FARMAKOTERAPI II
“ DEPRESI ”
Oleh :
KELOMPOK
KELAS E
JURUSAN FARMASI
UNIVERSITAS TADULAKO
2020
1
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum. Wr.Wb
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
taufik dan hidayahnya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul
“Depresi”
Kami berharap semoga makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
Bab I Pendahuluan
A.Latar Belakang ------------------------------------------------------------ ------------- 4
B.Rumusan Masalah ---------------------------------------------------------- ------------- 4
C.Tuj uan ----------------------------------------------------------------------- ------------- 4
Bab II Pembahasan
A. Definisi Depres --------------------------------------------------------------------- 5
B. Epidemiologi --------------------------------------------------------------------------------------------- 5
C. Etiologi ---------------------------------------------------------------------------------------------------- 6
D. Patofisiologi dan Patogenesis -------------------------------------------------------------------------- 7
E. Faktor Risiko --------------------------------------------------------------------------------------------- 8
F. Klasifikasi ------------------------------------------------------------------------------------------------ 9
G. Tanda/Gejala dan Diagnosa -------------------------------------------------------------------------- 11
H. Prognosis – Monitoring ------------------------------------------------------------------------------- 12
I. Tatalaksana Terapi
1. Terapi Farmakologi ------------------------------------------------------------------------------- 13
2. Terapi Non Farmakologi ------------------------------------------------------------------------ 18
Daftar Pustaka---------------------------------------------------------------------------------------------- 20
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Depresi adalah terganggunya fungsi normal manusia yang berhubungan dengan alam
perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pola tidur dan nafsu makan,
psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya serta bunuh
diri. Menurut WHO pada tahun 2017, gejala depresi dapat tandai dengan kesedihan, kehilangan
minat atau kesenangan, perasaan bersalah atau rendah diri, tidur terganggu atau nafsu makan
terganggu, perasaan lelah, dan menurunnya konsentrasi (Irawan, 2017).
Menurut WHO, Depresi termasuk kontributor terbesar penyebab ketidakmampuan dan
penyebab utama bunuh diri hampir 800.000 per tahun. Jumlah orang yang hidup dengan depresi
di dunia sekitar 322 juta (Irawan, 2017).
Penggunaan antidepresan telah meningkat 3 sampai 4 kali lipat di Amerika serikat dan
negara maju lainnya. Peningkatan penggunaan antidepresan berhubungan dengan peningkatan
pengetahuan, peningkatan kepekaan terhadap penyakit, diagnosis depresi yang lebih baik, dan
berkurangnya stigma penyakit yang melekat (Irawan, 2017).
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Depresi?
2. Bagaimana epidemiologi depresi?
3. Apa saja etiologi dari depresi?
4. Bagaimana patofisiologi dan patogenesis depresi?
5. Apa saja faktor resiko terjadinya depresi?
6. Bagaimana gejalah dan diagnosa dari depresi?
7. Bagaimana klasifikasi depresi?
8. Bagaimana prognosis – monitoring depresi?
9. Bagaimana tata laksana terapi depresi?
C. Tujuan
Mengetahui obat- obat yang tergolong dalam antiinfeksi dan mampu membedakan setiap
golongannya serta mengetahui prinsip pengobatan dengan kemoterapi.
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Depresi dapat didefinisikan sebagai perasaan sendu atau sedih yang disertai perlambatan
gerak dan fungsi tubuh. Selain lain, seperti gangguan tidur dan menurunnya selera makan.
Sedangkan menurut American Psychiatric Association, adalah penyakit serius yang
mempengaruhi secara negatif perasaan, cara berpikir paisen, dan perilaku pasien. Depresi
menyebabkan rasa sedih atau kehilangan minat terhadap aktivitas yang disenangi.
Menyebabkan variasi emosi dan masalah fisik dan penurunan kemampuan pasien ketika bekerja
dan di rumah (American Psychiatric Association, 2018).
