Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN INDIVIDU HASIL BBDM

MODUL 5.1 SKENARIO 3

NAMA : SARAH ARYA RAMADHANY

NIM : 22010119130095

KELAS :B

KELOMPOK : 10

DOSEN TUTOR : dr. NATALIA DEWI WARDANI, Sp.KJ

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2021
SKENARIO 3
“TIDAK TAHU JALAN PULANG”

Seorang laki-laki 40 tahun datang ke IGD diantar keluarga karena sering bicara
melantur. Sejak satu minggu lalu, pasien mengalami demam, terutama saat malam hari.
Pasien juga sering sakit perut dan diare. Pasien tampak pucat dan bibir pasien tampak kering.
Sejak dua hari lalu, pasien mulai bicara melantur dan sering terlihat bicara sendiri. Pasien
sering mengatakan orang-orang yang dikenal pasien adalah orang lain. Pasien sering mondar
mandir tanpa tujuan yang jelas. Pasien juga sering marah-marah tanpa sebab dan
membanting-banting barang-barang di sekitar pasien. Satu hari lalu, pasien pergi dari rumah
dan kebingungan saat ingin pulang. Pasien merasa asing dengan lingkungan di sekitar pasien.
Akhirnya pasien diantar oleh orang sekitar yang kebetulan mengetahui alamat pasien.
Pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 150/ 90 mmHg, nadi 100x/menit dan suhu 40ºC.

STEP 1 : Terminologi
1. Bicara melantur
Gangguan bicara dan gangguan progresif pikiran/arus pikir dimana terdapat
inkoherensi dalam berbicara, terdapat asosiasi longgar, dan terdapat flight of ideas.

2. Demam
Kondisi meningkatnya suhu tubuh di atas suhu normal (37,5 derajat Celcius).
Umumnya terjadi akibat reaksi dari sistem imun tubuh dalam melawan infeksi.

3. Diare
Pengeluaran tinja yang berbentuk lembek sampai cair berkali-kali atau frekuensinya
lebih dari 3 kali dalam sehari. Diare dapat disebabkan oleh karena infeksi
mikroorganisme maupun kondisi psikologis misalnya kecemasan. (irritable bowel
syndrome)

4. Kebingungan
Gejala yang membuat pasien tidak bisa berpikir jernih, biasanya pasien akan merasa
gugup, tidak tahu arah, tidak bisa fokus, dan tidak bisa membuat keputusan.
STEP 2 : Rumusan Masalah
1. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan status mentalis?
2. Mengapa pasien menjadi tidak mengenal dengan orang di sekitarnya dan bagaimana
kaitannya dengan gejala lain?
3. Apakah terdapat kaitan antara usia dengan gejala yang dialami pasien?
4. Apakah terdapat hubungan antara riwayat demam, sakit perut, dan muntah dengan
gejala psikologis pasien?
5. Mengapa pasien tampak pucat dan bibir kering dan apakah terdapat hubungan hal
tersebut dengan perilaku dan daya kognitif pasien akhir-akhir ini?
6. Mengapa pasien berbicara melantur?
7. Apakah kondisi mental pasien akan membaik jika kondisi demam dan muntah juga
membaik?
8. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik pasien dan apa hubungannya dengan tanda
dan gejala yang dialami pasien?

STEP 3 : Analisis Masalah


1. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan status mentalis?
Deskripsi umum dari pasien, pasien tampak sakit (dilihat dari tanda dan gejala
pasien). Hasil interpretasi pasien : perilaku hiperaktif, sikap kurang kooperatif, bicara
melantur, penilaian mood meluap-luap/mudah marah, afek meningkat, gangguan
persepsi, gangguan isi pikiran, kesadaran compos mentis, daya ingat terganggu dan
penilaian GAF adalah 30-21.

