Anda di halaman 1dari 218

FISIOTERAPI PADA ALZHEIMER

Sri Parwati
Nida Farhani
Risha Aulia Putri Azhari
Fahmi Nurqolbi
Moh. Rendy Herdiansyah
DEFINISI

Penyakit Alzheimer adalah penyakit degeneratif


yang ditandai dengan penurunan memori,
bahasa, pemecahan masalah dan keterampilan
kognitif lainnya yang mempengaruhi
kemampuan seseorang untuk melakukan
kegiatan sehari-hari.
KATEGORI

Predementia: Pada Alzheimer tingkat ini terjadi gangguan kognitif


ringan, defisit memori, serta apatis, apatis.

Demensia onset awal: Pada Alzheimer tingkat ini terjadi gangguan bahasa, kosakata,
bahasa oral & tulisan, gangguan persepsi, gangguan gerakan, terlihat bodoh, kurang
inisiatif untuk melakukan aktivitas.

Dementia moderat: Pada Alzheimer tingkat ini terjadi deteriorasi progresif, tidak mampu
membaca & menulis, gangguan long-term memory, subtitusi penggunaan kata (parafasia),
misidentifikasi, labil, mudah marah, delusi, Inkontinen system urinaria.

Dementia tahap lanjut (advanced): Pada Alzheimer tingkat ini terjadi tidak dapat
mengurus diri secara mandiri, kehilangan kemampuan verbal total, agresif, apatis ekstrim,
deteriorasi massa otot & mobilitas, kehilangan kemampuan untuk makan.
ETIOLOGI

Usia
Kebanyakan orang dengan penyakit Alzheimer didiagnosis pada usia 65 tahun atau
lebih tua.

Riwayat Keluarga
Faktor keturunan (genetika), bersama faktor lingkungan dan gaya hidup, atau keduanya dapat
menjadi penyebabnya.

Pendidikan atau Pekerjaan


Beberapa ilmuwan percaya faktor lain dapat berkontribusi atau menjelaskan peningkatan
risiko demensia di antara mereka dengan pendidikan yang rendah. Hal ini cenderung
memiliki pekerjaan yang kurang melatih rangsangan otak.
Traumatic Brain Injury (TBI)
Cedera Otak adalah gangguan fungsi otak yang normal yang
disebabkan oleh pukulan atau tersentak ke kepala atau
penetrasi tengkorak oleh benda asing, juga dapat didefinisikan
sebagai cedera kepala yang mengakibatkan hilangnya
kesadaran.
GEJALA

• Hilangnya ingatan yang mengganggu kehidupan sehari-hari. Sulit dalam memecahkan masalah
sederhana.
• Kesulitan menyelesaikan tugas-tugas yang akrab di rumah, di tempat kerja atau di waktu luang.
• Kebingungan dengan waktu atau tempat.
• Masalah pemahaman gambar visual dan hubungan spasial.
• Masalah baru dengan kata-kata dalam berbicara atau menulis.
• Lupa tempat menyimpan hal-hal dan kehilangan kemampuan untuk menelusuri kembali langkah-
langkah.
• Penurunan atau penilaian buruk.
• Penarikan dari pekerjaan atau kegiatan sosial.
• Perubahan suasana hati dan kepribadian, termasuk apatis dan depresi.
PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI
PADA ALZHEIMER

Anamnesis
Anamnesis merupakan tahap awal dari rangkaian pemeriksaan
pemeriksaan pasien, pemeriksaan secara langsung kepada pasien ataupun
bersama dengan keluarga atau dengan relasi terdekat. Tujuan anamnesis
adalah untuk mendapatkan informasi dan riwayat hidup secara
menyeluruh dari dari pasien yang bersangkutan.
• Identitas pasien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku
bangsa, tanggal dan jam rehabilitasi, nomor register dan diagnosis medis.
• Keluhan utama
Penurunan daya ingat, perubahan emosi menjadi sebuah keluhan utama dari
pasien ataupun keluarga untuk diberikan sebuah pelayanan kesehatan
• Riwayat penyakit sekarang
Pada tahap ini, pasien mengeluhkan sering lupa dan hilang ingatan dengan hal
yang baru saja terjadi. Keluarga mengeluhkan perubahan emosi dan tingkah
laku pada pasien saat berada disekitarnya. Hingga pada akhirnya perlu
bantuan keluarga untuk melakukan aktifitas keseharian pasien
• Riwayat penyakit terdahulu
Pengkajian seperti riwayat kesehatan pasien. Seperti penggunaan obat-
obatan, penyakit jantung, hipertensi.
• Riwayat penyakit keluarga
Salah satu penyebab juga terdapat dari faktor genetika. Penyakit tersebut
dapat diwariskan atau diturunkan pada anggota keluarga dari pasien yang
mengidap Alzheimer. Pengkajian kesehatan generasi terdahulu dari
keluarga diperlukan untuk melihat komplikasi penyakit dan hal yang
mempercepat gerak dari penyakit tersebut.
• Pengkajian psikososiospiritual
Pengkajian untuk menilai nilai emosi, dan perubahan perilaku pasien dalam
kehidupan sehari-hari dan perubahan peran pasien dikeluarga serta respon
ataupun pengaruhnya didalam keluarga.
PENGERTIAN ALZHEIMER

Demensia merupakan hilangnya ingatan yang bisa timbul bersama dengan gejala gangguan
perilaku maupun psikologis pada seseorang (Ikawati, 2009). Gambaran paling awal berupa
hilangnya ingatan mengenai peristiwa yang baru berlangsung. Terganggunya intelektual seseorang
dengan Demensia secara signifikan mempengaruhi aktivitas normal dan hubungan. Mereka juga
kehilangan kemampuan untuk mengontrol emosi dan memecahkan sebuah masalah, sehingga
bukan tidak mungkin mereka mengalami perubahan kepribadian dan tingkah laku.

Penyebab pertama penderita demensia adalah penyakit alzheimer (50- 60%) dan kedua oleh
cerebrovaskuler (20%) (Japardi, 2002). Penyakit Alzheimer adalah penyakit degeneratif otak dan
penyebab paling umum dari demensia. Hal ini ditandai dengan penurunan memori, bahasa,
pemecahan masalah dan keterampilan kognitif lainnya yang mempengaruhi kemampuan
seseorang untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Penurunan ini terjadi karena sel-sel saraf
(neuron) di bagian otak yang terlibat dalam fungsi kognitif telah rusak dan tidak lagi berfungsi
normal.

Pada penyakit Alzheimer, kerusakan saraf akhirnya mempengaruhi bagian otak yang
memungkinkan seseorang untuk melaksanakan fungsi tubuh dasar seperti berjalan dan menelan
(Alzheimer’s Association, 2015). Pada akhirnya penderita dapat mengalami kematian setelah
beberapa tahun karena kemampuan motoriknya sudah tidak berfungsi.

KARAKTERISTIK ALZHEIMER

Penyakit Alzheimer merupakan sebagian besar penyebab umum demensia, menyumbang sekitar
60 persen sampai 80 persen kasus. Kesulitan mengingat percakapan terakhir, nama atau peristiwa
sering kali merupakan gejala klinis awal, apatis dan depresi juga gejala sering yang terjadi diawal.
Termasuk gangguan komunikasi, disorientasi, kebingungan, penilaian buruk, perubahan perilaku,
pada akhirnya kesulitan berbicara, menelan dan berjalan. (Alzheimer’s Association, 2015)

KATEGORI ALZHEIMER

Kategori Alzheimer dapat dibagi menjadi: (Alzheimer’s Association, 2015)

1. Predementia:
Pada Alzheimer tingkat ini terjadi gangguan kognitif ringan, defisit memori, serta
apatis, apatis.
2. Demensia onset awal
Pada Alzheimer tingkat ini terjadi gangguan bahasa, kosakata, bahasa oral &
tulisan, gangguan persepsi, gangguan gerakan, terlihat bodoh, kurang inisiatif untuk
melakukan aktivitas.
3. Dementia moderat
Pada Alzheimer tingkat ini terjadi deteriorasi progresif, tidak mampu membaca &
menulis, gangguan long-term memory, subtitusi penggunaan kata (parafasia),
misidentifikasi, labil, mudah marah, delusi, Inkontinen system urinaria.
4. Dementia tahap lanjut (advanced)
Pada Alzheimer tingkat ini terjadi tidak dapat mengurus diri secara mandiri,
kehilangan kemampuan verbal total, agresif, apatis ekstrim, deteriorasi massa otot &
mobilitas, kehilangan kemampuan untuk makan.

PENYEBAB ALZHEIMER

Alzheimer merupakan manifestasi penyakit seperti dementia yang berangsur-angsur dapat


memburuk hingga menyebabkan kematian. Alzheimer diduga terjadi karena penumpukan protein
beta-amyloid yang menyebabkan plak pada jaringan otak. Secara normal, beta-amyloid tidak akan
membentuk plak yang dapat menyebabkan gangguan sistem kerja saraf pada otak. Namun, karena
terjadi misfolding protein, plak dapat menstimulasi kematian sel saraf.

Para ahli percaya bahwa Alzheimer, seperti penyakit kronis umum lainnya, berkembang sebagai
akibat dari beberapa faktor. Penyebab ataupun faktor yang menyebabkan seseorang menderita
penyakit Alzheimer antara lain sebagai berikut:

a. Usia

Faktor risiko terbesar untuk penyakit Alzheimer adalah usia. Kebanyakan orang dengan penyakit
Alzheimer didiagnosis pada usia 65 tahun atau lebih tua. Orang muda kurang dari 65 tahun juga
dapat terkena penyakit ini, meskipun hal ini jauh lebih jarang. Sementara usia adalah faktor risiko
terbesar.

b. Riwayat Keluarga

Riwayat keluarga dengan keluarga yang memiliki orangtua, saudara atau saudari dengan
Alzheimer lebih mungkin untuk mengembangkan penyakit daripada mereka yang tidak memiliki
kerabat dengan Alzheimer's. Faktor keturunan (genetika), bersama faktor lingkungan dan gaya
hidup, atau keduanya dapat menjadi penyebabnya.

c. Pendidikan atau Pekerjaan

Beberapa ilmuwan percaya faktor lain dapat berkontribusi atau menjelaskan peningkatan risiko
demensia di antara mereka dengan pendidikan yang rendah. Hal ini cenderung memiliki pekerjaan
yang kurang melatih rangsangan otak. Selain itu, pencapaian pendidikan yang lebih rendah dapat
mencerminkan status sosial ekonomi rendah, yang dapat meningkatkan kemungkinan seseorang
mengalami gizi buruk dan mengurangi kemampuan seseorang untuk membayar biaya perawatan
kesehatan atau mendapatkan perawatan yang disarankan.
d. Traumatic Brain Injury (TBI)

Trauma Cedera Otak sedang dan berat meningkatkan risiko perkembangan penyakit Alzheimer.
Trauma Cedera Otak adalah gangguan fungsi otak yang normal yang disebabkan oleh pukulan
atau tersentak ke kepala atau penetrasi tengkorak oleh benda asing, juga dapat didefinisikan
sebagai cedera kepala yang mengakibatkan hilangnya kesadaran. Trauma Cedera Otak dikaitkan
dengan dua kali risiko mengembangkan Alzheimer dan demensia lainnya dibandingkan dengan
tidak ada cedera kepala.

GEJALA ALZHEIMER

Gejala penyakit Alzheimer bervariasi antara individu. Gejala awal yang paling umum adalah
kemampuan mengingat informasi baru secara bertahap memburuk. Berikut ini adalah gejala
umum dari Alzheimer: (Alzheimer’s Association, 2015)

a. Hilangnya ingatan yang mengganggu kehidupan sehari-hari. Sulit dalam memecahkan


masalah sederhana.
b. Kesulitan menyelesaikan tugas-tugas yang akrab di rumah, di tempat kerja atau di waktu
luang.
c. Kebingungan dengan waktu atau tempat.
d. Masalah pemahaman gambar visual dan hubungan spasial.
e. Masalah baru dengan kata-kata dalam berbicara atau menulis.
f. Lupa tempat menyimpan hal-hal dan kehilangan kemampuan untuk menelusuri kembali
langkah-langkah.
g. Penurunan atau penilaian buruk.
h. Penarikan dari pekerjaan atau kegiatan sosial.
i. Perubahan suasana hati dan kepribadian, termasuk apatis dan depresi.

Selama tahap akhir penyakit, pasien mulai kehilangan kemampuan untuk mengontrol fungsi
motorik seperti menelan, atau kehilangan kontrol usus dan kandung kemih. Mereka akhirnya
kehilangan kemampuan untuk mengenali anggota keluarga dan untuk berbicara. Sebagai penyakit
berlangsung itu mulai mempengaruhi emosi dan perilaku seseorang dan mereka mengembangkan
gejala seperti agresi, agitasi, depresi, sulit tidur.

LANGKAH PEMERIKSAAN ALZHEIMER

Berikut ini merupakan langkah ataupun tahap pemeriksaan yang dilakukan bagi penderita
Alzheimer, meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

1. Anamnesis

Anamnesis merupakan tahap awal dari rangkaian pemeriksaan pemeriksaan pasien, pemeriksaan
secara langsung kepada pasien ataupun bersama dengan keluarga atau dengan relasi terdekat.
Tujuan anamnesis adalah untuk mendapatkan informasi dan riwayat hidup secara menyeluruh dari
dari pasien yang bersangkutan.
Hal- hal yang bersangkutan dengan anamnesis yaitu

1. Identitas pasien

Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa,
tanggal dan jam rehabilitasi, nomor register dan diagnosis medis.

2. Keluhan utama

Penurunan daya ingat, perubahan emosi menjadi sebuah keluhan utama dari pasien ataupun
keluarga untuk diberikan sebuah pelayanan kesehatan

3. Riwayat penyakit sekarang

Pada tahap ini, pasien mengeluhkan sering lupa dan hilang ingatan dengan hal yang baru
saja terjadi. Keluarga mengeluhkan perubahan emosi dan tingkah laku pada pasien saat
berada disekitarnya. Hingga pada akhirnya perlu bantuan keluarga untuk melakukan
aktifitas keseharian pasien

4. Riwayat penyakit terdahulu

Pengkajian seperti riwayat kesehatan pasien. Seperti penggunaan obat-obatan, penyakit jantung,
hipertensi.

5. Riwayat penyakit keluarga

Salah satu penyebab juga terdapat dari faktor genetika. Penyakit tersebut dapat diwariskan
atau diturunkan pada anggota keluarga dari pasien yang mengidap Alzheimer. Pengkajian
kesehatan generasi terdahulu dari keluarga diperlukan untuk melihat komplikasi penyakit
dan hal yang mempercepat gerak dari penyakit tersebut.

6. Pengkajian psikososiospiritual

Pengkajian untuk menilai nilai emosi, dan perubahan perilaku pasien dalam kehidupan
sehari-hari dan perubahan peran pasien dikeluarga serta respon ataupun pengaruhnya
didalam keluarga.

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan yang meliputi berat badan dan tinggi badan. Selain itu pemerikasaan juga dilakukan
pada: suhu, denyut nadi, tekanan darah, tingkat kesadaran.

3. Pemeriksaan Kognitif dan neuropsikiatrik


Pemeriksaan yang sering digunakan untuk evaluasi dan konfirmasi penurunan fungsi kognitif
adalah the mini mental status examination (MMSE),yang dapat pula digunakan untuk memantau
perjalanan penyakit.

4. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang juga direkomendasikan adalah CT/MRI kepala, yang mana
pemeriksaan tersebut dapat sebagai pendukung lebih jelasnya pemeriksaan pada pasien.

(Alzheimer’s Association, 2015)


Fisioterapi pada
Parkinson Disease
Anggie Aghata Ciciliana
David Imanuel
Deni Dwi Yulianti
Fatimah Zahra Nur L.
Grace Yohana
Definisi

• Pertama kali ditemukan oleh seorang dokter


Inggris yang bernama James Parkinson.
• Penyakit Parkinson adalah penyakit
neurodegeneratif yang bersifat kronis progresif,
penyakit ini memiliki dimensi gejala yang sangat
luas sehingga baik langsung maupun tidak
langsung mempengaruhi kualitas hidup
penderita maupun keluarga.
Patofisiologi
• Penyakit Parkinson terjadi karena penurunan kadar dopamin yang masif
akibat kematian neuron di substansia nigra pars kompakta.
• Respon motorik yang abnormal disebabkan oleh karena penurunan yang
sifatnya progesif dari neurotransmiter dopamin. Kerusakan progresif lebih
dari 60% pada neuron dopaminergik substansia nigra merupakan faktor dasar
munculnya penyakit Parkinson.
• Untuk mengkompensasi berkurangnya kadar dopamin maka nukleus
subtalamikus akan overstimulasi terhadap globus palidus internus (GPi).
Kemudian GPi akan menyebabkan inhibisi yang berlebihan terhadap
thalamus. Kedua hal tersebut diatas menyebabkan under-stimulation korteks
motorik.
Etiologi
Etiologi penyakit Parkinson saat ini masih
belum diketahui, namun belakangan diyakini
bahwa penyakit Parkinson dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu faktor lingkungan dan
faktor genetik. Faktor lingkungan tersebut
termasuk usia, jenis kelamin, penggunaan
NSAID, trauma kepala, gangguan kecemasan,
paparan timbal, besi, tembaga, paparan
pestisida, hal-hal tersebut dapat menjadi
faktor resiko penting bagi penyakit Parkinson.
Manifestasi Klinis
1 Tremor 6 Disfungsi otonom
2 Rigiditas
7 Demensia
3 Bradikinesia 8 Depresi
4 Hilangnya refleks postural
9 Wajah kurang ekspresi
5 Parkinson
Gaya berjalan

10 Bicara monoton
Faktor Risiko
1 Usia
Gejala penyakit Parkinson sekitar
5-10% pada awalnya muncul
sebelum usia 40 tahun, akan
tetapi rata-rata menyerang
3 Jenis Kelamin
Prevalensi penderita Parkinson
penderita dengan usia 65 tahun, antara laki-laki dan perempuan

2 Trauma Kepala
didapatkan 3:2 ,

Trauma kepala yang berat dan


berulang dapat meningkatkan resiko
kerusakan pada sel-sel neuron atau
kerusakan pada bagian subtantia
4 Onset
Late onset : setelah usia 50 th
nigra yang menghasilkan dopamin early onset : gejala dimulai
sebelum 50 th
Pemeriksaan Fisioterapi pada
Penyakit Parkinson
1. Anamnesis
2. Observasi
3. Hipotesis
4. Pemeriksaan Fisik
5. Diagnosis Fisioterapi
6. Perencanaan Intervensi
7. Evaluasi
8. Dokumentasi
Pemeriksaan Khusus
1. Time up and go test (TUGT)
Bertujuan untuk menilai status fungsional seperti mobilitas,
keseimbangan, kemampuan berjalan, dan risiko jatuh pada lanjut
usia.
2. Functional Reach Test
Pengukuran keseimbangan dengan mengukur jarak maksimal
seseorang dapat mencapai maju melampaui lengan panjang sambil
mempertahankan kaki dalam posisi berdiri.
Pemeriksaan Khusus
3. Berg balance scale
Dikembangkan untuk mengukur keseimbangan dan kemampuan
para lansia dengan gangguan fungsi 21 keseimbangan secara
objektif melalui penilaian kinerja dari aktivitas fungsional (seperti
duduk, berdiri, berpindah tempat).

4. MMSE
Mini mental State Examination atau MMSE adalah sebuah tes yang
digunakan untuk mengukur gangguan kognitif pada orang dewasa
yang lebih tua.
Pemeriksaan Khusus
5. Finger to Nose Test
Dismetria berarti hilangnya kemampuan untuk memulai atau
menghentikan suatu gerak motorik halus. Untuk menguji adanya
suatu dismetria salah satunya dengan dilakukan finger to nose test.

