Anda di halaman 1dari 27

PROPOSAL PENYULUHAN DEMENSIA

“YUK, KENALI DEMENSIA SEJAK DINI”

Disusun oleh :
Afif Bangun Pilardi (1102013012)
Fathonah Fatimatuzahra Said (1102013108)
Suci Rahayu (1102013281)

Pembimbing :
dr. Hevi Eka Tarsum

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA


RS JIWA ISLAM KLENDER
JAKARTA TIMUR
2018
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullaahi Wabarakatuh

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala puji dan
rahmatnya sehingga saya dapat menyelesaikan proposal penyuluhan DEMENSIA
yang berjudul “YUK,KENALI DEMENSIA SEJAK DINI” yang merupakan salah
satu pemenuhan syarat kelulusan di Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa Rumah
Sakit Jiwa Islam Klender.

Terima kasih saya ucapkan kepada semua pihak yang telah banyak membantu
dalam penyusunan proposal penyuluhan ini. Saya juga mengucapkan terima kasih
kepada rekan-rekan dokter muda sejawat dan semua pihak yang ikut berkontribusi.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa proposal penyuluhan ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak guna
menyempurnakan proposal penyuluhan ini. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca pada umumnya dan mahasiswa kedokteran pada khususnya.

Sekian dan terima kasih. Wassalamualaikum Warahmatullaahi Wabarakatuh

Jakarta, 13 Maret 2018


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

SATUAN ACARA PENYULUHAN

BAB I : PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang ...................................................................................................... 1

I.2. Tujuan Instruksional Umum ................................................................................. 1

I.3. Tujuan Instruksional Khusus.................................................................................. 2

I.4. Materi ..................................................................................................................... 2

I.5. Media...................................................................................................................... 2

I.6. Metode.................................................................................................................... 2

I.7. Kegiatan Proses Penyuluhan .................................................................................. 2

I.8. Evaluasi .................................................................................................................. 3

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Definisi Demensia................................................................................................. 4

II.2. Epidemiologi Demensia ....................................................................................... 5

II.3. Etiologi Demensia ................................................................................................ 5

II.4. Klasifikasi Demensia ........................................................................................... 7

II.5. Gambaran Klinis Demensia ................................................................................. 12

II.6. Diagnosis Demensia ............................................................................................ 15

II.7. Penatalaksanaan Demensia .................................................................................. 17

II.8. Prognosis Demensia ............................................................................................. 20


BAB III : PENUTUP

III.1. SIMPULAN ........................................................................................................ 21

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………... 22


SATUAN ACARA PENYULUHAN

I. IDENTITAS
Topik : Demensia
Sub Topik : YUK, KENALI DEMENSIA SEJAK DINI
Hari/Tanggal : Maret 2018
Waktu : 09.00 s/d selesai
Sasaran : Pasien dan Keluarga pasien rawat jalan di poliklinik RS Jiwa Islam
Klender
Tempat : RS Jiwa Islam Klender
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Menurut WHO, demensia adalah sindrom neurodegeneratif yang
timbul karena adanya kelainan yang bersifat kronis dan progresif disertai
dengan gangguan fungsi luhur multipel seperti kalkulasi, kapasitas belajar,
bahasa, dan mengambil keputusan1. Kesadaran pada demensia tidak terganggu.
Gangguan fungsi kognitif biasanya disertai dengan perburukan kontrol
emosi, perilaku dan motivasi. Merosotnya fungsi kognitif ini harus cukup berat
sehingga mengganggu fungsi sosial dan pekerjaan individu2.
Demensia adalah suatu kondisi klinis yang perlu didiagnosis dan
ditelusuri penyebabnya. Penyebab demensia sangat banyak, namun tampilan
gejala klinis umumnya hampir sama. Enam puluh persen demensia adalah
irreversibel (tidak dapat pulih ke kondisi semula), 25% dapat dikontrol, dan
15% reversibel (dapat pulih kembali). Penyakit penyebab demensia yang dapat
diobati harus dapat diidentifikasi dan dikelola sebaik-baiknya1.
Prevalensi demensia pada populasi lanjut usia (> 65 tahun) berkisar 3-
30%. Demensia tipe Alzheimer dilaporkan bertumbuh 2 kali lipat setiap
pertambahan usia 5 tahun, yaitu bila prevalensi demensia pada usia 65 tahun
3% maka menjadi 6% pada usia 70 tahun, 12% pada 75 tahun dan 24% pada
usia 80 tahun. Di Indonesia pada tahun 2006 diperkirakan ada 1 juta orang
dengan demensia untuk jumlah lanjut usia 20 juta orang2.

1.2. TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM


Setelah dilakukan penyuluhan kesehatan tentang pentingnya
mengetahui secara dini tentang demensia, diharapkan pasien dan keluarga
pasien yang merupakan sasaran dari penyuluhan ini dapat melakukan
screening secara dini terhadap tanda-tanda yang mengarah ke gejala
demensia dan mencegah terjadinya demensia pada generasi selanjutnya.