2. Mengapa pasien menjadi tidak mengenal dengan orang di sekitarnya dan bagaimana
kaitannya dengan gejala lain?
Pasien mengalami gangguan fungsi kognitif dan gangguan mental organik (ada
penyakit yang mendasarinya). Dengan adanya penyakit ini, adanya gangguan
neurotransmitter dalam otak menyebabkan adanya gangguan mood, afek, dan fungsi
kognitif. Pasien mengalami demam yang menandakan adanya infeksi. Demam ini
mampu mempengaruhi ketidakseimbangan neurotransmitter (terbentuk dari protein
dan dipengaruhi oleh suhu). Kenaikan suhu akan mengganggu neurotransmitter
(protein) dan mempengaruhi kinerja otak.
3. Apakah terdapat kaitan antara usia dengan gejala yang dialami pasien?
Semakin bertambahnya usia, fungsi otak juga akan semakin menurun. Pada kasus usia
40 tahun, belum memasuki masa lanjut usia, yang berarti dapat menyingkirkan
kecurigaan demensia yang biasanya terjadi pada usia di atas 60 tahun. Delirium,
banyak terjadi pada usia 65 tahun ke atas. Pada pasien dalam kasus, penyebab
delirium dicurigakan bukan karena faktor usia, tapi karena terjadinya infeksi dilihat
dari tanda dan gejala pasien dalam kasus. Kemungkinan usia pasien berhubungan
dengan penurunan sistem imun, seiring bertambahnya usia sehingga pasien lebih
rentan terkena infeksi dan mengalami efek infeksi yang lebih besar. Penurunan
imunitas pasien terjadi akibat pembentukan antibodi yang semakin melambat yang
mengakibatkan berkurangnya sel T CD-8 dan adanya perubahan fenotipe pada profil
sel T.

4. Apakah terdapat hubungan antara riwayat demam, sakit perut, dan muntah dengan
gejala psikologis pasien?
Berdasarkan gejala yang dikeluhkan, kemungkinan terdapat infeksi pada pasien.
Faktor inflamasi dalam infeksi ini dapat mempengaruhi sistem saraf pusat sehingga
terjadi gangguan. Salah satunya pada sistem limbik. Pada sistem saraf, terdapat
neurotransmitter seperti glutamat dan GABA yang dapat dipengaruhi juga oleh
inflamasi yang menyebabkan ketidakseimbangan dan perubahan status mental pasien.

5. Mengapa pasien tampak pucat dan bibir kering dan apakah terdapat hubungan hal
tersebut dengan perilaku dan daya kognitif pasien akhir-akhir ini?
Bibir tampak pucat dan kering adalah tanda adanya dehidrasi, yang mungkin
disebabkan oleh diare. Hal tersebut menyebabkan adanya ketidakseimbangan
elektrolit tubuh. Hal ini berdampak pada terganggunya fungsi saraf. Hipokalemia dan
hiponatremia yang terjadi menyebabkan kondisi alkalosis metabolik dan gangguan
mikrosirkulasi dalam otak sehingga menimbulkan berbagai gejala seperti: fatigue,
depresi, apatis, kebingungan, hingga koma. Selain itu, diare yang dialami pasien dapat
menyebabkan hipoglikemia yang menyebabkan disfungsi otak langsung pada multiple
regio dalam otak sehingga berimbas dalam gangguan atensi dan kognisi.
6. Mengapa pasien berbicara melantur?
Berbicara melantur pada pasien kemungkinan besar adalah tanda gangguan
psikomotor. Gangguan psikomotor adalah gangguan pada perilaku berupa motorik,
gerakan, dan aktivitas fisik yang dipengaruhi oleh kondisi psikologis dan kejiwaan
pasien. Pasien diduga mengalami gangguan kejiwaan yang menyebabkan gangguan
psikomotor (berbicara melantur, mondar-mandir tanpa tujuan, dan membanting
barang). Gangguan kejiwaan dapat mempengaruhi modulasi sirkuit motor pada jaras,
korteks, hingga neurotransmitter. Semua tindakan motorik juga dipengaruhi oleh
proses kognitif yang di mana juga proses ini terganggu pada pasien dengan gangguan
kejiwaan. Ketidakseimbangan tersebut dapat menyebabkan gangguan psikomotor
pasien.