6. Pemeriksaan Bradikinesia
Bradikinesia adalah penurunan progresif kecepatan dan amplitude
gerakan pada aktivitas repetitif. Bradikinesia tidak sekedar
kelambatan gerakan. Pemeriksaan ini bisa dilakukan dengan
gerakan mengulang-ulang seperti fist open close dan finger tapping.
Intervensi Fisioterapi pada
Penyakit Parkinson

Strengthening Exercise
Latihan penguatan merupakan bentuk dari latihan aktif dimana suatu kontraksi
dinamik maupun statis melawan suatu tenaga/kekuatan dari luar. Tujuan dari
strengthening exercise yaitu; meningkatkan kekuatan otot, meningkatkan
ketahanan otot (endurance), dan meningkatkan tenaga (power).
Intervensi Fisioterapi pada
Penyakit Parkinson

Balance Exercise
Latihan keseimbangan dapat dilakukan dengan posisi berdiri dengan lebar
tumpuan 10 cm, diberikan fiksasi pada pelvis pasien, lalu fisioterapis
memindahkan tumpuan atau menggerakkan ke depan, belakang, samping kanan
dan samping kiri dan pasien diminta agar menjaga keseimbangan agar tidak
jatuh.
Intervensi Fisioterapi pada
Penyakit Parkinson

Frenkel Exercise
Merupakan suatu bentuk latihan gerak untuk perbaikan koordinasi dengan
menggunakan indra yang lain (visual, pendengaran, reseptor). Program ini terdiri
seri latihan yang sudah terencana yang didesain untuk membantu
mengkompensasi ketidakmampuan dari lengan dan tungkai untuk melakukan
gerakan yang terkoordinasi.
Gerakan dalam Frenkel's exercise antara lain :
• Finemotor, Gerakan halus yang memerlukan keterampilan dan
koordinasi visual yang prima serta melibatkan extremitas
superior
• Gross motor, gerakan kasar yang melibatkan aktivitas tungkai
atau extremitas inferior.
Frenkel exercise dapat dilakukan pada posisi berbaring, duduk,
berdiri, hingga berjalan.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit Parkinson adalah salah satu gangguan neurodegeneratif terbanyak yang

diderita manusia. Penyakit Parkinson secara patologis ditandai oleh degenerasi sel-sel

saraf dalam otak yang disebut ganglia basalis, hilangnya pigmentasi di substansia nigra,

adanya inklusi sitoplasmik yang disebut Lewy bodies, serta penurunan dopamin di

substansia nigra pars kompakta (SNC) dan korpus striatum.

Penyakit Parkinson menyerang jutaan penduduk di dunia atau sekitar 1% dari total

populasi dunia. Penyakit tersebut menyerang penduduk dari berbagai etnis dan status

sosial ekonomi. Prevalensi penyakit parkinson di Indonesia adalah 876.665 penduduk

dengan total kasus kematian akibat penyakit Parkinson di Indonesia menempati peringkat

ke-12 di dunia atau peringkat ke-5 di Asia dengan prevalensi mencapai 1100 kematian

pada tahun 2002.

Penyakit Parkinson menyebabkan penderitanya mengalami beberapa gejala antara lain

gangguan kognitif dan tingkah laku, demensia, penurunan daya ingat, kelemahan otot,

katalepsi (gerakan jadi lambat dan kaku) dan tremor. Penderita penyakit Parkinson juga

akan mengalami tremor, yaitu suatu gerakan gemetar yang berirama dan tidak terkendali

yang terjadi karena otot berkontraksi dan berelaksasi secara berulang.

Pengobatan penyakit parkinson saat ini umumnya bertujuan untuk mengurangi gejala

motorik maupun non motorik seperti depresi dan penurunan kognitif dan memperlambat

progresivitas penyakit.

1
Peran utama fisioterapis sebagai bagian dari tim multidisiplin adalah untuk

memaksimalkan kemampuan fungsional pasien sambil meminimalkan komplikasi

sekunder yang ditimbulkan melalui gerakan.

Fisioterapi sebagai pilihan treatment untuk parkinson berfokus pada transfer

(berpindah tempat), perbaikan postur dan fungsi ekstremitas atas maupun bawah,

keseimbangan dan kapasitas fisik serta aktivitas. Fisioterapis juga dapat menggunakan

latihan kognitif dan strategi, termasuk berolahraga untuk mempertahankan atau

meningkatkan tingkat kemandirian pasien dan kualitas hidup secara keseluruhan.

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Penyakit Parkinson

1. Definisi

Penyakit Parkinson adalah penyakit neurodegeneratif yang bersifat kronis

progresif, merupakan penyakit terbanyak kedua setelah demensia alzheimer

penyakit ini memiliki dimensi gejala yang sangat luas sehingga baik langsung

maupun tidak langsung mempengaruhi kualitas hidup penderita maupun keluarga,

pertama kali ditemukan oleh seorang dokter Inggris yang bernama James

Parkinson, penyakit ini merupakan suatu kondisi ketika seseorang mengalami

ganguan pergerakan .

Angka prevalensi parkinson di Indonesia belum dapat diketahui secara pasti.

Akan tetapi mengingat umur harapan hidup makin lama dan makin tinggi yaitu

dari tahun 1990-2025, maka Indonesia akan mengalami kenaikan jumlah

penduduk usia lanjut sebesar 41,4%. Maka dapat diperkirakan sekitar tahun 2015

– 2020 angka harapan hidup orang Indonesia selama hidupnya mencapai 70 tahun

lebih. Penyakit parkinson diperkirakan menyerang 876.665 orang Indonesia dari

total jumlah penduduk sebesar 238.452.952. Total kasus kematian akibat penyakit

parkinson di Indonesia menempati peringkat ke-12 di dunia atau peringkat ke-5 di

Asia dengan prevalensi mencapai 1100 kematian pada tahun 2002.

2. Patofisiologi

Penyakit Parkinson terjadi karena penurunan kadar dopamin yang masif akibat

kematian neuron di substansia nigra pars kompakta. Respon motorik yang

abnormal disebabkan oleh karena penurunan yang sifatnya progesif dari

neurotransmiter dopamin. Kerusakan progresif lebih dari 60% pada neuron

3
dopaminergik substansia nigra merupakan 8 faktor dasar munculnya penyakit

Parkinson. Untuk mengkompensasi berkurangnya kadar dopamin maka nukleus

subtalamikus akan overstimulasi terhadap globus palidus internus (GPi).

Kemudian GPi akan menyebabkan inhibisi yang berlebihan terhadap thalamus.

Kedua hal tersebut diatas menyebabkan under-stimulation korteks motorik.

3. Etiologi

Etiologi penyakit Parkinson saat ini masih belum diketahui, namun

belakangan diyakini bahwa penyakit Parkinson dipengaruhi oleh beberapa faktor,

yaitu faktor lingkungan dan faktor genetik. Faktor lingkungan tersebut termasuk

usia, jenis kelamin, penggunaan NSAID, trauma kepala, gangguan kecemasan,

paparan timbal, besi, tembaga, paparan pestisida, hal-hal tersebut dapat menjadi

faktor resiko penting bagi penyakit Parkinson.

4. Manifestasi Klinis

Keadaan penderita pada umumnya diawali oleh gejala yang non spesifik, yang

didapat dari anamnesis yaitu kelemahan umum, kekakuan pada otot, pegal-pegal

atau kram otot, distonia fokal, gangguan keterampilan, kegelisahan, gejala

sensorik (parestesia), dan gejala psikiatrik (ansietas atau depresi). Gambaran klinis

penderita Parkinson sebagai berikut :

a. Tremor

Biasanya merupakan gejala pertama pada penyakit Parkinson dan bermula

pada satu tangan kemudian meluas pada tungkai sisi yang sama. Kemudian

sisi yang lain juga akan turut terkena. Kepala, bibir dan lidah sering tidak

terlihat, kecuali pada stadium lanjut. Frekuensi tremor berkisar antara 4-7

gerakan per detik dan terutama timbul pada keadaan istirahat dan berkurang

4
bila ekstremitas digerakan. Tremor akan bertambah pada keadaan emosi dan

hilang pada waktu tidur.

b. Rigiditas

Pada permulaan rigiditas terbatas pada satu ekstremitas atas dan hanya

terdeteksi pada gerakan pasif. Pada stadium lanjut, rigiditas menjadi

menyeluruh dan lebih berat dan memberikan tahanan jika persendian

digerakan secara pasif. Rigiditas timbul sebagai reaksi terhadap regangan pada

otot agonis dan antagonis. Salah satu gejala dini akibat rigiditas ialah hilang

gerak asosiatif lengan bila berjalan. Rigiditas disebabkan oleh meningkatnya

aktivitas motor neuron alfa.

c. Bradikinesia

Gerakan volunter menjadi lambat dan memulai suatu gerakan menjadi sulit.

Ekspresi muka atau gerakan mimik wajah berkurang (muka topeng). Gerakan-

gerakan otomatis yang terjadi tanpa disadari waktu duduk juga menjadi sangat

kurang. Bicara menjadi lambat dan monoton dan volume suara berkurang

(hipofonia).

d. Hilangnya refleks postural

Meskipun sebagian peneliti memasukan sebagai gejala utama, namun pada

awal stadium penyakit Parkinson gejala ini belum ada. Hanya 37% penderita

penyakit Parkinson yang sudah berlangsung selama 5 tahun mengalami gejala

ini. Keadaan ini disebabkan kegagalan integrasi dari saraf propioseptif dan

labirin dan sebagian kecil impuls dari mata, pada level talamus dan ganglia

basalis yang akan mengganggu kewaspadaan posisi tubuh. Keadaan ini

mengakibatkan penderita mudah jatuh.

5
e. Wajah Parkinson

Seperti telah diutarakan, bradikinesia mengakibatkan kurangnya ekspresi

muka serta mimik. Muka menjadi seperti topeng, kedipan mata berkurang,

disamping itu kulit muka seperti berminyak dan ludah sering keluar dari mulut.

f. Sikap Parkinson

Bradikinesia menyebabkan langkah menjadi kecil, yang khas pada penyakit

Parkinson. Pada stadium yang lebih lanjut sikap penderita dalam posisi kepala

difleksikan ke dada, bahu membongkok ke depan, punggung melengkung

kedepan, dan lengan tidak melenggang bila berjalan.

g. Bicara

Rigiditas dan bradikinesia otot pernafasan, pita suara, otot faring, lidah dan

bibir mengakibatkan berbicara atau pengucapan kata-kata yang monoton

dengan volume yang kecil dan khas pada penyakit Parkinson. Pada beberapa

kasus suara berkurang sampai berbentuk suara bisikan yang lamban.

h. Disfungsi otonom

Disfungsi otonom pada pasien penyakit Parkinson memperlihatkan beberapa

gejala seperti disfungsi kardiovaskular (hipotensi ortostatik, aritmia jantung),

gastrointestinal (gangguan dismotilitas lambung, gangguan pencernaan,

sembelit dan regurgitasi), saluran kemih (frekuensi, urgensi atau

inkontinensia), seksual (impotensi atau hypersexual drive), termoregulator

(berkeringat berlebihan atau intoleransi panas atau dingin). Prevalensi

disfungsi otonom ini berkisar 14-18%. Patofisiologi disfungsi otonom pada

penyakit Parkinson diakui akibat degenerasi dan disfungsi nukleus yang

mengatur fungsi otonom, seperti nukleus vagus dorsal, nukleus ambigus dan

6
pusat medullary lainnya seperti medulla ventrolateral, rostral medulla, medulla

ventromedial dan nukleus rafe kaudal.

i. Demensia

Demensia adalah suatu sindroma penurunan kemampuan intelektual progresif

yang menyebabkan deteriorasi kognisi dan fungsional, sehingga

mengakibatkan gangguan fungsi sosial, pekerjaan dan aktifitas sehari-hari.

Kelainan ini berkembang sebagai konsekuensi patologi penyakit Parkinson

disebut kompleks Parkinsonism demensia. Demensia pada penyakit Parkinson

mungkin baru akan terlihat pada stadium lanjut, namun pasien penyakit

Parkinson telah memperlihatkan perlambatan fungsi kognitif dan gangguan

fungsi eksekutif pada stadium awal. Gangguan fungsi kognitif pada penyakit

Parkinson yang meliputi gangguan bahasa, fungsi visuospasial, memori jangka

panjang dan fungsi eksekutif ditemukan lebih berat dibandingkan dengan

proses penuaan normal. Persentase gangguan kognitif diperkirakan 20%.

j. Depresi

Sekitar 40% penderita penyakit Parkinson terdapat gejala depresi. Hal ini

dapat disebabkan kondisi fisik penderita yang mengakibatkan keadaan yang

menyedihkan seperti kehilangan pekerjaan, kehilangan harga diri dan merasa

dikucilkan. Hal ini disebabkan keadaan depresi yang sifatnya endogen. Secara

anatomi keadaan ini dapat dijelaskan bahwa pada penderita Parkinson terjadi

degenerasi neuron dopaminergik dan juga terjadi degenerasi neuron

norepineprin yang letaknya tepat dibawah substansia nigra dan degenerasi

neuron asetilkolin yang letaknya diatas substansia nigra.

7
5. Faktor Risiko

a) Usia

Gejala penyakit Parkinson sekitar 5-10% pada awalnya muncul sebelum usia

40 tahun, akan tetapi rata-rata menyerang penderita dengan usia 65 tahun,

sehingga usia merupakan salah satu faktor resiko penting terserang penyakit

Parkinson.

b) Onset

Secara umum, penyakit Parkinson yang dialami setelah usia 50 disebut

penyakit late onset. Disebut penyakit early onset jika tanda dan gejala dimulai

sebelum usia 50 tahun. Kasus early onset yang dimulai sebelum usia 20

kadang-kadang disebut penyakit parkinson juvenile. Bentuk late-onset adalah

jenis penyakit Parkinson yang paling umum, dan risiko berkembangnya

kondisi ini meningkat seiring bertambahnya usia. Karena meningkatnya usia

harapan hidup, jumlah orang dengan penyakit ini diperkirakan akan meningkat

dalam beberapa dekade mendatang.

c) Jenis Kelamin

Dalam beberapa kasus dan berdasarkan beberapa penelitian, prevalensi

penderita Parkinson antara laki-laki dan perempuan didapatkan rasio 3:2,

sehingga jenis kelamin juga dapat menjadi salah satu faktor predisposisi

penyakit Parkinson.

d) Trauma Kepala

Trauma kepala yang berat dan berulang dapat meningkatkan resiko kerusakan

pada sel-sel neuron atau kerusakan pada bagian subtantia nigra yang

menghasilkan dopamin. Sehingga banyak penelitian yang berpendapat bahwa

trauma kepala menjadi salah satu faktor resiko terserang penyakit Parkinson.

8
B. Pemeriksaan Fisioterapi pada Penyakit Parkinson

1. Berg Balance Scale

Berg balance scale dikembangkan untuk mengukur keseimbangan dan

kemampuan para lansia dengan gangguan fungsi 21 keseimbangan secara objektif

melalui penilaian kinerja dari aktivitas fungsional (seperti duduk, berdiri, berpindah

tempat) untuk keseimbangan yang lebih aman selama melakukan serangkaian

kegiatan keseharian. Berg balance scaleterdiri dari 14 perintah dengan setiap item

terdiri dari lima point yang dinilai menggunakan skala ordinal dari 0 – 4, dengan 0

mengindikasikan level fungsi yang lebih rendah dan 4 level fungsi yang lebih tinggi.

Skor total 56 pointdengan skor resiko 0 – 20 (risiko terjatuh tinggi, rekomendasi

penggunaan kursi roda), 21 – 40 (risiko terjatuh sedang, butuh alat bantu jalan), 41 –

56 (risiko terjatuh rendah, dapat mandiri).

2. MMSE

Mini Mental State Examination (MMSE) merupakan tes yang dapat dilakukan

dalam sepuluh menit dan paling sering digunakan untuk menilai penyakit dengan

penurunan kognitif, terutama demensia walau pun banyak tes lain yang menawarkan

spesifisitas dan sensitifitas yang lebih tinggi. Nilai skor total tes yang diberikan adalah

tiga puluh dan dibagi menjadi lima segmen, yaitu orientasi (tempat dan waktu),

regristrasi, atensi dan menghitung, memori jangka pendek, bahasa dan kemampuan

konstruksi, namun tidak terdapat fungsi eksekutif. Pembagian skor dikelompokkan

menjadi tiga dengan 0-16 mengindikasikan definite gangguan kognitig, 17-23

probable gangguan kognitif dan 24 sebagai nilai terendah yang masih dianggap

normal.

3. Finger to nose test

9
Bisa dilakukan dengan posisi pasien berbaring, duduk atau berdiri. Dengan posisi

abduksi dan ektensi secara komplit, mintalah pada pasien untuk menyentuh ujung

hidungnya sendiri dengan ujung jari telunjuknya. Mula-mula dengan gerakan perlahan

kemudian dengan gerakan cepat, baik dengan mata terbuka dan tertutup.

4. Nose finger nose test

Serupa dengan finger to nose test, tetapi setelah menyentuh hidungnya, pasien

diminta menyentuh ujung jari pemeriksa dan kembali menyentuh ujung hidungnya.

Jari pemeriksa dapat diubah-ubah baik dalam jarak maupun bidang gerakan.

5. Finger to finger test

Penderita diminta mengabduksikan lengan pada bidang horizontal dan diminta

untuk menggerakkan kedua ujung jari telunjuknya saling bertemu tepat ditengah-

tengah bidang horizontal tersebut. Pertama dengan gerakan perlahan kemudian

dengan gerakan cepat, dengan mata ditutup dan dibuka.

10
PROGRAM STUDI PROFESI FISIOTERAPIS
JURUSAN FISIOTERAPI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAKARTA III

FORMULIR PEMERIKSAAN FISIOTERAPI NEUROMUSKULER

√ Initial Assesment  Re-Evaluation  Discharge

DENTITAS KLIEN

No. RM : 012345 Nama : Ny. A

Tanggal Lahir : 12 April 1968 Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : - Pekerjaan : -

No Telepon : - Agama : Islam

Tanggal Pemeriksaan : 19 Januari 2022 Diagnosa medis : Parkinson’s Disease

PEMERIKSAAN :

Keluhan Utama: Keluhan Penyerta:


Pasien mengeluh tangannya sering gemetar dan Tidak ada
jari-jari terasa kaku, serta ketika berjalan sulit
mengatur langkah dan sering terjatuh.

Goal/Harapan Klien: Mampu berjalan mandiri

Riwayat Penyakit Sekarang: Riwayat Penyakit Dahulu:


Pasien datang berobat ke RSUD dengan keluhan Hipertensi (+)
kesulitan melangkah dan berjalan, langkah kaki
pelan-pelan, sering terjatuh, kesulitan saat akan Diabetes militus (-)
berputar, serta tubuh terasa kaku. Keluhan
dirasakan sejak 4 bulan terakhir muncul mendadak,
di mana ini merupakan keluhan pertamanya.
Keluhan semakin dirasakan saat beraktivitas, dan
menurun saat beristirahat. Kemudian dari poli Saraf
dirujuk ke poli Fisioterapi untuk menjalani terapi
sesuai jadwal yang sudah ditetapkan.

11
Riwayat Sosial: Kemampuan Sebelumnya:
Pasien hanya tinggal bersama dengan suaminya, Pasien mampu melakukan Activity Daily Living
sedangkan anak-anaknya sudah berumah tangga secara mandiri
semua dan tinggal jauh dari pasien.
Pemeriksaan Penunjang:
Pemeriksaan MRI: didapati hilangnya normal swallow tail appearance pada substansia nigra.

Kesadaran : Compos Mentis Tekanan Darah : 145/85

Denyut Nadi : 80x/menit Frekuensi Pernapasan: 24x/menit

Kooperatif/Tidak Kooperatif: Kooperatif Kognisi dan Persepsi: Kognitif pasien cukup baik
dapat diajak berkomunikasi walaupun kurang utuh
menjelaskan kronologi.

Pemeriksaan Fisioterapi

Observasi (cara datang, atensi, emosi, motivasi,


problem solving, postur,pola gerak, kemampuan,
ketidakmampuan (kemampuan sensorik, keseimbangan,
koordinasi, kemampuan fungsional), deformitas):
Ny. A datang ke poli fisioterapi diantar oleh suaminya,
berjalan tanpa alat bantu namun langkahnya kecil-kecil
dan ketika berjalan tampak kurang seimbang. Postur
tubuh cenderung membungkuk dengan punggung
kifosis.
Statis

 Tampak abnormal postur dengan punggung kifosis


dan forward head
 Tampak resting tremor pada kedua tangan
 Wajah pasien terlihat tanpa ekspresi
Tandai Bagian Tubuh yang mengalami
masalah
Dinamis

 Ketika berjalan tampak langkah pasien kecil-kecil


 Ketika berjalan tidak tampak gerakan mengayun
pada lengan
 Keseimbangan saat berjalan kurang adekuat
 Pasien kesulitan menghentikan langkahnya

12
Hipotesis: (dugaan fisioterapis dari masalah fisioterapi yang ditemukan dalam pemeriksaan)
1. Adanya gangguan keseimbangan berjalan
2. Adanya gangguan postur kifosis dan forward head
3. Adanya tremor pada kedua tangan
4. Adanya gangguan koordinasi
5. Adanya spasme otot pectoralis dan upper trapezius
6. Adanya kekakuan/stiffness pada jari-jari tangan

Analisis Gerak (General postural alignment, kualitas gerakan, kompensasi, pola gerakan, involuntary
movement):
Gerak Aktif Pasien
Mampu melakukan gerakan aktif dengan hasil keterbatasan ROM akibat stiffness. Pasien tidak merasakan
adanya nyeri.

Gerak pasif
Pasien saat dilakukan gerakan pasif full ROM dengan adanya sedikit tahanan. Pasien tidak merasakan
adanya nyeri.

