Anda di halaman 1dari 15

PENYAKIT ALZHEIMER

I. Pendahuluan
Penyakit Alzheimer merupakan suatu syndrom dermensia yang ditandai
dengan penurunan ingatan dan kemampuan kognitif pasien secara progesif, yang
tidak diketahui penyebab dan perawatannya. Secara umum pasien Alzheimer ini
mengalami kehilangan seluruh kemampuan kognitif, analisis, fungsi fisik, dan
biasanya penyakit ini bersifat fatal.
Penyakit Alzheimer ditemukan pertama kali oleh Dr. Alois Alzheimer pada
tahun 1907. berdasarkan hasil bedah pengamatannya diperoleh bahwa syaraf-
syaraf pada otak mengalami penciutan dari keadaan normalnya, bahkan syaraf
yang ada dipenuhi dengan gumpalan protein yang luar biasa, gumpalan protein ini
disebut dengan plak amiloid dan serat-serat yang berbelit-belit (neuro fibrillary).
Amilorid protein yang membentuk plak protein, dipercaya menyebabkan
perubahan kimia otak.

II. Epidemiologi Penyakit


Penyebaran penyakit Alzheimer ini dapat ditemuakan di berbagai Negara.
Namun publikasi untuk penyakit ini masih sangat jarang ditemukan. Hal ini
disebabkan karena sebagian besar menganggap bahwa penyakit ini merupakan
penyakit yang lazim dialami oleh orang tua, sebab wajar apabila usia semakin
bertambah tua kemampuan atau daya ingat dari orang tersebut semakin menurun.
Namun anggapan atau persepsi orang-orang salah mengenai penyakit ini.
Penyakit Alzheimer merupakan penyakit yang dapat menyerang semua golongan
usia. Resiko menderita penyakit Alzheimer mulai muncul sejak usia 65 tahun,
seorang mempuanyai resiko 5% mengidap penyakit, dan resiko ini meningkat 2
kali lipatnya setiap lima tahun.
Pada tahun 65-74 diperoleh data mengenai prevalensi penyakit Alzheimer di
dunia yaitu sekitar 3%, dan prevalensi ini semakin meningkat pada tahun >85
hingga mencapai 47%. Bahkan di AS diberitakan bahwa 100.000 orang
meninggal tiap tahunnya akibat penyakit Alzheimer.
III. Etiologi
Etiologi atau penyebab dari penyakit Alzheimer secara pasti belum diketahui.
Namun kemungkinan penyebab dari penyakit ini masih diteliti, antara lain
kemungkinan penyebab penyakit ini yaitu faktor genetic dan juga lingkungan.
Selain itu ada pendapat lain yang menyebutkan bahwa penyakit Alzheimer ini
disebabkan karena pembentukan dan perubahan pada sel-sel saraf yang normal
menjadi serat.

IV. Patofisiologi
Adapun patofisiologi dari penyakit Alzheimer ini yaitu:
 Penyakit Alzheimer ini merusak syaraf-syaraf yang terdapat pada batang dan
juga struktur limbik dari otak yang bertanggung jawab dalam proses
pembelajaran, daya ingat, memberi alas an, prilaku, dan pengontrolan emosi.
 Adanya adanya serat-serat yang banyak pada syaraf (NFTs) dan plak pada
syaraf (NPs) diperlukan untuk terjadinya penyakit Alzheimer ini. NFTs pada
intraselular terdiri dari pasangan filament berbentuk heliks, dari protein tau
yang teragregasi pada bundle yang padat. adanya keabnormalan phoporilasi
dari filament tau menyebabkan terjadinya kolaps pada mikrotubulus dan
akhirnya menyebabkan kematian pada sel.
 NPs yang disebut dengan amilorid atau plak senile, merupakan bagian
ekstraseluler yang terdiri dari ß amilorid protein (ßAP) dan suatu masa melilit,
yang menyebabkan kerusakan pada sel syaraf.
 ß amilorid sendiri juga dijumpai pada geriatric yang normal, tetapi tidak
terkonsentrasi pada korteks atau system limbic, yang menyebabkan degenerasi
saraf.
 ß amilorid membentuk plak karena berikatan dengan suatu protein yang
disebut apolipoprotein E4 (ApoE4) yang menyebabkan senyawa ini menjadi
tidak larut. ApoE4 inilah yang nantinya terlibat dalam patofisiologi penyakit
Alzheimer.
 Mediator radang dan komponen system imun akan ditemukan pada daerah
disekitar pembentukan plak, yang mana sistem imun ini menjadi aktif untuk
melakukan proses patogenesis.
 Pasien umumnya mengalami atrofi kortikal dan berkurangnya neuron secara
signifikan, terutama saraf kolinergik.
 Kerusakan saraf kolinergik terjadi terutama pada daerah limbic otak (terlibat
dalam emosi) dan korteks (terlibat dalam memori dan pusat pikiran/ advanced
reasoning center).
 Syaraf-syaraf serotonergik pada inti dan sel-sel noradrenergic pada locus
ceruleus mengalami penurunan juga, yang mana dalam hal ini mono amin
oksidase type B (MAO-B) mengalami peningkatan.
 Terjadi penurunan jumlah enzim asaetil kolin transferse di korteks serebral
dan hippocampus yang menyebabkan penurunan sintesis asetilkolin di otak.

