Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN TUTORIAL

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BAITURRAHMAH
Trigger
MODUL PSIKIATRI

Oleh :
Kelompok tutorial 19

KETUA : neni hetika (14-151)


SEKRETARIS : barus rama dani (14-145)
ANGGOTA :
. nadya ariba dinta (14-146)
. putri andayani (14-148)
. Kenny akbari jamal (14-149)
. ezi dezli M.nur (14-150)
. istiqomah fistasimi (14-152)
.lizahra maulina (14-147)
KATA PENGANTAR

ASSalamu,alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Dengan mengucap puji syukur kehadirat ALLAH swt
atas pertolongan-nya kami dapat menyelesaikan makalah
yg berjudul public health ,meskipun banyak rintangan
dan hambatan yg kami alami dalam proses pengerjaan
nya ,tapi kami erhasil menyelesaikan nya dengan baik
Tak lupa kami ucapkan terimakasih kepada
fasilitator yg telah membimbing kami dari diskusi sampai
pada tahap pembuatan makalah ini ,kami juga
mengucapkan terimakasih kepada teman-teman
mahasiswa yang telah memberikan kontribusi ,baik
lagsung maupun tdk langsung dlm pembuatan makalah
ini .
Harapan kami semoga makalah ini dapat
membantu menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi pembaca ,serta bermampaat bagi kita semua
walaupun masih terdapat banyak kekurangan pada
makalah ini baik isi maupun peyajian makalah ,oleh
karena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk
memberikan masukan masukan yg bersifat membangun
untuk kesempurnaan makalah makalah kami
berikutnya .
Wassalamu,alaikum warahmaullahi wabarakatuh
Padang ,
2016

DAPTAR ISI

1.1. Halaman judul .1


1.2. Kata pengantar 2
1.3. Step 1..3
1.4. Step 2..4
1.5. Step 3..5
1.6. Step 4..6
1.7. Step57
1.8. Step 7..8
1.9. Kesimpulan .9
1.10. Daptar isi..10
STEP 1

1. Fluktuasi : sebuah kondisi tdk stabil

2. Delirium :gangguan /penurunan


terhadap lingkungan sekitar

3. Disorientasi :kehilangan daya untuk


mengenal lingkungan

Step 2
Apa gejala g dialami oleh tuan anwar ?
Apa hasil vital sign pada pasien ?
Apa hasil pemeriksaan status mental dan labor pada
pasien?
Apa hubungan dehidrasi berat karna diare dengan
kondisi mental pasien
Diagnose pada pasien ?
Apakah kondisi mental pasien akan membaik apabila
dehidrasi pasien teratasi ?
Step 3

-dehidrasi
-diare sejak 3 hari lalu
-gelisah pada malam hari
-bericara meracau
-melihat ibunya yg sudah meninggal
-kondisi pluktuatif saat pagi hari

Vital sign
-td:110/180 mmhg
-hr:100x /menit
-frek napas 20x/menit
-suhu 36,7 c

Satus mental > labor


-keadaan berkabut -na :100mg /dl
-disorientasi
-apek terbatas
-distratibilitas
Karna pengaruh organic

Step 4
DELIRIUM

Depinisi dan etiologi


prognosis

Factor resiko
tatalaksana
Patogenesa pf
dan pp
Cara menegakkan diagnossa

Step 5
1.definisi dan etiologi
2.faktor resiko
3.patogenesa
4.cara menegakkan diagnose
5.pf dan pp
6.tatalaksana
7.prognosis

Step 7
DEFINISI
Delirium berasal dari bahasa latin delirare yang artinya menjadi gila atau menjadi kacau.
Suatu frasa yang biasa digunakan untuk menggambarkan keadaan delirium adalah clouding of
consciousness yang berarti orang yang menderita delirium memiliki kekurangan dalam hal
kewaspadaan terhadap sekelilingnya.