1
1.3. TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS
Setelah dilakukan penyuluhan selama 30 menit diharapkan para peserta
dapat :
1. Memahami definisi demensia
2. Memahami tentang etiologi dan klasifikasi dari demensia
3. Memahami tentang diagnosis demensia
4. Memahami tentang penatalaksanaan demensia
5. Memahami tentang prognosis dan pencegahan demensia

1.4. MATERI (TERLAMPIR)

1.5. MEDIA
1. Laptop
2. LCD
3. Microphone
4. Leaflet
1.6. METODE
Melakukan komunikasi dua arah, penulis mempresentasikan topik yang
dibawakannya dan kemudian dilakukan sesi tanya jawab ataupun berbagi
cerita dari para pendengar presentasi (pasien ataupun keluarga pasien).

1.7. KEGIATAN PROSES PENYULUHAN


NO Kegiatan Penyuluhan Audience Waktu

1. Pembukaan  Mengucap salam  Menjawab salam 5 menit


 Memperkenalkan diri  Memperhatikan
2. Isi  Penyampaian isi materi  Memperhatikan 15 menit

 Menyimpulkan materi  Memperhatikan


 Memberi kesempatan  Aktif bertanya
3. Penutup 10 menit
peserta untuk bertanya  Menjawab salam
 Menutup dan mengucap
salam

2
1.8. EVALUASI

1. Evaluasi Struktur
 Peserta 10-15 orang
 Suasana tenang dan tidak ada yang hilir mudik / keluar masuk.

2. Evaluasi Proses
Selama proses penyuluhan berlangsung diharapkan peserta aktif dan
dapat memberikan tanggapan dengan segera dan sopan.
3. Evaluasi
 1 orang dari peserta dapat menyebutkan pengertian DEMENSIA.
 1 orang dari peserta dapat menyebutkan jenis DEMENSIA.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI DEMENSIA


Demensia ialah suatu sindrom yang terdiri dari gejala-gejala gangguan
daya kognitif global yang tidak disertai gangguan derajat kesadaran, namun
bergandengan dengan perubahan tabiat yang dapat berkembang secara
mendadak atau sedikit demi sedikit pada setiap orang dari semua golongan
usia. 3
Di Indonesia sering dianggap bahwa demensia ini merupakan gejala
yang normal pada setiap orang tua. Namun kenyataannya bahwa anggapan atau
persepsi yang salah bahwa setiap orang tua mengalami gangguan atau
penurunan daya ingat adalah suatu proses yang normal saja. Anggapan ini
harus dihilangkan dari pandangan masyarakat kita yang salah2.
Menurut PERDOSSI, demensia adalah kumpulan gejala klinik yang
disebabkan oleh berbagai latar belakang penyakit dan ditandai oleh hilangnua
daya ingat jangka pendek (“recent memory”) dan gangguan global fungsi
mental termasuk fungsi bahasa, mundurnya berfikir abstrak, kesulitan merawat
diri sendiri, perubahan perilaku, emosi labil dan hilangnya pengenalan terhadap
waktu dan tempat.4
Menurut PPDGJ III, demensia merupakan suatu sindroma akibat
penyakit otak, biasanya bersifat kronik atau progresif, serta terdapat gangguan
fungsi luhur (fungsi kortikal yang multipel), termasuk daya ingat, daya pikir,
daya orientasi, daya pemahaman, berhitung, kemampuan belajar, berbahasa,
dan kemampuan menilai. Kesadaran tidak berkabut. Biasanya disertai hendaya
fungsi kognitif dan ada kalanya diawali kemerosotan (deteriorasi) dalam
pengendalian emosi, perilaku sosial, atau motivasi. Syarat utama penegakan
diagnosis adalah bukti adanya penurunan kemampuan, baik dalam daya ingat
maupun daya pikir seseorang sehingga mengganggu kegiatan sehari-hari
seperti yang tersebut di atas. Gejala dan hendaya harus sudah nyata untuk
sekurang-kurangnya enam bulan5.

4
2.2 EPIDEMIOLOGI
Prevalensi demensia semakin meningkat dengan bertambahnya usia.
Pada kelompok usia diatas 65 tahun prevalensi demensia sedang hingga berat
mencapai 5 persen, sedangkan pada kelompok usia diatas 85 tahun
prevalensinya mencapai 20 hingga 40 persen. Dari seluruh pasien yang
menderita demensia, 50 hingga 60 persen diantaranya menderita jenis
demensia yang paling sering dijumpai, yaitu demensia tipe Alzheimer
(Alzheimer’s diseases).

Gambar 1 Prevalensi Alzheimer

Jenis demensia yang paling lazim ditemui berikutnya adalah demensia


vaskuler, yang secara kausatif dikaitkan dengan penyakit serebrovaskuler.
Hipertensi merupakan faktor predisposisi bagi seseorang untuk menderita
demensia. Demensia vaskuler meliputi 15 hingga 30 persen dari seluruh kasus
demensia. 6

2.3 ETIOLOGI
Penyebab demensia yang paling sering pada individu yang berusia
diatas 65 tahun adalah (1) penyakit Alzheimer, (2) demensia vaskuler, dan (3)
campuran antara keduanya. Penyebab lain yang mencapai kira-kira 10 persen
diantaranya adalah demensia jisim Lewy (Lewy body dementia), penyakit Pick,
demensia frontotemporal, hidrosefalus tekanan normal, demensia alkoholik,
demensia infeksiosa (misalnya human immunodeficiency virus (HIV) atau
sifilis) dan penyakit Parkinson.

