Anda di halaman 1dari 42

MAKALAH

KEPERAWATAN JIWA

Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Delirium dan Demensia

Oleh Kelompok 1 – A3 :

Diah Ayu Mustika (131511133080)

Maria Nerissa Arviana (131511133081)

Farhan Ardiansyah (131511133082)

Meilia Dwi Cahyani (131511133083)

Homsiyah (131511133084)

Aisyah Niswatus Sakdiyah (131511133085)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

2017
Kata Pengantar

Segala Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan rahmat-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah Small Group Discussion “Asuhan Keperawatan pada
Klien dengan Delirium dan Demensia” sebagai tugas dalam pembelajaran mata kuliah
Keperawatan Jiwa I.

Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kami
dalam pembuatan makalah ini sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan sebaik
mungkin. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna karena pengetahuan
dan pengalaman penulis yang cukup terbatas. Kami berharap makalah ini dapat memberi
wawasan pada pembacanya.

Akhir kata kami mengharapkan kritik dan saran sebagai bahan perbaikan untuk
makalah ini supaya menjadi lebih baik. Kami memohon maaf apabila terdapat kesalahan
ejaan pada kata maupun penyusunan dalam makalah ini yang tidak berkenan bagi para
pembaca, selamat membaca dan semoga bermanfaat.

Surabaya, 08 April 2017

Tim Penulis

i
Daftar isi

Halaman Judul

Kata Pengantar..............................................................................................................i

Daftar Isi.......................................................................................................................ii

Bab 1 Pendahuluan.......................................................................................................1

1.1 Latar Belakang…........................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah…...................................................................................2

1.3 Tujuan.........................................................................................................2

1.4 Manfaat.......................................................................................................2

Bab 2 Tinjauan Pustaka................................................................................................3

2.1 Delirium......................................................................................................3

2.2 Demensia....................................................................................................15

2.3 Perbandingan Delirium dengan Demensia.................................................29

Bab 3 Studi Kasus.........................................................................................................30

Bab 4 Penutup...............................................................................................................40

4.1 Kesimpulan.................................................................................................40

Daftar Pustaka...............................................................................................................41
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sekitar 10% orang tua yang berusia lebih dari 65 tahun dan 50% pada usia yang
lebih dari 85 tahun akan mengalami gangguan kognitif, dimana akan dijumpai gangguan
yang ringan sampai terjadinya demensia (Yaffe dkk, 2001). Fungsi kognitif yang buruk
juga merupakan suatu prediktor kematian pada semua usia dan juga dapat dilihat sebagai
penanda status kesehatan secara umum. Aktivitas fisik mempunyai pengaruh yang
bermanfaat pada fungsi kognitif usia paruh baya. Dan juga merupakan sebagai
pencegahan terhadap gangguan fungsi kognitif dan demensia (Singh-Manoux dkk,
2005).
Delirium merupakan sebuah sindrom neuropsikiatrik yang kompleks dengan onset
yang akut dan berfluktuasi. Sindrom ini mempengaruhi kesadaran dan fungsi kognitif
yang mungkin diikuti oleh peningkatan aktivitas psikomotor. Selain itu, delirium juga
mempengaruhi atensi dan beberapa pasien ada yang mengalami gangguan persepsi.
Demensia merupakan suatu sindroma penurunan kemampuan intelektual progresif
yang menyebabkan deteriorasi kognisi dan fungsional, sehingga mengakibatkan
gangguan fungsi sosial, pekerjaan dan aktivitas sehari-hari. Demensia bukanlah suatu
penyakit yang spesifik. Demensia merupakan istilah yang digunakan untuk
mendeskripsikan kumpulan gejala yang bisa disebabkan oleh berbagai kelainan yang
mempengaruhi otak. Seorang penderita demensia memiliki fungsi intelektual yang
terganggu dan menyebabkan gangguan dalam aktivitas sehari-hari maupun hubungan
dengan orang sekitarnya. Penderita demensia juga kehilangan kemampuan untuk
memecahkan masalah, mengontrol emosi, dan bahkan bisa mengalami perubahan
kepribadian dan masalah tingkah laku seperti mudah marah dan berhalusinasi. Seseorang
didiagnosa demensia bila dua atau lebih fungsi otak, seperti ingatan dan keterampilan
berbahasa menurun secara signifikan tanpa disertai penurunan kesadaran (Turana, 2006).
Ironisnya, sebagian besar masyarakat masih minim pengetahuannya tentang
penyakit ini. Mereka masih menganggap penyakit ini adalah penyakit yang pasti diderita
oleh sebagian besar manusia ketika mereka menginjak usia senja. Sebenarnya, yang
perlu mereka ketahui, penyakit ini bisa dicegah sejak dini dan tidak datang pada masa
muda dan pada usia produktif.
1.2 Rumusan Masalah

1
1.2.1 Bagaimana konsep teori dari delirium?
1.2.2 Bagaimana konsep teori dari demensia?
1.2.3 Bagaimana penyusunan asuhan keperawatan pada klien dengan delirium?
1.2.4 Bagaimana penyusunan asuhan keperawatan pada klien dengan demensia?

1.3 Tujuan
1.3.1 Mahasiswa dapat menjelaskan konsep teori dari delirium.
1.3.2 Mahasiswa dapat menjelaskan konsep teori dari demensia.
1.3.3 Mahasiswa dapat menjelaskan penyusunan asuhan keperawatan pada klien
dengan delirium.
1.3.4 Mahasiswa dapat menjelaskan penyusunan asuhan keperawatan pada klien
dengan demensia.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Delirium

2.1.1 Pengertian Delirium

Delirium, suatu kondisi akut penurunan perhatian dan disfungsi kognitif,


merupakan sindrom klinis yang umum, mengancam hidup, dan dapat dicegah;
umumnya terjadi pada individu berusia 65 tahun atau lebih (Buchanan R. W.,
2000). Sindrom delirium dapat didefinisikan sebagai kegagalan otak akut yang
berhubungan dengan disfungsi otonom, disfungsi motorik, dan kegagalan
homeostasis kompleks dan multifaktorial, sering tidak terdiagnosis dan ditangani
dengan buruk. Kata “delirium” awalnya digunakan dalam dunia medis untuk
menggambarkan gangguan mental selama demam atau cedera kepala, kemudian
berkembang menjadi pengertian yang lebih luas, termasuk istilah “status
konfusional akut”, “sindrom otak akut”, “insufisiensi serebral akut”, “ensefalopati
toksik-metabolik”. Seiring waktu, istilah delirium berkembang untuk menjelaskan
suatu kondisi akut transien, reversibel, berfluktuasi, dan timbul pada kondisi medis
tertentu.

2.1.2 Klasifikasi Delirium

Delirium dapat dibagi menjadi subtipe hiperaktif dan hipoaktif, tergantung dari
aktivitas psikomotornya. Keduanya dapat terjadi bersamaan pada satu individu.
a. Delirium hiperaktif
Delirium hiperaktif merupakan delirium yang paling sering terjadi. Pada pasien
terjadi agitasi, psikosis, labilitas mood, penolakan untuk terapi medis, dan
tindakan dispruptif lainnya. Kadang diperlukan pengawas karena pasien
mungkin mencabut selang infus atau kathether, atau mencoba pergi dari tempat
tidur. Pasien delirium karena intoksikasi, obat antikolinergik, dan alkohol
biasanya menunjukkan perilaku tersebut.
b. Delirium hipoaktif
Adalah bentuk delirium yang paling sering, tapi sedikit dikenali oleh para
klinisi. Pasien tampak bingung, lethargia, dan malas. Hal itu mungkin sulit
dibedakan dengan keadaan fatigue dan somnolen, bedanya pasien akan dengan
mudah dibangunkan dan dalam berada dalam tingkat kesadaran yang normal.
Rangsang yang kuat diperlukan untuk membangunkan , biasanya bangun tidak
komplet dan transient.

2.1.3 Etiologi Delirium

Penyebab utama delirium :


