Anda di halaman 1dari 47

RESUME PBL

SKENARIO 4

Nama : Muhammad Nuh Baihaqi Mulyana


NPM : 117170042
Blok : 6.3
Kelompok :4
Tutor : dr. Ouve Rahadiani, MH.Kes

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
CIREBON
2020
SKENARIO 4

Marah dan Pelupa

Seorang laki-laki berusia 72 tahun datang diantar oleh anaknya ke


poliklinik umum dengan keluhan ayahnya sering marah-marah di rumah
tanpa sebab yang jelas. Ayahnya juga sering mengajukan pertanyaan yang
sama berulangkali dan lupa menaruh barangnya sehingga membuat tidak
nyaman dilingkungan keluarga. Setelah dilakukan wawancara terhadap
pasien dokter memperoleh keterangan bahwa pasien sering marah karena
merasa dirinya tidak berguna dalam keluarga, dan berpikir hanya
menyusahkan orang-orang disekitarnya. Dokter kemudian melakukan
pemeriksaan fisik dan tatalaksana pada pasien.

STEP 1
-
STEP 2
1. Apa saja faktor resiko yang dapat mempengaruhi pada kasus tersebut?
2. Mengapa pasien mengeluhkan marah pelupa dan menanyakan berulang
pada kasus tersebut ? dan bagaimana mekanismenya ?
3. Bagaimana wawancara yang dapat di lakukan oleh tim medis pada pasien
tersebut?
4. Apa saja penegakan diagnosis untuk pasien tersebut?
5. Bagaimana Tatalaksana untuk pasien tersebut?
STEP 3
1. Demensia :
 Usia >65 th, faktor keluarga, jenis kelamin wanita lebih sering, gaya
hidup( hipertensi)
 Hormon, genetik alfa atau beta ,riwayat keluarga seperti syndrom down,
gaya hidup kurang baik, pendidikan rendah
2. Mekanise keluhan
 Neurodegenerasi menyebabkan gangguan kognitif, banyak perubahan
sinaps dan neuro transmiter seperti asitelkolin, serotonin dan epinefrin
 Kemarahan: adanya neurotranmiter kekurangan dopamin, bertanya
berulang perubahan pada hipokampus dan amigdala
 Karena demensia : terjadi adanya deposit abnormal dan penurunan
jumlah neuron di hipokampus
3. Bagaimana wawancara tim medis terhadap geriatri
 Kuesioner dari instrumen GDS, untuk menilai seberapa kelainan dan
psikologis
 Untuk masalah lupa atau kognitif, pemeriksaan instrumen MMSE untuk
melihat apakah mengalami demensia
4. Bagaimana diagnosis
 Assesment geritri : anamnesis,pf,komponen psikologis, mengkaji
pengobatan berulang
5. Tatalaksana geriatri
 Demensia :
 Farmakoterafi : donepezil 10 mg, rivastigmin, galantamin 24 mg
 Non famako : untuk mempertahankan fungsu tubuh : olahraga teratur,
rehabilitasi dan intervensi kombinasi
 Harus ada dukungan dari keluarga, edukasi keluarga, melibatkan tokoh
tokoh agama untuk ketenangan dan kenyamanan
 Aspek spikologis: diberikan terapi CBT dan tai chi

STEP 4
1. Faktor resiko
 Tingkat pendidikan rendah faktor resiko tinggi terkena demensia
 Usia lanjut : mengalami beberapa degenerasi penuaan, pengaruh ROS
dan degenerasi saraf, perubahan molekuler dapat menyebabkan beta
amiloid
 Genetik : meningkatkan resiko demensia
 Vaskuler : hipertensi dan kolesterol
 Jenis kelamin : resiko tinnggi pada wanita karena sistem hormonal
terganggu akibat menopause
 Tdk dapat di ubat :usia genetik jenis kelamin
 Dapat di ubah : penyakit hiperteni, DM
 Faktor psikologis : karena kehilangan pekerjaan adanya kekurangan
segi ekonomi dan menyebabkan marah marah, kehilangan pasangan
menyebabkan penurunan mental
 Perubahan gaya hidup: segi makan harus bervariasi, tetap aktivitas,
makanan sehat, banyak makan sayur dan buah, diet rendah lemah,
minum air yang cukup, batasi asupan gula dan berhenti meroko
2. Keluhan dan mekanisme
 Pada pasien lansia fungsi tubuh dan organ terganggu
 Perempuan menopause mempengaruhi neurotransmiter dopamin bisa
mempengaruhi mudah stres atau depresi bisa menyebabkan marah
marah
 Hilangnya kolinergik di hipokampus dan amigdala kelainan asitelkolin
menyebabkan demensia alzemer daya ingat akan menurun dan gejala
mudah lupa
 Menurunnya metabolisme terjadi serat kolinergik di serebelum
menyebabkan penurunan memori dan timbul gejala bertanya berulang
ulang
 Ketidak mampuan melakukan kegiatan karena kurangnya fungsi
motorik dan terjadi ketegantungan kepada kelurganya dan beranggapan
tidak berguna dan menyulitkan org lain
 Devisit perawatan sehingga merasa tidak nyaman
 Perubahan sinaps di hantarkan saraf terjadi perubahan sinaps terjadi
gangguan di hipokampus terjadi penurunan memori terjadi bertanya
berkali kali
 Karena penuaan terjadi eksositosis esetilkolin
 Dopamin fungsi ada di jantung dan basal untuk pusat efektiv dan suka
dimanja
 Norefineprin serotonin menrurun terjadi kejadian depresi
 Terjadi adanya deposit abnormal kejadian penurunan sel otak untuk
mengatur daya ingat dan mental
 Demensia dan delirium, demnsia progresif,
 delirium gejala hilang timbul
 Demensia :penurunan memori kognitif, progresif kelamaan terjadi
keparahan
 Depresi : sedih dan tidak di butuhkan lagi dan tidak berguna
3. Wawancara
 Instrumen GDS untuk depresi dan MMSE untuk kognitif
 GDS : jika 0 -4 normal, 5 - 8 depresi ringan, 9 - 11 depresi sedang, 12 -
20 depresi berat
 MMSE konniitif : pertanyaan pertama orientasi skor 5, pertanyaan 2
registrasi skor 3
 MMSE : Skor 0 - 9 derajat berat, 10 - 14 sedang - berat, 15 - 20 derajat
sedang , 20 - 30 ringan
4. Diagnosis
 Anamnesis : tanyakan riwayat obat, penyakit dan sitem lainnya
 Pf : headto toe
 Fungsional :kemampuan berlingkungan
 Keadaan sosisal lingkungan
 Fungsional psikologis : apakah pasien depresi atau tidak
 Mengkaji pengobatan untuk mengetahui polifarmasi atau tidak
 Untuk lanjutan : CT-scan , MRI
 Pemeriksaan EEG ( untuk alzaimer)
5. Tatalaksana
 Obat antikoliesterasi : donepezil 5-10 mg
 Ripastigmin 6-12 mg
 Galantamin 24 mg
 Obat antipsikotik haloporidol
 Dukungan keluarga
 Edukasi keluarga untuk perhatian penuh ke pasien
 Psikolois untuk melatih sistem ingatan, fisik dan mental

Mind Map

STEP 5
1. Perubahan fungsi kognitif secara fisiologis
2. Patofisiologi - tatalaksana ( demensia, delirium, depresi)
3. Perubahan fungsi mental fisiologis
4. Patofisiologi - tatalaksana ( skizofren,bipolar, delusi)
REFLEKSI DIRI
Alhamdulillah PBL pada pertemuan pertama dapat berjalan dengan lancar,
semoga PBL pada pertemuan berikutnya saya dapat lebih baik lagi.

