Anda di halaman 1dari 21

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala puji dan
rahmatnya sehingga saya dapat menyelesaikan proposal penyuluhan yang berjudul
“Demensia” yang merupakan salah satu pemenuhan syarat kelulusan di Kepaniteraan Klinik
Ilmu Kesehatan Jiwa Rumah Sakit Jiwa Islam Klender.

Terima kasih saya ucapkan kepada semua pihak yang telah banyak membantu dalam
penyusunan proposal penyuluhan ini. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada rekan-
rekan dokter muda sejawat dan semua pihak yang ikut berkontribusi.

Saya menyadari sepenuhnya bahwa proposal penyuluhan ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak guna
menyempurnakan proposal penyuluhan ini. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca pada umumnya dan mahasiswa kedokteran pada khususnya.

Sekian dan terima kasih. Wassalamualaikum Wr. Wb

Jakarta, 5 Januari 2018

Fadhilla Rahma Jodi Putri

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................1

DAFTAR ISI.............................................................................................................................2

SATUAN ACARA PENYULUHAN.......................................................................................3

BAB 1 PENDAHULUAN.........................................................................................................6

1.1 Latar Belakang.....................................................................................................................6


1.2 Tujuan Penulisan..................................................................................................................7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................................8

2.1 Definisi.................................................................................................................................8
2.2 Epidemiologi........................................................................................................................8
2.3 Faktor Risiko........................................................................................................................9
2.4 Patobiologi dan Patogenesis..............................................................................................10
2.5 Klasifikasi...........................................................................................................................11
2.6 Gambaran Klinis Umum....................................................................................................12
2.7 Diagnosis............................................................................................................................13
2.8 Penatalaksanaan..................................................................................................................16
BAB III PENUTUP................................................................................................................20

3.1 Kesimpulan.........................................................................................................................20

3.2 Saran...................................................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................21

2
SATUAN ACARA PENYULUHAN DEMENSIA

Pokok bahasan : Gangguan Mental Organik


Sub Pokok Bahasan : Demensia
Hari / tanggal : Januari 2018
Pukul : 09.00 WIB s/d selesai
Sasaran : Lansia, keluarga dan klien yang berobat di poliklinik dewasa RS
Jiwa Islam Klender
Tempat : RS Jiwa Islam Klender

A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta peningkatan status gizi
masyarakat menyebabkan meningkatnya umur harapan hidup. Di Indonesia sendiri pada
tahun 2015 diperkirakan umur harapan hidup akan lebih dari 65 tahun sehingga jumlah
lansia bisa lebih banyak dari balita yang ada (Depkes, 2005).
Penigkatan jumlah lansia menuntut perhatian dari semua pihak baik pemerintah,
pihak swasta, masyarakat serta keluarga yang memiliki lansia di rumah, terutama tenaga
perawat selaku tenaga propesional pemberi pelayanan pada klien.
Pada lansia akan terjadi proses penuaan, akan dialami oleh semua orang. Pada proses
penuaan akan terjadi perubahan dan penurunan struktur dan fungsi tubuh. Salah satu yang
terjadi adalah kemunduran fungsi kognitif yaitu : Demensia.
Demensia adalah kondisi keruntuhan kemampuan intelek yang progresif setelah
mencapai pertumbuhan dan perkembangan tertinggi (umur 15 tahun) karena gangguan
otak organik, diikuti keruntuhan perilaku dan kepribadian, dimanifestasikan dalam bentuk
gangguan fungsi kognitif seperti memori, orientasi, rasa hati dan pembentukan pikiran
konseptual.
Demensia bisa terjadi pada setiap umur, tetapi lebih banyak pada lanjut usia (5%
untuk rentang umur 65-74 tahun dan 40% bagi yang berumur >85 tahun). Kebanyakan
mereka dirawat dalam panti dan menempati sejumlah 50% tempat tidur.
Selain lansia sendiri, keluarga yang memiliki lansia dan bahkan setiap orang
hendaknya mengetahui bagaimana perawatan pada demensia ini. Mengingat pentingnya
hal tersebut maka pada kesempatan penyuluhan di Aula RS Jiwa Islam Klender, kami
memilih topik penyuluhan mengenai Demensia.

3
B. Tujuan Umum
Setelah dilakukan penyuluhan, peserta mampu memahami tentang demensia secara
umum.

C. Tujuan Khusus Penyuluhan


Peserta dapat menyebutkan dan mengerti tentang :
1. Pengertian Demensia
2. Penyebab Demensia
3. Jenis dan Gejala klinis Demensia

D. Materi (terlampir)
1 Pengertian demensia
2. Penyebab demensia
3. Jenis dan Gejala Klinis demensia
4. Patofisiologi Demensia
5. Diagnosis Demensia
6. Penatalaksanaan pada Demensia

E. Kegiatan Proses Penyuluhan


No KEGIATAN PENYULUHAN KEGIATAN PESERTA WAKTU
1. Tahap Pembukaan :
a. Memberi salam a. Menjawab salam,
2 menit
b. Memperkenalkan diri b. mendengarkan dan
memperhatikan.
2. Tahap Pelaksanaan
a. Menggali pengetahuan peserta a. Memperhatikan dan
tentang pengertian demensia mengemukakan pendapat
b. Memberikan informasi mengenai demensia.
mengenai pengertian, faktor b. Mendengarkan dan 30 menit
penyebab, jenis, gejala klinis memperhatikan informasi
dan pencegahan pada tentang demensia.
demensia. c. Mengajukan pertanyaan
c. Memberi kesempatan pada d. Mendengarkan dan

4
peserta untuk bertanya memperhatikan
d. Menjawab pertanyaan

3. Tahap Penutupan
a. Menyimpulkan materi a. Bersama penyuluh
informasi mengenai demensia. menyimpulkan materi 10 menit
b. Menutup penyuluhan dan b. Menjawab salam
memberikan salam

F. Media dan Alat


1. Power point
2. Leaflet

G. Evaluasi
1. Evaluasi Struktur
 Peserta 10-15 orang
 Suasana tenang dan tidak ada yang hilir mudik / keluar masuk.
2. Evaluasi Proses
Selama proses penyuluhan berlangsung diharapkan peserta aktif dan dapat
memberikan tanggapan dengan segera dan sopan.
3. Evaluasi
 1 orang dari peserta dapat menyebutkan pengertian demensia pada lansia.
 1 orang dari peserta dapat menyebutkan 3 dari penyebab lansia.
 1 orang dari peserta dapat menyebutkan jenis demensia.