5
Tabel. 1. Kemungkinan penyebab demensia6
Demensia Degeneratif Trauma
 Penyakit Alzheimer  Demensia pugilistica,
 Demensia Frontotemporal posttraumatic dementia
(missal: Penyakit Pick)  Subdural hematoma
 Penyakit Parkinson Infeksi
 Penyakit Huntington  Penyakit Prion (misalnya
 Demensia Lewy Body penyakit Creutzfeldt-Jakob,
 Ferokalsinosis serebral idiopatik bovine spongiform encephalitis,

 Kelumpuhan supranuklear yang Sindrom Gerstmann-Straussler)

progresif  AIDS
Lain-lain  Sifilis
 Penyakit Wilson Kelainan jantung, vaskuler dan
 Leukodistrofi metakromatik anoksia

 Neuroakantositosis  Infark serebri (infark tunggal

 Normal-pressure hydrocephalus maupun mulitpel atau infark

Kelainan Psikiatri lakunar)

 Pseudodemensia pada depresi  Penyakit Binswanger

 Penurunan fungsi kognitif pada (subcortical arteriosclerotic

usia lanjut encephalopathy)

Fisiologis  Insufisiensi hemodinamik

 Hidrocephalus tekanan normal (hipoperfusi atau hipoksia)

Kelainan Metabolik Penyakit demielinisasi

 Defisiensi vitamin (misalnya  Sklerosis multipel

vitamin B12, folat) Obat-obatan dan toksin

 Endokrinopati (hipotiroidisme)  Alkohol

 Gangguan metabolisme kronik  Logam berat

(contoh : uremia)  Radiasi

Tumor  Pseudodemensia akibat

 Tumor primer maupun metastase pengobatan


 Karbon monoksida

6
2.4 KLASIFIKASI
Demensia dari segi anatomi dibedakan antara demensia kortikal dan
demensia subkortikal.
Tabel 2. Perbedaan demensia kortikal dan subkortikal7
Ciri Demensia Kortikal Demensia Subkortikal
Penampilan Siaga, sehat Abnormal, lemah
Aktivitas Normal Lamban
Sikap Lurus, tegak Bongkok, distonik
Cara berjalan Normal Ataksia, festinasi, seolah
berdansa
Gerakan Normal Tremor, khorea, diskinesia
Output verbal Normal Disatria, hipofonik, volum
suara lemah
Berbahasa Abnormal, parafasia, Normal
anomia
Kognisi Abnormal (tidak mampu Tak terpelihara
memanipulasi (dilapidated)
pengetahuan)
Memori Abnormal (gangguan Pelupa (gangguan
belajar) retrieval)
Kemampuan visuo- Abnormal (gangguan Tidak cekatan (gangguan
spasial konstruksi) gerakan)
Keadaan emosi Abnormal (tak Abnormal (kurang
memperdulikan, tak dorongan drive)
menyadari)
Contoh Penyakit Alzheimer, Pick Progressive Supranuclear
Palsy, Parkinson, Penyakit
Wilson, Huntington.

Dari etiologi dan perjalanan penyakit dibedakan antara demensia yang


reversibel dan irreversibel. Pada demensia reversibel daya kognitif global dan
fungsi luhur lainnya terganggu oleh karena metabolisme neuron-neuron kedua

7
hemisferum tertekan. Apabila sebab ini dapat dihilangkan, maka metabolisme
kortikal akan berjalan sempurna kembali. Dengan demikian fungsi luhur dalam
keseluruhannya akan sempurna kembali. Apabila sebab ini sudah
menimbulkan kerusakan infrastruktur neuron-neuron kortikal, tentu fungsi
kortikal tidak akan pulih kembali dan demensia menetap.3

2.4.1 Demensia tipe Alzheimer


Alois Alzheimer pertama kali menggambarkan suatu kondisi yang
selanjutnya diberi nama dengan namanya dalam tahun 1907, saat ia
menggambarkan seorang wanita berusia 51 tahun dengan perjalanan
demensia progresif selama empat setengah tahun. Diagnosis akhir
penyakit Alzheimer didasarkan pada pemeriksaan neuropatologi otak;
namun demikian, demensia tipe Alzheimer biasanya didiagnosis dalam
lingkungan klinis setelah penyebab demensia lainnya telah disingkirkan
dari pertimbangan diagnostik.7
Penyakit Alzheimer adalah suatu jenis demensia umum yang tidak
diketahui penyebabnya. Penelitian otopsi mengungkapkan bahwa lebih
dari setengah penderita yang meninggal karena demensia senil
mengalami penyakit jenis Alzheimer ini. Pada kebanyakan penderita,
berat kasar otak pada saat otopsi jauh lebih rendah dan ventrikel dan
sulkus jauh lebih besar dibandingkan yang normal untuk seukuran usia
tersebut. Demielinasi dan peningkatan kandungan air pada jaringan otak
ditemukan berdekatan dengan ventrikel lateral dan dalam beberapa
daerah lain di bagian dalam hemisfer serebrum pada penderita manula,
khususnya mereka yang menderita penyakit Alzheimer. 7