Depresi menurut WHO (World Health Organization) adalah gangguan mental yang umum
dengan perasaan kehilangan minat atau motivasi, penurunan energi, perasaan bersalah, rendah
diri, insomnia dan kurang konsentrasi. Depresi dapat menyebabkan terganggunya tanggung
jawab individu dalam kesehariannya. Dampak paling buruk dari depresi bahkan dapat
menyebabkan bunuh diri. Depresi adalah gangguan mood yang menyebabkanterganggunya
perasaan, berfikir, dan melakukan aktivitas sehari-hari seperti sulit tertidur, makan bahkan
dalam melakukan pekerjaan. Ketika seseorang merasa sedih dengan jangka waktu yang dapat
dikatakan cukup lama, gangguan ini disebut juga depresi klinis atau gangguan depresi (Apriani,
Udiyono & Yuliawati, 2017).
B. Epidemiologi
Survei World Mental Health (WMH) juga memberikan kumpulan data terbesar tentang
prevalensi gangguan depresi mayor. Tingkat prevalensi seumur hidup dan 12 bulan
diperkirakan di 18 negara, dibagi menurut pendapatan tinggi dan menengah ke bawah.
Prevalensi seumur hidup memperkirakan rata-rata 11,1 (kisaran 8,0 hingga 18,4) di negara-
negara berpenghasilan rendah dan 14,6 (kisaran 6,6 hingga 21,0) di negara-negara
berpenghasilan tinggi, sedangkan tingkat prevalensi 12 bulan rata-rata 5,5 tinggi (kisaran 2,2
hingga 8,3) dan 5,9 (kisaran 3,8). ke 10.4) di negara-negara berpenghasilan rendah. Perkiraan
prevalensi yang lebih baru dari studi The National Epidemiologic Survey on Alcohol and
Related Conditions (NESARC) adalah 13,2 untuk seumur hidup dan 5,3 untuk depresi mayor
12 bulan. Kumpulan temuan ini menunjukkan bahwa epidemiologi deskriptif gangguan mood
meskipun ada berbagai perkiraan, tingkat rata-rata baik depresi seumur hidup dan 12 bulan
5
cukup konsisten di seluruh penelitian yang menggunakan metodologi yang sebanding (Sadock,
2017).
Beberapa penelitian cross-sectional dan prospektif juga melaporkan tingkat gangguan
depresi mayor pada remaja. Tingkat seumur hidup gangguan depresi utama dalam rentang masa
kanak-kanak dari sekitar 0,6 hingga 4,8 persen dengan median 2,2 persen. Hasil penelitian The
National Comorbidity Survey-Adolescent supplement (NCS-A) pada remaja di Amerika Serikat
menghasilkan prevalensi depresi mayor seumur hidup dan 12 bulan masing-masing sebesar
11,0 dan 7,5 persen. Keduanya The Tracking Adolescents’ Individual Lives Survey (TRAILS) di
Belanda juga menandai gangguan depresi utama dengan tingkat keparahan berdasarkan
kerusakan. Seperti yang diharapkan tingkat seumur hidup dalam penelitian ini secara
substansial lebih rendah daripada gangguan depresi mayor tidak berat dengan masing-masing
seumur hidup dan tingkat 12 bulan 3,0 dan 2,3 persen. Dalam NCS-A, prevalensi gangguan
depresi mayor meningkat secara signifikan di seluruh remaja, dengan peningkatan yang sangat
mencolok di antara wanita daripada di antara pria. Sebagian besar kasus gangguan depresi
utama dikaitkan dengan komorbiditas psikiatri dan gangguan peran berat, dan minoritas
substansial melaporkan bunuh diri. Perawatan dalam beberapa bentuk diterima oleh mayoritas
remaja dengan depresi mayor sesuai DSM-IV periode 12 bulan (60,4 persen), tetapi hanya
sebagian kecil yang menerima perawatan yang khusus gangguan mental (Sadock, 2017).
Demikian juga, banyak individu di masyarakat mungkin menunjukkan beberapa (beberapa
atau lebih) gejala depresi yang tidak mencapai tingkat keparahan atau ambang durasi untuk
gangguan suasana perasaan tertentu dalam sistem DSM-5 tetapi, bagaimanapun juga memiliki
morbiditas dan disfungsi yang besar. Meskipun ambang gangguan ini mungkin bentuk yang
kurang parah dari gangguan depresi mayor atau bipolar, mereka juga dapat menyebabkan
penderitaan dan disabilitas yang besar.(Sadock, 2017).