Delirium adalah suatu sindrom dengan gejala pokok adanya gangguan kesadaran yang
biasanya tampak dalam bentuk hambatan pada fungsi kognitif. Kognitif adalah : Kemampuan
berpikir dan memberikan rasional, termasuk proses mengingat, menilai, orientasi, persepsi dan
memperhatikan. Gangguan kognitif erat kaitannya dengan fungsi otak, karenakemampuan pasien
untuk berpikir akan dipengaruhi oleh keadaan otak .

Delirium merupakan sindrom klinis akut dan sejenak dengan ciri penurunan taraf kesadaran,
gangguan kognitif, gangguan persepsi, termasuk halusinasi & ilusi, khas adalah visual juga di
pancaindera lain, dan gangguan perilaku, seperti agitasi. Gangguan ini berlangsung pendek dan
ber-jam hingga berhari, taraf hebatnya berfluktuasi, hebat di malam hari, kegelapan membuat
halusinasi visual dan gangguan perilaku meningkat. Biasanya reversibel. Penyebabnya termasuk
penyakit fisik, intoxikasi obat (zat). Diagnosis biasanya klinis, dengan laboratorium dan
pemeriksaanpencitraan (imaging) untuk menemukan penyebabnya. Terapinya ialah
memperbaikipenyebabnya dan tindakan suportif.

Delirium bisa timbul pada segala umur, tetapi sering pada usia lanjut. Sedikitnya 10%
daripasien lanjut usia yang dirawat inap menderita delirium; 15-50% mengalami delirium
sesaatpada masa perawatan rumah sakit. Delirium juga sering dijumpai pada panti asuhan. Bila
delirium terjadi pada orang muda biasanya karena penggunaan obat atau penyakit yang
berbahaya mengancam jiwanya.

EPIDEMIOLOGI
Delirium terdapat 14-56% pasien rawat dengan 30% darinya mengalami'sindroma parsial'
(memenuhi gambaran delirium tanpa memenuhi criteria diagnosis DSM-IV). Rata-rata pasien
mengalami delirium pada umur 75 tahun,dengan sebagian sedang memerlukan perawatan rumah
sakit dan timbul banyak tanda(sign) lagi setelah tiga hari atau lebih perawatan atau pembedahan.
Levkoff dkk. pada studi 325 usila di RS melaporkan hanya 10 % delirium dengan 31% nya
timbul selama perawatan. Juga pada studi 225 pasien rawat di unit geriatri akut dilaporkan oleh
O'Keeffe dan Lavan 18% delirium selama perawatan dengan 29%terjadi kemudian. Lama rata-
rata gejala , yang memenuhi kriteria DSM-III adalah 7 hari, meskipun 5% menetap lebih dari 4
minggu setelah didiagnosis. 38% nya dengan perburukan yang baru dari orientasi dan daya ingat
yang masih tetap buruk selama sebulan, pada saat 32% mengalami perbaikan gejala.

ETIOLOGI
Delirium mempunyai berbagai macam penyebab. Semuanya mempunyai pola gejala
serupa yang berhubungan dengan tingkat kesadaran dan kognitif pasien. Penyebab utama adalah
berasal dari penyakit susunan saraf pusat (seperti epilepsy), penyakit sistemik (seperti gagal
jantung), dan intoksikasi atau reaksi putus obat maupun zat toksik. Penyebab delirium terbanyak
terletak diluar sistem saraf pusat, misalnya gagal ginjal dan hati.

Neurotransmiter yang dianggap berperan adalah asetilkolin, serotonin, serta glutamat.


Area yang terutama terkena adalah formasio retikularis.

Faktor predisposisi terjadinya delirium, antara lain:

Usia

Kerusakan otak

Riwayat delirium

Ketergantungan alkohol

Diabetes
Kanker

Gangguan panca indera

Malnutrisi

Alkohol, obat-obatan dan bahan beracun

Efek toksik dari pengobatan

Kadar elektrolit, garam dan mineral (misalnya kalsium, natrium atau magnesium)
yang tidak normal akibat pengobatan, dehidrasi atau penyakit tertentu

Infeksi Akut disertai demam

Hidrosefalus bertekanan normal, yaitu suatu keadaan dimana cairan yang


membantali otak tidak diserap sebagaimana mestinya dan menekan otak

Hematoma subdural, yaitu pengumpulan darah di bawah tengkorak yang dapat


menekan otak.

