Disusun oleh :
Afif Bangun Pilardi (1102013012)
Fathonah Fatimatuzahra Said (1102013108)
Suci Rahayu (1102013281)
Pembimbing :
dr. Hevi Eka Tarsum
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala puji dan
rahmatnya sehingga saya dapat menyelesaikan proposal penyuluhan DEMENSIA
yang berjudul “YUK,KENALI DEMENSIA SEJAK DINI” yang merupakan salah
satu pemenuhan syarat kelulusan di Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa Rumah
Sakit Jiwa Islam Klender.
Terima kasih saya ucapkan kepada semua pihak yang telah banyak membantu
dalam penyusunan proposal penyuluhan ini. Saya juga mengucapkan terima kasih
kepada rekan-rekan dokter muda sejawat dan semua pihak yang ikut berkontribusi.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa proposal penyuluhan ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak guna
menyempurnakan proposal penyuluhan ini. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca pada umumnya dan mahasiswa kedokteran pada khususnya.
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
I.5. Media...................................................................................................................... 2
I.6. Metode.................................................................................................................... 2
I. IDENTITAS
Topik : Demensia
Sub Topik : YUK, KENALI DEMENSIA SEJAK DINI
Hari/Tanggal : Maret 2018
Waktu : 09.00 s/d selesai
Sasaran : Pasien dan Keluarga pasien rawat jalan di poliklinik RS Jiwa Islam
Klender
Tempat : RS Jiwa Islam Klender
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.3. TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS
Setelah dilakukan penyuluhan selama 30 menit diharapkan para peserta
dapat :
1. Memahami definisi demensia
2. Memahami tentang etiologi dan klasifikasi dari demensia
3. Memahami tentang diagnosis demensia
4. Memahami tentang penatalaksanaan demensia
5. Memahami tentang prognosis dan pencegahan demensia
1.5. MEDIA
1. Laptop
2. LCD
3. Microphone
4. Leaflet
1.6. METODE
Melakukan komunikasi dua arah, penulis mempresentasikan topik yang
dibawakannya dan kemudian dilakukan sesi tanya jawab ataupun berbagi
cerita dari para pendengar presentasi (pasien ataupun keluarga pasien).
2
1.8. EVALUASI
1. Evaluasi Struktur
Peserta 10-15 orang
Suasana tenang dan tidak ada yang hilir mudik / keluar masuk.
2. Evaluasi Proses
Selama proses penyuluhan berlangsung diharapkan peserta aktif dan
dapat memberikan tanggapan dengan segera dan sopan.
3. Evaluasi
1 orang dari peserta dapat menyebutkan pengertian DEMENSIA.
1 orang dari peserta dapat menyebutkan jenis DEMENSIA.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
2.2 EPIDEMIOLOGI
Prevalensi demensia semakin meningkat dengan bertambahnya usia.
Pada kelompok usia diatas 65 tahun prevalensi demensia sedang hingga berat
mencapai 5 persen, sedangkan pada kelompok usia diatas 85 tahun
prevalensinya mencapai 20 hingga 40 persen. Dari seluruh pasien yang
menderita demensia, 50 hingga 60 persen diantaranya menderita jenis
demensia yang paling sering dijumpai, yaitu demensia tipe Alzheimer
(Alzheimer’s diseases).
2.3 ETIOLOGI
Penyebab demensia yang paling sering pada individu yang berusia
diatas 65 tahun adalah (1) penyakit Alzheimer, (2) demensia vaskuler, dan (3)
campuran antara keduanya. Penyebab lain yang mencapai kira-kira 10 persen
diantaranya adalah demensia jisim Lewy (Lewy body dementia), penyakit Pick,
demensia frontotemporal, hidrosefalus tekanan normal, demensia alkoholik,
demensia infeksiosa (misalnya human immunodeficiency virus (HIV) atau
sifilis) dan penyakit Parkinson.
5
Tabel. 1. Kemungkinan penyebab demensia6
Demensia Degeneratif Trauma
Penyakit Alzheimer Demensia pugilistica,
Demensia Frontotemporal posttraumatic dementia
(missal: Penyakit Pick) Subdural hematoma
Penyakit Parkinson Infeksi
Penyakit Huntington Penyakit Prion (misalnya
Demensia Lewy Body penyakit Creutzfeldt-Jakob,
Ferokalsinosis serebral idiopatik bovine spongiform encephalitis,
progresif AIDS
Lain-lain Sifilis
Penyakit Wilson Kelainan jantung, vaskuler dan
Leukodistrofi metakromatik anoksia
6
2.4 KLASIFIKASI
Demensia dari segi anatomi dibedakan antara demensia kortikal dan
demensia subkortikal.
