Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH FARMAKOLOGI 2

OBAT DEPRESI DAN ANSIETAS


Disusun untuk memenuhi tugas
Mata kuliah : Farmakologi 2
Dosen Pengampu : Apt. Peppy Octaviani DM, M.H.,M.Sc

Oleh kelompok 5 :

NAMA NIM

1. ANISA RAKHMA DIANTRI 190105012

2. FIONALIASTI 190105040

3. GITA RIZKI SAPUTRI 190105046

4. INTA HERTATI 190105055

5. LARE PUTRI SEKAWAN M.C 190105066

6. YUNITA DWI MEITASARI 190105104

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah “Obat Depresi Dan Ansietas” untuk
melengkapi tugas dalam pembelajaran mata kuliah Farmakologi 2 Universitas Harapan Bangsa
Purwokerto.

Dalam penyelesaian makalah ini penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu
penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan petunjuk-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini.
2. Ibu Apt. Peppy Octaviani DM, M.H.,M.Sc yang telah memberi tugas dan bimbingan
kepada penulis dalam penyusunan makalah ini.
3. Semua pihak yang telah membantu penulis. Penulis telah berusaha semaksimal mungkin
untuk menulis makalah ini dengan harapan dapat memberi manfaat bagi pembaca. Kritik
dan saran yang membangun sangat dibutuhkan penulis untuk memperbaiki makalah ini.

Akhir kata, penulis mengucapkan terimakasih dan berharap semoga Allah memberikan imbalan
yang setimpal kepada mereka yang telah memberikan bantuan, serta menjadikan ini sebagai
ibadah. Aamiin yaa Rabb.

Purwokerto, 13 April 2021

Tim Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Depresi

2.1.1 Definisi

2.1.2 Epidemiologi

2.1.3 Patofisiologi

2.1.4 Gejala-Gejala Depresi

2.1.5 Penyebab Depresi

2.1.6 Farmakoterapi

2.2 Ansietas

2.2.1 Definisi

2.2.2 Epidemiologi
2.2.3 Patofisiologi

2.2.4 Gejala Klinis

2.2.5 Penyebab Ansietas

2.2.6 Farmakoterapi

2.2.7 Jenis-Jenis Kecemasan

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Orang yang sehat jiwanya adalah orang yang mempunyai kemampuan untuk
menyesuaikan diri pada lingkungan, serta berintegrasi dan berinteraksi dengan baik dan
tepat. Adapun pengertian Kesehatan Jiwa yang baik menurut Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia adalah kondisi ketika batin kita berada dalam keadaan tentram dan
tenang, sehingga memungkinkan kita untuk menikmati kehidupan sehari-hari dan
menghargai orang lain di sekitar (Muhtih, 2015). Pada konteks kesehatan jiwa, dikenal dua
istilah untuk individu yang mengalami gangguan jiwa. Pertama, Orang dengan Masalah
Kejiwaan (ODMK) merupakan orang yang memiliki masalah fisik, mental, sosial,
pertumbuhan dan perkembangan, dan atau kualitas hidup sehingga memiliki risiko
mengalami gangguan jiwa. Kedua, Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) adalah orang
yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi
dalam bentuk sekumpulan gejala dan atau perubahan perilaku yang bermakna
(Ayuningtyas dkk, 2018).

Ansietas merupakan respon tubuh terhadap peristiwa yang terjadi, dimana respon
tubuh tersebut lebih bersifat negatif sehingga menimbulkan ketidaknyamanan bagi klien
(Zaini, 2019). Menurut DepKes RI, (1990) Kecemasan adalah ketegangan, rasa tidak aman
dan kekhawatiran yang timbul karena dirasakan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan
tetapi sumbernya sebagian besar tidak diketahui dan berasal dari dalam (Wahyuni, 2018).
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa ansietas merupakan suatu gejala
yang tidak menyenangkan, sensasi cemas, rasa takut dan terkadang panik akan suatu
bencana yang mengancam serta menimbulkan ketidaknyamanan. Seseorang yang
mengalami ansietas merasa hidupnya tidak tenang karena akan selalu di hantui perasaan
cemas dan tidak nyaman seakan-akan terjadi sesuatu hal yang dirasakan sebagai ancaman.
Individu yang mengalami gangguan ansietas dapat memperlihatkan perilaku yang tidak
lazim seperti panik tanpa alasan atau rasa khawatir yang tidak dapat dijelaskan (Wahyuni,
2018).