5
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Demensia adalah suatu sindroma penurunan kemampuan intelektual progresif yang


menyebabkan deteriorasi kognisi dan fungsional, sehingga mengakibatkan gangguan fungsi
sosial, pekerjaan dan aktivitas sehari-hari. Penderita demensia seringkali menunjukkan
beberapa gangguan dan perubahan pada tingkah laku harian (behavioral symptom) yang
mengganggu (disruptive) ataupun tidak menganggu (non-disruptive) demensia bukanlah
sekedar penyakit biasa, melainkan kumpulan gejala yang disebabkan beberapa penyakit atau
kondisi tertentu sehingga terjadi perubahan kepribadian dan tingkah laku.

Demensia adalah satu penyakit yang melibatkan sel-sel otak yang mati secara
abnormal. Hanya satu terminologi yang digunakan untuk menerangkan penyakit otak
degeneratif yang progresif. Daya ingatan, pemikiran, tingkah laku dan emosi terjejas bila
mengalami demensia.

Demensia adalah penurunan kemampuan mental yang biasanya berkembang secara


perlahan, dimana terjadi gangguan ingatan, pikiran, penilaian dan kemampuan untuk
memusatkan perhatian, dan bisa terjadi kemunduran kepribadian.

Menurut laporan Access Economics (2006), pada tahun 2005 penderita demensia di
kawasan Asia Pasifik berjumlah 13,7 juta orang dan diperkirakan menjelang tahun 2050
jumlah ini akan meningkat menjadi 64,6 juta orang. Prevalensi demensia di Indonesia pada
tahun 2005 sebanyak 191.400 orang dan diperkirakan pada tahun 2020, diperkirakan
sebanyak 314.100 orang akan mengalami demensia.

Penyakit demensia menyerang usia manula, bertambahnya usia maka makin besar
peluang menderita penyakit demensia. Peningkatan angka kejadian dan prevalensi kasus
demensia mengikuti meningkatnya usia seseorang setelah lewat usia 60 tahun. Secara
biologis penduduk lanjut usia adalah penduduk yang mengalami proses penuaan secara terus
menerus, yang ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik. Perubahan fisik dan
tingkahlaku yang dapat diramalkan yang terjadi pada semua orang pada saat mereka
mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu.

6
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini untuk melengkapi tugas di kepaniteraan ilmu Psikiatri Psikiatri
RS Jiwa Islam Kelender Jakarta Timur .
Dengan adanya ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pemahaman tentang
Demensia terhadap ilmu kedokteran.

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Demensia adalah gangguan fungsi intelektual dan memori didapat yang disebabkan
oleh penyakit otak, yang tidak behubungan dengan gangguan tingkat kesadaran. Demensia
merujuk pada sindrom klinis yang mempunyai bermacam penyebab. Pasien dengan demensia
harus mempunyai gangguan memori selain gangguan mental lain seperti berpikir abstrak,
penilaian, kepribadian, bahasa, praksis, dan visuospasial. Defisit yang terjadi harus cukup
berat sehingga memengaruhi aktivitas kerja dan sosial secara bermakna.

Walaupun sebagian besar kasus demensia menunjukkan penurunan yang progresif


yang tidak dapat pulih (irreversible), namun dia merujuk pada definisi di atas maka demensia
dapat pula terjadi mendadak (misalnya: pasca stroke atau cedera kepala), dan beberapa
penyebab demensia dapat sepenuhnya pulih (misalnya: hematoma subdural, toksisitas obat,
depresi) bila dapat diatasi dengan cepat dan tepat. Demensia dapat muncul pada usia
berapapun meskipun umumnya muncul setelah usia 65tahun.

Penting pula membedakan demensia dengan delirium. Delirium merupakan keadaan


confusion (kebingungan), biasanya timbul mendadak, ditandai dengan gangguan memori dan
orientasi dan biasanya disertai gangguan abnormal, halusinasi, ilusi, perubahan afek. Untuk
membedakan dari demensia, pada delirium terdapat penurunan tingkat kesadaran. Delirium
biasanya berfluktuasi intesitasnya dan dapat menjadi demensia bila kelainan yang mendasari
tidak teratasi. Penyebab paling sering delirium meliputi ensefalopati akibat penyakit infesi,
toksik, dan faktor nutrisi, atau penyakit sistemik. Pasien demensia sendiri secara khusus
cendurung untuk timbul delirium.

2.2 Epidemiologi
Definisi demensia meningkat secara bermakna seiring seiring meningkatnya usia.
Sestelah usia 65 tahun, prevalensi demensia meningkat dua kali lipat setiap pertambahan usia
5 tahun. Secara keselurhan prevalensi demensia pada populasi berusia lebih dari 60 tahun
adalah 5,6%. Demensia tersering di Amerika Serikat dan eropa adalah demensia alzheimer,
sedangkan di Asia diperkirakan yang sering terjadi adalah demensia vaskular. Proporsi
perempuan yang mengalami penyakit alzheimer lebih tinggi dibandingkan laki-laki, hal ini
disebabkan karena permepuan memiliki harapan hidup lebih baik dan bukan karena
perempuan lebih mudah terkena penyakit ini.

Belum ada data penelitian nasional mengenai prevalensi demensia di Indonesia.


Namun demikian Indonesia dengan populasi lansia yang semakin meningkat, akan
ditemukan kasus demensia yang banyak. Demensia Vaskuler (DV) diperkirakan cukup
tinggi di negeri ini, data dari Indonesia Stroke Registry 2013 dilaporkan bahwa 60,59 %
pasien stroke mengalami gangguan kognisi saat pulang perawat dari rumah sakit. Tingginya
prevalensi stroke usia muda dan faktor 2 risiko stroke seperti hipertensi, diabetes, penyakit
kardiovaskuler mendukung asumsi di atas.

8
2.3 Faktor risiko

2.3.1 FAKTOR RISIKO YANG TIDAK DAPAT DIMODIFIKASI

Usia, jenis kelamin, genetik dan riwayat penyakit keluarga, disabilitas intelektual dan
Sindrom Down adalah faktor risiko tidak dapat dimodifikasi.

 USIA
Risiko terjadinya PA meningkat secara nyata dengan meningkatnya usia, meningkat dua
kali lipat setiap 5 tahun pada individu diatas 65 tahun dan 50% individu diatas 85 tahun
mengalami demensia.

 JENIS KELAMIN
Beberapa studi prevalensi menunjukkan bahwa PA lebih tinggi pada wanita dibanding
pria. Angka harapan hidup yang lebih tinggi dan tingginya prevalensi PA pada wanita yang
tua dan sangat tua dibanding pria. Risiko untuk semua jenis demensia dan PA untuk wanita
adalah OR=1,7 dan OR=2.0. Kejadian DV lebih tinggi pada pria secara umum walaupun
menjadi seimbang pada wanita yang lebih tua.