Meningitis, ensefalitis, sifilis (penyakit infeksi yang menyerang otak)

Kekurangan tiamin dan vitamin B12

Hipotiroidisme maupun hipotiroidisme

Tumor otak (beberapa diantaranya kadang menyebabkan linglung dan gangguan


ingatan)

Patah tulang panggul dan tulang-tulang panjang

Fungsi jantung atau paru-paru yang buruk dan menyebabkan rendahnya kadar
oksigen atau tingginya kadar karbon dioksida di dalam darah
Stroke.

KLASIFIKASI

Klasifikasi sindrok delirium berdasarkan aktifitas psikomotor (tingkat/kondisi kesadaran,


aktifitas perilaku) yakni:

1) Hiperaktif
Delirium hiperaktif merupakan delirium yang paling sering terjadi. Pada pasien terjadi
agitasi, psikosis, labilitas mood, penolakan untuk terapi medis, dan tindakan dispruptif
lainnya. Kadang diperlukan pengawas karena pasien mungkin mencabut selang infus atau
kathether, atau mencoba pergi dari tempat tidur. Pasien delirium karena intoksikasi, obat
antikolinergik, dan alkohol withdrawal biasanya menunjukkan perilaku tersebut.
2) Hipoaktif
Adalah bentuk delirium yang paling sering, tapi sedikit dikenali oleh para klinisi. Pasien
tampak bingung, lethargia, dan malas. Hal itu mungkin sulit dibedakan dengan keadaan
fatigue dan somnolen, bedanya pasien akan dengan mudah dibangunkan dan dalam
berada dalam tingkat kesadaran yang normal. Rangsang yang kuat diperlukan untuk
membangunkan , biasanya bangun tidak komplet dan transient. Penyakit yang mendasari
adalah metabolit dan enchepalopati.

Pasien yang hiperaktif paling mudah dikenali di ruang rawat karena sangat menyita
perhatian. Pasien bisa berteriak-teriak, jalan mondar-mandir, atau mengomel sepanjang hari.
Dibandingkan dengan tipe lain, pasien yang hiperaktif mempunyai prognosis lebih baik.
PATOFISOLOGI

Defisiensi neurotransmitter asetilkolin sering dihubungkan dengan sindrom delirium.


Penyebabnya antara lain gangguan metabolisme oksidatif di otak yang dikaitkan dengan hipoksia
dan hipoglikemia. Faktor lain yang berperab antara lain meningkatnya sitokin otak pada
penyakit akut. Gangguan atau defisiensi asetilkolin atau neurot ransmitter lain maupun
peningkatan sitokin akan menganggu tranduksi sinyal neurotransmitter serta second messenger
system. Pada gilirannya, kondis tadi akan memunculkan gejala-gejala serebral dan aktivitas
psikomotor yang terdapat pada sindrom delirium

GEJALA KLINIS

Gambaran dapat bervariasi tergantung pada masing-masing individu. Mood, persepsi, dan
tingkah-laku yang abnormal merupakan gejala-gejala psikiatrik umum; tremor, asteriksis,
nistagmus inkoordinasi, inkontinensia urin, dan disfasia merupakan gejala-gejala neurologik
umum.

Gejala yang dapat ditemui antara lain gangguan kognitif global berupa gangguan memori
(recent memory= memori jangka pendek), gangguan persepsi (halusinasi, ilusi), atau gangguan
proses piker (disorientasi waktu, tempat,orang). Gejala yang mudah diamati namun justru
terlewatkan adalah bila terdapat komunikasi yang tidak relevan, atau autonamnesis yang sulit
dipahami; kadang-kadang pasien terlihat seperti mengomel terus atu terdapat ide-ide
pembicaraan yang melompat-lompat. Gejala lain meliputi perubahan aktifitas psikomotor baik
hipoaktif(25%), hiperaktif (25%) maupun campuran keduanya (35%); sebagian pasien (15%)
menunjukkan aktivitas psikomotor normal; gangguan siklus tidur (siang hari tertidur sedangkan
malam hari terjaga). Rudolph dan marcantonio (2003) memasukkan gejala perubahan aktifitas
psikomotor ke dala klelompok perubahan kesadaran, yakni setiap kondisi kesadaran selain
compos mentis, termasuk didalamnya keadaan hipoaktivitas dan hiperaktivitas.

