Anda di halaman 1dari 25

Nama Dosen : Ns. Rosnia S.Kep., M.Kes.

Mata Kuliah : Keperawatan Menjelang Ajal

MAKALAH
TERMINAL ILLNESS

DISUSUN OLEH :
Kelompok 6
NURINDAH HASTUTY.A (183010013)
JONICE KAMARIGI (173010015)
RIF’AT AFIFAH (183010016)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS PATRIA ARTHA
TAHUN 2021

0
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh segala puji syukur kami


panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan karunia-Nya, kami dapat
menyelesaikan tugas penulisan makalah mata kuliah KEPERAWATAN
MENJELANG AJAL tepat waktu. Tidak lupa shalawat serta salam tercurah kepada
Rasulullah SAW yang syafa’atnya kita nantikan kelak.

Penulisan makalah berjudul “TERMINAL ILLNESS” , Kami berharap


makalah tentang terminal illlness dapat menjadi referensi bagi pihak yang tertarik.
Selain itu, kami juga berharap agar pembaca mendapatkan sudut pandang baru
setelah membaca makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih memerlukan penyempurnaan, terutama


pada bagian isi. Kami menerima segala bentuk kritik dan saran pembaca demi
penyempurnaan makalah. Apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini, kami
memohon maaf. Demikian yang dapat kami sampaikan akhir kata, semoga makalah
TERMINAL ILLNESS ini dapat bermanfaat. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi
Wabarakatuh.

Gowa, 25 Januari 2021

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................................1
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................3
A.   Latar Belakang..................................................................................................................3
B.   Tujuan Perawatan Terminal Ilness....................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................................5
A.   Pengertian......................................................................................................................5
B.   Kondisi Terminal.............................................................................................................5
C.    Problem yang berkaitan dengan The Dying/sekarat.....................................................5
D.   Tahapan Respon Klien terhadap Dying Process/ Proses Sekarat....................................5
E.     Tingkat Kesadaran (State of awareness).......................................................................6
BAB III PENUTUP...............................................................................................................21
Kesimpulan............................................................................................................................21
Saran..................................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................22

2
BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang

Kematian sebagai wujud kehilangan kehidupan dan abadi sifatnya , baik


bagi yang tengah menjalani proses kematian maupun bagi yang ditinggalkan.
kematian ini dapat bermakna berbeda bagi setiap orang. Wolf (1989:754)
mengemukakan bahwa setiap orang mempunyai kesempatan dan hak untuk
meninggal secara damai dan nyaman, dan perawat dapat menyediakan bantuan
keperawatan yang memungkinkan seseorang untuk meninggal secara damai menurut
jalannya. Pengalaman dan Kesadaran seseorang dalam menjalani proses kematian
(NDEs & NDAs). Dalam konteks kondisi terminal, mengalami dekat kematian,
NDEs ( Near Death Experience ) merupakan pengalaman yang dirasakan sejalan
dengan perubahan kondisi fisik yang dialami,sedangkan mengalami dekat kesadaran
kematian , NDAs (Near death Awareness) merupakan pengalaman yang signifikan
menjelang kematian, dapat terjadi tanpa disertai perubahan kondisi fisik,berfungsi
untuk menyiapkan diri menghadapi kematian, dan dialami bila pasien dalam kondisi
sadar penuh
Pada proses ini :
1.    Secara sadar yang bersangkutan meriviu pengalaman hidupnya secara mendetil , hal
yang menjadi minat utamanya, dan bila memungkinkan berupaya terlibat dalam
aktifitas itu.
2.    Yang bersangkutan mengidentifikasi apa yang selama ini telah dipelajarinya dan
kontribusi apa yang telah diberikan ke sekelilingnya,maaf memaafkan menjadi
kepedulian utama, ybs menyadari ini merupakan aspek penting untuk mengatasi
masalah yang tidak dapat diselesaikan.

3
3.    Yang bersangkutan memulai proses dengan menyatakan selamat berpisah kepada
semua aspek kehidupan. Melepaskannya satu persatu pada waktu yang.

Banyak masalah legal melingkupi peristiwa kematian, meliputi definisi


dasar dari titik yang aktual dimana seseorang dipertimbangkan meninggal. Hukum
mengidentifikasi kematian terjadi ketika ada penurunan fungsi otak yang hebat, selain
fungsi organ yang lainnya. Ketika klien tidak mengizinkan pemberi pelayanan
kesehatan untuk mencoba menyalamatkan hidup mereka, fokus perawat harus
menjadi tujuan perawatan versus penyembuhan. Pada situasi lain yang melibatkan
kematian, perawat memiliki tugas legal yang khusus. Misalnya, perawat memiliki
kewajiban hukum untuk menjaga orang yang meninggal secara bermartabat.
Penanganan yang salah untuk orang yang meninggal dapat membahayakan emosional
bagi orang yang selamat. Asuhan keperawatan klien dengan penyakit terminal sangat
menuntut dan menegangkan. Namun demikian, membantu klien menjelang ajal untuk
meraih kembali martabatnya dapat menjadi salah satu penghargaan terbesar
keperawatan. Perawat dapat berbagi penderitaan klien menjelang jal dan
mengintervensi dalam cara meningkatkan kualitas hidup. Klien menjelang ajal harus
dirawat dengan respek dan perghatian
( nursemuslim.wordpress.com ).