 RIWAYAT KELUARGA DAN FAKTOR GENETIK


Penyakit Alzheimer Awitan Dini (Early onset Alzheimer Disease/EOAD) terjadi sebelum
usia 60 tahun, kelompok ini menyumbang 6-7% dari kasus PA. Sekitar 13% dari EOAD ini
memperlihatkan transmisi otosomal dominan. Tiga mutasi gen yangteridentifkasi untuk
kelompok ini adalah amiloid ß protein precursor (AßPP) pada kromosom 21 ditemukan pada
10-15% kasus, presenelin 1 (PS1) pada kromosom 14 ditemukan pada 30-70% kasus dan
presenilin 2 (PS) pada kromosom 1 ditemukan kurang dari 5% kasus.Sampai saat ini tidak
ada mutasi genetik tunggal yang teridentifikasi untuk PA Awitan Lambat. (Level III, fair)
Diduga faktor genetik dan lingkungan saling berpengaruh. Di antara semua faktor genetik,
gen Apolipoprotein E yang paling banyak diteliti. Telaah sistematik studi populasi
menerangkan bahwa APOE e4 signifikan meningkatkan risiko demensia PA teruma pada
wanita dan populasi antara 55-65 tahun, pengaruh ini berkurang pada usia yang lebih tua.
(Level III, good)Sampai saat ini tidak ada studi yang menyebutkan perlunya tes genetik untuk
pasien demensia atau keluarganya.

2.3.2 FAKTOR RISIKO YANG DAPAT DIMODIFIKASI

 FAKTOR RISIKO KARDIOVASKULER


Berbagi studi kohort dan tinjauan sistematis menunjukkan bahwa faktor resiko vaskular
berkontribusi terhadap meningkatnya resiko DV dan PA. Secara khusus, hipertensi usia
pertengahan (R.R 1,24-2,8), hiperkolesterolemia pada usia pertengahan (R.R 1,4-3.1),
diabetes melitus (R.R 1.39-1.47) dan stroke semuanya telah terbukti berhubungan dengan
peningkatan resiko kejadian dementia.

 HIPERTENSI
Pasien dengan hipertensi yang disertai dengan penurunan kognisi, maka perlu dilakukan
pemeriksaan CT scan/MRI otak untuk mendeteksi adanya silent infarct, microbleed atau
white matter lesion.

9
2.4 Patobiologi dan Patogenesis
Komponen utama patologi penyakit alzheimer adalah plaksenilis dan neuritik,
neurofibrillary tangles, hilangnya neuron atau sinaps, degenerasi granulovakuolar, dan
hiranobodies. Plakneuritik mengandung B-amyloid ekstraselular yang dikelilingi oleh
distrofit, sementara plakdivus (atau non-neuritik) adalah isitilah yang kadang digunakan
untuk deposisi amyloid tanpa abnormalitas neuron. Deteksi adanya apo E didalam plak B-
amyloid dan studi mengenai ikatan high-avidity antara apo E dengan B-amyloid
menunjukkan bukti hubungan antara amyloidogenesis dan apo E. Plak neuritik juga
mengandung protein komplemen, mikrogilia yang teraktivasi, sitokin-sitokin, dan protein
fase akut, sehingga komponen inflamasi juga diduga terlibat pada patogenesis penyakit
alzheimer. Gen yang mengkode the amyloid precursor protein (APP) terletak pada kromosom
21, menunjukkan hubungan potensial patologi penyakit alzheimer dengan sindrom down
(trisomi-21), yang diderita oleh semua pasien penyakit alzheimer yang muncul pada usia
40tahun.

Pembentukan amyloid merupakan pencetus berbagai proses sekunder yang terlibat pada
patogenesis penyakit alzheimer (hipotesis kaskade amyloid). Berbagai mekanisme yang
terlibat pada patogenesis tersebut bila dapat dimodifikasi dengan obat yang tepat diharapkan
dapat mempengaruhi perjalanan penyakit alzheimer.

Adanya dan jumlah plak senilis adalah 1 gambaran patologis utama yang penting untuk
diagnosis penyait alzheimer. Sebenarnya jumlah plak meningkat seiring usia, dan plak ini
juga muncul dijaringan otak orang usia lanjut yang tidak demensia. Juga dlaporkan bahwa 1
dari 3 orang berusia 85 tahun yang tidak demensia mempunyai deposisi amyloid yang cukup
dikorteks serebri. Untuk memenuhi kriteria diagnosis penyakit alzheimer, namun apakah ini
mencerminkan fase preklinik dari penyakit masih belum diketahui.

Naurofibrillary tangles merupakan struktur intraneuron yang mengandung tau yang


terhiperfosforilasi pada pasangan filamen helix. Indivdu usia lanjut yang normal juga
diketahui mempunyai neurofibrillary tangles dibeberapa lapisan hipokampus dan kortex
entorhinal, tapi struktur ini jarang ditemukan di neokorteks. Pada seseorang tanpa demensia.
Neurofibrillary tangles ini tidak spesifik untuk penyakit alzheimer dan juga timbul pada
penyakit lain, seperti subacute sclerosing panencephalitis (SSPE), demensia pugilistika
(boxers dementia), dan the parkinsonian dementia complex of Guam.

Pada demensia vaskular patologi yang dominan adalah adanya infark multipel dan
abnormalitas substansia alba (white matter). Infark jaringan otak yang terjadi pasca strok
dapat menyebabkan demensia bergantung pada volume total korteks yang rusak dan bagian
(hemisfer) mana yang terkena. Umumnya dmensia muncul pada stroke yang mengenai
beberapa bagian otak (multi infarct dementia) atau hemisfer kiri otak sesmentara
abnormalitas substansia alba (difuse white matter disease leukoaraiosis atau Binswanger)
biasanya terjadi berhubungan dengan infark lakunar. Abnormalitas substansia alba ini dapat
ditemukan pada pemeriksaan MRI pada daerah subkorteks bilateral, berupa gambaran
hiperdens abnormal yang umunya tampak di beberapa tempat. Abnormalitas substansia alba
ini juga dapat timbul pada suatu kelainan genetik yang dikenal sebagai cerebral autosomal

10
dominant arteriopathy with subaortical infarcts and leukoencephalophaty (CADASIL) , yang
secara klinis terjadi dmensia yang progresif yang muncul pada dekade ke 5 sampai ke 7
kehidupan pada beberapa anggota keluarga yang mempunyai riwayat migren dan stroke
berulang tanpa hiertensi.

