Anda di halaman 1dari 29

PSIKOLOGI KEPERAWATAN

MAKALAH TREN DAN ISSUE DALAM PSIKOLOGIS KESEHATAN

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Keperawatan

Disusun Oleh:
KELOMPOK 6

Dina Mulia Pertiwi (2002002)


Nelda Rahmadia Ustari (2002030)
Silvi rahmadini (2002038)
Hermanita fatria (2002023)

Dosen Pengampu:

Rifdha wahyuni ,. S.Psi, M.Psi Psikolog

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


STIKES SYEDZA SAINTIKA PADANG
2022/2023
KATA SAMBUTAN

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-NYA
sehingga kami bisa menyelesaikan makalah Tren Dan Issue Psikologis dalam
Kesehatan ini dengan baik. Banyak rintangan dan hambatan yang kami hadapi dalam
penyusunan makalah ini. Namun berkat bantuan dan dukungan dari teman-teman
serta bimbingan dari dosen pembimbing, sehingga kami bisa menyelesaikan
makalah ini. Dengan adanya makalah ini di harapkan dapat membantu dalam proses
pembelajaran dan dapat menambah pengetahuan para pembaca. Penulis juga tidak
lupa mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan
bantuan, dorongan dan doa.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi
sumbangan pemikiran kepada pembaca. kami sadar bahwa makalah ini masih
banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada dosen pembimbing
kami meminta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah dimasa yang akan
datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.

Hormat saya,

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA SAMBUTAN 1
DAFTAR ISI 2
BAB 1 2
PENDAHULUAN 2
1.1 LATAR BELAKANG 2
1.2RUMUSAN MASALAH 3
1.3TUJUAN 3
BAB II 4
KAJIAN PUSTAKA 4
2.1 Penyalahgunaan NAPZA 4
2.2 Bullying 6
2.3 Adiksi Game 9
2.4 Post Power Syndrome 13
2.5 Post Traumatic Disease Syndrome 15
BAB III 20
REVIEW JURNAL 20
BAB IV 24
KESIMPULAN 24
DAFTAR PUSTAKA 25

2
BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Psikologi kesehatan adalah ilmu yang terfokus pada bidang kesehatan
bagaimana psikologi, perilaku, tingkah laku, dan faktor sosial dapat
mempengaruhi kesehatan dan penyakit penyakit pada seorang manusia.
Istilah lain psikologi kesehatan juga dapat di kenal sebagai ilmu psikologi
medis.
Trend adalah hal yang sangat mendasar dalam berbagai pendekatan
analisa, tren juga dapat di definisikan salah satu gambaran ataupun informasi
yang terjadi pada saat ini yang biasanya sedang popular di kalangan
masyarakat.Trend adalah sesuatu yang sedang di bicarakan oleh banyak
orang saat ini dan kejadiannya berdasarkan fakta.
Issu adalah suatu peristiwa atau kejadian yang dapat diperkirakan
terjadi atau tidak terjadi pada masa mendatang, yang menyangkut ekonomi,
moneter, sosial, politik, hukum, pembangunan nasional, bencana alam, hari
kiamat, kematian, ataupun tentang krisis.Issu adalah sesuatu yang sedang di
bicarakan oleh banyak namun belum jelas faktannya atau buktinya.
Jadi, Trend dan Issu Keperawatan adalah sesuatu yang sedang
d.bicarakan banyak orang tentang praktek/mengenai keperawatan baik itu
berdasarkan fakta ataupun tidak, trend dan issu keperawatan tentunya
menyangkut tentang aspek legal dan etis keperawatan.Saat ini trend dan issu
keperawatan yang sedang banynak dibicarakan orang adalah Aborsi,
Eutanasia dan Transplantasi organ manusia, tentunya semua issu tersebut
menyangkut keterkaitan dengan aspek legal dan etis dalam keperawatan.
Di dalam makalah ini penulis mencoba menelaah menegenai Tren dan
Issue dalam Psikologis Kesehatan.

1.2RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka rumusan masalah dalam
makalah ini:
1. Apa Pengertian Tren dan Issue?
2. Apa Saja Faktor Yang Mempengaruhi Tren Dan Issue?

3
3. Apa Bentu-bentuk Dari Tren Issue Dalam Psikologis Kesehatan ?
4. Apa Peran Perawat Terhadap Tren Dan Issue ?

1.3TUJUAN
Dari rumusan masalah di atas, makalah ini mempunyai tujuan, yaitu:
1. Untuk Memahami Dan Mengetahui Defenisi Tren Dan Issue
2. Untuk Memahami Apa Saja Faktor Yang Mempengaruhi Tren Dan Issue
3. Untuk Memahami Bentuk-Bentuk Dari Tren Dan Issue dalam Psiklogis
Kesehatan
4. Untuk Memahami Peran perawat Terhadap Tren Dan Issue