DIAGNOSA DAN DIAGNOSIS BANDING

> DIAGNOSA
Kriteria diagnostik untuk delirium yaitu :

A. Kemampuan terbatas untuk mempertahankan daya perhatian terhadap rangsang dari


luar ( contoh, pertanyaan harus diulang, karena daya perhatian melantur) dan secara
wajar dapat mengalihkan perhatian ke arah rangsang eksternal yang baru ( contoh,
jawaban yang preseveratif terhadap pertanyaan yang sebelum ini diajukan)

B. Alam pikiran yang kacau, yang ditujukan oleh cara bicara yang ngawur dan tak jelas
( asal bersuara), soalnya tidak relevan, atau daya bicara inkoheren.

C. Sedikitnya dua dari yang tercantum dibawah ini :

1) Kesadaran yang menurun (contoh : sulit mempertahankan kesadaran saat


pemeriksaan)

2) Gangguan persepsi: misinterpretasi, ilusi, atau halusinasi

3) Gangguan siklus tidur dengan insomnia atau mengantuk di siang hari

4) Kegiatan psikomotor meningkat atau menurun

5) Disorientasi terhadap waktu, tempat atau orang

6) Gangguan daya ingat (contoh : tak mampu belajar materi baru, seperti nama
beraneka ragam benda yang tak terkait setelah 5 menit, atau untuk mengingat
peristiwa yang telah lalu, seperti riwayat dari episode gangguan sekarang)

D. Gambaran klinis yang timbul yang berkembang dalam waktu yang singkat ( biasanya
dalam jam atau hari) dan cenderung untuk naik turun dalam alunan sehari.

E. Salah satu dari (1) atau (2) :

1) Terbukti dari riwayat, pemeriksan fisik, atau uji laboratorik tenatang satu atau
beberapa faktor organik yang khas yang dapat diduga sebagai penyebab yang
terkait dengan gangguan itu.
2) Dengan tiadanya bukti ini, satu faktor penyebab organik dapat diduga bila
gangguannya tidak dapat diperkirakan disebabkan oleh gangguan mental non
organik (contoh : episode manik yang merupakan sebab untuk menjadi agitatif
dan gangguan tidur)

DIAGNOSA BANDING

1. Demensia

Banyak gejala yang menyerupai delirium. Demensia dan depresi sering menunjukkan gejala
yang mirip delirium; bahkan kedua penyakit / kondisi tersebut acapkali terdapat bersamaan
dengan sindrom delirium. Pada keadaan tersebut maka informasi dari keluarga dan pelaku rawat
menjadi sangat berarti pada saat anamnesis.

Demensia dan delirium juga sering terdapat bersamaan; gangguan yang acap kali tumpang
tindih antara lain gangguan orientasi, memori dan komunikasi. Demensia sendiri merupakan
factor risiko untuk terjadinya sindrom delirium terutama jika terdapat factor pencetus penyakit
akut.

Beberapa jenis demensia seperti demensia Lewy body dan demensia lobus frontalis
menunjukkan perubahan perilaku dan gangguan kognitif yang sulit dibedakan dari sindrom
delirium. Sindrom delirium dengan gejala psikomotor yang hiperaktif sering keliru dianggap
sebagai pasien yang cemas (anxietas), sedangkan hipoaktif keliru dianggap sebagai depresi.
Keduanya dapat dibedakan dengan pengamatan yang cermat. Pada depresi terdapat perubahan
yang bertahap dalam beberapa hari atau minggu sedangkan pada sindrom delirium biasanya
gejala berkembang dalam beberapa jam. Tingkat kesadaran pada depresi biasanya compos
mentis, proses berfikirnya utuh. Pada depresi juga biasanya terdapat kehilangan minat, depressed
mood seta faal sensorium yang normal. Berbagai gejala dan tanda pada sindrom delirium akan
berfluktuasi dari waktu ke waktu, sementara pada depresi dan demensia lebih menetap.
Pasien dengan sindrom delirium bias muncul dengan gejala seperti psikosis yakni terdapat
delusi, halusinasi serta pola piker yang tidak terorganisasi. Pada kondisi seperti ini maka
sebaiknya berkonsultasi dengan psikiater.

PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik lengkap harus dilaksanakan secara rutin pada saat pasien psikatri
didaftarkan untuk rawat inap.

a) Gangguan otak organik

Uji status kognitif lebih lanjut dilakukan pada pasien yang diduga mengidap
gangguan organik pada otak, seperti demensia dan delirium. Pemeriksaanya yaitu :

Tingkat kesadaran

Pasien yang menderita delirium biasanya tampak bingung, mengalami disorientasi dan
gelisah. Mungkin terdapat rasa takut dan halusinasi. Jenisnya meliputi:

Status oneirid yaitu keadaan mirip mimpi pada pasien yang tidak sedang tertidur.

Twilight state yaitu status oneroid yang panjang suatu gangguan kesadarn, disertai
halusinasi.

Torpor yaitu pasien mengantuk dan mudah tertidur

Kemampuan berbahasa

Disartria yaitu kesulitan untuk mengucapkan kata-kata. Defek lain aspek motorik
bicara yang perlu diperiksa meliputi parafasia, yaitu kata yang diucapkan hanya nyaris
tepat, neologisme dan bicara telegrafik, yaitu kalimat disingkat dengan menghilangkan
beberapa kata. Pada afasiaa jargon, pasien mengucapkan embicaran neologistik yang tak
berarti dan inkoheren. Afasia tak lancar dari Broca ialah satu kesulitan untuk
mengungkapkan isi pikiran dalam kata-kata.

Jenis afasia intermediat ( intermediate aphasia) meliputi afasia sentral atau


sintaktis, yaitu adnay kesulitan menyusun kata-kata dalam urutan yang benar,dan afasia
nomina, yaitu adanya kesulitan dalam menyebutkan nama benda. Afasia nomina bisa
diuji dengan meminta pasien menyebutkan benda atau warna yang ditunjuk.

Afasia reseptif atau sensorik yaitu kesulitan memahami makna kata dan
mencakup jenis berikut :

Aleksia agnosik yaitu kata dapat dilihat tapi tidak dapat dibaca

Tuli kata murni yaitu kata yang didengar tidak dapat didengar

Asimbolia visual yaitu pasien bisa menyalin tetapi tidak bisa membaca

Afasia reseptif atau sensorik bisa diuji dengan meminta pasien membaca satu bait
kalimat, menjelaskannya, dan berespons terhadapperintah.

Afasia global merujuk kepada situasi adnya afasia reseptif dan ekspresif
sekaligus.

Kidal dan kinan

Bila ditemukan disfungsi kemampuan bahasa, tangan mana yang cenderung lebih sering
digunakan pasien perlu ditentukan. Hemisfer serebri yang terkait ekspresi bahasa dikenal sebagai
hemisfer dominan.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Uji darah
Tujuannya untuk memeriksa adanya gangguan organik, memeriksa komplikasi fisik
akibat gangguan pskiatri untuk menemukan gangguan metabolik. Uji darah serologis,
biokimia, endokrin dan hematologis yang harus dilakukan termasuk :

Pemeriksaan darah lengkap

Urea dan elektrolit

Uji fungsi tiroid

Uji fungsi hati

Kadar vitamin b12 dan asam folat

Serologi sifilis

Uji urin

Skrining obat terlarang dalam urine perlu dilaksanakn untuk memeriksa penyalahgunaan
zat psikoaktif yang samar.

Elektroensefalografi

Uji neuropsikologis

Pencitraan saraf

Pencitraan saraf yang terstruktur merupakan pemeriksaan penunjang lini kedua yang
berguna bila terdapt kecurigaann gangguan otak organik.