Petanda anatomis pada fronto temporal dementia (FTD) adalah terjadinya atrofi yang
jelas pada lobus temporal dan/ atau frontal , koma yang dapat dilihat pada pemerksaan
pencitraan saraf (neuroimaging) seperti MRI dan CT. Atrofi yang terjadi terkadang sangat tid
simetris, secara mikroskopis selalu didapatkan gliosis dan hilangnya neuron, sertea pada
beberapa kasus terjadi pembengkakan dan penggelembungan neuron yang berisi sitoplasmik
inclusion. Sementara pada demensia dengan lewy bodies, sesuai dengan namanya, gamabaran
neuropatologinya adalah adanya lewy bodi diseluruh korteks, amigdala cingulated cortex dan
substansia nigra. Lewy bodie adalah sitoplasmik inclusion intraneuron yang terwarnai
dengan periodic acid- Schiff (PAS) dan ubiquitin dan protein presinap yang disebut a-
synuclein. Jika pada penderita demensia tidak ditemukan gambaran patologi selain adanya
lewy bodi maka kondisi ini disbut difuse lewy bodi disease, sementara bila ditemukan juga
plak amyloid dan neurofibrillary tangles maka disebut varian lewy bodi dari penyakit
alzheimer (the lewy body variant of AD).

Defisit neurotransmiter utama pada penyakit alzheimer, juga pada dementia tipe lain,
adalah sistem kolinergik walaupun sistem noradrenergik dan serotonin, somatostatin-like
reactivity, dan coticotropin realising factor juga berpengaruh pada penyakit alzheimer, defisit
asetilkolin tetap menjadi proses utama penyakit dan menjadi target sebagian besar terapi yang
terjadi saat ini untuk penyakit alzheimer.

2.5 Klasifikasi
 PENYAKIT ALZHEIMER
Penyakit Alzheimer (PA) masih merupakan penyakit neurodegeneratif yang tersering
ditemukan (60-80%). Karateristik klinik berupa berupa penurunan progresif memori episodik
dan fungsi kortikal lain. Gangguan motorik tidak ditemukan kecuali pada tahap akhir
penyakit. Gangguan perilaku dan ketergantungan dalam aktivitas hidup keseharian menyusul
gangguan memori episodik mendukung diagnosis penyakit ini. Penyakit ini mengenai
terutama lansia (>65 tahun) walaupun dapat ditemukan pada usia yang lebih muda. Diagnosis
klinis dapat dibuat dengan akurat pada sebagian besar kasus (90%) walaupun diagnosis pasti
tetap membutuhkan biopsi otak yang menunjukkan adanya plak neuritik (deposit β-
amiloid40 dan β-amiloid42) serta neurofibrilary tangle(hypertphosphorylated protein tau).
Saat ini terdapat kecenderungan melibatkan pemeriksaan biomarka neuroimaging(MRI
struktural dan fungsional) dan cairan otak (β-amiloid dan protein tau) untuk menambah
akurasi diagnosis.

 DEMENSIA VASKULER
Vascular cognitive impairment (VCI) merupakan terminologi yang memuat defisit
kognisi yang luas mulai dari gangguan kognisi ringan sampai demensia yang dihubungkan
dengan faktor risiko vaskuler.Penuntun praktik klinik ini hanya fokus pada demensia vaskuler
(DV). DV adalah penyakit heterogen dengan patologi vaskuler yang luas termasuk infark

11
tunggal strategi, demensia multi-infark, lesi kortikal iskemik, stroke perdarahan, gangguan
hipoperfusi, gangguan hipoksik dan demensia tipe campuran (PA dan stroke / lesi vaskuler).
Faktor risiko mayor kardiovaskuler berhubungan dengan kejadian ateroskerosis dan DV.
Faktor risiko vaskuler ini juga memacu terjadinya stroke akut yang merupakan faktor risiko
untuk terjadinya DV. CADASIL (cerebral autosomal dominant arteriopathy with subcortical
infarcts and leucoensefalopathy), adalah bentuk small vessel disease usia dini dengan lesi
iskemik luas white matterdan stroke lakuner yang bersifat herediter.

 DEMENSIA LEWY BODY DAN DEMENSIA PENYAKIT PARKINSON


Demensia Lewy Body (DLB) adalah jenis demensia yang sering ditemukan. Sekitar 15-
25% dari kasus otopsi demensia menemui kriteria demensia ini. Gejala inti demensia ini
berupa demensia dengan fluktuasi kognisi, halusinasi visual yang nyata dan terjadi pada awal
perjalanan penyakit orang dengan Parkinsonism. Gejala yang mendukung diagnosis berupa
kejadian jatuh berulang dan sinkope, sensitif terhadap neuroleptik, delusi dan atau halusinasi
modalitas lain yang sistematik. Juga terdapat tumpang tindih temuan patologi antara DLB
dan PA.Namun secara klinis orang dengan DLB cenderung mengalami gangguan fungsi
eksekutif dan visuospasial sedangkan performa memori verbalnya relatif baik jika dibanding
dengan PA yang terutama mengenai memori verbal. Demensia Penyakit Parkinson (DPP)
adalah bentuk demensia yang juga sering ditemukan. Prevalensi DPP 23-32%, enam kali
lipat dibanding populasi umum (3-4%). Secara klinis, sulit membedakan antara DLB dan
DPP. Pada DLB, awitan demensia dan Parkinsonism harus terjadi dalam satu tahun
sedangkan pada DPP gangguan fungsi motorik terjadi bertahun-tahun sebelum demensia
(10-15 tahun).

 DEMENSIA FRONTOTEMPORAL
Demensia Frontotemporal (DFT) adalah jenis tersering dari Demensia Lobus
Frontotemporal (DLFT). Terjadi pada usia muda (early onset dementia/EOD) sebelum umur
65 tahun dengan rerata usia adalah 52,8 - 56 tahun. Karakteristik klinis berupa perburukan
progresif perilaku dan atau kognisi pada observasi atau riwayat penyakit. Gejala yang
menyokong yaitu pada tahap dini (3 tahun pertama) terjadi perilaku disinhibisi, apati atau
inersia, kehilangan 5simpati/empati, perseverasi, steriotipi atau perlaku kompulsif/ritual,
hiperoralitas/perubahan diet dan gangguan fungsi eksekutif tanpa gangguan memori dan
visuospasial pada pemeriksaan neuropsikologi. Pada pemeriksaan CT/MRI ditemukan atrofi
lobus frontal dan atau anterior temporal dan hipoperfusi frontal atau hipometabolism pada
SPECT atau PET. Dua jenis DLFT lain yaitu Demensia Semantik(DS) dan Primary Non-
Fluent Aphasia (PNFA), dimana gambaran disfungsi bahasa adalah dominan disertai
gangguan perilaku lainnya. Kejadian DFT dan Demensia Semantik (DS) masing-masing
adalah 40% dan kejadian PNFA sebanyak 20% dari total DLFT.

