Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN

SMALL GROUP DISCUSSION LBM 1


BLOK SISTEM PSIKIATRI
“BINGUNG”

DISUSUN OLEH :

NAMA : WIWIK SARI APRIANTURI


NIM : 017.06.0038
KELAS :A
KELOMPOK :2

DOSEN PEMBIMBING
dr. Rizki Mulianti, S.Ked
dr. Rohmania Setiarini, Sp.N

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR MATARAM
2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya
dan dengan kemampuan yang kami miliki, penyusunan makalah SGD (Small Group
Discussion) LBM 1 yang berjudul “BINGUNG” dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah ini membahas mengenai hasil SGD lembar belajar mahasiswa (LBM) 1 yang
berjudul “BINGUNG” meliputi seven jumps step yang dibagi menjadi dua sesi diskusi.
Penyusunan makalah ini tidak akan berjalan lancar tanpa bantuan dari berbagai pihak, maka
dari itu dalam kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih kepada:
1. dr. Rizki Mulianti, S.Ked dan dr. Rohmania Setiarini, Sp.N sebagai dosen fasilitator
kelompok SGD 2 yang senantiasa memberikan saran serta bimbingan dalam
pelaksanaan SGD.
2. Sumber literatur dan jurnal ilmiah yang relevan sebagai referensi kami dalam
berdiskusi.
3. Keluarga yang kami cintai yang senantiasa memberikan dorongan dan motivasi.
Mengingat pengetahuan dan pengalaman kami yang terbatas untuk menyusun makalah
ini, maka kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan demi
kesempurnaan makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.

Mataram, 18 Desember 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………….. ii

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………… iii

BAB I

PENDAHULUAN………………………………………………………………………… 1

BAB II

PEMBAHASAN…………………………………………………………………………... 3

BAB III

PENUTUP…………………………………………………………………………………. 8

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………... 9
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Data Tutorial
Hari/tanggal Sesi I : Kamis, 16 Desember 2021
Hari/tanggal Sesi II : Sabtu, 18 Desember 2021
Tutor : dr. Rizki Mulianti, S.Ked.
dr. Rohmania Setiarini, Sp.N
Ketua : Putu Kirana Pradnyaswari
Sekretaris : Kadek Dyah Kirana Pusparani

1.2 Skenario
“BINGUNG”

Skenario 1
Andi bercerita mengenai kakeknya yang berusia 60 tahun dan sedang dirawat di
ruang rawat inap covid-19 sejak 1 minggu yang lalu. Saat ini kondisi kakeknya cukup
memprihatinkan. Beberapa kali kesadaran menurun, gelisah, mencoba mencabut selang
oksigen dan infus yang terpasang. Selain itu, tidak mengenali keluarga yang menunggui
serta tidak dapat tenang. Kakeknya juga mulai bicara melantur dan sering bicara sendiri.
Kondisi seperti ini baru pertama kali dialami oleh kakeknya. Menurut dokter kakeknya
mengalami disorientasi dan distorsi persepsi, sehingga perilakunya seperti itu. Dari kasus
ini kelompok kami mndapatkan 2 diagnosis diferensial ialah delirium dan demensia.

1.3 Rangkuman Permasalahan


Kesadaran adalah kondisi ketika seseorang dapat memberikan respons yang sesuai
terhadap lingkungan dan orang sekitarnya. Kesadaran ditandai dengan pemahaman
seseorang terhadap siapa dirinya. Penurunan kesadaran adalah kondisi Ketika seseorang
kurang atau tidak dapat memberi respons terhadap rangsangan apapun. Kondisi ini bisa
disebabkan oleh kelelahan, cedera, penyakit atau efek samping obat-obatan. Penurunan
kesadaran yang terjadi ada kasus diatas kemungkinann disebabkan karena hypoxia atau
kekurangan oksigen di otak yang mengakibatkan saturasi oksigen menurun. Gelisah
adalah perasaan yang wajar dan sebagai respon tubuh akibat stress, rasa gelisah yang
berlebihan bisa jadi ciri adanya gangguan kesehatan mental. Ketidaktenangan secara
psikologis yang dialami dapat disebabkan oleh gangguan psikis murni atau ada masalah
organ yang melatarbelakangi beberapa kondisi yang dapat timbul (Ferry, 2020).
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Deskripsi Masalah