C. Etiologi
Saat ini telah diketahui beberapa faktor penyebab depresi, seperti faktor genetik, biokimia,
lingkungan, dan psikologis.5,6,8 Pada beberapa kasus, depresi murni berasal dari faktor
genetik, orang yang memiliki keluarga depresi lebih cenderung menderita depresi; riwayat
keluarga gangguan bipolar, pengguna alkohol, skizofrenia, atau gangguan mental lainnya juga
meningkatkan risiko terjadinya depresi. Kasus trauma, kematian orang yang dicintai, keadaan
6
yang sulit, atau kondisi stres memicu terjadinya episode depresi, tetapi terdapat pula kondisi
tidak jelas yang dapat memicu depresi (Irawan, 2017).
Saat ini penyebab depresi yang banyak diteliti dan dijadikan dasar pengobatan adalah
abnormalitas monoamin yang merupakan neurotransmiter otak.7-9 Sekitar tiga puluh
neurotransmiter telah diketahui dan tiga di antaranya mempengaruhi terjadinya depresi, yaitu
serotonin, norepinefrin, dan dopamin.7-9 Ketiga monoamin tersebut cepat dimetabolisme
sehingga pengukuran yang dapat dilakukan pada penderita depresi dengan mengukur metabolit
utama di cairan serebrospinal, yaitu 5-hydroxyindoleacetic acid (5-HIAA) dari serotonin, 3-
methoxy-4- hydroxyphenyl glycol (MHPG) dari norepinefrin, dan homovanillic acid (HVA) dari
dopamin. Pada penderita depresi kadar metabolit tersebut lebih rendah bermakna dibandingkan
yang tidak depresi (Irawan, 2017).
Secara umum ketiga neurotransmiter berperan dalam mengatur emosi, reaksi terhadap stres,
tidur, dan nafsu makan. Jumlah serotonin yang tinggi menyebabkan agresivitas dan gangguan
tidur, sedangkan jumlah rendah menyebabkan iritabilitas, ansietas, letargi, dan tindakan atau
pemikiran bunuh diri. Pada keadaan depresi, norepinefrin yang berperan dalam regulasi respons
“fi ght or fl ight”terganggu. Fungsi dopamin untuk mengatur emosi, pergerakan motor,
pembelajaran, berpikir, memori, dan perhatian. Jumlah dopamin rendah akan mempengaruhi
fungsi tersebut yang dapat menyebabkan depresi. Hipotesis terbanyak etiologi depresi
disebabkan oleh gangguan regulasi serotonin. Pada percobaan hewan dan pemeriksaan jaringan
otak setelah kematian menunjukkan bahwa pada keadaan depresi terjadi gangguan serotonergik
termasuk jumlah metabolit, jumlah reseptor, dan respons neuroendokrin (Irawan, 2017).
Hipotesis ini melibatkan hasil dari beberapa penemuan yang dilakukan pada awal tahun
1950. Ditemukan bahwa obat antihipertensi reserpine menurunkan kadar neurotransmitter
dari norefinefrin, 5-HT, dan dopamin dan memperlihatkan gejala klinis pada 15% atau lebih
pasien. Lalu ditemukan bahwa halusinogen asam lisergik dietilamin menghalangi reseptor
periferal dari serotonin, dan efek halusinogen dari asam lisergik dietilamin memiliki efek
yang serupa pada sistem saraf pusat (SSP) reseptor serotonin (Ningtyas dkk, 2018).
7
Teori ini menjelaskan beberapa studi tentang antidepresan yang menyebabkan terjadinya
desensitisasi atau perubahan dari norefinefrin atau reseptor 5HT1A yang berhubungan
dengan efek antidepresan (Ningtyas dkk, 2018).
3. Hipotesis disregulasi
Dalam teori ini terjadi kegagalan regulasi homeostatik dari sistem neurotransmitter daripada
peningkatan atau penurunan absolut. Menurut hipotesis ini, agen antidepresan yang efektif
adalah agen antidepresan yang dapat mengembalikan regulasi sistem neurotransmiter
(Ningtyas dkk, 2018).