Menurut Carole-carol (2008) bahwa gejala kecemasan dapat meliputi kesulitan


untuk dapat beristirahat atau sering merasa gelisah, kesulitan untuk berkonsentrasi,
irritability, perasaan tegang yang berlebihan, gangguan tidur, semuanya dapat diakibatkan
karena kecemasan yang berlebihan (Annisa & Ifdil, 2016). The Anxiety and Depression
Association of America (dalam Kaplan & Sadock, 2012) menuliskan bahwa gangguan
kecemasan dan depresi di derita oleh 40 juta populasi orang dewasa di Amerika pada usia
18 tahun atau lebih 18% dari populasi. Diperkirakan 20% dari populasi dunia menderita
ansietas dan sebanyak 47,7% remaja sering merasa cemas (Haryadi,2007). Prevalensi
gangguan ansietas menurut Center for Disease Control and Prevention pada tahun 2011
sebesar lebih dari 15%. National Comorbidity Study melaporkan bahwa satu dari empat
orang memenuhi kriteria untuk sedikitnya satu ansietas dan terdapat angka prevalensi 12
bulan per 17,7% (Liviana, dkk. 2016). Data Riskesdas tahun 2018 menunjukkan
prevalensi gangguan mental emosional (gejala-gejala depresi dan ansietas) di Indonesia
sebesar 9,8% dan sekitar 6,82% di Jawa Timur untuk usia diatas 15 tahun.

Ansietas atau cemas sering dialami oleh hampir semua manusia yang sifatnya
subjektif dan patologik. Perasaan tersebut ditandai oleh rasa ketakutan yang difusi, tidak
menyenangkan, seringkali disertai oleh gejala otonomik seperti nyeri kepala, berkeringat,
palpitasi dan gelisah. Respon emosi yang berlebihan ini dialami setiap pasien TB paru
karena adanya ancaman atau bahaya dari penyakitnya yang dapat menyebabkan
penderitaan dan gangguan aktifitas hidup sehari-hari bahkan kematian (Terok, 2017).
Gangguan ansietas dan depresi biasa terjadi pada semua daerah di seluruh dunia. Penyakit
kronis meningkatkan morbiditas dengan gangguan perasaan atau gangguan ansietas, dan
penyakit tuberkulosis dengan durasi pengobatan yang lama merupakan salah satu penyakit
kronis. Tuberkulosis paru tetap menjadi masalah kesehatan utama di seluruh dunia. Dalam
beberapa tahun ini, banyak usaha dilakukan untuk menilai kualitas hidup yang
berhubungan dengan kesehatan yang dialami oleh orang-orang yang terinfeksi tuberkulosis
paru. Ada kebutuhan untuk menilai kontribusi gangguan mood, khususnya gangguan
ansietas (Terok, 2017).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian depresi dan ansietas?
2. Bagaimana gejala-gejala depresi dan ansietas?
3. Apa penyebab depresi dan ansietas?
4. Bagaimana farmakoterapi depresi dan ansietas?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui definisi depresi dan ansietas.
2. Mengetahui gejala-gejala depresi dan ansietas.
3. Mengetahui penyebab dari depresi dan ansietas.
4. Mengetahui farmakoterapi dari depresi dan ansietas.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Depresi
2.1.1 Definisi

Depresi adalah terganggunya fungsi normal manusia yang berhubungan


dengan perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pola tidur
dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, kelelahan, rasa putus asa dan tidak
berdaya serta bunuh diri (Sadock & Sadock, 2010). Menurut WHO (2017), gejala
depresi dapat tandai dengan kesedihan, kehilangan minat atau kesenangan, perasaan
bersalah atau rendah diri, tidur terganggu atau nafsu makan terganggu, perasaan lelah
dan menurunnya konsentrasi.
Depresi dapat didefinisikan sebagai perasaan sendu atau sedih yang disertai
perlambatan gerak dan fungsi tubuh. Selain itu depresi juga dapat didefinisikan
sebagai gangguan perasaan yang ditandai adanya efek disforik (kehilangan
kegembiraan/gairah) disertai gejala-gejala lain, seperti gangguan tidur dan
menurunnya selera makan (Lumis, 2009). Sedangkan menurut American Psychiatric
Association, depresi adalah penyakit serius yang mempengaruhi secara negatif
perasaan, cara berpikir paisen, dan perilaku pasien. Depresi menyebabkan rasa sedih
atau kehilangan minat terhadap aktivitas yang disenangi. Menyebabkan variasi emosi
dan masalah fisik serta penurunan kemampuan pasien ketika bekerja dan di rumah
(American Psychiatric Association, 2018).

2.1.2 Epidemiologi

Depresi adalah ganguan yang umum terjadi di semua negara. Prevalensi


lamanya hidup penderita depresi sangat bervariasi antar negara. Prevalensi terjadinya
depresi lebih tinggi di Negara berpenghasilan tinggi dibandingkan dengan negara
berpenghasilan rendah. Usia yang memiliki resiko terkena depresi terbanyak adalah
usia awal dewasa. Jika dibandingkan wanita dan pria, wanita di seluruh dunia
menunjukkan nilai konsisten memiliki resiko depresi kira kira dua kali dari pria.
Korelasi sosio-demografi lainnya tidak menunjukkan nilai konsisten (Kessler dan
Evelyn, 2013).