B.   Tujuan Perawatan Terminal Ilness.


Adapun tujuan dari perawatan terminal illness antara lain :

1.    Mempertahankan pasien yang nyaman dan bebas dari nyeri.


2.    Membuat hari-hari akhir pasien sebaik mungkin untuk pasien maupun keluarga,
dengan sedikit mungkin penderitan.
3.    Membantu pasien meninggal dengan damai.
4.    Memberikan kenyamanan bagi keluarga.

4
5
BAB II
PEMBAHASAN 

A. Pengertian
  

Penyakit terminal merupakan penyakit progresif yaitu penyakit yang menuju ke


arah kematian. Contohnya seperti penyakit jantung,dan kanker atau penyakit terminal
ini dapat dikatakan harapan untuk hidup tipis, tidak ada lagi obat-obatan, tim medis
sudah give up (menyerah) dan seperti yang di katakan di atas tadi penyakit terminal
ini mengarah kearah kematian.

B. Kondisi Terminal.
  

Suatu kondisi dimana seseorang mengalami sakit atau penyakit yang tidak
mempunyai harapan untuk sembuh dan menuju pada proses kematian dalam 6 bulan
atau kurang.

C. Problem yang berkaitan dengan The Dying/sekarat.


   

1.    Problem fisik, berkaitan dengan kondisi /penyakit terminalnya : nyeri, perubahan
berbagai fungsi sistem tubuh, perubahan tampilan fisik
2.    Problem psikologis, Ketidak berdayaan : kehilangan kontrol, ketergantungan,
kehilangan diri dan harapan
3.    Problem social, Isolasi dan keterasingan, perpisahan
4.      Problem spiritual, faith ,hope, fear of unknown
5.    Ketidaksesuaian, antara kebutuhan dan harapan dengan perlakuan yang didapat
( franciscasri.wordpress.com ).

D. Tahapan Respon Klien terhadap Dying Process/ Proses Sekarat


  

( Kubler – Ross,1969 )

1.    Denial – penolakan


6
Respon dimana klien tidak percaya atau menolak terhadap apa yang dihadapi/
sedang terjadi. Yang bersangkutan tidak siap terhadap kondisi yang dihadapi dan
dampaknya. Denial berfungsi sebagai buffer setelah mendengar sesuatu yang tidak
diharapkan. Ini memungkinkan bagi pasien untuk membenahi diri.
2.    Anger – marah
Fase marah terjadi saat fase denial tidak lagi bisa dipertahankan. Rasa
kemarahan ini sering sulit dipahami oleh keluarga/orang terdekat oleh karena dapat
terpicu oleh hal-hal yang secara normal tidak menimbulkan kemarahan. Rasa marah
ini sering terjadi karena rasa tidak berdaya ,bisa terjadi kapan saja dan kepada siapa
saja tetapi umumnya terarah kepada orang-orang yang secara emosional punya
kedekatan hubungan
3.    Bargaining – tawar menawar
Klien mencoba untuk melakukan tawar menawar dengan Tuhan agar terhindar
dari kehilangan yang akan terjadi, ini bisa dilakukan dalam diam atau dinyatakan
secara terbuka.Secara psikologis tawar menawar dilakukan untuk memperbaiki
kesalahan atau dosa masa lalu
4.    Depression – kesedihan mendalam
Rasa kesedihan yang mendalam sebagai akibat kehilangan ( past loss &
impending loss ), ekspresi kesedihan ini – verbal/non verbal merupakan persiapan
terhadap kehilangan/perpisahan abadi dengan apapun dan siapapun.
5.    Acceptance – menerima
Pada tahap menerima ini, klien memahami dan menerima keadaannya, yang
bersangkutan mulai kehilangan interest dengan lingkungannya, dapat menemukan
kedamaian dengan kondisinya, dan beristirahat untuk menyiapkan dan memulai
perjalanan panjang ( franciscasri.wordpress.com ).

7
E. Tingkat Kesadaran (State of awareness)
    

Tingkat kesadaran terhadap kondisi terminal, baik dari sisi pasien atau
keluarga harus dikaji untuk menentukan bagaimana perawat harus berkomunikasi
dengan pasien dan keluarga .Tingkat kesadaran ini meliputi :
1.    Clossed Awareness( Kesadaran Tertutup )
Dalam hal ini klien dan keluarga tidak menyadari datangnya kematian, tidak tahu
mengapa sakit dan percaya akan sembuh
2.    Mutual Pretense.
Dalam hal ini klien,keluarga,team kesehatan tahu bahwa kondisinya terminal tetapi
merasa tidak nyaman untuk dan menghindari membicarakan kondisi yang dihadapi
klien. Ini berat bagi klien karena tdk dapat mengekspresikan ketakutannya
3.    Open Awareness ( Kesadaran Terbuka )
Pada kondisi ini klien dan orang disekitarnya tahu bahwa ia berada diambang
kematian sehingga tidak ada kesulitan untuk membicarakannya. Pada tahap ini klien
dapat dilibatkan untuk proses intervensi keperawatan ( franciscasri.wordpress.com ).