7. Apakah kondisi mental pasien akan membaik jika kondisi demam dan muntah juga
membaik?
Kondisi mental pasien dapat membaik bila pemicu awal delirium dapat dituntaskan.
Adapun perbaikan kondisi demam dan muntah ini dapat menandakan membaiknya
respon tubuh (namun tetap perlu adanya evaluasi berkala sampai dinyatakan sembuh).
Pada saat penyembuhan ini, kondisi mental pasien akan beriringan membaik/menjadi
normal. Pada kebanyakan kasus, pasien dapat sembuh dalam waktu 4 minggu atau
kurang. Namun, pada delirium fluktuasi yang menetap bisa terjadi lebih dari 6 bulan,
sangat jarang terjadi, dan dapat menjadi progresif ke arah demensia.

8. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik pasien dan apa hubungannya dengan tanda
dan gejala yang dialami pasien?
Interpretasi : suhu tinggi (pasien demam); Tekanan darah - hipertensi stage I; dan nadi
meningkat (tergolong normal). Pasien terdapat demam, dapat dicurigai adanya infeksi.
Untuk peningkatan tekanan darah tidak dapat dihubungkan langsung dengan pasien
karena banyak faktor lain yang menyebabkan peningkatan tekanan darah (menahan
nyeri, umur, obesitas, merokok, dan lainnya). Hipertensi stage I adalah bentuk
kompensasi tubuh untuk mengurangi cairan yang terbuang. Pada pasien, bisa jadi
terdapat riwayat hipertensi atau faktor kebiasaan seperti merokok, kurang olahraga,
dan lain-lain. Jika terjadi peningkatan, banyak faktor lain yang mempengaruhi seperti
demam dan hipertensi. Untuk tanda dan gejala pasien lainnya adalah tanda dan gejala
gangguan mental organik yang disebabkan oleh gangguan patologis/neurokognitif.
STEP 4 : Peta Konsep

STEP 5 : Sasaran Belajar


1. Definisi dan klasifikasi dari delirium
2. Etiologi dan faktor risiko dari delirium
3. Patofisiologi dari delirium
4. Manifestasi klinis dari delirium
5. Diagnosis banding dari delirium
6. Pemeriksaan penunjang dari delirium
7. Tatalaksana farmakologi dan non farmakologi (termasuk psikoedukasi untuk pasien
dan keluarga) dari delirium
STEP 6 : Belajar Mandiri
1. Definisi dan klasifikasi dari delirium
a. Definisi
Delirium adalah diagnosis klinis, gangguan otak difus yang dikarakteristikkan
dengan variasi kognitif dan gangguan tingkah laku. Delirium ditandai oleh
gangguan kesadaran, biasanya terlihat bersamaan dengan fungsi gangguan
kognitif secara global. Delirium adalah sebuah sindrom neuropsikiatrik yang
kompleks dengan onset yang akut dan berfluktuasi. Sindrom ini melibatkan
suatu hendaya fungsi kognitif yang akut dan menyeluruh yang mempengaruhi
kesadaran, perhatian, memori, dan kemampuan perencanaan dan organisasi.
Delirium merupakan sindrom klinis yang umum, mengancam hidup, dan dapat
dicegah. Umumnya terjadi pada individu berusia 65 tahun atau lebih.
Prevalensi delirium pada awal rawatan rumah sakit berkisar antara 14-24%,
dan kejadian delirium yang timbul selama masa rawat di rumah sakit berkisar
antara 6-56% di antara populasi umum rumah sakit. Delirium timbul pada
15-53% pasien geriatri pasca operasi dan 70-87% pasien yang dirawat di
ruang rawat intensif. Delirium dijumpai pada hingga 60% pasien rumah-rawat
atau kondisi perawatan pasca-akut, dan hingga 83% pasien pada akhir
hidupnya.

