Anda di halaman 1dari 13

Demensia

1. Defenisi
Sekumpulan gejala yang mempengaruhi fungsi otak dalam mengingat, berpikir, berbicara, hingga
berprilaku

2. Epidemiologi
Menurut world Alzheimer report 2019, 1,8 juta orang Indonesia mengalami demensia
Tahun 2021 WHO memperkirakan prevalensi demensia 55 juta orang di dunia
91% kasus terjadi pada usia >65 tahun
9% terjadi pada <65 tahun

3. Klasifikasi
• Demensia alzeimer
• Demensia vaskular
• Demensia lewy bodies
• Demensia frontotemporal

4. Etiologi
Proses degenerative
Idiopatik
vascular
sekunder (infeksi, gangguan autoimun)

5. Faktor risiko
Usia tua
Stroke
Keluarga dengan riwayat demensia
Hipertensi
Down syndrome
Alkohol
6. Pathogenesis patofisiologi

7. Manifestasi klinis
Kehilangan memori
Kesulitan dalam berkomunikasi dan berbahasa
Kesulitan merencanakan sesuatu
Gelisah
Halusinasi
Penurunan fungsi motoric
Kesulitan berkoordinasi
8. Diagnosis
CT- Scan( menyingkirkan stroke, tumor otak)
MRI
PET
SPECT

9. Diagnsosi banding
Parkinson
meningitis
Penyakit serebrovaskular

10. Tatalaksana
Belum ada tatalaksana kuratif
Keluarga di libatkan dalam tatalaksana

Donezepil 10 mg
Rivastigmin 6-12mg
Galantamine 24mg
Memantin 20mg/ hari
11. Komplikasi
Hilangnya kemampuan untuk merawat diri
Hilang kemampuan berinteraksi
Kesulitan melakukan banyak tugas dalam satu waktu
Mudah lupa
Perubahan pola tidur (sering bangun malam hari)

ASD

1. Defenisi

gangguan perkembangan saraf yang mempengaruhi perkembangan bahasa dan kemampuan anak
untuk berkomunikasi, berinteraksi, serta berperilaku

2. Epidemiologi

WHO melaporkan rata-rata prevalensi global ASD adalah 1 dari 160 anak.
Prevalensi ASD secara global meningkat dari 1% pada tahun 2000-an menjadi 2%.
Prevalen laki laki 4x perempuan

3. Etiologi
Bersifat multifaktorial
Gangguan perkembangan saraf & otak
Pengaruh obat obatan ibu saat hamil
Genetik

4. Faktor resiko
Usia orang tua
Ibu hamil (Pre eklamsia, perdarahan, konsumsi obat)
Rendahnya skor APGAR
BBLR
Ensefalopati
Kelahiran premature
5. Pathogenesis patofisiologi

6. Manifestasi klinis
Gangguan dalam interaksi social
Terlambat berbahasa/tidak berbicara sama sekali
Cenderung minta pada satu hal
Gerakan motoric yang repetitive dan setereotipe

7. Diagnosis
ASD (Redflag)
• Tidak ada babbling, tidak menunjuk, atau tidak menunjukkan mimik wajah yang wajar pada
usia 12 bulan.
• Tidak ada kata berarti pada usia 16 bulan
• Tidak ada kalimat pada usia 24 bulan
• Hilangnya kemampuan bahasa dan kemampuan social
Menurut DSM (Diagnostic and statistical manual) revisi ke 4 harus ada sedikitnya 6 gejala
Berikut:

QEEG: untuk menganalisa gelombang otak pada anak autism, yang mana akan muncul gambaran
epileptiform (Kejang)
8. Diagnosis banding
Disabilitisa intelektual
ADHD (Attention deficit hyperactivity disorder)
Gangguan komunikasi social (SCD)
RETT syndrome (Awal perkembangan normal, >6 bulan lalu regresi)

9. Tatalaksana
Metode Teach (Treatment Education of Autistic and Related Communication and Handicapped
Children):
Prinsip dasar:
a. struktur fisik mengacu pada lingkungan terdekatindividu. Kegiatan sehari-hari, seperti bermain
dan makan, bekerja paling baik ketika mereka jelasditentukan oleh batas fisik.
b. memiliki jadwal yang konsisten dimungkinkan melalui berbagaimedia, seperti gambar dan foto
c. sistem kerja menetapkan ekspektasi dan pengukuranaktivitas yang mendorong independensi
d. rutin sangat penting karena dukungan fungsional yangpaling penting bagi individu autis adalah
konsistensi
e. struktur visual melibatkan isyaratberbasis visual untuk pengingat dan instruksi.

Metode ABA (Applied Behaviour Analisis):


Meningkatkan keterampilan perawatan diri.
Mengembangkan keterampilan bermain dan sosial.
Meningkatkan kemampuan anak untuk mengelola perilaku mereka sendiri.
Meningkatkan kemampuan bahasa anak dan komunikasinya.
Mengembangkan perhatian, fokus, memori, dan akademik.
Mengurangi perilaku bermasalah, seperti kurangnya perhatian, agresi, dan anak yang sering
berteriak.