Tabel 2. Perbedaan demensia kortikal dan subkortikal7
Ciri Demensia Kortikal Demensia Subkortikal
Penampilan Siaga, sehat Abnormal, lemah
Aktivitas Normal Lamban
Sikap Lurus, tegak Bongkok, distonik
Cara berjalan Normal Ataksia, festinasi, seolah
berdansa
Gerakan Normal Tremor, khorea, diskinesia
Output verbal Normal Disatria, hipofonik, volum
suara lemah
Berbahasa Abnormal, parafasia, Normal
anomia
Kognisi Abnormal (tidak mampu Tak terpelihara
memanipulasi (dilapidated)
pengetahuan)
Memori Abnormal (gangguan Pelupa (gangguan
belajar) retrieval)
Kemampuan visuo- Abnormal (gangguan Tidak cekatan (gangguan
spasial konstruksi) gerakan)
Keadaan emosi Abnormal (tak Abnormal (kurang
memperdulikan, tak dorongan drive)
menyadari)
Contoh Penyakit Alzheimer, Pick Progressive Supranuclear
Palsy, Parkinson, Penyakit
Wilson, Huntington.
7
hemisferum tertekan. Apabila sebab ini dapat dihilangkan, maka metabolisme
kortikal akan berjalan sempurna kembali. Dengan demikian fungsi luhur dalam
keseluruhannya akan sempurna kembali. Apabila sebab ini sudah
menimbulkan kerusakan infrastruktur neuron-neuron kortikal, tentu fungsi
kortikal tidak akan pulih kembali dan demensia menetap.3
8
khususnya pada mereka dengan hipertensi yang telah ada sebelumnya
atau faktor risiko kardiovaskular lainnya. Gangguan terutama mengenai
pembuluh darah serebral berukuran kecil dan sedang, yang mengalami
infark menghasilkan lesi parenkim multipel yang menyebar pada daerah
otak yang luas. Penyebab infark mungkin termasuk oklusi pembuluh
darah oleh plak arteriosklerotik atau tromboemboli dari tempat asal yang
jauh (sebagai contohnya katup jantung). Suatu pemeriksaan pasien dapat
menemukan bruit karotis, kelainan funduskopi, atau pembesaran kamar
jantung. 7
9
yang merupakan agen proteinaseus yang tidak mengandung DNA atau
RNA. Penyakit-penyakit lain yang berhubungan dengan prion adalah
scrapie (penyakit pada domba), kuru (suatu gangguan degeneratif sistem
saraf pusat yang fatal pada suku di dataran tinggi Guinea dimana prion
ditransmisikan melalui kanibalisme ritual), dan sindroma Gesrtman-
Straussler (suatu demensia progresif, familial, dan sangat jarang). Semua
gangguan yang yang berhubungan dengan prion menyebabkan
degenerasi berbentuk spongiosa pada otak, yang ditandai dengan tidak
adanya respon imun inflamasi. 7
Bukti-bukti menunjukkan bahwa pada manusia penyakit
Creutzfeldt-Jakob dapat ditransmisikan secara iatrogenik, melalui
transplantasi kornea atau instrumen bedah yang terinfeksi. Tetapi,
sebagian besar penyakit, tampaknya sporadik, mengenai individual
dalam usia 50-an. Terdapat bukti bahwa periode inkubasi mungkin relatif
singkat (satu sampai dua tahun) atau relatif lama (delapan sampai 16
tahun). Onset penyakit ditandai oleh perkembangan tremor, ataksia gaya
berjalan, mioklonus, dan demensia. Penyakit biasanya secara cepat
progresif menyebabkan demensia yang berat dan kematian dalam 6
sampai 12 tahun. Pemeriksaan cairan serebrospinal biasanya tidak
mengungkapkan kelainan, dan pemeriksaan tomografi komputer dan
MRI mungkin normal sampai perjalanan gangguan yang lanjut. Penyakit
ditandai oleh adanya pola elektroensefalogram (EEG) yang tidak biasa,
yang terdiri dari lonjakan gelombang lambat dengan tegangan tinggi. 7
10
telah menemukan bahwa kondisi tersebut adalah lebih sering daripada
yang sebelumnya dipikirkan. 7
11
kira 14 persen. Diperkirakan 75 persen pasien dengan sindroma
immunodefisiensi didapat (AIDS) mempunyai keterlibatan sistem saraf
pusat saat otopsi. Perkembangan demensia pada pasien yang terinfeksi
HIV seringkali disertai oleh tampaknya kelainan parenkimal pada
pemeriksaan MRI. 7
12
masalah bagaimana beratnya disorientasi, pasien tidak menunjukkan gangguan
pada tingkat kesadaran. 7
Afasia
Dapat dalam bentuk kesulitan menyebut nama orang atau benda. Penderita
afasia berbicara secara samar-samar atau terkesan hampa, dengan ungkapan
kata-kata yang panjang, dan menggunakan istilah-istilah yang tak menentu
misalnya “anu”, “itu”, “apa itu”. Bahasa lisan dan tertulis dapat pula terganggu.