Apa yang menyebabkan keluhan kakek pada scenario dan apakah terdapat
hubungan dengan penyakitnya, dari keluhan yang ada kemungkinan kakeknya andi
mengalami delirium dengan covid-19, delirium merupakan gangguan sistem saraf pusat
berupa gangguan kognitif dan berkurangnya kesadaran terhadap lingkungan, kondisi ini
terjadi akibat disfungsi otak. Terdapat juga berbagai gejala lainnya seperti kebingungan,
disorientasi, berbicara mengigau, sulit berkonsentrasi, gerlisah serta halusinasi. Penyebab
keluhan yang terjadi pada kakek karena multifactor, salah satunya kurangnya oksigen
dalam tubuh atau hipoksia. Delirium dengan covid-19 banyak ditemukan pada orang
lanjut usia atau diatas 65 tahun, terutama pada orang lanjut usia yang lebih lemah,hal ini
dikarenakan sistem pertahanan tubuh yang dimiliki mulai menurun, dan mudahnya
terinfeksi oleh berbagai virus dan bakteri disekitar akibat kurangnya daya tahan tubuh
yang mempercepat berkembangnya suatu penyakit. Penanganan yang diberikan ialah
memberi kenyaman pada pasien, lalu melakukan pendekatan dan mengatasi penyebab
penyakitnya.
2.2 Pembahasan Learning Issue

Dari pembahasan kasus diatas kelompok kami mendapatkan diagnosis diferensial


delirium dan demensia.

Delirium atau acute confusional state adalah gangguan akut (jam sampai hari) dan
fluktuatif dari kesadaran, persepsi, maupun fungsi kognitif. Klasifikasi delirium
berdasarkan aktifitas psikomotor (tingkat/kondisi kesadaran, aktifitas perilaku) : 1.
Hiperaktif → delirium hiperaktif merupakan delirium yang paling sering terjadi. Pada
pasien terjadi agitasi, psikosis, labilitas mood, penolakan untuk terapi medis, dan tindakan
dispruptif lainnya. Kadang diperlukan pengawas karena pasien mungkin mencabut selang
infus atau kathether, atau mencoba pergi dari tempat tidur. Pasien delirium karena
intoksikasi, obat antikolinergik, dan alkohol withdrawal biasanya menunjukkan perilaku
tersebut. 2. Hipoaktif → adalah bentuk delirium yang paling sering, tapi sedikit dikenali
oleh para klinisi. Pasien tampak bingung, lethargia, dan malas. Hal itu mungkin sulit
dibedakan dengan keadaan fatigue dan somnolen, bedanya pasien akan dengan mudah
dibangunkan dan dalam berada dalam tingkat kesadaran yang normal. Rangsang yang
kuat diperlukan untuk membangunkan , biasanya bangun tidak komplet dan transient.
Penyakit yang mendasari adalah metabolit dan ensepalopati.Pencetus delirium sangat
bervariasi sehingga perlu dipikirkan berbagai kemungkinan penyebabnya meliputi
kelainan vascular, infeksi, trauma, autoimun, metabolic-endokrin, neoplasma,
degenerative, dan kongenital. Penyebab tersering adalah infeksi , gangguan elektrolit dan
cairan, perubahan metabolic, gangguan pada sistem saraf pusat (tumor, perdarahan,
stroke), penyakit jantung, paru, hati, dan ginjal, intoksikasi obat, putus zat, dan kondisi
pasca operasi. Berbagai kondisi tersebut menyebabkan disregulasi sistem saraf sehingga
terjadi ketidakseimbangan neurotransmitter akut. Adapun faktor predisposisi terjadinya
delirium antara lain: usia, kerusakan otak, riwayat delirium, ketergantungan alcohol,
diabetes, kanker, gangguan panca indera, malnutrisi, alcohol, obat-obatan dan bahan
beracun, efek toksik, dll. Gejala dan tanda dapat bervariasi tergantung pada masing-
masing individu. Mood, persepsi, dan tingkah-laku yang abnormal merupakan gejala-
gejala psikiatrik umum; tremor, asteriksis, nistagmus inkoordinasi, inkontinensia urin,
dan disfasia merupakan gejala-gejala neurologik umum. Gejala yang dapat ditemui antara
lain gangguan kognitif global berupa gangguan memori (recent memory= memori jangka
pendek), gangguan persepsi (halusinasi, ilusi), atau gangguan proses piker (disorientasi
waktu, tempat,orang). Gejala yang mudah diamati namun justru terlewatkan adalah bila
terdapat komunikasi yang tidak relevan, atau autonamnesis yang sulit dipahami; kadang-
kadang pasien terlihat seperti mengomel terus atu terdapat ideide pembicaraan yang
melompat-lompat. Gejala lain meliputi perubahan aktifitas psikomotor baik
hipoaktif(25%), hiperaktif (25%) maupun campuran keduanya (35%); sebagian pasien
(15%) menunjukkan aktivitas psikomotor normal; gangguan siklus tidur (siang hari
tertidur sedangkan malam hari terjaga).