V. Gejala dan Tanda


Patofisiologinya mungkin bermula jauh sebelum tanda klinik terlihat. Penyakit ini
menyebabkan penurunan kemampuan intelektual penderita secara progesif yang
mempengaruhi fungsi sosialnya, meliputi:
 Penurunan ingatan jangka pendek atau kemampuan belajar atau menyimpan
informasi.
 Penurunan kemampuan berbahasa sehingga pasien menjadi kesulitan
menemukan kata atau kesulitan memahami pertanyaan atau petunjuk.
 Ketidakmampuan menggambar atau mengenal gambar.
Sayangnya banyak pasien atau keluarganya menganggap ini gejala normal yang
disebabkan oleh karena bertambahnya umur, sehingga banyak pasien yang tidak
dirujuk ke dokter. Sebagian besar kasus penyakit Alzheimer ini terjadi setelah
usia menginjak 65 tahun.
Kategori Gejala Pada Alzheimer

Deficit Kognitif Gejala Psikiatrik non-Kognitif


Kehilangan daya ingat: Depresi
Susah mengingat, agnosia, kehilangan
barang.
Dysphasia: Gejala Psikotik:
Anomia (susah mengingat nama), Halusinasi, delusi, curiga.
circumlocution, aphasia.
Dyspraxia Gangguan nonpsikotik yang merusak:
Disorientation:
Agresif (fisik maupun verbal),
Waktu, tempat, tidak mengemal
hiperreaktif, tidak koopertif, menentang,
keluarga, teman, bahkan diri sendiri.
melakukan kegiatan berulang-ulang.
Tidak bisa menghitung
Impaired judgment dan dan masalah
pada keterampilan.

 Pada keadaan sedang, pasien kemungkinan tidak mampu dalam menggunakan


barang, menggambar bentuk yang kompleks, atau menuangkan konsepnya pada
suatu tempat, berencana, atau melakuakn aktivitas.
 Pada keadaan ini, pasien membutuhkan pendamping untuk dapat melakukan
kegiatan sehari-hari.
 Pada keadaan dermensia akhir, pasien mengalami kehilangan kemampuan
berbicara, berjalan, dan membantu dirinya sendiri. Mereka tidak dapat mengontrol
pengeluaran urine maupun feses, dan akhirnya pasien akan mengalami keadaan
yang disebut dengan koma.

