Anda di halaman 1dari 8

GANGGUAN BIPOLAR, EPISODE MANIK

A. Definisi
Berdasarkan PPDGJ III, gangguan afektif bipolar adalah gangguan yang
tersifat oleh episode berulang (yaitu sekurang-kurangnya dua) yang menunjukkan
suasana perasaan (mood) pasien dan tingkat aktivitasnya jelas terganggu, dan
gangguan ini pada waktu tertentu terdiri dari peninggian suasana perasaan (mood)
serta peningkatan energi dan aktivitas (mania atau hipomania), dan pada waktu lain
berupa penurunan suasana perasaan (mood) serta pengurangan energi dan aktivitas
(depresi).1
Yang khas adalah bahwa biasanya ada penyembuhan sempurna antar episode.
Episode manic biasanya mulai dengan tiba-tiba dan berlangsung antara 2 minggu
sampai 4-5 bulan, episode depresi cenderung berlangsung lebih lama (rata-rata sekitar
6 bulan ) meskipun jarang melebihi 1 tahun kecuali pada orang usia lanjut. Kedua
macam episode itu seringkali terjadi setelah peristiwa hidup yang penuh stress atau
trauma mental lainnya (adanya stress tidak eseensial untuk penegakkan diagnosis). 1

B. Epidemiologi
Gangguan bipolar adalah gangguan yang lebih jarang dibandingkan dengan
gangguan depresif berat. Prevalensi antara laki-laki dan wanita sama besar. Onset
gangguan bipolar adalah dari masa anak-anak (usia 5-6 tahun) sampai 50 tahun atau
lebih. Rata-rata usia yang terkena adalah usia 30 tahun. Gangguan bipolar cenderung
mengenai semua ras.2,3

C. Etiologi
Penyebab gangguan bipolar multifaktor. Secara biologis dikaitkan dengan
faktor genetik dan gangguan neurotransmitter di otak. Secara psikososial dikaitkan
dengan pola asuh masa kanak-kanak, stress yang menyakitkan, stress kehidupan yang
berat dan berkepanjangan, dan banyak lagi faktor lainnya. 1

Faktor Genetik

Penelitian keluarga telah menemukan bahwa kemungkinan menderita suatu


gangguan mood menurun saat derajat hubungan kekeluargaan melebar. Sebagai
contoh, sanak saudara derajat kedua (sepupu) lebih kecil kemungkinannya dari pada
sanak saudara derajat pertama. Penurunan gangguan bipolar juga ditunjukkan oleh
fakta bahwa kira-kira 50 persen pasien Gangguan bipolar memiliki sekurangnya satu
orangtua dengan suatu Gangguan mood, paling sering Gangguan depresif berat. Jika
satu orangtua menderita gangguan bipolar, terdapat kemungkinan 25 persen bahwa
anaknya menderita suatu Gangguan mood. Jika kedua orangtua menderita Gangguan
bipolar, terdapat kemungkinan 50-75 persen anaknya menderita Gangguan mood.3,4

Beberapa studi berhasil membuktikan keterkaitan antara Gangguan bipolar


dengan kromosom 18 dan 22, namun masih belum dapat diselidiki lokus mana dari
kromosom tersebut yang benar-benar terlibat. Beberapa diantaranya yang telah
diselidiki adalah 4p16, 12q23-q24, 18 sentromer, 18q22-q23, dan 21q22. Yang
menarik dari studi kromosom ini, ternyata penderita sindrom Down (trisomi 21)
beresiko rendah menderita Gangguan bipolar.3,4

Sejak ditemukannya beberapa obat yang berhasil meringankan gejala bipolar,


peneliti mulai menduga adanya hubungan neurotransmitter dengan Gangguan bipolar.
Neurotransmitter tersebut adalah dopamine, serotonin, noradrenalin. Gen-gen yang
berhubungan dengan neurotransmitter tersebut pun mulai diteliti seperti gen yang
mengkode monoamine oksidase A (MAOA), tirosin hidroksilase, cathecol-
ometiltransferase (COMT), dan serotonin transporter (5HTT). Penelitian terbaru
menemukan gen lain yang berhubungan dengan penyakit ini yaitu gen yang
mengekspresi brain derived neurotrophic factor (BDNF). BDNF adalah neurotropin
yang berperan dalam regulasi plastisitas sinaps, neurogenesis, dan perlindungan
neuron otak. BDNF diduga ikut terlibat dalam mood. Gen yang mengatur BDNF
terletak pada kromosom 11p13. Terdapat tiga penelitian yang mencari tahu hubungan
antara BDNF dengan Gangguan bipolar dan hasilnya positif.3,4