Penggolongan antigen leukosit manusia

Uji genetik
Penggolonga kariotipe merupakan pemeriksaan penunjang lini kedua yang bisa
memastikan adanya gangguan akibat kelainan kromosom. Uji ini terutama berguna untuk
menyelidiki orang dengan disabilitas belajar (retardasi mental).

PENATALAKSANAAN (rockwood, 2003; Samuels, 2003)

Tujuan utama pengobatan adalah menentukan dan mengatasi pencetus serta factor
predisposisi. Keselamatan pasien dan keluarga harus diperhatikan. Comprehensive geriatric
assessment (pengkajian geriatric paripurna) sangat bermanfaat karena akan memberikan
gambaran lebih jelas tentang beberapa factor resiko yang dimiliki pasien.

Pemeriksaan tak hanya terhadap factor fisik, namun juga psikiatrik, status fungsional,
riwayat penggunaan obat, dan riwayat perawatan/penyakit/operasi terdahulu serta asupan nutrisi
dan cairan sebelum sakit. Pemeriksaan tanda vital (kesadaran, tanda rangsang meningeal,
tekanan darah, frekuensi napas dan denyut jantung serta suhu rectal) sangat penting, selain untuk
diagnosis namun juga bermanfaat dalam evaluasi hasil pengobatan.

Pemeriksaan penunjang dasar seperti darah perifer lengkap, elektrolit, analisis gas darah,
gula darah, ureum, kreatinin, SGOT dan SGPT, urin lengkap, EKG, foto toraks dan kultur darah
harus segera dilaksanakan.

Obat-obatan yang tidak esensial untuk sementara dihentikan. Jika terdapat kecurigaan
terhadap putus obat (biasanya obat sedativum atau hipnotikum) maka riwayat tersebut bias
diperoleh dari keluarga atau pelaku rawat.

Pengobatan/penanganan yang diberikan tidak saja menyangkut aspek fisik, namun juga
psikologik/psikiatrik, kognitif, lingkungan, serta pemberian obat. Untuk mencegah agar pasien
tidak membahayakan dirinya sendiri atau orang lain (pasien yang hiperaktif, gaduh, gelisah bias
menendang-nendang, sangat agitatif, agresif, bias terjatuh dari tempat tidur atau bias menciderai
diri sendiri) maka sebaiknya pasien ditemani pedamping atau yang biasa mendampingi pasien.
Mengikat pasien ke tepian tempat tidur bukanlah tanpa resiko, misalnya trauma atau thrombosis.
Data empiris manfaat obat untuk mengatasi gejala sindrom delirium masih terbatas.
Beberapa obat antipsikotik mempunyai efek yang mampu menekan berbagai gejala hiperaktif
dan hipoaktif dari sindrom delirium; menjadi obat pilihan utama pada fase akut (agitasi hebat,
perilaku agresif, hostility, halusinasi, atau gejala lain yang membahayakan dirinya). Untuk
kondisi di atas haloperiol masih merupakan pilihan utama. Dosis juga dapat ditingkatkan sesuai
tanggapan pasien. Dibandingkan dengan obat lain seperti chlorpromazine dan droperidol,
haloperidol meiliki metabolic dan efek antikolinergik, sedasi serta efek hipotensi yang lebih kecil
sehingga lebih aman. Dosis obat per oral pada umumnya dapat diterima dengan baik, namun jika
pasien tak mampu menelan maka dapat diberikan intramuscular maupun intravena. Olanzapin
dapat Beberapa laporan kasus menunjukkan manfaat antipsikotik generasi kedua seperti
risperidon dan penghambat asetilkolin-esterase; masih diperlukan penelitian intervensional lebih
lanjut. Perlu dicatat bahwa penggunaan antipsikotik harus dimulai dengan dosis rendah dan
ditingkatkan secara bertahap jika diperlukan. Walau resiko efek samping yang mungkin muncul
rendah namun beberapa efek serius seperti perpanjangan PT dan torsades de pointes, gejala
ekstrapiramidal dan diskinesia putus obat dapat terjadi. Oleh karena itu penggunaan antipsikotik
harus dikonsultasikan ke psikiater geriatric.