Medikamentosa
Klonidin
Propanolol
Neuroleptik atipikal-Risperidon
Neuroleptik tipikal potensi tinggi-Haloperidol
Neuroleptik tipikal potensi rendah-Thioridazin

10. Komplikasi
Gangguan tidur
masalah nutrisi
Kecemasan
Tidak dapat hidup mandiri
depresi
Stres

Afasia

1. Defenisi
gangguan yang disebabkan oleh kerusakan pada area otak yang memproduksi dan memproses
Bahasa

2. Epidemiologi
Sering terjadi pada pasien stroke dengan angka 25-50%
Sekitar 100.000-180.000 orang di amerika mengidap afasia setiap tahunnya
Lebih sering pada usia dewasa tua

3. Etiologi
Stroke
trauma kepala
Perdarahan intraserebral
Demensia
Tumor

4. Faktor risiko
Penderita stroke
Penderita tumor otak
Cedera kepala
Penderita Alzheimer
Penderita Parkinson
5. Pathogenesis patofisiologi

6. Manifestasi klinis
Berbicara dalam kalimat pendek atau tidak lengkap.
Berbicara dengan kalimat yang tidak bisa dimengerti atau tidak masuk akal.
Mengganti satu kata dengan yang lain atau satu suara dengan yang lain.
Mengucapkan kata-kata yang tidak bisa dikenali.
Tidak mengerti ucapan orang lain.
Menulis kalimat yang tidak bisa dimengerti atau tidak masuk akal.

7. Diagnosis
Tes pencitraan, seperti MRI dan CT scan. Tes ini bisa membantu dokter mengidentifikasi
penyebab dan area otak yang rusak.
Pemeriksaan keterampilan berkomunikasi. Pada pemeriksaan ini, pengidap akan melakukan
percakapan, menyebutkan nama objek, menjawab pertanyaan, dan mengikuti instruksi.
Pemeriksaan fungsi sensorik dan saraf. Tes ini akan memastikan bahwa masalah pendengaran
atau kerusakan saraf bukanlah penyebab dari masalah yang tampak seperti afasia.
Tes kognitif dan memori. Pemeriksaan ini memastikan masalah bukan berasal dari gangguan
kemampuan berpikir atau ingatan pengidap.

8. Diagnosis banding
Disartria
apraksia
9. Tatalaksana
Terapi wicara
Piracetam
Operatif

10. Komplikasi
Gangguan kecemasan
depresi
Mengisolasi diri dari lingkungan

Insomnia

1. Defenisi
jenis gangguan tidur yang terjadi ketika seseorang mengalami kesulitan atau tidak bisa tidur.

2. Epidemiologi
secara global 1/3 populasi pernah mengalami insomnia
Dalam sebuah studi dengan sampel pasien diabetes, 61% partisipan melaporkan kesulitan tidur.
Dalam studi tersebut, 47% pasien memiliki hasil skrining positif memiliki restless leg syndrome
dan 51% berisiko mengalami obstructive sleep apnea

3. Klasifikasi
Insomnia Primer. Ini adalah kondisi yang tidak terkait dengan penyakit atau kondisi medis lain.
Insomnia Sekunder. Ini adalah kondisi yang berkaitan atau terjadi karena penyakit atau kondisi
medis lain

4. Etiologi
Penyebab pada jenis yang akut adalah:
Mengalami stres.
Mengingat peristiwa yang traumatis.
Terjadinya perubahan kebiasaan tidur, seperti tinggal di rumah baru.
Mengalami jet lag atau mabuk setelah naik pesawat.
Mengonsumsi obat-obatan tertentu.

penyebab jenis yang kronis adalah:


Kondisi nyeri kronis, seperti radang sendi atau nyeri punggung.
Masalah psikologis, seperti kecemasan, depresi, atau gangguan penggunaan zat.
Mengalami sleep apnea dan gangguan tidur lainnya.
Mengidap kondisi kesehatan tertentu seperti diabetes, kanker, penyakit refluks gastroesofagus
(GERD), atau penyakit kardiovaskular.

5. Faktor risiko
Pekerjaan system shift
usia >60
Rutinitas dengan stress Tingkat tinggi
Obesitas
Riwayat penyakit jantung

6. Pathogenesis patofisiologi

7. Manifestasi klinis
Sulit untuk merasakan ngantuk dan tidak bisa tertidur.
Terbangun pada malam hari atau dini hari dan tidak bisa tidur kembali.
Merasa lelah, emosional, sulit berkonsentrasi, dan tidak bisa melakukan aktivitas secara baik
pada siang hari.
Tidak bisa tidur siang, meskipun tubuh terasa lelah.

8. Diagnosis
Rutinitas tidur.
Gaya hidup yang buruk, misalnya kebiasaan mengonsumsi kopi atau minuman keras secara
berlebihan.
Porsi olahraga.
Riwayat kesehatan (penyakit yang mungkin diidap).
Obat-obatan yang mungkin dikonsumsi.

9. Diagnosis banding
Obstructive sleep apneu
Jet lag
Gangguan tidur akibat shift kerja
Gangguan tidur ritme sirkardian

10. Tatalaksana
Memperbaiki jam tidur
Menggunakan melatonin efek ringan (sementara)

Terapi perilaku kognitif untuk insomnia (CBT-I):


Teknik relaksasi:
Teknik relaksasi dilakukan dengan cara mengatur napas agar lebih rileks.
Terapi kontrol stimulus:
Terapi ini melatih pasien agar hanya menggunakan kamar tidur untuk tidur
Paradoxical intention:
Paradoxical intention membiasakan pasien agar tidak terus berpikir dan berharap untuk cepat
tertidur saat berada di kasur

obat obatan:
Zolpidem
Zaleplon
Ramelton

11. Komplikasi
Kejang
Kecemasan
Tekanan darah tinggi
Depresi

Anda mungkin juga menyukai