4
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penyalahgunaan NAPZA


NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/
zat/ obat yang bila masuk ke dalam tubuh manusia akan mempengaruhi
tubuh terutama otak/ susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan
kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosialnya karena terjadi kebiasaan,
ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi) terhadap NAPZA.
Penyalahgunaan NAPZA adalah penggunaan salah satu atau beberapa jenis
NAPZA secara berkala atau teratur diluar indikasi medis, sehingga
menimbulkan gangguan kesehatan fisik, psikis dan gangguan fungsi sosial
(Azmiyati, 2014)
Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya
(NAPZA) di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Peningkatan kasus, jumlah korban dan NAPZA yang beredar, menempatkan
Indonesia sebagai negara dengan predikat “darurat narkoba”.
Penyalahgunaan NAPZA sudah meluas tidak terbatas pada
kelompok umur, bahkan sudah terjadi pada kelompok anak-anak.
Penyalahgunaan NAPZA juga menjangkau kelompok berpendidikan
rendah, hingga kelompok berpendidikan tinggi; menjangkau kelompok
kaya, hingga kelompok miskin; dan menjangkau rakyat jelata hingga pejabat
publik (Suradi dan Sugiyanto, 2016).
Ketergantungan zat merupakan dampak dari penyalahgunaan NAPZA
yang parah, hal ini sering dianggap sebagai penyakit. Ketergantungan seperti
ketidakmampuan untuk mengendalikan atau menghentikan pemakaian zat
menimbulkan gangguan fisik yang hebat jika dihentikan akan berbahaya dan
merugikan keluarga serta menimbulkan dampak sosial yang luas. Salah satu
faktor yang berpengaruh terhadap penyalahgunaan NAPZA adalah
pengetahuan, dimana dalam suatu kondisi jika seseorang itu tahu bahwa hal
yang akan dilakukannya akan berakibat buruk terhadap dirinya maka orang
tersebut kemungkinan tidak akan melakukan hal tersebut (Menthan, 2013).
Dampak Penyalahgunaan NAPZA Penyalahgunaan NAPZA membawa
dampak yang tidak menguntungkan atau negatif bagi
penyalahgunanya. Dampak negatif penyalahgunaan NAPZA dikemukakan

5
juga oleh Madjid (Angreni, 2015), bahwa ia memfokuskan pada tiga
dampak negatif NAPZA bagi korban adalah gangguan pada fisik, emosi dan
perilaku korban. Dampak negatif NAPZA secara lengkap dikemukakan
oleh Abdalla (2008) berikut:
a. Dampak terhadap Kondisi Mental
Dampak terhadap mental dalam bentuk sugesti, yaitu
munculnya keinginan untuk kembali menggunakan NAPZA. Sugesti
bisa digambarkan sebagai suara-suara yang menggema di
dalam kepala seseorang yang menyuruhnya untuk
menggunakan NAPZA. Dampak mental yang lain, yaitu pikiran dan
perilaku obsesif kompulsif serta tindakan impulsif. Pikirannya
hanya tertuju untuk mendapatkan NAPZA, dan seringkali
mengulangi kesalahan yang sama. Pencandu atau korban sudah tidak
memiliki akal sehat.
b. Dampak terhadap Fisik
Dampak terhadap kondisi fisik mulai dari yang ringan sampai yang
berat. Bentuk dampak dimaksud, seperti pegal-pegal, ngilu, sakit-sakit
pada sekujur tubuh kram otot dan insomnia. Kemudian risiko yang
lebih berat, seperti: katup jantung bocor, paru-paru bolong, gagal ginjal,
liver rusak, inveksi virus hepatitis C, dan HIV/AIDS.
c. Dampak terhadap Emosional
Dampak terhadap emosional dalam bentuk perubahan mood yang
ekstreem yang dapat mendorong perilaku agresif yang berlebihan,
emosinya sangat labil, dan dapat melakukan tindak kekerasan.
Munculnya kepribadian baru yang tidak peduli terhadap orang lain, ada
perasaan tidak berguna dan depresi mendalam yang dapat
mengantarnya untuk melakukan bunuh diri.
d. Dampak terhadap Spiritual
Dampak terhadap spiritual dalam bentuk tidak mau melakukan
aktivitas yang produktif, tidak mau sekolah, dan meninggalkan
kegiatan ritual/ibadah. Korban menjalani hidup dalam dunianya
sendiri, dan mengisolasi diri dari keluarga, teman-temannya, dan
masyarakat. Situasi spiritual seseorang, dapat sebagai faktor akibat,
tetapi juga dapat menjadi faktor penyebab. Sebuah hasil penelitian
yang dilakukan menyebutkan bahwa orang-orang yang spiritualnya tinggi
memiliki risiko yang lebih rendah untuk terkena depresi, narkoba, usaha
bunuh diri dan lebih puas dengan keberadaan dan hidupnya.

6
e. Retardasi
Penyalahgunaan NAPZA menyebabkan korban tidak memiliki pola
pikir dan kestabilan emosi seperti layaknya orang-orang seusianya.
Korban tidak mampu membuat keputusan karena kemampuan
berpikirnya sangat terbatas. Korban tidak memiliki kestabilan emosi, tidak
mampu mengurus diri sendiri dan tidak tertarik untuk membangun
relasi sosial dengan keluarga dan lingkungan sosialnya

2.2 Bullying
Menurut Smith dan Thompson (1991) buli diartikan sebagai seperangkat
tingkah laku yang dilakukan secara sengaja dan menyebabkan kecederaan
fisik serta psikologikal yang menerimanya. Tingkah laku buli yang
dimaksudkan termasuk tindakan yang bersifat mengejek, penyisihan sosial,
dan me-mukul.
Menurut Ariesto (2009), faktor-faktor penyebab terjadinya bullying antara lain:
a. Keluarga.
Pelaku bullying seringkali berasal dari keluarga yang bermasalah :
orang tua yang sering menghukum anaknya secara berlebihan, atau
situasi rumah yang penuh stress, agresi, dan permusuhan. Anak akan
mempelajari perilaku bullying ketika mengamati konflik-konflik yang
terjadi pada orang tua mereka, dan kemudian menirunya terhadap teman-
temannya. Jika tidak ada konsekuensi yang tegas dari lingkungan
terhadap perilaku cobacobanya itu, ia akan belajar bahwa “mereka yang
memiliki kekuatan diperbolehkan untuk berperilaku agresif, dan perilaku
agresif itu dapat meningkatkan status dan kekuasaan seseorang”. Dari
sini anak mengembangkan perilaku bullying;
b. Sekolah
Pihak sekolah sering mengabaikan keberadaan bullying ini. Akibatnya,
anakanak sebagai pelaku bullying akan mendapatkan penguatan terhadap
perilaku mereka untuk melakukan intimidasi terhadap anak lain. Bullying
berkembang dengan pesat dalam lingkungan sekolah sering memberikan
masukan negatif pada siswanya, misalnya berupa hukuman yang tidak
membangun sehingga tidak mengembangkan rasa menghargai dan
menghormati antar sesama anggota sekolah;
c. Faktor Kelompok Sebaya.
Anak-anak ketika berinteraksi dalam sekolah dan dengan teman di
sekitar rumah, kadang kala terdorong untuk melakukan bullying. Beberapa