STEP 6
Belajar mandiri
STEP 7
1. Perubahan fungsi kognitif secara fisiologis
Fungsi kognitif merupakan hal yang esensial seiring dengan
pertambahan usia. Kognitif diperlukan agar dapat berkomunikasi
efektif, termasuk memproses dan mengintegrasikan informasi
sensoris dan merespons dengan baik. Fungsi kognitif pada lansia
menjadi topik yang banyak diteliti dewasa ini dikarenakan
meningkatnya angka harapan hidup di dunia dan meningkatnya
prevalensi demensia neurodegeneratif. 1
Beberapa penelitian neuropatologi telah melaporkan adanya
bukti patologis pada penyakit alzheimer berupa plak pada regio
auditori sentral seperti nukleus koklear, kolikuli inferior, thalamus,
dan korteks primer auditorius. Saat proses pendengaran berlangsung,
informasi akan diteruskan ke atas dari saraf koklear menuju nukleus
koklear dorsal dan ventral sebelum melewati badan trapezoid
menuju sinaps pada kompleks superior olivari atau kolikulus
inferior. Perjalanan dari nukleus sentral dari kolikulus inferior akan
diteruskan ke nukleus genikulatum medial melalui lemnikus lateralis
dari thalamus sebelum akhirnya menuju gyrus temporal superior
yang merupakan korteks primer auditori. Teori ini menguatkan
hipotesis bahwa adanya plak amyloid pada penderita alzheimer akan
menganggu proses penerimaan auditori dan akan mengakibatkan
penurunan fungsi kognitif. 1
Penelitian neuroimaging yang mempelajari gangguan
pendengaran terkait usia telah memberikan pengetahuan yang lebih
jelas mengenai perubahan dan kompensasi dari neuroplastisitas
terkait dengan input penurunan pendengaran yang menjelaskan
mekanisme gangguan pendengaran menyebabkan penurunan fungsi
kognitif. Penurunan dari alat pendengaran perifer akan menyebabkan
penurunan input ke korteks auditori primer, korteks sekunder yang
terkait dan thalamus auditorius yang terlihat sebagai penurunan
aktivasi neural ke stimulus auditorius pada neuroimaging. Respons
neural suara yang menurun akan mengakibatkan kompensasi berupa
peningkatan aktivasi dari kontrol kognitif untuk meningkatkan usaha
dengar yang lebih baik. Deaferenisasi kronik dari kontrol auditori
dan kognitif juga berhubungan dengan atropi dari korteks auditori
primer, korteks prefrontal dan korteks cingulasi anterior. 1
Tingkat kognitif dapat mempengaruhi kemampuan seseorang
dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Lansia yang mempunyai
fungsi kognitif tinggi maka dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari
dapat dilakukan secara mandiri, sehingga semakin tinggi fungsi
kognitif maka semakin tinggi pula tingkat kemandirian lansia dalam
melaksanakan aktivitas sehari-hari. Tingkat kemandirian
mencerminkan kemampuan lansia dalam menjalankan aktivitas
sehari-hari secara independen yang dalam studi ini menggunakan
ADL barthel. ADL barthel meliputi kemampuan menjalankan
aktivitas dasar sehari-hari seperti mandi, berkemih dan berpakaian.
Hubungan antara tingkat kemandirian dan fungsi kognitif merupakan
hal yang vital karena studi membuktikan bahwa lansia yang
tergantung cenderung untuk menderita gangguan kognitif seperti
sindrom demensia. 1
Hubungan terkuat ditemukan antara penurunan skor ADL
dengan kemampuan visuospasial dan memori. Mekanisme dari
fenomena ini belum sepenuhnya dimengerti namun diduga
merupakan kombinasi disfungsi lobus temporal dan parietal
sehingga mengakibatkan penurunan kemampuan menggunakan
objek secara kompeten dan berdampak pada nilai ADL yang buruk.
Terdapat hierarki dalam penurunan kemandirian dalam komponen
ADL seiring dengan penurunan fungsi kognitif. Hipotesis yang
dikemukakan oleh Katz mendapatkan bahwa aktivitas dasar yang
dipelajari terakhir dalam tahap perkembangan manusia merupakan
yang paling pertama terganggu ketika terjadi penurunan fungsi
kognitif di tahap awal. Di antara katagori ADL, kemampuan untuk
mandi sendiri merupakan kemampuan yang paling banyak
ditemukan pada saat fase awal penurunan fungsi kognitif dan diikuti
oleh kemampuan berpakaian, menggunakan toilet dan berpindah.
Kemampuan untuk makan mandiri masih dapat dilakukan walaupun
terjadi penurunan fungsi kognitif secara progresif. 1
Ditinjau dari segi patofisiologi, frailty dan gangguan kognitif
merupakan sesuatu yang kompleks dan multifaktorial. Beberapa
jalur dan mediator diduga berperan dalam terjadinya gangguan
kognitif pada lansia dengan frailty yaitu hormonal, inflamasi, nutrisi,
vaskular, neuropatologi dan metabolik merupakan faktor yang
diduga berkontribusi. Sarkopenia yang merupakan biomarker dari
frailty terbukti memprediksi kejadian gangguan kognitif di fase awal
pada beberapa studi yang telah dilakukan. Sarkonpenia yang
menyebabkan disfungsi otot dan penurunan kecepatan berjalan
memiliki hubungan kuat dengan gangguan kognitif. Frailty
merupakan sebuah proses transformasi dinamik, keadaan pre-frailty
merupakan proses penuaan yang patologis. 1
The I-Lan Longitudinal Aging Study (ILAS) mengidentifikasi
adanya peranan faktor metabolik yang dapat mengakibatkan
gangguan kognitif pada lansia frailty. Terdapat studi yang
menyatakan bahwa pada lansia yang mengalami kelemahan
ditemukan adanya penurunan aktivitas metabolic yaitu status nutrisi
yang lebih buruk, hemoglobin terglikasi yang lebih tinggi, HDL
yang lebih rendah, sekresi insulin yang tidak sesuai dengan respons
peningkatan glukosa plasma akibat resistensi insulin sehingga
menyebabkan terjadinya hyperinsulinemia yang akan membuat sel-
sel terpapar dengan kadar insulin tinggi dalam waktu yang lama.
Kondisi ini akan menyebabkan fungsi dan survival sel terganggu
terutama sel neuron. Faktor nutrisi memiliki peran terjadinya
gangguan kognitif pada lansia yang mengalami kelemahan. Lansia
yang tergolong frailty akan mengalami penurunan berat badan,
penurunan intake kalori dan nutrisi spesifik yang akan menyebabkan
perubahan komposisi tubuh dan fungsi fisik sehingga menyebabkan
disabilitas. Lansia yang mengalami kekurangan energi dan protein
terbukti memiliki fungsi kognitif yang lebih buruk. Sarkopenia juga
menjelaskan adanya hubungan antara frailty dan gangguan kognitif
melalui kadar testosteron yang rendah pada lansia laki-laki.
Testosteron akan menginduksi plastisitas sinaptik hippokampus dan
mengatur deposisi amyloid sedangkan pada lansia terdapat
penurunan testosteron yang berkaitan dengan kondisi frailty
dikarenakan penurunan massa otot dan kekuatan otot. 1
Saat penuaan juga terjadi penurunan kadar hormon sex steroid,
hormon pertumbuhan dan kadar vitamin D. Peningkatan kadar basal
kortisol juga berkaitan dengan gangguan kognitif dan berhubungan
dengan penurunan volume hipokampus pada pasien dengan sindrom
cushing, demensia alzheimer dan depresi. Peningkatan kortisol juga
terbukti berhubungan dengan gangguan kognitif dari segi bahasa,