b. Klasifikasi
i. Delirium Akibat Kondisi Medis Umum
Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap
lingkungan) yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan
memfokuskan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian. Adanya
perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi, gangguan
berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan dengan
demensia. Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek,
cenderung berfluktuasi dalam sehari. Ada bukti dari riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, laboratorium bahwa gangguan disebabkan oleh
konsekuensi fisiologik langsung suatu KMU.
ii. Delirium Akibat Intoksikasi Zat
Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap
lingkungan) yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan
memfokuskan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian. Adanya
perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi, gangguan
berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan dengan
demensia. Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek,
cenderung berfluktuasi dalam sehari.
Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium,
sebagai berikut:
a) Gangguan kesadaran dan kognisi terjadi selama intoksikasi zat atau
penggunaan medikasi
b) Intoksikasi zat adalah etiologi terkait dengan delirium

iii. Delirium Akibat Putus Zat


Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap
lingkungan) yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan
memfokuskan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian. Adanya
perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi, gangguan
berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan dengan
demensia. Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek,
cenderung berfluktuasi dalam sehari.
Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium,
bahwa simtom terjadi setelah atau selama putus zat.

iv. Delirium Akibat Etiologi Beragam


Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap
lingkungan) yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan
memfokuskan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian. Adanya
perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi, gangguan
berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan dengan
demensia. Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek,
cenderung berfluktuasi dalam sehari. Ada bukti dari riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, laboratorium, bahwa delirium memiliki lebih dari
satu etiologi, misalnya lebih dari satu KMU, KMU + intoksikasi zat,
atau efek samping obat.
v. Delirium Yang Tidak Dapat Dispesifikasi
Kriteria untuk tipe delirium tertentu tidak terpenuhi. Misalnya:
manifestasi delirium diduga akibat KMU, penyalahgunaan zat tetapi
tidak cukup bukti untuk menegakkan etiologi spesifik. Delirium
disebabkan oleh penyebab yang tidak tercatat pada seksi ini (deprivasi
sensori)

2. Etiologi dan faktor risiko dari delirium


a. Etiologi
Penyebab delirium menurut salah satu teori adalah terdapatnya defisiensi
neurotansmiter asetilkolin serta dopaminergik. Pada geriatri terdapat defisiensi
relatif asetilkolin hasil metabolisme oksidatif otak sehingga terjadi disfungsi
mental. Neurotransmiter asetilkolin berperanan sangat penting dalam
awareness. Dopamin adalah neurotransmiter yang sangat penting bagi fungsi
motorik, perhatian, serta kognisi.

b. Faktor Risiko
i. Usia
ii. Kerusakan otak
iii. Riwayat delirium
iv. Ketergantungan alkohol
v. Diabetes
vi. Kanker
vii. Gangguan panca indera
viii. Malnutrisi
ix. Alkohol, obat-obatan dan bahan beracun
x. Efek toksik dari pengobatan
xi. Kadar elektrolit, garam dan mineral (misalnya kalsium, natrium atau
magnesium) yang tidak normal akibat pengobatan, dehidrasi atau
penyakit tertentu
xii. Infeksi Akut disertai demam
xiii. Hidrosefalus bertekanan normal, yaitu suatu keadaan dimana cairan
yang membantali otak tidak diserap sebagaimana mestinya dan
menekan otak
xiv. Hematoma subdural, yaitu pengumpulan darah di bawah tengkorak
yang dapat menekan otak.
xv. Meningitis, ensefalitis, sifilis (penyakit infeksi yang menyerang otak)
xvi. Kekurangan tiamin dan vitamin B12
xvii. Hipotiroidisme maupun hipotiroidisme
xviii. Tumor otak (beberapa diantaranya kadang menyebabkan linglung dan
gangguan ingatan)
xix. Patah tulang panggul dan tulang-tulang panjang
xx. Fungsi jantung atau paru-paru yang buruk dan menyebabkan
rendahnya kadar oksigen atau tingginya kadar karbon dioksida di
dalam darah
xxi. Stroke