Demensia adalah sindrom neurodegeneratif yang timbul karena adanya kelainan yang
bersifat kronis dan progesifitas disertai dengan gangguan fungsi luhur multiple seperti
kalkulasi, kapasitas belajar, bahasa, dan mengambil keputusan. Demensia terjadi karena
kematian neuron diotak yang bersifat multifactorial, baik karena kondisi degenerative
maupun infark. Akibatnya terjadi hambatan transmisi neurotransmitter yang
menimbulkan berbagai gejala demensia. Gejala utama ialah kesadaran yang menurun.
Gejala – gejala lain 10 ialah : penderita tidak mampu mengenal orang dan berkomunikasi
dengan baik, ada yang bingung atau cemas, gelisah dan panik, ada pasien yang terutama
berhalusinasi dan ada yang hanya berbicara komat – kamit dan inkoheren. Onset biasanya
mendadak, sering dalam beberapa jam atau hari. Delirium sering dapat ditelusuri ke salah
satu atau lebih faktor yang berkontribusi, seperti penyakit medis yang parah atau kronis,
obat-obatan, infeksi, trauma kepala, operasi, obat atau alcohol.

Dari pembahasan diagnosis diferensial diatas kelompok kami sepakat memilih


diagnosis pasien adalah delirium, dilihat dari keluhan yang dirasakan oleh pasien. Untuk
mendiagnosis pasien dengan delirium haru terdapat 3 dari ke 5 kriteria tersebut :

1. Gangguan kesadaran berupa ketidakmampuan memfokuskan, mempertahankan, dan


mengalihkan perhatian
2. Gangguan kognitif dan persepsi tidak berkaitan dengan demensia
3. Gangguan psikomotor berupa hipo/heperaktivitas
4. Gangguan siklus tidur berupa insomnia atau siklus terbalik (tidur di siang hari)
5. Gangguan emosi berupa ansietas, takut, depresi, mudah marah, apatis dan euphoria.

Dari kasus diatas penentuan diagnosis multiaksil dari kasus scenario ialah :

Aksis I : F00-F09 : Gangguan mental organic (+ simtomatik)


Aksis II : Z 03.2 : Tidak ada diagnosis
Aksis III : A00-B99 : Penyakit infeksi dan parasite tertentu ( infeksi virus Covid-19)
Aksis IV : Z 03.2 : Tidak ada diagnosis
Aksis V : 60-51 : Gejala sedang (moderate), disabilitas sedang.