Pada tahap lanjut, penderita dapat menjadi bisu atau mengalami gangguan pola
bicara yang dicirikan oleh ekolalia (menirukan apa yang dia dengar) atau
palilalia yang berarti mengulang suara atau kata terus-menerus. 7
Apraksia
Adalah ketidakmampuan untuk melakukan gerakan meskipun kemampuan
motorik, fungsi sensorik dan pengertian yang diperlukan tetap baik. Penderita
dapat mengalami kesulitan dalam menggunakan benda tertentu (menyisir
rambut) atau melakukan gerakan yang telah dikenali (melambaikan tangan).
Apraksia dapat mengganggu keterampilan memasak, mengenakan pakaian,
menggambar. 7
Agnosia
Adalah ketidakmampuan untuk mengenali atau mengidentifikasi benda
maupun fungsi sensoriknya utuh. Sebagai contoh, penderita tak dapat
mengenali kursi, pena, meskipun visusnya baik. Akhirnya, penderita tak
mengenal lagi anggota keluarganya dan bahkan dirinya sendiri yang tampak
pada cermin. Demikian pula, walaupun sensasi taktilnya utuh, penderita tak
mampu mengenali benda yang diletakkan di tangannya atau yang disentuhnya
misalnya kunci atau uang logam. 7
Gangguan fungsi eksekutif
Yaitu merupakan gejala yang sering dijumpai pada demensia. Gangguan ini
mempunyai kaitan dengan gangguan di lobus frontalis atau jaras-jaras
subkortikal yang berhubungan dengan lobus frontalis. Fungsi eksekutif
melibatkan kemampuan berpikir abstrak, merencanakan, mengambil inisiatif,
membuat urutan, memantau, dan menghentikan kegiatan yang kompleks.
Gangguan dalam berpikir abstrak dapat muncul sebagai kesulitan dalam
13
menguasai tugas/ide baru serta menghindari situasi yang memerlukan
pengolahan informasi baru atau kompleks. 7
Perubahan Kepribadian
Perubahan kepribadian pasien demensia merupakan gambaran yang paling
mengganggu bagi keluarga pasien yang terkena. Sifat kepribadian sebelumnya
mungkin diperkuat selama perkembangan demensia. Pasien dengan demensia
juga mungkin menjadi introvert dan tampaknya kurang memperhatikan tentang
efek perilaku mereka terhadap orang lain. Pasien demensia yang mempunyai
waham paranoid biasanya bersikap bermusuhan terhadap anggota keluarga dan
pengasuhnya. Pasien dengan gangguan frontal dan temporal kemungkinan
mengalami perubahan kepribadian yang jelas dan mungkin mudah marah dan
meledak-ledak. 7
Gangguan Lain
1. Psikiatri.
Disamping psikosis dan perubahan kepribadian, depresi dan kecemasan
adalah gejala utama pada kira-kira 40 sampai 50 persen pasien demensia,
walaupun sindroma gangguan depresif yang sepenuhnya mungkin hanya
ditemukan pada 10 sampai 20 persen pasien demensia. Pasien dengan
demensia juga menunjukkan tertawa atau menangis yang patologis, yaitu
emosi yang ekstrim tanpa provokasi yang terlihat. 7
2. Neurologis.
Tanda neurologis lain yang dapat berhubungan dengan demensia adalah
kejang, yang terlihat pada kira-kira 10 persen pasien dengan demensia tipe
Alzheimer dan 20 persen pasien dengan demensia vaskular, dan presentasi
neurologis yang atipikal, seperti sindroma lobus parietalis nondominan.