2.1.3 Patofisiologi

1. Hipotesis Biogenik Amin


Hipotesis ini melibatkan hasil dari beberapa penemuan yang dilakukan pada
awal tahun 1950. Ditemukan bahwa obat antihipertensi reserpine menurunkan kadar
neurotransmitter dari norefinefrin, 5-HT, dan dopamin dan memperlihatkan gejala
klinis pada 15% atau lebih pasien. Lalu ditemukan bahwa halusinogen asam lisergik
dietilamin menghalangi reseptor periferal dari serotonin, dan efek halusinogen dari
asam lisergik dietilamin memiliki efek yang serupa pada sistem saraf pusat (SSP)
reseptor serotonin (Wells et al, 2009).
2. Teori perubahan postsinaptik pada sensitivitas reseptor
Teori ini menjelaskan beberapa studi tentang antidepresan yang
menyebabkan terjadinya desensitisasi atau perubahan dari norefinefrin atau reseptor
5HT1A yang berhubungan dengan efek antidepresan (Wells et al, 2009).
3. Hipotesis disregulasi
Dalam teori ini terjadi kegagalan regulasi homeostatik dari sistem
neurotransmitter daripada peningkatan atau penurunan absolut. Menurut hipotesis
ini, agen antidepresan yang efektif adalah agen antidepresan yang dapat
mengembalikan regulasi sistem neurotransmiter (Wells et al, 2009).
4. Hipotesis 5-HT/Norefinefrin
Teori ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara 5-HT dan aktivitas
norefinefrin, dan kedua sistem serotonergik dan noradrenergik terlibat dalam respon
antidepresan (Wells et al, 2009).

5. Peran dopamin
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa peningkatan neurotransmisi
dopamin pada jalur mesolimbik terkait dengan mekanisme kerja antidepresan
(Wells et al, 2009).

2.1.4 Gejala-Gejala Depresi

Gejala depresi adalah kumpulan dari perilaku dan perasaan yang secara
spesifik dapat dikelompokkan sebagai depresi. Gejala-gejala depresi ini bisa kita lihat
dari tiga segi, yaitu dari segi fisik, psikis, dan sosial.
A. Gejala Fisik
1) Gangguan pola tidur
2) Menurunnya tingkat aktivitas
3) Menurunnya efisiensi kerja
4) Menurunnya produktivitas kerja
5) Mudah merasa letih dan sakit
B. Gejala Psikis
1) Kehilangan rasa percaya diri
2) Sensitif
3) Merasa diri tidak berguna
4) Perasaan bersalah
5) Perasaan terbebani
C. Gejala Sosial

Lingkungan akan bereaksi terhadap perilaku orang yang depresi


tersebut pada umumnya negatif (mudah marah, tersinggung,
menyendiri,sensitif, mudah letih, mudah sakit). Problem sosial yang terjadi
biasanya berkisar pada masalah interaksi dengan rekan kerja, atasan, atau
bawahan. Masalah ini tidak hanya berbentuk konflik, namun masalah lainnya
juga seperti perasaan minder, malu, cemas jika berada diantara kelompok dan
merasa tidak nyaman untuk berkomunikasi secara normal. Mereka merasa
tidak mampu untuk bersikap terbuka dan secara aktif menjalin hubungan
dengan lingkungan sekalipun ada kesempatan.
2.1.5 Penyebab Depresi
a. Faktor Fisik
1) Faktor genetik
2) Susunan kimia otak dan tubuh
3) Faktor usia
4) Gaya hidup
5) Penyakit fisik
6) Obat-obatan
b. Faktor Psikologis
1) Kepribadian
2) Pola pikir
3) Stress
4) Lingkungan keluarga
5) Penyakit jangka panjang (Santrock, 2003)

2.1.6 Farmakoterapi

Pengobatan depresi biasanya menggunakan obat antidepresan. Pembagian


obat antidepresan dibedakan berdasarkan mekanisme kerjanya yaitu Selective
Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRI), Serotonine Norepinephrine Reuptake Inhibitor
(SNRI), Inhibitor Monoamin Oksidase, Trisiklik.
1. Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRI)

