Anda di halaman 1dari 11

ASUHAN KEPERAWATAN LANSIA

DENGAN GANGGUAN MENTAL DELIRIUM


Disusun Dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah

Keperawatan Gerontik

Dosen Pengampu : Ibu Rika Maya Sari, M.Kes

Disusun oleh kelompok 4/3B :

1. Yopi Kartika
2. Fajriah Dewi
3. Alfi Oktavia (17613074)
4. Ahmad Ghalib (17613066)
5. Almas Nabila (17613063)
6. Lia Hiyasari (17613058)
7. Uswatun Khasanah (17613051)
8. Evita Widyawati (17613044)
9. Eko Adytia (17613040)

D III KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO
2019
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih Lagi Maha

Penyayang, kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah

melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas pembuatan makalah yang berjudul “ ASUHAN KEPERAW

ATAN LANSIA DENGAN GANGGUAN DELIRIUM” makalah ini dibuat

untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Gerontik.

Dalam penulisan makalah ini kami menyampaikan ucapan

terimakasih yang tak terhingga kepada yang terhormat :

1. Bapak Dr H. Sulton M,Si selaku rektor Universitas Muhammadiyah

Ponorogo yang telah mendukung pembuatan makalah ini.

2. Bapak Sulistyo Andarmoyo, S.Kep.,M.kes selaku dekan fakultas ilmu

kesehatan

3. Ibu Rika Maya Sari, M.Kes selaku kaprodi D III Keperawatan

4. Ibu Ririn Nasriati, M. Kep selaku Dosen Wali 3B DIII Keperawatan

5. Ibu Rika Maya Sari, M.Kes Dosen Mata Kuliah Keperawatan

Gerontik.

6. Kedua orang tua kami yang senantiasa selalu mendukung kami.

7. Semua rekan-rekan kelas 3B DIII Keperawatan yang telah membantu

kegiatan dalam pembuatan makalah ini.

Kami sebagai penulis berharap semoga makalah ini dapat

bermanfaat bagi pembaca. Mengingat kemampuan yang kami miliki,

dalam penulisan makalah ini tentunya masih banyak kekurangan baik pada

materi maupun teknis penulisan materi. Untuk itu kritik dan saran yang

membangun dari semua pihak sangat kami harapkan, demi

penyempurnaan pembuatan makalah ini.


Ponorogo, 22 November 2019

Penulis

DAFTAR ISI

BAB 1
PEDHALUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Gangguan kognitif merupakan gangguan atau kerusakan pada fungsi

otak yanglebih tinggi dan dapat memeberikan efek yang merusak pada

kemampuan individu untuk melakukan funsi sehari hari sehingga individu

tersebut lupa nama anggota keluarga atautidak mampu melakukan tugas

rumah tangga harian atau melakukan hygiene personal. Gangguan kognitif

yang paling sering ditemui meliputi Demensia dan Delirium. Banyak orang

mensalah artikan antara Demensia, Delirium dan Depresi. Juga tentangrespon

kognitif yang maladaptive pada seseorang. Hal ini merupaka tugas

perawatsebagai tenaga professional yang mencakup bio-psiko-sosial yang

memberikan asuhankeperawatan khususnya pada klien dengaan gangguan kognitif

yang akan dibahas olehkelompok kali ini. Delirium dan demensia merupakan

kelainan yang sering ditemukan pada pasienpada semua usia, namun kelainan

ini paling sering ditemukan pada pasien usia lanjut.


Delirium adalah suatu keadaan kebingungan (confusion) mental yang

dapat disertaifluktuasi kesadaran, kecemasan, halusinasi, ilusi, dan waham

(delusi). Kelainan ini dapatmenyertai infeksi, kelainan metabolik, dan

kelainan medis atau neurologis lain atauberhubungan dengan penggunaan

obat-obatan atau gejala putus obat. Demensi, sebaliknya, merupakan kondisi

dimana memori dan fungsi kognitif lain terganggusehingga kegiatan sosial

normal atau pekerjaan menjadi terhambat. Sebagian besardemensia

merupakan hasil dari penyakit degenerasi otak namun stroke dan infeksi juga

dapat menimbulkan demensia Rara.