VI. Diagnosis
 Ada beberapa kriteria untuk menyatakan diagnosis Alzheimer yaitu:
dermentia rating scale, test lab, test neurophisikologi.
 Setelah itu stage penyakit dan perkembangannya dapat diukur dengan GDS.
Tahapan Penurunan Kognitif menurut GDS (Global Deterioration Scale)
Stage Level Deskripsi
Stage 1 Normal Tidak ada perubahan fungsi kognitif
Stage 2 Pelupa Mengeluh kehilangan sesuatu atau lupa nama teman,
tetapi tidak mempengaruhi pekerjaan dan fungsi social.
Umumnya merupakan bagian dari proses penuaan yang
normal.
Stage 3 Kebingangan Ada penurunan kognisi yang menyebabkan gangguan
awal fungsi social dan kerja. Anomia, kesulitan mengingat
kata yang tepat dalam percakapan, dan sulit menginagt.
Pasien mulai sering bingung/anxiety.
Stage 4 Kebingungan Pasien tidak bias lagi mengatur keuangan atau aktivitas
akhir rumah tangga, sulit mengingat peristiwa yang baru
terjadi, mualai meninggalkan tugas yang sulit, tetapi
biasanya masih menyangkal punya masalah memori.
Stage 5 Dementia Pasien tidak bias lagi bertahan tanpa bantuan orang lain.
awal Sering terjadi disoerientasi (waktu, tempat), sulit
memilih pakaian, lupa kejadian mas lalu. Tetapi pasien
umumnya masih menyangkal punya masalah, pasien
biasanya menjadi curigaan atau mudah depresi.
Stage 6 Dementia Pasien butuh bantuan untuk kegiatan sehari-hari (mandi,
sedang berpakaian, toileting), lupa nama keluarga, sulit
menghitung mundur dari angka 10. mulai muncul gejala
agitasi, paranoid, dan delision.
Stage 7 Dementia Pasien tidak bias bicara dengan jelas (mungkin Cuma
akhir bergumam atau teriak), tidak bias jalan, atau makan
sendiri. Inkontinensi urin dan feses. Kesadaran bias
berkurang dan akhirnya koma.

VII. Data Laboratorium


 Test hematologi, normal.
 Electrocardiogram dan elctroenchepalogram, normal.
 Uji neurologi, normal.
 CT dan MRI scaning menunjukkan adanya lesi yang menyebabkan dementia.

VIII. Tujuan atau Sasaran Terapi


Adapun tujuan dari terapi pada psien penyakit Alzheimer ini adalah:
1. Memelihara fungsi-fungsi organ pasien selama mungkin.
2. Menunda perkembangan penyakit.
3. Mengontrol gangguan atau kelakuan pasien yang tidak diinginkan.

IX. Strategi Terapi


i. Terapi Non Farmakologi
Terapi non farmakologi melibatkan pasien, keluarga, atau pengasuh khusus
untuk memberi dukungan dalam menghadapi kondisi pasien, serta memahami
kondisi pasien. Terapi non farmakologi yang dapat diberikan bagi pasien
penyakit Alzheimer ataupun orang-orang yang membantu (mendapingi)
pasien untuk melakukan aktivitasnya, sebaiknya mengetahui hal-hal sebagai
berikut:
o Pasien ataupun perawat pasien harus mengetahui tentang penyakit
Alzheimer yang diderita oleh pasien, sehingga mereka mengetahui hal-hal
apa saja yang akan terjadi nantinya, hal ini terutama diperlukan oleh
perawat ataupun kerabat yang mendapingi pasien.
o Harus mengetahui terapi apa saja yang dapat dilakukan untuk
memperbaiki kelangsungan hidup pasien.
o Memperbaiki pola hidup untuk menekan kemungkinan terjadinya oenyakit
Alzheimer ini.

ii. Terapi Farmakologi

Algoritme Pengobatan Penyakit Alzheimer dengan Gejala Kognitif


Pengobatan Kognitif

Pasien dgn diagnosis AD, menurut


criteria NINCDS-ADRDA

Penilaian terhadap gangguan dan


obat dengan eketivitas kognitif

Evaluasi farmakoterapi

MMSE stabil MMSE 10-26 MMSE > 4


(penurunan Doneprezil penurunan dalam
<4 dalam 1 Galantamine 1 tahun.
tahun) Rivastigmine Alternative
Lanjutkan + kolinesterase
pengobatan Vit. E inhibitor + Vit. E

Keterangan:
AD : Alzheimer Diseases
NINCDS : National Institute of Neurological and Communicative Disorders
and Stroke
ADRDA : Alzheimer’s Disease and Related Disorders Assosiation.