kecepata memproses informasi, koordinasi mata-tangan, fungsi
eksekutif dan memori verbal dan visual. Disregulasi hipotalamus-
ptuitary adrenal axis (HPA Axis) merupakan salah satu faktor
pencetus gangguan kognitif pada lansia. Depresi juga merupakan
faktor risiko gangguan kognitif pada lansia frailty. Depresi akan
memengaruhi fungsi kognitif karena sering dikaitkan dengan isolasi
sosial dan kesepian yang berkontribusi pada kejadian frailty
sehingga akan mengakibatkan gangguan kognitif. 1
2. Patofisiologi - tatalaksana ( demensia, delirium, depresi)
A. Demensia
a.) Patofisiologi
Semua bentuk demensia adalah dampak dari kematian
sel saraf dan/atau hilangnya komunikasi antara sel-sel.
Otak manusia sangat kompleks dan banyak faktor yang
dapat mengganggu fungsinya. Beberapa penelitian telah
menemukan faktor-faktor ini namun tidak dapat
menggabungkan faktor ini untuk mendapatkan gambaran
yang jelas bagaimana demensia terjadi. Pada demensia
vaskular, penyakit vaskular menghasilkan efek fokal atau
difus pada otak dan menyebabkan penurunan kognitif.
Penyakit serebrovaskular fokal terjadi sekunder dari
oklusi vaskular emboli atau trombotik. Area otak yang
berhubungan dengan penurunan kognitif adalah
substansia alba dari hemisfer serebral dan nuklei abu-abu
dalam, terutama striatum dan thalamus. Mekanisme
demensia vaskular yang paling banyak adalah infark
kortikal multipel, infark single strategi dan penyakit
pembuluh darah kecil.2
a) Demensia multi-infark: kombinasi efek dari
infark yang berbeda menghasilkan penurunan
kognitif dengan menggangu jaringan neural.
b) Demensia infark single: lesi area otak yang
berbeda menyebabkan gangguan kognitif yang
signifikan. Ini dapat diperhatikan pada kasus
infark arteri serebral anterior, lobus parietal,
thalamus dan satu girus.
c) Penyakit pembuluh darah kecil menyebabkan 2
sindrom major, penyakit Binswanger dan status
lakunar. Penyakit pembuluh darah kecil
menyebabkan perubahan dinding arteri,
pengembangan ruangan Virchow-Robin dan
gliosis parenkim perivaskular.
d) Penyakit lakunar disebabkan oleh oklusi
pembuluh darah kecil dan menghasilkan lesi
kavitas kecil di otak akibat dari oklusi cabang
arteri penetrasi yang kecil. Lakunae ini ditemukan
lebih sering di kapsula interna, nuklei abu-abu
dalam, dan substansia alba. Status lakunar adalah
kondisi dengan lakunae yang banyak,
mengindikasikan adanya penyakit pembuluh
darah kecil yang berat dan menyebar.
e) Penyakit Binswanger (juga dikenal sebagai
leukoencephalopati subkortikal) disebabkan oleh
penyakit substansia alba difus. Pada penyakit ini,
perubahan vaskular yang terjadi adalah
fibrohialinosis dari arteri kecil dan nekrosis
fibrinoid dari pembuluh darah otak yang lebih
besar. 2
b.) Tanda dan gejala
Tanda dan gejala kognitif pada demensia vaskular selalu
subkortikal, bervariasi dan biasanya menggambarkan
peningkatan kesulitan dalam menjalankan aktivitas
harian seperti makan, berpakaian, berbelanja dan
sebagainya. Hampir semua kasus demensia vaskular
menunjukkan tanda dan simptom motorik. 2
a) Tanda dan gejala fisik DVa:
 Kehilangan memori, pelupa
 Lambat berfikir (bradifrenia)
 Pusing
 Kelemahan fokal atau diskoordinasi satu atau
lebih ekstremitas
 Inersia
 Langkah abnormal
 Konsentrasi berkurang
 Perubahan visuospasial
 Penurunan tilikan
 Defisit pada fungsi eksekutif seperti kebolehan
untuk inisiasi, merencana dan mengorganisasi
 Sering atau Inkontinensia urin dan alvi.
Inkontinensia urin terjadi akibat kandung
kencing yang hiperrefleksi. 2
b) Tanda dan gejala perilaku:
 Perbicaraan tidak jelas
 Gangguan bahasa
 Depresi
 Berhalusinasi
 Tidak familiar dengan persekitaran
 Berjalan tanpa arah yang jelas
 Menangis dan ketawa yang tidak sesuai.
Disfungsi serebral bilateral menyebabkan
inkontinensi emosional (juga dikenal sebagai
afek pseudobulbar)
 Sukar menurut perintah
 Bermasalah dalam menguruskan uang2
Riwayat pasien yang mendukung demensia vaskular
adalah kerusakan bertahap seperti tangga (stepwise),
kekeliruan nokturnal, depresi, mengeluh somatik, dan
inkontinensi emosional, stroke, dan tanda dan gejala fokal.
Contoh kerusakan bertahap adalah kehilangan memori dan
kesukaran membuat keputusan diikuti oleh periode yang
stabil dan kemudian akan menurun lagi. Awitan dapat
perlahan atau mendadak. Didapatkan bahwa TIA yang
lama dapat menyebabkan penurunan memori yang
perlahan sedangkan stroke menyebabkan gejala yang
serta-merta. 2
c.) Diagnosis
a.) Anamnesis
 Riwayat kesehatan
Ditanyakan faktor resiko demensia vaskular seperti
hipertensi, diabetes melitus dan hiperlipidemia. Juga
riwayat stroke atau adanya infeksi SSP.
 Riwayat obat-obatan dan alkohol
Adakah penderita peminum alkohol yang kronik atau
pengkonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan
fungsi kognitif seperti obat tidur dan antidepresan
golongan trisiklik.
 Riwayat keluarga
Adakah keluarga yang mengalami demensia atau
riwayat penyakit serebrovaskular. 2
b.) Pemeriksaan fisik
Pada demensia, daerah motorik, piramidal dan
ekstrapiramidal ikut terlibat secara difus maka hemiparesis
atau monoparesis dan diplegia dapat melengkapkan
sindrom demensia. Apabila manifestasi gangguan korteks
piramidal dan ekstrapiramidal tidak nyata, tanda-tanda lesi
organik yang mencerminkan gangguan pada korteks
premotorik atau prefrontal dapat membangkitkan refleks-
refleks. Refleks tersebut merupakan petanda keadaan
regresi atau kemunduran kualitas fungsi. 2
 Refleks memegang (grasp reflex). Jari telunjuk dan
tengah si pemeriksa diletakkan pada telapak tangan si
penderita. Refleks memegang adalah positif apabila
jari si pemeriksa dipegang oleh tangan penderita
 Refleks glabela. Orang dengan demensia akan
memejamkan matanya tiap kali glabelanya diketuk.
Pada orang sehat, pemejaman mata pada ketukan
berkali-kali pada glabela hanya timbul dua tiga kali
saja dan selanjutnya tidak akan memejam lagi
 Refleks palmomental. Goresan pada kulit tenar
membangkitkan kontraksi otot mentalis ipsilateral
pada penderita dengan demensia2
c) Pemeriksaan MMSE
Alat skrining kognitif yang biasa digunakan adalah
pemeriksaan status mental mini atau Mini-Mental State
Examination (MMSE). Pemeriksaan ini berguna untuk
mengetahui kemampuan orientasi, registrasi, perhatian,
daya ingat, kemampuan bahasa dan berhitung. Defisit
lokal ditemukan pada demensia vaskular sedangkan defisit
global pada penyakit Alzheimer. 2
MMSE Folstein :
Skoring: skor maksimum yang mungkin adalah 30.
Umumnya skor yang kurang dari 24 dianggap normal. Namun
nilai batas tergantung pada tingkat edukasi seseorang pasien.
Oleh karena hasil untuk pemeriksaan ini dapat berubah
mengikut waktu, dan untuk beberapa inidividu dapat berubah
pada siang hari, rekamlah tanggal dan waktu pemeriksaan ini