7
anak melakukan bullying dalam usaha untuk membuktikan bahwa mereka
bisa masuk dalam kelompok tertentu, meskipun mereka sendiri merasa
tidak nyaman dengan perilaku tersebut.
d. Kondisi lingkungan sosial
Kondisi lingkungan sosial dapat pula menjadi penyebab timbulnya
perilaku bullying. Salah satu faktor lingkungan social yang menyebabkan
tindakan bullying adalah kemiskinan. Mereka yang hidup dalam
kemiskinan akan berbuat apa saja demi memenuhi kebutuhan hidupnya,
sehingga tidak heran jika di lingkungan sekolah sering terjadi pemalakan
antar siswanya.
e. Tayangan televisi dan media cetak
Televisi dan media cetak membentuk pola perilaku bullying dari segi
tayangan yang mereka tampilkan. Survey yang dilakukan kompas
memperlihatkan bahwa 56,9% anak meniru adegan-adegan film yang
ditontonnya, umumnya mereka meniru geraknya (64%) dan kata-katanya
(43%).
Bullying juga terjadi dalam beberapa bentuk tindakan. Menurut
Coloroso (2007), bullying dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:
a. Bullying Fisik
Penindasan fisik merupakan jenis bullying yang paling tampak dan
paling dapat diidentifikasi diantara bentuk-bentuk penindasan lainnya,
namun kejadian penindasan fisik terhitung kurang dari sepertiga insiden
penindasan yang dilaporkan oleh siswa. Jenis penindasan secara fisik di
antaranya adalah memukul, mencekik, menyikut, meninju, menendang,
menggigit, memiting, mencakar, serta meludahi anak yang ditindas hingga
ke posisi yang menyakitkan, serta merusak dan menghancurkan pakaian
serta barangbarang milik anak yang tertindas. Semakin kuat dan semakin
dewasa sang penindas, semakin berbahaya jenis serangan ini, bahkan
walaupun tidak dimaksudkan untuk mencederai secara serius.
b. Bullying Verbal
Kekerasan verbal adalah bentuk penindasan yang paling umum
digunakan, baik oleh anak perempuan maupun anak laki-laki. Kekerasan
verbal mudah dilakukan dan dapat dibisikkan dihadapan orang dewasa
serta teman sebaya, tanpa terdeteksi. Penindasan verbal dapat
diteriakkan di taman bermain bercampur dengan hingar binger yang
terdengar oleh pengawas, diabaikan karena hanya dianggap sebagai
dialog yang bodoh dan tidak simpatik di antara teman sebaya.

8
Penindasan verbal dapat berupa julukan nama, celaan, fitnah, kritik kejam,
penghinaan, dan pernyataan-pernyataan bernuansa ajakan seksual atau
pelecehan seksual. Selain itu, penindasan verbal dapat berupa
perampasan uang jajan atau barang-barang, telepon yang kasar, e-mail
yang mengintimidasi, surat-surat kaleng yang berisi ancaman kekerasan,
tuduhantuduhan yang tidak benar, kasak-kusuk yang keji, serta gosip.
c. Bullying Relasional
Jenis ini paling sulit dideteksi dari luar. Penindasan relasionaladalah
pelemahan harga diri si korban penindasan secara sistematis melalui
pengabaian, pengucilan, pengecualian, atau penghindaran. Penghindaran,
suatu tindakan penyingkiran, adalah alat penindasan yang terkuat. Anak
yang digunjingkan mungkin akan tidak mendengar gosip itu, namun tetap
akan mengalami efeknya. Penindasan relasional dapat digunakan untuk
mengasingkan atau menolak seorang teman atau secara sengaja
ditujukan untuk merusak persahabatan. Perilaku ini dapat mencakup
sikap-sikap tersembunyi seperti pandangan yang agresif, lirikan mata,
helaan napas, bahu yang bergidik, cibiran, tawa mengejek, dan bahasa
tubuh yang kasar.
d. Cyber bullying
Ini adalah bentuk bullying yang terbaru karena semakin
berkembangnya teknologi, internet dan media sosial. Pada intinya adalah
korban terus menerus mendapatkan pesan negative dari pelaku bullying
baik dari sms, pesan di internet dan media sosial lainnya.

2.3 Adiksi Game


Adiksi/Kecanduan game online secara umum merupakan perilaku
seseorang yang ingin terus bermain game online yang menghabiskan
banyak waktu serta dimungkinkan individu yang bersangkutan tidak
mampu mengontrol atau mengendalikannya (Yee, 2006). Meningkatnya
jumlah waktu yang dihabiskan dengan game online, dapat menyebabkan
perilaku kecanduan bagi beberapa orang saat aktivitas tersebut menjadi
tidak berfungsi, merugikan fungsi sosial, pekerjaan, keluarga, sekolah, dan
psikologis individu tersebut (Gentile et al., 2011; Kuss, 2013; Zhu et al.,
2015).

