Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH FARMAKOTERAPI 1

KELOMPOK 8

FARMAKOTERAPI PENYAKIT TB PARU PADA ANAK DAN DEWASA

Disusun untuk memenuhi tugas “ Farmakoterapi 1 “ yang diampu oleh

“ Apt. Ikhwan Yuda Kusuma, M.Si “

Disusun Oleh :

Alya Sofia Mahmuda ( 190105008 )

Diana Fika Sari ( 190105027 )

Gania Isa Setia Dea P ( 190105043 )

Nurhasanah ( 190105077 )

M. Azmi Syaukah ( 190105069 )

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA
PURWOKERTO
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga makalah
ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih
terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik
pikiran maupun materinya.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
wawasan bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini dapat
bermanfaat sebagai ilmu pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi kami sebagai
penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Jakarta, 19 Maret 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………………………………………... i

KATA PENGANTAR………………………………………………. ii

DAFTAR ISI………………………………………………………… iii

BAB I. PENDAHULUAN...................................................................... 1

1.1. Latar Belakang.............................................................................................. 1

1.2. Rumusan Masalah......................................................................................... 2

1.3. Tujuan........................................................................................................... 2

BAB II. PEMBAHASAN…………………………………………… 3

2.1. Sejarah penyakit tuberkolosis....................................................................... 3

2.2.Pengertian Tuberkolosis................................................................................. 5

2.3. Cara Pengobatan Tuberkolosis............................................................................... 7

2.4. Pemantauan Dan Hasil Pengobatan........................................................................ 10

2.5. Obat Anti Tuberkolosis .......................................................................................... 11

2.6. Prinsip Pengobatan Tuberkolosis............................................................................. 14

2.7. Karakteristik Obat Anti Tuberkulosis............................................................ 15

2.8. Mekanisme Kerja Obat Anti Tuberkolosis ............................................................. 17

BAB III . PENUTUP................................................................................................. 21

3.1. Kesimpulan.................................................................................................. 21

3.2. Saran............................................................................................................ 21

DAFTARPUSTAKA........................................................................................................ 22

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis (Wattimena dkk, 1999). Keluhan dan gejala oleh pasien tuberkulosis yang
sering yang dirasakan adalah berdahak yang berlangsung lebih dari dua atau tiga minggu.
Berdahak timbul karena adanya peradangan akibat tuberkulosis pada saluran nafas dan
paru. Banyaknya penumpukan dahak di paru ini akan menyebabkan penderitanya
mengalami reflek batuk untuk mengeluarkan dahak itu (Aditama, 1994).
Tuberkulosis merupakan salah satu penyebab tingginya angka kesakitan dan kematian
baik di negara sedang berkembang maupun di negara maju. Menurut laporan WHO
(2002) sepertiga dari populasi penduduk dunia telah terinfeksi tuberkulosis. Setiap tahun
diperkirakan terdapat lebih dari 8 juta kasus baru tuberkulosis, sementara lebih kurang 2
juta orang meninggal karena penyakit ini. Diperkirakan 95% penderita tuberkulosis
berada di negara berkembang, 75% penderita tuberkulosis adalah kelompok usia
produktif (15-50 tahun) (Aditama, 2002).
Indonesia merupakan penyumbang penyakit tuberkulosis terbesar nomor tiga di dunia
setelah India dan China (Ahmad, 2007). Di Indonesia masih banyak ditemukan ketidak
berhasilan dalam terapi tuberkolosis, hal ini disebabkan karena ketidak patuhan pasien
dalam meminum obat secara rutin sehingga dapat menyebabkan resistensi kuman
tuberkulosis terhadap obat-obat anti tuberkulosis dan kegagalan terapi. Ketidaksesuaian
pemilihan jenis obat OAT berdasarkan standar pengobatan dapat menyebabkan terjadinya
kegagalan terapi dan terjadinya kekambuhan karena jenis obat yang diterima pasien tidak
sesuai dengan keadaan dan perkembangan pengobatan tuberkulosisnya (Anonim, 2008).
Ketepatan pengobatan meliputi dosis, cara pemberian, frekuensi, durasi, dan
kombinasi pemberian obat merupakan faktor penting yang berperan dalam mencapai
keberhasilan terapi dan menghambat atau menurunkan laju peningkatan penyakit
tuberkulosis. Tanpa pengobatan, setelah lima tahun 50% dari penderita tuberkulosis akan
meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh tinggi, dan 25% sebagai
kasus kronik yang tetap menular ( wattimena dkk, 1996).