 Terapi Farmakologi untuk Gejala Kognitif


Saat ini farmakoterapi atau pemberian obat untuk mengatasi masalah
kesehatan pasien merupakan hal yang selalu dikaitkan dalam usaha
mengatasi gejala-gejala pada penyakitAlzheimer yang terjadi. Dalam hal
ini penggunaan sediaan obat pada pasien Alzheimer bertujuan untuk
memperbaiki dan juga menjaga kesadaran dari pasien. Berdasarkan bukti-
bukti pengobatan yang ada, diketahui bahwa untuk mengatasi penyakit
alzheimerdapat digunakan beberapa golongan obat seperti:

1. Cholinesterase Inhibitor (Donepezil, Rivastigmin, Galantamine,


Tacrine)
Golongan inhibitor kolinesterase yang berguna untuk menigkatkan kadar
asetilkolin. Pada saat ini kolinesterase inhibitor merupakan salah satu
pilihan utama pengobatan penyakit Alzheimer baik yang ringan sampai yang
sedang. Apabila nilai MMSE mengalami penurunanan lebih dari 2 hingga 4
setelah melakukan pengobatan dengan kolinesterase inhibitor ini selama 1
tahun dengan dosis permulaan,maka keadaan ini dapat diatasi dengan
mengganti kolinesterase inhibitor yang digunakan dengan sediaan yang
berbeda namun dalam golongan yang sama, sebab hal ini menunjukkan hasil
yang kurang baik pada pengobatan yang dilakukan. Sebalikanya,
pengobatan dapat dilanjutkan apabila pengobatan yang dilakukan
menunjukkan hasil yang positif.

 Donepezil
Donepezil (Acricept) merupakan derivate piperidine dengan aktivitas
spesifiknya yaitu sebagai inhibitor kolinesterase yang lebih baik
dibandingkan butyrilkolinesterase. Hal inilah yang menyebabkan efek
samping yang terjadi pada perifer menjadi lebih sedikit (mual, muntah,
diare) dibandingkan dengan sediaan kolinesterase yang tidak selektif
seperti tacrine. Penggunaan sediaan ini diakui atau dipercaya untuk
mengobati gangguan kesadarandari yang rendah hingga akut.
Dosis permulaan yaitu 5 mg sekali sehari di pagi hari, dan dapat
ditingkatkan hingga 10mg sekali sehari setelah 4 sampai 6 minggu
pengobatan. Donepezil merupakan obat yang ditoleransi dengan baik
olehsebagian besar pasien. Pada umumnya sediaan ini memiliki efek
saping berupa mual, muntah, diare, pusing, dan insomnia.

 Rivastigmine
Rivastigmine (Exelon) memiliki aktivitas pada sentral atau pusat di
daerah astelkolinesterase danbutirilkolinesterase, namun sediaan ini
memilikiaktivitas yang rendah pada perifer. Secara teoritis sediaan ini
memberikan efek samping yang lebih rendah pada perifer. Berdasarkan
penelitian, pengobatan dengan rivastigmin mampu memperbaiki dan
menjaga daya pikir pasien ingga 6-12 bulan lebih panjang dibandingkan
pasien yang tidak menggunakan sediaan ini. Dosis permulaan yaitu: 1,5
mg 2 kali sehari, dan dosis ini dapat ditingkatkan hingga 6 mg 2 kali
sehari. Toleransi dan absorpsi obat diperbaiki atau ditingkatkan dengan
adanya makanan. Rivastigmin ditoleransi dengan baik oleh sebagian
besar pasien, adapun efek samping yang dapat ditimbulkan oleh sediaan
ini yaitu: mual, muntah, diare, pusing, anoreksia, dan nyeri pada perut.

 Galantamine
Galantamine (Reminyl), merupakan sediaan yang tergolong dalam
kolinesterase inhibitor, dengan aktivitas pada reseptor agonis nikotinik.
Berdasarkan penelitian, penggunaan sediaan ini diharapkan mampu
memperbaiki dan juga mempertahankan keadaan pasien lebih dari 9
bulan dibandingkan dengan pasien yang tidak menggunakan sediaan ini.
Dosis awal penggunaan galantamine yaitu 4 mg 2 kali sehari disertai
dengan makanan, kemudian dosis dapat ditingkatkan secara perlahan-
lahan dari 4 minggu, dengan dosis maksimal 16 mg 2 kali sehari. Efek
samping penggunaan sediaan ini yaitu: mual, muntah, diare, dan pusing.

 Tacrine
Tacrine (Cognex) merupakan salah satu derivate kolinesterase yang telah
diakui sebagai terapi dalam penyakit Alzheimer, namun sediaan ini
biasanya digantikan dengan sediaan lain yang lebih aman.