2.4.2 Demensia Vaskular


Penyebab utama dari demensia vaskular dianggap adalah penyakit
vaskular serebral yang multipel, yang menyebabkan suatu pola gejala
demensia. Gangguan dulu disebut sebagai demensia multi-infark dalam
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi ketiga yang
di revisi (DSM-III-R). Demensia vaskular paling sering pada laki-laki,

8
khususnya pada mereka dengan hipertensi yang telah ada sebelumnya
atau faktor risiko kardiovaskular lainnya. Gangguan terutama mengenai
pembuluh darah serebral berukuran kecil dan sedang, yang mengalami
infark menghasilkan lesi parenkim multipel yang menyebar pada daerah
otak yang luas. Penyebab infark mungkin termasuk oklusi pembuluh
darah oleh plak arteriosklerotik atau tromboemboli dari tempat asal yang
jauh (sebagai contohnya katup jantung). Suatu pemeriksaan pasien dapat
menemukan bruit karotis, kelainan funduskopi, atau pembesaran kamar
jantung. 7

2.4.3 Penyakit Pick


Berbeda dengan distribusi patologi parietal-temporal pada penyakit
Alzheimer, penyakit Pick ditandai oleh atrofi yang lebih banyak dalam
daerah frontotemporal. Daerah tersebut juga mengalami kehilangan
neuronal, gliosis, dan adanya badan Pick neuronal yang merupakan
massa elemen sitoskeletal. Badan Pick ditemukan pada beberapa
spesimen postmortem tetapi tidak diperlukan untuk diagnosis. Penyebab
penyakit Pick tidak diketahui. Penyakit Pick berjumlah kira-kira lima
persen dari semua demensia yang irreversibel. Penyakit ini paling sering
terjadi pada laki-laki, khususnya mereka yang mempunyai sanak saudara
derajat pertama dengan kondisi tersebut. Penyakit Pick sulit dibedakan
dari demensia tipe Alzheimer, walaupun stadium awal penyakit Pick
lebih sering ditandai oleh perubahan kepribadian dan perilaku, dengan
fungsi kognitif lain yang relatif bertahan. Gambaran sindroma Kluver-
Bucy (sebagai contohnya, hiperseksualitas, plasiditas, hiperoralitas)
adalah jauh lebih sering pada penyakit Pick dibandingkan pada penyakit
Alzheimer. 7

2.4.4 Penyakit Creutzfeldt-Jakob


Penyakit Creutzfeldt-Jakob adalah penyakit degeneratif otak yang
jarang, yang disebabkan oleh agen yang progresif secara lambat, dan
dapat ditransmisikan (yaitu, agen infektif), paling mungkin suatu prion,

9
yang merupakan agen proteinaseus yang tidak mengandung DNA atau
RNA. Penyakit-penyakit lain yang berhubungan dengan prion adalah
scrapie (penyakit pada domba), kuru (suatu gangguan degeneratif sistem
saraf pusat yang fatal pada suku di dataran tinggi Guinea dimana prion
ditransmisikan melalui kanibalisme ritual), dan sindroma Gesrtman-
Straussler (suatu demensia progresif, familial, dan sangat jarang). Semua
gangguan yang yang berhubungan dengan prion menyebabkan
degenerasi berbentuk spongiosa pada otak, yang ditandai dengan tidak
adanya respon imun inflamasi. 7
Bukti-bukti menunjukkan bahwa pada manusia penyakit
Creutzfeldt-Jakob dapat ditransmisikan secara iatrogenik, melalui
transplantasi kornea atau instrumen bedah yang terinfeksi. Tetapi,
sebagian besar penyakit, tampaknya sporadik, mengenai individual
dalam usia 50-an. Terdapat bukti bahwa periode inkubasi mungkin relatif
singkat (satu sampai dua tahun) atau relatif lama (delapan sampai 16
tahun). Onset penyakit ditandai oleh perkembangan tremor, ataksia gaya
berjalan, mioklonus, dan demensia. Penyakit biasanya secara cepat
progresif menyebabkan demensia yang berat dan kematian dalam 6
sampai 12 tahun. Pemeriksaan cairan serebrospinal biasanya tidak
mengungkapkan kelainan, dan pemeriksaan tomografi komputer dan
MRI mungkin normal sampai perjalanan gangguan yang lanjut. Penyakit
ditandai oleh adanya pola elektroensefalogram (EEG) yang tidak biasa,
yang terdiri dari lonjakan gelombang lambat dengan tegangan tinggi. 7

2.5.6 Penyakit Binswanger


Penyakit Binswanger juga dikenal sebagai ensefalopati
arteriosklerotik kortikal. Penyakit ini ditandai dengan adanya banyak
infark-infark kecil pada substansia alba, jadi menyerang daerah kortikal.
Walaupun penyakit Binswanger sebelumnya dianggap sebagai kondisi
yang jarang, kemajuan teknik pencitraan yang canggih dan kuat, seperti
pencitraan resonansi magnetik (magnetic resonance imaging: MRI),

10
telah menemukan bahwa kondisi tersebut adalah lebih sering daripada
yang sebelumnya dipikirkan. 7