1. Penyakit pada CNS – encephalitis, space occupying lesions, tekanan tinggi
intrakranial setelah episode epilepsi.
2. Demam - penyakit sistemik
3. Intoksikasi dari obat-obatan atau zat toksik
4. Withdrawal alkohol
5. Kegagalan metabolik – kardiak, respiratori, renal, hepatik, hipoglikemia
Faktor predisposisi.
• Demensia
• Obat-obatan multipel
• Umur lanjut
• Kecelakaan otak seperti stroke, penyakit Parkinson
• Gangguan penglihatan dan pendengaran
• Ketidakmampuan fungsional
• Hidup dalam institusi
• Ketergantungan alkohol
• Isolasi sosial
• Kondisi ko-morbid multipel
• Depresi
• Riwayat delirium post-operative sebelumnya
Faktor pencetus (presipitasi).
Penyakit akut berat (termasuk, tetapi tak terbatas kondisi di bawah ini)
• Infeksi, dll 10-35%
• Intoksikasi obat/racun 22-39%
• Withdrawal benzodiazepin
• Withdrawal alkohol ± defisiensi thiamin
• Ensefalopati metabolik (25%)
• Asam basa dan gangguan elektrolit
• Hipoglikemia
• Hipoksia atau hiperkapnia
• Gagal hepar/ginjal
• Polifarmasi
• Bedah dan anestesi
• Nyeri post op yang tak dikontrol baik
• Neurologis 8% (anoksia, stroke, epilepsi, dll)
• Perubahan dari lingkungan keluarga
• Sleep deprivation
• Albumin serum rendah
• Demam/hipothermia
• Hipotensi perioperati
• Pengekangan fisik
• Pemekaian kateter terus menerus
• Kardiovaskular 3%
• Tak ditemukan penyebab
10% Medikasi terkait delirium :
Beberapa jenis obat-obatan, baik yang resmi dan terlarang dapat menyebabkan
delirium, antara lain :
1. Sedatif hipnotik
2. Antihistamin mis difenhidramin
3. Antispasmodik misal : belladona, propanthelin
4. Fenothiazin misal: thioridazin
5. Antidepresan trisklik
6. Antiparkinson misal levodopa, amantadin, pergolid, bromokriptin
7. Analgetik misal opiat (khususnya pethidin), jarang : NSAID,aspirin
8. Obat anestesi
9. Antipsikotik, khususnya beefek antikolinergik, misal klozapin
10. Steroid : dapat tergantung dosis
11. Antagonis histamin-2, khususnya simetidin, tetapi juga golongan ranitidin.
12. Antibiotik: aminoglikosid, penicillin, sefalosporin, sulfonamid dan beberapa
flurokuinolon seperti siprofloksasin.
13. Obat kardiovaskuler dan antihipertensi, kinin, digoxin (pada kadar normal),
amiodaron, propanolol, methiodopa
14. Antikonvulsan: fenitoin, karbamazepin, valproat, pirimidin, klonazzepam,
klobazam.
15. Lain-lain: lithium, flunoksilin, metoclopramid, imunosupresan.

2.1.4 Patofisiologi Delirium

Patofisiologi dari delirium belum bisa diterangkan secara jelas. Delirium


dianggap sebagai kelainaan umum otak, yaitu metabolism dan neurotransmitter
(disfungsi bihemisferik). Beberapa jalur spesifik neural juga dianggap sebagai
penyebab delirium, hal ini diketahui dengan adanya beberapa obat yang yang
bekerja pada jalur spesifik neural (misalnya antikolinergik) dapat memicu
terjadinya delirium. Banyak kondisi sistemik dan obat bisa menyebabkan delirium,
contoh antikolinergika, psikotropika, dan opioida. Mekanisme tidak jelas, tetapi
mungkin terkait dengan gangguan reversibilitas dan metabolisme oxidatif otak,
abnormalitas neurotransmiter multiple, dan pembentukan sitokines (cytokines).
Stress dari penyebab apapun bisa meningkatkan kerja saraf simpatik sehingga
mengganggu fungsi cholinergic dan menyebabkan delirium. Usia lanjut memang
dasarnya rentan terhadap penurunan transmisi cholinergic sehingga lebih mudah
terjadi delirium. Apapun sebabnya, yang jelas hemisfer otak dan mekanisme siaga
(arousal mechanism) dari talamus dan sistem aktivasi retikular batang otak jadi
terganggu. Terdapat faktor predisposisi gangguan otak organik: seperti demensia,
stroke. Penyakit parkinson, usia lanjut, gangguan sensorik, dan gangguan multipel.

2.1.5 WOC Delirium

Obat (antikolinergika, Stress Usia lanjut


psikokotropika,
opioida) Meningkatkan kerja saraf simpatis
Rentan terhadap transmisi kolinergik
Gangguan reversibilitas
dan metabolisme oksidatif
otak
Fungsi kolinergik terganggu

Pembentukan sitokin

Hemisfer otak dan


mekanisme siaga
dari talamus
terganggu
DELIRIUM

Gangguan proses pikir

Perubahan kognitif dan persepsi

Kerusakan interaksi sosial


Kerusakan memori
Halusinasi
Menarik diri
Resiko Defisit Defisit
Cidera Perawatan Perawatan
Harga Diri Rendah Diri: Diri:
Mandi Makan

2.1.6 Manifestasi Klinis Delirium

 Tidak mampu memusatkan perhatian.


 Perubahan kepribadian
 Bicara ngawur
 fluktuasi kognisi, biasanya memburuk pada malam hari dan membaik dengan
relatif
 Adanya efek kognitif multipel termasuk kurangnya daya ingat.
 Gangguan persepsi termasuk halusinasi, dan delusi, dan kejadian dari proses
pikiran yang abnormal
 Meskipun delirium adalah problem kognitif pasien, itu dapat menyebabkan
keluhan somatik termasuk gait, dan gangguan keseimbangan, peningkatan
jatuh, depresi.

2.1.7 Pemeriksaan Diagnostik Delirium

a) Uji darah : Tujuannya untuk memeriksa adanya gangguan organik,memeriksa


komplikasi fisik akibat gangguan - gangguan metabolik. Uji darah
serologis, biokimia,endokrin dan hematologis yang harus dilakukan termasuk
Urea dan elektrolit
b) Uji fungsi tiroid
c) Uji fungsi hati
d) Kadar vitamin B12 dan asam folat
e) Uji urin : Skrining obat terlarang dalam urine perlu dilaksanakan untuk
memeriksa penyalahgunaan zat psikoaktif yang samar
f) Elektroensefalogram (EEG) , CT scan kepala, MRI scan Kepala, Analisis
cairan serebrospinal (CSF)
g) Uji genetik : Penggolongan kariotipe merupakan pemeriksaan
penunjangklinik kedua yang bisa memastikan adanya gangguan
akibatkelainan kromosom. Uji ini terutama berguna untuk menyelidiki orang
dengan disabilitas belajar (retardasi mental)

Pemeriksaan-pemeriksaan lain yang dilakukan adalah :

a) Anamnesa terutama riwayat medis menyeluruh, termasuk penggunaan obat-


obatan atau medikasi.
b) Pemeriksaan fisik lengkap terutama dilakukan secara rutin pada pasienyang
rawat inap.
c) Pemeriksaan neurologis, termasuk status mental, tes perasaan
(sensasi),berpikir (fungsi kognitif), dan fungsi motorik.
d) Pemeriksaan status kognitif mencakup :
 Tingkat kesadaran
 Kemampuan berbahasa
 Memori
 Apraksia
 Agnosia dan gangguan citra tubuh

2.1.8 Penatalaksanaan Delirium

1. Intervensi Nonfarmakologis
Strategi penanganan nonfarmakologis merupakan pengobatan utama seluruh
pasien delirium; meliputi reorientsi dan intervensi tingkah laku. Tenaga
kesehatan memberi intruksi yang jelas dan sering membuat kontak mata
dengan pasien. Gangguan sensorik seperti kehilangan penglihatan dan
pendengaran dapat diminimalisir dengan menggunakan peralatan seperti
kacamata dan alat bantu dengar. Imobilisasi harus dicegah karena dapat
meningkatkan agitasi, peningkatan resiko cedera, dan pemanjangan lamanya
delirium. Intervensi lain termasuk membatasi perubahan ruangan dan staf serta
menyediakan kondisi perawatan pasien yang tenang, dengan pencahayaan
yang rendah pada malam hari. Kondisi lingkungan yang tenang memberikan
periode tidur yang tidak terganggu, cukup penting dalam penangan delirium.
2. Intervensi Farmakologis
 Antipsikotik Tipikal
Haloperidol masih merupakan pilihan utama. Untuk lansia atau delirium
hipoaktif dimulai dengan dosis 0,5-1 mg/12 jam, sementara untuk usia
muda dan keadaan agitasi yang berat serta delirium hiperaktif digunakan
dosis 10 mg/2 jam IV. Jika dosis awal tidak efektif, maka dapat
digandakan 30menit kemudian selama tidak ditemukan efek samping.
Pengaruh terhadap jantung memberikan gambaran interval QT
memanjang pada EKG, sehingga pemberian haloperidol disertai dengan
monitor EKG.
 Antipsikotik Atipikal
Dosis riperidon untuk orangtua 0,25-0,5 mg/12 jam, olanzapin 2,5-5 mg
malam hari, quetiapin 12,5 mg malam hari (peningkatan dosis bertahap
sesuai indikasi). Risperidon dan ziprasidon mempunyai efek interval QT
memanjang pada EKG. Olanzapin dan quetiapin alternatif pengganti
haloperidol. Olanzapin berisiko meningkatkan kadar glukosa serum, selain
itu olanzapin mempunyai efek antikolinergik potensial yang merupakan
kontraindikasi pada delirium. Olanzapin dan risperidon tersedia dalam
kemasan oral.
 Benzodiazepin
Pada pasien yang mengalami agitasi dan tidak responsif terhadap
monoterapi antipsikotik, dapat digunakan diazepam 5 – 10 mg IV; dapat
diulang sesuai kebutuhan. Benzodiazepin, barbiturat, atau delirium pasca
kejang. Pasien delirium dengan gejala putus alkohol diberi tiamin
mendahului pemberian glukosa IV. Benzodiazepin memberikan efek
sedasi berlebih, depresi pernafasan, ataksia, amnesia.
 Preparat Anastetik
Propofol dapat digunakan pada pasien yang tidak responsif terhadap
psikotropok tipikal. Efek samping berupa depresi pernafasan. Propofol
bekerja cepat dalam waktu paruh yang singkat. Dosis maksimum 75
μg/kg/ menit. Efek samping lain berupa hipertrigliseridemia, bradikardi,
peningkatan enzim pankreas, dan asam laktat.
2.1.9 Asuhan Keperawatan Teoritis Delirium