3. Patofisiologi dari delirium


Delirium merupakan fenomena kompleks, multifaktorial, dan mempengaruhi
berbagai bagian sistem saraf pusat. Hipotesis terbaru menunjukkan defisiensi jalur
kolinergik dapat merupakan salah satu faktor penyebab delirium. Delirium yang
diakibatkan oleh penghentian substansi seperti alkohol, benzodiazepin, atau nikotin
dapat dibedakan dengan delirium karena penyebab lain. Pada delirium akibat
penghentian alkohol terjadi ketidakseimbangan mekanisme inhibisi dan eksitasi pada
system neurotransmiter. Konsumsi alkohol secara reguler dapat menyebabkan inhibisi
reseptor NMDA (N-methyl-D-aspartate) dan aktivasi reseptor GABA-A
(gammaaminobutyric acid-A). Disinhibisi serebral berhubungan dengan perubahan
neurotransmitter yang memperkuat transmisi dopaminergik dan noradrenergik,
adapun perubahan ini memberikan manifestasi karakteristik delirium, termasuk
aktivasi simpatis dan kecenderungan kejang epileptik. Pada kondisi lain, penghentian
benzodiazepine menyebabkan delirium melalui jalur penurunan transmisi
GABA-ergik dan dapat timbul kejang epileptik. Delirium yang tidak diakibatkan
karena penghentian substansi timbul melalui berbagai mekanisme, jalur akhir
biasanya melibatkan defisit kolinergik dikombinasikan dengan hiperaktivitas
dopaminergik.
Perubahan transmisi neuronal yang dijumpaipada delirium melibatkan
berbagai mekanisme, yang melibatkan tiga hipotesis utama, yaitu:
a. Efek Langsung
Beberapa substansi memiliki efek langsung pada sistem neurotransmiter,
khususnya agen antikolinergik dan dopaminergik. Lebih lanjut, gangguan
metabolik seperti hipoglikemia, hipoksia, atau iskemia dapat langsung
mengganggu fungsi neuronal dan mengurangi pembentukan atau pelepasan
neurotransmiter. Kondisi hiperkalsemia pada wanita dengan kanker payudara
merupakan penyebab utama delirium.
b. Inflamasi
Delirium dapat terjadi akibat gangguan primer dari luar otak, seperti penyakit
infl amasi, trauma, atau prosedur bedah. Padabeberapa kasus, respons infl
amasi sistemik menyebabkan peningkatan produksi sitokin, yang dapat
mengaktivasi mikroglia untuk memproduksi reaksi infl amasi pada otak.
Sejalan dengan efeknya yang merusak neuron, sitokin juga mengganggu
pembentukan dan pelepasan neurotransmiter. Proses infl amasi berperan
menyebabkan delirium pada pasien dengan penyakit utama di otak (terutama
penyakit neurodegeneratif ).
c. Stres
Faktor stres menginduksi sistem saraf simpatis untuk melepaskan lebih banyak
noradrenalin, dan aksis hipotalamuspituitari- adrenokortikal untuk melepaskan
lebih banyak glukokortikoid, yang juga dapat mengaktivasi glia dan menyebab
kan kerusakan neuron.

4. Manifestasi klinis dari delirium


Gambaran dapat bervariasi tergantung pada masing-masing individu. Mood,
persepsi, dan tingkah-laku yang abnormal merupakan gejala-gejala psikiatrik umum;
tremor, asterixis, nistagmus inkoordinasi, inkontinensia urin, dan disfasia merupakan
gejala-gejala neurologik umum. Gejala yang dapat ditemui antara lain gangguan
kognitif global berupa gangguan memori (recent memory= memori jangka pendek),
gangguan persepsi (halusinasi, ilusi), atau gangguan proses pikir (disorientasi waktu,
tempat,orang). Gejala yang mudah diamati namun justru terlewatkan adalah bila
terdapat komunikasi yang tidak relevan, atau alloanamnesis yang sulit dipahami;
kadang-kadang pasien terlihat seperti ngomel terus atau terdapat ide ide pembicaraan
yang melompat-lompat.
Gejala lain meliputi perubahan aktivitas psikomotor baik hipoaktif(25%),
hiperaktif (25%) maupun campuran keduanya (35%); sebagian pasien (15%)
menunjukkan aktivitas psikomotor normal; gangguan siklus tidur (siang hari tertidur
sedangkan malam hari terjaga). Rudolph dan marcantonio (2003) memasukkan gejala
perubahan aktivitas psikomotor ke dalam kelompok perubahan kesadaran, yakni
setiap kondisi kesadaran selain composmentis, termasuk didalamnya keadaan
hipoaktivitas dan hiperaktivitas.