Secara umum penanganan yang bersifat suportif amat penting dalam pengelolaan pasien
dengan sindrom delirium, baik untuk pengobatan maupun dalam konteks pencegahan. Asupan
nutrisi, keseimbangan cairan dan elektrolit, kenyamanan pasien harus diupayakan seoptimal
mungkin. Keberadaan anggota keluarga atau yang selama ini biasanya merawat akan sangat
berperan dalam memulihkan orientasi. Sedapat mungkin ruangan pasien haruslah tenang dan
cukup penerangan. Masih dalam konteks orientasi, dokter dan perawat harus mengetahui apakah
sehari-hari pasien mengenakan kacamata untuk melihat atau alat bantu dengar untuk
berkomunikasi dan mengusahakan agar pasien dapat mengenakan manakala diperlukan setiap
saat.

Hal umum lain yang perlu diperhatikan adalah : perawat harus waspada bahwa pasien
sangat mungkin tidak mampu menelan dengan baik sehingga asupan per oral tidak boleh
diberikan selama belum terdapat kepastian mengenai kemampuan menelan. Dokter yang
merawat harus menilai kesadarannya dan dokter ahli rehabilitasi medic harus menilai
kemampuan otot menelan jika pasien sadar. Setelah yakin bahwa kesadaran pasien compos
mentis dan tidak terdapat kelumpuhan otot menelan barulah perawat diizinkan memberikan
asupan per oral. Selama perawatan, tanda vital harus lebih sering dievaluasi, setidaknya setiap
empat jam, jika diperlukan dapat dinilai setiap dua atau bahkansetiap satu jam tergantung kondisi
pasien. Penilaian yang lebih sering dengan kewaspadaan yang tinggi ini diperlukan karena gejala
dan tanda klinik yang sangat berfluktuatif. Selain tanda vital, jumlah produksi urin dan cairan
yang masuk harus diukur dengan cermat setiap empat jam dan dilaporkan kepada dokter yang
merawat agar perubahan instruksi yang diperlukan dapat segera dilaksanakan tanpa menunggu
laporan keesokan harinya (akan terlambat).

Sehubungan dengan hal diatas, maka keluarga pasien atau pelaku rawat yang menunggu
harus diberi informasi tentang bahaya aspirasi jika memberikan makanan atau minuman dalam
keadaan kondisi yang tidak compos mentis atau terdapat kelumpuhan otot menelan.
Diberitahukan pula perlunya kerja sama yang baik antara perawat dengan penunggu pasien
terutama perihal pemantauan urin dan asupan cairan.

Perlu dicatat bahwa pasien sindrom delirium sering merasa apa yang baru dialami saat
delirium sebagai mimpi. Pada saat kondisi pasien membaik maka dokter atau perawat harus
menjelaskan/mendidik pasien tentang keadaan yang baru dialaminya untuk mengantisipasi atau
mencegah episode cemas.

Penatalaksanaan spesifik ditujukan untuk mengidentifikasi pencetus dan predisposisi.


Segera setelah factor pencetus diketahui maka dapat dilakukan tindakan yang lebih definitive
sesuai factor pencetusnya. Memperbaiki factor predisposisi harus dikerjakan tanpa menunggu
selesainya masalah terkait factor pencetus.

Penatalaksanaan :

1. Pengobatan etiologik harus sedini mungkin dan di samping faal otak dibantu agar tidak
terjadi kerusakan otak yang menetap.

2. Peredaran darah harus diperhatikan (nadi, jantung dan tekanan darah), bila perlu diberi
stimulansia.
3. Pemberian cairan harus cukup, sebab tidak jarang terjadi dehidrasi. Hati-hati dengan
sedativa dan narkotika (barbiturat, morfin) sebab kadang-kadang tidak menolong, tetapi
dapat menimbulkan efek paradoksal, yaitu klien tidak menjadi tenang, tetapi bertambah
gelisah.