HUBUNGAN MEKANISME KOPING DENGAN KUALITAS


HIDUP PADA PASIEN TERMINAL DENGAN KANKER
SERVIKS( Jurnal Nasional)

Mekanisme Koping

1. Definisi Mekanisme Koping

Koping adalah perubahan kognitif dan perilaku secara konstan dalam upaya
untuk mengatasi tuntutan internal dan atau eksternal khusus yang melelahkan atau
melebihi sumber individu. Mekanisme koping merupakan cara yang dilakukan untuk
beradaptasi terhadap stres. Strategi yang dilakukan berupa pikiran dan perilaku yang
diarahkan kepada pencarian informasi, pemecahan masalah, mencari bantuan orang
8
lain, mengelola emosi, menetapkan tujuan (Zulfan & Wahyuni, 2014).

2. Fungsi Koping

Koping mekanisme positif digunakan untuk mengendalikan diri atas respon yang
diterima, dengan mengubah cara memandang keadaan atau suasana hati kedalam
struktur kepribadian dari egoisme yang sempit dalam super ego (Nasir & Muhith,
2011). Menurut Lazarus (1984 dalam Kusnadi, 2015), koping mempunyai dua fungsi
utama yaitu:
a. Emotion focused coping
Emotion focused coping diarahkan pada pengontrolan respons emosi pada stres.
Pengontrolan emosi dapat melalui pendekatan perilaku dan kognitif melalui:
1) Pendekatan perilaku dan
2) Pendekatan kognitif.
b. Problem focused coping
Problem focused coping diarahkan pada penurunan tuntutan stres dan
peningkatan kemampuan menghadapi stres, misalnya: melakukan negoisasi, keluar dari
tempat yang menimbulkan stres, mengatur jadwal baru, mencari pengobatan atau
menambah keterampilan yang lain.

Kualitas Hidup
1. Definisi Kualitas Hidup
Kualitas hidup adalah sasaran utama yang ingin dicapai di bidang pembangunan
sehingga kualitas hidup ini sejalan dengan tingkat kesejahteraan. Diharapkan semakin
sejahtera maka kualitas hidup semakin tinggi. Kualitas hidup ini salah satunya
dipengaruhi oleh derajat kesehatan. Semakin tinggi derajat kesehatan seseorang maka
kualitas hidup juga semakin tinggi (Nursalam, 2013).
2. Kualifikasi Kualitas Hidup
Kualifikasi Kualitas Hidup menurut Notoadmodjo (2007) meliputi: a) Kualitas
hidup baik yaitu kualitas hidup yang dimiliki seseorang dengan kebiasaan seperti
mengatur pola makan, gaya hidup yang baik, rutin memeriksakan kesehatan dan rajin
9
mengikuti program penyuluhan dari pemerintah, b) Kualitas hidup buruk merupakan
kualitas hidup yang dimiliki seseorang dengan kebiasaan yang dapat meningkatkan
risiko paparan penyakit.
3. Pengukuran QOL (Quality Of Life)
The WHOQOL-BREF menghasilkan kualitas profil hidup adalah mungkin untuk
menurunkan empat skor domain. Keempat skor domain menunjukkan sebuah persepsi
individu tentang kualitas kehidupan di setiap domain tertentu. Domain skor berskalakan
ke arah yang positif (yaitu skor yang lebih tinggi menunjukkan kualitas hidup lebih
tinggi). Biasanya seperti cakupan index antara 0 (mati) dan 1 (kesehatan sempurna)
(Nursalam, 2013).

Penyakit Terminal

1. Definisi penyakit terminal

Penyakit terminal adalah penyakit progresif yang menuju kematian. Penyakit


terminal ini dapat dikatakan bahwa harapan untuk hidup tipis, tidak ada obat-obatan,
tim medis sudah give up (menyerah) dan dimana penyakit terminal ini mengarah kearah
kematian (White, 2002 dalam Fitria, 2010).
Contohnya seperti penyakit jantung,dan kanker atau penyakit terminal ini dapat
dikatakan harapan untuk hidup tipis, tidak ada lagi obat-obatan, tim medis sudah give
up (menyerah) dan seperti yang di katakan di atas tadi penyakit terminal ini mengarah
kearah kematian.

2. Kondisi Terminal.

Suatu kondisi dimana seseorang mengalami sakit atau penyakit yang tidak
mempunyai harapan untuk sembuh dan menuju pada proses kematian dalam 6 bulan
atau kurang.   
10
3. Manifestasi Penyakit Terminal