4. Hipotesis 5-HT/Norefinefrin
Teori ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara 5-HT dan aktivitas norefinefrin,
dan kedua sistem serotonergik dan noradrenergik terlibat dalam respon antidepresan
(Ningtyas dkk, 2018).
5. Peran dopamin
E. Faktor Risiko
1. Faktor Biologi
Beberapa peneliti menemukan bahwa gangguan mood melibatkan patologik dan system
limbiks serta ganglia basalis dan hypothalamus. Dalam penelitian biopsikologi,
norepinefrin dan serotoninmerupakan dua neurotrasmiter yang paling berperan dalam
patofisiologi gangguan mood. Pada wanita, perubahan hormon dihubungkan dengan
kelahiran anak dan menoupose juga dapat meningkatkan risiko terjadinya depresi. Penyakit
fisik yang berkepanjangan sehingga menyebabkan stress dan juga dapat menyebabkan
depresi.
2. Faktor Psikologis/Kepribadian
Individu yang dependent, memiliki harga diri yang rendah, tidak asertif, dan menggunakan
ruminative coping. Nolen – Hoeksema & Girgus juga mengatakan bahwa ketika seseorang
8
merasa tertekan akan cenderung fokuspada tekanan yang mereka rasa dan secara pasif
merenung dari pada mengalihkannya atau melakukan aktivitas untuk merubah
situasi.Pemikiran irasional yaitu pemikiran yang salah dalam berpikir seperti menyalahkan
diri sendiri atas ketidak beruntungan. Sehingga individu yang mengalami depresi cenderung
menganggap bahwa dirinya tidak dapat mengendalikan lingkungan dan kondisi dirinya. Hal
ini dapat menyebabkan pesimisme dan apatis.
3. Faktor Sosial
a. Kejadian tragis seperti kehilangan seseorang atau kehilangan dan kegagalan pekerjaan
b. Paska bencana
c. Melahirkan
d. Masalah keuangan
i. tuntutan dan peran sosial misalnya untuk tampil baik, menjadi juara di sekolah ataupun
tempat kerja
F. Klasifikasi
a. Harus terdapat lima dari gejala berikut, yaitu mood depresi, kehilangan minat,
kehilangan kesenangan dalam semua atau sebagian besar kegiatan, berat badan
berkurang atau bertambah (lebih dari 5%), insomnia atau hipersomnia, retardasi atau
agitasi psikomotor, lelah, perasaan tidak berharga atau bersalah yang tidak jelas,
penurunan kemampuan berkonsentrasi, pemikiran kematian atau bunuh diri yang
berulang.
9
b. Harus terdapat satu dari gejala utama, yaitu mood depresi atau kehilangan minat atau
kehilangan kesenangan.
c. Gejala tersebut setidaknya terjadi selama dua minggu, yang menyebabkan gangguan
fungsi, dan tidak merupakan pengaruh penggunaan zat, kondisi medis, atau kehilangan
(kematian).
2. Gangguan depresi minor
a. Harus terdapat dua gejala, namun kurang dari lima gejala gangguan depresi mayor.
b. Gejala tersebut setidaknya terjadi selama dua minggu, yang menyebabkan gangguan
fungsi, dan tidak merupakan pengaruh dari penggunaan zat, kondisi medis, atau
kehilangan (kematian).
c. Diagnosis ini hanya untuk penderita tanpa riwayat gangguan depresi mayor, distimik,
bipolar, atau psikotik.
3. Gangguan distimik
a. Mood sedih yang menetap yang terdapat dua atau lebih gejala seperti peningkatan atau
penurunan nafsu makan, peningkatan atau penurunan tidur, lelah atau kehilangan
energi, penurunan kepercayaan diri, penurunan konsentrasi atau kesulitan memutuskan
sesuatu, dan perasaan tidak ada harapan.
b. Mood sedih dan dua gejala tersebut tidak hilang selama dua bulan atau lebih dalam dua
tahun.
c. Tidak ada episode depresi mayor selama dua tahun pertama.