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah pengobatan Tuberkulosis ?
2. Bagaimana cara pengobatan pada Tuberkulosis ?
3. Apa saja obat – obat anti tuberkulosis ?
4. Bagaimana mekanisme kerja obat anti tuberkulosis ?
1.3 Tujuan
1. Mahasiswa mengetahui sejarah penyebaran awal pada Penyakit Tuberkulosis.
2. Mahasiswa mengetahui cara pengobatan pada Penyakit Tuberkulosis.
3. Mahasiswa mengetahui mengenai obat – obatan pada Tuberkulosis.
4. Mahasiswa mengetahui bagaimana mekanisme dari Kerja Obat Anti Tuberkulosis.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Penyakit Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah penyakit yang diderita manusia sama tuanya dengan sejarah
manusia. Penemuan lesi pada tulang-tulang belakang mummi yang sesuai dengan TB
ditemukan di Heidelberg, diduga berasal dari tahun 5000 SM. Demikian juga halnya di
Italia diduga berasal dari tahun 4000 SM. Keadaan ini juga dijumpai di Denmark dan
lembah Jordan. Di Mesir juga ditemukan lukisan-lukisan pada dinding berupa bentuk
kelainan tulang belakang yang sesuai dengan penemuan TB spinal pada mummi.
Di Indonesia catatan paling tua dari penyakit ini adalah seperti didapatkan pada salah
satu relief di candi Borobudur yang tampaknya menggambarkan kasus tuberkulosis.20,21
Hipokrates juga mendeskripsikan tentang penyakit ini dan menyebutnya “Pthisis”.
Akhirnya pada tahun 1882 Robert Koch menemukan basil tuberkulosis sebagai
penyebabnya dan hasil penemuannya dipresentasikan pada tanggal 24 Maret 1882 di
Berlin. Hal ini di peringati sebagai hari TB sedunia (TB Day).
Sibelius Indonesia mère yaitu di zaman Hindia Belanda ada beberapa catatan terkait
kegiatan TB, yaitu: Perkumpulan Centrale Vereeniging Varo Tuberculosis Bestriding
(CVT) dibentuk pada 1908 dan tahun 1939 didirikan 15 sanatorium untuk perawatan
pasien TB paru dan 20 consultatie bureaux yang memberi penyuluhan dan pengobatan.
Setelah merdeka yaitu pada zaman Orde Lama (1945-1966) didirikan Lembaga
Pemberantasan Penyakit Paru-paru (LP4) didirikan di Yogyakarta. Decanal demean Bali
Pemberantasan Penyakit Paru-paru (BP4), lembaga tersebut disebarluaskan hingga ke 53
lokasi. Pada tahun 1950 Jenderal Soedirman meninggal karena TB.
Zaman Orde Baru Pada kurun 1969-1973: Tanggung jawab penanganan TB dialihkan
dari BP4 ke ke Direktorat Jenderal Pemberantasan Pengendalian dan Pencegahan
Penyakit Menular (P4M) Depkes RI ( Kemenkes RI, 2018 )
Program pemberantasan TB terkait erat dengan program pencegahan TB melalui
imunisasi BCG, yang dikenal dengan Program Pemberantasan Tuberkulosis (TBC) dan
BCG atau sering disebut sebagai P2TBC/BCG. Penemuan pasien TB telah dimulai
dengan pemeriksaan dahak dan masa pengobatan berlangsung selama 1-2 tahun. Pada
kurun 1976–1994: Masa pengobatan menjadi lebih singkat, yakni dari 1-2 tahun menjadi

3
6 bulan dimulai uji coba strategi Directly Observed Treatment Short- course (DOTS)
untuk kali pertama.
Menurut Kemenkes Ri tahun 2018 pada Zaman Reformasi (1998-Sekarang)
 1999: Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Dr. dr. Achmad Sujudi, MHA
membentuk Gerakan Terpadu Nasional TB pada 24 Maret sebagai cikal bakal
kemitraan TB Indonesia.
 2004: Survei prevalensi TB secara nasional dilakukan bersama Litbangkes
Departemen Kesehatan RI
 2006: Survei resistensi obat TB dilakukan pertama kali di Indonesia.
 2009: Program Nasional Pengendalian TB Resistan Obat di Indonesia
mulai diterapkan.
 2010: Strategi nasional program pengendalian TB berfokus pada
penyediaan layanan TB berkualitas secara universal dengan menerapkan
Jejaring Layanan Pemerintah Swasta atau Public Private Mix (PPM)
 2013-2014: Survei prevalensi TB secara nasional menggunakan metode
yang sangat sensitif sesuai dengan rekomendasi WHO.
 2014: Sesuai indikator berbasis mikroskopis, Indonesia mencapai target
MDGs dan telah menerima MDGs award atas prestasi yang dicapai.
 2014: Indonesia meluncurkan pendekatan Keluarga Kesehatan dan Gerakan
Masyarakat Kesehatan yang memasukkan penemuan pasien TB sebagai
salah satu indikatornya. Dalam hal ini Puskesmas bertanggung jawab untuk
melaksankan intervensi pendekatan keluarga termasuk dalam
penanggulangan TB di wilayah mereka.
 2015: TB menjadi salah satu target Rencana Nasional Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, dan menjadi program prioritas
Presiden, menjadi salh satu dari 12 standar layanan minimum (SPM), dimana
pemerintah melakukan evaluasi kinerja dan akuntabilitasnya dalam
memberikan pelayanan publik. Saat ini SPM sedang berproses menjadi
rancangan peraturan pemerintah (RPP).
 2016: Indonesia merivisi strategi penanggulangan TB di Indonesia sesuai
dengan hasil survai prevalens TB terbaru yang jauh lebih akurat. Penemuan
dilakukan secara intensif, aktif dan masif. Jejaring layanan TB

4
disempurnakan menjadi berbasis kabupaten/kota, district-based public-
private mix.
 Pengembangan strategi berdasarkan tantangan yag dihadapi program dan
target yanga harus dicapai. Gambar berikut menampilkan perkebangan
strategi penanggulangan TB yang dikembangkan di Indonesia sejak tahun
1995.

2.2 Pengertian Tuberkulosis


Tuberkulosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberkulosis. Umumnya setelah masuk ke dalam tubuh melalui rongga pernapasan,
bakteri ini akan menuju ke paruparu. Tetapi bukan hanya di paruparu, bakteri ini
juga dapat menuju organ tubuh lain, seperti ginjal, limpa, tulang, dan otak.
Tuberkulosis atau TBC adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh
basil tahan asam (BTA) Mycrobacterium tuberculosis yang ditemukan oleh Robert
Koch (1882) yang biasanya mulai didalam paru-paru dengan benjol-benjol kecil
(tuberkel). Infeksi dalam basil ini umumnya terjadi melalui salura pernafasan (Tjay
dan Rahardja, 2007).
Basil TBC termasuk kelompok mikrobakteri, yang ditandai dengan sifatnya
yaitu disatu pihak sulit diwarnai, dan jika sudah diwarnai, tidak dapat dihilangkan
lagi warnanya oleh suatu asam atau alkohol dan kerena itu disebut tahan asam.
Masa inkubasi antara 4–6 minggu (Entjang, 1985).
A. Patogenesis
Sumber penularan adalah penderita Tuberkulosis BTA positif pada
waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat
bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat
terinfeksi kalau droplet terhirup dalam saluran pernafasan. Jadi penularan
Tuberkolusis tidak terjadi melalui perlengkapan makan, baju dan
perlengkapan tidur. Setelah kuman Tuberkulosis masuk ke dalam tubuh
manusia melalui pernafasan, kuman Tuberkolusis tersebut dapat menyebar
dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui system peredaran darah, system
saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian
tubuh lainnya.