Manifestasi penyakit terminal dapat digambarkan dalam respon fisik dengan


gerakan penginderaan menghilang, aktivitas gastrointestinal berkurang, refleks meng-
hilang, suhu tinggi, kulit kelihatan kebiruan dan pucat, denyut nadi tidak teratur, nafas
berbunyi keras dan cepat mendengkur, penglihatan mulai kabur, klien merasa nyeri,
klien dapat tidak sadarkan diri. Respon psikologis diantaranya rasa takut yang
diungkapkan dengan ekspresi wajah atau air muka, cemas diungkapkan dengan
cara menggerakkan otot rahang dan kemudian mengendor, rasa sedih menangis serta
kecemasan (Dalami, 2009).
4. Fase Kehilangan dan Respon Cemas Pasien Terminal
Menurut Elizabeth Kubbler Ross’s dalam Campbell, (2009) 5 tahap yang akan
dilalui dalam menghadapi kematian/ kehilangan yaitu:
a) Tahap pengingkaran atau denial adalah ketidak mampuan menerima kehilangan,
b) Tahap Anger adalah tahap kekesalan akan kehilangan
c) Tahap tawar-menawar atau bargaining adalah cara koping dengan hasil-hasil yang
mungkin dari penyakit dan menciptakan kembali tingkat kontrol,
d) Tahap depresi adalah ketiadaan usaha apapun untuk mengungkapkan perasaan atau
reaksi kehilangan,
e) Tahap acceptance adalah akhirnya klien dapat menerima kenyataan dengan
kesiapan.
5. Rentan Respon Pasien Terminal

Adaptif Mal-adaptif

11
Harapan Ketidakpastian Putus Asa

(Stuart & Sundeen 1998 dalam Dalami, 2009)

a. Harapan
Harapan adalah mempunyai respon psikologis terhadap penyakit terminal.
b. Ketidakpastian
Kepastian adalah penyakit terminal dapat mengakibatkan ketidakpastian disertai
dengan rasa tidak aman dan putus asa.
c. Putus asa
Putus asa biasanya ditandai dengan kesedihan dan seolah - olah tidak ada lagi
upaya yang dapat berhasil untuk mengenal penyakitnya.

Kanker Serviks
1. Definisi Kanker Serviks
Kanker leher rahim atau yang disebut juga sebagai kanker serviks merupakan
suatu penyakit yang disebabkan oleh HPV atau Human Papilloma virus onkogenik,
mempunyai persentasi yang cukup tinggi dalam menyebabkan kanker serviks, yaitu
99,7%. Kanker serviks adalah salah satu penyakit kanker yang paling banyak terjadi
pada kaum wanita. Setiap satu jam, satu wanita meninggal di Indonesia karena kanker
serviks (Tilong, 2012).

2. Factor Resiko Kanker Serviks

a) Human Papilloma Virus (HPV)

Faktor risiko yang utama dan perlu mendapat perhatian adalah infeksi Human
Papilloma Virus (HPV) (Rasjidi, 2008).

b) Merokok
Rokok yang terbuat dari tembakau dapat menyebabkan terjadinya kanker serviks
(Subagja, 2014).

12
c) Kontrasepsi oral
Risiko noninvasif dan invasif kanker serviks telah menunjukan hubungan dengan
kontrasepsi oral (Rasjidi, 2008).
d) Bergonta-ganti pasangan seksual Bergonta-ganti pasangan memiliki
risiko yang semakin besar untuk terkena HPV. Hal ini juga menebabkan risiko tinggi
terkena kanker serviks (Savitri, dkk, 2015).
e) Paritas yang tinggi
Pada saat melahirkan secara alami, janin akan melewati serviks dan menimbulkan
trauma pada serviks, yang bisa memicu aktifnya sel kanker. Semakin sering janin
melewati serviks, semakin sering pula trauma terjadi maka akan semakin tinggi risiko
kanker serviks (Subagja, 2014).
f) Infeksi klamidia
Infeksi klamidia adalah salah satu PMS (penyakit menular seksual) yang dapat
menyerang organ reproduksi pria dan wanita. Penyakit ini tak memperlihatkan gejala
khusus (Savitri, dkk , 2015).

g) Hubungan seksual

Karsinoma serviks diperkirakan sebagai penyakit yang ditularkan secara seksual,


di mana beberapa bukti menunjukkan adanya hubungan antara riwayat hubungan
seksual dan risiko penyakit ini (Rasjidi, 2008).
h) Faktor kebersihan
Kebersihan merupakan hal yang tidak boleh kita sepelekan, terutama bagi wanita
(Subagja, 2014).
i) Riwayat kanker serviks pada keluarga
Banyak faktor risiko kanker serviks yang disebabkan oleh gaya hidup yang salah.
Apabila saudara kandung atau ibu mempunyai riwayat kanker serviks, maka risiko
seseorang untuk terkena kanker serviks juga lebih besar dari pada wanita yang tidak
memiliki riwayat kanker serviks pada keluarga. Beberapa penelitian menduga hal ini
berkaitan dengan berkurangnya kemampuan orang tersebut dan keluarga untuk

13
melawan infeksi HPV (Savitri, dkk, 2015).
j) Faktor alamiah
Faktor secara alamiah yang dimaksud adalah terjadinya kanker serviks pada
wanita yang berusia di atas 40 tahun. Semakin tua usia seseorang semakin rentan untuk
terkena kanker serviks. Seseorang tidak dapat mencegah terjadinya penuaan tetapi dapat
melakukan hal-hal untuk mencegah meningkatnya risiko (Subagja, 2014).