4. Gangguan bipolar 1 (paling banyak episode depresi)
a. Terdapat kriteria gangguan depresi mayor dan terdapat riwayat setidaknya satu kali
episode manik.
5. Gangguan penyesuaian dengan mood depresi
a. Terdapat mood depresi, rasa takut, atau tidak ada harapan dalam tiga bulan setelah ada
stresor.
b. Gejala tersebut menimbulkan gangguan atau disabilitas berat dan akan menghilang
dalam enam bulan setelah hilangnya stresor.
c. Kehilangan (kematian) tidak dimasukan sebagai stresor dalam gangguan penyesuaian.
10
G. Tanda/Gejalah dan Diagnosa
1. Tanda/Gejalah
1) Gejala Fisik
a. Gangguan pola tidur; Sulit tidur (insomnia) atau tidur berlebihan (hipersomnia)
11
2. Diagnosa
Kriteria untuk diagnosa episode depresi menurut ICD-10 dan DSM-IV hampir
sama namun memilik beberapa perbedaan. Menurut ICD-10, pasien harus mempunyai dua
dari tiga gejala awal (suasana hati yang tertekan, kehilangan minat dalam kegiatan sehari –
hari dan penurunan energi) ditambah dengan setidaknya dua dari tujuh gejala yang lain.
Sedangkan menurut DSM-IV, pasien harus mempunyai lima atau lebih gejala dari Sembilan
gejala yang ada dengan satu dari dua gejala utama (suasana hati yang tertekan dan
kehilangan minat). Kriteria gejala yang muncul menurut ICD-10 dan DSM-IV harus
mengakibatkan gangguan fungsional yang meningkat seiring dengan peningkatan
keparahan episode depresi (Ningtyas dkk, 2018).
Selain gejala, terdapat alat bantuan yang dapat digunakan untuk mendiagnosis
depresi yaitu kuisoner PHQ-9 (Patient Health Questionnaire). PHQ-9 adalah kuisoner yang
diisi sendiri oleh pasien yang terdiri dari 9 pertanyaan seputar gejala depresi. Batas minimal
skor untuk deteksi depresi dapat berbeda tiap negara. Skor 0-4 tidak depresi, skor 5-9
depresi ringan, skor 10-14 depresi sedang, skor15- 19 depresi sedang menuju berat, skor
20- 27 depresi berat. Kuisoner ini telah digunakan diberbagai negara dan terbukti efektif
untuk diagnosis depresi. Namun skor minimal ≥ 11 untuk deteksi depresi di Jepang (Suzuku
et al, 2015).
H. Prognosis – Monitor
1. Prognosis
Gangguan depresi mayor memiliki potensi morbiditas dan mortalitas yang signifikan,
berkontribusi seperti bunuh diri, insiden dan hasil buruk dari penyakit medis, gangguan
dalam hubungan interpersonal, penyalahgunaan zat, dan kehilangan waktu kerja. Dengan
pengobatan yang tepat, 70-80% individu dengan gangguan depresi mayor dapat mencapai
pengurangan gejala yang signifikan, meskipun sebanyak 50% pasien mungkin tidak
menanggapi uji coba pengobatan awal (Medscape, 2019).
Dua puluh persen orang dengan gangguan depresi mayor yang tidak diobati pada 1 tahun
akan terus memenuhi kriteria untuk diagnosis, sedangkan tambahan 40% akan memiliki
remisi parsial. Lekas marah pretreatment dan gejala psikotik dapat dikaitkan dengan hasil
yang lebih buruk. Remisi parsial dan / atau riwayat episode depresi mayor kronis
12
sebelumnya adalah faktor risiko untuk episode berulang dan resistensi pengobatan
(Medscape, 2019).
Sebuah studi tentang depresi psikotik episode pertama oleh Tohen et al menemukan bahwa
sebagian besar pasien mencapai remisi sindroma (86%) dan pemulihan (84%); Namun,
hanya 35% pulih secara fungsional. Pemulihan sindrom sebelumnya dikaitkan dengan
onset subakut, skor depresi awal yang lebih rendah, dan kurangnya fitur psikotik mood
yang tidak selaras. Dalam 2 tahun, hampir setengah dari pasien mengalami episode baru.
