
mengatur anxietas, yaitu dengan mengaktivasi pelepasan norepinefrin (NE) dan
merangsang sistem saraf simpatik dan parasimpatik (DiPiro, et al., 2015).
2. Model Serotonin
Jalur serotonergik yang timbul dari nukleus raphé di batang otak
mempersarafi berbagai macam struktur yang dianggap terlibat dalam gangguan
anxietas, termasuk korteks frontal, amigdala, hipotalamus, dan hipokampus
(Mathew, et al., 2008). Selain itu, mekanisme serotonergik diyakini mendasari
aktivitas biologis berbagai obat yang digunakan untuk mengobati mood disorder,
termasuk gejala anxietas.
Patologi seluler yang dapat berkontribusi pada pengembangan gangguan
anxietas termasuk regulasi abnormal pelepasan 5HT, reuptake atau respons
abnormal terhadap signal 5-HT. Reseptor 5-HT1A diduga memainkan peran yang
sangat penting terhadap anxietas. Aktivasi reseptor 5-HT1A meningkatkan aliran
kalium dan menghambat aktivitas adenilat siklase (Soodan and Arya, 2015).
Reseptor HT1A juga terlibat dalam panic disorder. Polimorfisme spesifik dalam gen
yang mengkodekan reseptor 5HT1A telah terbukti memiliki hubungan yang
signifikan dengan gangguan agoraphobia dan panik (Lopez, et al., 2010). Peran 5-
HT dan subtipe reseptornya dalam memediasi gejala kecemasan, panik, dan obsesi
adalah kompleks. 5-HT dilepaskan dari terminal saraf berikatan dengan subtipe
reseptor 5-HT2C postsinaptik, yang memediasi kecemasan. 5HT1A adalah auto-
reseptor pada neuron pra-sinaptik yang apabila dirangsang dapat menghambat
pelepasan 5-HT dari neuron presinaptik ke sinaps (Mathew, et al., 2008). 3. Model
GABA (Gamma-amino butyric acid) adalah neurotransmiter inhibitor penting
dalam sistem saraf pusat dan mengatur banyak rangsangan di daerah otak. (DiPiro,
et al., 2015). Terdapat 2 subtipe reseptor GABA yaitu GABA A dan GABA B.
Benzodiazepin berikatan dengan kompleks reseptor benzodiazepine yang terletak di
neuron post-sinaptik. Pengikatan semacam itu dapat meningkatkan efek GABA
untuk membuka kanal ion klorida, menyebabkan masuknya ion klorida ke dalam sel
yang menghasilkan stabilisasi membran saraf (Soodan and Arya, 2015). GABA
juga dapat mempengaruhi tingkat kecemasan dengan memediasi pelepasan
neurotransmitter lain seperti cholecystokinin dan menekan aktivitas saraf pada
sistem serotonergik dan noradrenergik. Neurotransmitter lain yang diduga terlibat
dalam gangguan anxietas termasuk dopamine, glutamine dan neurokinin (Christmas
and Nutt, 2008). Meskipun kemungkinan patofisiologi yang berbeda mendasari
berbagai gangguan anxietas, secara luas diyakini bahwa GABA merupakan salah
satu sistem yang terlibat secara integral pada gangguan anxietas. Studi
neuroimaging melaporkan bahwa terjadi penurunan kadar GABA dan pengikatan
reseptor GABA A-benzodiazepine pada pasien dengan ganggua anxietas. Reseptor
GABA-benzodiazepine didistribusikan secara luas di otak dan sumsum tulang
belakang. Terutama terkonsentrasi di bagian otak yang dianggap terlibat dalam
terjadinya anxietas, termasuk medial PFC, amigdala, dan hipokampus, serta hasil
dari beberapa penelitian telah menunjukkan kelainan pada sistem tersebut pada
pasien dengan gangguan anxietas (Soodan dan Arya, 2015).
Ciri penting dari SAD adalah rasa takut yang intens, irasional, dan
terusmenerus. Ketika berada dalam situasi yang ditakuti biasanya memicu
serangan panik. Ketakutan dan penghindaran terhadap suatu situasi dapat
mengganggu aktivitas sehari-hari. Gejala takut seperti takut diteliti orang lain,
malu, serta takut dihina. Situasi yang menakutkan seperti makan atau menulis
di depan orang lain, berinteraksi dengan figur otoritas, berbicara di depan
umum, berbicara dengan orang asing, dan penggunaan toilet umum. Gejala
fisik meliputi wajah memerah, diare, berkeringat, takikardia, dan gemetar
(DiPiro, et al., 2009).
4. Post-traumatic Stress Disorders (PTSD)
Menurut Stuart (2013) terdapat tiga faktor penyebab terjadinya ansietas, yaitu :
a. Faktor biologis/ fisiologis, berupa ancaman yang mengancam akan kebutuhan
sehari-hari seperti kekurangan makanan, minuman, perlindungan dan
keamanan. Otak mengandung reseptor khusus untuk benzodiazepine, obat-
obatan yang meningkatkan neuroregulator inhibisi asam gama aminobutirat
(GABA), yang berperan penting dalam mekanisme terjadinya ansietas. Selain
itu riwayat keluarga mengalami ansietas memiliki efek sebagai faktor
predisposisi ansietas.
b. Faktor psikososial, yaitu ancaman terhadap konsep diri, kehilangan benda atau
orang berharga, dan perubahan status social atau ekonomi.
c. Faktor perkembangan, ancaman yang menghadapi sesuai usia perkembangan,
yaitu masa bayi, masa remaja dan masa dewasa.