2.6 Gambaran klinis umum


Secara umum gejala demensia dapat dibagi atas dua kelompok yaitu gangguan kognisi
dan gangguan non-kognisi. Keluhan kognisi terdiri dari gangguan memori terutama
kemampuan belajar materi baru yang sering merupakan keluhan paling dini. Memori lama
bisa terganggu pada demensia tahap lanjut. Pasien biasanya mengalami disorientasi di sekitar
rumah atau lingkungan yang relatif baru. Kemampuan membuat keputusan dan pengertian

12
diri tentang penyakit juga sering ditemukan. Keluhan non-kognisi meliputi keluhan
neuropsikiatri atau kelompok behavioral neuropsychological symptoms of dementia (BPSD).
Komponen perilaku meliputi agitasi, tindakan agresif dan nonagresif seperti wandering,
disihibisi, sundowning syndrome dan gejala lainnya. Keluhan tersering adalah depresi,
gangguan tidur dan gejala psikosa seperti delusi dan halusinasi. Gangguan motorik berupa
kesulitan berjalan, bicara cadel dan gangguan gerak lainnya dapat ditemukan disamping
keluhan kejang mioklonus.

2.7 Diagnosis
Evaluasi terhadap pasien dengan kecurigaan demensia harus dilakukan dari berbagai
segi, karena selain menetapkan seorang pasien mengalami demensia atau tidak, juga harus
ditentukan berat-ringannya penyakit, serta tipe demensiannya (penyakit alzheime, demensia
vaskular, atau tipe yang lain). hal ini berpengaruh pada penatalaksanaan dan prognosisnya.

Diagnosis demensia ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis yang sesuai dengan Diagnosis
and Statistical Manual of Mental Disorders, edisi keempat (DSM-IV) dapat dilihat pada tabel.

Kriteria Diagnosis Demensia (Sesuai dengan DSM IV)

a. Munculnya defisit kognitif multipel yang bermanifestasi pada kedua keadaan berikut:

Gangguan memori

Afasia

Apraksia

Agnosia

Gangguan fungsi eksekutif

b. Defisit kognitif yang terdapat pada kriteria A1 dan A2 menyebabkan gangguan bermakna pada
fungsi sosial dan okupasi serta menunjukkan penurunan yang bermakna dri fungsi sebelumnya.
Defisit yang terjadi bukan terjadi khusus saat timbulnya delirium.

13
Berdasarkan kedua kriteria diagnosis diatas, menegakkan diagnosis penyakit alzheimer
dan demensia tipe lain harus dilakukan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti,
serta didukung oleh pemeriksaan penunjang yang tepat.

 Anamnesis
Anamnesis harus terfokus pada awitan (onset), lamanya, dan bagaimana laju progesi
penurunan fungsi kognitif yang terjadi. Kebingungan (confusion) yang terjadi akut dan
subakut mungkin merupakan manifestasi delirium dan harus dicari kemungkinan
penyebabnya seperti intoksiktasi, infeksi, atau perubahan metabolik. Seorang usia lanjut
dengan kehilangan memori yang berlangsung lambat selama beberapa tahun kemungkinan
menderita penyakit alzheimer. Hampir 75% pasien menderita dimulai dengan gejala memori,
tetapi gejala awal juga dapat meliputi kesulitan mengurus keuangan, berbelanja, mengikuti
perintah, menemukan kata, atau mengemudi. Perubahan kepribadian, disinhibisi, peningkatan
berat badan, atau obsesi terhadap makanan mengarah pada fronto-temporal dementia (FTD),
bukan penyakit alzheimer. FTD juga patut diduga bila ditemukan apati, hilangnya fungsi
eksekutif, abnormalitas progresif fungsi berbicara, atau keterbatasan kemampuan memori
atau spasial. Diagnosis demensia dengan lewy body (DLB) dicurigai bila terdapat adanya
gejala awal berupa halusinasi visual, parkinsonisme, delirium, gangguan tidur, (rapid-eye
movement) REM, atau sindrom Capgras, yaitu delusi bahwa seseorang yang dikenal
digantikan oleh penipu.

Riwayat adanya stroke dengan progresi bertahap dan tidak teratur mengarah pada
demensia multi-infark. Demensia multi-infark umumnya terjadi pada pasien-pasien dengan

14
faktor risiko hipertensi, fibrilasi atrium, penyakit vaskular perifer, dan diabetes. Pada pasien
yang menderita penyakit serebrovaskular dapat sulit ditentukan apakah demensia yang terjadi
adalah penyakit alzheimer, demensia multi-infark, aau campuran keduanya bila dikaitkan
dengan berbagai penyebab demensia., maka anamnesis harus diarahkan pula pada berbagai
faktor resiko seperti trauma kepala berulang, infeksi susunan saraf pusat akibat sifilis
(neurosifilis), konsumsi alkohol berlebihan, intoksikasi bahan kimia pada pekerja pabrik,
serta penggunaan obat-obat jangka panjang (sedatif dan tranquilizer). Riwayat keluarga juga
harus selalu menjadi bagian evaluasi, mengingat bahwa pada penyakit alzheimer, FTD,
penyakit Huntington (sebagai salah satu penyebab demensia) terdapat kecenderungan
familial. Gejala depresi seperti insomnia dan kehilang berat badan sering tampak pada
pseudodemensia akibat depresi, yang dapat disebabkan oleh anggota keluarga yang baru-baru
ini meninggal.

 Pemeriksaan fisik dan neurologis


Pemeriksaan fisik dan neurologis pada pasien dengan demensia dilakukan untuk mencari
keterlibatan sistem saraf dan penyakit sistemik yang mungkin dapat dihubungkan dengan
gangguan kognitifnya. Umumnya penyakit alzheimer tidak menunjukkan gangguan sistem
motorik kecuali pada tahap lanjut. Kekakuan motorik dan bagian tubuh aksial, hemiparesis,
parkinsonisme, mioklonus, atau berbagai gangguan motorik lain umumnya timbul pada FTD,
DLB atau demensia multi-infark. Penyebab iskemik seperti defisiensi vitamin B12,
intoksikasi logam berat, dan hipotiroidisme dapat menunjukkan gejala yang khas. Yang tidak
boleh dilupakan adalah adanya gangguan pendengaran dan penglihatan yang menimbulkan
kebingungan dan disorientasi pada pasien yang sering disalah artikan sebagai demensia. Pada
usia lanjut defisit sensorik seperti ini sering terjadi.