A. Pengkajian
1. Identitas
Indentias klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku bangsa/latar
belakang kebudayaan, status sipil, pendidikan, pekerjaan dan alamat.
2. Keluhan utama
Keluhan utama atau sebab utama yang menyebabkan klien datang berobat
(menurut klien dan atau keluarga). Gejala utama adalah kesadaran menurun.
3. Faktor predisposisi
Menemukan gangguan jiwa yang ada sebagai dasar pembuatan diagnosis
serta menentukan tingkat gangguan serta menggambarkan struktur
kepribadian yang mungkin dapat menerangkan riwayat dan perkembangan
gangguan jiwa yang terdapat. Dari gejala-gejala psikiatrik tidak dapat
diketahui etiologi penyakit badaniah itu, tetapi perlu dilakukan pemeriksaan
intern dan nerologik yang teliti. Gejala tersebut lebih ditentukan oleh
keadaan jiwa premorbidnya, mekanisme pembelaaan psikologiknya,
keadaan psikososial, sifat bantuan dari keluarga, teman dan petugas
kesehatan, struktur sosial serta ciri-ciri kebudayaan sekelilingnya.
Gangguan jiwa yang psikotik atau nonpsikotik yang disebabkan oleh
gangguan jaringan fungsi otak. Gangguan fungsi jaringan otak ini dapat
disebabkan oleh penyakit badaniah yang terutama mengenai otak
(meningoensephalitis, gangguan pembuluh darah ootak, tumur otak dan
sebagainya) atau yang terutama di luar otak atau tengkorak (tifus,
endometriasis, payah jantung, toxemia kehamilan, intoksikasi dan
sebagainya).
4. Pemeriksaan fisik
Kesadaran yang menurun dan sesudahnya terdapat amnesia. Tensi menurun,
takikardia, febris, BB menurun karena nafsu makan yang menurun dan
tidak mau makan.
5. Psikososial
a. Genogram
Dari hasil penelitian ditemukan kembar monozigot memberi pengaruh
lebih tinggi dari kembar dizigot .
b. Konsep diri
· Gambaran diri, tressor yang menyebabkan berubahnya gambaran
diri karena proses patologik penyakit.
· Identitas, bervariasi sesuai dengan tingkat perkembangan individu.
· Peran, transisi peran dapat dari sehat ke sakit, ketidak sesuaian
antara satu peran dengan peran yang lain dan peran yang ragu diman
aindividu tidak tahun dengan jelas perannya, serta peran berlebihan
sementara tidak mempunyai kemmapuan dan sumber yang cukup.
· Ideal diri, keinginann yang tidak sesuai dengan kenyataan dan
kemampuan yang ada.
· Harga diri, tidakmampuan dalam mencapai tujuan sehingga klien
merasa harga dirinya rendah karena kegagalannya.
c. Hubungan sosial
Berbagai faktor di masyarakat yang membuat seseorang disingkirkan
atau kesepian, yang selanjutnya tidak dapat diatasi sehingga timbul
akibat berat seperti delusi dan halusinasi. Konsep diri dibentuk oleh pola
hubungan sosial khususnya dengan orang yang penting dalam kehidupan
individu. Jika hubungan ini tidak sehat maka individu dalam
kekosongan internal. Perkembangan hubungan sosial yang tidak adekuat
menyebabkan kegagalan individu untuk belajar mempertahankan
komunikasi dengan orang lain, akibatnya klien cenderung memisahkan
diri dari orang lain dan hanya terlibat dengan pikirannya sendiri yang
tidak memerlukan kontrol orang lain. Keadaa ini menimbulkan kesepian,
isolasi sosial, hubungan dangkal dan tergantung.
d. Spiritual
Keyakinan klien terhadapa agama dan keyakinannya masih kuat.a tetapi
tidak atau kurang mampu dalam melaksanakan ibadahnya sesuai dengan
agama dan kepercayaannya.
6. Status mental
a. Penampilan klien tidak rapi dan tidak mampu utnuk merawat dirinya
sendiri.
b. Pembicaraan keras, cepat dan inkoheren.
c. Aktivitas motorik, Perubahan motorik dapat dimanifestasikan adanya
peningkatan kegiatan motorik, gelisah, impulsif, manerisme, otomatis,
steriotipi.
d. Alam perasaan
Klien nampak ketakutan dan putus asa.
e. Afek dan emosi.
Perubahan afek terjadi karena klien berusaha membuat jarak dengan
perasaan tertentu karena jika langsung mengalami perasaa tersebut
dapat menimbulkan ansietas. Keadaan ini menimbulkan perubahan
afek yang digunakan klien untuk melindungi dirinya, karena afek yang
telah berubahn memampukan kien mengingkari dampak emosional
yang menyakitkan dari lingkungan eksternal. Respon emosional klien
mungkin tampak bizar dan tidak sesuai karena datang dari kerangka
pikir yang telah berubah. Perubahan afek adalah tumpul, datar, tidak
sesuai, berlebihan dan ambivalen.
f. Interaksi selama wawancara
Sikap klien terhadap pemeriksa kurang kooperatif, kontak mata kurang.
g. Persepsi
Persepsi melibatkan proses berpikir dan pemahaman emosional
terhadap suatu obyek. Perubahan persepsi dapat terjadi pada satu atau
kebiuh panca indera yaitu penglihatan, pendengaran, perabaan,
penciuman dan pengecapan. Perubahan persepsi dapat ringan, sedang
dan berat atau berkepanjangan. Perubahan persepsi yang paling sering
ditemukan adalah halusinasi.
h. Proses berpikir
Klien yang terganggu pikirannya sukar berperilaku kohern,
tindakannya cenderung berdasarkan penilaian pribadi klien terhadap
realitas yang tidak sesuai dengan penilaian yang umum diterima.
Penilaian realitas secara pribadi oleh klien merupakan penilaian
subyektif yang dikaitkan dengan orang, benda atau kejadian yang tidak
logis. Klien tidak menelaah ulang kebenaran realitas. Pemikiran
autistik dasar perubahan proses pikir yang dapat dimanifestasikan
dengan pemikian primitf, hilangnya asosiasi, pemikiran magis, delusi
(waham), perubahan linguistik (memperlihatkan gangguan pola pikir
abstrak sehingga tampak klien regresi dan pola pikir yang sempit
misalnya ekholali, clang asosiasi dan neologisme.
i. Tingkat kesadaran
Kesadaran yang menurun, bingung, disorientasi waktu, tempat dan
orang.
j. Memori
Gangguan daya ingat yang baru saja terjadi (kejadian pada beberapa
jam atau hari yang lampau) dan yang sudah lama berselang terjadi
(kejadian beberapa tahun yang lalu).
k. Tingkat konsentrasi
Klien tidak mampu berkonsentrasi
l. Kemampuan penilaian
Gangguan ringan dalam penilaian atau keputusan.
7. Kebutuhan klien sehari-hari
a. Tidur
Klien sukar tidur karena cemas, gelisah, berbaring atau duduk dan
gelisah. Kadang-kadang terbangun tengah malam dan sukar tidur
kemabali. Tidurnya mungkin terganggu sepanjang malam, sehingga
tidak merasa segar di pagi hari.
b. Selera makan
Klien tidak mempunyai selera makan atau makannya hanya sedikit,
karena putus asa, merasa tidak berharga, aktivitas terbatas sehingga
bisa terjadi penurunan berat badan.
c. Eliminasi
Klien mungkin terganggu buang air kecilnya, kadang-kadang lebih
sering dari biasanya, karena sukar tidur dan stres. Kadang-kadang
dapat terjadi konstipasi, akibat terganggu pola makan.
8. Mekanisme koping
Apabila klien merasa tidak berhasil, kegagalan maka ia akan menetralisir,
mengingkari atau meniadakannya dengan mengembangkan berbagai pola
koping mekanisme. Ketidakmampuan mengatasi secara konstruktif
merupakan faktor penyebab primer terbentuknya pola tingkah laku
patologis. Koping mekanisme yang digunakan seseorang dalam keadaan
delirium adalah mengurangi kontak mata, memakai kata-kata yang cepat
dan keras (ngomel-ngomel) dan menutup diri.
9. Dampak masalah
a. Individu
· Perilaku, klien mungkin mengbaikan atau mendapat kesulitan dalam
melakukan kegiatas sehari-hari seperti kebersihan diri misalnya
tidak mau mandi, tidak mau menyisir atau mengganti pakaian.
· Kesejahateraan dan konsep diri, klien merasa kehilangan harga diri,
harga diri rendah, merasa tidak berarti, tidak berguna dan putus asa
sehingga klien perlu diisolasi.
· Kemandirian, klien kehilangan kemandirian adanya hidup
ketergantungan pada keluarga atau oorang yang merawat cukup
tinggi, sehingga menimbulkan stres fisik.
10. Diagnosa Keperawatan
▪ Risiko terhadap penyiksaan pada diri sendiri, orang lain dan
lingkungan berhubungan dengan berespon pada pikiran delusi dan
halusinasi.
▪ Koping individu yang tidak efektif berhubungan dengan
ketidakmampuan cara mengekspresikan secara konstruktif.
▪ Perubahahn proses berpikir berhubungan dengan ketidakmampuan
untuk mempercayai orang
▪ Risiko terjadi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan intake yang kurang, status emosional yang
meningkat.
▪ Kesukaran komunikasi verbal berhubungan dengan pola komunikasi
yang tak logis atau inkohern dan efek samping obat-obatan, tekanan
bicara dan hiperaktivitas.
▪ Kurangnya interaksi sosial (isolasi sosial) berhubungan dengan sistem
penbdukung yang tidak adekuat.
▪ Kurangnya perawatan diri berhubugan dengan kemauan yang
menurun
▪ Perubahan pola tidur berhubungan dengan hiperaktivitas, respon
tubuh pada halusinasi.
▪ Ketidaktahuan keluarga dan klien tentang efek samping obat
antipsikotik berhubungan dengan kurangnya informasi.