Mekanisme kerja dari SSRI adalah menghambat pengambilan 5-HT


ke dalam neuron presinaptik. Sering digunakan sebagai lini pertama karena
efek samping yang cenderung aman (Santarsieri and Schwartz, 2015). Obat
jenis ini memiliki afinitas tinggi terhadap reseptor monoamine tetapi tidak
memiliki afinitas terhadap adrenoreseptor α, histamin, muskarinik atau
asetilkolin yang terdapat juga pada obat antidepresan trisiklik (Katzung, et al.,
2012). Beberapa contoh obat yang termasuk ke dalam golongan SSRI adalah
citalopram, fluvoxamine, paroxetine, fluoxetine, sertraline (Kaufman, 2009).
Efek samping dari SSRI adalah sakit kepala, insomnia, kelelahan, kecemasan,
disfungsi seksual, peningkatan berat badan (Santarsieri and Schawrtz, 2015).
SSRI dilaporkan berinteraksi dengan 40 obat lainnya menyebabkan serotonin
sindrome. Ciri ciri dari sindrom ini adalah kekakuan, tremor, demam,
kebingungan, atau agitasi. SNRI juga dapat mennyebabkan sindorom
serotonin. Namun, obat trisiklik tidak memiliki efek samping tersebut kecuali
amitriptyline (Wolfe, 2009). Penelitian terbaru menyebutkan terdapat obat
golongan SSRI yaitu vortioxetine yang dapat ditoleransi dengan baik dan
prevalensi efek samping kecil. Vortioxetine dapat meningkatkan kualitas
hidup pasien yang menderita depresi dengan signifikan (Dziwota and
Olajossy, 2016).
2. Serotonine Norepinephrine Reuptake Inhibitor (SNRI)

SNRI bekerja dengan melakukan pengangkutan serotonin dan


norepinedrin. Pengangkutan norepinefrin secara struktur mirip dengan
pengangkutan serotonin. Pengangkutan norepinefrin memiliki afinitas ringan
terhadap dopamine. Afinitas sebagian besar SNRI cenderung lebih besar
untuk pengangkut serotonin daripada norepinedrin (Tjay & Rahardja, 2010).
Beberapa contoh obat yang termasuk ke dalam golongan SNRI adalah
venlafaxine, duloxetine, desvenlafaxine, milnacipran, levomilnacipran
(Sansone and Sansone, 2014).
3. Monoamine Oxidase Inhibitors (MAOIs)

Bekerja dengan mekanisme meningkatkan konsentrasi norepinefrin,


5-HT, dan dopamine dalam neuron sinaps melalui penghambatan sistem
enzim monoamine oxidase (MAO) (Wells et al, 2009). Monoamin oksidase
dalam tubuh memiliki fungsi deaminasi oksidatif katekolamin di mitokondria.
Proses ini dihambat oleh MAOI karena terbentuknya suatu kompleks antara
MAOI dan MAO sehingga mengakibatkan peningkatan kadar epinefrin,
norepinefrin, dan serotonin. MAOI tidak hanya menghambat MAO, tetapi
juga menghambat enzim lain yang mengakibatkan terganggunya metabolisme
obat di hati (Tjay & Rahardja, 2010). Penggunaan obat golongan MAOI
sudah sangat jarang dikarenakan efek toksik. Efek samping yang sering terjadi
adalah hipotensi dan hipertensi. Contoh obat MAOI adalah isocarboxazid,
phenelzine, tranylcypromine, selegiline (Santarsieri and Schawrtz, 2015).
4. Trisiklik (TCA)

Obat golongan trisiklik efektif untuk penyakit depresi, tetapi


penggunaanya telah berkurang karena telah tersedia obat yang mempunyai
efektivitas terapi yang sama tetapi mempunyai dosis yang lebih aman dan
lebih toleransi. Mekanisme obat golongan trisklik ini bekerja dengan
mennghambat ambilan dari norephinefrin dan 5-HT, menghambat adrenergik,
kolinergik, dan reseptor histaminergik (Wells., et al., 2009).
5. Terapi Elektrokonvulsif (ECT)

Elektrokonvulsif adalah salah satu pengobatan yang efektif untuk


mengobati depresi mayor. Pengobatan ini efektif karena repson relative tinggi
dibandingkan dengan pengobatan menggunakan antidepresan (Lisanby, 2007).
Walaupun memiliki efikasi yang tinggi, kambuh depresi juga tinggi. Untuk
melindungi dari kambuhnya depresi, terdapat 2 strategi yaitu augmentasi ECT
dengan farmakoterapi pada saat fase akut, atau melanjutkan terapi dengan
salah satu dari terapi (McClintock, 2011).

2.2 Ansietas
2.2.1 Definisi

Ansietas adalah suatu perasaan takut yang berasal dari eksternal atau
internal sehingga tubuh memiliki respons secara perilaku, emosional, kognitif, dan
fisik (Videbeck, 2011). Ansietas adalah perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran
yang samar disertai respon otonom (sumber tidak diketahui oleh individu) sehingga
individu akan meningkatkan kewaspadaan untuk mengantisipasi (Nanda, 2015).
Ansietas adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, berkaitan dengan
perasaan tidak berdaya dan respons emosional terhadap penilaian sesuatu. Gangguan
ansietas adalah masalah psikiatri yang paling sering terjadi di Amerika Serikat
(Stuart, 2013).
Menurut Bystritsky, et al., gangguan anxietas termasuk kondisi kesehatan
mental yang paling umum, meskipun kurang terlihat seperti skizofrenia, depresi atau
gangguan bipolar, tetapi bisa sama-sama melumpuhkan. Sedangkan menurut
Simpson, et al., gangguan anxietas didefinisikan dengan kekhawatiran yang
berlebihan, hiperarousal, ketakutan yang kontraproduktif dan melemahkan, yang
mana gangguan anxietas ini termasuk kondisi kejiwaan yang paling umum di negara
barat.