Body Structure/Function (Pemeriksaan dan Pengukuran)


1. Palpasi
Spasme pada otot – otot :

 Upper trapezius
 Pectoralis major
 Extensor trunk
2. Gait Analisis

 Heel strike dan toe off berkurang


 Tidak ada ayunan lengan
 Step length berkurang
3. Tes Koordinasi

 Finger to nose
 Fist open close
Hasil: terdapat bradikinesia pada gerakan di atas

13
Activity (Pemeriksaan dan Pengukuran)
1. Berg Balance Scale

No Item Deskripsi Skor Interpretasi


1 Duduk ke berdiri 4 Mampu tanpa menggunakan tangan dan berdiri stabil
2 Berdiri tak tersangga 3 Mampu berdiri selama 2 menit dengan pengawasan
3 Duduk tak tersangah 4 Mampu duduk dengan aman selama 2 menit
4 Berdiri ke duduk 3 Mengonrol gerak duduk dengan tangan
5 Transfer/berpindah 4 Mampu berpindah dengan aman menggunakan
tangan minimal
6 Berdiri dengan mata tertutup 2 Mampu berdiri selama 3 detik
7 Berdiri dengan kedua kaki rapat 3 Mampu menempatkan kaki secara mandiri dan berdiri
selama 1 menit di bawah pengawasan
8 Meraih kedepan dengan lengan 3 Dapat meraih > 12,5 cm dengan aman
terulur maksimal
9 Mengambil objek dari lantai 2 Tidak mampu mengambil tetapi mendekati sepatu 2-5
cm dengan seimbang dan mandiri
10 Berbalik melihat ke belakang 2 Hanya mampu melihat kesamping dengan seimbang
11 Berbalik 360 derajat 2 Mampu berputar 360 derajat dengan aman tetapi
perlahan
12 Menempatkan kaki bergantian ke 3 Mampu berdiri mandiri dan aman 8 langkah selama >
balok (step stool) 20 detik
13 Berdiri sengan satu kaki di depan 3 mampu menempatkan secara mandiri selama 30 detik
kaki yang lain
14 Berdiri satu kaki 1 mencoba untuk berdiri dan tidak mampu 3 detik,
tetapi mandiri
Total 40 Resiko jatuh sedang
Interpretasi
Skor 41-56 = resiko jatuh rendah
Skor 21-40 = resiko jatuh sedang
Skor 0-20 = resiko jatuh tinggi
2. TUGT
Hasil : 18 detik
3. Functional Reach Test
Didapatkan skor reach test sejauh 12 inchi
Nilai normal :

14
Partisipation
Body structure/Function (Hasil Activity (Pemeriksaan dan
pengukuran):
(Pemeriksaan dan
pemeriksaan dan pengukuran) pengukuran):
1. Stiffness (b7800) 1. Koordinasi (b7602)
1. recreation
2. Impaired involuntary movement 2. Berjalan (d450)
and leisure
(Tremor, bradykinesia) (b765) 3. Mempertahankan
(d920)
3. Impairment in Gait Pattern (b770) posisi tubuh (d415)
4. Vestibular function of balance (b2351) 4. Self Care (d5)

Environmental factors:
Personal Factors:
Dukungan keluarga cukup baik
Pasien semangat untuk latihan

Main Problem: PT diagnose:


Gangguan keseimbangan, spasme otot, postur Gangguan berjalan diakibatkan adanya stiffness,
kifosis dan forward head, tremor, koordinasi, tremor, postur, koordinasi ec Parkinson’s
stiffness pada jari-jari tangan Disease

Goal Treatment: Treatment Plan:


(fungsi, aktivitas atau partisipasi) (yang direncanakan selama satu bulan)

Tujuan Jangka Pendek  Koreksi postur


 Untuk memperbaiki pola jalan  Latihan aerobik
 Untuk memperbaiki keseimbangan dan  Latihan Pola Jalan
koordinasi  Latihan Keseimbangan dan koordinasi
 Untuk Memperbaiki postur atau koreksi
postur

Tunjuan Jangka Panjang


Untuk mengoptimalkan kemampuan aktifitas
fungsional pasien dalam berjalan

15
Edukasi dan Home Program: (saran aktivitas sehari-hari dan program latihan di rumah)

Evaluasi Simpulan Klinis : (Simpulan klinis yang dituliskan di akhir program latihan fisioterapi)

INTERVENSI DAN EVALUASI


No. Tindakan – Evaluasi Fisioterapi (Jenis tindakan Paraf CI
dan dosis)

1. Latihan sepeda statis


F: 3x seminggu
I: disesuaikan dengan target heart rate
T: 50 menit
T: aerobic moderate intensity

2. Frenkel exercise (berbaring, duduk, berdiri)


F: setiap hari
I:
T: 15 menit
T: latihan stabilisasi

3. Latihan berjalan dengan aba-aba


F: 3x seminggu
I:
T:
T: gait training

4. PNF
F: 3x seminggu
I:
T:
T: manual terapi

16
BAB I
PENDAHULUAN

Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu
lintas.(Mansjoer Arif,dkk, 2000).
WHO (Word Health Organization) menyatakan bahwa kematian pada cedera
kepala diakibatkan karena kecelakaan lalu lintas. WHO mencatat pada tahun 2013
terjadi kematian yang disebabkan karena kecelakaan lalu lintas dengan jumlah kasus
2.500 kasus. Di amerika serikat, kejadian cidera kepala setiap tahunnya diperkirakan
mencapai 500.000 kasus dengan prevalensi kejadian 80% meninggal dunia sebelum
sampai rumah sakit, 80% cidera kepala ringan, 10% cidera kepala sedang dan 10%
cidera kepala berat, dengan rentang kejadian 15-44 tahun. Presentase dari kecelakaan
lalu lintas tercatat sebesar 48-58% diperoleh dari cidera kepala, 20-28% dari jatuh
dan 3-9% disebabkan tindak kekerasan dan kegiatan olahraga (WHO,2013). Di
Indonesia, cedera kepala berdasarkan hasil riskedas 2013 menunjukkan insiden
cedera kepala sebanyak 100.000 jiwa meninggal dunia (Depkes RI,2003).
Craniectomi adalah salah satu tindakan bedah saraf yang mengangkat
suatu bagian tengkorak untuk memungkinkan otak yang membengkak mendapat
ruang untuk mengembang, sehingga terjadi pengurangan tekanan.craniect omi ini
cocok dilakukan pada korban cedera otak traumatik (Traumatic Brain Injuri).
Cedera kepala dapat timbul kesulitan dalam menggerakkan ekstrimitas, kehilangan
rasa dan bau, atau penglihatan blur dan ganda.

Fisioterapi sebagai tenaga kesehatan yang profesional yang bertanggung


jawab atas kapasitas fisik dan kemampuan fungsional bagi umat manusia yang
bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan secara optimal sangat berperan
penting dalam proses pemulihan post cedera kepala.

1
Dalam laporan ini pasien traumatic brain injury post operasi Craniectomi
mengalami Kelemahan Anggota Gerak Bawah sisi kanan sehingga dibutuhkan
fisioterapis untuk memberikan penanganan dan pemulihan terhadap masalah yang
diderita pasien.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Dan Fisiologi


1. Anatomi Kepala

Gambar 1- Lapisan Otak

a. Kulit Kepala
Menurut ATLS terdiri dari 5 lapisan yaitu:
1) Skin atau kulit.
2) Connective Tissue atau jaringan penyambung.
3) Aponeurosis atau galea aponeurotika jaringan ikat berhubungan
langsung dengan tengkorak.
4) Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar Merupakan
tempat terjadinya perdarahan subgaleal (hematom subgaleal).
5) Perikranium (periosteum), merupakan periosteum yang melapisi
tulang tengkorak, melekat crat terutama pada sutura karena melalui
sutura ini periosteum akan langsung berhubungan dengan endostium
(yang melapisi permukaan dalam tulang tengkorak).

3
b. Tulang Tengkorak

Gambar 2- Anatomi Kepala


Fungsi utama tulang tengkorak adalah melindungi otak. otak adalah organ
yang lunak dan memiliki fungsi yangsangat penting. Tulang tengkorak terdiri atas
22 tulang pipih yang saling berhubungan dan membentuk rongga.Tulang
tengkorak terdiri atas 2 kelompok, yaitu tulang tengkorak bagian kepala (tulang
tempurung kepala) dan tulang tengkorak bagian wajah.
1) Tulang Tengkorak bagian kepalaTulang tengkorak bagian kepala
mengelilingi dan melindungi organ yang sangat vital yaitu otak. Ketika
kita lahir,bagian-bagian tulang tengkorak bagian kepala belum menyatu
sempurna. Tetapi selama pertumbuhan, tulang-tulangtersebut menyatu
membentuk tempurung kepala.Tulang tengkorak bagian kepala terdiri atas
10 buah tulang, yaitu 1 tulang tengkorak belakang, 1 tulang dahi, 2
tulangubun-ubun, 2 tulang pelipis, 2 tulang tapis dan 2 tulang baji.

4
2) Tulang Tengkorak bagian muka tulang tengkorak bagian muka terletak
pada bagian muka kepala. Tulang tersebut membentuk rongga mata,
ronggahidung dan langit-langit. tulang tengkorak bagian muka terdiri dari
2 tulang rahang atas, 2 tulang rahang bawah, 2tulang tipi, 2 tulang mata, 2
tulang hidung, dan satu tulang pangkal lidah. Tulang rahang bawah
merupakan satusatunya tulang yang dapat digerakkan pada bagian kepala.
3) Terdiri atas Kalvarium dan basis kranii. Rongga tengkorak dasar dibagi 3
fosa :

Gambar 3- Fosa pada rongga tengkorak


a) Anterior tempat lobus frontalis
b) Media tempat lobus temporalis
c) Posterior tempat batang otak bawah dan serebelum

c. Meningen
Meninges adalah sistem membran yang melapisi sistem saraf pusat. Selaput
ini menutupi seluruh permukaan otak terdiri 3 lapisan :
1) Durameter
Merupakan selaput keras atas jaringan ikat fibrosa melekat dengan
tabula interna atau bagian dalam kranium namun tidak melekat pada selaput

5
arachnoid dibawahnya, sehingga terdapat ruangan potensial disebut ruang
subdural yang terletak antara durameter dan arachnoid. Pada cedera kepala
pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis
superior digaris tengah disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan
serta menyebabkan perdarahan subdural.
Durameter membelah membentuk 2 sinus yang mengalirkan darah
vena ke otak, yaitu : sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus
transverses dan sinus sigmoideus. Perdarahan akibat sinus cedera 1/3 anterior
diligasi aman, tetapi 2/3 posterior berbahaya karena dapat menyebabkan
infark vena dan kenaikan tekanan intracranial. Arteri-arteri meningea terletak
pada ruang epidural, dimana yang sering mengalami cedera adalah arteri
meningea media yang terletak pada fosa temporalis dapat menimbulkan
perdarahan epidural.
2) Arachnoid
Lapisan arachnoid terdiri atas fibrosit berbentuk pipih dan serabut
kolagen. Lapisan arachnoid mempunyai dua komponen, yaitu suatu lapisan
yang berhubungan dengan dura mater dan suatu sistem trabekula yang
menghubungkan lapisan tersebut dengan pia mater. Ruangan di antara
trabekula membentuk ruang subarachnoid yang berisi cairan serebrospinal dan
sama sekali dipisahkan dari ruang subdural. Pada beberapa daerah, arachnoid
melubangi dura mater, dengan membentuk penonjolan yang membentuk
trabekula di dalam sinus venous dura mater. Bagian ini dikenal dengan vilus
arachnoidalis yang berfungsi memindahkan cairan serebrospinal ke darah
sinus venous. Arachnoid merupakan selaput yang tipis dan transparan.
Arachnoid berbentuk seperti jaring laba-laba. Antara Arachnoid dan piameter
terdapat ruangan berisi cairan yang berfungsi untuk melindungi otak bila
terjadi benturan. Baik arachnoid dan piameter kadang-kadang disebut sebagai
leptomeninges.

6
3) Piameter
Piameter adalah membran yang sangat lembut dan tipis. Lapisan ini
melekat pada otak. Pia mater mengandung sedikit serabut kolagen dan
membungkus seluruh permukaan sistem saraf pusat dan vaskula besar yang
menembus otak.Lapisan ini melekat pada permukaan korteks serebri. Cairan
serebro spinal bersirkulasi diantara arachnoid dan piameter dalam ruang
subarahnoid. Perdarahan ditempat ini akibat pecahnya aneurysma intra
cranial.

2. Anatomi Otak
Otak mengatur dan mengkordinir sebagian besar gerakan, perilaku dan fungsi
tubuh homeostasis seperti detak jantung, tekanan darah, keseimbangan cairan tubuh
dan suhu tubuh. Otak manusia bertanggung jawab terhadap pengaturan seluruh badan
dan pemikiran manusia.
Otak dilindungi 3 lapisan selaput meninges. Bila membran ini terkena infeksi
maka akan terjadi radang yang disebut meningitis. Ketiga lapisan membran meninges
dari luar ke dalam adalah sebagai berikut :
a. Duramater atau Lapisan Luar
Duramater kadangkala disebut pachimeningen atau meningen fibrosa
karena tebal, kuat, dan mengandung serabut kolagen. Pada duramater dapat
diamati adanya serabut elastis, fibrosit, saraf, pembuluh darah, dan limfe.
Lapisan dalam duramater terdiri dari beberapa lapis fibrosit pipih dan sel-sel
luar dari lapisan arachnoid.
b. Araknoid atau Lapisan Tengah
Arachnoid merupakan selaput halus yang memisahkan duramater
dengan piamater. Lapisan arachnoid terdiri atas fibrosit berbentuk pipih dan
serabut kolagen. Arachnoid berbentuk seperti jaring laba-laba. Antara

7
arachnoid dan piamater terdapat ruangan berisi cairan yang berfungsi untuk
melindungi otak bila terjadi benturan.
c. Piamater atau Lapisan Dalam
Piamater merupakan membran yang sangat lembut dan tipis penuh
dengan pembuluh darah dan sangat dekat dengan permukaan otak. Lapisan ini
berfungsi untuk memberi oksigen dan nutrisi serta mengangkut bahan sisa
metabolisme.
Otak terdiri dari empat bagian besar yaitu cerebrum atau otak besar,
cerebellum atau otak kecil, brainstem atau batang otak, dan dienchepahalons
(Satyanegara, 1998).

1) Cerebrum atau Otak Besar

Gambar 4- Cerebrum (otak besar)


Bagian terbesar dari otak manusia disebut cerebrum disebut juga
sebagai cortex cerebri. Cerebrum membuat manusia memiliki
kemampuan berpikir atau intelektual, analisa, logika, bahasa, kesadaran,
persepsi, memori, aktifitas motorik yang kompleks, dan kemampuan
visual.
Cerebrum dibagi menjadi dua belahan, yaitu hemisfer kanan dan
hemisfer kiri. Kedua belahan tersebut terhubung oleh saraf. Secara umum,

8
hemisfer kanan berfungsi mengontrol sisi kiri tubuh dan terlibat dalam
kreativitas serta kemampuan artistik. Sedangkan hemisfer kiri berfungsi
mengontrol sisi kanan tubuh dan untuk logika serta berpikir rasional.
Cerebrum dibagi menjadi empat lobus. Bagian lobus yang
menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan disebut sulcus. Keempat
lobus tersebut masing-masing adalah:
a) Lobus Frontal merupakan bagian lobus yang ada dipaling depan
dari cerebrum. Lobus ini berhubungan dengan kemampuan
membuat alasan, kemampuan gerak, kognisi, perencanaan,
penyelesaian masalah, memberi penilaian, kreativitas, kontrol
perasaan, kontrol perilaku seksual dan kemampuan bahasa secara
umum.
b) Lobus Parietal berada di tengah, berhubungan dengan proses
sensor perasaan seperti tekanan, sentuhan dan rasa sakit.
c) Lobus Temporal berada di bagian bawah berhubungan dengan
kemampuan pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam
bentuk suara.
d) Lobus Occipital ada di bagian paling belakang, berhubungan
dengan rangsangan visual yang memungkinkan manusia mampu
melakukan interpretasi terhadap objek yang ditangkap oleh retina
mata.

2) Cerebellum atau Otak Kecil


Cerebellum terletak di bagian belakang kepala, dekat dengan
ujung leher bagian atas. Cerebellum berfungsi dalam pengaturan
koordinasi perencanaan gerak, pengaturan tonus, kontrol postur dan
keserasian gerak, pengaturan keseimbangan. Cerebrum juga berfungsi
sebagai pengatur sistem saraf otonom, seperti pernafasan, mengatur
ukuran pupil, dan ain-lain.

9
Jika terjadi cedera atau terdapat kerusakan pada area ini, dapat
mengakibatkan gangguan pada sikap dan koordinasi gerak otot. Gerakan
menjadi tidak terkoordinasi, misalnya orang tersebut tidak mampu
memasukkan makanan ke dalam mulutnya atau tidak mampu
mengancingkan baju.

3) Brainstem atau Batang Otak

Gambar 5- Batang Otak (Brainstem)

Batang otak berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala


bagian dasar dan memanjang sampai ke tulang punggung atau sumsum
tulang belakang. Bagian otak ini mengatur fungsi dasar manusia termasuk
pernapasan, denyut jantung, mengatur suhu tubuh, mengatur proses
pencernaan, dan merupakan sumber insting dasar manusia yaitu fight or
flight saat datangnya bahaya.

Brainstem terdiri dari tiga bagian, yaitu:


1) Mesencephalon disebut juga mid brain adalah bagian teratas dari
batang otak yang menghubungkan cerebrum dan cerebellum. Mid
brain berfungsi dalam mengontrol respon penglihatan, gerakan

10
mata, pembesaran pupil mata, mengatur gerakan tubuh dan
pendengaran.
2) Medulla oblongata adalah titik awal saraf tulang belakang dari
sebelah kiri badan menuju bagian kanan badan, begitu juga
sebaliknya. Medulla oblongata bertugas mengontrol fungsi
otomatis otak seperti: detak jantung, sirkulasi darah, pernafasan,
dan pencernaan.
3) Pons merupakan stasiun pemancar yang mengirimkan data ke
pusat otak bersama dengan formasi reticular. Pons yang
menentukan apakah kita terjaga atau tertidur.
4) Dienchephalons
Terdiri dari thalamus, hypothalamus, subthalamus, dan epithalamus.
a. Thalamus berfungsi sebagai station relay dari sensoris, berperan dalam
perilaku dan emosi sejalan dengan hubungannya dengan system limbic,
serta mempertahankan kesadaran.
b. Hypothalamus terletak dibawah thalamus yang berfungsi mengatur
emosi, hormon, temperatur tubuh, kondisi tidur dan bangun,
keseimbangan kimia tubuh, serta makan dan minum
c. Subthalamus merupakan nukleus motorik ekstrapiramida yang penting.
Fungsinya belum dapat dimengerti sepenuhnya, tetapi lesi pada
subtalamus dapat menimbulkan diskinesia.
d. Epithalamusberhubungan dengan sistem limbik dan berperan pada
beberapa dorongan emosi dasar dan integrasi informasi olfaktorius.

Sawar Darah Otak


Sawar darah-otak adalah struktur unik system vascular otak yang mencegah
lewatnya material dari darah ke cairan seebrospinal di otak. Sawar darah-otak
terbentuk dari sel endotel yang berikatan erat di kapiler otak dan dari sel yang
melapisi ventrikel yang membatasi difusi dan filtrasi. Fungsi transport khusus

11
mengatur cairan yang keluar dari sirkulasi umum untuk membasahi sel otak.. Banyak
obat dan zat kimia tidak dapat menembus sawar darah-otak.

Gambar 6- Sawar darah otak

Aliran Darah Otak dan Metabolisme Otak


Otak menerima sekitar 15% curah jantung. Tingginya kecepatan aliran darah
ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan otak yang terus-menerus tinggi akan
glukosa dan oksigen.
Otak bersifat unik karena otak biasanya hanya menggunakan glukosa sebagai
sumber untuk fosforilasi oksidatif dan produksi ATP. Tidak seperti sel yang lain, sel
otak tidak menyimpan glukosa sebagai glikogen; dengan demikian, otak harus secara
terus-menerus menerima oksigen dan glukosa melalui aliran darah otak. Deprivasi
oksigen selama 5 menit dan deprivasi glukosa selama 15 menit, dapat menyebabkan
kerusakan otak yang signifikan. Fungsi otak sangat bergantung pada aliran darah,
sehingga mungkin untuk mengidentifikasi bagian otak mana yang melakukan tugas
apa dengan mengukur aliran darah otak selama aktivitas otak yang spesifik.
Penelitian memperlihatkan bahwa ketika melakukan banyak kerja mental,
otak mula-mula memproduksi ATP melalui glikolisis anaerob, bukan melalui
fosforilasi oksidatif. Glikolisis anaerob bergantung pada glukosa, tetapi tidak
memerlukan oksigen. Otak tetap melakukan hal ini walaupun tersedia oksigen.
Akibatnya adalah pemakaian dan deplesi glukosa yang cepat, disertai peningkatan

12
kadar oksigen secara bersamaan. Dalam waktu singkat, otak mulai melakukan
fosforilasi oksidatif.