2.2 Demensia

2.1.1 Pengertian Demensia

Sindrom demensia merupakan gangguan kognitif yang ditandai oleh hilangnya


fungsi intelektual yang berat, yang menyebabkan deteriorasi kognisi dan
fungsional, sehingga mengakibatkan gangguan fungsi sosial, pekerjaan dan
aktivitas sehari-hari. (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003).

Sindrom demensia merupakan suatu defisit yang didapat dalam fungsi


intelektual, termasuk gangguan bahasa, kognisi (perhitungan, pertimbangan, dan
abstraksi), kepribadian (termasuk alam perasaan dan perilaku), keterampilan
visuospasial, dan ingatan. Awitan mendadak tetapi lebih sering berangsung-angsur,
perjalanan waktunya berlarut-larut (secara karakteristik diukur dalam bulan atau
tahun), dan hasilnya adalah sementara atau menetap. (Barry Guze, dkk,
1997).Demensia dapat disebabkan oleh trauma (operasi atau tidak sengaja), infeksi
kronis (siphilis), gangguan peredaran darah (anterosklerosis).

2.1.2 Klasifikasi Demensia

Demensia dapat diklasifikasikan berdasarkan umur, perjalanan penyakit,


kerusakan struktur otak, sifat klinisnya dan menurut Pedoman Penggolongan dan
Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ III).
1. Menurut Umur:
a. Demensia senilis (>65th)
b. Demensia prasenilis (<65th)
2. Menurut perjalanan penyakit:
a. Reversibel
b. Ireversibel (Normal pressure hydrocephalus, subdural hematoma,
defisiensi vitamin B, hipotiroidism, intoksikasi pb)
3. Demensia berhubungan dengan beberapa jenis penyakit.
a. Penyakit yang berhubungan dengan sindrom medik: Hal ini meliputi
hipotiroidisme, penyakit cushing, defisiensi nutrisi, kompleks demensia
AIDS, dan sebagainya.
b. Penyakit yang berhubungan dengan sindrom neurologi: Kelompok ini
meliputi korea huntington, penyakit schilder, dan proses demielinasi
lainnya; penyakit creutzfeldt-jakob, tumor otak, trauma otak,infeksi otak
dan meningeal, dan sejenisnya.
c. Penyakit dengan demensia sebagai satu-satunya tanda atau tanda yang
mencolok: Penyakit alzheimer dan penyakit pick adalah termasuk dalam
kategori ini.
4. Berdasarkan PPDGJ III demensia termasuk dalam F00-F03 yang
merupakan gangguan mental organik dengan klasifikasinya sebagai berikut :
F00 Demensia pada penyakit alzheimer
F00.0 Demensia pada penyakit alzheimer dengan onset dini
F00.1 Demensia pada penyakit alzheimer dengan onset lambat
F00.2 Demensia pada penyakit alzheimer dengan, tipe tidak khas atau tipe
campuran
F00.9 Demensia pada penyakit alzheimer YTT (Yang Tidak
Tergolongkan) F 01 Demensia vaskular
F01.0 Demensia vaskular onset akut
F01.1 Demensia vaskular multi-infark
F01.2 Demensia vaskular sub kortikal
F01.3 Demensia vaskular campuran kortikal dan subkortikal
F01.8 Demensia vaskular lainnya
F01.9 Demensia vaskular YTT
F02 Demensia pada penyakit lain
F02.0 Demensia pada penyakit pick
F02.1 Demensia pada penyakit creutzfeldt-jakob
F02.2 Demensia pada penyakit huntington
F02.3 Demensia pada penyakit parkinson
F02.4 Demensia pada penyakit HIV
F02.8 Demensia pada penyakit lain YDT –YDK (Yang Di-Tentukan-Yang
Di-Klasifikasikan ditempat lain)
F03 Demensia YTT
Karakter kelima dapat digunakan untuk menentukan demensia pada F00
F03 sebagai berikut :
1. X0 Tanpa gejala tambahan
2. X1 Gejala lain, terutama waham
3. X2 Halusinasi
4. X3 Depresi

2.1.3 Etiologi Demensia

Kelainan sebagai penyebab Demensia :

▪ Penyakit degenaratif
▪ Penyakit serebrovaskuler
▪ Keadaan anoksi/ cardiac arrest, gagal jantung, intioksi CO
▪ Trauma otak
▪ Infeksi (aids, ensefalitis, sifilis)
▪ Hidrosefaulus normotensif
▪ Tumor primer atau metastasis
▪ Autoimun, vaskulitif
▪ Multiple sclerosis
▪ Toksik
▪ Kelainan lain : Epilepsi, stress mental, heat stroke, whipple disease
Kelainan/ keadaan yang dapat menampilkan demensia :
1. Gangguan psiatrik : Depresi, ansietas, psikosis
2. Obat-obatan : Psikofarmaka, antiaritmia, antihipertensi
3. Antikonvulsan : Digitalis
4. Gangguan nutrisi : Defisiensi B6 (pelagra), defisiensi B12, defisiensi asam
folat, marchiava-bignami disease
5. Gangguan metabolisme : Hiper/hipotiroidi, hiperkalsemia, hiper/hiponatremia,
hipoglikemia, hiperlipidemia, hipercapnia, gagal ginjal, sindrom cushing,
addison’s disesse, hippotituitaria, efek remote penyakit kanker
Beberapa penyakit dapat disembuhkan sementara sebagian besar tidak dapat
disembuhkan (Mace, N.L. & Rabins, P.V. 2006). Berikut ini jenis dan penyebab
demensia pada usia lanjut :
1. Keadaan yang secara potensial reversible atau bisa dihentikan, yaitu :
- Intoksikasi (obat, termasuk alcohol, dan lain-lain)
- Infeksi susunan saraf pusat
- Gangguan metabolic - Gangguan nutrisi
- Gangguan vaskuler (demensia multi-infark, dan lain-lain)
- Lesi desak ruang
- Hidrosefalus
- Depresi
2. Penyakit degenerative progresif, yaitu :
- Tanpa gejala neorologik penting lain, seperti :
1. Penyakit alzheimer
2. Penyakit pick
- Dengan gangguan neurologic lain yang prominen, seperti :
1. Penyakit parkinson
2. Penyakit huntington
3. Kelumpuhan supranuklear progresif
4. Penyakit degenerative lain yang jarang didapat (Buku Ajar Geriatri)
Sebagian besar peneliti dalam risetnya sepakat bahwa penyebab utama dari
gejala demensia adalah penyakit alzheimer yaitu sekitar lima puluh sampai enam
puluh persen. Alzhaimer adalah kondisi dimana sel syaraf pada otak mati sehingga
membuat signal dari otak tidak dapat di transmisikan sebagaimana mestinya
(Grayson, C. 2004). Penderita alzheimer mengalami gangguan memori,
kemampuan membuat keputusan dan juga penurunan proses berpikir.

2.1.4 Patofisiologi Demensia

Proses menua tidak dengan sendirinya menyebabkan terjadinya demensia.


Penuaan menyebabkan terjadinya perubahan anatomi dan biokimiawi di susunan
saraf pusat yaitu berat otak akan menurun sebanyak sekitar 10 % pada penuaan
antara umur 30 sampai 70 tahun. Penyakit degeneratif pada otak, gangguan
vaskular dan penyakit lainnya, serta gangguan nutrisi, metabolik dan toksisitas
secara langsung maupun tak langsung dapat menyebabkan sel neuron mengalami
kerusakan melalui mekanisme iskemia, infark, inflamasi, deposisi protein abnormal
sehingga jumlah neuron menurun dan mengganggu fungsi dari area kortikal
ataupun subkortikal. Di samping itu, kadar neurotransmiter di otak yang diperlukan
untuk proses konduksi saraf juga akan berkurang. Hal ini akan menimbulkan
gangguan fungsi kognitif (daya ingat, daya pikir dan belajar), gangguan sensorium
(perhatian, kesadaran), persepsi, isi pikir, emosi dan mood. Fungsi yang mengalami
gangguan tergantung lokasi area yang terkena (kortikal atau subkortikal) atau
penyebabnya, karena manifestasinya dapat berbeda. Keadaan patologis dari hal
tersebut akan memicu keadaan konfusio akut demensia (Boedhi - Darmojo, 2009).