2. Antioksidan (Vitamin E)
 Vitamin E
Vitamin E marupakan salah satu antioksidan. Yang mana berdasarkan
penelitian, patofisiologi dari penyakit Alzheimer ini dipengaruhi oleh
adanya radikal bebas. Pada suatu penelitian, menyebutkan bahwa
penggunaan vitamin E 1000 IU 2 kali sehari menunjukkan efek yang
paling kurang sama dengan seleglinide. Dengan adanya keuntungan dari
penggunaan vitamin E ini, maka pada terapi Alzheimer, vitamin ini
biasanya digunakan sebagai tambahan dalam terpai kolinesterase
inhibitor. Selain itu vitamin E berfungsi dalam menhambat progesivitas
penyakit.

3. Hormon (Estrogen)
 Estrogen
Estrogen berhubungan dengan penyakit Alzheimer yang lebih banyak
menyerang wanita yang telah menopause dan menjalani penggantian
estrogen dengan penambahan estrogen dari luar.

4. NSAID
Secara umum NSAID digunakan dalam terapi Alzheimer, namun
berdasarkan penelitian, NSAID tidak dapat digunakan atau tidak
direkomendasikan lagi dalam terapi pencegahan secara umum.

5. Ekstrak ginko biloba


Ekstrak ginko biloba memiliki kemampuan sebagai neuroprotektif, sehingga
kerapuhan dari kapiler-kapiler pembuluh darah dapat ditekan atau dikurangi,
selain itu ginko biloba memiliki efek antioksidan yang dapat menghambat
agregasi platelet, namun hal ini membutuhkan pembuktian yang lebih
banyak, untuk dapat digunakan sebagai salah satu terapi pilihan pertama
dlam pengobatan Alzheimer.

 Terapi Farmakologi untuk Gejala Non Kognitif


Algoritme Pengobatab Alzheimer dengan Gejala Non Kognitif

Penilaian psikiatri
Disebabkan karena obat
Disebabkan karena efek
samping pengobatan

Pengaruh lingkungan dan


sosial

Depresi Psikosis Agitasi Lain

SSRI Carbamasepin, Olanzapine


Nefazodone atau risperidon Risperidone
Venlataxine Citalopram,
carbamasepin
e
Pilihan alternatif
Pilihan alternatif
Pilihan alternatif
Quetiapine
Pilahan
alternative: Trazodone,
Despiramine,. valproat,
Haloperidol
Nortriptiline, buspirone,
Mirtazapine selegiline
Olanzapine
Pengobatan sekunder berhubungan dengan tujuan dalam merawat atau mengobati
gejal psikosis, perubahan prilaku, dan juga adanya depresi. Pemilihan obat dan
rekomendasi dosis untuk gejala non kognitif dapat dilihat pada table berikut:

Obat Dosis (mg/hari) Indikasi


Antipsikotik
Clozapine 12,5-100 Psikosis, halusinasi, delusi.
Haloperidol 0,5-4 Perubahan tingkah laku, agitasi, agresif.
Olanzapine 2,5-10
Quetiapine 12,5-200
Risperidone 0,25-2
Antidepresan
Citalopram 10-20 Depresi: insomnia, agitasi
Desipramina 50-150
Fluoxetine 5-20
Notriptyline 25-150
Poroxetine 10-40
Sertraline 50-200
Trazodone 75-100
Antikonvulsi Agitasi atau agregasi
Carbamasepine 100-1000
Valproic acid 1000-2000
Lain-Lain
Buspirone 10-45 Perubahan tingkah laku
Oxazepam 10-60 Perubahan tingkah laku
Selegiline 10 Perubahan tingkah laku, agitasi,
anxietas, depresi.
o Antipsikositik
Antipsikositik merupakan pengobatan secara tradisional, biasanya digunakan
untuk mengatasi gangguan prilaku pada pasien Alzheimer. Gejalanya
meliputi: halusinasi, agitasi, delusi, dll. Efek maksimal pada pengobatan
Alzheimer pada kondisi sedang dapat dilakukan dengan pemberian placebo,
hal ini diperoleh berdasarkan penelitian.
a. Risperidone
Berdasarkan penelitian Risperidone (Risperdal) dapat digunakan dalam
praktek atau pengobatan untuk gejala psikotik atau perubahan prilaku
sosial dengan adanya dermentia. Dosis awal yang direkomendasikan yaitu
0,25 mg perhari, dan dosis ini dapat ditingkatkan hingga 1 mg perhari.
Jika respon yang diberikan masih belum cukup untuk mengatasi gejala
penyakit yang ada, maka dosis dapat ditingkatkan hingga 2mg perhari.
Namun hal ini harus dipertimbangkan pada kemampuan pasien untuk
mentoleransi dosis yang diberikan.