Tekanan Intrakranial
Tekanan di dalam cranium disebut tekanan intracranial (TIK). TIK ditentukan
oleh volume darah di otak, volume CSS, dan volume jaringan otak. Dalam keadaan
normal, TIK berkisar dari 5 sampai 15 mmHg.

B. Traumatic Barin Injury (TBI)


1. Definisi
Trauma Brain Injury atau cedera kepala merupakan trauma mekanik
terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang
menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif,
fungsi psikososial baik bersifat temporer maupun permanent
(PERDOSI,2006).

Trauma Brain Injury adalah salah satu bentuk trauma yang dapat
mengubah kemampuan otak dalam menghasilkan keseimbangan fisik,
intelektual, emosional, gangguan traumatik yang dapat menimbulkan
perubahan-perubahan fungsi otak (Pedoman Penaggulangan Gawat Darurat
Ems 119 Jakarta, 2008).

Cedera kepala adalah adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk


atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan
(accelerasi - decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh
perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan percepatan,
serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai
akibat perputaran pada tindakan pencegahan (Mufti, 2009).

Menurut Brain Injury Assosiation of America (2001), cedera kepala


adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun

13
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang
dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan
kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.

Gambar 7: Gambaran Umum Cedera Kepala

2. Etiologi
Adapun etiologi dari cedera kepala menurut Suriadi & Yuliani (2001),
yaitu :
a. Kecelakaan kenderaan bermotor atau sepeda dan mobil.
b. Jatuh.
c. Kecelakaan saat olahraga.
d. Cedera akibat kekerasan.
Menurut Sjamsuhidajat, R & Jong, WD (2004), etiologi dari trauma
kepala terdiri dari :
a. Benda tajam.
b. Benda tumpul.
c. Peluru.
d. Kecelakaan lalu lintas
Sedangkan menurut Purwoko, S (2006), etiologi dari cedera kepala
yaitu:
a. Olah raga.
b. Jatuh.

14
c. Kecelakaan kenderaan bermotor.

3. Tanda dan Gejala


Menurut Widyaningrum (2008), manifestasi klinis dari cedera kepala adalah :

a. Tanda dan gejala fisik :


1) Nyeri kepala.
2) Nausea
b. Tanda dan gejala kognitif :
1) Gangguan memori.
2) Gangguan perhatian dan berfikir kompleks
c. Tanda dan gejala emosional/kepribadian :
1) Kecemasan.
2) Iritabilitas
d. Tanda dan gejala secara umum :
1) Pada kokusio segera terjadi kehilangan kesadaran.
2) Pola pernafasan secara progresif menjadi abnormal.
3) Respon pupil mungkin lenyap.
4) Nyeri kepala dapat muncul segera/bertahap sering dengan
peningkatan tekanan intracranial.
5) Dapat timbul mual muntah akibat peningkatan tekanan intrakrnaial
(TIK).
6) Perubahan perilaku kognitif dan fisik pada berbicara dan gerakan
motorik dapat timbul segera atau secara lambat.

4. Proses Patologi Gangguan Gerak dan Fungsi


Adanya cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan struktur, misalnya
kerusakan pada parenkim otak, kerusakan pembuluh darah, perdarahan, edema

15
dan gangguan biokimia otak seperti penurunan adenosis tripospat, perubahan
permeabilitas vaskuler.
Patofisiologi cedera kepala dapat terbagi atas dua proses yaitu cedera
kepala primer dan cedera kepala sekunder, cedera kepala primer merupakan suatu
proses biomekanik yang terjadi secara langsung saat kepala terbentur dan dapat
memberi dampak kerusakan jaringan otat. Pada cedera kepala sekunder terjadi
akibat dari cedera kepala primer, misalnya akibat dari hipoksemia, iskemia dan
perdarahan.
Perdarahan cerebral menimbulkan hematoma misalnya pada epidural
hematoma, berkumpulnya antara periosteun tengkorak dengan durameter, subdura
hematoma akibat berkumpulnya darah pada ruang antara durameter dengan
subaraknoid dan intra cerebral, hematoma adalah berkumpulnya darah didalam
jaringan cerebral. Kematian pada penderita cedera kepala terjadi karena hipotensi
karena gangguan autoregulasi, ketika terjadi autoregulasi menimbulkan perfusi
jaringan cerebral dan berakhir pada iskemia jaringan otak (Tarwoto, 2007).

C. Pendekatan Intervensi Fisioterapi


1. Komunikasi Terapeutik
Komunikasi terapeutik termasuk komunikasi interpersonal dengan
tujuan saling memberikan pengertian antar fisioterapis dengan pasien.
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar,
bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien (Indrawati,
2003 48).
Tujuan komunikasi terapeutik yaitu membantu pasien untuk
memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran serta dapat
mengambil tindakan yang efektif untuk pasien, membantu mempengaruhi
orang lain, lingkungan fisik dan diri sendiri.
Ada tiga hal mendasar yang memberi ciri-ciri komunikasi terapeutik
yaitu sebagai berikut: (Arwani, 2003 : 54).

16
a. Ikhlas (Genuiness)
Semua perasaan negatif yang dimiliki oleh pasien barus bisa
diterima dan pendekatan individu dengan verbal maupun non verbal akan
memberikan bantuan kepada pasien untuk mengkomunikasikan
kondisinya secara tepat.
b. Empati (Empathy)
Merupakan sikap jujur dalam menerima kondisi pasien. Obyektif
dalam memberikan penilaian terhadap kondisi pasien dan tidak
berlebihan.
c. Hangat (Warmth)
Kehangatan dan sikap permisif yang diberikan diharapkan pasien
dapat memberikan dan mewujudkan ide-idenya tanpa rasa takut, sehingga
pasien bisa mengekspresikan perasaannya lebih mendalam.

Objektif komunikasi terapeutik adalah:


a. Membantu pasien dalam menjelaskan dan mengurangi beban fikiran dan
perasaan.
b. Mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan yang
sesuai dengan arahan fisioterapis
c. Mengajak orang lain dan lingkungan sekitar untuk berkomunikasi dengan
baik.
Untuk keberhasilan komunikasi terapeutik, maka fisioterapis harus
memiliki pemahaman dalam bentuk:
a. Kesadaran diri.
b. Klarifikasi nilai.
c. Eksplorasi perasaan.
d. Kemampuan untuk menjadi contoh terhadap pasien
e. Motivasi diri
f. Rasa tanggung jawab dan etik.

17
2. Positioning

Perubahan posisi sangat penting pada penderita Traumatic brain injury


karena kelumpuhan atau kelemahan pada tungkai akan menghambat perubahan
posisi. Perubahan posisi ini bertujuan untuk: (1) mencegah decubitus, (2)
mencegah komplikasi paru, (3) mencegah timbulnya batu kandung kemih, (4)
mencegah terjadinya thrombosis (5) mencegah terjadinya kontraktur. Perubahan
posisi ini dilakukan setiap 2 jam sekali.

3. Infra Red
Infra Red merupakan alternatif terapi yang mempunyai penetrasi yang
hanya berada pada tingkat superfisial jaringan saja. Diharapkan agar terjadi efek
analgesik, efek anti imflamasi, efek sedatif, peningkatan suhu jaringan, efek
rileksasi otot sehingga intensitas spasme menurun, dan efek vasodilatasi agar
terjadi peningkatan blood flow.

4. Electrical Muscle Stimulation


EMS menggunakan arus listrik untuk merangsang otot-otot. Pulse listrik
merangsang saraf untuk menghasilkan kontraksi otot alami. Hal ini dikenal
sebagai latihan pasif. Perangkat EMS menghasilkan sinyal listrik yang
merangsang saraf. Impuls ini dihasilkan oleh perangkat listrik dan disampaikan
melalui elektroda yang ditempatkan pada kulit di dekat otot yang membutuhkan
stimulasi. Dengan menempatkan bantalan di dekat kelompok otot tertentu, dan
kemudian mengirimkan impuls dengan menggunakan perangkat EMS, otot-otot
akan mulai berkontraksi dan berelaksasi. Kontraksi yang dihasilkan dari
stimulasi jauh seperti kontraksi otot selama latihan rutin. Tegangan untuk titik-
titik tekanan yang berbeda pada otot dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Hasil
stimulasi adalah perbaikan dan penguatan otot.

18
5. Breathing Exercise
Tujuan latihan exercise adalah meningkatkan otot diafragma yang lemah,
penurunan ekspansi thoraks , penurunan daya tahan serta kelelahan dapat
menghambat program terapi. Penurunan volume paru terjadi sekitar 30-40 %
pada penderita traumatic brain injury. Oleh karena itu diperlukan latihan untuk
penguatan otot diafragma, deep breathing exercise,dan variasi latihan yang
ditujukan untuk meningkatkatkan kapasitas jantung dan paru akibat tirah baring
lama pada pasien traumatic brain injury.
Teknik breathing exercise mengikuti pola gerakan chest pasien, dan pada
akhir ekspirasi ditambahkan dengan fibrasi. Sehingga membantu merangsang
kerja otot pernapasan dan menurunkan sekresi paru.
a. Segmen Apikal Expansion
Teknik Pelaksanaan: Posisi pasien supine lying. Fisioterapis
menempatkan kedua tangan di clavicula. Perintahkan pasien untuk
melakukan expirasi dan fisioterapis memberi tekanan lembut dengan
telapak tangan. Kemudian perintahkan pasien untuk mengembangkan
chestnya dengan mendorong tangan fisioterapis, lalu perintahkan
expirasi yang dibantu oleh tangan fisioterapis dengan tekanan lembut.
b. Segmen Right Middle/Lingula Expansion
Teknik Pelaksanaan: Posisi pasien supine lying. Fisioterapis
menempatkan kedua tangannya di kiri dan kanan chest di bawah
axilla. Perintahkan pasien untuk melakukan expirasi dan fisioterapis
memberi tekanan lembut dengan telapak tangan. Kemudian
perintahkan pasien untuk mengembangkan chestnya dengan
mendorong tangan fisioterapis, lalu perintahkan expirasi yang dibantu
oleh tangan fisioterapis dengan tekanan lembut.
c. Segmen Lateral Lower Costa Expansion
Teknik Pelaksanaan: Posisi pasien supine lying. Fisioterapis
menempatkan tangan di lateral lower costa. Perintahkan pasien untuk

19
melakukan expirasi dan fisioterapis memberi tekanan lembut dengan
telapak tangan. Kemudian perintahkan pasien untuk mengembangkan
chestnya dengan mendorong tangan fisioterapis, lalu perintahkan
expirasi yang dibantu oleh tangan fisioterapis dengan tekanan lembut.

6. Passive ROM Exercise


Passive ROM Exercise baik di lakukan pada pasien yang tidak mampu
melakukan gerakan pada suatu segmen, saat pasien tidak sadar, paralisis,
complete bed rest, terjadi reaksi inflamasi dan nyeri pada active ROM. Passive
ROM dilakukan untuk mengurangi komplikasi immmobilisasi dengan tujuan:
a. Mempertahankan integritas sendi dan jaringan lunak.
b. Meminimalkan efek terjadinya kontraktur.
c. Mempertahankan elastisitas mekanik otot.
d. Membantu sirkulasi dan vaskularisasi dinamik
e. Meningkatkan gerakan sinovial untuk nutrisi cartilago dan difusi material-
material sendi.
f. Menurunkan nyeri.
g. Membantu healing proses setelah injuri atau pembedahan
h. Membantu mempertahankan gerakan pasien.
Teknik: Posisi tidur terlentang, kemudian fisioterapis memberikan gerakan pasif
pada ekstremitas.
7. Stretching
Streching adalah aktivitas meregangkan otot untuk meningkatkan
fleksibilitas (kelenturan) otot, meningkakan jangkauan gerakan persendian,
mencegah kontrakur dan membantu merileksasikan otot.

20
8. AAROMEX ( Active Assistive ROM Exercise)
AAROMEX adalah jenis AROM dengan bantuan yang diberikan
secara manual atau mekanik oleh gaya luar karena otot penggerak utama
membutuhkan bantuan untuk menyelesaikan gerakan. Jika pasien memiliki
otot yang lemah dan tidak mampu menggerakkan sendi melalui lingkup gerak
yang diinginkan, AAROMEX digunakan untuk memberikan bantuan yang
cukup pada otot secara terkontrol dan hati-hati sehingga otot dapat berfungsi
pada tingkat maksimumnya dan dikuatkan secara progresif.
Teknik : Posisi pasien tidur terlentang, kemudian fisioterapis
memerintahkan pasien untuk menggerakkan ekstremitas dengan bantuan
sedikit dari fisioterapis pada awal atau akhir gerakan jika ada kelemahan.

21
BAB III
PROSES FISIOTERAPI

A. Data-Data Medis
Nomor Rekam Medik : 84-00-21
Ruangan : L3 Depan Bawah Bedah Saraf Ruangan HCU bed 6
Diagnosa Medis : Traumatic brain injury GCS 10

B. Identitas Umum Pasien


Nama : Tn. Tm
Umur : 37 tahun
Alamat : Jl. Pangkajene sidrap
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta

C. Anamnesis Khusus
Keluhan utama : Kelemhan pada anggota gerak bawah sisi kanan
Awal keluhan : Dialami sejak beberapa minggu setelah operasi
craniektomi pada tanggal 14 april 2018
Riwayat Perjalanan Penyakit : Sekitar 1 bulan yang lalu, pasien mengalami
kecelakaan lalu lintas pada tanggal 14 April
2018 dengan penurunan kesadaran dan dibawa
ke RS. Arifin Nu’mang Sidrap dan pada pukul
12.00 pasien dirujuk ke RSUP DR Wahidin
Sudirohusodo Makassar. Kemudian pukul 20.00
dilakukan operasi craniektomi pada pasien.
Mekanisme Trauma : Pasien mengendarai sepeda motor tanpa
menggunakan helm, tiba-tiba pasien ditabrak

22
oleh sepeda motor lain dari belakang hingga
terjatuh dan kepala membentur aspal.
Riwayat Trauma : Ada
Riwayat Operasi : Operasi Craniektomi
Riwayat Penyakit penyerta :-
Riwayat keluarga :-

D. Pemeriksaan Vital Sign


1. Tekanan Darah : 130/92 mmHg
2. Denyut Nadi : 110x/menit
3. Suhu : 36,5oC
4. Pernapasan : 24 x/menit

E. Inspkesi/Observasi
1. Statis
a. Pasien tidur terlentang diatas bed dengan kedua lengan diikat dan kedua
tungkai tertekuk.
b. Terpasang selang sonde dan inpus
c. Terpasang canulla tracheastomy dan oksigen
d. Terpasang keteter
e. Terdapat bekas jahitan operasi craniektomi pada temporoparietal sisi
kanan.
2. Dinamis
Pasien sulit menggerakkan ekstremitas bawah sisi kanan.

F. Pemeriksaan spesifik dan pengukuran fisioterapi


1. Tingkat Kesadaran (Skala GCS)
Eye (respon membuka mata) :

23
(4) : spontan

(3) : dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata)

(2) : dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan kuku
jari)

(1) : tidak ada respon

Motor (respon motorik) :

(6) : mengikuti perintah

(5) : melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang
nyeri)

(4) : withdraws (menghindar / menarik extremitas atau tubuh menjauhi


stimulus saat diberi rangsang nyeri)

(3) : flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki
extensi saat diberi rangsang nyeri).

(2) : extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan
jari mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).

(1) : tidak ada respon

Verbal (respon verbal) :

(5) : orientasi baik

(4) : bingung, berbicara mengacau ( sering bertanya berulang-ulang ) disorientasi


tempat dan waktu.

24
(3) : kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas, namun
tidak dalam satu kalimat. Misalnya “aduh…, bapak…”)

(2) : suara tanpa arti (mengerang)

(1) : Tidak ada respon

Interpretasi hasil :

- Composmentis : 15-14
- Apatis : 13-12
- Delirium : 11-10
- Somnolen : 9-7
- Stupor : 6-4
- Coma : 3

2. Tes Sensorik
a. Tes tajam tumpul : Sulit dilakukan
b. Tes rasa sakit : Sulit dilakukan
c. Tes rasa posisi :Sulit dilakukan

3. Tes Motorik
Item yang di ukur Nilai
Terlentang ke tidur miring pada sisi Mampu dengan bantuan
yang sehat
Terlentang ke duduk Mampu tetapi dengan bantuan
sandaran bed
Keseimbangan duduk belum mampu
Duduk ke berdiri belum mampu

25
4. Tes Refleks

Jenis Refleks Kanan Kiri


Biceps Normal Normal
Triceps Normal Normal
Brachioradialis Normal Normal
KPR Normal Normal
APR Normal Normal
Babinsky + -

5. Pemeriksaan Tonus Otot (Skala Aswort)


Grade Keterangan
0 Tidak ada peningkatan tonus otot
1 Ada peningkatan sedikit tonus otot, ditandai dengan
terusnya tahanan minimal pada akhir ROM pada waktu
sendi di gerakkan fleksi atau ektensi
2 Ada peningkatan sedikit tonus otot, ditandai dengan adanya
pemberhentian gerakan pada pertengahan ROM dan adanya
tahanan minimal sepanjang sisa ROM
3 Peningkatan tonus otot lebih nyata sepanjang sebagian
besar ROM tapi sendi masih mudah digerakkan
4 Peningkatan tonus otot sangat nyata sepanjang ROM, gerak
pasif sulit dilakukan
5 Sendi atau ekstremitas kaku/ rigid pada gerakan fleksi atau
ekstensi
Hasil
Tonus Ekstremitas superior :0
Tonus Ekstemitas inferior sisi dextra :1

26
6. Manual Muscle Testing
Ekstremitas superior : 4 (baik)
Ekstremitas inferior : 3 (terbatas)

7. Tes Kognitif
Pasien diajak berbicara dengan memberikan beberapa pertanyaan.
Hasil :pasien tidak mau menjawab pertanyaan yang diberikan oleh
fisioterapis.