2.2.2 Epidemiologi

Menurut survei epidemiologi, sepertiga penduduk dunia dipengaruhi oleh


gangguan kecemasan selama masa hidupnya. Gangguan ini lebih sering terjadi pada
wanita. Pada usia paruh baya, prevalensinya paling tinggi. Namun, ada penurunan
tingkat prevalensi seiring dengan bertambahnya usia, terutama usia yang lebih tua
(Bandelow dan Michaelis, 2015). Menurut survei yang lebih baru, tingkat prevalensi
seumur hidup untuk remaja berusia 13 hingga 17 tahun adalah 7,7%, sementara itu
6,6% pada orang dewasa berusia 18 hingga 64,3 tahun (Bandelow and Michaelis,
2015).

2.2.3 Patofisiologi

1. Model Noradrenergik
Model ini menunjukkan bahwa sistem saraf otonom pada penderita
gangguan anxietas, hipersensitif dan bereaksi berlebihan terhadap berbagai
rangsangan. Glukokortikoid mengaktifkan locus caeruleus, yang berperan dalam
mengatur anxietas, yaitu dengan mengaktivasi pelepasan norepinefrin (NE) dan
merangsang sistem saraf simpatik dan parasimpatik (DiPiro, et al., 2015).

2. Model Serotonin
Jalur serotonergik yang timbul dari nukleus raphé di batang otak
mempersarafi berbagai macam struktur yang dianggap terlibat dalam gangguan
anxietas, termasuk korteks frontal, amigdala, hipotalamus, dan hipokampus
(Mathew, et al., 2008). Selain itu, mekanisme serotonergik diyakini mendasari
aktivitas biologis berbagai obat yang digunakan untuk mengobati mood disorder,
termasuk gejala anxietas.
Patologi seluler yang dapat berkontribusi pada pengembangan gangguan
anxietas termasuk regulasi abnormal pelepasan 5HT, reuptake atau respons
abnormal terhadap signal 5-HT. Reseptor 5-HT1A diduga memainkan peran yang
sangat penting terhadap anxietas. Aktivasi reseptor 5-HT1A meningkatkan aliran
kalium dan menghambat aktivitas adenilat siklase (Soodan and Arya, 2015).
Reseptor HT1A juga terlibat dalam panic disorder. Polimorfisme spesifik dalam gen
yang mengkodekan reseptor 5HT1A telah terbukti memiliki hubungan yang
signifikan dengan gangguan agoraphobia dan panik (Lopez, et al., 2010). Peran 5-
HT dan subtipe reseptornya dalam memediasi gejala kecemasan, panik, dan obsesi
adalah kompleks. 5-HT dilepaskan dari terminal saraf berikatan dengan subtipe
reseptor 5-HT2C postsinaptik, yang memediasi kecemasan. 5HT1A adalah auto-
reseptor pada neuron pra-sinaptik yang apabila dirangsang dapat menghambat
pelepasan 5-HT dari neuron presinaptik ke sinaps (Mathew, et al., 2008). 3. Model
GABA (Gamma-amino butyric acid) adalah neurotransmiter inhibitor penting
dalam sistem saraf pusat dan mengatur banyak rangsangan di daerah otak. (DiPiro,
et al., 2015). Terdapat 2 subtipe reseptor GABA yaitu GABA A dan GABA B.
Benzodiazepin berikatan dengan kompleks reseptor benzodiazepine yang terletak di
neuron post-sinaptik. Pengikatan semacam itu dapat meningkatkan efek GABA
untuk membuka kanal ion klorida, menyebabkan masuknya ion klorida ke dalam sel
yang menghasilkan stabilisasi membran saraf (Soodan and Arya, 2015). GABA
juga dapat mempengaruhi tingkat kecemasan dengan memediasi pelepasan
neurotransmitter lain seperti cholecystokinin dan menekan aktivitas saraf pada
sistem serotonergik dan noradrenergik. Neurotransmitter lain yang diduga terlibat
dalam gangguan anxietas termasuk dopamine, glutamine dan neurokinin (Christmas
and Nutt, 2008). Meskipun kemungkinan patofisiologi yang berbeda mendasari
berbagai gangguan anxietas, secara luas diyakini bahwa GABA merupakan salah
satu sistem yang terlibat secara integral pada gangguan anxietas. Studi
neuroimaging melaporkan bahwa terjadi penurunan kadar GABA dan pengikatan
reseptor GABA A-benzodiazepine pada pasien dengan ganggua anxietas. Reseptor
GABA-benzodiazepine didistribusikan secara luas di otak dan sumsum tulang
belakang. Terutama terkonsentrasi di bagian otak yang dianggap terlibat dalam
terjadinya anxietas, termasuk medial PFC, amigdala, dan hipokampus, serta hasil
dari beberapa penelitian telah menunjukkan kelainan pada sistem tersebut pada
pasien dengan gangguan anxietas (Soodan dan Arya, 2015).