b. Olanzapine
Olanzapine (Zyprexa) dapat digunakan dalam pengontrolan terapi yang
diberikan. Selain itu sediaan ini juga memiliki aktivitas sebagai
antikolinergik.

c. Quetiapine
Quetiapine (Serequel) sediaan ini hanya dapat dievaluasi dengan
dilakukannya suatu penelitian. Sediaan ini biasanya diberikan pada pasien
yang tidak ditoleransi dengan penggunaan risperidone dan olanzapine.

o Antidepresan
Pada umumnya depresi dan dermentia memberikan banyak gejala-gejala pada
banyak pasien, dan untuk mendiagnosis suatu pasien menderita depresi sangat
sulit dilakukan. Gejala depresi diketahui atau dapat didokumentasikan setelah
pasien menunjukkan gejala akut dan pemberian terapi awal dapat dilakukan
dengan penggunan sediaan antidepresan, apabila terapi nonspesifik yang
diberikan tidak menunjukkan respon yang berarti maka sebaiknya pasien
rujuk kembali kedokter. Sediaan serotonin inhibitor yang selektif seperti
fluoxetine, paroxetine, atau sertraline, juga memiliki kemampuan yang baik
sebagai antidepresan. Pilihan terapi pertama meliputi serotonin atau
norepineprin inhibitor, seperti venlafaxine, atau derivat triazolopiridine
(tardozone atau nefazodone). Tradozone memiliki efek sedative yang lebih
tinggi dibandingkan dengan sediaan triazolopiridine, dan berdasarkan
penelitian sediaan memiliki kemampuan dalam penurunan gejala onsomnia,
agitasi, dan disphoria.

o Terapi miscelaneous
a. Citalopram
Citalopram termasuk dalam sediaan SSRI yang berkhasiat sebagai
antipsikositik dan lebih efektif dibandingkan sediaan plasebo untuk
psikosis dan perubahan prilaku dari dermnsia.

b. Carbamasepine
Carbamasepine diketahui memiliki kemampuan yang signifikan dalam
memperbaiki atau membentu memperbaiki gejala-gejal psikiatrik setelah
pemberian plasebo pada salah satu pengontrolan ditoleransi dengan baik.

c. Oxazepam
Oxazepan dan sediaan benzodiasepin yang lain diketahui memiliki
kemampuan untuk mengobati gejala anxietas, agitasi, dan agregasi, tetapi
secara umum penggunaannya harus dikombinasi dengan sediaan
antipsikotik yang lain untuk memperoleh hasil yang maksimal.

d. Buspirone
Sediaan ini memiliki kemampuan dalam mengobati agitasi dan agregasi.
Pada penelitian sediaan ini menunjukkan efek samping yang rendah.
e. Selegiline
Sediaan ini memiliki kemampuan dalam menurunkan keadaan anxietas,
depresi, dan agitasi.

X. Evaluasi Terapi
 Untuk dapat melakukan tindakan evaluasi dari terapi yang diberikan kepada
pasien dengan penyakit alzheimer ini, maka dibutuhkan komunikasi yang baik
antara pasien dengan perawat yang menjaga dan membantu keseharian dari
pasien tersebut.
 Penilaian untuk objektif dari pasien, meliputi MMSE dari kognitif dan
aktivitas fungsional dari aktivitas sehari-hari, hal ini digunakan untuk
menentukan keadaan dari pasien tersebut.
 Karena gejala target dari gangguan psikiatrik menunjukkan perbedaan bagi
masing-masing pasien, maka untuk menentukan lebih jelas gejala yang ada,
diperlukan suatu dokumentasi untuk pertolongan dalam monitoring terapi.

XI. KIE

Anda mungkin juga menyukai