Yee (Young & De Abreu, 2011) menyatakan bahwa remaja memiliki


kecenderungan yang lebih tinggi untuk mengalami kecanduan games
online dari pada dewasa dan efek negatif yang ditimbulkan juga lebih
besar pada remaja yang bermain secara intensif karena mereka cenderung
menjadikan games sebagai fokus utamanya .

9
1. Faktor Penyebab Kecanduan Game

Menurut Yee (2005), terdapat beberapa faktor yang menyebabkan


seseorang kecanduan game, yaitu sebagai berikut:

a. Relationship, didasari oleh keinginan untuk berinteraksi dengan


permainan, serta adanya kemauan seseorang untuk membuat
hubungan yang mendapat dukungan sejak awal, dan yang
mendekati masalah-masalah dan isu-isu yang terdapat di
kehidupan nyata.

b. Manipulation, didasari oleh pemain yang membuat pemain lain


sebagai objek dan memanipulasi mereka untuk kepuasan dan
kekayaan diri. Pemain yang didasari oleh faktor ini, sangat
senang berlaku curang, mengejek dan mendominasi pemain
lain.

c. Immersion, didasari oleh pemain yang sangat menyukai


menjadi orang lain. Mereka senang dengan alur cerita dari dunia
khayal dengan menciptakan tokoh yang sesuai dengan cerita
sejarah dan tradisi dunia tersebut.

d. Escapism, didasari oleh pemain yang senang bermain di dunia


maya hanya sementara untuk menghindar, melupakan dan
pergi dari stres dan masalah di kehidupan nyata.

e. Achievement, didasari oleh keinginan untuk menjadi kuat di


lingkungan dunia virtual, melalui pencapaian tujuan dan
akumulasi dan item-item yang merupakan simbol kekuasaan.

2. Dampak Negatif Kecanduan Game

Terdapat beberapa efek negatif yang ditimbulkan dari kecanduan


bermain game, antara lain adalah sebagai berikut:

1. Menimbulkan efek ketagihan

Hal ini game dapat berakibat melalaikan kehidupan nyata. Atau


menjadikan seseorang itu ketagihan untuk bermain game secara
terus menerus. Inilah masalah sebenarnya yang dihadapi oleh
para gamer yang intinya adalah pengendalian diri.

10
2. Tidak kenal waktu

Kebanyakan dari para pemain game yang sudah hobi dalam


memainkan game yang ada sering melupakan waktu untuk
rutinitas kegiatan lain. Misal, melupakan kewajiban untuk
beribadah banyak para pemain game yang sering lupa untuk
melakukan ibadah karena sedang bermain game.

3. Mempengaruhi pola pikir

Jika terlalu sering bermain game akan menimbulkan pengaruh


psikorasional. Mengkhayal dan pikiran yang selalu tertuju pada
game adalah efek negatif yang ditimbulkannya.

4. Mengganggu kesehatan

Jika seseorang sering bermain game dan berada di depan


komputer selama 24 jam tanpa henti, maka akan memacu mata
dan otak untuk bekerja lebih keras, itu bisa melemahkan saraf.

5. Pemborosan

Jika game telah menjadi candu, maka dapat mengorbankan apa


pun demi keinginannya. Misalnya ia bisa menghabiskan uangnya
hanya untuk bermain game, sehingga menjadi pemborosan.

6. Berpeluang mengajarkan judi

Biasanya orang saat bermain game tidak lepas dari taruhan.


Mulai dari taruhan yang kecil dan tidak menggunakan uang
karena untuk mendapatkan sensasi lain dari bermain game.
Apalagi, game tersebut merupakan salah satu game pertarungan.
Mulai dari taruhan yang kecil tersebut jika dibiarkan terus-
menerus tanpa adanya pengawasan akan berakibat buruk dan
anak bisa kebablasan dengan perjudian besar.

7. Mengajarkan kekerasan

Biasanya, anak-anak akan memilih permainan yang memiliki


tingkatan ketegangan yang tinggi, seperti game action yang bisa

11
saja justru akan memberikan contoh dan dampak yang negatif
pada diri anak. Anak akan cenderung menirukan setiap kejadian
dan tingkah laku dari aktor dalam game mereka tersebut
sehingga dapat membuat anak untuk melakukan kekerasan
yang mungkin secara tidak sengaja dilakukan oleh anak.

3. Ciri-Ciri Kecanduan Game

Adapun menurut Laili dan Nuryono (2015), ciri-ciri anak atau remaja
yang mengalami gangguan kecanduan game adalah sebagai
berikut:

a. Bermain game yang sama bisa lebih dari 3 jam sehari.

b. Bisa punya teman atau komunitas sesama pecinta game


tersebut.

c. Kesal dan marah jika dilarang total bermain game tersebut.

d. Senang menularkan hobi ke orang lain di sekitarnya.

e. Sangat antusias sekali jika ditanya masalah game tersebut.

f. Rela mengeluarkan banyak uang untuk bermain game.

g. Lebih dari 1 bulan masih tetap bermain game yang sama.

h. Anak lebih banyak menghabiskan waktu bermain game pada


jam-jam di luar sekolah.

i. Tertidur di sekolah, sering tidak mengerjakan tugas sekolah


dan nilai menjadi jelek.

j. Lebih memilih bermain game dari pada bermain dengan


teman.