Faktor Biologis

Kelainan di otak juga dianggap dapat menjadi penyebab penyakit ini. Terdapat
perbedaan gambaran otak antara kelompok sehat dengan penderita bipolar. Melalui
pencitraan magnetic resonance imaging (MRI) dan positron-emission tomography
(PET), didapatkan jumlah substansia nigra dan aliran darah yang berkurang pada
korteks prefrontal subgenual. Tak hanya itu, Blumberg dkk dalam Arch Gen
Psychiatry 2003 pun menemukan volume yang kecil pada amygdale dan
hippocampus. Korteks prefrontal, amygdale, dan hippocampus merupakan bagian dari
otak yang terlibat dalam respon emosi (mood dan afek).

Faktor Lingkungan

Penelitian telah membuktikan faktor lingkungan memegang peranan penting


dalam Gangguan perkembangan bipolar. Faktor lingkungan yang sangat berperan
pada kehidupan psikososial dari pasien dapat menyebabkan stress yang dipicu oleh
faktor lingkungan. Stress yang menyertai episode pertama dari Gangguan bipolar
dapat menyebabkan perubahan biologik otak yang bertahan lama. Perubahan bertahan
lama tersebut dapat menyebabkan perubahan keadaan fungsional berbagai
neurotransmitter dan sistem pemberian signal intraneuronal. Perubahan mungkin
termasuk hilangnya neuron dan penurunan besar dalam kontak sinaptik. Hasil akhir
perubahan tersebut adalah menyebabkan seseorang berada pada resiko yang lebih
tinggi untuk menderita Gangguan mood selanjutnya, bahkan tanpa adanya stressor
eksternal.3,4

D. Patogenesis
Siklus tipikal bipolar
Dalam sebagian besar kasus bipolar, fase depresi jauh melebihi fase manik, dan
siklusmania dan depresi tidak menentu dan tidak dapat diprediksi. Banyak pasien
mengalami episode campuran, yang merupakan episode manik dan depresi muncul
bersamaan selama 7 hari. 4
Rapid cycling
Pasien dengan gangguan bipolar 1, perputaran cepat kemungkinan adalah wanita dan
pernah mengalami episode depresif dan hipomanik, cenderung pada gangguan pada
faktor ekternal bukan dari genetik. Pada fase ini episode manik dan depresi timbul
bergantian sedikitnya 4 kali setahun dan pada kasus yang parah, bisa mencapai
sejumlah siklus sehari. Rapid cycling cenderung untuk timbul lebih sering pada
wanita dan pada pasien bipolar II. Umumnya, rapid cycling bermula pada fase
depresi, dan episode depresi yang sering dan parah bisa menjadi ciri khas dari
kejadian ini. Fase ini sulit untuk ditangani, khususnya karena antidepresan bisa
mencetuskan perubahan ke mania dan memunculkan pola melingkar. 4

E. Tanda Gejala
Terdapat dua pola gejala dasar pada gangguan bipolar episode manik yaitu:
Paling sedikit satu minggu (bisa kurang, bila dirawat) pasien mengalami mood yang
elasi, ekspansif, atau iritabel. Pasien memiliki, secara menetap, tiga atau lebih gejala
berikut (empat atau lebih bila hanya mood iritabel) yaitu: 3,4
1. Grandiositas atau percaya diri berlebihan
2. Berkurangnya kebutuhan tidur
3. Cepat dan banyaknya pembicaraan
4. Lompatan gagasan atau pikiran berlomba
5. Perhatian mudah teralih
6. Peningkatan energy dan hiperaktivitas psikomotor
7. Meningkatnya aktivitas bertujuan (social, seksual, pekerjaan dan sekolah)
8. Tindakan-tindakan sembrono (ngebut, boros, investasi tanpa perhitungan yang
matang)

Gejala yang derajatnya berat dikaitkan dengam penderitaan, gambaran psikotik,


hospitalisasi untuk melindungi pasien dan orang lain, serta adanya gangguan fungsi
sosial dan pekerjaan. Pasien hipomania kadang sulit didiagnosa sebab beberapa pasien
hipomania justru memiliki tingkat kreativitas dan produktivitas yang tinggi. Pasien
hipomania tidak memiliki gambaran psikotik (halusinasi, waham atau perilaku atau
pembicaraan aneh) dan tidak memerlukan hospitalisasi. 3,4