Pada 41% pasien, diagnosis diubah, biasanya menjadi gangguan bipolar atau schizoafektif
(Medscape, 2019).
2. Monitoring
Memesan EKG pretreatment sebelum memulai terapi TCA pada pasien berusia di atas
40 tahun, dan melakukan EKG tindak lanjut secara berkala.
Pantau munculnya ide bunuh diri setelah memulai antidepresan apa pun, terutama
dalam beberapa minggu pertama pengobatan.
13
I. Tatalaksana Terapi
1. Terapi Farmakologi
Algoritma Terapi
14
Prinsip Terapetik
Secara umum, antidepresan memiliki efektivitas yang sama pada kelompok pasien
ketika diberikan dalam dosis yang sebanding.
Antara 65% dan 70% pasien dengan depresi berat membaik dengan terapi obat.
Individu yang mengalami depresi psikis biasanya membutuhkan ECT atau terapi
kombinasi dengan antidepresan dan agen antipsikotik.
Fase akut pengobatan berlangsung selama 6 hingga 10 minggu, dan tujuannya adalah
pengampunan (yaitu, tidak adanya gejala).
Klasifikasi Antidepresan
Mekanisme kerja dari SSRI adalah menghambat pengambilan 5-HT ke dalam neuron
presinaptik. Sering digunakan sebagai lini pertama karena efek samping yang
cenderung aman (Santarsieri and Schwartz, 2015).
15
Obat jenis ini memiliki afinitas tinggi terhadap reseptor monoamine tetapi tidak
memiliki afinitas terhadap adrenoreseptor α, histamin, muskarinik atau asetilkolin yang
terdapat juga pada obat antidepresan trisiklik. Beberapa contoh obat yang termasuk ke
dalam golongan SSRI adalah citalopram, fluvoxamine, paroxetine, fluoxetine,
sertraline. Efek samping dari SSRI adalah sakit kepala, insomnia, kelelahan,
kecemasan, disfungsi seksual, peningkatan berat badan (Santarsieri and Schawrtz,
2015). SSRI dilaporkan berinteraksi dengan 40 obat lainnya menyebabkan serotonin
sindrome. Ciri ciri dari sindrom ini adalah kekakuan, tremor, demam, kebingungan,
atau agitasi. SNRI juga dapat mennyebabkan sindorom serotonin. Namun, obat trisiklik
tidak memiliki efek samping tersebut kecuali amitriptyline. Penelitian terbaru
menyebutkan terdapat obat golongan SSRI yaitu vortioxetine yang dapat ditoleransi
dengan baik dan prevalensi efek samping kecil. Vortioxetine dapat meningkatkan
kualitas hidup pasien yang menderita depresi dengan signifikan (Dziwota and Olajossy,
2016).
16
adalah isocarboxazid, phenelzine, tranylcypromine, selegiline (Santarsieri and
Schawrtz, 2015).
4) Trisiklik (TCA)
Obat golongan trisiklik efektif untuk penyakit depresi, tetapi penggunaanya telah
berkurang karena telah tersedia obat yang mempunyai efektivitas terapi yang sama
tetapi mempunyai dosis yang lebih aman dan lebih toleransi. Mekanisme obat golongan
trisklik ini bekerja adalah dengan mennghambat ambilan dari norephinefrin dan 5-HT,
menghambat adrenergik, kolinergik, dan reseptor histaminergik.
17
a. Terapi Non Farmakologi
Terapi electroconvulsive (ECT) adalah pengobatan yang aman dan efektif untuk
gangguan depresi mayor. Diperkirakan ketika respons cepat diperlukan, risiko
perawatan lain lebih besar daripada manfaat potensial, respons obat buruk, dan pasien
menyatakan preferensi untuk ECT. Respons terapeutik yang cepat (10 hingga 14 hari)
telah dilaporkan. Kontraindikasi relatif meliputi peningkatan tekanan intrakranial, lesi
serebral, infark miokard baru-baru ini, perdarahan intraserebral terbaru, perdarahan, dan
kondisi vaskular yang tidak stabil. Efek samping ECT termasuk kebingungan,
kerusakan memori (retrograde dan anterograde), apnea berkepanjangan, pengobatan
mania yang muncul, sakit kepala, mual, nyeri otot, dan disfungsi kardiovaskular.