5
Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman
yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil
pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil
pemeriksaan negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut
dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi Tuberkulosis
ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup
udara tersebut (DepKes RI, 2005).
B. Epidemiologi
Tuberkulosis relatif mulai langka, ini disebabkan karena tingginya
standar hidup masyarakat serta kemajuan dalam cara pengobatan. Resiko
tuberkulosis didasarkan atas sosial, ekonomi dan tingkat kesehatan individu.
Angka kejadian tuberkulosis meningkat pada usia ekstrim (anak-anak dan
orang tua) dan kelompok resiko tinggi seperti penderita DM, pecandu
alkohol, pecandu obat bius, HIV, malnutrisi, kemoterapi gelandangan,
orang-orang dalam penjara, dan sebagainya (Icksan dan Luhur, 2008).
Kira-kira 5 hingga 100 populasi yang baru terinfeksi akan berkembang
menjadi tuberkulosis paru 1 hingga 2 tahun setelah terinfeksi. Bila
mengingat kerentanan seseorang terhadap tuberkulosis, dua faktor resiko
harus diperiksa. Resiko mendapatkan infeksi dan resiko berkembangnya
penyakit klinis aktif setelah timbul infeksi. Resiko mendapatkan infeksi dan
perkembangnya klinis penyakit bergantung pada keberadaan infeksi dalam
masyarakat. Kerentanan seseorang terhadap tuberkulosis terdapat dua faktor
risiko yaitu mendapatkan infeksi dan risiko berkembangnya penyakit
menjadi klinis aktif setelah timbul infeksi.
Risiko mendapatkan infeksi dan perkembangannya klinis penyakit
bergantung pada keberadaan infeksi dalam masyarakat khususnya orang
yang terkena infeksi HIV, imigran dari daerah prevalensi tinggi tuberkulosis,
mereka yang menetap di lingkungan yang berisiko tinggi untuk penularan
tuberkulosis, seperti fasilitas-fasilitas perbaikan, penampungan bagi tuna
wisma, rumah sakit, dan rumah-rumah perawatan.
C. Patogenesis
Tempat masuk kuman M. tuberculosis adalah saluran pernafasan, saluran
pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi tuberkulosis
terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet (percikan dahak) yang

6
mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang
terifeksi (Price dan Wilson, 2006).
Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu
kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut
tertiup ke dalam saluran pernafasan. Selama kuman tuberkulosis masuk ke
dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman tuberkulosis tersebut dapat
menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah,
sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebararan langsung ke bagian
tubuh lainnya (Price dan Wilson, 2006).
D. Patofisiologi
Infeksi primer diinisiasi oleh implantasi organisme di alveolar melalui
dopret nuklei yang sangat kecil (1-5mm) untuk menghindari sel epithelial
siliari dari saluran pernafasan atas. Bila terimplantasi M. tuberculosis
melalui saluran nafas, mikroorganisme akan membelah diri dan dicerna
oleh makrograf pulmoner, dimana pembelahan diri akan terus berlangsung
walaupun lebih pelan. Nekrosis jaringan dan kalsifikasi pada daerah yang
terinfeksi dan nodus limfe regional dapat terjadi, menghasilkan
pembentukan radiodense area menjadi kompleks ghon.
Manifestasi klinik berdasarkan pedoman nasional penggunaan
tuberkulosis, gejala umum pada penyakit ini adalah batuk terus menerus dan
berdahak selama tiga minggu atau lebih. Gejala lain yang sering dijumpai
adalah dahak bercampur darah, sesak nafas, rasa nyeri di dada, badan
lemah, nafsu makan menurun, rasa kurang enak badan (malaise),
berkeringat malam walau tanpa kegiatan, serta demam meriang lebih dari
sebulan. Seseorang yang diperkirakan memiliki gejala tuberkulosis paru,
khususnya batuk produktif yang lama dan hemoptisis, harus menjalani foto
toraks, walaupun reaksi terhadap tes tuberkulin intradermalnya negatif
(Price dan Wilson, 2006)

2.3 Cara Pengobatan Tuberkulosis

Pengobatan TB adalah pengobatan yang komprehensif dan


berkelanjutan, setidaknya diperlukan waktu 6 bulan dengan sedikitnya
kombinasi 4 macam obat anti tuberkulosis (OAT) yaitu isoniazid (INH),
rifampisin (RIF), pyrazinamide (PZA), dan ethambutol (EMB).6OAT ini