dilakukan. 2
d) Pemeriksaan Penunjang
Deteksi karakter yang abnormal pada pencitraan struktural
(CTScan dan MRI) dan pencitraan fungsional seperti
SPECT dan PET dapat membantu dalam menentukan
diagnosis diferensial. 2
 CT-Scan
Dapat mengidentifikasi lesi otak (tumor), infark
serebri, hematoma subdural atau ekstradura, abses
serebral, penyakit serebrovaskular dan atrofi kortikal. 2
 MRI
Hasil MRI dapat mengidentifikasi lesi pada penyakit
serebrovaskular yang mengindikasikan demensia
vaskular.
Tujuan penatalaksanaan demensia vascular adalah:
 Mencegah terjadinya serangan stroke baru
 Menjaga dan memaksimalkan fungsi saat ini
 Mengurangi gangguan tingkah laku
 Meringankan beban pengasuh
 Menunda progresifitas ke tingkat selanjutnya2
Penatalaksanaan terdiri dari non-medikamentosa dan
medikamentosa:
1) Non-Medikamentosa
 Memperbaiki memori The Heart and
Stroke Foundation of Canada
mengusulkan beberapa cara untuk
mengatasi defisit memori dengan lebih
baik
 Membawa nota untuk mencatat nama,
tanggal, dan tugas yang perlu dilakukan.
Dengan ini stres dapat dikurangkan.
 Melatih otak dengan mengingat kembali
acara sepanjang hari sebelum tidur. Ini
dapat membina kapasiti memori
 Menjauhi distraksi seperti televisyen atau
radio ketika coba memahami mesej atau
instruksi panjang.
 Tidak tergesa-gesa mengerjakan sesuatu
hal baru. Coba merencana sebelum
melakukannya.
 Banyak besabar. Marah hanya akan
menyebabkan pasien lebih sukar untuk
mengingat sesuatu. Belajar teknik
relaksasi juga berkesan. 2
2) Diet
Penelitian di Rotterdam mendapati terdapat
peningkatan resiko demensia vaskular
berhubungan dengan konsumsi lemak total.
Tingkat folat, vitamin B6 dan vitamin B12
yang rendah juga berhubungan dengan
peningkatan homosisteine yang merupakan
faktor resiko stroke. 2
3) Medikamentosa
 Mencegah demensia vaskular memburuk
 Progresifitas demensia vaskular dapat
diperlambat jika faktor resiko vaskular
seperti hipertensi, hiperkolesterolemia dan
diabetes diobati. Agen anti platlet berguna
untuk mencegah stroke berulang. Pada
demensia vaskular, aspirin mempunyai
efek positif pada defisit kognitif. Agen
antiplatelet yang lain adalah tioclodipine
dan clopidogrel.
 Aspirin: mencegah platelet-aggregating
thromboxane A2 dengan memblokir aksi
prostaglandin sintetase seterusnya
mencegah sintesis prostaglandin.
 Tioclodipine: digunakan untuk pasien
yang tidak toleransi terhadap terapi aspirin
atau gagal dengan terapi
aspirin.8Clopidogrel bisulfate: obat
antiplatlet yang menginhibisi ikatan ADP
ke reseptor platlet secara direk.
 Agen hemorheologik meningkatkan
kualiti darah dengan menurunkan
viskositi, meningkatkan fleksibiliti
eritrosit, menginhibisi agregasi platlet dan
formasi trombus serta supresi adhesi
leukosit.
 Pentoxifyllinedan ergoid mesylate
(Hydergine)dapat meningkatkan aliran
darah otak. Dalam satupenelitian yang
melibatkan 29 pusat di Eropa,
perbaikanintelektual danfungsi kognitif
dalam waktu 9 bulan didapatkan.Di
European Pentoxifylline Multi-Infarct
Dementia Study, pengobatan dengan
pentoxifylline didapati berguna untuk
pasien demensia multi-infark. 2
 Demensia Alzheimer :
B. Delirium
a.) Patofisiologi
Delirium merupakan fenomena kompleks, multifaktorial,
dan mempengaruhi berbagai bagian sistem saraf pusat.
Hipotesis terbaru menunjukkan defisiensi jalur
kolinergik dapat merupakan salah satu faktor penyebab
delirium. Delirium yang diakibatkan oleh penghentian
substansi seperti alkohol, benzodiazepin, atau nikotin
dapat dibedakan dengan delirium karena penyebab lain.
Pada delirium akibat penghentian alkohol terjadi
ketidakseimbangan mekanisme inhibisi dan eksitasi pada
system neurotransmiter. Konsumsi alkohol secara reguler
dapat menyebabkan inhibisi reseptor NMDA (N-methyl-
D-aspartate) dan aktivasi reseptor GABA-A
(gammaaminobutyric acid-A). Disinhibisi serebral
berhubungan dengan perubahan neurotransmitter yang
memperkuat transmisi dopaminergik dan noradrenergik,
adapun perubahan ini memberikan manifestasi
karakteristik delirium, termasuk aktivasi simpatis dan
kecenderungan kejang epileptik. Pada kondisi lain,
penghentian benzodiazepine menyebabkan delirium
melalui jalur penurunantransmisi GABA-ergik dan dapat
timbul kejang epileptik. Delirium yang tidak diakibatkan
karena penghentian substansi timbul melalui berbagai
mekanisme, jalurakhir biasanya melibatkan defisit
kolinergik dikombinasikan dengan
hiperaktivitasdopaminergik.Perubahan transmisi
neuronal yang dijumpaipada delirium melibatkan
berbagaimekanisme, yang melibatkan tiga
hipotesisutama, yaitu: 3
 Efek Langsung
Beberapa substansi memiliki efek langsung pada
sistem neurotransmiter, khususnya agen
antikolinergik dan dopaminergik. Lebih lanjut,
gangguan metabolik seperti hipoglikemia, hipoksia,
atau iskemia dapat langsung mengganggu fungsi
neuronal dan mengurangi pembentukan atau
pelepasan neurotransmiter. Kondisi hiperkalsemia
pada wanita dengan kanker payudara merupakan
penyebab utama delirium.
 Inflamasi
Delirium dapat terjadi akibat gangguan primer dari
luar otak, seperti penyakit inflamasi, trauma, atau
prosedur bedah. Pada beberapa kasus, respons infl
amasi sistemik menyebabkan peningkatan produksi
sitokin, yang dapat mengaktivasi mikroglia untuk
memproduksi reaksi inflamasi pada otak. Sejalan
dengan efeknya yang merusak neuron, sitokin juga
mengganggu pembentukan dan pelepasan
neurotransmiter. Proses infl amasiberperan
menyebabkan delirium pada pasien dengan penyakit
utama di otak (terutama penyakit neurodegeneratif ).
 Stres
Faktor stres menginduksi sistem saraf simpatis untuk
melepaskan lebih banyak noradrenalin, dan aksis
hipotalamuspituitari-adrenokortikal untuk
melepaskan lebih banyak glukokortikoid, yang juga
dapat mengaktivasi glia dan menyebabkan
kerusakan neuron.
b.) Gejala Klinis
Gambaran dapat bervariasi tergantung pada masing-
masing individu. Mood, persepsi, dan tingkah-laku yang
abnormal merupakan gejala-gejala psikiatrik umum; tremor,
asteriksis, nistagmus inkoordinasi, inkontinensia urin, dan
disfasia merupakan gejala-gejala neurologik umum. 3
c.) Diagnosis
SuatuAlgoritma dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis sindrom delirium yang dikenal dengan Confusion
Assessment Method (CAM). Algoritma tersebut telah
divalidasi,sehingga dapat digunakan untukpenegakan
diagnosis. CAM ditambah ujistatus mental lain dapat dipakai
sebagai bakuemas diagnosis. Algoritma CAM
memilikisensitivitas 94-100% dan spesifisitas 90-95%,dan
tingkat reliabilitas inter-observer tinggiapabila digunakan
oleh tenaga terlatih. Ujistatus mental lain yang sudah lazim
dikenalantara lain Mini-mental Status Examination(MMSE),
Delirium Rating Scale, Delirium Symptom Interview.
Kombinasi pemeriksaantersebut dapat dikerjakan dalam