1.2. RUMUSAN MASALAH
2.1. Apa pengertian dari Delirium?
2.2. Bagaimana etiologi dari delirium ?
2.3. Bagaimana Manifestasi klinis Delirium?
2.4. Apa klasifikasi dari delirium ?
2.5. Bagaimana Patofisiologi Delirium?
2.6. Bagaimana proses Asuhan Keperawatan Delirium?
1.3. TUJUAN
1.3.1. Menjelaskan Pengertian Dari Delirium
1.3.2. Menjelaskan Bagaimana Etilogi Dari Delirium
1.3.3. Menjelaskan Tentang Manifestasi Klinis Dari Delirium
1.3.4. Menenjlaskan Tentang Klasifikasi Dari Delirium
1.3.5. Menjelaskan Tentang Patofisiologi Dari Delirium
1.3.6. Menjelaskan Tentang Asuhan Keperawatan Pada Pasien Lansia

Dengan Gangguan Delirium

BAB 2

TINJAUN PUSTAKA

2.1. Definni Delirium


Delirium adalah diagnosis klinis, gangguan otak difus yang

dikarasteristikkan dengan variasi kognitif dan gangguan tingkah laku.

Delirium ditandai oleh gangguan kesadaran, biasanya terlihat bersamaan

dengan fungsi gangguan kognitif secara global. Kelainan mood, persepsi

dan perilaku adalah gejala psikiatrik yang umum; tremor, asteriksis,

nistagmus, inkoordinasi dan inkontinensia urin merupakan gejala neurologis

yang umum.
Biasanya delirium mempunyai onset yang mendadak (beberapa

jam atau hari), perjalanan yang singkat dan berfluktuasi dan perbaikan yang
cepat jika faktor penyebab diidentifikasi dan dihilangkan. Tetapi masing-

masing ciri karakteristik tersebut dapat bervariasi pada pasien individual.

Delirium dapat terjadi pada berbagai tingkat usia namun tersering pada usia

diatas 60 tahun. Menggigau merupakan gejala sementara dan dapat

berfluktuasi intensitasnya, kebanyakan kasus dapat sembuh dalam waktu 4

minggu atau kurang. Akan tetapi jika delirium dengan fluktuasi yang

menetap lebih dari 6 bulan sangat jarang dan dapat menjadi progresif kearah

dementia.
2.2. Etiologi Delirium

Bila membicarakan etiologi delirium, maka faktor predisposisi dibedakan

dengan faktor presipitasi. Faktor predisposisi membuat seseorang lebih rentan

mengalami delirium, sedangkan faktor presipitasi merupakan faktor penyebab

somatik delirium.

1. Faktor Predisposisi

Faktor predisposisi membuat seseorang lebih rentan mengalami

delirium. Faktor predisposisi gangguan otak organik: seperti demensia,

umur lanjut, kecelakaan otak seperti stroke, penyakit parkinson, gangguan

penglihatan dan pendengaran, ketidakmampuan fungsional, hidup dalam

institusi, ketergantungan alkohol, isolasi sosial, depresi, gangguan sensorik

dan gangguan multiple lainnya, dan riwayat delirium post-operative

sebelumnya.

2. Faktor Presipitasi

Faktor presipitasi merupakan faktor penyebab somatik delirium.

Termasuk perubahan lingkungan (perpindahan ruangan), pneumonia,


infeksi, dehidrasi, hipoglikemia, imobilisasi, malagizi, dan pemakaian

kateter buli-buli. Penggunaan anestesia juga meningkatkan resiko

delirium, terutama pada pembedahan yang lama. Demikian pula pasien

lanjut usia yang dirawat di bagian ICU beresiko lebih tinggi.