7
sendiri memiliki beberapa efek samping diantaranya yaitu hepatotoksik,
intoleransi saluran pencernaan, rash (2%), demam (1,2%), jaundice (0,6%),
optic neuritis dan neuritis perifer (0,2%).4 Ketidakpatuhan terhadap
pengobatan akan menyebabkan resistensi dimana tercatat sedikitnya satu
dari 10 kasus resisten terhadap pengobatan yang diberikan.2 Pengobatan
yang tidak teratur dan tak terkontrol dapat menimbulkan kasus MDR-TB.
Multi Drugs Resistant Tuberculosis disebabkan oleh organisme yang tahan
terhadap setidaknya isoniazid dan rifampisin, dua obat utama TB.
Resistensi terhadap obat anti-TB dapat terjadi pada saat obat
disalahgunakan atau tidak digunakan secara tepat guna, sebagai contoh
termasuk ketika pasien tidak menyelesaikan penuh pengobatan; ketika
penyedia layanan kesehatan memberikan resep pengobatan yang salah atau
dosis yang salah; lamanya waktu untuk mengambil obat; ketika pasokan
obat tidak selalu tersedia atau ketika obat yang tersedia berkualitas buruk.
Pengobatan TB pada anak menjadi perhatian karena sulitnya
menegakkan diagnosis penyakit sehubungan dengan jumlah kuman TB
disekret bronkus anak lebih sedikit daripada dewasa, dan pengambilan
spesimen atau sputum sulit dilakukan, sehingga sering terjadi mis-
diagnosis, baik over-diagnosis maupun under-diagnosis. Batuk bukan
merupakan gejala utama pada anak karena dahak biasanya ditelan, sehingga
diperlukan bilasan lambung yang diambil melalui nasogastric tube (NGT)
dan harus dilakukan oleh petugas berpengalaman. Selain itu, prognosis
dipengaruhi oleh banyak faktor seperti umur anak, berapa lama setelah
mendapat infeksi, luasnya lesi, keadaan gizi, keadaan sosial ekonomi
keluarga, diagnosis dini, kepatuhan minum obat selama 6 bulan, dan adanya
infeksi lain seperti morbilli, pertusis, diare yang berulang, dan lain-lain.
Menurut Kemenkes RI, tingkat kesembuhan TB pada anak juga
dipengaruhi terutama oleh kualitas pengobatan OAT yang diberikan.
Selama ini OAT penderita anak diberikan dalam bentuk obat racikan
dengan komponen obat berupa isoniazid, rifampisin, pirazinamid yang
diberikan pada tahap intensif maupun lanjutan. Beberapa literatur
dilaporkan mengenai dampak merugikan pada anak-anak disebabkan
produk racikan obat tunggal yang tidak tepat. Pencampuran obat yang
terlalu lama sebelum digunakan sehingga memungkinkan terjadinya reaksi

8
kimia penyebab terbentuknya toksin, yang akhirnya mengakibatkan
kematian. FDA menyadari sejumlah masalah kualitas produk yang terkait
dengan obat-obatan yang diracik termasuk kontaminasi, proses peracikan
yang tidak baik dan benar, dan toksisitas produk.
Oleh karena itu, pemantauan kualitas obat racikan obat tunggal perlu
dilakukan guna meningkatkan efek terapi yang diharapkan dan mencegah
kegagalan pengobatan TB pada anak. Data yang digunakan meliputi proses
peracikan yang digunakan dan kontaminasi produk racikan sebagai bagian
dari standar kualitas obat racikan yang harus dipenuhi. Dengan
perkembangan pengetahuan dan teknologi di bidang farmasetika, saat
ini telah dibuat tablet kombinasi OAT yang dikenal dengan KDT. Dengan
adanya KDT ini diharapkan kepatuhan TB dalam minum OAT dapat
ditingkatkan sehingga akan meningkatkan kesembuhan. OAT KDT adalah
tablet kombinasi yang terdiri dari beberapa macam obat anti TB tanpa
mengganggu ketersediaan hayati obat tersebut. Namun demikian, seperti
pada obat tunggal, untuk menjamin kualitas obat, pemantauan mutu dari
KDT harus dilaksanakan secara berkala.
Obat-obat TB kebanyakan formulasinya adalah tablet mengingat tablet
memiliki beberapa keuntungan dibandingkan bentuk sediaan farmasi
lainnya. Namun terdapat masalah pada anak yang tidak mampu atau tidak
mau menelan tablet setiap hari sehingga perlu diberikan formulasi yang
tepat agar pengobatan TB menjadi efektif. Keuntungan utama dari KDT
adalah peningkatkan kepatuhan pasien dengan hanya meminum lebih
sedikit tablet (1–2 tablet) dibandingkan tunggal dan efektivitas tetap terjaga.
H1: Jenis OAT berpengaruh terhadap kepatuhan pengobatan.
H2: Jenis OAT berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan.
H3: PMO berpengaruh terhadap kepatuhan dan keberhasilan pengobatan.

Pengobatan TB pada anak dibagi dalam 2 tahap:


I. Tahap intensif, selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif,
diberikan minimal 3 macam obat, tergantung hasil pemeriksaan
bakteriologis dan berat ringannya penyakit.
II. Tahap Lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil
pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit.

9
III. Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional
Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia : - Kategori Anak
dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR - Kategori Anak dengan 4
macam obat: 2HRZE(S)/4-10HR.
IV. Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket
berupa obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT
KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 3 jenis obat dalam satu
tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan
ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
V. OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk OAT
kombipak untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang
mengalami efek samping OAT KDT.
2.4 Pemantauan dan hasil pengobatan
 Fase intensif: kontrol tiap minggu melihat kepatuhan, toleransi dan efek
samping obat.
 Fase intensif: kontrol tiap minggu melihat kepatuhan, toleransi dan efek
samping obat.
 OAT selama 2 bulan: respon pengobatan pasien harus dievaluasi
 Respon pengobatan dikatakan baik  gejala klinis berkurang, nafsu makan
meningkat, berat badan meningkat, demam menghilang, dan batuk
berkurang.
 respon pengobatan baik dengan pemberian OAT dilanjutkan sampai dengan
6 bulan.
 Setelah pemberian obat selama 6 bulan, OAT dapat dihentikan dengan
melakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang lain seperti
foto toraks.

10
2.5 Obat Anti Tuberkulosis
a) Obat-obat primer
Obat-obat ini paling efektif dan paling rendah toksisitasnya, tetapi
menimbulkan resistensi dengan cepat bila di gunakan sebagai obat tunggal.
Oleh karena itu, terapi selalu di lakukan dengan kombinasi dari 2-4 macam
obat, untuk kuman tuberkulosis yang sensitif. Obat anti tuberkulosi yang
termasuk obat-obat primer adalah:
1. Isoniazid
Isoniazid merupakan derivat asam isonikotinat yang berkhasiat
untuk obat tuberkulosis yang paling kuat terhadap Mycobacterium
tuberculosis (dalam fase istirahat) dan bersifat bakterisid terhadap
basil yang tumbuh pesat. Obat ini masih tetap merupakan obat
kemoterapi terpenting terhadap berbagai tipe tuberkulosis dan selalu
dalam bentuk kombinasi dengan rifampisin dan pirazinamid (Tjay dan
Rahardja, 2007).
Indikasi dari isoniazid adalah tuberkulosis dalam kombinasi
dengan obat lain, sedangkan kontraindikasinya adalah penyakit hati
yang aktif hipersensitifitas terhadap isoniazid. Efek samping dari