Refleks primitif-seperti refleks menggenggam, moncong, mengisap, kaki-
tonik, dan palmomental-mungkin ditemukan pada pemeriksaan neurologis,
dan jerks mioklonik ditemukan pada lima sampai sepuluh persen
pasien.Pasien dengan demensia vaskular mungkin mempunyai gejala
neurologis tambahan-seperti nyeri kepala, pusing, pingsan, kelemahan,
tanda neurologis fokal, dan gangguan tidur-mungkin menunjukkan lokasi
14
penyakit serebrovaskular. Palsi serebrobulbar, disartria, dan disfagia juga
lebih sering pada demensia vaskular dibandingkan demensia lain. 7
3. Reaksi katastropik.
Goldstein juga menggambarkan suatu reaksi katastropik, yang ditandai oleh
agitasi sekunder karena kesadaran subjektif tentang defisit intelektualnya di
bawah keadaan yang menegangkan. Pasien biasanya berusaha untuk
mengkompensasi defek tersebut dengan menggunakan strategi untuk
menghindari terlihatnya kegagalan dalam daya intelektual, seperti
mengubah subjek, membuat lelucon, atau mengalihkan pewawancara
dengan cara lain. Tidak adanya pertimbangan atau control impuls yang
buruk sering ditemukan, khususnya pada demensia yang terutama
mempengaruhi lobus frontalis. Contoh dari gangguan tersebut adalah
bahasa yang kasar, humor yang tidak sesuai, pengabaian penampilan dan
higiene pribadi, dan mengabaikan aturan konvensional tingkah laku sosial.
4. Sindroma Sundowner.
Sindroma ini ditandai oleh mengantuk, konfusi, ataksia, dan terjatuh secara
tidak disengaja. Keadaan ini terjadi pada pasien lanjut usia yang mengalami
sedasi berat dan pada pasien demensia yang bereaksi secara menyimpang
bahkan terhadap dosis kecil obat psikoaktif. Sindroma juga terjadi pada
pasien demensia jika stimuli eksternal, seperti cahaya dan isyarat yang
menyatakan interpersonal, adalah menghilang.
2.6 DIAGNOSIS
a. Anamnesis6
- Riwayat kesehatan
Ditanyakan faktor resiko demensia. Misalnya untuk demensia
vaskular ditanyakan riwayat seperti hipertensi, diabetes melitus dan
hiperlipidemia. Juga riwayat stroke atau adanya infeksi SSP.
- Riwayat obat-obatan dan alkohol
Adakah penderita peminum alkohol yang kronik atau pengkonsumsi
obat-obatan yang dapat menurunkan fungsi kognitif seperti obat tidur
dan antidepresan golongan trisiklik.
15
- Riwayat keluarga
Adakah keluarga yang mengalami demensia atau riwayat penyakit
serebrovaskular.
b. Pemeriksaan fisik6
Pada demensia, daerah motorik, piramidal dan ekstrapiramidal ikut
terlibat secara difus maka hemiparesis atau monoparesis dan diplegia dapat
melengkapkan sindrom demensia. Apabila manifestasi gangguan korteks
piramidal dan ekstrapiramidal tidak nyata, tanda-tanda lesi organik yang
mencerminkan gangguan pada korteks premotorik atau prefrontal dapat
membangkitkan refleks-refleks. Refleks tersebut merupakan petanda
keadaan regresi atau kemunduran kualitas fungsi.
c. Pemeriksaan MMSE
Alat skrining kognitif yang biasa digunakan adalah pemeriksaan
status mental mini atau Mini-Mental State Examination (MMSE).
Pemeriksaan ini berguna untuk mengetahui kemampuan orientasi,
registrasi, perhatian, daya ingat, kemampuan bahasa dan berhitung. Defisit
lokal ditemukan pada demensia vaskular sedangkan defisit global pada
penyakit Alzheimer.