4. Aspek-aspek Kecaduan Game


Menurut Lemmens dkk (2009), aspek-aspek yang digunakan untuk
menjelaskan kecanduan game adalah sebagai berikut:

a. Salience (Arti)

Aspek dimana bermain game menjadi kegiatan yang paling

12
penting dalam kehidupan seseorang dan mendominasi
pikirannya (keasyikan), perasaan, dan perilaku (penggunaan
yang berlebihan). Pemain game akan selalu terpikir dengan
game yang sedang dimainkan karena telah menjadi salah
satu hal yang penting baginya, sehingga sebagian besar
waktu luangnya akan digunakan untuk bermain game.

b. Tolerance (Toleransi)

Tolerance adalah sikap menerima keadaan diri kita ketika


melakukan suatu hal. Biasanya toleransi ini berkenaan
dengan pelebaran batas jumlah waktu yang digunakan atau
dihabiskan untuk melakukan kegiatan yang dalam hal ini
adalah bermain game. kebanyakan pemain game tidak akan
berhenti bermain hingga merasa puas dalam memainkan
game.

c. Mood Modification (Modifikasi Mood)

Dimensi ini sebelumnya diberi label euphoria, mengacu pada


buzz atau tinggi yang berasal dari suatu kegiatan. Namun,
modifikasi suasana hati juga dapat mencakup penenang dan
-atau perasaan santai yang terkait dengan pelarian dari
permasalahan dan stres, yang menjadi pengalaman subjektif
seseorang akibat bermain game. Pemain game akan
merasakan suatu perubahan mood yang meningkat dan
membaik ketika ia mulai bermain game.

d. Relapse (Pengulangan)

Aspek ini berkaitan dengan kecenderungan pemain untuk


berulang kali kembali ke pola awal dari bermain game. Pola
bermain yang berlebihan dengan cepat dipulihkan setelah
periode pantang atau kontrol. Ketika pemain game berusaha
untuk mengurangi waktu bermainnya, pada tahap kecanduan
pemain akan selalu kembali ke pola awal dan gagal dalam
usahanya untuk mengurangi waktu maupun intensitas

13
bermainnya.

e. Withdrawal (Penarikan)

Aspek ini berkaitan dengan adanya emosi tidak


menyenangkan dan-atau efek fisik yang terjadi ketika
bermain game tiba-tiba berkurang atau dihentikan. Oleh
karena itu pemain game akan semakin kesulitan dalam
menarik dirinya dari kebiasaan bermain game yang
berlebihan.

f. Conflict (Konflik)

Aspek ini mengacu pada semua konflik antar pribadi


dihasilkan dari bermain game yang berlebihan. Konflik terjadi
antara pemain dan orang-orang di sekitarnya. Konflik dapat
mencakup argumen dan pengabaian atau juga kebohongan.
Ketika pemain dalam tahap kecanduan, mereka akan
mengabaikan kehidupan sosialnya demi fokus pada aktivitas
gamingnya. Hal tersebut tentu saja membuatnya memiliki
konflik dengan orang-orang di sekitarnya.

g. Problem (Masalah)

Aspek ini mengacu pada masalah yang


disebabkan karena bermain game berlebihan. Masalah
dengan lingkungan sosial, maupun yang timbul dalam
diri individu, seperti konflik intrapsikis dan perasaan
subjektif dari hilangnya kontrol. Masalah-masalah yang
dapat dihadapi oleh pecandu game dapat bersifat fisik
maupun sosial. Secara fisik, pemain yang berlebihan
dalam bermain game akan mengganggu tidur dan
kebutuhan lainnya, sehingga akan mengganggu kerja
tubuh yang membutuhkan istirahat dan pemenuhan
kebutuhan yang cukup. Pecandu juga akan mengalami
masalah dengan sosial seperti yang disebutkan dalam

14
aspek konflik sebelumnya. Selain itu juga permasalahan
dalam kegiatan lainnya misalnya masalah pekerjaan
atau perkuliahan bagi mahasiswa.

2.4 Post Power Syndrome


Menurut Elia (2003:5) yang dimaksud dengan Post-Power
Syndrome adalah kumpulan gejala. Power adalah kekuasaan.
Jadi, terjemahan dari PostPower Syndrome adalah gejala pasca
kekuasaan. Gejala ini umumnya terjadi pada orang-orang yang
tadinya mempunyai kekuasaan atau menjabat satu jabatan,
namun ketika sudah tidak menjabat lagi, seketika itu terlihat
gejalagejala kejiwaan atau emosi yang kurang stabil. Gejala itu
biasanya bersifat negatif, itulah yang diartikanPost-
PowerSyndrome.
Prawitasari (2012:14) menambahkan Post-Power Syndrome
biasanya dialami oleh pejabat-pejabat pemerintah yang memiliki
kekuasaan yang tinggi yang biasa disanjung oleh anak buah atau
orang lain yang mempunyai kepentingan dengannya.
Post-Power Syndrome dialami terutama orang yang
sudah lanjut usia dan pensiun dari pekerjaannya. Perubahan-
perubahan yang terjadi pada masa pensiun akan menimbulkan
goncangan mental yang tidak dapat dielakkan. Hal ini
disebabkan karena adanya perasaan tidak rela untuk melepas
jabatan yang selama ini telah dimiliki dan dinikmati, jadi pasti
ada perasaan cemas dan khawatir, hal ini apabila berlebihan
dapat mengganggu keadaan fisik dan psikologisnya. Individu
yang mengalami masa pensiun akan mengalami kecemasan dan
goncangan perasaan yang begitu berat. Kecemasan ini terjadi
karena mereka harus meninggalkan teman-teman baik sebagai
atasan ataupun bawahannya. Status sosial ekonomi serta
fasilitas-fasilitas lain yang mereka peroleh selama bekerja.
Kekhawatiran, kecemasan dan ketakutan yang berkelanjutan
akan berdampak pada keseimbangan emosional individu dan
akhirnya akan termanifestasi dalam berbagai keluhan fisik,

15
keadaan seperti itu dikenal dengan sebutan postpower
syndrome (Haditono, 2012:90).
Jadi, Post-Power Syndrome adalah gejala ketidakstabilan
psikis seseorang yang muncul pada dirinya setelah hilangnya
jabatan atau kekuasaan. Gangguan ini terjadi pada orang yang
merasa dirinya sudah tidak dianggap dan tidak dihormati lagi.