11
isoniazid adalah mual, muntah, neuritis perifer, neuritis optic, kejang,
demam, purpura, hiperglikemia, dan ginekomastia.
Dosis isoniazid yang diberikan umumnya per oral, tapi dapat
diberikan secara intramuscular atau intravena. Dewasa dan anak-anak:
5mg/kg (4-6mg/kg) per hari, maksimum 300mg/hari;10mg/kg tiga
kali seminggu atau 15mg/kg dua kali seminggu. Pada terapi
pencegahan buat orang-orang yang ada kontak dengan penderita atau
yang berada di daerah endemik penyakit tuberkulosis maka diberikan
dosis 300mg/hari selama 6 bulan atau lebih, untuk anak : 5mg/kg/hari
(maksimum 300mg/kg/hari) selama 6 bulan atau lebih ( Wattimena
dkk, 1999 ).
Isoniazid terjadi resistensi apabila menurunnya daya penitrasi
obat atau kamampuan penyerapan obat oleh mikroorganisme
(Wattimena dkk, 1999). Isoniazid berinteraksi dengan anestetik yaitu
hepatotoksik mungkin di potensi oleh isofluran. Aluminium
hidroksida yaitu gel yang dapat menurunkan absobsi isoniazid dan
mungkin dapat meningkatkan kadar plasma theofilin.
2. Rifampisin
Rifampisin menghambat mekanisme kerja RNA-polimerase yang
tergantung pada DNA dari mikrobakteri dan beberapa mikroorganisme.
Penggunaan pada konsentrasi tinggi untuk menginsibisi enzim bakteri
dapat pula sekaligus menghinsibisi sintesis RNA dalam mitokondria
mamalia (Wattimena dkk, 1999).
Indikasi dari rifampisin adalah tuberkulosis dan lepra sedangkan
kontraindikasinya tidak boleh digunakan pada keadaan sirosis,
insufisiensi hati, pecandu alkohol dan pada kehamilan muda. Efek
samping pada rifampisin adalah gangguan saluran cerna, terjadi sindrom
influenza, gangguan respirasi, udem, kelemahan otot, gangguan
menstruasi, warna kemerahan pada urin (Wattimena dkk, 1999).
Dosis rifampisin yang diberikan umumnya pada oral 450-600mg
sekaligus pagi sebelum makan. Rifampisin resistensi terhadap M.
Fortuitum Secara in vitro mikroorganisme termasuk mikro bakteri dapat
menjadi resisten terhadap obat ini. Rifampisin berinteraksi dengan
antiepileptik yaitu metabolisme fenitoin dipercepat. Klarittomisin dan

12
penghambat protease: rifampisin menginduksi enzim. Antikoagulansia
yaitu obat ini dipercepat metabolismenya (nikumakon dan warfarin).
Kontrasepsi oral yaitu rifampisin mempercepat katabolisme obat.
3. Pirazinamid
Pirazinamid ini bekerja sebagai bakterisida (pada suasana asam
ph 5-6) atau bakteriostatis, tergantung pada PH dan kadarnya di dalam
darah. Pirazinamid dengan spektrum kerjanya sangat sempit dan hanya
meliputi M. tuberculosis, berdasarkan pengubahanya menjadi asam
pirazinat oleh enzim pyrazinamidase yang berasal dari basil TBC.
Begitu PH dalam makrograf diturunkan, maka kuman yang berada di
sarang infeksi yang menjadi asam akan mati (Tjay dan Rahardja, 2007).
Indikasi dari pirazinamid adalah tuberkulosis dalam kombinasi
dengan obat lain sedangkan kontraindikasi gangguan fungsi hati,
gangguan fungsi ginjal, diabetes. Dosis pirazinamiddiberikan dua atau
tiga bulan pertama yaitu 25mg/kg/hari (20-30mg/kg/hari), 35mg/kg
(3040mg/kg/hari), 35mg/kg (30-40mg/kg) 3 x seminggu,
50mg/kg(4060mg/kg) dua kali.
Efek samping dari pirazinamid adalah hepatotoksisitas, temasuk
demam anoreksia, hepatomegali, ikterus, gagal hati, mual, muntah,
artlagia, anemia, urtikaria. Pirazinamid resistensi terhadap M.
tuberculosis terhadap obat ini dapat cepat timbul selama pemberian, oleh
sebab itu sebaiknya pemakaiannya dalam kombinasi. Pirazinamid
berinteraksi dengan antagonis efek probenesid dan sulfinpirazan
(Wattimena dkk, 1999).
4. Etambutol
Derivat etilendiamin berkhasiat spesifik terhadap M. tuberculosis
dan M. atipis’ tetapi pada dosis terapi kurang efektif dibanding obat-obat
primer. Dengan mekanisme kerjanya adalah penghambatan sintesa RNA
pada kuman yang sedang membelah, juga menghindarkan terbentuknya
mycolic acid pada dinding sel (Tjay dan Rahardja, 2007).
Indikasi dari etambutanol adalah tuberkulosis dalam kombinasi
dengan obat lain, sedangkan kontraindikasinya anak di bawah 6 tahun,
neuritis optic, gangguan visual. Efek samping dari etambutanol adalah
neuritis optik, buta warna merah/hijau, neuritis primer.

13
Dosis yang diberikan untuk etambutol adalah oral sehari pakai
20-25mg/kg/hari selalu dalam kombinasi dengan INH, intravena 1 dd
15mg/kg dalam 2 jam.
Resistensi etambutol timbul apabila digunakan secara tunggal
tidak dengan kombinasi dengan antibiotik lain. Etambutol dapat
berinteraksi dengan sulfinpirazon di mana efek urikosurik dari
sufinpirazon dapat tidak timbul karena pengaruh etambutol (Wattimena
dkk, 1999).