2.3. Manifestasi Klinis Delirium

Berdasarkan kriteria DSM-IV, delirium dicirikan oleh gejala yang

mulainya sangat cepat (biasanya dalam beberapa jam sampai hari) dan

cenderung berfluktuasi, dengan perubahan tingkat kesadaran,

ketidakmampuan berfokus, perhatian yang bertahan atau teralih, dan

perubahan kognitif (seperti gangguan memori, disorientasi, gangguan

bahasa) atau terjadinya gangguan perseptual hanya dapat dijelaskan oleh

demensia. Lebih lanjut, terdapat bukti dari anamnesis, pemeriksaan fisik,

atau temuan laboratoris bahwa gangguan tersebut disebabkan oleh

konsekuensi fisiologis langsung dari suatu kondisi medis umum, atau

intoksikasi/withdrawal senyawa, atau karena berbagai penyebab (Popeo,

2011; Martins dan Fernandes, 2012 dalam Aggraini, 2014).

Awal perjalanan yang tiba-tiba dan akut adalah gambaran sentral

delirium. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memastikan tingkat fungsi

kognitif dasar pasien serta perjalanan perubahan kognitifnya. Kesadaran

sebagai fungsi otak memungkinkan kewaspadaan terhadap dirinya sendiri

serta kewaspadaan terhadap lingkungannya dan dicirikan oleh dua aspek

utama: tingkat dan isi kesadaran. Tingkat kesadaran mencerminkan

bangkitan kewaspadaan: bangun, tidur, atau koma. Isi kesadaran, atau

bagiannya, dialami oleh subyek sebagai kewaspadaan terhadap dirinya


sendiri serta lingkungannya saat subyek bangun dan sadar baik. Isi

kesadaran dan kognitif hanya dapat diperiksa jika subyek minimal memiliki

tingkat kesadaran tertentu (Browne, 2010; Popeo, 2011; Martins dan

Fernandes, 2012 dalam Septian, 2015).

Pada delirium, gangguan kesadaran adalah salah satu manifestasi

paling awal, yang sering berfluktuasi, terutama di malam hari saat stimulasi

lingkungan berada pada titik terendah. Tingkat kesadaran dapat berflukutasi

pada yang paling ekstrim untuk pasien yang sama, atau dapat muncul

dengan tanda yang lebih ringan seperti mengantuk atau gangguan tingkat

perhatian. Faktanya, pasien dapat tampak benar benar mengantuk, letargi,

atau bahkan semi-koma pada kasus yang lebih berat.

2.4. Klasifikai Delirium


Klasifikasi sindrok delirium berdasarkan aktifitas psikomotor

(tingkat/kondisi kesadaran, aktifitas perilaku) yakni:


1. Hiperaktif Delirium hiperaktif merupakan delirium yang paling

sering terjadi. Pada pasien terjadi agitasi, psikosis, labilitas mood,

penolakan untuk terapi medis, dan tindakan dispruptif lainnya.

Kadang diperlukan pengawas karena pasien mungkin mencabut

selang infus atau kathether, atau mencoba pergi dari tempat tidur.

Pasien delirium karena intoksikasi, obat antikolinergik, dan alkohol

withdrawal biasanya menunjukkan perilaku tersebut.


2. Hipoaktif Adalah bentuk delirium yang paling sering, tapi sedikit

dikenali oleh para klinisi. Pasien tampak bingung, lethargia, dan

malas. Hal itu mungkin sulit dibedakan dengan keadaan fatigue dan

somnolen, bedanya pasien akan dengan mudah dibangunkan dan


dalam berada dalam tingkat kesadaran yang normal. Rangsang yang

kuat diperlukan untuk membangunkan , biasanya bangun tidak

komplet dan transient. Penyakit yang mendasari adalah metabolit

dan ensepalopati.
2.5. Bagaimana patofisiologi dari delirium ?
Patofisiologi terjadinya delirium ada enam mekanisme yang diperkirakan

terlibat yaitu :
1. Neuroinflamasi
Inflamasi perifer (akibat infeksi, operasi, atau trauma) dapat

menginduksi sel parenkim otak untuk melepaskan sitokin inflamasi.