8. Tes Koordinasi
a. Finger to nose : Sulit dilakukan
b. Finger to finger terapis :Sulit dilakukan
c. Heel to knee : Sulit dilakukan

9. Gangguan ADL (Index Barthel)

No. Item yang dinilai Skor Nilai


1. Makan 0 = Tidak mampu 0
1=butuh bantuan memotong,
mengoles,dll.
2 = Mandiri
2. Mandi 0 = Tergantung orang lain 0
1 = Mandiri
3. Perawatan Diri 0 = Membutuhkan bantuan orang lain 0
1= Mandiri dalam perawatan muka,
rambut, gigi, dan bercukur.
4. Berpakaian 0 = Tergantung orang lain 0
1 = sebagian dibantu

27
2 = Mandiri
5. Buang air kecil 0= Inkontinensia atau pakai kateter dan 0
tidak terkontrol
1 = kadang inkontinensia (maks,1 X 24
jam)
2 = kontinensia (teratur untuk lebih dari
7 hari)
6. Buang air besar 0 = Inkontinensia (tidak teratur atau 1
perlu enema)
1 = kadang inkontensia (sekali
seminggu)
2 = kontinensia (teratur)
7. Penggunaan toilet 0 = Tergantung bantuan orang lain 0
1 = Membutuhkan bantuan, tapi dapat
melakukan beberapa hal sendiri
2 = Mandiri
8. Transfer 0 = Tidak mampu 1
1 = butuh bantuan untuk bisa duduk (2
orang)
2 = Bantuan kecil (1 orang)
3 = Mandiri
9. Mobilitas 0 = Immobile (tidak mampu) 0
1 = Menggunakan kursi roda
2 = Berjalan dengan bantuan satu orang
3 = Mandiri (meskipun menggunakan
alat bantu seperti tongkat)
10. Naik turun tangga 0 = Tidak mampu 0
1 = Membutuhkan bantuan (alat bantu)

28
2 = mandiri

Interprestasi hasil :
20 : Mandiri
12-19 : Ketergantungan ringan
9-11 : Ketergantungan sedang
5-8 : Ketergantungan berat
0-4 : Ketergantungan total

G. Pemeriksaan CT-Kepala

Telah dilakukan pemeriksaan MSCT Scan Kepala irisan axial tanpa


kontras dengan hasil sebagai berikut:
- Lesi hiperdens (40-61 HU) berbentuk bikonvex pada regio temporal kanan
- Lesi hiperdens (52 HU) berbentuk planoconvex pada regio temporal kiri
- Lesi hiperdens (45-60 HU) disertai perifokal edema pada lobus
frontotemporoparietal kiri yang mendesak dan menyempitkan cornu posterior
ventrikel lateralis kiri

29
- Lesi hiperdens (60 HU) disertai perifokal edema pada lobus frontal kanan dan
parietal kanan
- Midline shift kekanan sejauh 9 mm
- Sistem ventrikel lainnya dalam batas normal
- CPA, pons, dan cerebellum yang terscan dalam batas normal
- Cavum septu pellucidum dan vergae masih terbuka
- Kalsifikasi fisiologik pada pineal body dan plexus choroideus bilateral
- Perselubungan (51 HU) pada sinus ethmoidalis kanan dan sinus sphenoidalis
bilateral. Sinus paranasalis lainnya dan aircell mastoid yang terscan dalam
batas normal
- Fraktur dinding lateral sinus sphenoidalis kanan
- Defek pada os temporal kanan, tidak tampak herniasi menings dan parenkim
melalui defek tersebut
- Soft tissue swelling regio temporoparietal kanan
Kesan:
- Pendarahan epidural regio temporal dextra
(Dibandingkan CT scan kepala tanggal 14/04/2018: Perbaikan)
- Pendarahan subdural regio temporal sinistra
- Pendarahan intracerebri lobus frontotemporoparietal sistra, lobus frontal
dextra dan lobus parietal dextra
- Herniasi subfalcine
- Multihematosinus
- Fraktur dinding lateral sinus sphenoidalis dextra
- Subgaleal hematom regio temporoparietal dextra
- Cavum septum pellucidum dan vergae persisten

30
H. Diagnosa dan Problematik Fisioterapi
1. Diagnosa
“Kelemahan Anggota Gerak Bawah Sisi Kanan et Cause Traumatik Brain
Injury Post Operasi Craniektomi”
2. Problematik Fisioterapi
a. Impairment (Body Structure and Function)
1) Penurunan tonus otot pada tungkai sisi kanan
2) Kesulitan menggerakkan tungkai sisi kanan.
b. Activity Limitation
1) Gangguan ADL.
2) Tidak mampu duduk, berdiri dan berjalan.
c. Partisipation Restriction
1) Tidak mampu bekerja.
2) Tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari

I. Rencana Intervensi Fisioterapi


1. Komunikasi Terapeutik
2. Positioning
3. IRR
4. Electrical Stimulasi
5. Breathing Exercise
6. Passive ROM Exercise
7. Stretching
8. AAROMEX

31
J. Program Intervensi Fisioterapi
1. Komunikasi terapeutik
Komunikasi terapeutik termasuk komunikasi interpersonal dengan tujuan
saling memberikan pengertian antar fisioterapis dengan pasien. Komunikasi
terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan
kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien (Indrawati, 2003 48).
Tujuan : Membantu pasien untuk memperjelas dan mengurangi beban
perasaan dan pikiran serta dapat mengambil tindakan yang efektif untuk
pasien, membantu mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan diri sendiri.
Teknik:
2. Positioning
Tujuan : Mencegah decubitus, tirah baring dan static pneumonia
Teknik : Fisioterapis mengajarkan dan memposisikan pasien melakukan
perubahan posisi (terlentang,miring kiri dan kanan).
Dosis : Setiap 2 jam

3. Infra Red
Posisi pasien : Supine lying
Persiapan alat : Cek alat, kabel, dan pastikan alat dalam keadaan baik..
Teknik pelaksanaan :
- On kan alat
- Panaskan sekitar 5 menit
- Pastikan daerah yang ingin disinari tidak terhalangi
oleh pakaian / assesoris pasien
- Atur jarak IR dengan tubuh ± 30 cm
- Atur waktu selama 15 menit
- Setelah waktu habis, jauhkan IR dari tubuh pasien
lalu tekan tombol off
Dosis: 3x seminggu (15 menit)

32
4. Elektrical Muscle Stimulasi
Posisi pasien : Supine lying
Persiapan alat : Cek alat, kabel, basahi spon dan pastikan alat dalam keadaan
baik..
Teknik pelaksanaan :
- On kan alat
- Pasang spon pada pad
- Gulung celana atau rok pada kedua tungkai bawah
- Letakkan pad pada tibialis anterior dan muscle
belly pada gastrocnemius
- Atur frekuensi, time, dan instensitas.
- Naikkan intensitas secara perlahan sampai
mencapai intensitas yang nyaman untuk pasien
- Setalah waktu habis, lepaskan pad, dan matikan
alat.
Dosis: 3 x seminggu (7 menit)

5. Breathing exercise
Tujuan :Meningkatkan ventilasi paru, meningkatkan kekuatan dan daya
tahan serta koordinasi otot otot respirasi dan mepertahankan
mobilitas chest
Teknik : Fisioterapi meletakkan kedua tangannya pada bagian perut pasien.
Perintahkan pasien untuk inspirasi sambil mengembungkan
perutnya dan ketika ekspirasi kempiskan perut lalu fisioterapis
mendorong dengan tangan secara pelan kearah dalam mengikuti
pola pernafasan pasien.
Dosis : setiap hari (3 x sehari)

33
6. Passive exercise
Tujuan : Mempertahankan dan meningkatkan mobilitas sendi
Teknik :Posisi tidur terlentang, kemudian fisioterapis memberikan
gerakan pasif pada ekstremitas.
Dosis :Setiap hari (15 sampai 30 kali repetisi).
7. Stretching
Tujuan : Mencegah kontraktur otot
Teknik Pelaksanaan :
- Gerakkan sendi secara perlahan sampai pada batas
keterbatasan.
- Stabilisasi pada bagian proksimal dan gerakkan
pada bagian distal sendi.
- Untuk mencegah kompresi sendi selama
stretching gunakan traksi derajat I untuk
menggerakkan sendi.
- Terapkan stretch secara perlahan dan general pada
sendi yang bersangkutan.
- Lakukan sekitar 08-10 detik atau lebih.
- Lakukan force sesuai dengan toleransi pasien.
Dosis : Setiap hari (6x repetisi)
8. AAROMEX
Tujuan : a) Mengembangkan koordinasi dan keterampilan motorik untuk
aktivitas fungsional, b) Mempertahankan elastisitas fisiologis dan
kontraktilitas otot yang terlibat, c) Memberikan stimulus untuk integritas
tulang dan jaringan sendi.
Teknik : Posisi pasien tidur terlentang, kemudian fisioterapis
memerintahkan pasien untuk menggerakkan ekstremitas dengan bantuan
sedikit dari fisioterapis pada awal atau akhir gerakan jika ada kelemahan.

34
Dosis : Setiap hari (15-30 detik)

K. Evaluasi
Pasien belum mau berkomunikasi dengan fisioterapis dan belum mampu
menggerakkan tungkai kanannya.

35
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Menurut Brain Injury Assosiation of America (2001), cedera kepala


adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang
dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan
kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Adapun penyebab cedera
kepala adalah kecelakaan lalu lintas, perkelahian, jatuh, cedera olah raga,
kecelakaan kerja, cedera kepala terbuka sering disebabkan oleh pisau atau
peluru. Adanya cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan struktur,
misalnya kerusakan pada parenkim otak, kerusakan pembuluh darah,
perdarahan, edema dan gangguan biokimia otak seperti penurunan adenosis
tripospat, perubahan permeabilitas vaskuler.
Craniectomi adalah salah satu tindakan bedah saraf yang
mengangkat suatu bagian tengkorak untuk memungkinkan otak yang
membengkak mendapat ruang untuk mengembang, sehingga terjadi
pengurangan tekanan. Craniectomi dapat menyebabkan kelemahan pada
anggota gerak pasien,sehingga fisioterapis berperan dalam penanganan
setelah operasi.
Adapun intervensi fisioterapi yang dapat diberikan antra lain :
Komunikasi terapeutik, Positioning, Breathing exercise,Passive exercise, dan
Stretching

B. SARAN
Setelah pembuatan laporan kasus ini, diharapkan agar mahasiswa giat
membaca laporan ini, dan mencari ilmu yang lebih banyak diluar dari laporan

36
ini terkait tentang meteri dalam pembahasan, dan tidak hanya berpatokan
dengan satu sumber ilmu (materi terkait), agar dapat mengetahui lebih dalam
kasus traumatic brain injury dan bagaimana penatalaksanaan fisioterapi yang
efektif yang dapat diberikan pada pasien TBI. Dan untuk kedepannya
penanganan fisioterapi dapat memberikan perubahan yang signifikan terhadap
pasien sehingga pasien dapat pulih dan beraktivitas dengan baik.

37
Spinal Cord Injury
FT NEUROMUSCULAR

KELOMPOK 4

Bambang Wibisono P3.73.26.1.21.511


Dea Estu Mawarni P3.73.26.1.21.106
Deiza Novamaria Aziza P3.73.26.1.21.107
Fimelia Putri A. P3.73.26.1.21.112
DEFINISI
Spinal cord injury (SCI) atau cedera medula spinalis
adalah suatu kondisi gangguan pada medula spinalis
atau sumsum tulang belakang akibat trauma dan non
trauma (infeksi bakteri atau virus) dengan gejala fungsi
neurologis mulai dari fungsi motorik, sensorik, dan
otonomik, yang dapat berujung menjadi kecacatan
menetap hingga kematian.
DATA DARI WHO PADA TAHUN 2013, TERDAPAT 250.000 SAMPAI
500.000 ORANG YANG MENGALAMI SCI SETIAP TAHUNNYA DAN
90%NYA MERUPAKAN KASUS TRAUMATIK.
PADA TAHUN 2018, ESTIMASI PREVALENSI INI MENINGKAT 2 KALI
LIPAT

Pria dewasa muda dengan rentang usia rata-rata 28 tahun


(terutama antara 16-30 tahun) yang paling tinggi
Epidemiologi mengalami gangguan spinal cord injury disebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas, kekerasan, jatuh dan cedera yang
berhubungan dengan rekreasi (seperti diving).

Usia saat cedera secara signifikan terkait dengan manajemen


deformitas dan akuisisi fungsi/fungsi yang sesuai dengan usia.
100% anak-anak yang cedera dengan SCI < 5 tahun akan
mengalami beberapa tingkat deformitas saat mereka
tumbuh/berkembang. (Induk 2010, Mulcahey dkk 2013, Betz &
Herndon 2014)
Etiologi
Risiko terjadi SCI kasus traumatik (90%), meliputi
kecelakaan lalu lintas (50%), jatuh (25%), olahraga atau
kecelakaan akibat pekerjaan (10%) (Pertiwi & Berawi, 2017).
Hasil studi lainnya menunjukkan bahwa lebih dari 70%
pasien SCI juga akan mengalami beberapa cedera lainnya
yang menjadi bukti bahwa kejadian SCI pada kasus
traumatik yang sangat tinggi. Sehingga setiap ditemukannya
kejadian trauma yang mengakibatkan cedera multipel baik
dengan defisit neurologis ataupun tidak, harus
dipertimbangkan adanya SCI
MekanismeSCI
1. Trauma

- Trauma langsung

- Trauma tidak langsung

2. Non trauma
Patof isiologi
MANIFESTASI KLINIS
Tingkat Efek Cedera
Cedera
C1-C3 Kuadriplegia, paralisis diafragma, kelemahan atau
paralisis otot aksesori, paralisis otot interkostal dan
abdominal
C4-C5 Kuadriplegia, menurunnya kapasitas paru, diafragma
mungkin mengalami paralisis/kelemahan, paralisis
interkostal dan abdominal, ketergantungan total dalam
aktivitas sehari-hari
C6-C7 Kuadriplegia, fungsi difragma baik, beberapa gerakan
tangan memungkinkan untuk melakukan sebagian
aktivitas sehari-hari.
C7-C8 Kuadriplegia dengan keterbatasan menggunakan jari
tangan, kemandirian meningkat
T1-T6 Kelemahan/paralisis interkostal, paralisis otot abdomen
T7-T12 Kelemahan/paralisis otot abdominal
L1-L2 dan Paraplegia dengan fungsi tangan masih baik,
atau kehilangan fungsi sensorik dan motorik, kehilangan
dibawahn fungsi defekasi dan berkemih
ya
Lokasi Lesi Manifestasi

Defisit motorik pada ekstremitas atas dibandingkan


Sentral ekstremitas bawah, kehilangan sensori bervariasi
(sindrom tetapi lebih berat pada ekstremitas atas. Disfungsi
medula pusat) defekasi dan berkemih bervariasi, atau fungsi
defekasi dan berkemih masih dipertahankan.

Anterior
Kehilangan sensasi nyeri dan fungsi motorik di
(sindrom
bawah lesi; sentuhan ringan, posisi dan sensasi
medula
vibrasi tetap utuh.
anterior)
Paralisis ipsi lateral atau paresis, bersamaan
Lateral
dengan kehilangan sensasi raba, tekanan dan
(sindrom
getaran ipsilateral dan kehilangan sensasi nyeri dan
Brownsequard)
suhu kontralateral.
Posterior
Kehilangan sensasi getaran dan propriosepsi, dan
(sindrom
medula
hanya kehilangan sebagian dari sensasi sentuhan MANIFESTASI
ringan
posterior)
KLINIS
PEMERIKSAAN
PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis Spinal Cord
Injury meliputi pemeriksaan neurologis, pencitraan diagnostik, dan pemeriksaan
elektrofisiologis.

Magnetic resonance imaging (MRI) adalah teknik pilihan untuk pencitraan sumsum tulang
belakang. Lesi SCI yang khas pada MRI berbentuk gelendong, berisi episentrum
perdarahan yang dikelilingi oleh lingkaran edema. Meskipun indikasi yang ditentukan
dengan jelas, beberapa peneliti menyarankan bahwa pasien dengan dugaan cedera
tulang belakang harus menjalani pemeriksaan MRI sesegera mungkin.
PROGNOSIS
Jaringan saraf yang telah
mengalami iritasi akibat
tegangan, kompresi, atau Tingkat keparahan cedera
hipoksia dapat mengalami adalah faktor prognostik Dengan menggunakan nilai AIS,
kerusakan sementara dan utama untuk prediksi prediksi yang lebih akurat dapat
menunjukkan tanda-tanda kemampuan ambulasi setelah dibuat dibandingkan dengan
seseorang mengalami cedera perbedaan antara cedera
pemulihan saat faktor yang complete dan incomplete. Pasien
mengiritasi dihilangkan. SCI. Dalam praktik klinis,
dengan nilai AIS A dan D memiliki
Dengan lesi yang terbentuk perbedaan antara SCI probabilitas terkecil (8,3%) dan
pada sumsum tulang complete dan incomplete terbesar (97,3%) untuk dapat
belakang, pemulihan penuh biasanya dibuat untuk berjalan secara mandiri 1 tahun
menyatakan tingkat setelah cedera. Sebaliknya,
fungsi neurologis tidak variabilitas kemungkinan hasil
mungkin terjadi, dan hasilnya keparahan cedera. Metode
ambulasi pada pasien dengan AIS
tergantung pada lain untuk prediksi hasil grade B dan C tetap relatif tinggi.
kemampuan rehabilitasi ambulasi dapat dicapai
untuk memaksimalkan fungsi dengan penggunaan skala
sisa standar neurologis ASIA/ISCoS.
Grade A: Complete. Tidak ada fungsi motorik
atau sensorik yang di segmen sacral S4-S5
KLASIFIKASI SCI
Grade B: Incomplete. Fungsi sensorik masih
baik, namun fungsi motorik terganggu sampai
segmen S4-S5

Grade C: Incomplete. Fungsi motorik terganggu


dibawah level neurologis, namun otot motorik
utama mempunyai nilai kekuatan otot kurang
dari sama dengan 3.

Grade D: incomplete. idem grade C, tapi


kekuatan motorik ≥3

Grade E: normal. fungsi motorik dan sensorik


Klasifikasi SCI menurut American normal
Spinal Injury Association (ASIA)
Klasifikasi ASIA/IMSOP
SEMOGA SESI BELAJAR KITA
PRODUKTIF DAN
MEN Y ENANGKAN.
TERIMAKASIH
BAB I
PENDAHULUAN

Spinal Cord Injury (SCI) merupakan salah satu kasus yang cukup
besar menimpa masyarakat kota pada masa sekarang ini. Apabila kasus ini
tidak ditangani secara cepat dan tepat dapat mengakibatkan penurunan
kualitas hidup seseorang atau bahkan kematian. Seseorang yang mengalami
spinal cord injury seringkali mengalami ketidakmampuan dalam memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari, bekerja, bersosialisasi, dan kehilangan rasa
percaya diri yang semuanya itu jika tidak diatasi dapat membawa penderita
tersebut mengalami masalah yang lebih besar lagi yang dapat berakibat
kepada keluarga, serta orang-orang disekitarnya.
Spinal cord injury (SCI) sekunder akibat trauma tulang belakang
merupakan salah satu cedera hebat yang memberikan signifikansi besar dalam
kehidupan manusia, yakni dalam hal tingkat morbiditas dan mortalitas,
perubahan aktivitas sehari-hari, dan biaya yang harus ditanggung oleh pasien,
keluarga dan masyarakat1. Tingkat insidensi di Amerika Serikat per tahun
mencapai 40 kasus baru per 1 juta penduduk setiap tahunnya atau
diperkirakan sekitar 12.000 kasus baru per tahun2. Tingkat mortalitas yang
tinggi (50%) pada spinal cord injury (SCI) umumnya terjadi pada saat kondisi
kecelakaan awal, sedangkan tingkat mortalitas bagi pasien yang masih
bertahan hidup dan dilarikan ke rumah sakit adalah 16%. Pasien dengan
spinal cord injury (SCI) memerlukan penyesuaian terhadap berbagai aspek,
antara lain masalah mobilitas yang terbatas, psikologi, urologis, pernafasan,
kulit, disfungsi seksual dan ketidakmampuan untuk berkerja. Selain itu biaya
yang dikeluarkan untuk pasien dengan cedera tersebut diestimasikan
mencapai 4 miliar dollar Amerika Serikat per tahunnya untuk pelayanan
kesehatan (akut dan kronis) dan harga yang harus dibayar oleh pasien dan
keluarganya tidak terhitung karena masalah yang ditimbulkan sifatnya seumur
hidup.
Fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang di tujukan kepada
individu dan atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan
memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang daur kehidupan dengan
menggunakan penanganan secara manual peningkatan gerak, peralatan,
pelatihan fungsi dan komunikasi3. Fisioterapi sebagai salah satu pemberi
pelayanan kesehatan dapat memberikan sumbangan ilmu dan kemampuannya
dalam meningkatkan kualitas hidup penderita Spinal Cord Injury. Hal ini
dapat dilakukan karena bidang kajian pelayanan fisioterapi dan masalah yang
ditangani fisioterapi dalam praktek sehari-hari adalah masalah atau gangguan
fungsi dan gerak. Pada kondisi penderita SCI fisioterapi jelas sangat
diperlukan untuk memberikan latihan-latihan serta edukasi, baik kepada
pasien maupun keluarganya untuk membatu pasien dalam mengatasi ganguan
gerak dan fungsi yang diakibatkan SCI tersebut. Penanganan fisioterapi yang
dapat diberikan pada penderita SCI yaitu penanganan yang bertujuan utama
untuk meningkatkan aktivitas fungsional sehari-hari terutama dalam
perpindahan dari satu tempat ketempat yang lain
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Spinal Cord Injury (SCI)


Cedera medulla spinalis atau Spinal Cord Injury (SCI) didefinisikan
sebagai cedera atau kerusakan pada medulla spinalis yang menyebabkan
perubahan fungsional, baik secara sementara maupun permanen, pada fungsi
motorik, sensorik atau otonom. Beberapa literature membedakan SCI secbagai
traumatic spinal cord injury (TSCI) dan nontraumatic, sedangkan pada
literature lainnya menggunakan istilah SCI sebagai TSCI.