2.1.5 WOC Demensia


2.1.6 Manifestasi Klinis Demensia

1 Stadium awal atau demensia ringan


Umumnya klien menunjukkan gejala kesulitan dalam berbahasa, mengalami
kemunduran daya ingat secara bermakna, disorientasi waktu dan tempat, sering
tersesat ditempat yang biasa dikenal, kesulitan membuat keputusan, kehilangan
inisiatif dan motivasi, dan kehilangan minat dalam hobi dan agitasi.
2 Stadium menengah atau demensia sedang
Pada stadium ini, klien mengalami kesulitan melakukan aktivitas kehidupan
sehari- hari dan menunjukkan gejala sangat mudah lupa terutama untuk
peristiwa yang baru dan nama orang, tidak dapat mengelola kehidupan sendiri
tanpa timbul masalah, sangat bergantung pada orang lain, semakin sulit
berbicara, membutuhkan bantuan untuk kebersihan diri (ke toilet, mandi dan
berpakaian), dan terjadi perubahan perilaku, serta adanya gangguan kepribadian.
3 Stadium lanjut atau demensia berat
Ditandai dengan ketidakmandirian dan inaktif total, tidak mengenali lagi
anggota keluarga (disorientasi personal), sukar memahami dan menilai
peristiwa, tidak mampu menemukan jalan di sekitar rumah sendiri, kesulitan
berjalan, mengalami inkontinensia (berkemih atau defekasi), menunjukkan
perilaku tidak wajar dimasyarakat, akhirnya bergantung dikursi roda atau tempat
tidur.
2.1.7 Pemeriksaan Diagnostik Demensia

1 Pemeriksaan laboratorium rutin


Pemeriksaan laboratorium hanya dilakukan begitu diagnosis klinis demensia
ditegakkan untuk membantu pencarian etiologi demensia khususnya pada
demensia reversible, walaupun 50% penyandang demensia dengan hasil
laboratorium normal, pemeriksaan laboratorium rutin sebaiknya dilakukan.
Pemeriksaan laboratorium yang rutin dikerjakan antara lain: pemeriksaan
darah lengkap, urinalisis, elektrolit serum, kalsium darah, ureum, fungsi hati,
hormone tiroid, kadar asam folat.
2 Imaging
Computed Tomography (CT) scan dan MRI (Magnetic Resonance Imaging)
telah menjadi pemeriksaan rutin dalam pemeriksaan demensia walaupun
hasilnya masih dipertanyakan.
3 Pemeriksaan EEG
Electroencephalogram (EEG) tidak memberikan gambaran spesifik dan pada
sebagian besar EEG adalah normal. Pada demensia stadium lanjut dapat
memberi gambaran perlambatan difus dan kompleks periodik.
4 Pemeriksaan cairan otak
Pungsi lumbal diindikasikan bila klinis dijumpai awitan demensia akut,
penyandang dengan imunosupresan, dijumpai rangsangan meningen dan
panas, demensia presentasi atipikal, hidrosefalus normotensif, penyengatan
meningeal pada CT scan.
5 Pemeriksaan genetika
Apolipoprotein E (APOE) adalah suatu protein pengangkut lipid polimorfik
yang memiliki 3 allel yaitu epsilon 2, epsilon 3, dan epsilon 4. Setiap allel
mengkode bentuk APOE yang berbeda. Meningkatnya frekuensi epsilon 4
diantara penyandang demensia tipe awitan lambat atau tipe sporadik
menyebabkan pemakaian genotif APOE epsilon 4 sebagai penanda semakin
meningkat.
6 Pemeriksaan neuropsikologis
Pemeriksaan neuropsikologis meliputi pemeriksaan status mental, aktivitas
sehari-hari / fungsional dan aspek kognitif lainnya. Pemeriksaan
neuropsikologis penting untuk sebagai penambahan pemeriksaan demensia,
terutama pemeriksaan untuk fungsi kognitif, minimal yang mencakup atensi,
memori, bahasa, konstruksi visuospatial, kalkulasi dan problem solving.
Pemeriksaan neuropsikologi sangat berguna terutama pada kasus yang sangat
ringan untuk membedakan proses ketuaan atau proses depresi.
7 Status Mental Mini (MMSE)
Sebagai suatu esesmen awal pemeriksaan Status Mental Mini (MMSE) adalah
test yang paling banyak dipakai. Tetapi sensitif untuk mendeteksi gangguan
memori ringan. Pemeriksaan status mental MMSE Folstein adalah test yang
paling sering dipakai saat ini, penilaian dengan nilai maksimal 30 cukup baik
dalam mendeteksi gangguan kognisi, menetapkan data dasar dan memantau
penurunan kognisi dalam kurun waktu tertentu. Nilai di bawah 27 dianggap
abnormal dan mengindikasikan gangguan kognisi yang signifikan pada
penderita berpendidikan tinggi. Penyandang dengan pendidikan yang rendah
dengan nilai MMSE paling rendah 24 masih dianggap normal, namun nilai
yang rendah ini mengidentifikasikan resiko untuk demensia.
8 Clinical Dementia Rating (CDR)
Clinical Dementia Rating (CDR) merupakan suatu pemeriksaan umum pada
demensia dan sering digunakan dan ini juga merupakan suatu metode yang
dapat menilai derajat demensia ke dalam beberapa tingkatan. Penilaian fungsi
kognitif pada CDR berdasarkan 6 kategori antara lain gangguan memori,
orientasi, pengambilan keputusan, aktivitas sosial/masyarakat, pekerjaan
rumah dan hobi, perawatan diri. Nilai yang dapat pada pemeriksaan ini adalah
merupakan suatu derajat penilaian fungsi kognitif yaitu; Nilai 0, untuk orang
normal tanpa gangguan kognitif. Nilai 0,5, untuk Quenstionable dementia.
Nilai 1, menggambarkan derajat demensia ringan, Nilai 2, menggambarkan
suatu derajat demensia sedang dan nilai 3, menggambarkan suatu derajat
demensia yang berat (Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003).

2.1.8 Penatalaksanaan Demensia

1 Farmakoterapi
Sebagian besar kasus demensia tidak dapat disembuhkan. Untuk mengobati
demensia alzheimer digunakan obat - obatan antikoliesterase seperti
Donepezil, Rivastigmine, Galantamine, Memantine. Demensia vaskuler
membutuhkan obat -obatan anti platelet seperti Aspirin, Ticlopidine,
Clopidogrel untuk melancarkan aliran darah ke otak sehingga memperbaiki
gangguan kognitif. Demensia karena stroke yang berturut-turut tidak dapat
diobati, tetapi perkembangannya bisa diperlambat atau bahkan dihentikan
dengan mengobati tekanan darah tinggi atau kencing manis yang berhubungan
dengan stroke. Jika hilangnya ingatan disebabakan oleh depresi, diberikan obat
anti-depresi seperti Sertraline dan Citalopram. Untuk mengendalikan agitasi
dan perilaku yang meledak-ledak, yang bisa menyertai demensia stadium
lanjut, sering digunakanobat anti-psikotil, misalnya Haloperidol, Quetiapine
dan Risperidone. Tetapi obat ini kurang efektif dan menimbulkan efek
samping yang serius. Obat anti-psikotik efektif diberikan kepada penderita
yang mengalami halusinasi atau paranoid.
2 Dukungan atau Peran Keluarga
Mempertahankan lingkungan yang familiar akan membantu penderita tetap
memiliki orientasi. Kalender yang besar, cahaya yang terang, jam dinding
dengan angka-angka yang besar atau radio juga bisa membantu penderita tetap
memiliki orientasi. Menyembunyikan kunci mobil dan memasang detektor
pada pintu bisa membantu mencegah terjadinya kecelakaan pada penderita
yang senang berjalan-jalan. Menjalani kegiatan mandi, makan, tidur dan
aktivitas lainnya secara rutin, bisa memberikan rasa keteraturan kepada
penderita. Memarahi atau menghukum penderita tidak akan membantu,
bahkan akan memperburuk keadaan. Meminta bantuan organisasi yang
memberikan pelayanan sosial dan perawatan, akan sangat membantu.
3 Terapi Simtomatik
Pada penderita penyakit demensia dapat diberikan terapi simtomatik,
meliputi :
a Diet
b Latihan fisik yang sesuai
c Terapi rekreasional dan aktifitas
d Penanganan terhadap masalah-masalah

2.1.9 Komplikasi Demensia

1. Peningkatan resiko infeksi di seluruh bagian tubuh, misalnya ulkus dekubitus,


infeksi saluran kencing, pneumonia.
2. Thromboemboli, infark miokardium
3. Kejang
4. Kehilangan kempuan untuk merawat diri
5. Malnutrisi dan dehidrasi akibat nafsu makan kurang dan kesulitan
menggunakan peralatan
6. Kehilangan kemampuan berinteraksi
7. Harapan hidup berkurang
2.1.10 Asuhan Keperawatan Teoritis Demensia