waktu sekitar15 menit oleh tenaga kesehatan terlatih, cukup


andal, spesifik, serta sensitif. 3
d.) Tatalaksana
Penatalaksanaan spesifik ditujukan untuk mengidentifikasi
pencetus dan predisposisi. Segera setelah factor pencetus
diketahui maka dapat dilakukan tindakan yang lebih
definitive sesuai factor pencetusnya. Memperbaiki factor
predisposisi harus dikerjakan tanpa menunggu selesainya
masalah terkait faktor pencetus. Penatalaksanaan delirium
sangat kompleks sehingga di simpulkan seperti tabel
dibawah: 3
 Pengobatan etiologik harus sedini mungkin dan di
samping faal otak dibantu agar tidak terjadi kerusakan
otak yang menetap.
 Peredaran darah harus diperhatikan (nadi, jantung dan
tekanan darah), bila perlu diberi stimulansia.
 Pemberian cairan harus cukup, sebab tidak jarang terjadi
dehidrasi. Hati-hati dengan sedativa dan narkotika
(barbiturat, morfin) sebab kadang-kadang tidak
menolong, tetapi dapat menimbulkan efek paradoksal,
yaitu klien tidak menjadi tenang, tetapi bertambah
gelisah.
 Penderitaharus dijaga terus, lebih-lebih bila iasangat
gelisah, sebab berbahaya untuk dirinya sendiri (jatuh,
lari dan loncat keluar dari jendela dan sebagainya)
ataupun untuk orang lain.
 Dicoba menenangkan pasiendengan kata-kata (biarpun
kesadarannya menurun) atau dengan kompres es.
pasienmungkin lebih tenang bila ia dapat melihat orang
atau barang yang ia kenal dari rumah. Sebaiknya kamar
jangan terlalu gelap, pasientidak tahan terlalu diisolasi.
 Terdapat gejala psikiatrik bila sangat mengganggu dapat
diberikan neroleptika, terutama yang mempunyaidosis
efektif tinggi.
C. Depresi
a.) Patofisiologi
a. Faktor Genetis
Diduga gen dominan yang berperan pada
depresi ini terikat pada kromosom 11 Gangguan ini
diturunkan dalam keluarga. Jika salah seorang dari
orang tua mempunyai riwayat depresi maka 27 %
anaknya akan menderita gangguan tersebut.
Sedangkan bila kedua orang tuanya menderita
depresi maka kemungkinanya meningkat menjadi
50 – 75%.4
Dari segi aspek faktor genetis, menurut suatu
penelitian dinyatakan bahwa gen-gen yang
berhubungan dengan risiko yang meningkatkan
untuk lesi kardiovaskular dapat meningkatkan
kerentanan untuk timbulnya gangguan depresif.
Penelitian lain melaporkan bahwa predisposisi
genetis untuk gangguan depresif mayor pada orang
usia lanjut dapat dimediasi oleh adanya lesi
vascular. 4
b. Gangguan pada Otak
Antara lain yang termasuk dalam gangguan pada
otak sebagai salah satu penyebab timbulnya
gangguan depresif pada orang usia lanjut adalah
penyakit cerebrovaskular, yang mana gangguan ini
dapat sebagai faktor predisposisi, presipitasi atau
mempertahankan gejala-gejala gangguan depresif
pada orang usia lanjut. 4
c. Gangguan Neurotransmitter / Biogenik Amin
Istilah biogenik amin umumnya digunakan
untuk komponen katekolamin, norepinefrin,
epinefrin, dopamin dan serotonin. Sistem neuron
menggunakan biogenik amin relatif kecil dalam
sekelompok sel yang berada di batang otak. 4
Biogenik amin ini dilepaskan dalam ruang
sinaps sebagai neurotransmiter. Neurotransmiter
yang banyak berperan pada depresi adalah
norepinefrin dan serotonin. Pada penelitian
postmortem didapatkan penurunan konsentrasi
serotonin dalam otak penderita depresi. Selain itu
juga ditemukan adanya penurunan aktivitas
dopaminergik. Hal ini mendukung hipotesis bahwa
gangguan depresi berhubungan dengan biogenik. 4
Pada suatu penelitian yang dilakukan oleh
Robinson, dkk., mendapatkan bahwa konsentrasi
norepinephrin dan serotonin berkurang sesuai dengan
bertambahnya usia, tetapi metabolit 5-HIAA dan
enzim monoamineoksidase meningkat sesuai
pertambahan usia. 4
d. Perubahan Endokrin
Pada depresi ditemukan hiperaktivitas aksis
sistem limbik -hipotalamus-hipofisis-adrenal yang
menyebabkan peningkatan sekresi kortisol. Selain itu
juga ditemukan juga penurunan hormon lain seperti
GH, LH, FSH, dan testosteron. 4
Dalam hal ini terutama adalah keterlibatan
penurunan kadar hormon estrogen pada wanita,
testosteron pada pria, dan hormon pertumbuhan pada
pria dan wanita. Penurunan kadar hormon tersebut
sejalan dengan perubahan fisiologis karena
pertambahan usia. Sehingga dengan bertambahnya
usia, proses degenerasi sel-sel dari organ tubuh
makin meningkat, termasuk di antaranya
meningkatnya proses degenerasi sel-sel organ tubuh
yang memproduksi hormon tersebut makin
berkurang. Dengan penurunan kadar hormon
tersebut, hal ini akan mempengaruhi produksi
neurotransmitter terutama serotonin dan
norepinephrin. 4
e. Masalah kesehatan
Penyakit dan kecacatan, nyeri yang hebat dan
kronis, kemunduran kognitif serta kerusakan bagian
tubuh yang disebabkan karena pembedahan atau
penyakit dapat menyebabkan individu lanjut usia
jatuh ke dalam kondisi depresi. 4
b.) Prinsip pengobatan
Memilih antidepresan untuk lansia, perlu
mempertimbangkan tipe depresi, kondisi medisnya, interaksi
dengan obat-obatan lain yang dikonsumsi, respon terhadap
medikasi antidepresan terdahulu bila pernah menggunakan dan
potensi penggunaan berlebihan. Depresi psikotik tidak
berespon hanya dengan antidepresan monoterapi, depresi
bipolar juga memerlukan obat penstabil mood. Pada kondisi
medis, hati-hati penggunaan antikolinergik dapat memperburuk
penyakit demensia, gangguan kerdiovaskuler, diabetes dan
penyakit Parkinson. Obat ini dapat menyebabkan hipotensi
postural dan gangguan konduksi jantung. Perlu juga
meminimalkan interaksi antara obat. Golongan antidepresan
trisiklik sebaiknya dihindari, karena letal pada overdosis. Dosis
awal untuk lansia adalah separuh dosis dewasa muda untuk
meminimalkan efek samping. Peningkatan efek samping yang
lebih sering terjadi pada lansia karena perubahan metabolisme
hepar akibat penuaan, adanya penyakit isik yang bersamaan
dan interaksi obat. Rekomendasi untuk ‘start low and go slow’
walaupun bukti saat ini menunjukkan tidak perlu untuk
mentitrasi naik pada semua individu. Peningkatan dosis 1-2
minggu bila ditoleransi untuk mencapai dosis terapi sesuai
variasi individu. Bila tidak terjadi perbaikan yang signiikan
setelah 2-4 minggu pada dosis terapi, maka dinaikkan hingga
didapatkan perbaikan klinis, atau efek samping atau dosis
maksimum sudah dicapai. 4
Monitor pada setiap kontrol tentang perbaikan depresi atau
perburukan dari depresi, adanya agitasi atau ansietas,
percobaan bunuh diri khususnya pada masa awal pengobatan.
Tidak ada bukti peningkatan ide untuk bunuh diri karena
penggunaan antidepresan pada lansia. Pada umumnya periode
penurunan setiap 10 hari direkomendasikan untuk semua
antidepresan. Bila tidak ada perbaikan yang bermakna tetapi