B. Klasifikasi Spinal Cord Injury

Gambar 2. 1 Klasifikasi SCI menurut American Spinal Injury Association (ASIA)

Sumber: Burke-Doe, Annie. 2014. Physical Therapy Case Files Neurological


Rehabilitation. Mc Grraw Hill Education: USA

Klasifikasi berdasarkan American Spinal Injury Association (ASIA)


dalam Schreiber (2011). ASIA Impairment Scale (AIS) merupakan klasifikasi
yang disusun oleh American Spinal Injury Assosiation (ASIA) dan merupakan
modifikasi dari Frankle 9 Classification. Dalam menentukan kategori SCI
seorang pasien, ada 5 langkah yang harus dilakukan:
1. Menentukan Sensory Level (SL) dari sisi kanan dan kiri anggota
gerak
2. Menentukan Motor Level (ML) dari sisi kanan dan kiri anggota
gerak. Ditentukan dengan segmen paling kaudal dari spinal yang
memiliki fungsi motorik minimal 3 (tes dilakukan dalam posisi
supine lying) dan level di atasnya memiliki nilai fungsi motorik 5.
Catatan: region yang tidak dapat dilakukan miotom, fungsi motorik
dianggap sama dengan fungsi sensoris, jika daerah fungsi motorik
di atasnya juga normal.
3. Menentukan Neurologic Level (NL) dengan merujuk kepada bagian
paling kaudal dari spinal cord yang memiliki baik fungsi sensoris
maupun motorik normal.
4. Menentukan apakah tergolong SCI komplet atau inkomplet. Jika
ada kontraksi volunteer dari anal dan semua nilai SL S4-S5 adalah 0
maka tergolong kategori complete. Jika tidak maka SCI inkomplet.
5. Menentukan AIS grade:
- Grade A: Complete. Tidak ada fungsi motorik atau sensorik
yang di segmen sacral S4-S5
- Grade B: Incomplete. Fungsi sensorik masih baik, namun fungsi
motorik terganggu sampai segmen S4-S5
- Grade C: Incomplete. Fungsi motorik terganggu dibawah level
neurologis, namun otot motorik utama mempunyai nilai
kekuatan otot kurang dari sama dengan 3.
- Grade D: incomplete. idem grade C, tapi kekuatan motorik ≥3
- Grade E: normal. fungsi motorik dan sensorik normal

C. Etiologi Spinal Cord Injury


Sejak tahun 2005 etiologi utama spinal cord injury (Gambar 3.1),
antara lain kecelakaan lalu (39,2%), jatuh (28,3%), kekerasan (luka tembak,
14,6%), olah raga (terutama diving, 8,2%), akibat lainnya mencakup 9,7%.2
Beberapa literatur mendokumentasikan etiologi yang serupa, namun dengan
sedikit variasi pada proporsinya. Etiologi nontraumatic antara lain gangguan
vaskuler, autoimun, degeneratif, infeksi, iatrogenic dan lesi onkogenik.

Gambar 3.1 Etiologi Spinal Cord Injury (SCI)

D. Epidemiologi
Tingkat insidensi di Amerika Serikat per tahun mencapai 40 kasus
baru per satu juta penduduk setiap tahunnya atau diperkirakan sekitar 12.000
kasus baru per tahun.2 Sekarang ini, diperkirakan terdapat sekitar 183.000-
230.000 pasien dengan spinal cord injury (SCI) yang masih bertahan hidup di
Amerika Serikat.10
Cedera ini umumnya melibatkan pria dewasa muda dengan rentang
usia rata-rata 28 tahun (terutama antara 16-30 tahun). Hampir seluruh pasien
spinal cord injury (80,6%) adalah pria (perbandingan rasio pria:wanita yaitu
4:1) karena resikoyang lebih tinggi terhadap kecelakaan lalu lintas, kekerasan,
jatuh dan cedera yang berhubungan dengan rekreasi (seperti diving). Tingkat
mortalitas yang tinggi (50%) pada spinal cord injury (SCI) umumnya terjadi
pada saat kondisi kecelakaan awal, sedangkan tingkat mortalitas bagi pasien
yang masih bertahan hidup dan dilarikan ke rumah sakit adalah 16%.
Tingkat harapan hidup pada pasien dengan spinal cord injury (SCI) menurun
secara drastic apabila dibandingkan dengan populasi normal dan tingkat
mortalitas jauh lebih tinggi tahun pertama, apabila dibandingkan dengan di
tahun-tahun berikutnya.
E. Anatomi Tulang Belakang Dan Medulla Spinalis
Medulla spinalis merupakan bagian dari sistem saraf pusat yang
menjadi jalur informasi antara otak dan bagian tubuh lainnya. Pengetahuan
akan struktur neuroanatomi medulla spinalis adalah kebutuhan mendasar
yang diperlukan untuk mengerti setiap manifestasi klinis yang dapat
ditimbulkan oleh spinal cord injury (SCI). Selain itu, pada bagian ini akan
dibahas pula mengenai anatomi tulang belakang dan sekitarnya serta perfusi
dari medulla spinalis karena cedera pada medulla spinalis umumnya
terasosiasi dengan stuktur-struktur yang ada di sekitarnya.
1. Anatomi Kolumna Vertebralis
Kolumna vertebralis merupakan struktur penyokong utama
tubuh.3, 4
vertebra tidak hanya menyokong tulang tengkorak, tetapi
juga thorax, ekstremitas atas, pelvis dan menyalurkan berat tubuh ke
ekstremitas bawah. Selain itu, struktur ini memberikan perlindungan
yang bermakna bagi struktur-struktur yang ada di dalamnya, antara lain
medulla spinalis, nervus spinalis dan meningens.4 Kolumna vertebralis
terdiri dari 33 vertebrae (Gambar 2.1), antara lain 7 cervical, 12
thoracal, 5 lumbar, 5 sacral (bergabung menjadi sacrum) dan 4
coccygeal, dengan bantalan fibrocartilage di antara tiap segmen yang
disebut discus intervertebralis.3 Walaupun terdapat perbedaan secara
regional pada segmen-segmen tersebut, namun secara umum terdapat
pola anatomi yang mirip (Gambar 2.2). Vertebra umumnya terdiri dari
corpus di bagian anterior dan arcus vertebra di posterior, dan di
antaranya terdapat lubang yang disebut sebagai foramen vertebralis
yang berisikan medulla spinalis dan lapisan meningens. Arcus vertebra
terdiri dari sepasang pedicle dan laminae. Arcus vertebralis
membentuk 7 processus, antara lain satu processus spinosus, dua
processus transversus dan 4 processus articularis. Processus spinosus
merupakan sambungan dari kedua laminae, sedangkan processus
transversus terletak di antara laminae dan pedicle. Kedua processus
tersebut berfungsi sebagai tuaspengungkit dan menjadi tempat
perlekatan otot dan ligament. Processus articularis terbagi menjadi dua
processus superior dan dua processus inferior, kedua processus tersebut
membentuk sendi sinovial. Pedikel terdiri dari inferior notch dan
superior notch yang membentuk foramen intervertebralis (dari dua
vertebra). Sendi dari columna vertebralis terbagi menjadi dua, antara
lain sendi antara dua korpus vertebra yaitu fibrocartilaginous joint dari
diskus intervertebralisdan sendi antara dua arcus vertebralis yantu sendi
synovial antara processus articularis.4 Terdapat 6 ligamen di sekitar
columna vertebralis (Gambar 2.3), antara lain ligament anterior
longitudinal dan posterior longitudinal (ligament di sekitar corpus) dan
ligament supraspinatus, interspinatus, intertransversum dan flavum
(ligament di antara arcus vertebralis). Pada daerah cervical, ligament
supraspinatus dan interspinatus bergabung membentuk ligamentum
nuchae.

Gambar 2. 2 Gambaran Columna Vertebralis Dari Posterior

(Sumber: Snell RS, 2010)


Gambar 2. 3 A. Gambaran Columna Vertebralis Dari Lateral. B. Fitur Umum
Dari Tiap Vertebra
(Sumber: Snell RS, 2010)

Gambar 2. 4 Ligamen Pada Columna Vertebralis

(Sumber: Baron BJ et al, 2011)


2. Anatomi Medulla Spinalis
Medulla spinalis merupakan organ berbentuk silindris yang
dimulai dari foramen magnum di tulang tengkorak sampai dengan dua
pertiga seluruh panjang canalis vertebralis (dibentuk dari seluruh
foramen vertebralis), berkesinambungan dengan medulla oblongata di
otak, dan bagian terujung dari medulla spinalis terletak di batas bawah
vertebra lumbar pertama pada orang dewasa dan batas bawah vertebra
lumbar ketiga pada anak-anak.4 Medulla spinalis dikelilingi oleh 3
lapisan meningens, antara lain dura mater, arachnoid mater dan pia
mater. Selain itu, liquor cerebrospinalis (LCS) yang berada dalam
rongga subarachnoid juga memberikan perlindungan tambahanbagi
medulla spinalis.
Medulla spinalis terdiri dari 31 segmen, antara lain 8 segmen
cervical, 12 segmen thoracal, 5 segmen lumbar, 5 segmen sacral dan 1
segmen coccygeal (Gambar 2.4). Nervus spinalis keluar dari setiap
segmen medulla spinalistersebut (berjumlah 31 pasang nervus spinalis)
dan terdiri dari motor atau anterior roots (radix) dan sensory atau
posterior root., Penamaan nervus spinalis dilakukan berdasarkan
daerah munculnya nervus tersebut melalui canalis vertebralis. Nervus
spinalis C1 sampai C7 muncul dari atas columna vertebralis C1-C7,
sedangkan C8 di antara columna vertebralis C7-T1. Nervus spinalis
lainnya muncul dari bawah columna vertebralis yang bersangkutan.
Fungsi motor dari nervus-nervus spinalis antara lain, C1-C2
menginervasi otot- otot leher, C3-C5 membentuk nervus phrenicus
yang mempersarafi diagfragma, C5-T1 mempersarafi otot-otot
ekstremitas atas, segmen thoracal mempersarafi otot-otot
thoracoabdominal, dan L2-S2 mempersarafi otot-otot ekstremitas
bawah. Beberapa dermatom penting yang memberikan gambaran untuk
fungsi sensorik dari nervus spinalis, antara lain C2-C3 untuk bagian
posterior kepala-leher, T4-5 untuk daerah aerola mamae, T10 untuk
umbilicus, bagian ekstremitas atas: C5 (bahu anterior), C6 (ibu jari),
C7 (jari telunjuk dan tengah), C8 (jari kelingking), T1 (bagian medial
antebrachii), T2 (bagian medial brachii), T2/T3 (axilla), bagian
ekstremitas bawah: L1 (bagian anterior dan medial dari femur), L2
(bagian anterior dari femur), L3 (lutut), L4 (medial malleolus), L5
(dorsum pedis dan jari 1-3), S1 (jari 4-5 dan lateral malleolus), S3/Co1
(anus).5
Medulla spinalis terdiri dari dua substansia, antara lain
substansia kelabu (gray matter) yang terletak internal dan substansia
alba (white matter) yang terletak secara eksternal. Secara umum,
substansia alba terdiri dari tractus ascending (sensorik) dan tractus
descending (motorik), sedangkan substansia kelabu dapat dibagi
menjadi 10 lamina atau 3 bagian (cornu anterior, posterior dan lateral)
yang tersusun dari nucleus- nucleus yang berperan dalam potensi
aksineuron-neuron (Gambar 2.4 dan 2.5).5

Gambar 2. 5Anatomi Medulla Spinalis

(Sumber: Snell RS, 2010)


Gambar 2. 6 Gambar Penampang Melintang Dari Medulla Spinalis Setinggi
Midcervical

(Sumber: Snell RS, 2010)

Gambaran perjalanan sensorik dari nervus sensorik perifer


sampai menuju pusat sensorik di cortex cerebral dapat dilihat pada
Gambar 2.6. Tractus sensorik (ascending tracts) dari medulla spinalis
mencakup, antara lain tractus spinothalamicus lateral yang membawa
sensorik untuk nyeri dan temperature (Gambar 2.7), anterior
spinothalamicus untuk perabaan kasar (crude touch) dan tekanan
(Gambar 2.8), tractus columna dorsalis (posterior white column) untuk
perabaan halus (two-point discrimination), fungsi propioseptif dan
getaran (Gambar 2.9), dan tractus-tractus lainnya seperti spinocerebellar
(posterior dan anterior), cuneocerebellar, spinoreticular, spinotectal dan
spino-olivary.4
Gambar 2. 7Gambaran Umum Perjalanan Rangsang Sensorik Dari Sistem
Saraf Perifer Sampai Pusat Sensorik Di Cortex Cerebral (First-order Neuron
Sampai Third-Order Neuron)

(Sumber: Snell RS, 2010)


Gambar 2. 8 Tractus Spinothalamicus Lateral

(Sumber: Snell RS, 2010)


Gambar 2. 9 Tractus Spinothalamicus Anterior

(Sumber: Snell RS, 2010)


Gambar 2. 10 Tractus Columna Dorsalis (Posterior White Column)

(Sumber dari: Snell RS, 2010)


Gambaran perjalanan rangsang motorik melalui tractus motorik
(descending tract) dari pusat motor di gyrus precentral ke efektor (otot)
dapat dilihat pada Gambar 2.10. Tractus motoric dari medulla spinalis
mencakup, antara lain tractus corticospinalis (anterior dan lateral) untuk
gerakan otot volunteer dan yang membeutuhkan ketepatan (Gambar
2.11), rubospinalis untuk fasilitasi aktivitas otot-otot fleksordan
menghambat otot ekstensor (atau otot antigravitasi), vestibulospinalis
untuk fasilitasi otot-otot ekstensor dan menghambat otot-otot fleksor
terutama untuk tujuan menjaga postur dan keseimbangan, dan
olivospinalis (fungsi belum diketahui).

Gambar 2. 11 Gambaran Perjalanan Rangsang Motorik Melalui Tractus


Motorik (Descending Tract) Dari Pusat Motor Di Gyrus Precentral Ke
Efektor (Otot)

(Sumber: Snell RS, 2010)


Gambar 2. 12 Tractus Corticospinalis Anterior dan Lateral

(Sumber: Snell RS, 2010)


Pengetahuan akan perjalanan tractus-tractus (terutama mengenai
pada level mana terjadi decusatio) yang ada dalam substansia alba
medulla spinalis akan memberikan pengertian yang komprehensif
mengenai manifestasi klinis pasien-pasien dengan trauma medulla
spinalis. Persepsi raba halus, propioseptif dan getaran (dari tractus
columna dorsalis) tidak mengalami penyilangan (decusatio) sebelum
rangsan tersebut mencapai medulla oblongata, sedangkan tractus
spinothalamicus lateral dan anterior menyilang dalam 3 level segmen
tempat rangsan tersebut masuk. Di sisi lain, tractus motorik utama
(corticospinalis) mengalami decusatio pada level medulla oblongata. Hal
ini menyebabkan adanya lesi pada tractus corticospinalis atau columna
dorsalis menyebabkan paralisismotor ipsilateral (untuk corticospinalis)
dan hilangnya persepsi raba halus, propioseptif dan getaran pada
ipsilateral dari lesi tersebut. Sebaliknya, lesi pada tractus yang membawa
persepsi nyeri, suhu, tekanan dan raba kasar menyebabkan hilangnya
persepsi tersebut pada daerah kontralateral dari lesi.
Selain tractus untuk fungsi sensorikdan motoric, medulla spinalis
juga berperan dalam fungsi otonom. Fungsi saraf simpatis dipengaruhi
oleh nervus cranialis T1-L3 (thoracolumbal), sedangkan fungsi saraf
parasimpatis pada S2-S4. Lesi medulla spinalis pada daerah yang
bersangkutan dapat menyebabkan gangguan saraf otonom sesuai dengan
tingkat lesinya. Salah satu korelasi klinis dari fungsi saraf simpatis yang
terganggu akibat dari lesi lebih tinggi dari T6 adalah neurogenic shock
akibat hilangnya tonus simpatis pada pembuluh darah arteri, sedangkan
gangguan miksi dan disfungsi ereksi akibat gangguan tonus parasimpatis.
Perfusi dari medulla spinalis terdiri dari satu arteri spinalis anterior
dan dua arteri spinalis posterior. Arteri spinalis anterior memberikan
suplai darah dua pertiga bagian anterior dari medulla spinalis. Adanya
lesi pada pembuluh darah tersebut menyebabkandisfungsi dari tractus
corticospinalis, spinothalamicus lateral dan jalur otonom (paraplegia,
hilangnya persepsi nyeri dan temperature dan disfungsi otonom). Arteri
spiralis posterior secara utama memberikan suplai darah untuk columna
dorsalis dan substansia kelabu bagian posterior. Kedua arteri tersebut
muncul dari arteri vertebralis., Beberapa cabang radikuler dari aorta
thoracalis dan abdominalis memberikan perdarahan kolateral bagi
medulla spinalis.

Gambar 2. 13 Gambar Perfusi Medulla Spinalis (Sumber: Guener G et al, 2008)

Gambar 2. 14 Gambar Penampang Melintang Medulla Spinalis Dengan Arteri


Spinalis Anterior

(Sumber: Waxman SG, 2010)


F. Patofisiologi
1. Mekanisme Cedera
Lokasi spinal cord injury (SCI) berturut-turut dari yang paling
umum, antara lain daerah cervical (level C5-C6), thoracolumbar junction,
thoracalis dan lumbalis (Tabel 3.1). Mekanisme cedera pada umumnya
merupakan aspek utama yang menentukan lokasi spinal cord injury (SCI),
contohnya motor vehicle accident (MVA) atau kecelakaan lalu lintas
umumnya melibatkan cedera daerah cervical (akibat hyperextesion atau
hyperflexion), jatuh melibatkan beberapa daerah lokasi tergantung bagian
yang terjauh menumpu ke tanah terlebih dahulu (jatuh dengan kaki
menumpu melibatkan daerah thoracolumbar akibat compression fracture
atau burst fracture, jatuh di tangga dimana leher menumpu tangga
melibatkan hyperextension leher dan cedera cervical), jatuh dengan pantat
menumpu tanah melibatkan daerah lumbar.

Tabel 2. 1 Frekuensi Traumatic Spinal Cord Injury (TSCI) Berdasarkan Tingkat


Cedera Yang Dialami (Sumber: Derwenkus J, 2004)

Tingkat Cedera Frekuensi (%)


Cervical spine; paling umum C5-C6 50-55
Thoracic spine 10-15
Thoracolumbar 15-20
Lumbosacral 10
Sacral < 10
Multipel level 20
Disertai dengan cedera kepala
- Ringan 40-50
- Berat 2-3

Cedera pada medulla spinalis dapat terjadi secara mandiri, namun


seringkali tulang belakang juga ikut mengalami cedera secara bersamaan
karena trauma yang dialami. Hal penting yang perlu diketahui adalah
walaupun derajat kerusakan columna vertebralis yang parah umumnya
menyebabkan spinal cord injury (SCI) yang serius, namun hubungan
tersebut tidak selalu terjadi. Kerusakan minor dari columna vertebralis
umumnya tidak menyebabkan defisit neurologis, namun tetap mungkin
menyebabkan deficit neurologis yang serius. Seperti telah disinggung pada
paragraf sebelumnya, mekanisme cedera selain dapat menentukan tingkat
spinal cord injury (SCI), juga dapat menentukan jenis cedera pada
columna vertebralis. Trauma dapat menyebabkan cedera pada medulla
spinalis melalui kompresi langsung dari tulang, ligamen atau discus,
hematoma, gangguan perfusi dan atau traksi.
Cedera pada medulla spinalis dan columna vertebralis dapat
diklasifikasikan menjadi fraktur-dislokasi, fraktur murni dan dislokasi
murni (dengan frekuensi relatif 3:1:1). Ketiga tipe dari cedera tersebut
terjadi melalui mekanisme yang serupa, antara lain vertical compression
dengan anteroflexion (flexion injury) atau dengan retroflexion
(hyperextension injury). Pada flexion injury, kepala tertunduk secara tajam
ketika gaya diberikan. Kedua vertebra cervical yang bersangkutan akan
mengalami tekanan maksimum dan batas anteroinferior dari corpus
vertebralis yang berada di atas akan terdorong ke bawah (kadang terbelah
menjadi dua). Fragmen posterior dari corpus vertebralis yang mengalami
fraktur akan terdorong ke belakang dan memberikan tekanan pada medulla
spinalis (tear drop fracture). Mekanisme cedera ini merupakan jenis yang
paling sering pada daerah cervical dan umumnya melibatkan daerah C5-
C6 (terjadi subluxation/dislocation). Seringkali, terdapat robekan dari
ligamen interspinosus dan posterior longitudinal ligaments sehingga
menyebabkan dislokasi. Spinal cord injury (SCI) terjadi akibat kompresi
atau traksi dan menyebabkan adanya kerusakan langsung atau vaskuler.
Gambar 2. 15 Mekanisme Flexion Injury Dan Dislokasi Dari C5-C6 Dengan Robekan
Pada Ligamen Interspinosus Dan Posterior Longitudinal Ligaments, Kapsul Facet Dan
Intervertebralis Posterior

(Sumber: Freidberg SR, 2012)

Gambar 2. 16 Mekanisme Cedera Anterofleksi

(Sumber: Sheerin F, 2005)

Pada hyperextension injury terjadi vertical compression dengan


posisi kepala ekstensi (retroflexion). Stres utama terjadi pada daerah
posterior (lamina dan pedicle) dari vertebra cervical bagian tengah (C4-
C6), dimana dapat terjadi fraktur unilateral, bilateral dan robekan dari
ligament anterior. Hyperextension injury dari medulla spinalis umumnya
terjadi tanpa terlihat adanya kerusakan vertebra atau misalignment dari
vertebra, walaupun begitu, spinal cord injury (SCI) yang terjadi dapat
menjadi serius dan permanen. Cedera tersebut dapat terjadi akibat robekan
ligamen (ketika dilakukan x-ray atau CT-scan alignment sudah kembali
normal). Walaupun, penggunaan CT-scan dan x-ray tulangbelakang lateral
dapat digunakan untuk melihat cedera tulang belakang (perlu dilakukan
fleksi dan ekstensi dari leher), adanya robekan dan penonjolan ligament
dari dislokasi vertebra dapat dilihat dengan menggunakan MRI.
Selain itu, spinal cord injury (SCI) yang terjadi dapat diakibatkan
oleh central cervical cord syndrome. Cedera dengan mekanisme ini
umumnya melibatkan orang tua dan pasien dengan spinal canal stenosis.