Delirium terdapat 14-56% pasien rawat dengan 30% darinya mengalami'sindroma


parsial' (memenuhi gambaran delirium tanpa memenuhi criteria diagnosis DSM-IV).
Rata-rata pasien mengalami delirium pada umur 75 tahun,dengan sebagian sedang
memerlukan perawatan rumah sakit dan timbul banyak tanda(sign) lagi setelah tiga hari
atau lebih perawatan atau pembedahan. Delirium sering dijumpai pada usia lanjut.
Kondisi ini ditemukan pada 30% kasus penyakit berat dan 10-50% kasus pascaoperasi. Di
RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, delirium pada usia lanjut terjadi pada 88,2%
kasus gawat darurat dan 90,7% di ruang perawatan dan total pasien delirium.

Delirium merupakan fenomena kompleks, multifaktorial, dan mempengaruhi berbagai


bagian sistem saraf pusat. Hipotesis terbaru menunjukkan defisiensi jalur kolinergik dapat
merupakan salah satu faktor penyebab delirium. Delirium yang diakibatkan oleh
penghentian substansi seperti alkohol, benzodiazepin, atau nikotin dapat dibedakan
dengan delirium karena penyebab lain. Pada delirium akibat penghentian alkohol terjadi
ketidakseimbangan mekanisme inhibisi dan eksitasi pada system neurotransmiter.
Konsumsi alkohol secara reguler dapat menyebabkan inhibisi reseptor NMDA (N-
methyl-D-aspartate) dan aktivasi reseptor GABA-A (gammaaminobutyric acid-A).
Disinhibisi serebral berhubungan dengan perubahan neurotransmitter yang memperkuat
transmisi dopaminergik dan noradrenergik, adapun perubahan ini memberikan
manifestasi karakteristik delirium, termasuk aktivasi simpatis dan kecenderungan kejang
epileptik. Pada kondisi lain, penghentian benzodiazepine menyebabkan delirium melalui
jalur penurunan transmisi GABA-ergik dan dapat timbul kejang epileptik. Delirium yang
tidak diakibatkan karena penghentian substansi timbul melalui berbagai mekanisme, jalur
akhir biasanya melibatkan defisit kolinergik dikombinasikan dengan hiperaktivitas
dopaminergik. Perubahan transmisi neuronal yang dijumpaipada delirium melibatkan
berbagai mekanisme, yang melibatkan tiga hipotesis utama, yaitu:

1. Efek langsung → Beberapa substansi memiliki efek langsung pada sistem


neurotransmiter, khususnya agen antikolinergik dan dopaminergik. Lebih lanjut,
gangguan metabolik seperti hipoglikemia, hipoksia, atau iskemia dapat langsung
mengganggu fungsi neuronal dan mengurangi pembentukan atau pelepasan
neurotransmiter. Kondisi hiperkalsemia pada wanita dengan kanker payudara
merupakan penyebab utama delirium.
2. Inflamasi → Delirium dapat terjadi akibat gangguan primer dari luar otak, seperti
penyakit infl amasi, trauma, atau prosedur bedah. Padabeberapa kasus, respons infl
amasi sistemik menyebabkan peningkatan produksi sitokin, yang dapat mengaktivasi
mikroglia untuk memproduksi reaksi infl amasi pada otak. Sejalan dengan efeknya
yang merusak neuron, sitokin juga mengganggu pembentukan dan pelepasan
neurotransmiter. Proses infl amasi berperan menyebabkan delirium pada pasien
dengan penyakit utama di otak (terutama penyakit neurodegeneratif )
3. Stress → Faktor stres menginduksi sistem saraf simpatis untuk melepaskan lebih
banyak noradrenalin, dan aksis hipotalamuspituitari- adrenokortikal untuk melepaskan
lebih banyak glukokortikoid, yang juga dapat mengaktivasi glia dan menyebab kan
kerusakan neuron.
Faktor resiko terjadinya delirium ialah adanya gangguan kognitif sebelumnya
(demensia) terjadi pada 22-89% kasus, usia lanjut, penyakit perkinson, riwayat stroke
atau cidera kepala, penyakit kronis, malnutrisi, dan imobilisasi.