1. Pengkajian
a. Identitas
Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku bangsa/latar
belakang kebudayaan, status sipil, pendidikan, pekerjaan dan alamat
b. Keluhan utama
Keluhan utama atau sebab utama yang menyebabkan klien datang berobat
(menurut klien dan atau keluarga). Gejala utama adalah kesdaran
menurun.
c. Pemeriksaan fisik
Kesadaran yang menurun dan sesudahnya terdapat amnesia. Tensi
menurun, takikardia, febris, BB menurun karena nafsu makan yang
menurun dan tidak mau makan.
d. Psikososial
1) Genogram
2) Konsep diri
a. Gambaran diri, stressor yang menyebabkan berubahnya
gambaran diri karena proses patologik penyakit
b. Identitas, bervariasi sesuai dengan tingkat perkembangan
individu
c. Peran, transisi peran dapat dari sehat ke sakit, ketidak sesuaian
antara satu peran dengan peran yang lain dan peran yang ragu
dimana individu tidak tahu dengan jelas perannya, serta peran
berlebihan sementara tidak mempunyai kemampuan dan sumber
yang cukup
d. Ideal diri, keinginan yang tidak sesuai dengan kenyataan dan
kemampuan yang ada
e. Harga diri, ketidakmampuan dalam mencapai tujuan sehingga
klien merasa harga dirinya rendah karena kegagalannya
3) Hubungan sosial
Berbagai faktor di masyarakat yang membuat seseorang
disingkirkan atau kesepian, yang selanjutnya tidak dapat diatasi
sehingga timbul akibat berat seperti delusi dan halusinasi. Konsep diri
dibentuk oleh pola hubungan sosial khususunya dengan orang yang
penting dalam kehidupan individu. Jika hubungan ini tidak sehat
maka individu dalam kekosongan internal. Perkembangan hubungan
sosial yang tidak adekuat menyebabkan kegagalan indvidu untuk
belajar mempertahankan komunikasi dengan orang lain, akibatnya
klien cenderung memisahkan diri dari orang lain dan hanya terlibat
dengan pikirannya sendiri yang tidak memerlukan kontrol orang lain.
Keadaan ini menimbulkan kesepian, isolasi sosial, hubungan dangkal
dan tergantung.
4) Spiritual
Keyakinan klien terhadap agama dan keyakinannya masih
kuat. Tetapi tidak atau kurang mampu dalam melaksanakan
ibadahnya
sesuai dengan agama kepercayaannya.
5) Status mental
a. Penampilan klien tidak rapi dan tidak mampu untuk merwat
dirinya sendiri
b. Pembicaraan keras, cepat dan inkoheren
c. Aktivitas motorik, perubahan motorik dapat dimanifestasikan
adanya peningkatan kegiatan motorik, gelisah, impulsif,
manerisme, otomatis, steriotipi
d. Alam perasaan, klien nampak ketakutan dan putus asa
e. Afek dan emosi, perubahan afek terjadi karena klien berusaha
membuat jarak dengan perasaan tertentu karena jika langsung
mengalami perasaan tersebut dapat menimbulkan ansietas.
Keadaan ini menimbulkan perubahan afek yang digunakan klien
untuk melindungi dirinya, karena afek yang telah berubah
memampukan klien mengingkari dampak emosional yang
menyakitkan dari lingkungan eksternal. Respon emosional klien
mungkin tampak bizar dan tidak sesuai karena datang dari
kerangka pikir yang telah berubah. Perubahan afek adalah tumpul
datar, tidak sesuai, berlebihan, dan ambivalen.
f. Interaksi selama wanwancara, sikap klien terhadap pemeriksa
kurang kooperatif, kontak mata kurang
g. Persepsi, persepsi melibatkan proses berpikir dan pemahaman
emosional terhadap suatu obyek. Perubahan persepsi dapat terjadi
pada panca indera yaitu penglihatan, pendengaran, perabaan,
penciuman dan pengecapan. Perubahan persepsi dapat ringan,
sedang, dan berat atau berkepanjangan. Perubahan persepsi yang
paling sering ditemukan adalah halusinasi.
6) Proses berpikir
Klien yang terganggu pikirannya sukar berperilaku kohern,
tindakannya cenderung berdasarkan penilaian pribadi klien terhadap
realitas yang tidak sesuai dengan penilaian yang umum diterima.
Penilaian realitas secara pribadi oleh klien merupakan penilaian
subyektif yang dikaitkan dengan orang, benda atau kejadian yang
tidak logis. Klien tidak menelaah ulang kebenaran realitas. Pemikiran
autistik dasar prubahan proses pikir yang dapat dimanifestasikan
dengan pemikiran primitif hilangnya asosiasi, pemikiran magis, delusi
(waham), perubahan linguistik (memperlihatkan gangguan pola pikir
abstrak sehingga tampak klien regresi dan pola pikir yan sempit
misalnya ekholali, clang asosiasi dan neologisme.
7) Tingkat kesadaran
Kesadaran yang menurun, bingung, disorientasi waktu, tempat dan
orang
8) Memori
a. Gangguan daya ingat jangka panjang : tidak dapat meningat
kejadian yang terjadi lebih dari satu bulan
b. Gangguan daya ingat jangka pendek : tidak dapat mengingat
kajadian yang terjadi dalam minggu terakhir
c. Gangguan daya ingat sekarang : tidak dapat mengingat kaejadian
yang baru saja terjadi
9) Tingkat konsentrasi
Klien tidak mampu berkonsentrasi
10) Kemampuan penilaian
Gangguan berat dalam penilaian atau keputusan
11) Kebutuhan klien sehari-hari
a. Tidur
Klien sukar tidur karena cemas, gelisah, berbaring atau duduk
dan geisah. Kadang-kadang terbangun tengah malam dan sukar
tidur kembali. Tidurnya mungkin terganggu sepanjang malam,
sehingga tidak merasa segar di pagi hari.
b. Selera makan
Klien tidak mempunyai selera makan atau makannya hanya
sedikit, karena putus asa, merasa tidak berharga, aktivitas terbatas
sehingga bisa terjadi penurunan berat badan.
c. Eliminasi
Klien mungkin terganggu buang air kecilnya, kadang-kadang
lebih sering dari biasanya, karena sukar tidur dan stres. Kadang-
kadang dapat terjadi konstipasi, akibat terganggu pola makan.
d. Mekanisme koping
Apabila klien merasa tidak berhasil, maka ia akan menetralisir,
mengingkari atau meniadakannya dengan mengembangkan
berbagai pola koping mekanisme. Ketidakmampuan mengatasi
secara konstruktif merupakan faktor penyebab primer
terbentuknya pola tingkah laku patologis. Koping mekanisme
yang digunakan seseorang dalam keadaan delerium adalah
mengurangi kontak mata, memakai kata-kata yang cepat dan
keras (ngomel-ngomel) dan menutup diri.
2. Diagnosa keperawatan
a. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d asupan tidak adekuat
b. Defisit perawatan diri b.d menurunnya kemampuan merawat diri

3. Intervensi keperawatan

Diagnosa : perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d asupan tidak
adekuat
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam terdapat perilaku peningkatan dalam
pemenuhan perawatan diri
Kriteria hasil : klien dapat menunjukkan perubahan gaya hidup untuk
kebutuhan merawat diri dan mnegidentifikasi personal/keluaraga yang
dapat membantu
Intervensi Rasional
Kaji kemampuandan tingkat Membantu dalam menagntisiapsi dan
penurunan dalam melakukan merencnakan penemuan kebutuhan
ADL individual
Hindari apa yang tidak dapat Klien dalam keadaan cemas dan hal ini
dilakukan klien dan bantu bila dilakukan untuk mencegah frustasi dan
perlu haraga diri
Ajarkan dan dukung klien Modifikasi lingkungan diperlukan untuk
dalam aktivitas mengompensasi ketidakmampuan fungsi
Rencanakan tindakan untuk Ketidakmampuan berkomunikasi
defisi motorik seperti denagn perawat dapat menimbulkan
tempatkan makanan dan masalah pengosongan kandung kemih
peralatan di dekat klien agar karena masalah neurogenik
mampu sendiri mengambilnya
Identifikasi kebiasaan BAB, Meningkatkan latihan dan menolong
anjurkan minum, dan mencegah konstipasi
meningkatkan aktifitas
Diagnosa : perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d asupan tidak
adekuat
Tujuan : dalam waktu 3x24jam kebutuhan kebutuhan nutrisi klien
terpenuhi
Kriteria hasil :
1. mengerti tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh
2. memperlihatkan kenaikan berat badan sesuai dengan hasil
pemeriksaan laboratorium
Intervensi Rasional
Evaluasi kemampuan makan Klien mengalami kesulitan dalam
klien mempertahankan berat badan mereka,
mulut mereka kering akibat obat-obatan
dan mengalami kesulitan mengunyah
dan menelan
Observasi/timbang berat badan Tanda kehilangan berat badan (7-10%)
jika memungkinkan dan kekurangan intake nutrisi
menunjang terjadinya masalah
katabolisme, kandungan glikogen dalam
otot
Monitor pemakaian alat bantu Pemanas elektrik digunakan untuk
menjaga makanan tetap hangat dan klien
diizinkan untuk istirahat selama waktu
yang ditetapkan untuk makan, alat-alat
khusus yang membantu makan
Kaji fungsi sistem Fungsi sistem gastrointestinal sangat
gastrointestinal yang meliputi penting untuk memasukkan makanan
suara bising usus, ctat terjadi
lambung seperti mual, dan
muntah

2.3 Perbandingan Delirium dengan Demensia

Gambaran Delirium Demensia

Riwayat Penyakit akut Penyakit kronik


Awal Cepat Lambat laun

Sebab Terdapat penyakit lain (infeksi, Biasanya penyakit otak kronik (spt
dehidrasi, dll) Alzheimer, demensia vaskular)