2.5.7 Penyakit Huntington


Penyakit Huntington biasanya disertai dengan perkembangan
demensia. Demensia yang terlihat pada penyakit Huntington adalah tipe
demensia subkortikal, yang ditandai oleh kelainan motorik yang lebih
banyak dan kelainan bicara yang lebih sedikit dibandingkan tipe
demensia kortikal (tabel 1). Demensia pada penyakit Huntington ditandai
oleh perlambatan psikomotor dan kesulitan melakukan tugas yang
kompleks, tetapi ingatan, bahasa, dan tilikan tetap relatif utuh pada
stadium awal dan menengah dari penyakit. Tetapi, saat penyakit
berkembang, demensia menjadi lengkap dan ciri yang membedakan
penyakit ini dari demensia tipe Alzheimer adalah tingginya insidensi
depresi dan psikosis, disamping gangguan pergerakan koreoatetoid yang
klasik. 7

2.5.8 Penyakit Parkinson


Seperti penyakit Huntington, parkinsonisme adalah suatu
penyakit pada ganglia basalis yang sering disertai dengan demensia dan
depresi. Diperkirakan 20 sampai 30 persen pasien dengan penyakit
Parkinson menderita demensia, dan tambahan 30 sampai 40 persen
mempunyai gangguan kemampuan kognitif yang dapat diukur.
Pergerakan yang lambat pada pasien dengan penyakit Parkinson adalah
disertai dengan berpikir yang lambat pada beberapa pasien yang terkena,
suatu ciri yang disebut oleh beberapa dokter sebagai bradifenia
(bradyphenia). 7

2.5.9 Demensia yang berhubungan dengan HIV


Infeksi dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) seringkali
menyebabkan demensia dan gejala psikiatrik lainnya. Pasien yang
terinfeksi dengan HIV mengalami demensia dengan angka tahunan kira-

11
kira 14 persen. Diperkirakan 75 persen pasien dengan sindroma
immunodefisiensi didapat (AIDS) mempunyai keterlibatan sistem saraf
pusat saat otopsi. Perkembangan demensia pada pasien yang terinfeksi
HIV seringkali disertai oleh tampaknya kelainan parenkimal pada
pemeriksaan MRI. 7

2.5.10 Demensia yang berhubungan dengan Trauma Kepala


Demensia dapat merupakan suatu sekuela dari trauma kepala,
demikian juga berbagai sindroma neuropsikiatrik. 7

2.5 GAMBARAN KLINIS


Gambaran utama demensia adalah munculnya defisit kognitif multipleks,
termasuk gangguan memori, setidak-tidaknya satu di antara gangguan
gangguan kognitif berikut ini: afasia, apraksia, agnosia, atau gangguan dalam
hal fungsi eksekutif. Defisit kognitif harus sedemikian rupa sehingga
mengganggu fungsi sosial atau okupasional (pergi ke sekolah, bekerja,
berbelanja, berpakaian, mandi, mengurus uang, dan kehidupan sehari-hari
lainnya) serta harus menggambarkan menurunnya fungsi luhur sebelumnya. 7
Gangguan memori
Dalam bentuk ketidakmampuannya untuk belajar tentang hal-hal baru, atau
lupa akan hal-hal yang baru saja dikenal, dikerjakan atau dipelajari. Sebagian
penderita demensia mengalami kedua jenis gangguan memori tadi. Penderita
seringkali kehilangan dompet dan kunci, lupa bahwa sedang meninggalkan
bahan masakan di kompor yang menyala, dan merasa asing terhadap
tetangganya. Pada demensia tahap lanjut, gangguan memori menjadi
sedemikian berat sehingga penderita lupa akan pekerjaan, sekolah, tanggal
lahir, anggota keluarga, dan bahkan terhadap namanya sendiri. 7
Gangguan orientasi
Karena daya ingat adalah penting untuk orientasi terhadap orang, tempat,
dan waktu. Orientasi dapat terganggu secara progresif selama perjalanan
penyakit demensia. Sebagai contohnya, pasien dengan demensia mungkin lupa
bagaimana kembali ke ruangannya setelah pergi ke kamar mandi. Tetapi, tidak