F. Interpretasi Pemeriksaan
Darah lengkap
Darah lengkap dengan diferensiasi digunakan untuk mengetahui anemia sebagai
penyebab depresi. Penatalaksanaan, terutama dengan antikonvulsan, dapat mensupresi
sumsum tulang, oleh karena itu diperlukan pemeriksaan sel darah merah dan sel darah
putih untuk mengecek supresi sumsum tulang. Lithium dapat menyebabkan peningkat
ansel darah putih yang reversibel. 5
Elektrolit
Konsentrasi elektrolit serum diukur untuk membantu masalah diagnostic, terutama
dengan natrium, yang berkaitan dengan depresi. Hiponatremi dapat bermanifestasi
sebagai depresi. Penatalaksanaan dengan lithium dapat berakibat pada masalah ginjal
dan gangguan elektrolit. Kadar natrium rendah dapat berakibat pada peningkatan
kadar lithium dan toxisitas lithium. Oleh karena itu, skrining kandidat untuk terapi
litium maupun yang sedang dalam terapi lithium, mengecek elektrolit merupakan
indikasi. 5
Kalsium
Kalsium serum untuk mendiagnosis hiperkalsemi dan hipokalsemi yang berkaitan
dengan perubahan status mental (e.g hiperparatiroid). Hiperparatiroid, yang
dibuktikan dengan peningkatan kalsium darah, mencetuskan depresi. Beberapa
antidepresan, seperti nortriptyline, mempengaruhi jantung, oleh karena itu, mengecek
kadar kalsium sangat penting. 5
Protein
Kadar protein yang rendah ditemukan pada pasien depresi sebagai hasil dari tidak
makan. Kadar protein rendah, menyebabkan meningkatkan bioavailabilitas beberapa
medikasi, karena obat-obat ini hanya memiliki sedikit protein untuk diikat. 5
Hormon tiroid
Tes tiroid dilakukan untuk menentukan hipertiroid (mania) dan hipotiroid (depresi).
Pengobatan dengan lithium dapat menyebabkan hipotiroid, yang berkontribusi pada
perubahan mood secara cepat. 5
Kreatinin dan Blood Urea Nitrogen
Gagal ginjal dapat timbul sebagai depresi. Pengobatan dengan lithium dapat
mempengaruhi klirens ginjal, dan serum kreatinin dan BUN dapat meningkat. 5
Skrining zat dan alkohol
Penyalahgunaan alkohol dan berbagai macam obat dapat memperlihatkan sebagai
mania atau depresi. Contohnya, penyalahgunaan amfetamin dan kokain dapat timbul
sebagai mania, dan penyalahgunaan barbiturate dapat timbul sebagai depresi. 5
EKG
Banyak antidepresan, terutama trisiklik dan beberapa antipsikotik, dapat berefek pada
jantung dan membuat masalah konduksi. Lithium juga dapat berakibat pada
perubahan reversibel flattening atau inversi pada T wave pada EKG. 5

G. Diagnosis dan Diagnosis Banding


Keterampilan wawancara dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis. Informasi
dari keluarga sangat diperlukan. Diagnosis ditegakkan berdasarkan criteria yang
terdapat dalam DSM-IV atau ICD-10. Salah satu instrumen yang dapat digunakan
untuk mengidentifikasi symptom gangguan bipolar adalah The Structured clinical
Interview for DSM-IV (SCID). The Present State Examination (PSE) dapat pula
digunakan untuk mengidentifikasi symptomsesuai dengan ICD-10. 3

Gangguan mood bipolar I

Gangguan mood bipolar I, episode manic tunggal:

a) Hanya mengalami satu kali episode manic dan tidak ada riwayat depresi mayor
sebelumnya
b) Tidak bertumpang tindih dengan skizofrenia, skizofreniform, skizoafektif,
Gangguan waham, atau dengan gangguan psikotik yang tidak dapat
diklasifikasikan
c) Gejala-gejala tidak disebabkan efek fisiologik langsung zat atau kondisi medic
umum
d) Gejala mood menyebabkan penderitaan yang secara klinik cukup bermakna atau
menimbulkan hendaya dalam social, pekerjaan dan aspek fungsi penting lainnya.
1,3