Lamanya Ber-hari/-minggu Ber-bulan/-tahun

Perjalanan sakit Naik turun Kronik progresif

Taraf kesadaran Naik turun Normal

Orientasi Terganggu, periodik Intak pada awalnya

Afek Cemas dan iritabel Labil tapi tak cemas

Alam pikiran Sering terganggu Turun jumlahnya

Bahasa Lamban, inkoheren, inadekuat Sulit menemukan istilah tepat

Daya ingat Jangka pendek terganggu nyata Jangka pendek & panjang
terganggu

Persepsi Halusinasi (visual) Halusinasi jarang kecuali


sundowning

Psikomotor Retardasi, agitasi, campuran Normal

Tidur Terganggu siklusnya Sedikit terganggu siklus tidurnya

Atensi & kesadaran Amat terganggu Sedikit terganggu

Reversibilitas Sering reversibel Umumnya tak reversibel

Penanganan Segera Perlu tapi tak segera


BAB 3

STUDI KASUS

Studi Kasus Demensia

Ny. A usia 80 tahun dibawa ke RSJ oleh petugas panti werdha karena mengalami demensia.
Saat dibawa ke panti werdha klien mengatakan ia tidak ingat berasal dari mana dan tidak
ingat siapa keluarganya. Saat pertama kali ditemukan oleh seorang wanita Ny.A langsung
dibawa ke panti werdha. Selama ini Ny.A tinggal di panti werdha. Sehari- harinya Ny.A
dapat melakukan aktivitas secara mandiri seperti mandi, ke kamar kecil, berpakaian dan
mobilisasi. Ia susah mengingat orang dan jika ditanya mengenai keluarga dan tempat
tinggalnya dulu ia selalu mengatakan bahwa ia sudah lupa atau tidak tahu.

Pengkajian

1. Identitas Pasien
a. Nama : Ny. A
b. Tempat dan Tanggal Lahir : Tidak diketahui
c. Usia : 80 Tahun
d. Pendidikan Terakhir : Tidak diketahui
e. Agama : Islam
f. Suku Bangsa : Jawa, Indonesia
g. Status Perkawinan : Tidak diketahui
h. Tinggi / Berat badan : 140 cm / 35 kg
i. Penampilan Umum : Terlihat bersih.
j. Ciri-ciri fisik : Berambut panjang beruban diikat, kulit sawo matang
k. Alamat : Panti Werdha Sejahtera
2. Genogram
Klien berusia 80 Tahun. Klien tidak mengingat keluarganya, dan dibawa oleh seorang
wanita yang tiba-tiba bertemu klien di jalan. Klien tidak membawa identitas apapun
3. Riwayat Lingkungan Hidup Klien
Klien tidak ingat darimana asalnya dan sudah lupa mengenai lingkungan hidupnya
4. Sistem Pendukung yang Digunakan Klien
Sistem pendukung yang digunakan klien hanyalah pegawai dan teman-temannya yang
ada di dalam panti Werdha yang selalu membantunya dalam kegiatan sehari-hari.
5. Activity Daily Living (ADL)
Klien masih bisa melakukan tindakan mandiri seperti : berpakaian dan makan.
Sedangkan aktivitas mandi, toileting, mobilisasi kadang harus dibantu orang lain. Klien
sholat 5 waktu dan mengikuti pengajian di panti dengan teman-temannya dibantu oleh
petugas panti werdha
6. Riwayat Kesehatan
a. Status kesehatan Klien Saat ini
Klien tidak mampu mengungkapkan status kesehatannya dan mengatakan tidak
mengetahui status kesehatannya saat ini. Klien terlihat tidak konsentrasi, dari segi
fisik mengalami kifosis dan saat ini klien mengalami kepikunan atau demensia
b. Status Kesehatan Masa lalu Klien
Saat ditanya, klien mengatakan sudah lupa.
7. Riwayat psikososial
Klien tidak dapat menceritakan riwayat psikososialnya. Informasi yang didapat oleh
klien adalah hanya bertemu dengan tukang becak dan dibawa ke panti werdha.
Keterangan :
Klien terlihat bingung saat dilakukan pengkajian. Jawaban klien tidak cocok dengan
pertanyaan yang diberikan karena klien pikun (demensia)
8. Observasi dan Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : kebersihan baik, terlihat kifosis, rambut beruban, terlihat
bingung dan kurang konsentrasi
b. Tingkat kesadaran : Kompos Mentis
c. GCS : 15 ( E=6, M=4, V=5)
d. TTV : Suhu= 36oC, N: 80x/menit, RR : 16x/menit, TD = 110/70mmHg
e. TB/BB : 140 cm/ 35kg
f. Kulit : Sawo matang, hiperpigmentasi
g. Head to toe
 Kepala : simetris, tidak ada nyeri tekan, tidak ada lesi
 Rambut dan kuku : panjang terikat beruban, kuku bersih
 Mata : Simetris dan ada katarak. Konjungtiva normal
 Telinga : Simetris, tidak ada kotoran
 Hidung : Simetris dan bersih
 Mulut dan gigi : Gigi tinggal 2, ada sedikit karies
 Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid dan kelenjar getak bening,
simetris
h. Pemeriksaan Persistem
 Pemeriksaan Kardivaskular : TD : 110 / 70 mmHg, N : 80x/menit
 Pemeriksaan penafasan : Pernafasan normal, RR : 16x/menit, vasikuler
 Sistem Gastrointestinal : Tidak ada nyeri tekan. Lambung tipani
 Anus dan genitalia : Ada sedikit kotoran dan sedikit bau
 Sistem perkemihan : Tidak ada nyeri saat berkemih, frekuensi 7-8x/hari
 Sistem Muskoloskeletal : Bentuk tulang belakang kifosis
 Sistem endokrin : tidak ada pembengkakan kelenja tiroid dan getah bening
 Sistem imun : menurun seiring bertambah usia.
i. Status Mental
Menggunakan Mini mental State Examination (MMSE)
Mini Mental State Examination
Nama Pasien : Ny A Nama Pewawancara : Ns. M
Usia Pasien : 80 Tahun Tanggal Wawancara : 3 April
Pendidikan : Tidak diketahui 2015
Waktu Wawancara : 12:00
Skor Skor Pertanyaan Keterangan
Maks Pasie
n
5 0 Sekarang hari apa ? salah
5 0 Sekarang ada dimana ? Tidak Tahu
3 3 Pewawancara menyebutkan nama 3 Benar 3
buah benda : meja, buku, pensil, lemari,
sepatu. Klien mengulang nama 3 benda
tersebut. Nilai 1 untuk tiap jawaban
yang benar
5 4 Hitung mundur 10 ke bawah ( nilai 1 Klien hanya bisa
untuk jawaban benar ) berhenti setelah menghitung sampai
mencapai hitungan 5 angka 8 ( skor = 3 )
3 0 Tanyakan kembali Benda yang Tidak mengingat
disebutkan sebelumnya.
9 Apakah nama benda ini ( pensil, Benar
Bisa melakukan
buku )?Skor 2
Bisa
Suruh memegang tangan. Skor 1
Lakukan 3 perintah :
Ambil buku dengan tangan kanan( skor
1)
Buka buku ( skor 1 ) Bisa
Letakkan buku dilantai ( skor 1)
Menyuruh klien memejamkan mata Tidak bisa
( skor 1)
Tidak bisa
Tulis sebuah kalimat “Allahu Akbar
dalam bahasa Arab” skor 1
Tirulah menggambar gambar ini :
pohon (skor 1)
Skor : 12
Keterangan Hasil
Nilai 21 – 30 : Normal
Nilai 11 – 20 : Probable gangguan
kognitif Nilai > 10 : Definite gangguan
kognitif
Analisa Data
No Data Problem Etiology
1 Ds : “mbak sampean sinten nggeh (dalam Kerusakan Demensia
bahasa jawa) ?” Memori

Do : Klien tidak mampu mengingat nama


perawat dengan terus menanyakan nama
perawat tiap kali bertemu, klien telihat
kebingungan saat dilakukan pengkajian dan
kadang – kadang jawabannya berubah –
ubah

2 Ds : Klien mengatakan lupa atau tidak tahu Demensia Perubahan


mengenai keluarganya fisiologis
(degenerasi
Do : Klien tidak tahu hari dan tanggal saat
neuron
ini, susah mengingat orang.
irreversible)
Pohon Masalah

Perubahan Proses Pikir ( Kerusakan


Efek memori )

Core Problem Demensia

Causa Perubahan Fisiologis (


Degenerasi Neuron )

Diagnosa Keperawatan

1. Kerusakan Memori berhubungan dengan gangguan neurologis, dibuktikan dengan


ketidakmampuan mengingat peristiwa, mudah lupa.
2. Resiko Jatuh berhubungan dengan penurunan status mental dan kesulitan melihat
3. Defisit Perawatan Diri : Eliminasi, berhubungan dengan gangguan kognitif
4. Defisit Perawatan Diri : Mandi, berhubungan dengan gangguan kognitif
Perencanaan dan Intervensi Keperawatan