12
masalah bagaimana beratnya disorientasi, pasien tidak menunjukkan gangguan
pada tingkat kesadaran. 7
Afasia
Dapat dalam bentuk kesulitan menyebut nama orang atau benda. Penderita
afasia berbicara secara samar-samar atau terkesan hampa, dengan ungkapan
kata-kata yang panjang, dan menggunakan istilah-istilah yang tak menentu
misalnya “anu”, “itu”, “apa itu”. Bahasa lisan dan tertulis dapat pula terganggu.
Pada tahap lanjut, penderita dapat menjadi bisu atau mengalami gangguan pola
bicara yang dicirikan oleh ekolalia (menirukan apa yang dia dengar) atau
palilalia yang berarti mengulang suara atau kata terus-menerus. 7
Apraksia
Adalah ketidakmampuan untuk melakukan gerakan meskipun kemampuan
motorik, fungsi sensorik dan pengertian yang diperlukan tetap baik. Penderita
dapat mengalami kesulitan dalam menggunakan benda tertentu (menyisir
rambut) atau melakukan gerakan yang telah dikenali (melambaikan tangan).
Apraksia dapat mengganggu keterampilan memasak, mengenakan pakaian,
menggambar. 7
Agnosia
Adalah ketidakmampuan untuk mengenali atau mengidentifikasi benda
maupun fungsi sensoriknya utuh. Sebagai contoh, penderita tak dapat
mengenali kursi, pena, meskipun visusnya baik. Akhirnya, penderita tak
mengenal lagi anggota keluarganya dan bahkan dirinya sendiri yang tampak
pada cermin. Demikian pula, walaupun sensasi taktilnya utuh, penderita tak
mampu mengenali benda yang diletakkan di tangannya atau yang disentuhnya
misalnya kunci atau uang logam. 7
Gangguan fungsi eksekutif
Yaitu merupakan gejala yang sering dijumpai pada demensia. Gangguan ini
mempunyai kaitan dengan gangguan di lobus frontalis atau jaras-jaras
subkortikal yang berhubungan dengan lobus frontalis. Fungsi eksekutif
melibatkan kemampuan berpikir abstrak, merencanakan, mengambil inisiatif,
membuat urutan, memantau, dan menghentikan kegiatan yang kompleks.
Gangguan dalam berpikir abstrak dapat muncul sebagai kesulitan dalam

13
menguasai tugas/ide baru serta menghindari situasi yang memerlukan
pengolahan informasi baru atau kompleks. 7
Perubahan Kepribadian
Perubahan kepribadian pasien demensia merupakan gambaran yang paling
mengganggu bagi keluarga pasien yang terkena. Sifat kepribadian sebelumnya
mungkin diperkuat selama perkembangan demensia. Pasien dengan demensia
juga mungkin menjadi introvert dan tampaknya kurang memperhatikan tentang
efek perilaku mereka terhadap orang lain. Pasien demensia yang mempunyai
waham paranoid biasanya bersikap bermusuhan terhadap anggota keluarga dan
pengasuhnya. Pasien dengan gangguan frontal dan temporal kemungkinan
mengalami perubahan kepribadian yang jelas dan mungkin mudah marah dan
meledak-ledak. 7
Gangguan Lain
1. Psikiatri.
Disamping psikosis dan perubahan kepribadian, depresi dan kecemasan
adalah gejala utama pada kira-kira 40 sampai 50 persen pasien demensia,
walaupun sindroma gangguan depresif yang sepenuhnya mungkin hanya
ditemukan pada 10 sampai 20 persen pasien demensia. Pasien dengan
demensia juga menunjukkan tertawa atau menangis yang patologis, yaitu
emosi yang ekstrim tanpa provokasi yang terlihat. 7
2. Neurologis.
Tanda neurologis lain yang dapat berhubungan dengan demensia adalah
kejang, yang terlihat pada kira-kira 10 persen pasien dengan demensia tipe
Alzheimer dan 20 persen pasien dengan demensia vaskular, dan presentasi
neurologis yang atipikal, seperti sindroma lobus parietalis nondominan.
Refleks primitif-seperti refleks menggenggam, moncong, mengisap, kaki-
tonik, dan palmomental-mungkin ditemukan pada pemeriksaan neurologis,
dan jerks mioklonik ditemukan pada lima sampai sepuluh persen
pasien.Pasien dengan demensia vaskular mungkin mempunyai gejala
neurologis tambahan-seperti nyeri kepala, pusing, pingsan, kelemahan,
tanda neurologis fokal, dan gangguan tidur-mungkin menunjukkan lokasi

14
penyakit serebrovaskular. Palsi serebrobulbar, disartria, dan disfagia juga
lebih sering pada demensia vaskular dibandingkan demensia lain. 7
3. Reaksi katastropik.
Goldstein juga menggambarkan suatu reaksi katastropik, yang ditandai oleh
agitasi sekunder karena kesadaran subjektif tentang defisit intelektualnya di
bawah keadaan yang menegangkan. Pasien biasanya berusaha untuk
mengkompensasi defek tersebut dengan menggunakan strategi untuk
menghindari terlihatnya kegagalan dalam daya intelektual, seperti
mengubah subjek, membuat lelucon, atau mengalihkan pewawancara
dengan cara lain. Tidak adanya pertimbangan atau control impuls yang
buruk sering ditemukan, khususnya pada demensia yang terutama
mempengaruhi lobus frontalis. Contoh dari gangguan tersebut adalah
bahasa yang kasar, humor yang tidak sesuai, pengabaian penampilan dan
higiene pribadi, dan mengabaikan aturan konvensional tingkah laku sosial.
4. Sindroma Sundowner.
Sindroma ini ditandai oleh mengantuk, konfusi, ataksia, dan terjatuh secara
tidak disengaja. Keadaan ini terjadi pada pasien lanjut usia yang mengalami
sedasi berat dan pada pasien demensia yang bereaksi secara menyimpang
bahkan terhadap dosis kecil obat psikoaktif. Sindroma juga terjadi pada
pasien demensia jika stimuli eksternal, seperti cahaya dan isyarat yang
menyatakan interpersonal, adalah menghilang.