Gejala-gejala Post-Power Syndrome menurut (Elia,


2003:99). akan dirasakan individu dengan meiliputi beberapa
gejala, diantaranya;
a. Gejala fisik, misal bagi orang-orang yang menderita Post-Power
Syndrome biasanya tampak menjadi jauh lebih cepat tua
dibandingkan pada waktu dia masih menjabat. Tanpa diduga
tiba-tiba rambutnya menjadi putih, berkeriput, menjadi pemurung
dan mungkin sakitsakitan.
b. Gejala emosi, misalnya cepat mudah tersinggung, merasa tidak
berharga, ingin menarik diri dari lingkungan pergaulan, ingin
bersembunyi dan lain-lain.
c. Gejala perilaku, misal malu bertemu dengan orang lain, lebih
mudah melakukan pola-pola kekerasan atau menunjukan
kemarahan baik di rumah atau tempat lain

Banyak faktor yang memengaruhi seseorang menderita


gejala Post-Power Syndrome, dalam hal ini paling tidak yang
khusus tentang pensiunan guru ada beberapa faktor diantaranya
menurut (Rini, 2001:90) adalah:

a. Kepuasan kerja dan pekerjaan


Ketika seseorang sudah memasuki masa pensiuan
secara otomatis kepuasan dalam diri mereka untuk
bekerja menjadi salah satu faktor mengalami Post-Power

16
Syndrome.
b. Usia
Usia memang menjadi faktor penentu dalam mengalami
gejala PostPower Syndrome. Karena ketika usia semakin
lanjut, maka pola pikir dan perilaku pun akan semakin
menurun.
c. Kesehatan
Jelas sekali kesehatan akan memengaruhi gejala Post-
Power Syndrome pada diri seseorang. Semakin tua
seseorang, maka gejala kesehatan yang menurun pun
akan terlihat.
d. Status sosial sebelum pensiun
Biasanya orang yang menderita gejala Post-Power
Syndrome mengalami depresi yang cukup akut, karena
dalam status sosial mereka akan terpengaruhi,
sebagaimana menjadi orang biasa lagi .

2.5 Post Traumatic Disease Syndrome


Post traumatic Stress Disorder/PTSD adalah gangguan
kecemasan yang dapat terjadi setelah mengalami atau menyaksikan
suatu peristiwa traumatik (Nutt, 2009). Peristiwa yang menimbulkan
trauma termasuk fisik atau pelecehan seksual atau penganiayaan,
cedera, kekerasan di jalanan, kecelakaan lalulintas, trauma perang,
luka bakar yang parah, dan bencana alam lainnya (Nutt, 2009).

1. Gejala Umum Post Traumatic Syndrom Dirsoder


Ada beberapa tanda dan gejala gangguan stres
pascatrauma yang perlu Anda perhatikan, di antaranya adalah:

 Ingatan masa lalu penyebab trauma yang terus-


menerus muncul.
 Kerap mengulang peristiwa traumatis seolah kembali

17
terjadi.
 Sering mengalami mimpi buruk yang terasa nyata
mengenai berbagai hal traumatis.
 Reaksi fisik yang menyebabkan stres mengenai hal
yang menimbulkan perasaan trauma.
2.Penyebab Post Traumatic Syndrom Dirsoder
Penyebab PTSD masih belum jelas. Namun, dipercaya
bahwa fakta yang Anda alami, lihat, atau pelajari tentang
suatu kejadian yang melibatkan kematian, ancaman kematian,
luka parah, atau pelecehan seksual, adalah hal yang dapat
menyebabkan PTSD.

Di sisi lain, gabungan faktor yang dapat meningkatkan


risiko Anda mengalami PTSD, antara lain:
 Memiliki risiko kesehatan mental seperti meningkatnya
risiko kecemasan dan depresi.
 Mengalami sejumlah kejadian traumatis sejak masa
kanak-kanak.
 Mewarisi aspek kepribadian atau temperamen tertentu.

3. Faktor Resiko Post Traumatic Syndrom Dirsoder


Ada banyak faktor risiko PTSD, terlebih jika Anda pernah
melalui pengalaman yang sulit. Namun, beberapa faktor yang
mungkin meningkatkan risiko mengalami PTSD setelah kejadian
traumatis adalah:

 Trauma intens atau berkepanjangan.


Telah mengalami trauma lain di masa kecil, termasuk
penganiayaan atau ditelantarkan.
 Pekerjaan yang meningkatkan risiko terpapar
kejadian traumatis, misalnya personel militer, tim
SAR, dan petugas medis dan pertolongan pertama
darurat.

18
 Gangguan kesehatan mental lainnya, misalnya
gangguan kecemasan, fobia, atau depresi.
 Kurangnya sistem dukungan yang baik dari keluarga
dan teman.
 Kerabat kandung yang mengalami gangguan
kesehatan mental, termasuk PTSD atau depresi.