Pemeriksaan kognitif dan neuropsikiatri yang sering digunakan untuk evaluasi dan
konfirmasi penurunan fungsi kognitif adalah MMSE, yang dapat pula diginakan untuk
memantau perjalanan penyakit. MMSE merupakan pemeriksaan yang mudah dan cepat
dikerjakan, berupa 30 point test terhadap fungsi kognitif dan berisikan pula uji orientasi,
memori kerja dan memori episodik, komprehensi bahasa, menyebutkan kata dan mengulang
kata. Pada penyakit alzheimer defisit yang terlibat berupa memori episodik, category
generation dan kemampuan visuokonstruktif. Defisit pada kemampuan verbal dan memori
episodik visual sering merupaka n abnormalitas neuropsikologis awa yang terlihat pada
penyakit alzheimer, dan tugas yang membutuhkan pasien untuk menyebutkan ulang daftar
panjang kata atau gambar setelah jeda waktu tertentu dan mennjukkan defisit pada sebagian
pasien penyakit alzheimer. Pada FTD defisit awal sering melibatkan fungsi eksekutif frontal
atau bahasa (berbicara atau menyebutkan kata). Pasien DLB mempunyai defisit lebih berat
pada fungsi visuospasial tetapi melakukan tugas memori episodik lebih baik dibandingkan
pasien dengan penyakit alzheimer. Pasien dengan demensia vaskular sering mennjukkan
campuran defisit eksekutif frontal dan visuospasial. Pada delirium, defisit cenderung terjadi
pada area pemusatan perhatian, memori kerja, dan fungsi frontal.

Pengkajian status fungsional harus juga dllakukan. Dokter harus memnentukan dampak
kelainan terhadap memori pasien, hubungan di komunitas, hobi, penilaian, berpakaian , dan

15
makan. Pengetahuan mengenai status fungsional sehari-hari akan membantu mengatur
pendekatan terapi dengan keluarga.

 Pemeriksaan penunjang
Tes laboratorium pda pasien demensia tidak dilakukan dengan serta merta pada semua
kasus. Penyebab yang reversibel dan dapat diatasi seharusnya tidak boleh terlewat.
Pemeriksaan fungsi tiroid, kadar vitamin B12, darah lengkap,elektrolit, dan VDRL
direkomendasikan untuk diperiksa secara rutin. Pemeriksaan tambahan yang perlu
dipertimbangkan adalah pungsi lumbal, fungsi hati, fungsi ginjal, pemeriksaan toksin di
urin/darah, dan Apolipoprotein E.

Pemeriksaan penunjang yang juga direkomendasikan adalah CT/MRI kepala.


Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi tumor primer atau sekunder, lokasi area infark,
hematoma subdural, dan memperkirakan adanya hidrosefalus bertekanan-normal atau
penyakit white matter yang luas. MRI dan CT juga dapat mendukung diagnosis penyakit
Alzheimer, terutama bila terdapat atrofi hipokampus selain adanya atrofi kortikal yang difus.
Abnormalitas white matter yang luas berkorelasi dengan demensia vaskular. Peran pencitraan
fungsional seperti single photon emission computed tomography(SPECT) dan positron
emission tomography (PET) scanning masih dalam penelitian SPECT dan PET scanning
dapat menunjukkan hipoperfusi atau hipometabolisme temporal-parietal pada penyakit
alzheimer dan hipoperfusi atau hipometabolime fronto temporal pada FTD.

2.7 Penatalaksanaan
 Penatalaksanaan Umum
Tujuan utama penatalaksanaan pada seorang pasien dengan demensia adalah mengobati
penyebab demensia yang dapat dikoreksi dan menyediakan situasi yang nyaman dan
mendukung bagi pasien dan pramuwerdhanya (caregivers). Menghentikan obat-obat yang
bersifat sedatif dan mempengaruhi fungsi kognitif banyak memberikan manfaat. Bila pasien
cenderung depresi ketimbang demensia, maka depresi harus diatasi dengan adekuat. Pasien
dengan penyakit degeneratif sering muncul gejala depresi, dan sebagian dari mereka akan
respons pada terapi antidepresi. Antidepresi yang mempunyai efek samping minimal terhadap
fungsi kognitif, seperti serotonin selective reuptakeinhibitor (SSRI), lebih dianjurkan pada
pasien demensia dengan gejala depresi. Antikonvulsi kadang-kadang dibutuhkan untuk
mengendalikan kejang

Agitasi, halusinasi, delusi, dan kebingungan (confusion) seringkali sulit ditatalaksana, dan
sering menjadi alasan utama memasukkan seorang usia lanjut dengan demensia ke panti
werdha atau rumah rawat usia lanjut. Sebelum memberikan obat untuk berbagai gangguan
perilaku tersebut, harus disingkirkan faktor lingkungan atau metabolik yang mungkin dapat
dikoreksi atau dimodifikasi. Imobilisasi, asupan makanan yang kurang, nyeri, konstipasi,
infeksi, dan intoksikasi obat adalah beberapa faktor yang dapat mencetuskan gangguan
perilaku, dan bila diatasi maka tidak perlu memberikan obat-obatan antipsikosis. Obat-obatan
yang digunakan untuk meredam agitasi dan insomnia tanpa memperberat demensia
diantaranya haloperidol dosis rendah (0,5 sampai 2 mg), trazodone, buspiron, atau
propranolol. Beberapa penelitian yang membandingan terapi obat (farmakoterapi) dengan

16
intervensi perilaku (behavioral intervention) menunjukkan kedua pendekatan tersebut pada
efektifnya. Walaupun demikian, karena terkadang terapi perilaku yang dilakukan secara
benar dan dilakukan setiap hari dengan intensif sulit dilakukan, maka pilihan terapi
medikamentosa lebih disukai. Terapi kolinesterase inhibitor sebagi terapi terpilih untuk
meningkatkan fungsi kognitif pada pasien demensia, seringkali dapat pula mengurangi gejala
apati, halusinasi visual, dan beberapa gejala psikiatrik lain.