Kerusakan Memori berhubungan dengan Gangguan Neurologis,


dibuktikan dengan ketidakmampuan mengingat peristiwa, mudah lupa
(00131 ) Domain 5 : Persepsi/ Kognisi
Kelas 4 : Kognisi
NOC NIC
Setelah dilakukan tindakan Manajemen Demensia ( 6460 )
keperawatan selama 3 x 24 jam, 1. Kenakan gelang identitas pasien
2. Panggil pasien dengan jelas, dengan
kesadaran klien terhadap identitas
nama ketika memulai interaksi, dan
personal, waktu dan tempat meningkat,
bicara perlahan.
dengan kriteria hasil :
3. Berikan perawatan yang tidak asing
Orientasi Kognitif ( 0901 )
bagi pasien dan hindari seringnya
1. Klien mampu mengenal orang
dilakukan pergantian staff
atau hal penting 4. Hindari situasi – situasi yang asing
2. Klien mampu Mengenal hari,
bila memungkinkan ( mis :
bulan, dan tahun dengan benar.
perubahan ruang dan janji tanpa
3. Klien mampu mengenal
kehadiran orang yang dikenal )
identitas dirinya dengan baik
5. Pilih aktivitas televisi atau radio
Konsentrasi ( 0905 )
berdasarkan kemampuan pengolahan
1. Klien mampu memperhatikan
kognitif dan minat pasien
dan mendengarkan dengan baik
Latihan Memori ( 4760 )
2. Klien mampu melaksanakan
1. Stimulasi memori dengan
instruksi sederhana yang
mengulangipembicaraan secara jelas
diberikan.
di akhir pertemuan dengan pasien.
2. Beri latihan orientasi , misalnya
pasien berlatih mengenai tanggal,
hari dengan cara yang paling tepat
3. Menyediakan gambar untuk
mengenal ingatannya
4. Kaji kemampuan klien dalam
mengingat sesuatu.
5. Monitor perilaku pasien selama
terapi
6. Identifikasi dan koreksi kesalahan
orientasi klien
Stimulasi Kognisi ( 4720 )
1. Kaji kemampuan klien dalam
memahami dan memproses
informasi
2. Observasi kemampuan klien
berkonsentrasi
3. Atur intruksi sesuai tingkat
pemahaman klien
4. Gunakan bahasa yang familiar dan
mudah dipahami

Resiko Jatuh berhubungan dengan penurunan status mental dan kesulitan


melihat ( 00155 )
Domain 11 : Keamanan
Kelas 2 : Cedera Fisik
NOC NIC
Setelah dilakukan tindakan Pencegahan Jatuh (6490)
keperawatan selama 3 x 24 jam klien 1. Identifikasi perilaku dan faktor yang
dapat menghindari resiko cedera mempengaruhi resiko jatuh.
2. Letakkan benda – benda dalam
dengan kriteria hasil :
jangkauan yang mudah bagi pasien
Kejadian Jatuh ( 1912 )
3. Sediakan alat bantu ( mis : tongkat
1. Klien tidak jatuh saat
dan walker )
melakukan aktivitas ( berjalan, 4. Gunakan teknik yang tepat untuk
ke kamar mandi ) memindahkan paisien ke tempat
2. Klien tidak jatuh saat
tidur, toilet dan lainnya.
dipindahkan 5. Hindari meletakkan sesuatu secara
3. Klien mampu mengontrol
tidak teratur di permukaan lantai.
aktivitas yang menyebabkan
Manajemen Lingkungan : Keselamatan
jatuh.
(6486)
1. Identifikasi kebutuhan keamanan
pasien berdasarkan fungsi fisik dan
kognitif.
2. Singkirkan baham berbahaya dari
lingkungan jika diperlukan
3. Modifikasi lingkungan untuk
meminimalkan bahan berbahaya dan
beresiko
4. Bantu pasien saat melakukan
perpindahan ke lingkungan yang
lebih aman.
5. Kolaborasikan dengan lembaga lain
untuk meningkatkan keselamatan
lingkungan

Diagnosa : Defisit Perawatan diri : Eliminasi berhubungan dengan Gangguan


kognitif (00110)
Domain 4 : Aktivitas / Istirahat
Kelas 5 : Perawatan Diri
NOC NIC
Setelah dilakukan tindakan Bantuan Perawatan Diri : Eliminasi
keperawatan selama 3 x 24 jam, defisit (1804)
perawatan diri dapat teratasi dengan 1. Bantu pasien ke toilet atau tempat
kriteria hasil : lain untuk eliminasi pada interval
Tingkat Demensia ( 0920 ) waktu tertentu
2. Fasilitasi kebersihan setelah
1. Kebutuhan ADL terpenuhi
melakukan eliminasi
dengan bantuan
3. Monitor integritas kulit pasien.
2. Tidak ada inkontinensia urin /
4. Ajarkan untuk melakukan dengan
usus
mandiri, dan memberikan bantuan
Perawatan Diri : Eliminasi ( 0310 )
hanya jika pasien tidak mampu
1. Klien mampu melakukan 5. Sediakan bantuan sampai klien
toileting mampu secara utuh melakukan
2. Klien mampu memposisikan
selfcare
diri di toilet
3. Klien mampu merespon
keinginan berkemih

Diagnosa : Defisit Perawatan diri : Mandi berhubungan dengan Gangguan


kognitif (00108)
Domain 4 : Aktivitas / Istirahat
Kelas 5 : Perawatan Diri
NOC NIC
Setelah dilakukan tindakan Bantuan Perawatan Diri : Mandi/
keperawatan selama 3 x 24 jam, Defisit Kebersihan ( 1801 )
Perawatan Diri : Mandi dapat diatasi 1. Tentukan jumlah tipe terkait dengan
dengan kriteria hasil : bantuan yang diperlukan.
2. Fasilitasi pasien untuk mandi sendiri
Perawatan Diri : Mandi ( 0301 )
dengan tepat
1. Klien mampu melakukan
3. Fasilitasi menggosok gigi dengan
aktivitas mandi
tepat
2. Dapat melakukan ADL dengan
4. Monitor itegritas kulit pasien
bantuan 5. Berikan bantuan sampai pasien
benar – benar mampu merawat diri
secara mandiri.

Evaluasi

S : Klien mangatakan nama hari ini dengan benar

O : Klien masih terlihat sedikit bingung dan masih lupa nama ners yang biasa mengkajinya

A : Masalah Belum teratasi sepenuhnya

P : Intervensi dilanjutkan

S:-

O : Klien masih harus dibantu untuk aktivitas seperti berjalan ( mobilisasi ), dan pergi ke
toilet. Tidak terjadi kejadian jatuh.

A : Masalah belum teratasi

P : Intervensi dilanjutkan

S:-

O : Klien bisa melakukan toileting mandiri

A : Masalah teratasi

P : intervensi dihentikan
S:-

O : Klien bisa melakukan aktivitas mandi sendiri

A : Masalah teratasi

P : Intervensi dihentikan.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Delirium, suatu kondisi akut penurunan perhatian dan disfungsi kognitif, merupakan
sindrom klinis yang umum, mengancam hidup, dan dapat dicegah; umumnya terjadi pada
individu berusia 65 tahun atau lebih.Sindrom delirium dapat didefinisikan sebagai
kegagalan otak akut yang berhubungan dengan disfungsi otonom, disfungsi motorik,dan
kegagalan homeostasis kompleks dan multifaktorial, sering tidak terdiagnosis dan ditangani
dengan buruk. Kata “delirium” awalnya digunakan dalam dunia medis untuk
menggambarkan gangguan mental selama demam atau cedera kepala, kemudian
berkembang menjadi pengertian yang lebih luas, termasuk istilah “status konfusional akut”,
“sindrom otak akut”, “insufisiensi serebral akut”, “ensefalopati toksik-metabolik”.

Demensia merupakan gangguan kognitif yang ditandai oleh hilangnya fungsi


intelektual yang berat, yang menyebabkan deteriorasi kognisi dan fungsional, sehingga
mengakibatkan gangguan fungsi sosial, pekerjaan dan aktivitas sehari-hari. (Asosiasi
Alzheimer Indonesia,2003).
DAFTAR PUSTAKA

Darmojo, Boedhi. 2009. Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut), Edisi 4. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI

Bulechek, M Gloria. Buthcer, K Howard Dkk. 2013. Nursing Interventions Classification


(NIC) : 6th edition. Singapore : Elsevier

Dewanto, George dr, dkk. 2007. Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta : EGC

Herdman, T Heather. Kamitsuru, Shigemi . 2014. Nursing Diagnoses : Definitions &


Classification 2015 – 2017. UK : Wiley Blackwell

Hoorhead, Sue. Johnson, Marion. Dkk. 2013. Nursing Outcome Classification ( NOC ) : 5th
edition. Singapore : Elsevier

Kushariyadi. 2010. Asuhan Keperawatan pada Klien Lanjut Usia. Jakarta : Salemba Medika

Keliat, Budi Anna. Dkk. 2007. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. Jakarta : EGC

Luman, Andy. Sindrom Delirium. CDK – 233/ Vol. 42 no 10, 2015. Departemen Ilmu
Penyakit Dalam : FK Universitas Sumatra Utara, Medan, Indonesia

Michael Gelder, Richard Mayou, John Geddes., Psychiatry 2nd edition, Oxford University,
New York, 1999.

Anda mungkin juga menyukai