4. Pengobatan PTSD dirumah


Gaya hidup dan pengobatan rumahan yang mungkin
membantu mengatasi post-traumatic stress disorder (PTSD)
adalah:
 Ikuti rencana pengobatan dan bersabar.
 Pelajari PTSD agar bisa lebih memahami perasaan
Anda, lalu bisa mempersiapkan strategi untuk
merespons secara efektif.
 Cukup beristirahat, konsumsi makanan sehat,
berolahraga, dan meluangkan waktu untuk rileks.
 Jangan menyalahgunakan alkohol atau narkoba
yang memberikan lebih banyak lagi masalah dan
mencegah kesembuhan yang sebenarnya.

Menurut Mayo Clinic, ada beberapa metode yang bisa Anda


coba untuk mengatasi kondisi tersebut, di antaranya:

19
 Terapi psikologi
Ada beberapa jenis terapi psikologi atau
psikoterapi yang bisa dilakukan jika Anda ingin
terbebas dari PTSD, di antaranya adalah:

 Terapi kognitif
Salah satu jenis psikoterapi ini dilakukan dengan
berbicara dengan ahli terapi untuk mengetahui pola
pikir yang mungkin menjadi penyebab Anda
terjebak dengan memori yang menimbulkan efek
traumatis.

 Exposure therapy

Terapi psikologi yang satu ini dapat membantu


Anda menghadapi situasi dan ingatan yang selama
ini menimbulkan efek trauma dengan cara yang
aman dan tidak berbahaya. Hal ini membuat Anda
bisa lebih efektif dalam mengelola hal-hal
traumatis penyebab gangguan stres pascatrauma.

Terapi ini juga bisa dilakukan menggunakan program


virtual reality yang membuat Anda kembali merasakan
suasana atau kondisi penyebab timbulnya trauma, dan terus-

20
menerus latihan menghadapinya.

 Penggunaan obat-obatan
Beberapa jenis obat-obatan juga dapat membantu
Anda mengatasi gejala PTSD dan membantu proses
terapi. Di antaranya adalah:
1) Obat-obatan antidepresan

21
BAB III

REVIEW JURNAL
Judul HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL
DENGAN POST TARUMATIC SYNDROM
DIRSORDER (PTSD) PADA KORBAN
BENCANA TANAH LONGSOR DI DESA
SIRNARESMI KECAMATAN CISOLOK
KABUPATEN SUKABUMI
Jurnal Journal Health Society
Penulis Woro Rahmanishati, Rosliana Dewi, Rani
Indriani Kusuma
Tahun 2021
Volume 10
Hipotesis -

Tujuan Penelitian Untuk mengetahui hubungan dukungan


social dengan post traumatic syndrome
dirsorder (ptsd) pada korban bencana
tanah longsor di desa sirnaresmi
Kecamatan Cisolok Kabupaten
Sukabumi
Tinjauan Pustaka 1. PTSD adalah kecemasan
patologis yang umumnya terjadi
setelah seseorang mengalami
atau menyaksikan trauma berat
yang mengancam secara fisik
dan jiwa orang tersebut (Yosep,
2016).
2. Trauma merupakan suatu
kejadian fisik atau emosional
serius yang menyebabkan
kerusakan substansial terhadap

22
fisik dan psikologis seseorang
dalam rentangan waktu yang
relatif lama (Ardilla, Prastiti dan
Meiyuntariningsih, 2019).

3. Menurut Jose, perempuan


memiliki risiko lebih besar
mengalami stress psikologis
akibat terpapar bencana karena
perempuan lebih rentan ketika
terkena kejadian traumatis.
Persepsi terhadap suatu kejadian,
perempuan lebih subjektif dalam
memandang suatu ancaman
dibandingkan dengan sifat
objektifnya hal ini berbeda
dengan laki-laki (Anam,
Martiningsih dan Ilus, 2016 ;
Boztas et all, 2019).
Subjek Dan Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh korban bencana tanah longsor
sebanyak 38 orang di Desa Sirnaresmi
Kecamatan Cisolok kabupaten
Sukabumi
Pengumpulan Data Kuesioner
Variabel variabel bebas yaitu dukungan social

variabel terikat yaitu post traumatic


syndrome dirsorder
Hasil Penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sebagian besar responden memiliki Post
Traumatic Stress Disorder (PTSD) yang
tinggi sebanyak 26 orang atau sebesar
68,4%. Dan dapat dilihat bahwa

23
responden yang menyatakan
mendapatkan dukungan sosial sebagian
besar memiliki post traumatic stress
disorder (PTSD) yang tinggi yaitu
sebanyak 15 orang atau sebesar 55,6%.
Hasil uji statistik dengan menggunakan
Chi Square diperoleh p = 0,008, namun
berdasarkan hasil penelitian terdapat
beberapa kriteria yang tidak memenuhi
syarat uji Chi Square diantaranya adalah
terdapat nilai 0, terdapat nilai frekuensi
harapan < 5 dengan presentase > 20%.
Maka peneliti menggunakan uji alternatif
lain yaitu dengan menggunakan uji
Fisher’s Exact Test dengan nilai p =
0,008, berdasarkan hipotesis awal jika p
< 0,05 maka Ho di tolak, hal ini berarti
menunjukan terdapat hubungan
dukungan sosial dengan post traumatic
stress disorder (PTSD) di Desa
Sirnaresmi Kecamatan Cisolok
Kabupaten Sukabumi.