k) Lemahnya imunitas
Humun Immunodeficiency Virus (HIV) adalah sebuah virus yang menyerang
sistem kekebalan atau imunitas tubuh. Sehingga penderitanya akan mudah terserang
penyakit. Jika seorang wanita terdiagnosa virus HIV, maka mudah sekali baginya untuk
terinfeksi virus HPV (Savitri, dkk, 2015).
l) Etnis dan faktor sosial
Wanita di kelas sosial ekonomi yang paling rendah memiliki faktor risiko lima
kali lebih besar daripada faktor risiko pada wanita di kelas yang paling tinggi.
Hubungan ini mungkin dikacaukan oleh hubungan seksual dan akses ke sistem
pelayanan kesehatan (Rasjidi, 2008).
m) Defisiensi nutrisi
Kekurangan nutrisi dalam tubuh juga dapat menjadi faktor risiko yang nyata pada
wanita untuk terkena kanker serviks. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa defisiensi
asam folat juga dapat meningkatkan risiko terserang dysplasia ringan atau sedang
(Savitri, dkk, 2015).

n) Pekerjaan
Sekarang ini ketertarikan difokuskan pada pria yang pasangannya menderita
kanker serviks. Diperkirakan bahwa paparan bahan tertentu dari suatu pekerjaan; debu,
logam, bahan kimia, tar, atau oli mesin dapat menjadi faktor resiko kanker serviks
(Rasjidi, 2008).

o) Kelebihan berat badan

14
Wanita dengan berat badan berlebih juga memiliki faktor resiko terkena kanker
serviks yang lebih tinggi, terutama jenis kanker adenocarcinoma (Savitri, dkk, 2015).

3. Gejala Kanker Serviks

Berikut gejala umum yang paling sering muncul dialami penderita kanker serviks.
a. Keputihan abnormal
Penderita kanker serviks akan mengalami keputihan yang tidak normal disertai
dengan perdarahan dan jumlahnya berlebih (Maysaroh, 2013). Keputihan yang menetap
dengan cairan yane encer berwarna ping cokelat mengandung darah atau hitam serta
berbau busuk (Subagja, 2014). Bahkan pada stadium lanjut cairan tersebut berwarna
kuning dengan bau sangat menyengat (Supriyanto, 2010).
b. Perdarahan pervaginam
Gejala kedua yang biasanya dialami penderita kanker serviks adalah
mendapatkan perdarahan yang tidak normal. Perdarahan pervaginam terjadi saat
berhubungan seksual, atau diluar masa haid, dan keluarnya cairan dari vagina. Bila
sudah lanjut, cairan yang keluar menjadi berbau tak sedap dan sering disertai dengan
keluhan nyeri di daerah panggul, lumbosakral, dan gluteus (Hendra, 2010).
c. Mengalami rasa sakit yang aneh pada organ reproduksi

Selain mengalami keputihan dan perdarahan tidak normal, penderita kanker


serviks akan mengalami sakit abnormal pada organ reproduksinya pada situasi- situasi
tertentu (Savitri, 2015).

METODOLOGI PENELITIAN
Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian Correlation Study dengan desain penelitian
cross sectional dimana variabel independen dengan variabel dependen diteliti sekaligus
secara bersamaan (Notoatmodjo, 2010).

15
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi yang dipilih menjadi tempat penelitian ini adalah di RSU.Vina Estetica
Medan. Waktu penelitian akan dilakasanakan pada bulan Juli 2016.

Populasi dan Sampel


Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien penderita kanker serviks di
RSU. Vina Estetica Medan sebanyak 23 orang. Sampel dalam penelitian ini adalah
sebanyak 23 orang.
Aspek Pengukuran
Alat ukur untuk kualitas hidup menggunakan kuesioner WHOQOL- BREFdengan
4 domain yaitu fisik, psikologis, hubungan sosial dan lingkungan dengan pertanyaan
sebanyak 26 item menggunakan skala likert (Rasjidi, 2010).

HASIL PENELITIAN

Analisis Univariat
Tabel 1 Distribusi Frekuensi dan Persentase Mekanisme Koping dengan
Kualitas Hidup pada Pasien Terminal dengan Kanker Serviks di RSU. Vina Estetica
Medan Tahun 2016 (n=23)
Juml
Persent
N Variabel ah
ase
o. Sam
(%)
pel
(n)
1 Mekanis
. me
Koping 8 34,
a. Positif 15 8
b.Negatif 65,
2
Total 23 100
Kuali
tas 6 26,
Hidu 17 1
p 73,
a. Baik 9
b.Kurang
Total 23 100
Berdasarkan tabel 1 diatas dapat dilihat bahwa, mekanisme koping pasien
16
kanker serviks dengan koping positif sebanyak 8 orang (34,8%), dan pasien kanker
serviks dengan mekanisme koping negatif adalah sebanyak 15 orang (65,2%).
Mayoritas pasien kanker serviks memiliki mekanisme koping negatif yaitu sebanyak
15 orang (65,2%) dan minoritas pasien kanker serviks dengan mekanisme koping
positif sebanyak 8 orang (34,8%). Kualitas hidup pada pasien kanker serviks baik 6
orang (26,1%) dan kurang baik sebanyak 17 orang (73,9%).
Analisa Bivariat
Tabel 2 Hubungan Mekanisme Koping dengan Kualitas Hidup pada Pasien Terminal
dengan Kanker Serviks di RSU. Vina Estetica Medan Tahun 2016 (n=23)
Berdasarkan tabel di atas didapatkan mekanisme koping positif dengan kualitas
hidup baik sebanyaj 3 orang (37,5%) dan kurang sebanyak 5 orang (62,5%) sedangkan
mekanisme koping negatif dengan kualitas hidup baik sebanyak 3 orang (60%) dan
kurang sebanyak 2 orang (40%).