5. Setreptomisin
Saat ini sudah jarang digunakan kecuali untuk kasus resistensi,
kadar obatnya dalam plasma harus diukur terutama pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal. Aminoglikosida ini bersifat bakterosida dan
tidak diserap melalui saluran cerna sehingga harus diberikan secara
parentral. Toksisitasnya merupakan keberatan besar karena dapat
merusak saraf otak yang melalui organ keseimbangan dan pendengaran
( Tjay dan Raharja, 2007).
b) Obat – obat Sekunder
Obat-obat sekunder diberikan untuk tuberkulosis yang disebabkan oleh
kuman yang resisten atau bila obat primer menimbulkan efek samping yang
tidak dapat ditoleransi. Termasuk obat sekunder adalah kapreomisin,
sikloserin, makrolide generasi baru (asotromisin dan klaritromisin),
quinolon dan protionamid

Kategori 1 (2HRZE / 4H3R3) paduan obat anti tuberkulosis ini


diberikan untuk pasien baru TB paru dengan basil tahan asam positif, pasien TB
paru dengan basil tahan asam negatif foto toraks positif dan pasien TB ekstra
paru.

14
Kategori 2 (2HR2ES/HR2E/5H3R3E3) paduan obat anti tuberkulosis ini
diberikan untuk pasien basil tahan asam positif yang telah diobati sebelumnya
kemudian pasien mengalami kekambuhan, pasien gagal dalam pengobatan, dan
pasien dengan pengobatan setelah putus berobat.
2.6 Prinsip Pengobatan Tuberkulosis
Obat anti tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam pengobatan
tuberkulosis. Pengobatan tuberkulosis adalah salah satu upaya paling efisien untuk
mencegah penyebaran lebih lanjut dari kuman tuberkulosis. Pengobatan yang harus
memenuhi prinsip yaitu :
1) Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat yang
mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah resistensi.
2) Diberikan dalam dosis yang tepat.
3) Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh Pengawas
Menelan Obat (PMO) sampai selesai pengobatan
4) Pengobatan diberikan dalam jangkat waktu yang cukup terbagi
dalam tahap awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.
Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan :
 Tahap awal : Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan
pada tahap ini dimaksudkan untuk secara elektif menurunkan jumlah
kuman yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari
sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resistan sejak sebelum
pasien mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua
pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan
pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan
sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2 minggu.
 Tahap Lanjutan : Pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang
penting untuk membunuh sisa kuman yang masih ada di dalam tubuh
khususnya kuman persisten sehingga pasien dapat sembuh dan
mencegah terjadinya kekambuhan.
2.7 Karakteristik Obat Anti Tuberkulosis
 Isoniazid
Isoniazid adalah salah satu obat pilihan untuk obat lini pertama
tuberkulosis. Fungsinya adalah untuk menghambat produksi dari asam

15
mikolat, komponen dinding sel penting pada bakteri. Asam mikolat ini
menyebabkan bakteri menjadi resisten terhadap kerusakan kimia dan
dehidrasi, sehingga mencegah aktifitas efektif dari antibiotik hidrofobik.
Selain itu, asam mikolat membuat bakteri mampu tumbuh didalam
makrofag, bersembunyi dari sistem imun host. Oleh karena itu sangat
penting memilih asam mikolat sebagai target obat.
 Rifampisin
Rifampisin adalah salah satu OAT yang paling efektif, bersama dengan
isoniazid, merupakan regimen dasar dari pengobatan tuberkulosis.
Rifampisin ini aktif melawan bakteri yang tumbuh dengan cepat maupun
yang tumbuh dengan lambat.
Rifampisin dapat dengan mudah berdifusi masuk menyebrangi
membran sel karena karakteristik lipofiliknya. Aktivitas bakterisidal obat
ini bergantung pada kemampuan obat ini untuk menghambat transkripsi
ribonucleotida acid (RNA).24 Mekanisme kerja obat ini adalah dengan
berikatan pada beta subunit dari RNA Polimerase (RNAP) yang
bergantung pada DNA sehingga menghambat transkripsi RNA. Komplek
ikatan enzim dan obat ini menghambat inisiasi pembentukan rantai RNA
dan juga elongasinya.
 Pirazinamid
Pirazinamid adalah analog nikotamid yang penting diberikan sebagai
OAT lini pertama bersama isoniazid dan rifampisin untuk pengobatan
tuberkulosis. Pirazinamid membunuh 95% populasi dari mikroorganisme
semi dormant yang hanya aktif pada suasana asam. Pirazinamid dapat
diabsorbsi dengan baik di traktus gastrointestinal. Rata-rata waktu yang
diperlukan untuk mencapai kadar maksimal di darah adalah 1,6 jam.
Sedangkan waktu paruhnya adalah sekitar 10-20 jam.
 Etambutol
Etambutol adalah agen antimycobacterial yang termasuk dalam
ethylaminobutan. Etambutol efektif bekerja melawan Mycobacterium
tuberculosis tetapi tidak efektif melawan jamur, virus, dan bakteri lain.
Etambutol dapat diabsrobsi dengan baik secara oral. Kadar dalam plasma
tertinggi dapat mencapai 4mg/l dan dicapai dalam 2-4 jam setelah