2.6 DIAGNOSIS
a. Anamnesis6
- Riwayat kesehatan
Ditanyakan faktor resiko demensia. Misalnya untuk demensia
vaskular ditanyakan riwayat seperti hipertensi, diabetes melitus dan
hiperlipidemia. Juga riwayat stroke atau adanya infeksi SSP.
- Riwayat obat-obatan dan alkohol
Adakah penderita peminum alkohol yang kronik atau pengkonsumsi
obat-obatan yang dapat menurunkan fungsi kognitif seperti obat tidur
dan antidepresan golongan trisiklik.

15
- Riwayat keluarga
Adakah keluarga yang mengalami demensia atau riwayat penyakit
serebrovaskular.
b. Pemeriksaan fisik6
Pada demensia, daerah motorik, piramidal dan ekstrapiramidal ikut
terlibat secara difus maka hemiparesis atau monoparesis dan diplegia dapat
melengkapkan sindrom demensia. Apabila manifestasi gangguan korteks
piramidal dan ekstrapiramidal tidak nyata, tanda-tanda lesi organik yang
mencerminkan gangguan pada korteks premotorik atau prefrontal dapat
membangkitkan refleks-refleks. Refleks tersebut merupakan petanda
keadaan regresi atau kemunduran kualitas fungsi.
c. Pemeriksaan MMSE
Alat skrining kognitif yang biasa digunakan adalah pemeriksaan
status mental mini atau Mini-Mental State Examination (MMSE).
Pemeriksaan ini berguna untuk mengetahui kemampuan orientasi,
registrasi, perhatian, daya ingat, kemampuan bahasa dan berhitung. Defisit
lokal ditemukan pada demensia vaskular sedangkan defisit global pada
penyakit Alzheimer.

d. Skor iskemik Hachinski


Tabel 5. Skor Iskemik Hachinski

16
Bila skor ≥7 : demensia vaskular.
Skor ≤4 : penyakit Alzheimer

2.7 PENATALAKSANAAN
Beberapa kasus demensia dianggap dapat diobati karena jaringan otak yang
disfungsional dapat menahan kemampuan untuk pemulihan jika pengobatan
dilakukan tepat pada waktunya.
Pendekatan pengobatan umum pada pasien demensia adalah untuk
memberikan perawatan medis suportif, bantuan emosional untuk pasien dan
keluarganya, dan pengobatan farmakologis untuk gejala spesifik, termasuk
gejala perilaku yang mengganggu. Pemeliharaan kesehatan fisik pasien,
lingkungan yang mendukung, dan pengobatan farmakologis simptomatik
diindikasikan dalam pengobatan sebagian besar jenis demensia. Pengobatan
simptomatik termasuk pemeliharaan diet gizi, latihan yang tepat, terapi rekreasi
dan aktivitas, perhatian terhadap masalah visual dan audiotoris, dan
pengobatan masalah medis yang menyertai, seperti infeksi saluran kemih,
ulkus dekubitus, dan disfungsi kardiopulmonal. 6

a. Sikap umum
Terdapat lima hambatan utama sehubungan dengan terapi demensia:
1. Kompleksitas biologi dan biokimia otak; interaksi dan ketergantungan
antar komponen belum diketahui secara jelas
2. Kesulitan dalam hal menentukan diagnosis etiologik dari sindrom
psiko-organik
3. Tiadanya korelasi antara perilaku, gejala neurologik atau
neuropsikologik, dan perubahan metabolik yang ada
4. Belum diketahuinya batas-batas biologik gangguan yang ada,
sehubungan dengan aspek farmakologik
5. Kesulitan dalam hal metodologi untuk mengevaluasi efek terapetik,
terutama dalam menginterpretasi hasil kelompok-kelompok
penelitian8

17
b. Obat untuk demensia
a. Cholinergic-enhancing agents
Untuk terapi demensia jenis Alzheimer, telah banyak dilakukan
penelitian. Pemberian cholinergic-enhancing agents menunjukkan
hasil yang lumayan pada beberapa penderita; namun demikian
secara keseluruhan tidak menunjukkan keberhasilan sama sekali.
Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa demensia alzheimer tidak
semata-mata disebabkan oleh defisiensi kolinergik; demensia ini
juga disebabkan oleh defisiensi neurotransmitter lainnya. Sementara
itu, kombinasi kolinergik dan noradrenergic ternyata bersifat
kompleks; pemberian obat kombinasi ini harus hati-hati karena
dapat terjadi interaksi yang mengganggu sistem kardiovaskular.8
b. Choline dan lecithin
Defisit asetilkolin di korteks dan hipokampus pada demensia
Alzheimer dan hipotesis tentang sebab dan hubungannya dengan
memori mendorong peneliti untuk mengarahkan perhatiannya pada
neurotransmitter. Pemberian prekursor, choline dan lecithin
merupakan salah satu pilihan dan memberi hasil lumayan, namun
demikian tidak memperlihatkan hal yang istimewa. Dengan choline
ada sedikit perbaikan terutama dalam fungsi verbal dan visual.
Dengan lecithin hasilnya cenderung negatif, walaupun dengan dosis
yang berlebih sehingga kadar dalam serum mencapai 120 persen dan
dalam cairan serebrospinal naik sampai 58 persen.
c. Neuropeptide, vasopressin dan ACTH
Pemberian neuropetida, vasopressin dan ACTH perlu memperoleh
perhatian. Neuropeptida dapat memperbaiki daya ingat segera yang
berkaitan dengan informasi dan kata-kata. Pada lansia tanpa
gangguan psiko-organik, pemberian ACTH dapat memperbaiki
daya konsentrasi dan memperbaiki keadaan umum.8
d. Nootropic agents
Dari golongan nootropic substances ada dua jenis obat yang sering
digunakan dalam terapi demensia, ialah nicergoline dan co-