Gangguan mood bipolar I, episode manic sekarang ini:

a) Saat ini dalam episode manic


b) Sebelumnya, paling sedikit, pernah mengalami satu kali episode manik, depresi,
atau campuran
c) Episode mood pada kriteria A dan B bukan skizoafektif dan tidak bertumpang
tindih dengan skizofrenia, skizofreniform, gangguan waham, atau dengan
gangguan psikotik yang tidak dapat diklasifikasikan
d) Gejala-gejala tidak disebabkan oleh efek fisiologik langsung zat atau kondisi
medik umum
e) Gejala mood menyebabkan penderitaan yang secara klinik cukup bermakna atau
menimbulkan hendaya dalam social, pekerjaan dan aspek fungsi penting lainnya.
1,3

Diagnosis banding:

1. Skizofrenia
2. Depresi berat
3. Intoksikasi obat
4. Hipotiroid
5. Hiper atau hipotiroid
6. Skizoafektif

H. Tatalaksana
Lini 1
Terapi: Litium, diivalproat, olanzapin, risperidon, quetiapin, quetiapin XR,
aripiprazol, litium atau divalproat + risperidon, litium atau divalproat + quetiapin,
litium atau divalproat + olanzapin, litium atau divalproat + aripiprazol. 3
Lini 2
Terapi: Karbamazepin, Terapi Kejang Listrik (TKL), litium + divalproat, paripalidon
Lini 3
Terapi: Haloperidol, klorpromazin, litium atau divalproat haloperidol, litium +
karbamazepin, klozapin

I. Pencegahan
Pencegahan primer dapat dilakukan apabila diketahui bahwa dalam keluarga terdapat
yang mengalami gangguan ini, maka diharapkan pasien dan atau keluarganya
melakukan antisipasi. Pencegahan sekunder yaitu bila telah mengalami gangguan ini,
diharapkan tetap berkonsultasi dengan dokter yang merawat, mengikuti anjuran unruk
mengkonsumsi obat sesuai anjuran. 3

J. Prognosis
Pasien dengan gangguan bipolar I memiliki prognosis yang kurang baik
dibandingkan depresi mayor. Sekitar 40-50% pasien dengan bipolar 1 memiliki
kemungkinan mengalami episode manik kedua dalam 2 tahun episode pertama.
Walaupun dnegan penggunaan litium sebagai profilaksis meningkatkan prognosis
bipolar I, kemungkinan hanya 50-60% pasien mencapai control signifikan akan gejala
mereka dengan litium. Pasien bipolar I dengan premorbid status pekerjaan yang tidak
mendukung, ketergantungan alkohol, gejala psikotik,gejala depresi dan jenis kelamin
laki-laki juga mempengaruhi prognosis yang kurang baik. Durasi pendek dari manik,
usia yang tidak terlalu muda saat onset menghasilkan prognosis yang lebih baik.
Sekitar 7% pasien dengan gangguan bipolar tidak memiliki gejala rekuren;45%
memiliki lebih dari 1 episode, dan 40% memiliki gangguan kronik. Pasien mungkin
memiliki 2 hingga 30 episode, walaupun angka rata-ratanya adalah 9 episode. Sekitar
40% dari keseluruhan pasien mengalami lebih dari 10 episode. Pada follow up jangka
panjang 15% dari seluruh pasien dengan bipolar I dapat hidup dengan baik, 45%
hidup dengan baik namun memiliki multirelaps, 30% pasien dengan remisi parsial,
dan 10% pasien dengan sakitkronis. 1,3,4

DAFTAR PUSTAKA

1. American Psychiatry Assosiasion. Practice guideline for the treatment of patients


with bipolar disorder. 2nd edition. 2002. Diunduh dari www.apa.org , 1 Februari
2017
2. Konsesus Nasional Terapi Gangguan Bipolar. Panduan tatalaksana gangguan
bipolar. Jakarta:Konsesus Nasional Terapi Gangguan Bipolar. 2010
3. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan’s and sadock’s synopsis of psychiatry behavioral
sciences and clinical psychiatry. 10 th edition. Philadelphia: Lippincott William
and Wilkins. 2007
4. Amir N. Gangguan mood bipolar: kriteria diagnostic dan tatalaksana dengan obat
antipsikotik atipik. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2010
5. Soreff S, Ahmed I. Bipolar affective disorder. Diunduh dari
www.emedicine.medscape.com , 1 Februari 2017

Anda mungkin juga menyukai