Kesimpulan 1. Sebagian besar korban


bencana tanah longsor di Desa
Sirnaresmi Kecamatan Cisolok
Kabupaten Sukabumi mendapatkan
dukungan sosial. 2. Sebagian besar
korban bencana tanah longsor di Desa
Sirnaresmi Kecamatan Cisolok
Kabupaten Sukabumi memiliki tingkat
post traumatic stress disorder (PTSD)
tinggi. 3. Terdapat hubungan dukungan
sosial dengan post traumatic stress

24
disorder (PTSD) di Desa Sirnaresmi
Kecamatan Cisolok Kabupaten
Sukabumi
Kekurangan Penelitian Kekurangan dalam penelitian ini yaitu
tidal dituliskan didalam jurnal ini apa
hipotesis dalam penelitian ini.
Saran 1. Bagi Intansi Penelitian ini dapat
menjadi masukan bagi instansi terkait
dalam pencegahan trauma yang dialami
korban bencana tanah longsor dengan
melakukan tindakan psikoterapi yang
merupakan salah satu pilihan untuk
mengatasi post traumatic stress
disorder (PTSD). Tindakan psikoterapi
yang bisa diberikan yaitu melalui terapi
perilaku kognitif, terapi eksposur dan
terapi eye movement desensitization
and reprocessing (EMDR). Pemerintahan
setempat juga bisa melakukan tindakan
kesiapsiagaan bencana tanah longsor
untuk penanggulangan bencana agar
masyarakat siap dan siaga dalam
menghadapi bencana. 2. Bagi Peneliti
Selanjutnya Penelitian ini dapat
digunakan sebagai data dasar oleh
peneliti lain untuk melakukan penelitian
yang sejenis dengan variabel dan
metode yang berbeda

25
BAB IV

KESIMPULAN

Trend dan Issu Keperawatan adalah sesuatu yang sedang d.bicarakan


banyak orang tentang praktek/mengenai keperawatan baik itu berdasarkan fakta
ataupun tidak, trend dan issu keperawatan tentunya menyangkut tentang aspek legal
dan etis keperawatan.

Ada beberapa poin-poin trend an issue dalam psikologis kesehatan, ada


penyalahgunaan napza, Bulyying, Adiksi game, Post power syndrome, da nada juga
post traumatic syndrome dirsorder. Yang mana Penyalahgunaan NAPZA adalah
penggunaan salah satu atau beberapa jenis NAPZA secara berkala atau teratur
diluar indikasi medis, sehingga menimbulkan gangguan kesehatan fisik, psikis dan
gangguan fungsi social. buli diartikan sebagai seperangkat tingkah laku yang
dilakukan secara sengaja dan menyebabkan kecederaan fisik serta psikologikal yang
menerimanya. Tingkah laku buli yang dimaksudkan termasuk tindakan yang bersifat

26
mengejek, penyisihan sosial, dan me-mukul. Adiksi/Kecanduan game online secara
umum merupakan perilaku seseorang yang ingin terus bermain game online yang
menghabiskan banyak waktu serta dimungkinkan individu yang bersangkutan tidak
mampu mengontrol atau mengendalikannya. Post-Power Syndrome adalah
kumpulan gejala. Power adalah kekuasaan. Jadi, terjemahan dari PostPower
Syndrome adalah gejala pasca kekuasaan. Dan yang terakhir Post traumatic Stress
Disorder/PTSD adalah gangguan kecemasan yang dapat terjadi setelah mengalami
atau menyaksikan suatu peristiwa traumatic.

DAFTAR PUSTAKA

Abdalla, Romeal. (2008). NAPZA dan Bahayanya di Kalangan Remaja.


Jakarta: http://www.wikimu.com. diakses Januari 2012
Anggreni, Dewi. (2015). “Dampak Bagi Pengguna Narkotika, Psikotropika
Dan Zat Adiktif (Napza) Di Kelurahan Gunung Kelua Samarinda Ulu”,
Ejournal Sosiatri-Sosiologi 2015 , 3 (3): 37 – 51. Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik,
Universitas Mulawarman
Suradi dan Sugiyanto. (2016). Rehabilitasi Sosial Korban NAPZA di Sleman,
Jakarta: P3KS Press.
Azmiyati, SR, dkk. 2014. Gambaran penggunaan NAPZA pada anak jalanan di Kota
Semarang.Jurnal Kesehatan Masyarakat (KEMAS), 9 (2): 137-143.
Menthan, Fadrian. 2013. Peranan Badan Narkotika Nasional Kota Samarinda dalam
Penanggulangan Masalah Narkoba di Kalangan Remaja Kota Samarinda. Ejournal

27
Administrasi Negara, 1 (2): 544-557.
Coloroso, B. (2007).The Bully, The Bullied, and The Bystander. New York: HarperCollins.
Ariesto, A. (2009).Pelaksanaan Program Antibullying Teacher Empowerment.
Smith, P.K. & Thompson, D. (1991). Practical approaches to bullying . London: David
Fulton.
Yee, N. (2007). The Demographics, Motivations, and Derived Expe-riences of
Users of Massively-Mult-iuser Online Graphical Environments. Presence:
Teleoperators and Virtual Environments.  15, 309-329.
Soetjipto. (2007). Berbagai macam adiksi dan penalaksanaanya. Anima: Indonesia
Psychological Journal, 84-90.
Young, K. 2009. Understanding online gaming addiction and treatment issues for
adolescent. The American Journal of Family Therapy , 37, 355-372. Doi:
10.1080/01926180902 942191.
Young, K. S., & De Abreu, C. N. (2011).Internet addiction. Canada.
Elia. (2003) Post Power Syndrome . http://www.sabda.org/publikasi/ekonsel079.
(diakses tanggal 16 Juni 2013)
Prawitasari JE. (1989) Mengelola Stress pada Masa Pensiun. Yogyakarta: Fakultas
Psikologi UGM
Haditono. (1989) Mempersiapkan Diri Menghadapi Masa Pensiun . Yogyakarta: UGM
Press
Rini JF. (2001) Pensiun dan Pengaruhnya . www.e-psikologi.com. (diakses tanggal 16
Juni 2013)

28

Anda mungkin juga menyukai