4. Klien harus dijaga terus, lebih-lebih bila ia sangat gelisah, sebab berbahaya untuk dirinya
sendiri (jatuh, lari dan loncat keluar dari jendela dan sebagainya) ataupun untuk orang
lain.

5. Dicoba menenangkan klien dengan kata-kata (biarpun kesadarannya menurun) atau


dengan kompres es. Klien mungkin lebih tenang bila ia dapat melihat orang atau barang
yang ia kenal dari rumah. Sebaiknya kamar jangan terlalu gelap , klien tidak tahan terlalu
diisolasi.

6. Terdapat gejala psikiatrik bila sangat mengganggu dapat diberikan neroleptika, terutama
yang mempunyai dosis efektif tinggi.

PROGNOSIS

Walaupun gejala dan tanda sindrom delirium bersifat akut namun ternyata dilaporkan
adanya beberapa kasus dengan gejala dan tanda yang menetap bahkan sampai bulan ke 12.
Beberapa penelitian melaporkan hasil pengamatan tentang prognosis sindrom delirium yang
berhubungan dengan mortalitas, gangguan kognitif pasca-delirim, status fungsional serta gejala
sisa yang ada.

Prognosis yang berhubungan dengan mortalitas dilaporkan oleh Rockwood (1999) dalam
pengamatan selama tiga tahun. Pasien dengan sindrom delirium mempunyai resiko 1,71 kali
lebih tinggi untuk meninggal dalam tiga tahun kedepan dibandingkan mereka yang tidak (95%
CI 1,02 ; 2,87). Sementara McCusker (2002) dan Kakuma (2003) masing-masing melaporkan
peningkatan resiko tersebut sebesar 2,11 (1,18 ; 3,77) dan 7,24 (1,62 ; 32,35). Perlu disampaikan
bahwa peningkatan resiko tersebut tetap ada walaupun sudah dilakukan pengendalian terhadap
factor-faktor lain yang turut berperan terhadap kematian seperti beratnya kondisi komorbid,
demensia, gangguan status fungsional, domisili (tinggal di panti atau tidak) serta factor pemicu
yang lain.

PENCEGAHAN

Berbagai literature menyebutkan bahwa pengobatan sindrom delirium sering tuntas, 96%
pasien yang dirawat karena delirium pulang dengan gejala sisa. Hanya 20% dari kasus-kasus
tersebut yang tuntas dalam enam bulan setelah pulang. Hal tersebut menunjukkan bahwa
sebenarnya prevalensi sindrom delirium di masyarakat lebih tinggi dari pada yang diduga
sebelumnya. Pemeriksaan penapisan oleh dokter umum atau dokter keluarga di masyarakat
menjadi penting dalam rangka menunjukkan kasus dini dan mencegah penyulit yang fatal.

Rudolph (2003) melaporkan bahwa separuh dari kasus yang diamatinya mengalami
delirium pada saat sedang dirawat di rumah sakit. Berarti ada karakteristik pasien tertentu dan
suasana/situasi rumah sakit sedemikian rupa yang dapat mencetuskan delirium. Beberapa obat
juga dapat mencetuskan delirium, terutama yang mempunyai efek antikolinergik dan gangguan
faal kognitif. Beberapa obat yang diketahui meningkatkan resiko delirium antara lain :
benzodiazepine, kodein, amitriptilin (antidepresan), difenhidramin, ranitidine, tioridazin,
digoksin, amiodaron, metildopa, procainamid, levodopa, fenitoin, siprofloksasin. Beberapa
tindakan sederhana yang dapat dilakukan di rumah sakit (di ruang rawat akut geriatric) terbukti
cukup efektif mampu mencegah delirium.
Daptar pustaka
Gilman Alferd gradnian ,dasar farmako terapi :volume 2
Badan POM RI : Informatio obat nasional Indonesia
(IONI)2008
Imunologi klinik :edisi ke 2
Buku ajar Ilmu penyakit dalam,sedisi VI ,2014

Anda mungkin juga menyukai