2.2.6 Farmakoterapi
Menurut Spilberger (dalam Triantoro Safaria & Nofrans Eka Saputra, 2012)
menjelaskan kecemasan dalam dua bentuk, yaitu :
1. Trait anxiety Trait anxiety yaitu adanya rasa khawatir dan terancam yang
menghinggapi diri seseorang terhadap kondisi yang sebenarnya tidak
berbahaya. Kecemasan ini disebabkan oleh kepribadian individu yang
memang memiliki potensi cemas dibandingkan dengan individu yang lainnya.
2. State anxiety State anxiety merupakan kondisi emosional dan keadaan
sementara pada diri individu dengan adanya perasaan tegang dan khawatir
yang dirasakan secara sadar serta bersifat subjektif.
Sedangkan menurut Freud (dalam Feist & Feist, 2012) membedakan
kecemasan dalam tiga jenis, yaitu.
1. Kecemasan neurosis
Kecemasan neurosis adalah rasa cemas akibat bahaya yang tidak
diketahui. Kecemasan neurosis bukanlah ketakutan terhadap insting-insting itu
sendiri, namun ketakutan terhadap hukuman yang mungkin terjadi jika suatu
insting dipuaskan.
2. Kecemasan moral
Kecemasan ini berakar dari konflik antara ego dan superego.
Kecemasan ini dapat muncul karena kegagalan bersikap konsisten dengan apa
yang mereka yakini benar secara moral. Kecemasan moral merupakan rasa
takut terhadap suara hati. Kecemasan moral juga memiliki dasar dalam
realitas, di masa lampau sang pribadi pernah mendapat hukuman karena
melanggar norma moral dan dapat dihukum kembali.
3. Kecemasan realistik
Kecemasan realistik merupakan perasaan yang tidak menyenangkan
dan tidak spesifik yang mencakup kemungkinan bahaya itu sendiri.
Kecemasan realistik merupakan rasa takut akan adanya bahaya-bahaya nyata
yang berasal dari dunia luar.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1) Depresi dapat didefinisikan sebagai perasaan sendu atau sedih yang disertai perlambatan
gerak dan fungsi tubuh. Sedangkan, Ansietas adalah suatu perasaan takut yang berasal
dari eksternal atau internal sehingga tubuh memiliki respons secara perilaku, emosional,
kognitif, dan fisik.
2) Gejala-gejala depresi dapat dilihat dari tiga segi, yaitu dari segi fisik, psikis, dan sosial.
Sedangkan gejala klinis gangguan ansietas dibagi menjadi beberapa tipe yaitu :
generalized anxiety disorders (GAD), panic disorders (PD), social anxiety disorders
(SAD), post-traumatic stress disorders (PTSD), agoraphobia, dan specific phobia.
3) Penyebab depresi disebabkan oleh faktor fisik dan faktor psikologis. Sedangkan
penyebab ansietas disebabkan oleh faktor biologis/fisiologis, faktor psikososial, dan
faktor perkembangan.
DAFTAR PUSTAKA
Bandelow, B. and Michaelis, S. 2015. Epidemiology of Anxiety Disorders in the 21st Century.
Journal NCBI, Dialogues in Clinical Neuroscience, 17(3): 327-335. Bandelow, B.,
Sophie, M., and Dirk, W. 2017. Treatment of Anxiety Disorders. Journal NCBI,
Dialogues in Clinical Neuroscience, 19(2): 93-107.
Bystritsky, A., Sahib, S. K., Michael, E. C., et al. 2013. Current Diagnosis and Treatment of
Anxiety Disorders. Pharmacy and Therapeutics, 38(1): 41-44.
DiPiro, J.T., Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., et al. 2009. Pharmacotherapy Handbook,
Seventh Edition. New York: McGraw-Hill.
DiPiro, J.T., Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., et al. 2015. Pharmacotherapy Handbook,
Ninth Edition. New York: McGraw-Hill.
Isacsson G., Boethius G., Henriksson S., et al. 1999. Selective Serotonin Reuptake Inhibitors
Have Broadened the Utilisation of Antidepressant Treatment in Accordance with
recommendation. Findings from a Swedish Prescription Data Base. J Affect Discord.
53:15-22.
Kauffman. 2009. Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI) Drugs: More Risks than
Benefits. Journal of American Physicians and Surgeons. 14(1): 2009.
Kessler, R. C. and Wang, P.S. 2008. The Descriptive Epidemiology of Commonly Occuring
Mental Disorders in the United States. Annual Review of Public Health, 29: 115-129.
Kessler and Evelyn. 2013. The Epidemiology of Depression Across Cultures. Annu Rev
Public Health. 34: 119-138.
Lumis, Namora L. 2009. Depresi: Tinjauan Psikologis. Jakarta: Kencana. McClintock. 2011.
A Systematic Review of the Combined Use of Electroconvulsive Therapy and
Psychotherapy for Depression. Journal ECT. 27(3): 236-243.
Mathew, J.S., Rebecca, B.P., and Dennis, S.C. 2008. Recent Advances in the Neurobiology of
Anxiety Disorders: Implications for Novel Therapeutics. American Journal of Medical
Genetics, 148: 89-98.
Sadock, B. J. & Sadock, V. A., 2010. Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi 2. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Soodan, S. and Arya, A. 2015. Understanding the Pathophysiology and Management of the
Anxiety Disorders. International Journal of Pharmacy & Pharmaceutical Research, 4(3):
251-278.