16
konsumsi sebanyak 15mg/kgBB. Volume distribusi dapat mencapai 39%
dan berikatan dengan protein plasma sebanyak 25%.
Streptomisin tidak dapat diabsorbsi dengan baik oleh traktus
gastrointestinal, tetapi melalui jalur intramuskular, antibiotik ini dapat
berdifusi dengan baik ke dalam komponen ekstraseluler dari jaringan tubuh
dan mencapai konsentrasi untuk efek bakterisidalnya, terutama pada
cavitas tuberkulosis. Sebagian kecil normalnya masuk ke dalam cairan
serebrospinal, dan biasanya penetrasi ke cairan serebrospinal ini akan
meningkat jika terjadi inflamasi pada selaput otak. Waktu paruh dari
antibiotik ini adalah 2-3 jam, yang biasanya akan memanjang pada bayi
baru lahir, orang tua, maupun pasien dengan gagal ginjal. Ekskresi dari
streptomisin dalam bentuk utuh dan dikeluarkan melalui urin.
 Sreptomisin
Streptomisin berasal dari isolasi Streptomyces griseus, dan merupakan
antibiotik pertama yang sukses digunakan melawan tuberkulosis.
Sayangnya resistensi terhadap streptomisi muncul tidak lama setelah
digunakan karena penggunaannya sebagai monoterapi. Antibiotik ini
termasuk ke dalam kelompok obat aminoglikosida. Penggunaan
streptomisin seringkali diganti dengan penggunaan etambutol, sebab
absorbsi oral dan toksisitas streptomisin lebih buruk dari pada etambutol.
2.8 Mekanisme Kerja Obat Anti Tuberkulosis
 Mekanisme isoniazid
Mekanisme kerja utama dari isoniazid adalah dengan berfokus pada
pembentukan berbagai senyawa reaktif yaitu reactive oxygen species
(ROS).20 Setelah isoniazid beredar dalam aliran darah, isoniazid akan
berdifusi secara pasif masuk ke dalam tubuh bakteri, yang mana bentuk
tidak aktif dari isoniazid akan diaktifkan oleh MnCl2 dan enzim katalase-
peroksidase. Enzim ini juga berfungsi untuk melawan kadar pH rendah
ketika terjadi proses oksidatf yang mengubah radikal bebas oksigen
menjadi H2O2 di dalam fagosom.
Proses ini juga mengubah isoniazid menjadi bentuk aktifnya, dimana
bentuk aktifnya ini akan berikatan dengan NADH di sisi aktif protein
InhA. Kompleks ini akan mengahmbat elongasi dari rantai terakhir asam

17
lemak dan karenanya pembentukan asam mikolat dan dinding sel pun
terhambat, sehingga juga menyebabkan deoksiribonucleotida acid (DNA)
bakteri rusak, dan kemudian bakteri tersebut akan mati.
Kerja dari isoniazid sangat penting di minggu pertama pengobatan
terutama pada bakteri yang cepat membelah. Pada bakteri yang lambat
tumbuh, obat ini bekerja sebagai bakterisidal.
Isoniazid diabsorbsi di traktus gastrointestinal, setelah diminum oral.
Konsentrasi plasma tertinggi dicapai 1-2 jam setelah konsumsi. Jika
dikonsumsi bersama makanan, maka bioavailabilitasnya akan berkurang.
Sebagian besar beredar di dalam cairan, termasuk serebrospinal, kulit,
sputum, paru, saliva, dan otot. Metabolisme utamanya adalah mengalami
asetilasi di hepar, melewati beberapa proses dan diubah menjadi zat aktif
oleh enzim mikrosomal hepatik. Metabolit aktif ini dapat menyebabkan
hepatotoksisitas.
Isoniazid diekskresikan dalam bentuk utuh dan metabolit melalui
ginjal, dan juga lewat air susu ibu. Selain itu sebagian kecil diekskresi
melalui saliva, sputum, dan feses. Waktu paruh isoniazid bervariasi dari 1-
4 jam pada orang normal, dan memanjang pada gagal ginjal atau gagal
hati.
 Mekanisme Rifampisin
Bioavailabilitas rifampisin diperkirakan mencapai 90-95% karena
bentuknya yang siap diabsorbsi lewat traktus gastrointestinal. Kadar
plasma tertinggi dari rifampisin dicapai setelah 2-4 jam sejak masuk lewat
oral. Konsumsinya bersama makanan akan memperlambat tetapi tidak
menurunkan absorbsi obat. Waktu paruh dari rifampisin adalah 1,5-5 jam
dan memanjang pada kerusakan hati.22,26 Sekitar 60-90% obat berikatan
dengan protein plasma dan didistribusikan ke organ-organ dan cairan
tubuh seperti ke paru, hepar, empedu, dan urin. Dan sebanyak 60-80%
obat ini dimetabolisme di hepar.
Sebagian kecil dari obat ini dimetabolisme menjadi formilrifampin
yang memiliki efek bakterisidal 10%. Sekitar 15-30% obat dikeluarkan
melalui ginjal dan hanya 7% dari obat ini yang dibuang lewat urin dalam

18
bentuk aslinya. Sekitar 60-65% dari obat ini dibuang melalui empedu dan
feses.
 Mekanisme Pirazinamid
Pirazinamid bekerja secara bakteriostatik.27 Pirazinamid dalam bentuk
prodrug akan dikonversi menjadi asam pirazinoat oleh enzim piramidase
bakteri. Asam pirazinoat dan analognya 5-kloro-pirazinamid dapat
menghambat sintesis asam lemak dari bakteri. Pirazinamid mengganggu
lalu lintas energi dan transport di membran bakteri. Akumulasi dari asam
pirazinoat di dalam kondisi asam akan mengasamkan sitoplasma dan
merusak sel bakteri.
Pirazinamid dapat didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan,
termasuk hepatobilier, paru, dan ginjal. Pirazinamid juga dapat masuk
secara sempurna ke dalam cairan serebrospinal. Volume total distribusi di
tubuh obat ini mencapai 1,57 1,84l/kg. Kadar obat yang berikatan dengan
plasma rendah. Pirazinamid ini dihidrolisa oleh enzim deamidase
mikrosomal menjadi asam pirazinoat, sebuah metabolit aktif, dan
kemudian dihidroksilasi oleh enzim xanthine oksidase menjadi asam 5-
hidropirazinoat. Ekskresi pirazinamid sebagian besar dalam bentuk
metabolit. Dalam 72 jam, sekitar 3% dalam bentuk pirazinamid yang tetap,
33% asam pirazinoat, dan 36% dalam bentuk metabolit lain diekskresikan
melalui urin.
 Mekanisme Etambutol
Etambutol bekerja sebagai bakteriostatik melawan bakteri tuberkulosis
dan bakteri yang resisten terhadap agen antimycobacterial lainnya.
Mekanisme kerja dari etambutol adalah menghambat sintesis metabolit
penting dari metabolisme sel dan multiplikasi bakteri dengan menghambat
pembentukan asam mikolat dan dinding sel. Penghambatan sintesis
dinding sel dilakukan dengan menghambat arabinosyl transferases yang
terlibat dalam sintesis dinding sel. Hal ini kemudian mengakibatkan
permeabilitas dinding sel bakteri meningkat.
Distribusinya luas ke seluruh tubuh kecuali sistem saraf pusat.
Penggunaan bersama dengan makanan akan mempengaruhi absorpsinya di
traktus gastrointestinal. Kadar dalam darah pada anak0anak lebih rendah