16
Bila skor ≥7 : demensia vaskular.
Skor ≤4 : penyakit Alzheimer
2.7 PENATALAKSANAAN
Beberapa kasus demensia dianggap dapat diobati karena jaringan otak yang
disfungsional dapat menahan kemampuan untuk pemulihan jika pengobatan
dilakukan tepat pada waktunya.
Pendekatan pengobatan umum pada pasien demensia adalah untuk
memberikan perawatan medis suportif, bantuan emosional untuk pasien dan
keluarganya, dan pengobatan farmakologis untuk gejala spesifik, termasuk
gejala perilaku yang mengganggu. Pemeliharaan kesehatan fisik pasien,
lingkungan yang mendukung, dan pengobatan farmakologis simptomatik
diindikasikan dalam pengobatan sebagian besar jenis demensia. Pengobatan
simptomatik termasuk pemeliharaan diet gizi, latihan yang tepat, terapi rekreasi
dan aktivitas, perhatian terhadap masalah visual dan audiotoris, dan
pengobatan masalah medis yang menyertai, seperti infeksi saluran kemih,
ulkus dekubitus, dan disfungsi kardiopulmonal. 6
a. Sikap umum
Terdapat lima hambatan utama sehubungan dengan terapi demensia:
1. Kompleksitas biologi dan biokimia otak; interaksi dan ketergantungan
antar komponen belum diketahui secara jelas
2. Kesulitan dalam hal menentukan diagnosis etiologik dari sindrom
psiko-organik
3. Tiadanya korelasi antara perilaku, gejala neurologik atau
neuropsikologik, dan perubahan metabolik yang ada
4. Belum diketahuinya batas-batas biologik gangguan yang ada,
sehubungan dengan aspek farmakologik
5. Kesulitan dalam hal metodologi untuk mengevaluasi efek terapetik,
terutama dalam menginterpretasi hasil kelompok-kelompok
penelitian8
17
b. Obat untuk demensia
a. Cholinergic-enhancing agents
Untuk terapi demensia jenis Alzheimer, telah banyak dilakukan
penelitian. Pemberian cholinergic-enhancing agents menunjukkan
hasil yang lumayan pada beberapa penderita; namun demikian
secara keseluruhan tidak menunjukkan keberhasilan sama sekali.
Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa demensia alzheimer tidak
semata-mata disebabkan oleh defisiensi kolinergik; demensia ini
juga disebabkan oleh defisiensi neurotransmitter lainnya. Sementara
itu, kombinasi kolinergik dan noradrenergic ternyata bersifat
kompleks; pemberian obat kombinasi ini harus hati-hati karena
dapat terjadi interaksi yang mengganggu sistem kardiovaskular.8
b. Choline dan lecithin
Defisit asetilkolin di korteks dan hipokampus pada demensia
Alzheimer dan hipotesis tentang sebab dan hubungannya dengan
memori mendorong peneliti untuk mengarahkan perhatiannya pada
neurotransmitter. Pemberian prekursor, choline dan lecithin
merupakan salah satu pilihan dan memberi hasil lumayan, namun
demikian tidak memperlihatkan hal yang istimewa. Dengan choline
ada sedikit perbaikan terutama dalam fungsi verbal dan visual.
Dengan lecithin hasilnya cenderung negatif, walaupun dengan dosis
yang berlebih sehingga kadar dalam serum mencapai 120 persen dan
dalam cairan serebrospinal naik sampai 58 persen.
c. Neuropeptide, vasopressin dan ACTH
Pemberian neuropetida, vasopressin dan ACTH perlu memperoleh
perhatian. Neuropeptida dapat memperbaiki daya ingat segera yang
berkaitan dengan informasi dan kata-kata. Pada lansia tanpa
gangguan psiko-organik, pemberian ACTH dapat memperbaiki
daya konsentrasi dan memperbaiki keadaan umum.8
d. Nootropic agents
Dari golongan nootropic substances ada dua jenis obat yang sering
digunakan dalam terapi demensia, ialah nicergoline dan co-
18
dergocrine mesylate. Keduanya berpengaruh terhadap katekolamin.