Dalam mengelola pasien dengan demensia, perlu pula diperhatikan upaya-upaya


mempertahankan kondisi fisis atau kesehatan pasien. Seiring dengan progresi demensia,
maka banyak sekali komplikasi yang akan muncul seperti pneumonia dan infeksi saluran
napas bagian atas, septikemia, ulkus dekubitus, fraktur, dan berbagai masalah nutrisi.
Kondisi-kondisi ini terkadang merupakan sebab utama kematian pasien dengan demensia,
sehingga pencegahan dan penatalaksanaan menjadi sangat penting. Pada stadium awal
penyakit, seorang dokter harus mengusahakan berbagai aktivitas dalam rangka
mempertahankan status kesehatan pasie, seperti melakukan latihan (olahraga),
mengendalikan hipertensi dan berbagai penyakit lain imunisasi terhadap pneumokok dan
influenza, memperhatikan higiene mulut dan gigi, serta mengupayakan kacamata dan alat
bantu dengar bila terdapat gangguan penglihatan atau pendengaran. Pada fase lanjut
demensia, merupakan hal yang sayangat penting untuk memenuhi kebutuhan dasar pasien
seperti nutrisi, hidrasi, mobilisasi, dan perawatan kulit untuk mencegah ulkus dekubitus. Pada
beberapa keadaan mungkin dapat dipertimbangkan tindakan gastrostomi, pemberian nutrisi
dacn cairan intravena, serta pemberian antibiotika dalam upaya memperpanjang hidup dan
tentunya perlu pertimbangan bersama dengan keluarga pasien.

Yang juga sangat penting dalam pengelolaan secara paripurna pasien dengan demensia
adalah kerja saa yang baik antara dokter dengan pramuwerdha (caregivers). Pramuwrdha
pasien dengan demensia merupakan orang yang sangat mengerti kondisi pasien dari hari ke
hari dan bertanggung jawab terhadap berbagai hal seperti pemberian obat dan makanan,
mengimplementasikan terapi nonfarmakologis kepada pasien, serta mampu memberikan
waktu-waktu yang sangat berarti sebagai bagian dari upaya meningkatkan kualitas hidup
pasien dengan demensia. Walaupun demikian, perlu pula diperhatikan kondisi fisik dan
mental pramuwerdha, mengingat apa yang mereka lakukan sangat menguras tenaga, pikiran,
bahkan emosi yang terkadang menimbulkan morbiditas tersendiri.

 Pengobatan untuk Mempertahankan Fungsi Kognitif


Penyakit Alzheimer tidak dapat disembuhkan dan belum ada obat yang terbukti tinggi
efektivitasnya. Selain mengatasi gejala perubahan tingkah laku dan membangun ‘rapport’
dengan pasien, anggota keluarga, dan pramuwerdha, saat ini fokus pengobatan fungsi kognitif
adalah pada defisit sistem kolinergik. Selain itu beberapa penelitian klinis juga mencoba
mengarah pada terapi lain yang disesuaikan dengan patofisiologi timbulnya demensia yang
melibatkan berbagai mekanisme.

Kolinesterase inhibitor. Tacrine (tetrahydroaminoacridine), donepezil, rivastigmin, dan


galantamin adalah kolinesterase inhibitor yang telah disetujui oleh U.S. Food and Drug
Administration (FDA) untuk pengobatan penyakit Alzheimer. Efek farmakologik obat-obatan

17
ini adalah dengan menghambat enzim kolinesterase, dengan hasil meningkatnya kadar
asetilkolin dijaringan otak. Dari keempat obat tersebut, tacrine saat ini jarang digunakan
karena efek sampingnya ke organ hati (hepatotoksik). Donepezil dimulai pada dosis 5 mg
perhari, dan dosis dinaikkan menjadi 10 mg perhari setelah 1 bulan pemakaian. Dosis
rivastigmin dinaikkan dari 1,5 mg dua kali perhari menjadi 3 mg dua kali perhari, kemudian
4,5 mg dua kali perhari, sampai dosis maksimal 6 mg dua kali perhari, untuk dinaikkan
menjadi 8 mg dua kali perhari dan kemudian 12 mg perhari. Seperti rivastigmin, interval
peningkatan dosis yang lebih lama akan meminimalkan efek samping yang terjadi. Dosis
harian efektif untuk masing-masing obat adalah 5 sampai 10 mg untuk donepezil, 6 sampai
12 mg untuk rivastigmin, dan 16 sampai 24 mg untuk galantamin.

Berbagai uji klinis telah menunjukkan obat-obatan tersebut dapat meningkatkan fungsi
kognitif secara bermakna dibandingkan plasebo, terutama pada kelompok pasien dengan
demensia ringan dan sedang. Selain itu pasien-pasien yang menggunakan kolinesterase
inhibitor lebih dapat mempertahankan kemampuan mereka untuk aktivitas kehidupan sehari-
hari, lebih sedikit timbul perubahan perilaku, lebih tidak tergantung kepada pramuwerdha dan
lingkungan sekitar, serta dapat menunda masuk ke panti werdha.

Efek samping yang dapat timbul pada pemakaian obat-obatan kolinesterase inhibitor ini
antara lain adalah mual, muntah, dan diare, dan dapat pula timbul penurunan berat badan,
insomnia, mimpi abnormal, kram otot, bradikardia, sinkop, dan fatig. Efek-efek samping
tersebut umumnya muncul saat awal terapi, dan seperti telah disinggung diatas, dapat
dikurangi bila interval peningkatan dosisnya diperpanjang dan dosis rumatan diminimalkan
bila obat-obat tersebut diberikan bersamaan dengan makan. Sampai saat ini masih belum
didapatkan data yang pasti mengenai berapa lama pemberian kolinesterase inhibitor yang
dianjurkan pada pasien dengan demensia dan gangguan kognitif ringan. Sebagian penelitian
menunjukkan terdapat perbedaan dengan plasebo pada pemakaian 6 bulan, walaupun ada
pula yang tetap menunjukkan perbaikan pada pemakaian sampai satu tahun bahkan sampai
dua atau tiga tahun. Satu penelitian menunjukkan perlambatan penurunan fungsi kognitif
yang bermakna pada pasien yang mendapat donepezil dibandingkan vitamin E dan plasebo
pada satu tahun pertama pemakaian, namun perbedaan tersebut tidak bermakna bila
pemakaian dilanjutkan sampai 2 tahun.