Hasil uji spearman dalam hubungan mekanisme koping dengan kualitas hidup pada
pasien terminal dengan kanker serviks di RSU. Vina Estetica Medan tahun 2016 besar
korelasi yang terjadi antara kedua variabel adalah 0,76 yang artinya korelasi sangat
signifikan karena mendekati 1. Berarti terdapat hubungan yang signifikan antara kedua
variabel (p Value 0,000 < α = 0,05) maka Ho ditolak dan Ha diterima. Kesimpulannya
bahwa ada hubungan hubungan mekanisme koping dengan kualitas hidup pada pasien
terminal dengan kanker serviks di RSU. Vina Estetica Medan tahun 2016.

MEETING THE NEEDS OF NURSE IN EFFORTS BY THE SPIRITUAL


SELF IMPROVEMENT OF PATIENTS WITH TERMINAL DISEASE IN
THE HOSPITAL WARD ( Jurnal Internasional)

Kehilangan, kematian dan kesedihan adalah peristiwa yang terkait erat


dengan penyakit mematikan. Pada pasien dengan penyakit terminal ada ketakutan,
dan kecemasan tentang sesuatu yang tidak pasti. Timbulnya perasaan tersebut pada
pasien terminal salah satunya karena rendahnya efikasi diri, dimana pasien tidak
yakin akan kesembuhannya (Suseno,2012). Efikasi diri menentukan kemampuan
17
orang untuk menghadapi masalah dimana manusia dapat mengantisipasi kematian
dan kondisi terminal yang dihadapinya. Efikasi diri seseorang bergantung pada
keyakinan dan kekuatan emosional seseorang yang dapat mempengaruhi
mekanisme koping individu (Suseno, 2012).

1. Definisi kebutuhan spiritual

Kebutuhan spiritual merupakan kebutuhan dasar yang dibutuhkan oleh setiap


manusia. Jika seseorang dalam keadaan sakit, maka hubungan dengan tuhannya
semakin dekat, mengingat seseorang dalam kondisi sakit menjadi lemah dalam
segala hal, tidak ada yang mampu mengangkatnya dari kesembuhan, kecuali
sang pencipta. Dalam pelayanan kesehatan, perawat sebagai tenaga kesehatan
harus memiliki peran utama dalam memenuhi kebutuhan spiritual dalam upaya
meningkatkan efikasi diri pasien atau meningkatkan rasa percaya diri baru yang
tinggi. Perawat dituntut untuk dapat memberikan kepuasan yang lebih pada saat
pasien dalam keadaan kritis atau mendekati kematian (Hidayat A.A 2013).

2. Metode penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah analitik korelasi dengan pendekatan


cross sectional. Metode ini digunakan untuk mengukur hubungan pemenuhan
kebutuhan spiritual oleh perawat dalam upaya meningkatkan efikasi diri pasien
penyakit terminal di Ruang Rawat Inap RSUD Kota DKT Kediri. Penelitian
dilakukan pada tanggal 20-25 januari 2017 dengan 21 responden. Dengan
menggunakan teknik Simple Random Sampling.
Meeting spiritual needs
No Meeting Quanti Prosenta
Spiritual ty se
Needs
1 Low 4 19
2 Moderate 14 66,7
3 High 3 14,3
4 Very High 0 0

18
Total 21 100%
Most of the respondents 66.7% (14 people) had moderate

spiritual needs Self Efficacy


No self efficacy Quanti Prosenta
ty se
1 Not Sure 0 0
2 Not too Sure 12 57,1
3 Sometimes 6 28,6
4 Sure 3 14,3
5 Very Sure 0 0
Most respondents
Total 57.1% (12 people)
21were not too sure they would be able to live the
100%
rest of their lives better

Fulfillment of spiritual needs by nurses with self-efficacy of patients with terminal