tidak remisi sempurna setelah 4 minggu, maka ditunggu 4
minggu lagi. Setelahnya pertimbangkan untuk menambahkan
terapi add-on bila masih belum remisi. Pilihan add-on terapi
termasuk antidepresan dari golongan lain, pemberian
psikoterapi. Bila ditambahkan golongan antidepresn yang lain,
jangan lupa memonitor potensi terjadinya sindroma serotonin.
Secara psikologi, dapat dilakukan berbagai intervensi sebagai
berikut antara lain : Pada keadaan pasien masih dapat diajak
bercakap-cakap, maka dapat dilakukan berbagai psikoterapi
untuk gangguan depresinya. Namun bila depresi cukup parah,
maka lebih ke fokus pada latihan dan perilaku pasien. Terapi
non psikofarmaka yang dapat diberikan misalnya Reminiscene
therapy, Cognitive Behavioral Therapy (CBT), Problem
Adaptation Therapy (PATH).Perhatian pada nutrisi sangat
penting pada depresi pada lansia, termasuk pengukuran berat
badan dan tinggi badan, riwayat turunnya berat badan, tes
laboratorium untuk albumin, kolesterol, akan memperparah
kondisi depresi pada lansia. Melakukan exercise rutin dan
ringan seperti brain gym, Tail Chi dapat memperbaiki mood
dan kognitif. 4
Secara spiritual, perlu mendapat perhatian pada individu
lansia yang depresi. Ini berhubungan dengan makna kehidupan
dan akhir pengabdian dari kehidupannya. Beberapa studi
mengusulkan bahwa religious coping, yaitu persepsi individu
bahwa religius adalah faktor yang paling penting dalam
mengatasi masalah kehidupan, berhubungan dengan kesehatan
isik dan emosi. Ditemukan bahwa religious coping dapat
membantu tipe depresi tertentu termasuk kehilangan minat,
perasaan tidak berharga, penarikan dari interaksi sosial,
kehilangan harapan dan gejala kognitif yang lain dari depresi.
Religious coping juga menurunkan gejala somatik.4
3. Perubahan fungsi mental fisiologis
a) Dinamika Psikologis
Hasil kolektif tulisan-tulisan yang luas merupakan sebuah
sistem rinci tentang perkembangan kepribadian. Freud
mengemukakan tiga struktur spesifik kepribadian yaitu Id, Ego dan
Superego. Ketiga struktur tersebut diyakininya terbentuk secara
mendasar pada usia tujuh tahun.5
Struktur ini dapat ditampilkan secara diagramatik dalam
kaitannya dengan aksesibilitas bagi kesadaran atau jangkauan
kesadaran individu. Id merupakan libido murni atau energi psikis
yang bersifat irasional. Id merupakan sebuah keinginan yang
dituntun oleh prinsip kenikmatan dan berusaha untuk memuaskan
kebutuhan ini. Ego merupakan sebuah pengatur agar Id dapat
dipuaskan atau disalurkan dalam lingkungan sosial. Sistem kerjanya
pada lingkungan adalah menilai realita untuk mengatur dorongan-
dorongan Id agar tidak melanggar nilai-nilai superego. Sedangkan
Superego sendiri adalah bagian moral dari kepribadian manusia,
karena ia merupakan nilai baik-buruk, salah-benar, boleh-tidak
sesuatu yang dilakukan oleh dorongan Ego yaitu Id.5
1) Kesadaran dan Ketidaksadaran
Pemahaman tentang kesadaran dan ketidaksadaran manusia
merupakan salah satu sumbangan terbesar dari pemikiran
Freud. Menurutnya, kunci untuk memahami perilaku dan
problema kepribadian bermula dari hal tersebut.
Ketidakasadaran itu tidak dapat dikaji langsung, karena
perilaku yang muncul itu merupakan konsekuensi logisnya.
Sedangkan kesadaran itu merupakan suatu bagian terkecil atau
tipis dari keseluruhan pikiran manusia. Hal ini dapat
diibaratkan seperti gunung es yang ada di bawah permukaan
laut. Dimana bongkahan es itu lebih besar di dalam ketimbang
yang terlihat di permukaan. Demikianlah juga halnya dengan
kepribadian manusia, semua pengalaman dan memori yang
tertekan akan dihimpun dalam alam ketidaksadaran.5
2) Kecemasan
Bagian yang tidak kalah penting dari teon Freud adalah tentang
kecemasan. Kecemasan ini menurutnya berkembang dari
konflik antara sistem id. ego dan superego tentang sistem
kontrol satas energi psikis yang ada. Menurut Freud
kecemasan itu ada tiga: kecemasan realita, neurotik dan moral.
a. Kecemasan realita adalah rasa takut akan bahaya yang
datang dari dunia luar dan derajat kecemasan semacam itu
sangat tergantung kepada ancaman nyata.
b. Kecemasan neurotik adalah rasa takut kalau-kalau instink
akan keluar jalur dan menyebabkan sesorang berbuat
sesuatu yang dapat membuatnya terhukum.
c. Kecemasan moral adalah rasa takut terhadap hati
nuraninya sendiri. Orang yang hati nuraninya cukup
berkembang cenderung merasa bersalah apabila berbuat
sesuatu yang bertentangan dengan norma moral.5
3) Mekanisme Pertahanan Ego
Untuk menghadapi tekanan kecemasan yang berlebihan, sistem
ego terpaksa mengambil tindakan ekstrim untuk
menghilangkan tekanan itu. Tindakan yang demikian itu.
disebut mekanisme pertahanan, sebab tujuannya adalah untuk
mempertahankan ego terhadap tekanan kecemasan. Dalam
teori Freud. bentuk-bentuk mekanisme pertahanan yang
penting adalah:
a. Represi: ini merupakan sarana pertahanan yang bisa
mengusir pikiran serta perasaan yang menyakitkan dan
mengancam keluar dari kesadaran.
b. Memungkiri: ini adalah cara mengacaukan apa yang
dipikirkan, dirasakan, atau dilihat seseorang dalam situasi
traumatik.
c. Pembentukan reaksi: ini adalah menukar suatu impuls atau
perasaan yang menimbulkan kecemasan dengan
melawannya dalam kesadaran.
d. Proyeksi: ini berarti memantulkan sesuatu yang
sebenarnya terdapat dalam diri kita sendiri ke dunia luar
e. Penggeseran: merupakan suatu cara untuk menangani
kecemasan dengan menyalurkan perasaan atau impuls
dengan jalan menggeser dari objek yang mengancam ke
"sasaran yang lebih aman".
f. Rasionalisasi: ini cara beberapa orang menciptakan alasan
yang "masuk akal" untuk menjelaskan disingkimya ego
yang babak belur.
g. Sublimasi: ini suatu cara untuk mengalihkan energi
seksual kesaluran lain, yang secara sosial umumnya bisa
diterima, bahkan ada yang dikagumi.
h. Regresi: yaitu berbalik kembali kepada prilaku yang dulu
pernah mereka alami.
i. Introjeksi: yaitu mekanisme untuk mengundang serta
"menelaah" sistem nilai atau standar orang lain.
j. Konpensasi
k. Ritual dan penghapusan.5
4) Tahap Perkembangan Kepribadian
Perkembangan manusia dalam psikoanalitik merupakan suatu
gambaran yang sangat teliti dari proses perkembangan
psikososial dan psikoseksual, mulai dari lahir sampai dewasa.
Dalam teori Freud setiap manusia harus melewati serangkaian
tahap perkembangan dalam proses menjadi dewasa. Tahap-
tahap ini sangat penting bagi pembentukan sifat-sifat
kepribadian yang bersifat menetap. Menurut Freud,
kepribadian orang terbentuk pada usia sekitar 5-6 tahun,
meliputi beberapa tahap yaitu tahap oral, tahap anal, tahap
phalik. tahap laten, dan tahap genital.5