18
dergocrine mesylate. Keduanya berpengaruh terhadap katekolamin.
Co-dergocrine mesylate memperbaiki perfusi serebral dengan cara
mengurangi tahanan vaskular dan meningkatkan konsumsi oksigen
otak. Obat ini memperbaiki perilaku, aktivitas, dan mengurangi
bingung, serta memperbaiki kognisi. Disisi lain, nicergoline tampak
bermanfaat untuk memperbaiki perasaan hati dan perilaku. 8
e. Dihydropyridine
Pada lansia dengan perubahan mikrovaskular dan neuronal, L-type
calcium channels menunjukkan pengaruh yang kuat. Lipophilic
dihydropyridine bermanfaat untuk mengatasi kerusakan susunan
saraf pusat pada lansia. Nimodipin bermanfaat untuk
mengembalikan fungsi kognitif yang menurun pada lansia dan
demensia jenis Alzheimer. Nimodipin memelihara sel-sel
endothelial/kondisi mikrovaskular tanpa dampak hipotensif; dengan
demikian sangat dianjurkan sebagai terapi alternatif untuk lansia
terutama yang mengidap hipertensi esensial.8
c. Terapi suportif
 Berikan perawatan fisik yang baik. Sewaktu – waktu mungkin perlu
pembatasan / pengekangan secara fisik.
 Pertahankan pasien berada dalam lingkungan yang sudah
dikenalnya dengan baik, jika memungkinkan.
 Pertahankan keterlibatan pasien melalui kontak personal, orientasi
yang serin (mengingatkan nama hari, jam, dsb)
 Bantulah untuk mempertahankan rasa percaya diri pasien. Rencana
diarahkan kepada kekuatan / kelebihan pasien. Bersikaplah
menerima dan menghargai pasien.
 Hindari suasana yang remang – remang, terpencil; juga hindari
stimulasi yang berlebihan.

19
2.8 PROGNOSIS
Prognosis demensia vaskular lebih bervariasi dari penyakit Alzheimer.
Pasien dengan penyakit alzheimer mempunyai angka harapan hidup rata-rata
4-10 tahun sesudah diagnosis dan biasanya meninggal dunia akibat infeksi
sekunder. Penyebab kematian lainnya untuk demensia secara umum adalah
komplikasi dari demensia, penyakit kardiovaskular dan berbagai lagi faktor
seperti keganasan.6

20
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Demensia merupakan kerusakan progresif fungsi-fungsi kognitif tanpa
disertai gangguan kesadaran. Demensia dapat diklasifikasikan berdasarkan umur,
perjalanan penyakit, kerusakan struktur otak, sifat klinisnya. Demensia yang paling
sering dijumpai, yaitu demensia tipe Alzheimer dan demensia vaskular. Dimana
prevalensi demensia semakin meningkat dengan bertambahnya usia.
Dasar diagnosa pada demensia yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Untuk dapat membedakan demensia tipe alzheimer dan
demensia vaskular, dapat digunakan skor iskemik hachinski.
Secara umum terapi yang digunakan pada demensia adalah terapi
simptomatik dan terapi suportif karena potogenesis dari penyakit ini masih belum
jelas. Prognosis demensia vaskular lebih bervariasi dari penyakit Alzheimer. Pasien
dengan penyakit alzheimer mempunyai angka harapan hidup rata-rata 4-10 tahun
sesudah diagnosis dan biasanya meninggal dunia akibat infeksi sekunder.

21
DAFTAR PUSTAKA
1. Roan Witjaksana. Delirium dan Demensia. Diakses dari :http://www.idijakbar.
com/prosiding/delirium.htm. 7 Oktober 2008.
2. Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia Alcott. Delirium, dementia, amnes
tic andcognitive disorders. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry:
BehavioralSciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. Lippincott Williams &
Wilkins.
3. Prof. DR, Mahar Mardjono; Prof. DR, PrigunaSidharta; Dementia; neurologi
klinisdasar; Dian rakyat; 2009 Bab VI Halaman 211-213.
4. Dikot Y, Ong PA, 2007. Diagnosis Dini dan Penatalaksanaan Demensia.
Jakarta: PERDOSSI
5. Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedom
an Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, 1993. 49-67
6. Guberman A, Clinical Neurology, Little Brown and Coy, Boston, 1994,
Halaman 69.
7. Nasrun, Martina Wiwi S. Demensia dalam Buku Ajar Ilmu Psikiatri. Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013; 537—44.
8. Petersen RC, Morris JC. Mild Cognitive as a Clinical Entity and Treatment
Target. Arch. Neurol. 2005; 62: 1160—3

9.

22

Anda mungkin juga menyukai