5. Diagnosis banding dari delirium


a. Dementia
b. Gangguan Psikotik Singkat
c. Skizofrenia
d. Schizophreniform
e. Gangguan Psikotik Lainnya
f. Mood dengan Gambaran Psikotik
g. Gangguan Stres Akut

6. Pemeriksaan penunjang dari delirium


Klasifikasi dan kriteria diagnosis delirium dapat berdasarkan DSM V
(Diagnosis and Statistical Manual of Mental Disorders, 5th edition). Kriteria DSM V
tahun 2013 tidak berbeda dengan pada DSM IV-TR tahun 2000. DSM V
mengklasifikasi delirium menurut etiologi sebagai berikut:
a. Delirium yang berhubungan dengan kondisi medik umum
b. Delirium intoksikasi substansi (penyalahgunaan obat)
c. Delirium penghentian substansi
d. Delirium diinduksi substansi (pengobatan atau toksin)
e. Delirium yang berhubungan dengan etiologi multipel
f. Delirium tidak terklasifi kasi.
Diagnosis delirium memerlukan 5 kriteria (A-E) dari DSM V, yaitu:
a. Gangguan kesadaran (berupa penurunan kejernihan kesadaran terhadap
lingkungan) dengan penurunan kemampuan fokus, mempertahankan atau
mengubah perhatian.
b. Gangguan berkembang dalam periode singkat (biasanya beberapa jam hingga
hari) dan cenderung berfluktuasi dalam perjalanannya.
c. Perubahan kognitif (seperti defisit memori, disorientasi, gangguan bahasa)
atau perkembangan gangguan persepsi yang tidak dapat dimasukkan ke dalam
kondisi demensia.
d. Gangguan pada kriteria (a) dan (c) tidak disebabkan oleh gangguan
neurokognitif lain yang telah ada, ter bentuk ataupun sedang berkembang dan
tidak timbul pada kondisi penurunan tingkat kesadaran berat, seperti koma.
e. Temuan bukti dari riwayat, pemeriksaan fisik, atau laboratorium yang
mengindikasikan gangguan terjadi akibat konsekuensi fisiologik langsung
suatu kondisi medik umum, intoksikasi atau penghentian substansi (seperti
penyalahgunaan obat atau pengobatan), pemaparan terhadap toksin, atau
karena etiologi multipel.
Suatu algoritma dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis sindrom
delirium yang dikenal dengan Confusion Assessment Method (CAM). Algoritma
tersebut telah divalidasi, sehingga dapat digunakan untuk penegakan diagnosis. CAM
ditambah uji status mental lain dapat dipakai sebagai baku emas diagnosis. Algoritma
CAM memiliki sensitivitas 94-100% dan spesifi sitas 90-95%, dan tingkat reliabilitas
inter-observer tinggi apabila digunakan oleh tenaga terlatih. Uji status mental lain
yang sudah lazim dikenalantara lain Mini-mental Status Examination (MMSE),
Delirium Rating Scale, Delirium Symptom Interview. Kombinasi pemeriksaan
tersebut dapat dikerjakan dalam waktu sekitar 15 menit oleh tenaga kesehatan terlatih,
cukup andal, spesifik, serta sensitif.
Pemeriksaan penunjang dasar seperti darah perifer lengkap, elektrolit, analisis gas
darah, gula darah, ureum, kreatinin, SGOT dan SGPT, urin lengkap, EKG, foto toraks

dan kultur darah harus segera dilaksanakan.