Akibatnya, terjadi disfungsi neuron dan sinaps. Pada pasien delirium,

ditemukan peningkatan kadar CRP, IL-6, TNF-α, IL-1RA, IL-10, dan

IL-8.
2. Neuronal Aging
Proses penuaan menyebabkan berbagai perubahan pada otak, yaitu

penurunan aliran darah dan densitas vaskular; berkurangnya neuron;

perubahan pada sistem transduksi sinyal; serta perubahan

neurotransmiter pengatur stres (stress-regulating neurotransmitters).

Perubahan ini dapat menyebabkan defisit kognitif, termasuk delirium.

Hipotesis ini juga menjelaskan kerentanan kelompok lansia mengalami

delirium saat mengalami distres.


3. Stres Oksidatif
Distres pada tubuh (misalnya: infeksi, sakit berat, atau kerusakan

jaringan) akan meningkatkan konsumsi oksigen sehingga ketersediaan

oksigen dalam darah menurun. Tubuh melakukan kompensasi dengan

menurunkan metabolisme oksidatif di otak. Akibatnya, terjadi disfungsi

otak yang menimbulkan gejala delirium. Kondisi ini juga memicu

terbentuknya oksigen dan nitrogen reaktif yang memperparah kerusakan


jaringan otak. Kerusakan ini bersifat menetap dan menyebabkan

komplikasi berupa penurunan kognitif permanen.


4. Perubahan Neurotransmiter

Hipotesis ini menyatakan bahwa delirium disebabkan oleh

ketidakseimbangan neurotransmiter, terutama asetilkolin dan dopamin.

1. Asetilkolin
Kadar asetilkolin ditemukan menurun pada pasien delirium. Kadar

ini kembali normal setelah pasien tidak lagi delirium. Selain itu,

obat-obatan antikolinergik (penghambat asetilkolin) terbukti dapat

menyebabkan delirium.
2. Dopamin
Dopamin dan asetilkolin memiliki hubungan resiprokal

(berlawanan). Terjadi peningkatan kadar dopamin pada delirium.

Pemberian obat golongan penghambat dopamin juga dapat

mengurangi gejala delirium.


3. Neurotransmiter Lain
Serotonin meningkat pada ensefalopati hepatik dan delirium septik.

Agonis serotonin (obat golongan halusinogen) juga dapat

menyebabkan delirium. Glutamat dalam kadar tinggi berhubungan

dengan kejadian delirium. Pada beberapa kondisi, misalnya hipoksia

dan gagal hati, terjadi peningkatan Ca2+. Akibatnya, terjadi

pelepasan glutamat berlebihan yang merusak neuron. Pada delirium,

terjadi perubahan kadar gamma-aminobutyric acid (GABA) dan

histamin. Perubahan dapat berupa peningkatan atau penurunan,

tergantung penyebab delirium.

5. Neuroendokrin
Hipotesis ini menyatakan bahwa delirium merupakan reaksi stres akut

akibat kadar kortisol yang tinggi. Hormon ini berhubungan dengan

peningkatan sitokin proinflamasi di otak dan kerusakan neuron.

Hipotesis neuroendokrin juga menjelaskan timbulnya delirium pada

pasien yang mendapat glukokortikoid eksogen.


6. Disregulasi Diurnal
Gangguan siklus sirkadian dapat memengaruhi kualitas dan fisiologi

tidur. Kekurangan tidur dapat memicu munculnya delirium, defisit

memori, dan psikosis. Melatonin adalah hormon pengatur siklus

sirkadian. Suatu studi menunjukkan adanya hubungan antara kadar

melatonin yang rendah dan kejadian delirium. Studi lain mengatakan

bahwa pemberian melatonin eksogen pada pasien rawat inap

mengurangi insiden delirium.


2.6. Bagaimana proses pembuatan Asuhan Keperawatan pada pasien dengan gangguan

Delirium?

Anda mungkin juga menyukai