Pemeriksaan penunjang laboratorium dan radiologi yang dapat dilakukan pada


penderita delirium sesuai dengan dugaan penyebabnya, fungsi lumbal dilakukan pada
kecurigaan infeksi dan EEG dilakukan jika dicurigai terjadinya kejang.

Tatalaksana yang dilakukan ialah atasi penyebab penyakit, hindari pengekangan fisis,
cegah dehidrasi dan berikan nutrisi adekuat, berikan kenyamanan yang baik pada pasien,
reorientasi (waktu, tempat, dan orang), berikan edukasi kepada keluarga tentang
pentingnya dukungan dan kondisi yang nyaman , apabila kondisi menjadi gaduh gelisah
berikan haloperidol dengan dosis 2-5mg IM/IV dapat diulang setiap 30 menit (dosis
maksimal 30 mg/hari)

Komplikasi yang dapat terjadi seperti depresi, disorientasi, psikosis, hingga gangguan
tidur. Prognosis pasien berkaitan dengan penyakit yang mendasarinya, apabila ditangani
dengan segara dan tepat maka hasilnya akan bonam (baik) apabila tidak maka hasilnya
akan malam (memburuk). Mortalitas pasien dengan delirium mencapai 25-30%.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Dari hasil diskusi LBM 1 disimpulkan bahwa pasien dengan keluhan pada
scenario, harus diperhatikan dengan baik, karena delirium sering muncul sebagai
keluhan utama atau tak jarang justru terjadi pada hari pertama pasien dirawat,
berfluktuasi dengan gejala tidak khas, dan sering tidak terdiagnosis, padahal kondisi ini
dapat dicegah. Patofisiologi delirium melibatkan berbagai mekanisme dengan tiga
hipotesis utama, yaitu efek langsung pada sistem neurotransmiter, inflamasi, dan stres.
Delirium mempunyai berbagai macam penyebab, penyebab utama adalah berasal dari
penyakit susunan saraf pusat (seperti epilepsy), penyakit sistemik (seperti gagal
jantung), dan intoksikasi atau reaksi putus obat maupun zat toksik. Penyebab delirium
terbanyak terletak diluar sistem saraf pusat, misalnya gagal ginjal dan hati. Berdasarkan
gejala dan tanda klinis serta pemeriksaan yang dilakukan pada pasien, kelompok kami
menyimpulkan bahwa diagnosis kerja pasien tersebut adalah delirium. Untuk prognosis
pasien delirium bergantung pada jangka waktu atau lamanya pasien mengalami
delirium, semakin panjang jangka waktunya maka semakin buruk pula prognosis yang
dapat terjadi apabila ditangani dengan segera dan tepat maka hasilnya akan membaik
(bonam).
DAFTAR PUSTAKA

Andy Luman. 2015. Sindrom Delirium. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara

dr. Ketut Widyaastuti, Sp.S dan dr. Mahasena. 2017. Delirium. FK UNUD

Emmday, D. Prabhu, dan Tadi, Prasanna. 2020. Demensia. NCBI: StatPearls.

Ferry Liwang. 2020. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II Edisi V. Media Aesculapius

Kaplan, H. I., Sadock, B. J. 2010. Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi 2. EGC: Jakarta.

Maramis, W. F, dan Maramis, A. A. 2010. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2.


Surabaya: Airlangga University Press.

Maslim, Rusdi. 2013. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III dan
DSM-V. Cetakan 2 – Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran
Unika Atma Jaya. Jakarta: PT Nuh Jaya.

Anda mungkin juga menyukai