4. Patofisiologi - tatalaksana ( skizofren,bipolar, delusi)


A. SKIZOFRENIA
 Patofisiologi
 Neurotransmiter dan neuropeptida.
Faktor neurobiologi dikorelasikan dengan episode
skizofrenik. Hipotesis neurotransmitter melibatkan
aktivitas berlebihan dopaminergik. Bukti yang mendukung
hipotesis ini berasal dari beberapa sumber. Pertama,
potensi semua obat antipsikotik tradisional dapat
diprediksi secara kasar melalui kapasitas penghambat
dopaminergik obat ini. Kedua, dopamine mesolimbik
memiliki peranan dalam mekanisme atensi dan rangsangan
penyaringan. Bila mekanisme rangsangan penyaringan
rusak, terdapat kolaps informasi yang memproses
kapasitas individu dengan mengakibatkan peningkatan
sensori. 6
Walaupun hipotesis ini mendukung, hipotesis dopamine
penuh dengan kesulitan bila dibandingkan dengan teori
katekolamin gangguan afeksi. Gangguan afeksi secara
hipotesis (dan secara sederhana) merefleksikan penurunan
tonus norepinefrin pada nuclei hipotalamik yang
menyebabkan jalur umum akhir gejala neurovegetatif.
Pada skizofrenia, tampaknya terdapat peningkatan tonus
dopamine pada jalur subkortikal kritis yang menyebabkan
fragmentasi kognitif, gangguan pikiran dan gejala klinis
yang sangat kompleks dan bervariasi. Pada pola kerja ini,
gangguan afeksi terlihat sebagai yang menimpa “inti”
diensefalik otak, sedangkan skizofrenia dibuat konsep
sebagai gangguan lapisan mesolimbic-frontal. Sangat
diragukan jika “satu neurotransmitter” atau “satu lokus”
dapat menjelaskan semua gangguan psikiatrik,
memberikan kompleksitas intraktif system psikososial dan
neurobiologik, meskipun teori ini berguna. 6
Hipotesis aktivitas dopamine berlebihan pada
skizofrenia secara umum ditandai oleh teori static. Pada
kenyataannya, tonus dopamine terkait pada cara bervariasi
dan dinamik terhadap GABA, serotonin dan
neurotransmitter lain yang secara fungsional tersusun pada
system otak penting, seperti korteks prefrontal
dorsolateral, korteks temporal mesial, nucleus akumben,
ventral palidum, dan hipokampus. Skizofrenia yang
berkorelasi lebih lama juga mengenai perubahan
neuropeptide, dengan latensi panjangnya dan efek respon
pada perilaku. Pada tingkat elektrofisiologi, telah
dihipotesiskan bahwa gangguan awal pada skizofrenia
bersifat aberan (mungkin diinduksi eksitotoksik) focus
lobus temporal yang membingungkan homeostasis system
dopamine. Bukti yang lebih mutakhir menunjukkan
viremia trimester kedua sebagai precursor dini skizofrenia.
Berdasarkan teori ini, lobus temporal pusat selama
perkembangan fetal dan deficit ini “tidak ditutupi” pada
masa dewasa akhir dengan kegagalan terhadap kelebihan
neuron atau untuk mengatur aktivitas frontotemporal. 6
 Faktor neuropatologis.
Penggunaan CT scan dan MRI telah dilakukan secara
luas pada penderita skizofrenia. Laporan awal
menunjukkan bahwa sebagian kecil pasien skizofrenia
mengalami peningkatan rasio ventrikuler otak secara
abnormal, yang merefleksikan peningkatan volume cairan
ventrikuler yang dihubungkan dengan atrofi otak. Data
tomografi emisi positron (PET) memperlihatkan pola
penurunan aktivitas lobus frontal pada skizofrenia
(hipofrontalis), terutama berhubungan dengan aktivitas
dopamine, fungsi lobus frontal dan tingkat aktivitas
mesolimbic. Pada penelitian lain disebutkan terdapat
penurunan purkinje yang menyebabkan penurunan ukuran
sel pada vermis cerebral pada pasien skizofrenia lansia. 6
Patofisiologi skizofrenia juga telah ditimbulkan dengan
penelitian pemrosesan informasi dan psikofisiologi.
Individu dengan resiko tinggi menderita skizofrenia dan
penderita dengan gangguan skizofrenik sering labil secara
psikofisiologis dan sensitif terhadap rangsangan.
Mekanisme yang diajukan untuk sensitivitas ini
merupakan gangguan pada kemampuan individu untuk
menyaring rangsangan tak relevan dan ketidakmampuan
membiasakan isyarat yang ditimbulkan secara eksternal
maupun internal. Akhirnya, gangguan fungsi ini, yang
dihubungkan dengan aktivitas dopamine berlebihan pada
manusia dan hewan, menyebabkan beban pemrosesan
informasi. 6
 Manifestasi Klinik
a. Gangguan Proses Pikir: Asosiasi longgar, intrusi
berlebihan, terhambat, klang asosiasi, ekolalia, alogia,
neologisme.
b. Gangguan Isi Pikir: Waham, adalah suatu kepercayaan
yang salah yang menetap yang tidak sesuai dengan fakta dan
tidak bisa dikoreksi. Jenis-jenis waham antara lain:
1) Waham kejar
2) Waham kebesaran
3) Waham rujukan
4) Waham penyiaran pikiran
5) Waham penyisipan pikiran
6) Waham aneh.
c. Gangguan Persepsi; Halusinasi, ilusi, depersonalisasi, dan
derealisasi.
d. Gangguan Emosi; ada tiga afek dasar yang sering
diperlihatkan oleh penderita skizofrenia (tetapi tidak
patognomonik):
1) Afek tumpul atau datar
2) Afek tak serasi
3) Afek labil
e. Gangguan Perilaku; Berbagai perilaku tak sesuai atau aneh
dapat terlihat seperti gerakan tubuh yang aneh dan
menyeringai, perilaku ritual, sangat ketolol-tololan, dan
agresif serta perilaku seksual yang tak pantas.
f. Gangguan Motivasi; aktivitas yang disadari seringkali
menurun atau hilang pada orang dengan skizofrenia.
Misalnya, kehilangan kehendak dan tidak ada aktivitas.
g. Gangguan Neurokognitif; terdapat gangguan atensi,
menurunnya kemampuan untuk menyelesaikan masalah,
gangguan memori (misalnya, memori kerja, spasial dan
verbal) serta fungsi eksekutif. 6
h. Gangguan Delusi
Onset usia pada gangguan delusi adalah 40 – 55 tahun, tetapi
dapat
terjadi kapan saja. Pada gangguan delusi terdapat waham
yang tersering yaitu : waham kejar dan waham somatik.
 Pedoman Diagnosis (ICD-X/PPDGJ III)
a. Pikiran bergema (thought echo), penarikan pikiran atau
penyisipan (thought withdrawal atau thought insertion), dan
penyiaran pikiran (thought broadcasting).
b. Waham dikendalikan (delusion of being control), waham
dipengaruhi (delusion of being influenced), atau “passivity”,
yang jelas merujuk pada pergerakan tubuh atau pergerakan
anggota gerak, atau pikiran, perbuatan atau perasaan
(sensations) khusus; waham persepsi.
c. Halusinasi berupa suara yang berkomentar tentang
perilaku pasien atau sekelompok orang yang sedang
mendiskusikan pasien, atau bentuk halusinasi suara lainnya
yang datang dari beberapa bagian tubuh.
d. Waham-waham menetap jenis lain yang menurut
budayanya dianggap tidak wajar serta sama sekali mustahil,
seperti misalnya mengenai identitas keagamaan atau politik,
atau kekuatan dan kemampuan “manusia super” (tidak
sesuai dengan budaya dan sangat tidak mungkin atau tidak
masuk akal, misalnya mampu berkomunikasi dengan
makhluk asing yang datang dari planit lain).
e. Halusinasi yang menetap pada berbagai modalitas,
apabila disertai baik oleh waham yang
mengambang/melayang maupun yang setengah berbentuk
tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun oleh ide-ide
berlebihan (overvaluedideas) yang menetap, atau apabila
terjadi setiap hari selama bermingguminggu atau berbulan-
bulan terus menerus
f. Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan
(interpolasi) yang berakibat inkoheren atau pembicaraan
tidak relevan atau neologisme.
g. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah
(excitement), sikap tubuh tertentu (posturing), atau
fleksibilitas serea, negativism, mutisme, dan stupor.
h. Gejala-gejala negatif, seperti sikap masa bodoh (apatis),
pembicaraan yang terhenti, dan respons emosional yang
menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan
penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja
sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak
disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika.
i. Perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan dari beberapa aspek perilaku perorangan,
bermanifestasi sebagai hilangnya minat, tak bertujuan, sikap
malas, sikap berdiam diri (self absorbed attitude) dan
penarikan diri secara sosial. 6
 Penatalaksanaan
pasien skizofrenia harus dilakukan sesegera mungkin,
karena keadaan psikotik yang lama menimbulkan
kemungkinan lebih besar penderita menuju ke kemunduran
mental. Sementara itu, pengobatan skizofrenia
membutuhkan waktu yang relatif lama, hal ini dimaksudkan
untuk menekan sekecil mungkin kejadian kekambuhan.
Penatalaksanaan yang dimaksud berupa pengobatan
psikofarmaka dan psikoterapi. 6
 Psikofarmaka
Pada pengobatan skizofrenia digunakan obat
golongan antipsikosis. Obat antipsikosis digunakan untuk
mengendalikan gejala aktif dan mencegah kekambuhan. Obat
antipsikosis ini digolongkan menjadi golongan antipsikosis
tipikal dan golongan antipsikosis atipikal. 6
Mekanisme kerja obat golongan antipsikosis tipikal
adalah dengan memblok dopamin pada reseptor pasca sinaps
neuron diotak, khususnya sistem limbik dan sistem
ekstrapiramidal (Dopamine D2 receptor antagonist),
sehingga efektif untuk gejala positif. Sedangkan obat
antipsikosis yang atipikal memiliki afinitas terhadap
dopamine D2 receptor dan juga terhadap serotonin 5HT2
receptor, sehingga efektif juga untuk gejala negatif. Contoh
obat golongan tipikal adalah klorpromazin, flufenazin,
trifluoperazin, dan haloperidol, sementara itu contoh obat
golongan atipikal adalah clozapin, olanzapin, dan risperidon.
Pada obat golongan tipikal memiliki efek sindrom
ekstrapiramidal yang lebih besar dibandingkan dengan obat
golongan atipikal. 6
Efek samping obat antipsikosis dapat berupa:
 Sedasi dan inhibisi psikomotor
 Gangguan otonom
 Gangguan ekstrapiramidal
 Gangguan endokrin, metabolik, dan hematologik,
biasanya muncul pada pemakaian jangka panjang.
Antipsikosis Dosis awal Dosis pemeliharaan
Haloperidol 0,25-0,5 1-3,5
Thioridazine 10-25 50-100
Clozapine 6,25-12,5 50-100
Risperidone 0,25-0,5 1-2,5
Olanzapine 1-5 5-15
Quetiapine 12,5-25 75-125

B. Bipolar
 Patofisiologi
Faktor biologis
Adanya gangguan disebabkan oleh kelainan zat kimiawi
pada sel saraf otak dan faktor genetik. Individu yang salah
satu orang tuanya menderita bipolar memiliki resiko 15-30%
untuk juga menderita gangguan bipolar. Apabila kedua orang
tuanya menderita bipolar maka kemungkinan anaknya 50-
75% akan mengalami gangguan yang sama. Pada kembar
indentik resiko 33-90% saudara kembar kemungkinan
mengalami bipolar. Sebanyak 10-15% keluarga dari pasien
yang mengalami gangguan bipolar pernah mengalami satu
episode ganagguan afek / mood. 6
Selain faktor biologis genetic gangguan bipolar juga
dipengaruhi oleh neurokimia yang mengalami gangguan
reseptor neurotransmitter. penurunan sensitivitas terhadap
dopamine erat hubungannya dengan depresi, sebaliknya jika
terjadi peningkatan sesitivitas terhadap dopamine maka
memungkinkan untuk meningkatkan rasa bahagia yang
berlebihan atau mania. Penurunan serotonin dan
norephineprine bisa menyebabkan depresi. 6