Tingkat kekambuhan selama tahun berikut ECT tinggi kecuali antidepresan
pemeliharaan ditentukan.
Terapi cahaya terang (mis., Pasien yang melihat ke dalam kotak cahaya intensitas
10.000 lux selama sekitar 30 menit / hari) dapat digunakan untuk pasien dengan
gangguan afektif musiman dan sebagai penggunaan tambahan untuk depresi berat.
18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Depresi menurut WHO (World Health Organization) adalah gangguan mental yang umum
dengan perasaan kehilangan minat atau motivasi, penurunan energi, perasaan bersalah,
rendah diri, insomnia dan kurang konsentrasi.
2. Hipotesis terbanyak etiologi depresi disebabkan oleh gangguan regulasi serotonin. Pada
percobaan hewan dan pemeriksaan jaringan otak setelah kematian menunjukkan bahwa
pada keadaan depresi terjadi gangguan serotonergik termasuk jumlah metabolit, jumlah
reseptor, dan respons neuroendokrin.
3. Patofisiologi depresi terdiri dari : Hipotesis Biogenik Amin, Teori perubahan postsinaptik
pada sensitivitas reseptor, Hipotesis disregulasi, Hipotesis 5-HT/Norefinefrin, Peran
dopamin.
4. Depresi diklasifikasikan menjadi : Gangguan depresi mayor, Gangguan depresi minor,
Gangguan distimik, Gangguan bipolar 1 (paling banyak episode depresi), Gangguan
penyesuaian dengan mood depresi.
5. Terapi farmakologi dengan Antidepresan yaitu : Selective Serotonin Reuptake Inhibitors
(SSRI), Serotonine Norepinephrine Reuptake Inhibitor (SNRI), Monoamine Oxidase
Inhibitors (MAOIs), Trisiklik (TCA) dan terapi non farmakologi yaitu : Terapi
electroconvulsive (ECT) , Terapi cahaya terang .
19
DAFTAR PUSTAKA
Apriani, Udiyono & Yuliawati. (2017) .Gambaran Tingkat Depresi Pada Pria Usia 30-50 Tahun
Yang Mengalami Andropause Di Kecamatan Tembalang Kota Semarang (Studi Di Kecamatan
Tembalang). Semarang : Universitas Diponegoro
DiPiro j.t., Wells B.G., Schwinghammer T.L., and DiPiro C. V. (2015). Pharmacotherapy
Handbook, Ninth Edit. Inggris : McGraw-Hill Education Companies
Ningtyas dkk. (2018). Revew Artikel : Farmakoterapi Depresi dan Pengaruh Jenis Kelamin
terhadap Efikasi Antidepresan. Bandung : Universitas Padjajaran
Dirgayunita (2016). Depresi: Ciri, Penyebab dan Penanganannya. Probolinggo : Sekolah Tinggi
Agama Islam Muhammadiyah
Sadock, B. J. & Sadock, V. A., 2010. Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.JAMA. 287: 203-20
Irawan. (2017). Gangguan Depresi Pada Lanjut Usia. Kalimantan Selatan : Dokter Internship
RSUD Datu Sanggul
Yerkade & Siddiqui. 2017. A Drug Utilization Study of Antidepressant Drug in A Tertiary Care
Hospital. International Journal of Basic & Clinical Pharmacology. 6(6): 1405-1409.
Dziwota and Olajossy. 2016. Vortioxetine– The new antidepressant agent with precognitive
properties. Acta Pol Pharm. 73(6): 1433-1437.
20
Suzuki et al. 2015. Screening for Major Depressive Disorder with the Patient Health Questionnaire
(PHQ-9 dan PHQ-2) in an Outpatient Clinic Staffed by Primary Care Physicians in Japan: A
Case Control Study. Journal PLOS One. 10(3)
21