Gambar 2. 17 Mekanisme Hyperextension Injury

(Sumber: Freidberg SR, 2012 dan SheerinF, 2005)


Mekanisme cedera lainnya yaitu compression injury. Pada cedera
dengan mekanisme ini, corpus vertebra mengalami pemendekan dan
mungkin terjadi wedge compression fracture atau burst fracture dengan
fragmen posterior dari corpus masuk ke dalam canalis spinalis. Wedge
fracture umumnya stabil karena ligamentumnya intak, namun apabila
terdapat fragmen yang masuk ke dalam canalis spinalis dan biasanya
terdapat kerusakan ligamen sehingga tergolong tidak stabil. Apabila terjadi
kombinasi gaya rotasi, dapat terjadi tear drop fracture (digolongkan tidak
stabil).

Gambar 2. 18 Compression Injury

(Sumber: Freidberg SR, 2012 dan Sheerin F, 2005)


2. Patofisiologi Molekuler
Adanya trauma pada medulla spinalis menyebabkan munculnya
gejala dan tanda klinis akibat dari cedera primer dan sekunder.Terdapat
empat jenis mekanisme cedera primer pada medulla spinalis, antara lain
benturan dengan kompresi pesisten, benturan dengan kompresi sementara,
distraksi dan laserasi/transection. Mekanisme cedera primer yang paling
umumadalag benturan disertai kompresi persisten, yang terutama terjadi
pada burst fracture dengan retropulsi dari fragmen tulang yang
memberikan kompresi pada medulla spinalis (tear drop fracture),
fracture-dislocation dan acute discus rupture. Mekanisme kedua yaitu
benturan dengan kompresi sementara contohnya terjadi pada
hyperextension injury pada individu dengan penyakit degenerative
cervical. Distraksi yaitu regangan kuatyang terjadi pada medulla spinalis
akibat gaya fleksi, ekstensi, rotasi dan dislokasi yang menyebabkan (dapat
menyebabkan gangguan perfusi). Distraction injury ini merupakan salah
satu penyebab terjadinya spinal cord injury (SCI) tanpa ditemukan adanya
kelainan pada pencitraan radiologi. Mekanisme cedera terakhir yaitu
laserasi dapat disebabkan oleh cedera karena roket, luka karena serangan
api, dislokasi dari fragmen tulang yang tajam dan distraksi hebat. Laserasi
dapat menyebabkan total transection sampai hanya cedera minor saja.
Seluruh mekanisme cedera primer menyebabkan kerusakan pada
substansia kelabu bagian central, tanpa kerusakan substansia alba (bagian
perifer). Adanya kecenderungan cedera pada bagian substansia kelabu
dispekulasikan merupakan akibat konsistensinya yang lebih lunak dan
adanya pembuluh darah yang lebih banyak. Cedera tersebut menyebabkan
kerusakan pembuluh darah (microhemorrhage) dalam hitungan menit awal
paska trauma sampai dengan beberapa jam ke depan yang berlanjut
mengakibatkan iskemia dan hipoksia medulla spinalis. Kerusakan terjadi
akibat dari kebutuhan metabolism yang tinggi dari medulla spinalis. Selain
pembuluh darah, neuron juga mengalami edema pada daerah cedera.
Edema hebat medulla spinalis terjadi dalam hitungan menit awal dan
nantinya berlanjut menyebabkan iskemia cedera sekunder. Substansia
kelabu mengalami kerusakan irreversible dalam satu jam pertama setelah
cedera, sedangkan substansia alba dalam 72 jam stelah cedera.9
Cedera primer merupakan penyebab dari kerusakan sekunder dari
spinal cord injury (SCI). Mekanisme cedera sekunder (Gambar 3.6),
meliputi neurogenic shock, gangguan vaskuler berupa perdarahan dan
iskemia-reperfusi, eksitotoksitas, kerusakan sekunder akibat calcium,
gangguan cairan-elektrolit, cedera imunologis, apoptosis, gangguan fungsi
mitochondria dan proses lainnya.

Gambar 2. 19 Cedera Primer dan Sekunder Dari Spinal Cord Injury

(Sumber: Dumont et al,2001)

Spinal cord injury (SCI) menyebabkan terjadinya neurogenic shock


(Gambar 3.7). Terdapat beberapa interpretasi dari defenisi syok ini, namun
dalam literatur umumnya didefinisikan sebagai perfusi jaringan yang
inadekuat akibat parese serius pada vasomotor(yang berakibat gangguan
keseimbangan dari vasodilatasidan vasokonstriksi pada arteriole dan
venule). Neurogenic shock merupakan akibat dari spinal shock yang
merupakan manifestasi dari spinal cord injury (SCI). Cedera primer
menyebabkan peningkatan ion potassium pada rongga ekstraselluler
sehingga mengakibatkan hilangnya aktivitas somatic, refleks dan
autonomic di bawah level kerusakan tersebut. Neurogenic shock
disebabkan karena hilangnya tonus simpatis yang berakibat munculnya
bradikardia, hipotensi dengan penurunan resistensi perifer dan cardiac
output.7 Syok ini umumnya bermanifestasi antara 4-6 jam stelah cedera di
atas level T6 terjadi. Spinal shock dan neurogenic shock merupakan
kondisi sementara yang dapat bertahan antara 48 jam sampai 6 minggu
paska cedera (sangat bervariasi).

Gambar 2. 20 Patofisiologi dari Neurogenic Shock

(Sumber: Sheerin F, 2005)


G. Manifestasi Klinis
Kompresi medula spinalis menimbulkan gejala: nyeri yang terlokalisir
atau menyebar, paresis atau paraplegia, gangguan fungsi defekasi dan
berkemih, kehilangan kontrol sfinkter dan disfungsi seksual. Manifestasi
klinik bervariasi tergantung tingkat cedera, derajat syok spinal, fase dan
derajat pemulihan.
Tabel 2. 2 : Efek cedera berdasarkan tingkat cedera medula spinalis
Tingkat Cedera Efek Cedera
C1-C3 Kuadriplegia, paralisis diafragma, kelemahan atau paralisis otot aksesori,
paralisis otot interkostal dan abdominal
C4-C5 Kuadriplegia, menurunnya kapasitas paru, diafragma mungkin
mengalami paralisis/kelemahan, paralisis interkostal dan abdominal,
ketergantungan total dalam aktivitas sehari-hari
C6-C7 Kuadriplegia, fungsi difragma baik, beberapa gerakan tangan
memungkinkan untuk melakukan sebagian aktivitas sehari-hari.
C7-C8 Kuadriplegia dengan keterbatasan menggunakan jari tangan,
kemandirian meningkat
T1-T6 Kelemahan/paralisis interkostal, paralisis otot abdomen
T7-T12 Kelemahan/paralisis otot abdominal
L1-L2 dan atau Paraplegia dengan fungsi tangan masih baik, kehilangan fungsi sensorik
dibawahnya dan motorik, kehilangan fungsi defekasi dan berkemih

Sedangkan efek cedera medula spinalis tidak komplit akan


menunjukkan karakteristik berdasarkan area medula spinalis yang
mengalami gangguan baik sentral lateral, anterior atau perifer.

Tabel 2. 3 Manifestasi Klinik Cedera Medula Spinalis Berdasarkan


Lokasi Lesi
(Sumber: Kisner, Carolyn and Lynn Allen Colby, 2016, Terapi latihan : dasar dan teknik,
Jakarta, EGC)
Lokasi Lesi Manifestasi
Sentral (sindrom Defisit motorik pada ekstremitas atas dibandingkan ekstremitas bawah,
medula pusat) kehilangan sensori bervariasi tetapi lebih berat pada ekstremitas atas.
Disfungsi defekasi dan berkemih bervariasi, atau fungsi defekasi dan
berkemih masih dipertahankan.
Anterior (sindrom Kehilangan sensasi nyeri dan fungsi motorik di bawah lesi; sentuhan
medula anterior) ringan, posisi dan sensasi vibrasi tetap utuh.
Lateral (sindrom Paralisis ipsi lateral atau paresis, bersamaan dengan kehilangan sensasi
Brownsequard) raba, tekanan dan getaran ipsilateral dan kehilangan sensasi nyeri dan
suhu kontralateral.
Posterior (sindrom Kehilangan sensasi getaran dan propriosepsi, dan hanya kehilangan
medula posterior) sebagian dari sensasi sentuhan ringan
H. Diagnosis Spinal Cord Injury

Teknologi pencitraan merupakan bagian penting dari proses diagnostik


spinal cord injury akut atau kronis. Spinal cord injury dapat dideteksi
menggunakan berbagai jenis pencitraan yang tergantung pada jenis patologi
yang mendasarinya.

- Pemindaian MRI telah menjadi golden standard untuk pencitraan jaringan


saraf seperti sumsum tulang belakang, ligamen, cakram, dan jaringan
lunak lainnya. Hanya urutan MRI dari T2 sagital yang ditemukan berguna
untuk tujuan prognostik.

- Fraktur tulang belakang dan lesi tulang lebih baik ditandai dengan
computed tomography (CT) dan cedera vaskular dapat dideteksi dengan
menggunakan angiografi MR atau dengan CT scan.

I. Prognosis Spinal Cord Injury


Jaringan saraf yang telah mengalami iritasi akibat tegangan, kompresi,
atau hipoksia dapat mengalami kerusakan sementara dan menunjukkan tanda-
tanda pemulihan saat faktor yang mengiritasi dihilangkan. Dengan lesi yang
terbentuk pada sumsum tulang belakang, pemulihan penuh fungsi neurologis
tidak mungkin terjadi, dan hasilnya tergantung pada kemampuan rehabilitasi
untuk memaksimalkan fungsi sisa. Sementara intervensi bedah mungkin
dapat membatasi kerusakan lebih lanjut di mana ada lesi progresif dari
sumsum tulang belakang, yang juga dapat menyebabkan beberapa perbaikan
status neurologis secara keseluruhan.
Harapan fungsional dan prognosis setelah cedera tulang belakang
tergantung pada banyak faktor individual, seperti tingkat neurologis cedera
tulang belakang/spinal cord injury, keparahan cedera sumsum tulang
belakang (lengkap - tidak lengkap, skala penurunan ASIA), dan faktor
spesifik pasien yaitu :
- Usia, Kesehatan dan Kebugaran / Fungsi Pra-morbid
- Riwayat Penyakit Dahulu / Komorbiditas
- Cedera Terkait
- Komplikasi Sekunder
- Motivasi dan Kesejahteraan Psikososial

J. Penatalaksanaan Fisioterapi
Assessment dalam fisioterapi neurologis adalah proses pengumpulan
informasi tentang pola gerakan yang tidak teratur, gangguan mendasar,
pembatasan aktivitas, dan partisipasi masyarakat untuk tujuan perencanaan
intervensi dan untuk membantu terapis menentukan intervensi terbaik.
Penatalaksanaan fisioterapi terdiri dari assessment, langkah-langkah yang
dilakukan dalam assessment meliputi:
1. Pemeriksaan Subjektif
a) Anamnesis
Penilaian subjektif digunakan untuk memberikan gambaran
rinci tentang bagaimana cedera tulang belakang mempengaruhi
individu dan khusus untuk setiap individu. Memiliki pemahaman
tentang situasi sosial individu akan memungkinkan fisioterapis
untuk merencanakan pemulangan dan untuk memastikan
dukungan yang memadai tersedia baik selama dan setelah
perawatan mereka.
- Sosial : apa latar belakang individu (misal: pekerjaan,
keluarga, hobi/rekreasi)
- Struktur Pendukung : dukungan apa yang dimiliki individu
dari keluarga, teman, kolega, atau tanggungan?
- Akomodasi : jenis akomodasi apa yang mereka tinggali?
misalnya dua lantai, bungalo, apartemen, akses seperti
tangga, tangga tangga. Dengan siapa mereka tinggal?
Keluarga, Teman, Sendiri

2. Pemeriksaan Objektif
Secara obyektif, penting untuk terlebih dahulu menilai
gangguan termasuk kelemahan, sensasi, tonus otot, range of motion
dan kemudian dampak gangguan ini pada tingkat aktivitas dan
partisipasi individu dengan cedera tulang belakang. Gangguan
utama perlu dikaitkan dengan pembatasan aktivitas tertentu dan
pembatasan partisipasi.
a) Kekuatan Otot
Penilaian kekuatan otot biasanya dilakukan sebagai
bagian dari penilaian objektif pasien untuk membantu
penalaran klinis fisioterapis dan memungkinkan mereka
untuk mempertimbangkan titik yang tepat untuk mulai
memperkuat rehabilitasi. Kekuatan otot dapat dinilai
dengan sejumlah metode: secara manual, fungsional atau
mekanis termasuk yang berikut:
- Manual Muscle Testing (MMT)
- Repetition Maximum Testing
- Miometri genggam adalah perangkat kecil yang
mengukur gaya isometrik
- Dinamometri mengukur torsi selama kontraksi
dinamis pada kecepatan sudut konstan
Kekuatan otot dinilai pada awal fase akut setelah
cedera tulang belakang menggunakan penilaian motorik
dari the International Standards for Neurological
Classification of Spinal Cord Injury.

b) Tes Dermatom dan Miotom


Dermatom adalah area kulit yang dipersarafi
terutama oleh suatu saraf spinalis. Ada 8 saraf servikal,
12 saraf torakal, 5 saraf lumbal dan 5 saraf sakral.
Masing-masing saraf menyampaikan rangsangan dari
kulit yang dipersarafinya ke otak. Dermatom sangat
bermanfaat dalam bidang neurologi untuk menemukan
tempat kerusakan saraf saraf spinalis.

Gambar 2. 21 Dermatome

Myotom adalah sekelompok jaringan terbentuk dari


somit yang berkembang ke dalam otot dinding tubuh.
Istilah “myotome” juga digunakan untuk
menggambarkan otot 58 yang dilayani oleh akar saraf
tunggal. Dengan pembagian myotom otot:
- C1 - C2: leher fleksi, leher ekstensi
- C3: leher fleksi lateral
- C4: elevasi bahu
- C5: retraksi bahu, abduksi bahu
- C6: fleksi elbow, ekstensi wrist
- C7: ekstensi elbow, fleksi wrist
- C8 : fleksi jari tangan, ekstensi jempol tangan
- T1 : Jari abduksi dan adduksi
- T2-T1 : Tidak ada otot yang diinervasi
- L2 : hip fleksi L3 : ekstensi lutut
- L4 : ankle dorsi fleksi
- L5 : ekstensi ibu jari kaki
- S1 : ankle plantar fleksi, eversi, ekstensi hip dan
pantat
- S2 : fleksi lutut
- S3 - S4 : kerut anus / dubur

c) Pemeriksaan Tonus Otot


Kerusakan pada Sistem Saraf Pusat berikut dapat
menyebabkan seseorang kehilangan kemampuan untuk
mengontrol tonus otot yang dapat menyebabkan
peningkatan atau penurunan tonus otot saat istirahat.
Lesi Upper Motor Neuron dapat ditandai dengan
peningkatan tonus, sedangkan Lesi Lower Motor
Neuron menghasilkan hipotonia. Tergantung pada
tingkat lesi, individu dengan cedera tulang belakang
dapat menunjukkan peningkatan atau penurunan tonus
otot.
Spastisitas merupakan fungsi tonus yang meningkat
tergantung pada kecepatan gerakan. Spastisitas
merupakan gambaran lesi pada Upper Motor Neuron.
Membentuk ekstremitas pada posisi ekstensi.
Pengukuran spastisitas dilakukan apabila ada
kecurigaan kecenderungan posisi. Skala pengukuran
dapat menggunakan ashworth.
Skala Klinis Spastisitas (Modified Ashworth Scale)
- 0 : Tidak terdapat peningkatan tonus postural
- 1 : Sedikit peningkatan tonus, terdapat tahanan
minimal di akhir Lingkup Gerak Sendi
- 1+: Sedikit peningkatan tonus, tahanan sedikit
kurang dari ½ Lingkup Gerak Sendi
- 2 : Peningkatan tonus lebih nyata hampir di
seluruh Lingkup Gerak Sendi, namun masih
bisa digerakkan
- 3 : Peningkatan tonus bermakna, sehingga
gerakan pasif sulit dilakukan
- 4 : Sendi dalam posisi fleksi atau ekstensi atau
dalam satu posisi

d) Refleks
Pengujian refleks, yang menggabungkan penilaian
fungsi dan interaksi dari kedua jalur sensorik dan
motorik, sederhana, informatif dan dapat memberikan
wawasan penting ke dalam integritas sistem saraf di
berbagai tingkatan.
- Deep Tendon Reflexes : Biceps (C5/6), Trisep
(C7/8), Brakioradialis (C6/7), Patela / Lutut
(L3/4), Achilles / Pergelangan Kaki (S1/2)
- Plantar Reflex (Babinski’s Sign) : stimulasi
plantar dilakukan untuk mengidentifikasi pasien
dengan disfungsi pyramidal tract
- Hoffmanns Reflex (Finger Flexor Test)

e) Joint Range of Motion (ROM)


Range of Motion adalah pengukuran gerakan di
sekitar sendi atau bagian tubuh tertentu atau jarak atau
jumlah kebebasan sendi dapat digerakkan ke arah
tertentu. Rentang gerak diukur dalam derajat sudut
biasanya dengan Goniometer. Ada tiga elemen utama
yang terkait dengan rentang gerak.
- Passive ROM : dilakukan pada sendi yang
tidak aktif.
- Active-assistive ROM : gerakan yang
dilengkapi dengan beberapa bantuan manual
dari fisioterapis.
- Active ROM : gerakan yang dilakukan sendiri
oleh pasien.
Hilangnya jangkauan gerak sendi dan mobilitas sendi,
merupakan komplikasi umum dari cedera tulang
belakang yang sering menyebabkan kontraktur. Rentang
gerak sendi yang berkurang atau kontraktur dapat
dimediasi secara saraf sekunder untuk spastisitas dan
non-neural dimediasi sebagai akibat dari perubahan
struktural pada jaringan lunak di atas sendi.

f) Balace
Keseimbangan, terutama keseimbangan duduk,
sangat penting bagi individu dengan SCI karena banyak
individu terikat kursi roda. Keseimbangan diperlukan
agar postur tubuh tetap tegak dan mencegah jatuh saat
menggunakan anggota tubuh bagian atas untuk
membantu ambulasi saat menggunakan kursi roda.
Namun, hilangnya sebagian/seluruh sensasi dan
kekuatan otot pada tungkai bawah dan batang tubuh
dapat mempengaruhi kemampuan individu untuk
menjaga keseimbangan.
Kontrol keseimbangan ditentukan oleh;

- Keseimbangan statis: mempertahankan postur


tegak.

- Keseimbangan proaktif: menjaga keseimbangan


selama voluntary movement.