2.2.4 Gejala Klinis

Berdasarkan kriteria DSM-IV-TR, gangguan anxietas dibagi menjadi


beberapa tipe (Baldwin, et al., 2014), yaitu:
1. Generalized Anxiety Disorders (GAD)

GAD merupakan perasaan cemas yang berat, menetap, disertai dengan


gejala somatik yang menyebabkan gangguan fungsi sosial dan fungsi
pekerjaan (Locke, et al., 2015). Kriteria diagnostik untuk GAD membutuhkan
setidaknya gejala persisten hampir setiap hari selama minimal 6 bulan.
Kecemasan atau kekhawatiran disertai dengan setidaknya 3 gejala psikologis
atau fisiologis. Gejala psikologi seperti kecemasan yang berlebihan.
kekhawatiran yang sulit dikontrol, gelisah, konsentrasi rendah atau pikiran
kosong. Gejala fisik meliputi kegelisahan, kelelahan, ketegangan otot,
gangguan tidur, dan iritabilitas (DiPiro, et al., 2009).
2. Panic Disorders (PD)

Gejala untuk panic disorders biasanya dimulai dengan serangkaian


serangan panik yang tak terduga (Locke, et al., 2015). Kriteria diagnostiknya
diikuti oleh setidaknya kekhawatiran yang berlangsung selama 1 bulan
terus-menerus. Selama terjadi serangan, harus ada setidaknya 4 gejala fisik,
ditambah dengan gejala psikologi. Gejala psikologi seperti depersonalisasi,
takut kehilangan kontrol, takut menjadi gila, serta takut mati. Sedangkan
gejala fisik seperti distress abdominal, nyeri dada, menggigil, pusing, hot
flushes, palpitasi, mual, sesak napas, berkeringat, takikardia, dan gemetar
(DiPiro, et al., 2009).

3. Social Anxiety Disorders (SAD)

Ciri penting dari SAD adalah rasa takut yang intens, irasional, dan
terusmenerus. Ketika berada dalam situasi yang ditakuti biasanya memicu
serangan panik. Ketakutan dan penghindaran terhadap suatu situasi dapat
mengganggu aktivitas sehari-hari. Gejala takut seperti takut diteliti orang lain,
malu, serta takut dihina. Situasi yang menakutkan seperti makan atau menulis
di depan orang lain, berinteraksi dengan figur otoritas, berbicara di depan
umum, berbicara dengan orang asing, dan penggunaan toilet umum. Gejala
fisik meliputi wajah memerah, diare, berkeringat, takikardia, dan gemetar
(DiPiro, et al., 2009).
4. Post-traumatic Stress Disorders (PTSD)

Dalam PTSD, kejadian trauma dapat menyebabkan rasa takut yang


intens, tidak berdaya, atau horor. Penderita disebut PTSD apabila memiliki
setidaknya satu gejala reexperiencing, tiga gejala avoidance yang persisten,
dan dua gejala hiper-arousal. Gejala dari setiap kategori harus lebih dari 1
bulan dan menyebabkan stress atau gangguan yang signifikan (DiPiro, et al.,
2009). Gejala reexperiencing seperti kenangan berulang yang
menyebabkan trauma, mimpi yang berulang, merasa bahwa peristiwa trauma
kembali terulang, reaksi fisiologis terhadap pengingat trauma. Gejala
avoidance seperti menghindari percakapan tentang trauma, menghindari
pemikiran tentang trauma, menghindari aktivitas yang dapat mengingatkan
terhadap suatu kejadian, menghindari orang atau tempat yang membangkitkan
ingatan trauma. Gejala hyperarousal yaitu konsentrasi menurun, mudah kaget,
insomnia, dan iritabilitas (DiPiro, et al., 2009).
5. Agoraphobia
Yaitu ketakutan akan tempattempat yang bisa membuatnya merasa malu
yang akan memicu serangan panik. Gangguan ini penderitanya akan
menghindari berbagai situasi yang mungkin menyebabkan panik seperti ketika
bertemu orang banyak, angkutan umum, atau ruang tertutup misalnya
lift.

Penderita agoraphobia biasanya hanya akan mengurung diri di rumah karena


takut berada di tempat umum dan ruang terbuka (Bandelow, et al., 2017).
6. Specific Phobia

Merupakan gangguan fobia yang terbatas pada situasi tertentu, biasanya


meliputi ketakutan terhadap hewan (misalnya kucing, laba-laba atau
serangga), atau fenomena alam (misalnya darah, ketinggian dan kedalaman
air). Penderita yang mengalami gangguan ini akan menghindari objek-objek
yang ditakuti (Bandelow, et al., 2017).