Faktor psikososial
Peristiwa hidup yang penuh stress atau trauma mental
yang lain ditenggarai bisa menyebabkan perubahan biologis
pada otak dan signal terhadap saraf. Informasi yang dialami
akan disimpan didalam otak yang akan terpanggil kembali
pada suatu kejadian yang membangkitkan memori. Proses
memori juga bisa terjadi walaupun tidak ada sesuatu
rangsangan pemicu dari luar. 6
1. Terapi individual
 Tingkatkan pemahaman tentang gangguan dan gejala
perilaku
 Eksplorasi perasaan tidak nyaman
 Identifikasi dan berusaha mengurangi perilaku
manipulative
 Bantu pengembangan hubungan yang baru dan
keterampilan social
 Dorong pembelajaran dan penggunaan keterampilan
dalam penyelesaian masalah
2. Terapi Keluarga
 Kaji fungsi keluarga, pola komunikasi dan peran yang
diharapkan
 Tentukan bagaimana perilaku ekstrim atau krisis klien
yang ditangani
 Kaji derajat kedekatan dan pengabaian anggota keluarga
 Mengidentifikasi kekhawatiran dan masalah yang dilihat
keluarga
 Atasi perasaan malu keluarga atau kondisi yang
menyalahkan gangguan kronis klien

PENGOBATAN
 Litium karbonat, obat anti manik : obat gangguan bipolar
 Pengobatan anti psikotik, digunakan untuk klien yang
mengalami hiperaktivitas hebat dan untuk menangani
perilaku manik
 Antikonvulsan kadang diberikan karena keefektifannya
dalam anti manik
 Pengobatan anti ansietas misalnya Clonazepam (Clonopin),
Lorazepam (Ativan), digunakan untuk klien yang
mengalami episode manik akut dan untuk klien yang sulit
ditangani
 Kombinasi litium dan anti konvulsan sudah digunakan untuk
gangguan bipolar siklus cepat6
ASUHAN KELUARGA
 Bantu keluarga untuk memahami gangguan bipolar dan
pengaruhnya pada pasangan dan hubungan keluarga
 Dorong anggota keluarga untuk mendiskusikan rasa takut dan
perasaan mereka
 Ajarkan keluarga untuk menangani konflik tanpa konfrontasi/
adu kekuatan
 Bantu keluarga untuk mengkaji kebutuhan mereka dan
mengembangkan cara-cara melindungi diri dari episode manik
klien
 Ajarkan keluarga tentang kebutuhan pengobatan
 Ajarkan keluarga tentang keterampilan berkomunikasi
 Ajarkan keluarga untuk mengetahui tanda-tanda prodromal dan
gejala kambuhnya gangguan bipolar
 Diskusikan metode- metode untuk memperoleh dukungan6

C. DELUSI
a) Patofisiologi
Penyebab Gangguan Delusi sangat rumit, tapi faktor pembawaan
sejak lahir dan keturunan tidak terpisahkan. Dari sudut pandang
fisiologi, sistem limbik pasien dan ganglia dasar di dalam
otaknya mungkin mengalami cacat tertentu. Namun, faktor yang
paling penting adalah hambatan perkembangan psikososial,
seperti pelecehan di masih kecil, ketidakmampuan membangun
rasa saling percaya dengan orang lain, pola asuh patologis dan
sebagainya. Faktor lainnya termasuk kurangnya pendengaran,
penglihatan yang buruk, imigrasi, pemisahan, curiga dan
temperamen sensitif, perubahan degeneratif karena
bertambahnya usia dan sebagainya.
b) Gejala klinis
 Gangguan fungsi kognitif (perubahan daya ingat) Cara
berfikir magis dan primitif, perhatian, isi pikir, bentuk, dan
pengorganisasian bicara (tangensial, neologisme,
sirkumtansial).
 Fungsi persepsi Depersonalisasi dan halusinasi.
 Fungsi emosi Afek tumpul kurang respons emosional, afek
datar, afek tidak sesuai, reaksi berlebihan, ambivalen.
 Fungsi motorik. Imfulsif gerakan tiba-tiba dan spontan,
manerisme, stereotipik gerakan yang diulang-ulang, tidak
bertujuan, tidak dipengaruhi stimulus yang jelas, katatonia.
 Fungsi sosial kesepian. Isolasi sosial, menarik diri, dan harga
diri rendah.
 Dalam tatanan keperawatan jiwa respons neurobiologis yang
sering muncul adalah gangguan isi pikir: waham dan PSP:
halusinasi.
 Tanda dan Gejala Menurut Direja yaitu Tanda dan gejala
pada klien dengan Waham Adalah: Terbiasa menolak makan,
tidak ada perhatian pada perawatan diri, Ekspresi wajah sedih
dan ketakutan, gerakan tidak terkontrol, mudah tersinggung,
isi pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan dan bukan
kenyataan, menghindar dari orang lain, mendominasi
pembicaraan, berbicara kasar, menjalankan kegiatan
keagamaan secara berlebihan.
c) Jenis delusi/waham
Gambar 4. Jenis Delusi.

d) Tatalaksana
 Farmakologi
Pengobatan antipsiktik bisa mengurangi dan terkadang bisa
menghilangkan delusi pasien; pengobatan ini juga mengurangi
gejala gangguan mental seperti kecemasan, lekas marah dan
gangguan tidur. Karena banyak pasien yang bersikap skeptis
terhadap pengobatan ini dan mereka sendiri mungkin rentan
terhadap efek sampingnya, dosis pengobatan akan dimulai dari
tingkat rendah dengan pengawasan dokter. Dosis pengobatan
lalu akan dititrasi secara perlahan untuk menghindari kecurigaan
pasien terhadap dokter mereka. 2 Hubungan antara pasien dan
dokter menjadi sangat penting karena sebagian besar pasien
Gangguan Delusi tidak bersedia menerima pengobatan apapun.
Jika dokter bisa memperoleh kepercayaan pasien dan menjaga
hubungan dokter-pasien yang baik; maka perlawanan pasien
dalam pengobatan akan berkurang. Meskipun mereka tidak
percaya mereka menderita penyakit mental, mereka mungkin
mendengarkan saran dokter untuk mengkonsumsi obat.
 Non farmakologi
Psikoterapi, biasanya psikoterapi harus dilengkapi dengan
pengobatan farmakologi untuk meghasilkan efek yang baik.
Terapis akan menghindari konfrontasi panas dengan pasien
tentang isi delusi mereka, tapi merefleksikan kenyataan kepada
pasien di waktu yang tepat. Ketika menghadapi kasus pasien
keras kepala, dokter yang menangani kasus bisa membantu
mengarahkan pasien ke kehidupan yang lebih bahagia dan
membiarkan mereka hidup secara damai dengan delusi mereka.
Dokter juga akan mencoba memahami kebencian,
ketidakberdayaan dan rasa malu dalam hati pasien; dan
membantu mereka menyelesaikan frustasi dalam diri mereka.
Secara bersamaan, dokter akan mengajarkan pasien bagaimana
menangani krisis dengan cara positif ketika mereka menghadapi
tekanan tiba-tiba.
DAFTAR PUSTAKA
1. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Panduan Praktik Klinik
Diagnosis dan Penatalaksanaan Demensia. Jakarta; 2015.
2. MENTERI KESEHATAN. KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN
REPUBBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/73/2015.
JAKARTA: INDONESIA; 2015.
3. Kaplan &Sadock BJ. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi 2. Jakarta: EGC;
2016.
4. Redjeki GS, Tambunan H. Faktor - Faktor Yang Berhubungan Dengan
Kecemasan Lanjut Usia Di Puskesmas Johar Baru II Jakarta. Jurnal
Kesehatan Saelmakers Perdana. Volume 2 Nomor 1, 28 Februari 2019.
5. Martono, Hadi. Buku Ajar Ilmu Geriatri. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2016.
6. Handayani L, Febriani, Rahmadani A, Sauf A. FAKTOR RISIKO
KEJADIAN SKIZOFRENIA DI RUMAH SAKIT JIWA GRHASIA
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (DIY). Jurnal Humanitas
Vol. 13 No. 2. 135-148.

Anda mungkin juga menyukai