19
dari pada orang dewasa. Metabolisme obat ini terjadi di hepar, dimana
obat ini diubah menjadi bentuk metabolit aldehida tidak aktif dan asam
karboksilat. Ekskresi dari etambutol sebanyak 50-70% melalui ginjal,
sehingga ekskresi obat ini akan lebih lambat pada orang dengan gangguan
ginjal.
 Mekanisme Streptomisin
Streptomisin adalah aminoglikosida yang aktif melawan basil aktif
yang sedang tumbuh. Cara kerja dari antibiotik ini adalah dengan
menghambat inisiasi dari translasi untuk sintesis protein. Lebih spesifik,
streptomisin bekerja dengan mengikat subunit 30S dari ribosom pada
protein ribosomal S12 dan rantai rRNA yang dikode gen rpsL dan rrs.
Kedua kode gen yang sering menimbulkan resistensi. Ikatan streptomisin
inilah yang kemudian menghambat pembentukan polipeptida sehingga
proses translasi pun terhambat.

20
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tuberkulosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberkulosis. Umumnya setelah masuk ke dalam tubuh melalui rongga pernapasan,
bakteri ini akan menuju ke paruparu. Tetapi bukan hanya di paruparu, bakteri ini
juga dapat menuju organ tubuh lain, seperti ginjal, limpa, tulang, dan otak.
Cara pengobatan Tuberkolosis adalah Dengan cara pengobatan yang
komprehensif dan berkelanjutan, setidaknya diperlukan waktu 6 bulan dengan
sedikitnya kombinasi 4 macam obat anti tuberkulosis (OAT) yaitu isoniazid (INH),
rifampisin (RIF), pyrazinamide (PZA), dan ethambutol (EMB).

3.2 Saran
Demi kebaikan dan kesempurnaan makalah (PENYAKIT TB PARU PADA ANAK
DAN DEWASA) yang dibuat penyusun, diharapkan adanya saran-saran yang membangun.
Dikarenakan penyusun menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah
(PENYAKIT TB PARU PADA ANAK DAN DEWASA) ini.

21
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan Z, Amin Z, Soeroto AY. Kompendium tatalaksana penyakit respirasi dan kritis
paru Jilid 1. Bandung: PERPARI; 2012.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman program pemberantasan penyakit
infeksi saluran pernafasan akut untuk penanggulangan pneumonia pada
balita. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2012.
Feja K, Saiman L. Tuberculosis in children. Clin Chest Med. 2005;26(2):295–
312. doi: 10.1016/j.ccm.2005.02.010.
Hariza A, Asih M. Hubungan kondisi rumah dengan penyakit TBC paru di
wilayah kerja puskesmas Karangmojo II kabupaten Gunung Kidul
tahun 2003– 2006. Jurnal Kesehatan Surya Medika Yogyakarta.
2006.
Daniel. Kombinasi dosis tetap: upaya atasi resistensi TB. Majalah Farmacia.
2006.
Ni Putu, Natalia. Terapi FDC (Fixeddose combination) pada TB [diakses17
Maret 2021]. Tersedia dari: http:// farmakoterapi-info.htm.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk penggunaan obat
KDT untuk pengobatan tuberkulosis di Unit Pelayanan Kesehatan.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2004.
Jeffrey RS. Directly observed therapy for tuberculosis in children. Pediatr
Pulmonol Suppl. 1999;27(18):131–5. doi: 10.1002/ (SICI)1099-
0496(1999)27:18+<131::A ID-PPUL44>3.0.CO;2 K.

22
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman nasional
penanggulangan tuberkulosis Edisi II. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia; 2007.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk Penggunaan obat
anti tuberkulosis fixed dose combination (OAT-FDC). Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 201.
David GP, Rafael T, Pilar C, Maria LA, Antonio MLB, Anselmo A, et al.
Diagnosis of tuberculosis in children using a polymerase chain
reaction. Pediatr Pulmonol. 1999;28(5):344–51. doi:
10.1002/(SICI)1099-0496(199911)28:5<344::AID-
PPUL6>3.0.CO;2-D
Ben JM. Tuberculosis in children. Pediatr Pulmonol. 2008.43(4):322–9. doi:
10.1002/ppul.20787 M. Toppet, Al Malprit, B. Hofman,
G. Casimir. R. Cantraine, I. Dab. Tuberculosis in children: a 13-year
follow up of 1714 patients in a Belgian home care centre. Eur J
Pediatr. 1991;150 (5):331–5. doi: 10.1007/BF01955934
Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis paru. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam
jilid III. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2009. hlm. 2230-9
World Health Organization. Estimates of tb and mdr-tb burden are produced by
who in consultation with countries. Jenewa: World Health
Organization; 2013
Amin Z, Bahar A. Pengobatan tuberkulosis mutakhir. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar
penyakit dalam jilid III. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
hlm. 2240-8
Departemen Kesehatan RI. Rencana strategi nasional penanggulangan
tuberkulosis tahun 2002-2006. Jakarta: Departemen Kesehatan RI;
2001
Medical Research Council Tuberculosis and Chest Disease Unit (MRCT-CDU).
Tuberculosis in children: a national survey of notifications in
England and Wales in 1983. Arch Dis of Child 1988;63:266-76

23
Long R, Schwartzman K. Canadian Tuberculosis Standards. In: Canadian
Tuberculosis Standards, 7th Edition 2013. 7th Editio. Canada: Public
Health Agency of Canada; 2014

24

Anda mungkin juga menyukai