2.2.5 Penyebab Ansietas

Menurut Stuart (2013) terdapat tiga faktor penyebab terjadinya ansietas, yaitu :
a. Faktor biologis/ fisiologis, berupa ancaman yang mengancam akan kebutuhan
sehari-hari seperti kekurangan makanan, minuman, perlindungan dan
keamanan. Otak mengandung reseptor khusus untuk benzodiazepine, obat-
obatan yang meningkatkan neuroregulator inhibisi asam gama aminobutirat
(GABA), yang berperan penting dalam mekanisme terjadinya ansietas. Selain
itu riwayat keluarga mengalami ansietas memiliki efek sebagai faktor
predisposisi ansietas.
b. Faktor psikososial, yaitu ancaman terhadap konsep diri, kehilangan benda atau
orang berharga, dan perubahan status social atau ekonomi.
c. Faktor perkembangan, ancaman yang menghadapi sesuai usia perkembangan,
yaitu masa bayi, masa remaja dan masa dewasa.
2.2.6 Farmakoterapi

1. Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs)


SSRI biasanya diindikasikan untuk pengobatan depresi, dianggap sebagai
terapi lini pertama untuk gangguan anxietas. Kelompok obat ini diantaranya
fluoxetine, sertraline, citalopram, escitalopram, fluvoxamine, paroxetine dan
vilazodone. Mekanisme penting dari kelompok obat-obatan tersebut yaitu
menghambat transporter serotonin dan menyebabkan desensitisasi reseptor
serotonin postsinaptik, sehingga menormalkan aktivitas jalur serotonergik
(Bystritsky, et al., 2013).
2. Serotonin-Norepinephrine Reuptake Inhibitors (SNRIs)
SNRI yang menghambat transporter serotonin dan norepinefrin, termasuk
venlafaxine, desvenlafaxine, dan duloxetine. SNRI biasanya digunakan apabila
terjadi kegagalan atau respon yang tidak adekuat terhadap SSRI (Bystritsky, et al.,
2013). Tanggapan pasien terhadap SNRI sangat bervariasi, beberapa pasien
mungkin mengalami eksaserbasi gejala fisiologis anxietas sebagai akibat dari
peningkatan sinyal mediasi norepinefrin yang disebabkan oleh penghambatan
transporter norepinefrin. Untuk pasien yang tidak mengalami efek ini,
peningkatan tonus noradrenergik dapat berkontribusi terhadap efikasi ansiolitik
dari obat-obatan ini (Bystritsky, et al., 2013).
3. Benzodiazepines
Meskipun benzodiazepin banyak digunakan pada zaman dahulu untuk
mengobati kondisi anxietas, tetapi tidak lagi dianggap sebagai terapi lini pertama
karena menimbulkan efek samping yang merugikan, jika digunakan dalam waktu
yang lama dan dosis yang tinggi. Oleh karena itu, penggunaan benzodiazepin
hanya terbatas untuk pengobatan jangka pendek anxietas akut (Bystritsky, et al.,
2013).
4. Tricyclic Antidepressants
Semua tricyclic antidepressants (TCAs) berfungsi sebagai inhibitor
reuptake norepinefrin, dan beberapa sebagai penghambat reuptake serotonin.
Meskipun beberapa golongan dari obat ini efikasinya sebanding dengan SSRI atau
SNRI untuk mengobati anxietas, TCA menimbulkan lebih banyak efek samping
dan berpotensi mematikan jika overdosis. Untuk alasan ini, TCA jarang
digunakan dalam pengobatan gangguan anxietas. Kecuali clomipramine yang
mungkin lebih berkhasiat daripada SSRI atau SNRI pada pasien dengan OCD
(Bystritsky, et al., 2013).