illness
(Correlati
Correlati
on Value) Significan
on r ce
Analysi
s

Spiritual
0,576 0,006
needs with
self efficacy
From the statistical test results, the p-value is p = 0.006, which means it is smaller than
the value of α = 0.05 (p = 0.006 <α = 0.05), it means rejecting Ho, the conclusion is
that there is a relationship between the fulfillment of spiritual needs by nurses in an
effort to increase self efficacy patients with terminal illness in the Inpatient Room of
Kediri City DKT Hospital
The results showed that most respondents with terminal illness showed that
66.7% (14 people) were fulfilling spiritual needs by moderate nurses, 4 respondents
(19%) had low spiritual needs. The goal of nursing a client with a spiritual terminal
condition. Increasing spiritual tranquility has a greater meaning than just asking the
clergy. When death approaches, patients often seek calm. Nurses and families can help
patients express their values and beliefs. dying patients may seek to find purpose and
meaning in life before surrendering to death (McSherry, 2010).
19
The results showed that the majority of respondents 52% (11 people) were over
55 years old. Research shows that young adults become increasingly unafraid of death
as they get older. They realize that they might die of chronic illness. They also have a
longer past than young adults and give them the opportunity to receive more. People
who see their past and believe that they have fulfilled important things and live well
have no difficulty in adapting to terminal illness (Kartina, 2010). This means in
accordance with the theory that the more age will get closer to God and the fulfillment
of their spiritual needs is getting stronger and they are resigned to the condition of their
illness and are ready when at any time of death.
The results of recapitulation of data meeting the fulfillment of spiritual needs
about whether nurses reminded patients to worship 18 respondents (85.7%) said rarely,
and only 3 respondents (14.3%) said often. The question about whether during being
treated to fulfill the spiritual needs of patients is met, 17 respondents (81%) said rarely
met. Someone with a terminal illness will experience grief and loss. As a nurse we must
be able to understand that. Communication with terminal illness clients is not easy
communication. Nurses must have knowledge about the illness they are experiencing as
well as knowledge about the process of grieving and loss. In communicating nurses use
the concept of therapeutic communication. When communicating with clients with such
conditions there may be resistance from the client. In dealing with these conditions,
nurses use therapeutic communication. Building trusting and caring relationships with
clients and families through the use of therapeutic communication forms the basis for
palliative service interventions. Mok and Chiu (2004) are quoted from Potter and Perry
(2010). This is consistent with the theory that if nurses implement appropriate
communication in guiding terminal patients, the fulfillment of the spiritual needs of
patients will be fulfilled because one of the nurses' tasks is to fulfill spiritual needs.
Since April 2016 the DKT Hospital has had an MOU or collaboration with the
Ministry of Religion by bringing in Muslim clerics every Tuesday. They come to each
treatment and provide spiritual guidance for patients who are treated especially in
terminal patients. For patients whose religion is other than Islam the spiritual service is
carried out if the family or patient wishes. The rest when entering prayer time through
audio the hospital always reminds all residents of the prayer hospital and harden the call
to prayer.
The results showed that nearly half of the respondents 57.1% (12 people) were not
too sure they would be able to live the rest of their lives better, and only 3 respondents
(14.3%) were sure they could live the rest of their lives better. Self-efficacy of patients
with terminal illness is a person's beliefs about their ability to produce planned levels of
performance, where those abilities are trained, driven by events that affect one's life
Bandura (1994) in Mustaqim (2011). Researchers believe that terminal patients'
confidence in recovering is very little because on average they have had this terminal
disease for a long time. The results showed that almost half of respondents, 48% (10
people) had been suffering from the disease for more than 5 years and 6 respondents
(28%) had suffered from terminal illness for 1 to 5 years. Self-efficacy is formed
through a learning process that can occur in an organization or company where
20
individuals experience pain. Self efficacy is formed as a process of adaptation and
learning that exists in an illness situation. The longer a person is sick, the higher the self-
efficacy that an individual has in dealing with his illness, but it does not rule out the
possibility that the self- efficacy possessed by that individual actually tends to decrease
or remain. It also really depends on how individuals deal with the successes and failures
they experience during treatment (Mustaqim, 2011). From the description above the
researchers argue that respondents who have long suffered from terminal illnesses
already understand very well about the disease and the percentage of recovery, so that
the average terminal patient who has long resigned to his recovery and is not sure of his
recovery.
The results showed that almost half of the respondents 52% (11 people) were aged
over 55 years, and only 1 respondent aged 20-35 years. Self efficacy is formed through a
process of social learning that can last for a lifetime. Older individuals tend to have more
time span and experience in overcoming something that happens when compared to
younger individuals, who may still have less experience and events in their lives. Older
individuals will be better able to overcome obstacles in their lives compared to younger
individuals, this is also related to experiences that individuals have throughout their life
span (Alwisol, 2012). Researchers argue that the average age of terminal patients is old,
so they have a lot of experience in dealing with various kinds of disasters, and know
about the condition of the disease. From the results of recapitulation of data questions
about the Generality indicator shows that the majority of respondents 13 people (61.9)
are less able to realize almost all their life goals while sick and on the strength indicator,
shows that the majority of respondents 14 people (66.7%) can not do activities that are
not too heavy. This generality dimension is related to one's belief in one's ability to be
different in terms of generalization. This means that someone might judge their beliefs
for certain activities. This strength dimension is related to the level of strength or
stability of a person towards his belief. This dimension of strength is related to the
level of strength or stability of a person towards his belief Bandura (1997) in Mustaqim
(2011). There is a congruence between the facts and the theory that most of the
respondents' self efficacy is low because they are not sure to be able to meet their daily
needs and feel lemh in carrying out activities that they could have done.
Statistical test results obtained p-value is p = 0.006, which means it is smaller than
the value of α = 0.05 (p = 0.006 <α = 0.05) means Ho rejects, the conclusion is that there
is a relationship between fulfilling spiritual needs by nurses in an effort to increase self
efficacy patients with terminal illness in the Inpatient Room of Kediri City DKT
Hospital.
Correlation Coefficient value of r = 0.576 means that the level of closeness of the
relationship between meeting the fulfillment of spiritual needs with self-efficacy of
patients with terminal disease is rather low, and no negative sign means positive means
the level of closeness is parallel with the better the fulfillment of meeting spiritual
needs, the better the self efficacy patients with terminal illness. The results of the cross
tabulation between meeting spiritual needs with self efficacy of patients with terminal
illness can be seen that those who are fulfilling spiritual needs are not too sure of
21
healing or are sure to live a better rest of life, as many as 8 people (38.1%), this shows
that meeting spiritual needs is being able to influence a person to live the rest of his life
better at 38.1%
From the description above, the researcher is of the opinion that there is a
relationship between the fulfillment of spiritual needs by nurses in an effort to increase
the patient's self- efficacy with terminal illness in the Inpatient Room of the Kediri City
DKT Hospital. Those who fulfill their spiritual needs are not too sure of their recovery
and the level of closeness of the relationship is rather low. It is important for nurses who
care for dying patients to be aware of their own feelings about death and about their
patients. It's hard to see the person you have treated died. Especially difficult if a child
or young person who died. When it is not possible to prevent patients from dying, and
medical care is no longer possible or is no longer useful, nurses provide supporting care
to patients and families. The main goal of this treatment is to keep the patient
comfortable and pain free. make the last days of the patient as good as possible for both
the patient and family, with as little suffering as possible, helping patients die peacefully
(spiritual calm), providing comfort for the family.