Co-dergocrine mesylate memperbaiki perfusi serebral dengan cara
mengurangi tahanan vaskular dan meningkatkan konsumsi oksigen
otak. Obat ini memperbaiki perilaku, aktivitas, dan mengurangi
bingung, serta memperbaiki kognisi. Disisi lain, nicergoline tampak
bermanfaat untuk memperbaiki perasaan hati dan perilaku. 8
e. Dihydropyridine
Pada lansia dengan perubahan mikrovaskular dan neuronal, L-type
calcium channels menunjukkan pengaruh yang kuat. Lipophilic
dihydropyridine bermanfaat untuk mengatasi kerusakan susunan
saraf pusat pada lansia. Nimodipin bermanfaat untuk
mengembalikan fungsi kognitif yang menurun pada lansia dan
demensia jenis Alzheimer. Nimodipin memelihara sel-sel
endothelial/kondisi mikrovaskular tanpa dampak hipotensif; dengan
demikian sangat dianjurkan sebagai terapi alternatif untuk lansia
terutama yang mengidap hipertensi esensial.8
c. Terapi suportif
Berikan perawatan fisik yang baik. Sewaktu – waktu mungkin perlu
pembatasan / pengekangan secara fisik.
Pertahankan pasien berada dalam lingkungan yang sudah
dikenalnya dengan baik, jika memungkinkan.
Pertahankan keterlibatan pasien melalui kontak personal, orientasi
yang serin (mengingatkan nama hari, jam, dsb)
Bantulah untuk mempertahankan rasa percaya diri pasien. Rencana
diarahkan kepada kekuatan / kelebihan pasien. Bersikaplah
menerima dan menghargai pasien.
Hindari suasana yang remang – remang, terpencil; juga hindari
stimulasi yang berlebihan.
19
2.8 PROGNOSIS
Prognosis demensia vaskular lebih bervariasi dari penyakit Alzheimer.
Pasien dengan penyakit alzheimer mempunyai angka harapan hidup rata-rata
4-10 tahun sesudah diagnosis dan biasanya meninggal dunia akibat infeksi
sekunder. Penyebab kematian lainnya untuk demensia secara umum adalah
komplikasi dari demensia, penyakit kardiovaskular dan berbagai lagi faktor
seperti keganasan.6
20
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Demensia merupakan kerusakan progresif fungsi-fungsi kognitif tanpa
disertai gangguan kesadaran. Demensia dapat diklasifikasikan berdasarkan umur,
perjalanan penyakit, kerusakan struktur otak, sifat klinisnya. Demensia yang paling
sering dijumpai, yaitu demensia tipe Alzheimer dan demensia vaskular. Dimana
prevalensi demensia semakin meningkat dengan bertambahnya usia.
Dasar diagnosa pada demensia yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Untuk dapat membedakan demensia tipe alzheimer dan
demensia vaskular, dapat digunakan skor iskemik hachinski.
Secara umum terapi yang digunakan pada demensia adalah terapi
simptomatik dan terapi suportif karena potogenesis dari penyakit ini masih belum
jelas. Prognosis demensia vaskular lebih bervariasi dari penyakit Alzheimer. Pasien
dengan penyakit alzheimer mempunyai angka harapan hidup rata-rata 4-10 tahun
sesudah diagnosis dan biasanya meninggal dunia akibat infeksi sekunder.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Roan Witjaksana. Delirium dan Demensia. Diakses dari :http://www.idijakbar.
com/prosiding/delirium.htm. 7 Oktober 2008.
2. Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia Alcott. Delirium, dementia, amnes
tic andcognitive disorders. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry:
BehavioralSciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. Lippincott Williams &
Wilkins.
3. Prof. DR, Mahar Mardjono; Prof. DR, PrigunaSidharta; Dementia; neurologi
klinisdasar; Dian rakyat; 2009 Bab VI Halaman 211-213.
4. Dikot Y, Ong PA, 2007. Diagnosis Dini dan Penatalaksanaan Demensia.
Jakarta: PERDOSSI
5. Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedom
an Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, 1993. 49-67
6. Guberman A, Clinical Neurology, Little Brown and Coy, Boston, 1994,
Halaman 69.
7. Nasrun, Martina Wiwi S. Demensia dalam Buku Ajar Ilmu Psikiatri. Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013; 537—44.
8. Petersen RC, Morris JC. Mild Cognitive as a Clinical Entity and Treatment
Target. Arch. Neurol. 2005; 62: 1160—3
9.
22