2.2.7 Jenis-Jenis Kecemasan (Anxiety)

Menurut Spilberger (dalam Triantoro Safaria & Nofrans Eka Saputra, 2012)
menjelaskan kecemasan dalam dua bentuk, yaitu :
1. Trait anxiety Trait anxiety yaitu adanya rasa khawatir dan terancam yang
menghinggapi diri seseorang terhadap kondisi yang sebenarnya tidak
berbahaya. Kecemasan ini disebabkan oleh kepribadian individu yang
memang memiliki potensi cemas dibandingkan dengan individu yang lainnya.
2. State anxiety State anxiety merupakan kondisi emosional dan keadaan
sementara pada diri individu dengan adanya perasaan tegang dan khawatir
yang dirasakan secara sadar serta bersifat subjektif.
Sedangkan menurut Freud (dalam Feist & Feist, 2012) membedakan
kecemasan dalam tiga jenis, yaitu.
1. Kecemasan neurosis
Kecemasan neurosis adalah rasa cemas akibat bahaya yang tidak
diketahui. Kecemasan neurosis bukanlah ketakutan terhadap insting-insting itu
sendiri, namun ketakutan terhadap hukuman yang mungkin terjadi jika suatu
insting dipuaskan.
2. Kecemasan moral
Kecemasan ini berakar dari konflik antara ego dan superego.
Kecemasan ini dapat muncul karena kegagalan bersikap konsisten dengan apa
yang mereka yakini benar secara moral. Kecemasan moral merupakan rasa
takut terhadap suara hati. Kecemasan moral juga memiliki dasar dalam
realitas, di masa lampau sang pribadi pernah mendapat hukuman karena
melanggar norma moral dan dapat dihukum kembali.
3. Kecemasan realistik
Kecemasan realistik merupakan perasaan yang tidak menyenangkan
dan tidak spesifik yang mencakup kemungkinan bahaya itu sendiri.
Kecemasan realistik merupakan rasa takut akan adanya bahaya-bahaya nyata
yang berasal dari dunia luar.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1) Depresi dapat didefinisikan sebagai perasaan sendu atau sedih yang disertai perlambatan
gerak dan fungsi tubuh. Sedangkan, Ansietas adalah suatu perasaan takut yang berasal
dari eksternal atau internal sehingga tubuh memiliki respons secara perilaku, emosional,
kognitif, dan fisik.
2) Gejala-gejala depresi dapat dilihat dari tiga segi, yaitu dari segi fisik, psikis, dan sosial.
Sedangkan gejala klinis gangguan ansietas dibagi menjadi beberapa tipe yaitu :
generalized anxiety disorders (GAD), panic disorders (PD), social anxiety disorders
(SAD), post-traumatic stress disorders (PTSD), agoraphobia, dan specific phobia.
3) Penyebab depresi disebabkan oleh faktor fisik dan faktor psikologis. Sedangkan
penyebab ansietas disebabkan oleh faktor biologis/fisiologis, faktor psikososial, dan
faktor perkembangan.
DAFTAR PUSTAKA

Bandelow, B. and Michaelis, S. 2015. Epidemiology of Anxiety Disorders in the 21st Century.
Journal NCBI, Dialogues in Clinical Neuroscience, 17(3): 327-335. Bandelow, B.,
Sophie, M., and Dirk, W. 2017. Treatment of Anxiety Disorders. Journal NCBI,
Dialogues in Clinical Neuroscience, 19(2): 93-107.

Bystritsky, A., Sahib, S. K., Michael, E. C., et al. 2013. Current Diagnosis and Treatment of
Anxiety Disorders. Pharmacy and Therapeutics, 38(1): 41-44.

DiPiro, J.T., Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., et al. 2009. Pharmacotherapy Handbook,
Seventh Edition. New York: McGraw-Hill.

DiPiro, J.T., Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., et al. 2015. Pharmacotherapy Handbook,
Ninth Edition. New York: McGraw-Hill.

Isacsson G., Boethius G., Henriksson S., et al. 1999. Selective Serotonin Reuptake Inhibitors
Have Broadened the Utilisation of Antidepressant Treatment in Accordance with
recommendation. Findings from a Swedish Prescription Data Base. J Affect Discord.
53:15-22.

Kauffman. 2009. Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI) Drugs: More Risks than
Benefits. Journal of American Physicians and Surgeons. 14(1): 2009.

Kessler, R. C. and Wang, P.S. 2008. The Descriptive Epidemiology of Commonly Occuring
Mental Disorders in the United States. Annual Review of Public Health, 29: 115-129.
Kessler and Evelyn. 2013. The Epidemiology of Depression Across Cultures. Annu Rev
Public Health. 34: 119-138.

Lisanby SH., Sampson S, Husain MM, et al. 2008. Toward Individualized


postelectroconvulsive therapy care: piloting the symptom-titrated, algorithm-based
longitudinal (STABLE) intervention. J ECT. 24(3): 179-182.
Locke, B. L., Nell, K., and Cameron, G. S. 2015. Diagnosis and Management of Generalized
Anxiety Disorder and Panic Disorder in Adults. American Family Physician, 91(9).

Lumis, Namora L. 2009. Depresi: Tinjauan Psikologis. Jakarta: Kencana. McClintock. 2011.
A Systematic Review of the Combined Use of Electroconvulsive Therapy and
Psychotherapy for Depression. Journal ECT. 27(3): 236-243.

Mathew, J.S., Rebecca, B.P., and Dennis, S.C. 2008. Recent Advances in the Neurobiology of
Anxiety Disorders: Implications for Novel Therapeutics. American Journal of Medical
Genetics, 148: 89-98.

Sadock, B. J. & Sadock, V. A., 2010. Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi 2. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.

Soodan, S. and Arya, A. 2015. Understanding the Pathophysiology and Management of the
Anxiety Disorders. International Journal of Pharmacy & Pharmaceutical Research, 4(3):
251-278.

Anda mungkin juga menyukai