22
BAB III

PENUTUP
Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan


sebelumnya mengenai hubungan mekanisme koping dengan kualitas hidup pada
pasien terminal dengan kanker serviks di RSU. Vina Estetica Medan Tahun 2016,
maka diperoleh kesimpulan bahwa:
1. Mekanisme koping pada pasien kanker serviks di RSU Vina Estetica Medan
yang sudah terdiagnosa kanker serviks sebagian besar mempunyai mekanisme
koping negatif.
2. Kualitas hidup pada pasien kanker serviks di RSU Vina Estetica Medan
sebagian besar mempunyai kualitas hidup kurang baik.
3. Ada hubungan yang signifikan antara mekanisme koping dengan kualitas
hidup penderita kanker serviks di RSU Vina Estetica Medan.
Ada hubungan antara pemenuhan kebutuhan perawat spiritual dengan
efikasi diri pasien penyakit terminal di Ruang Rawat Inap RSUD Kota Kediri,
dengan harapan keluarga pasien selalu mendampingi klien setiap perawatan yang
dimilikinya. Petuigas kesehatan dan perawat memberikan dukungan emosional,
fasilitas penunjang, dukungan informasi ( pengetahuan ), dukungan material dan
spiritual selama proses menjalani pengobatan.

Saran

Peneliti selanjutnya disarankan untuk meneliti tentang “faktor faktor yang


mempengaruhi penurunan kualitas hidup pada pasien kanker serviks” dengan
menggunakan metode kualitatif agar dapat mendapatkan informasi yang lengkap
mengenai kondisi wanita penderita kanker serviks agar mendapatkan hasil yang
maksimal.

23
DAFTAR PUSTAKA
Andrijono,. (2013). Infeksi human pappiloma virus. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

Aufa, R. (2008). Hubungan mekanisme koping dengan stres pada pasien kanker
dalam mengatasi efek samping kemoterapi di ruangan kemoterapi bedah
wanita di RS. Dr.

M. Djamil Padang 2008. Diakses tanggal 31 Maret 2016.

Campbell, L. (2009). Nurse to nurse: Perawatan paliatif. Jakarta: Salemba Medika.

Dalami, dkk. (2009). Asuhan keperawatan jiwa dengan masalah psikososial.


Jakarta: Trans Info Media.

Fitriana, A., & Ambarini, K. (2012). Kualitas hidup pada penderita kanker servik
yang menjalani pengobatan radioterapi. Diakses tanggal 16 April 2016.

Frumovitz, et al. (2005). Quality of life and sexual functioning in cervical cancer
survival. Journal of clinical oncologi: Original report. Diunduh tanggal 25
April 2016.

Handayani, dkk. (2012). Menaklukkan kanker servik dan kanker payudara dengan 3
terapi alami. Jakarta: PT. AgroMedia Pustaka.

Alwisol. 2012. Psikologi Kepribadian, Malang: UM Press


Brunner and Suddarth. 2010. Text Book Of Medical Surgical Nursing 12th Edition

Bulechek G. M., & McCloskey, J. C. 2010. Nursing Interventions Classifications


(NIC) Edisi
4. St.Louis Missouri: Mosby
Chism,L.A&Magnan M.A. 2010. The Relationship of Nursing
Student’ Spiritual Care Perspectives to Their Expressions of spiritual
empathi.
Departeman Kesehatan RI. 2011. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular, Rineka
Cipta,. Jakarta. Ferrel, B. R., Coyle. N. 2012. Oxford Textbook of Palliative
Nursing. 3rded. Oxford Univercity
Press, Incorporated
Galek et al. 2012. Kecerdasan Emosional. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama Kozier. 2010. Fundamental of
Nursing, Seventh Edition, Vol.2, Jakarta: EGC

24

Anda mungkin juga menyukai