Perbedaan antara masing-masing obat kolinesterase inhibitor masih belum dapat


dibuktikan. Indikasi untuk berpindah dari satu kolinesterase inhibitor ke obat yang lain adalah
adanya reaksi alergi, efek samping yang tidak dapat diatasi, keinginan keluarga, dan tidak ada
respons pengobatan setelah pemakaian 6 bulan. Bila akan mengganti satu kolinesterase
inhibitor dengan yang lainnya maka dianjurkan untuk menghentikan sementara pemberian
obat (washout period) selama 3-4 minggu. Penggunaan bersama-sama lebih dari satu
kolinesterase inhibitor pada saat yang bersamaan belum pernah diteliti dan tidak dianjurkan.
Kolinesterase inhibitor umumnya digunakan bersama-sama dengan memantin dan vitamin E.

Antioksidan. Antioksidan yang telah diteliti dan memberikan hasil yang cukup baik
adalah alfa tokoferol (vitamin E) pemberian vitamin E pada satu penelitian dapat
memperlambat progresi penyakit Alzheimer menjadi lebih berat. Vitamin E telah banyak

18
digunakan sebagai terapi tambahan pada pasien dengan penyakit alzheimer dan demensia tipe
lainkarena harganya murah dan dianggap aman. Dengan mempertimbangkan stres oksidatif
sebagai salah satu dasar proses menua yang terlibat pada patofisiologi penyakit alzheimer,
ditambah hasil yang didapat pada beberapa studi epidemiologis, vitamin E bahkan digunakan
sebagai pencegahan primer demensia pada individu dengan fungsi kognitif normal. Namun
suatu studi terakhir gagal membuktikan perbedaan efek terapi antara vitamin E sebagai obat
tunggal dan plasebo terhadap pencegahan penurunan fungsi kognitif pada pasien-pasien
dengan gangguan fungsi kognitif ringan. Efek terapi vitamin E pada pasien demensia maupun
gangguan kognitif ringan tampaknya hanya bermanfaat bila dikombinasi dengan
kolinesterase inhibitor.

Memantin. Obat yang saat ini juga telah disetujui oleh FDA sebagai terapi pada demensia
sedang dan berat adalah memantin, suatu antagonis N-metil-aspartat. Efek terapinya diduga
adalah melalui pengaruhnya pada glutaminergic excitotoxicity dan fungsi neuron di
hipokampus. Suatu uji klinis tersamar ganda yang menggunakan memantin pada pasien
dengan penyakit Alzheimer stadium sedang dan berat menunjukkan kelebihan memantin
dibandingkan plasebo dalam perbaikan status fungsional, namun tidak ada perbedaan dalam
hal penurunan status fungsi kognitif. Bila memantin ditambahkan pada pasien Alzheimer
yang telah mendapat kolinesterase inhibitor dosis teta, didapatkan perbaikan fungsi
kognitif,berkurangnya penurunan status fungsional, dan berkurangnya gejala perubahan
perilaku baru bila dibandingkan penambahan plasebo.

Terapi lain. Dengan adanya bukti bahwa proses inflamasi pada jaringan otak terlibat pada
patogenesis timbulnya penyakit Alzheimer, maka beberapa penelitian mencoba mendapatkan
manfaat obat-obat antiinflamasi baik dalam hal pencegahan maupun terapi demensia
Alzheimer. Hasil negatif (tidak berbeda dengan plasebo) ditunjukkan baik pada
prednison,rofecoxib, maupun naproxen, sehingga sampai saat ini tidak ada data yang
mendukung penggunaan obat antiinflamasi dalam pengelolaan pasien demenisa. Selain itu,
walaupun beberapa studi epidemiologik menduga bahwa terapi sulih-estrogen mungkin dapat
mengurangi insidensi demensia, namun penelitian klinis menunjukkan ternyata tidak ada
anfaatnya pada perempuan pascamenopause.

Beberapa obat lain yang dari beberapa studi pendahuluan nampaknya punya potensi
untuk dapat digunakan sebagai pencegahan dan pengobatan demensia diantaranya ginko
biloba, huperzin A (suatu kolinesterase inhibitor), imunisasi/vaksinasi terhadap amyloid, dan
beberapa pendekatan yang bersifat neuroprotektif.

19
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Demensia merupakan masalah besar dan serius yang dihadapi oleh negara-negara
maju, dan telah pula menjadi masalah kesehatan yang mulai muncul di negar-negara
berkembang seperti Indonesia. Hal ini disebabkan oleh makin mengemukanya penyakit-
penyakit degenaratif serta makin meningkatnya penyakit-penyakit degeneratif serta makin
meningkatnya usia harapan hidup dihampir seluruh belahan dunia. Demensia tersering di
Amerika Serikat dan eropa adalah demensia alzheimer, sedangkan di Asia diperkirakan yang
sering terjadi adalah demensia vaskular.

Secara klinis munculnya demensia pada orang usia lanjut sering tidak disadari karena
awitannya yang tidak jelas dan perjalanan penyakitnya yang progresif namun perlahan. Selain
itu pasien dan keluarga juga sering menganggap bahwa penurunan fungsi kognitif yang
terjadi pada awal demensia (biasanya ditandai dengan penurunan fungsi memori) merupakan
suatu hal yang wajar pada seseorang yang sudah menua. Akibatnya penurunan fungsi kognitif
terus akan berlanjut sampai akhirnya mulai mempengaruhi status fungsional pasien dan
pasien akan jatuh pada ketergantungan kepada lingkungan sekitar saat ini telah di sadari
bahwa diperlukan seteksi dini terhadap munculnya demensia, karena ternyata berbagai
penelitian telah menunjukan bila gejala-gejala penurunan fungsi kognitif dikenali sejak awal
maka dapat dilakukan upaya meningkatkan fungsi kognitif agar tidak jatuh pada keadaan
demensia. Dengan diketahuinya berbagai faktor resiko (seperti hipertensi, diabetes melitus,
stroke, riwayat keluarga, dll) yang berhubungan dengan penurunan fungsi kognitif yang lebih
cepat pada sebagian orang usia lanjut, maka diharapkan dokter dan tenaga kesehatan lain
dapat melakukan upaya pencegahan timbulnya demensia pada pasien.

3.2 Saran

Masyarakat (terutama lansia) dan keluarga yang bersangkutan dapat lebih berhati-hati
terhadap adanya demensia sehingga dapat mengetahui lebih lanjut tentang demensia dan
dapat mengetahui cara penatalaksanaan yang tepat dan sesuai.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Rochman, Wasilah, dkk. 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV.
Jakarta: Interna Publishing.
2. Tanto, Chris, dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid II. Edisi IV. Jakarta : Media
Aesculapius.
3. PERDOSSI 2015. Panduan Praktik Klinik Diagnosis dan Penatalaksanaan Demensia.

21

Anda mungkin juga menyukai