7. Tatalaksana farmakologi dan non farmakologi (termasuk psikoedukasi untuk pasien


dan keluarga) dari delirium
a. Farmakologi
Sangat bijak bila tidak lagi menambahkan obat pada obat yang sudah didapat
oleh pasien (biasanya pasien sudah mendapat berbagai obat dari sejawat lain)
kecuali ada alasan yang sangat signifikan misalnya agitasi atau psikotik
(dicatat di rekam medik alasan penggunaan obat). Interaksi obat harus menjadi
perhatian serius. Antipsikotika dapat dipertimbangkan bila ada tanda dan
gejala psikosis, misalnya halusinasi, waham atau sangat agitatif (verbal atau
fisik) sehingga berisiko terlukanya pasien atau orang lain.
i. Haloperidol mempunyai rekam jejak terpanjang dalam mengobati
delirium, dapat diberikan per oral, IM, atau IV.
ii. Dosis Haloperidol injeksi adalah 2-5 mg IM/IV dan dapat diulang
setiap 30 menit (maksimal 20 mg/hari).
iii. Efek samping parkinsonisme dan akatisia dapat terjadi d. Bila
diberikan IV, dipantau dengan EKG adanya pemanjangan interval QTc
dan adanya disritmia jantung
iv. Pasien agitasi yang tidak bisa menggunakan antipsikotika (misalnya,
pasien dengan Syndrom Neuroleptic Malignance) atau bila tidak
berespons bisa ditambahkan benzodiazepin yang tidak mempunyai
metabolit aktif, misalnya lorazepam tablet 1–2 mg per oral.
Kontraindikasi untuk pasien dengan gangguan pernafasan.
b. Non Farmakologi
Pemberian terapi nonfarmakologis untuk pasien delirium adalah :
i. Pemberian psikoterapi suportif diharapkan memberikan perasaan aman
serta dapat membantu pasien menghadapi frustrasi dan kebingungan
terhadap kehilangan fungsi memorinya
ii. Melakukan reorientasi lingkungan (waktu, tempat, dan orang) kepada
pasien, misalnya disediakan jam besar.
iii. Mengatasi penyakit penyebab yang mencetuskan delirium
iv. Menghindarkan pengekangan fisik terhadap pasien dengan delirium.
v. Mencegah depresi dan memberikan nutrisi yang adekuat kepada
pasien.
vi. Memberikan kenyamanan dan keamanan kepada pasien.
vii. Melakukan intervensi tingkah laku.
viii. Mencegah adanya imobilisasi pasien, karena dapat meningkatkan
agitasi, peningkatan risiko luka, dan pemanjangan durasi delirium.
ix. Membatasi perubahan ruangan dan staf serta menyediakan kondisi
perawatan pasien yang tenang, dengan pencahayaan rendah pada
malam hari.
x. Memberikan edukasi kepada keluarga tentang pentingnya dukungan
dan kondisi yang nyaman kepada pasien demensia, berupa :
1. Mengedukasi keluarga dan pasien terhadap etiologi dan
perjalanan penyakit.
2. Mengedukasi keluarga dan pasien terhadap faktor risiko di
masa mendatang.
3. Keluarga mungkin khawatir bahwa pasien mengalami
kerusakan otak atau penyakit kejiwaan permanen akibat
delirium yang dialami. Memberikan jaminan bahwa delirium
seringkali bersifat sementara dan merupakan akibat dari suatu
kondisi medis mungkin dapat bermanfaat bagi pasien dan
keluarganya.
4. Keluarga diharapkan memberikan lingkungan yang tenang,
aman, dan nyaman kepada pasien seperti saat keluarga ingin
mengunjungi pasien dilakukan satu per satu dan tidak
beramai-ramai.
5. Keluarga diharapkan memberikan bantuan fisik, sensorik, dan
lingkungan sehingga pasien tidak mengalami kecelakaan dalam
kehidupan sehari hari.
6. Keluarga diharapkan memberikan dukungan atau suportif
emosional kepada pasien.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kemenkes RI. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.02.02/MENKES/73/2015 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
Jiwa. Jakarta: Kemenkes RI; 2015
2. Maldonado J. Neuropathogenesis of Delirium: Review of Current Etiologic Theories
and Common Pathways. Am J Geriatr Psychiatry. 2013;21(12):1190-1222.
3. Alagiakrishnan K. What education about delirium should patients and families
receive. 2019.
4. Gustada H, Diatri H. Gangguan Mental Organik dalam Kapita Selekta Kedokteran.
Jilid II. Edisi V. Jakarta : Media Aesculapius; 2020. 1104 p.
5. Alagiakrishnan K. What education about delirium should patients and families
receive?. 2019.
6. Kemenkes RI. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.02.02/MENKES/73/2015 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
Jiwa. Jakarta ; 2015.

Anda mungkin juga menyukai