- Keseimbangan reaktif: mendapatkan kembali


keseimbangan setelah terjadi kehilangan
keseimbangan.
3 Ukuran hasil yang digunakan untuk menilai
keseimbangan duduk yang tidak didukung meliputi;
- The Functional Reach Test (dapat dimodifikasi
dari posisi berdiri ke posisi duduk.)
- Sitting Balance Score (SBS)
Score Penilaian
1 (poor) Tidak dapat mempertahankan posisi statis
2 (fair) Mampu mempertahankan posisi statis tanpa kesulitan tetapi
membutuhkan bantuan dalam semua tugas
3 (good) Mampu mempertahankan posisi statis tanpa kesulitan, tetapi
membutuhkan bantuan dalam meluruskan dari sisi
hemiplegia
4 (normal) Mampu melakukan pemeriksaan tanpa bantuan fisik apapun

- Motor Assessment Scale (MAS)


Score Penilaian
1 Duduk dengan dukungan saja
2 Duduk tidak didukung selama 10 s
3 Duduk tanpa penyangga dengan berat badan ke depan dan
terdistribusi secara merata
4 Duduk tanpa penyangga, memutar kepala dan badan untuk
melihat ke belakang
5 Duduk tanpa penyangga, meraih ke depan untuk menyentuh
lantai dan kembali ke posisi awal
6 Duduk di bangku tanpa penyangga, menjangkau ke samping
untuk menyentuh lantai
g) Fungsi Respirasi
Cedera medula spinalis dapat mengakibatkan
paralisis otot-otot pernapasan inspirasi dan ekspirasi,
yang kemudian dapat mempengaruhi resistensi pasif
paru dan dinding dada terhadap ekspansi dan komponen
aktif inspirasi dan ekspirasi. Dengan cedera tulang
belakang traumatis, cedera lain juga dapat terjadi yang
dapat berdampak pada fungsi pernapasan termasuk
patah tulang rusuk, pneumotoraks dan/atau hemotoraks.
Fungsi pernapasan perlu dinilai dengan pemeriksaan
pernapasan yang komprehensif, memberikan perhatian
khusus pada cedera dada terkait lainnya yang harus
mencakup:
- Pengamatan Individu
- Ventilasi
- Pola pernapasan
- Respiratory rate
- Saturasi Oksigen
- Auskultasi
- Efektivitas batuk

h) Indeks Barthel
Indeks Barthel merupakan suatu instrument
pengkajian yang berfungsi mengukur kemandirian
fungsional dalam hal perawatan diri dan mobilitas.
Indeks Barthel menggunakan 10 indikator, yaitu:
Berdasarkan tabel di atas, interprestasi hasil menurut Barthel
adalah :

- 0 – 20 : Ketergantungan penuh

- 21 – 61 : Ketergantungan berat/ sangat


tergantung

- 62 - 90 : Ketergantungan moderat

- 91 - 99 : Ketergantungan ringan

- 100 : Mandiri

3. Intervensi Fisioterapi
1. Latihan pernapasan (Breathing Exercise) Latihan pernapasan
yang dilakukan dengan teknik deep breathing dan chest
expantion secara aktif. Tujuan dari latihan pernapasan ini
antara lain: (1) menambah atau meningkatkan ekspansi thorak,
(2) memelihara ventilasi, (3) mempertahankan kapasitas vital,
(4) mencegah komplikasi paru, (5) relaksasi. Pada teknik deep
breathing, pasien diminta melakukan inspirasi dan ekspirasi
secara maksimal dengan kombinasi gerakangerakan pada
lengan secara bilateral sedangkan pada teknik chest expantion
dilakukan seperti latihan pernapasan biasa dengan diberi
tahanan manual. Latihan pernapasan ini dilakukan dengan
pengulangan sebanyak tiga kali atau sesuai toleransi pasien
(Hollis dan Fletcher, 1999).
2. Perubahan posisi ( change position) Perubahan posisi sangat
penting pada penderita tetraplegi karena kelumpuhan kedua
tungkai sehingga penderita tidak mampu menggerakkan kedua
tungkainya. Perubahan posisi ini bertujuan untuk: (1)
mencegah decubitus, (2) mencegah komplikasi paru, (3)
mencegah timbulnya batu kandung kemih, (4) mencegah
terjadinya thrombosis. Perubahan posisi ini dilakukan setiap 2
jam sekali (Long, 1999).
3. Latihan gerak pasif Latihan gerak pasif yaitu latihan dengan
cara menggerakan suatu segmen pada tubuh dimana
kekuatannya berasal dari luar, bukan dari kontraksi otot,
kekuatan dapat dari mesin, individu lain atau bagian lain dari
tubuh individu itu sendiri. Fungsi gerakan pasif adalah untuk
memelihara sifat-sifat fisiologis otot, serta untuk
memperlancar aliran darah (Kisner,1991). Latihan gerak pasif
yang digunakan disini adalah relaxed passive movement.
4. Latihan gerak aktif (pada ekstremitas atas) Latihan gerak aktif
yaitu latihan dengan menggerakan suatu segmen pada tubuh
yang dilakukan karena adanya kekuatan otot dari bagian tubuh
itu sendiri. Latihan gerak aktif terdiri dari: a. Free active
movement Free active movement yaitu gerakan yang
dilakukan sendiri oleh penderita tanpa batuan, dimana gerakan
yang dihasilkan adalah kontraksi otot dengan melawan gaya
gravitasi. b. Resisted active movement Resisted active
movement yaitu gerakan aktif melawan tahanan manual atau
beban yang diberikan pada kerja otot untuk membentuk suatu
gerakan dan bisa dilakukan sebagai latihan penguatan.
Penguatan pada otot-otot anggota gerak atas dan otot-otot perut
perlu dilakukan karena untuk pengalihan fungsi aktivitas
transfer dan ambulasi yang biasa dilakukan oleh kedua
tungkai. Selain itu, dapat juga memperbaiki postur dan
memelihara LGS. Penguatan akan memberikan hasil yang baik
bila dilakukan secara group otot (Crosbie, 1993).
4. Bladder training Bladder training yaitu latihan perkemihan
dengan metode pengosongan vesika urinaria yang flaksid
dengan memberikan tekanan eksternal pada simpisis pubis,
jika otot detrusor melemah pada waktu tertentu (Garrison,
1995). Bladder training dilakukan dengan teknik intermitten
catheterization, dimana kandung kemih dapat diisi sesuai
dengan kapasitasnya dan dapat dikosongkan pada waktu-waktu
tertentu. Tujuan dari pemberian bladder training ini untuk
menjaga kontraktilitas otot detrusor. Perawatan bladder
merupakan sesuatu yang sangat vital pada pasien dengan
cedera medulla spinalis karena data statistik menunjukkan
bahwa penyakit ginjal yang berakibat kematian banyak terjadi
pada pasien cedera medulla spinalis (Bromley, 1991).
PROGRAM STUDI PROFESI FISIOTERAPIS
JURUSAN FISIOTERAPI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAKARTA III

FORMULIR PEMERIKSAAN FISIOTERAPI NEUROMUSKULER

• Initial Assesment • Re-Evaluation • Discharge

DENTITAS KLIEN

No. RM : Nama : An. H

Tanggal Lahir : 09-02-2010 Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Bintaro Pekerjaan : Pelajar

No Telepon : Agama : Islam

Tanggal Pemeriksaan : Diagnosa medis : SCI AIS D NL T3 Post


Laminektomi C7 et causa Syringomyrlia

PEMERIKSAAN :

Keluhan Utama: tidak bisa duduk stabil Keluhan Penyerta: nyeri pada lutut dan
pergelangan kaki

Goal/Harapan Klien: bisa berjalan

Riwayat Penyakit Sekarang: Riwayat Penyakit Dahulu:


Pasien merasakan pusing dan lemah pada tangan Tidak terdapat riwayat penyakit dahulu
dan kaki bulan Agustus 2021, diberikan obat tetapi
masih pusing. Lalu pasien berobat ke RS Premier
dan di diagnosa ada masalah pada otak, dan dirujuk
ke RS PON. Setelah dilakukan pemeriksaan
dikatakan terdapat kelainan di sumsum tulang
belakang (syringomyelia : pembentukkan kantung
pada sumsum tulang belakang). Diberikan tindakan
laminektomi.
Setelah laminektomi pasien merasakan kaku pada
anggota gerak atas dan bawah. Setelah masa
pemulihan 1 bulan post laminektomi pasien
melakukan fisioterapi di rumah (5kali/minggu).
Selama 3 bulan terapi terdapat perkebangan pada
tangan bisa menahan gelas/botol untuk minum, dan
tangan kiri bisa memegang handphone
Riwayat Sosial: Kemampuan Sebelumnya:
- Pasien merupakan pelajar Pasien berjalan dengan mandiri.
- Sebelum sakit pasien senang bermain bola
- Kegiatan sehari-hari pasien dibantu
sepenuhnya oleh ibu pasien
Pemeriksaan Penunjang:

Kesadaran : Compos Mentis Tekanan Darah : 120/80 mmHg

Denyut Nadi : 89x/menit Frekuensi Pernapasan: 20 detik

Kooperatif/Tidak Kooperatif: Kooperatif Kognisi dan Persepsi: Baik

Pemeriksaan Fisioterapi

Observasi:
- Pasien datang menggunakan kursi roda
dengan diantar orangtua.
- Duduk menyender di kursi roda
- Duduk pada bed terapi dengan hand support
- Shoulder asimetris (dextra lebih rendah
dibanding sinistra)
- Round back
- Tampak spastisitas pada keempat anggota
gerak
- Tampak clonus

Tandai Bagian Tubuh yang mengalami


masalah
Hipotesis
1. Spastisitas ekstremitas atas dan ekstremitas bawah
2. Kelemahan core muscle
3. Nyeri pada lutut dan ankle
4. Stiffness knee bilateral
5. Round back posture
Pemeriksaan dan Pengukuran
1. VAS :
VAS knee bilateral = 4
VAS ankle dextra = 4

2. Pemeriksaan Ashworth Scale


Ekstremitas Atas bilateral = 1
Ektremitas bawah bilateral = 4

3. Pemeriksaan Refleks
Plantar Reflex (Babinski’s Sign) : Positif

4. Sitting Balance Score (SBS) = 2 (fair)


Mampu mempertahankan posisi statis tanpa kesulitan tetapi membutuhkan bantuan dalam
semua tugas

5. Motor Assessment Scale (MAS) = 3


Duduk tanpa penyangga dengan berat badan ke depan dan terdistribusi secara merata

6. Pemeriksaan Barthel Indeks


Aktivitas Nilai
Makan 5
Mandi 5
Kerapian/Penampilan 5
Berpakaian 5
BAB 5
BAK 5
Penggunaan kamar mandi/toilet 0
Berpindah tempat 0
Mobilitas 0
Naik/turun tangga 0
Total 30

Penilaian :
0 – 20 : ketergantungan
20 - 61 : ketergantungan berat/sangat tergantung
62 - 90 : ketergantungan moderat
91 – 99 : ketergantungan ringan
100 : mandiri
(kesimpulan pasien dalam aktifitas fungsional mengalami ketergantungan berat/sangat tergantung)
Body structure/Function
- Nyeri pada knee bilateral (VAS 4) dan Activity limitation Participation
ankle dextra (VAS 4) - Duduk Stabil restriction
- Spastisitas UE bilateral nilai Asworth - Dari berbaring - tidak dapat pergi ke
1 ke duduk sekolah
- Spastisitas LE bilateral nilai Ashworth - tidak dapat bermain
4 bersama teman
- Kelemahan core muscle sebaya
- Stiffness knee bilateral
Personal Factors: Environmental factors:
- Pasien memiliki semangat yang tinggi - Kamar pasien berada di lantai bawah.
untuk sembuh. - Pasien menggunakan toilet duduk.
- Keluarga mendukung kesembuhan pasien
dan memotivasi pasien untuk rajin
latihan.

Main Problem: PT diagnosa


- Nyeri pada knee dan ankle Pasien belum bisa duduk stabil karena terdapat
- Spastisitas UE bilateral nilai Asworth kelemahan pada core muscle, nyeri pada knee
1 bilateral, nyeri pada ankle dextra, spastisitas UE
- Spastisitas LE bilateral nilai Ashworth nilai 1, spastisitas LE nilai 4 et causa SCI AIS D
4
- Kelemahan core muscle

Goal Treatment: Treatment Plan

Jangka pendek: - TENS


- Meningkatkan kestabilan duduk - Ultrasound Therapy
- Meningkatkan kekuatan core muscle - Active assisted movement (abduksi,
- Mengurangi nyeri pada knee bilateral fleksi dan ekstensi, internal dan eksternal
- Mengurangi nyeri pada ankle dextra rotasi shoulder, fleksi dan ekstensi knee)
- Menurunkan tonus otot - Latihan mobilisasi (tidur ke duduk)
- Bridging
Jangka panjang:
- Pasien dapat berjalan kembali

Edukasi dan Home Program


Pasien melakukan latihan aktif dibantu orang tua di rumah
Latihan mobilisasi dari tidur ke duduk dengan pola gerakan yang benar
Edukasi keluarga mobilisasi dari tempat tidur ke kursi roda dengan body mekanik yang benar

Evaluasi Simpulan Klinis (31/01/2022)


- Terdapat penurunan tonus otot setelah dilakukan latihan UE (ashworth scale 0) dan LE
(ashworth scale 3)
- Pasien mampu duduk stabil selama 30 detik
DAFTAR PUSTAKA

1. Freidberg SR, Magge SN. Chapter 60. Trauma to the Spine and Spinal Cord. In:
Jones HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA, Netter’s Neurology 2nd Edition.
Elsevier, Saunders. 2012. p.562-71
2. National Spinal Cord Injury Statistical Center. Spinal Cord Injury Facts and
Figures
at Glance. Birmingham, Alabama. 2012. http://www.nsisc.uab.edu,
3. PERMENKES RI NO. 65 Tahun 2015 Tentang : Standar Pelayanan Fisioterapi
4. Baron BJ, McSherry KJ, Larson, Jr. JL, Scalea TM. Chapter 255. Spine and
Spinal Cord Trauma. In: Tintinalli JE, Stapczynski JS, Cline DM, Ma OJ,
Cydulka RK, Meckler GD, eds. Tintinalli’s Emergency: A Comprehensive Study
Guide 7th Ed. New York: McGraw-Hill; 2001.
http://www.accessmedicine.com/con-tent.aspx?
aID=6389092, Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and The Ascending and
Descending Tracts.
In: Snell RS. Clinical Neuroanatomy 7th Edition. Lippincott William &
Wilkins,Philapdelphia. 2010. p. 133-84
5. Gondim FAA, Gest TR. Topographic and Functional Anatomy of the Spinal
Cord. Emedicine Medscape 2013.
http://www.emedicine.medscape/article/1148570-overview#showall,
6. Chin LS. Spinal Cord Injuries. Emedicine Medscape 2013.
http://www.emedicine.medscape/article/793582-overview#showall
7. Sheerin F. Spinal Cord Injury: Causation and Pathophysiology. Emerg
Nurse 2005;12(9):29-38
8. Waxman SG. Chapter 6.The Vertebral Column and Other Structures Surrounding
the Spinal Cord. In: Waxman SG, ed. Clinical Neuroanatomy 26th Ed. NewYork:
McGraw-Hill; 2010.http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=5272198.
9. Dumont et al. Acute Spinal Cord Injury, Part I: Pathophysiologic Mechanisms.
ClinNeuropharmacol 2001;24(5):254-64
10. Gondim FAA. Spianl Cord Trauma and Related Diseases. Emedicine
Medscape 2013. http://www.emedicine.medscape/article/1149070-
overview#showall
11. Derwenkus J, Zaidat OO. Chapter 23. Spinal Cord Injury and Related Diseases.
In: Suarez JI. Critical Care Neurology and Neurosurgery. New Jersey. Humana
Press.2004. p.417-32
12. Ropper AH, Samuels MA. Chapter 44. Diseases of The Spinal Cord. In: Ropper
AH, Samuels MA, eds. Adams and Victor’s Principles of Neurology 9th Ed. New
York: McGraw-Hill;2009. http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=
3640625.
13. Kaye AH. Chapter 16. Spinal Injuries. In: Kaye AH. Essential Neurosurgery
3rd Edition. Victoria, Blackwell Publishing. 2005. p.225-33
14. Kirshblum et al. International Standards for Neurological Classification of
Spinal Cord Injury (Revised 2011). J Spinal Cord Med 2011;34(6):535-46
15. Gruener G, Biller J. Spinal Cord Anatomy, Localization, and Overview of
Spinal Cord Syndromes. Continuum: Lifelong Learning Neurol 2008;14(3):11
16. Gruener G, Biller J. Spinal Cord Anatomy, Localization and Overview of
Spinal Cord Syndromes. Continuum: Lifelong Learning Neurol 2008;14(3):11
17. Stiell et al. The Canadian C-Spine Rule versus NEXUS Low-Risk Criteria
in Patient with Trauma. N Eng J Med 2003;349:2510-8
18. Grundy D, Swain A, Morris A. Chapter 3. Radiological Investigations. In:
Grundy D, Swain A. ABC of Spinal Cord Injury 4th Edition. BMJ
Publishing Group, London. 2002. p.11-6
19. Castellano JM. Prehospital Management of Spinal Cord Injuries.
Emergencias 2007;19:25-31
Amyotrophic lateral
sclerosis (ALS)

Kelompok 5
Gemarawan Abadi
Fatiyah Rizqi
Intan Sukma Anggreani
Maryatno
Trie Sekar Utami
Definisi
ALS (Amyotrophic lateral sclerosis) merupakan penyakit degeneratif yang
paling banyak ditemukan pada sistem motor neuron. ALS pertama kali
dideskripsikan pada tahun 1874 oleh seorang neurologis Perancis bernama
Jean-Martin Charcot dan ALS dikenal juga dengan namapenyakit Charcot.

Amyotrophic lateral sclerosis Amyotrophy menunjukkan adanya atrofi serat


otot, yang diinervasi oleh anterior horn cell yang mengalami degenerasi,
menyebabkan kelemahan otot dan fasikulasi.
Lateral Sclerosis menunjukkan pengerasan traktus kortikospinalis lateral
maupun anterior dimana neuron motorik di daerah tersebut mengalami
degenerasi melalui proses gliosis.

Melalui gabungan istilah ini, bisa tergambarkan bahwa pada penyakit ini
terjadi lesi campuran Upper Motor Neuron dengan Lower Motor Neuron.
Epidemiologi
Insiden penyakit ALS pada tahun 1990 dilaporkan
antara 1,5 - 2,7 per 100.000 penduduk/tahun (rata-rata
1,89 per 100.000/tahun) di Eropa dan Amerika Utara.
Insiden ALS lebih tinggi pada pria dibandingkan
dengan wanita, dengan perbandingan secara
keseluruhan 1,5 : 1.

Menurut letak geografis, prevalensi penyakit ALS di


pasifik barat termasuk daerah Guam, Pulau Mariana,
Pulau Honsu dan sebelah selatan New Guinea Barat
dilaporkan 50–100 kali lebih tinggi dibandingkan
dengan tempat lain. ALS dapat terjadi dari usia
remaja hingga usia 80 tahun, namun usia insiden
puncak terjadi pada usia 55-75 tahun.
Patofisiologi
Ciri patologis ALS adalah degenerasi dan hilangnya neuron motorik dengan
gliosis astrositik dan adanya inklusi intraneuronal dalam degenerasi neuron
dan glia.

Patologi UMN pada ALS ditandai dengan depopulasi sel Betz di korteks
motorik (area Brodmann 4), gliosis astrositik yang mempengaruhi substansia
grisea dan subtansia alba sub korteks disertai hilangnya akson pada
descending pyramidal motor pathway akibat gliosis dan rusaknya myelin
traktus kortikospinalis jumlah sel pada pasien bisa berkurang hingga 50%
saat dilakukan otopsi
Gejala Klinis
● Seseorang diduga menderita ALS jika kehilangan fungsi motorik secara bertahap atau
progresif pada satu atau lebih bagian tubuh, tanpa gangguan sensoris dan tanpa penyebab
jelas.
● Gejala ALS bisa muncul perlahan di usia muda. Gejala ALS muncul ketika neuron motorik
pada otak dan medulla spinalis mulai berdegenerasi. Progresifitas ALS mungkin begitu
lambat sehingga gejala awal sering diabaikan dan dianggap sebagai suatu proses penuaan .
● Bagian tubuh yang terpengaruh pada gejala- gejala awal ALS tergantung otot yang diserang
pertama kali terutama pada otot kaki, maka dari itu penderita sering mengeluh kesulitan
berjalan dan merasa sering tersandung.
● Pada 75-80% pasien, gejala dimulai dengan keterlibatan anggota badan, sedangkan 20-25%
dari pasien datang dengan gejala bulbar. Pada pasien dengan gejala bulbar, pasien dapat
mengalami masalah dalam berbicara (disartria) atau penurunan volume suara.
● Gangguan menelan (disfagia), aspirasi atau tersedak saat makan mungkin terjadi, karena
terkenanya nukleus saraf kranialis VII, IX, X, XI dan XII.
● Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya gangguan kelemahan UMN dan LMN
bersamaan pada anggota gerak kelemahan otot, atrofi otot, fasikulasi otot, dikombinasi
dengan hiperrefleks
Jenis-Jenis ALS
Apabila menyerang Upper Motor Neuron, maka memiliki gejala :
1) Adanya Spastik
2) Adanya Hiperrefleksia
3) Refleks abnormal (+) seperti Babinski, Hoffman-Tromner

Apabila menyerang Lower Motor Neuron, maka memiliki gejala :


1) Fasikulasi otot
2) Kelemahan otot
3) Atrofi otot
4) Kram otot
Pemeriksaan yang dapat dilakukan
1) Elektrofisiologi
Elektrofisiologi digunakan untuk mendeteksi adanya lesi LMN pada daerah yang
terlibat serta untuk menyingkirkan proses penyakit lainnya.

2) Konduksi saraf motorik dan sensorik


Konduksi saraf diperlukan untuk mendiagnosis dan menyingkirkan gangguan lain dari
saraf perifer, neuromuscular junction, dan otot yang dapat mirip atau mengacaukan
diagnosis ALS Pada pemeriksaan konduksi saraf sensoris didapatkan nilai normal atau
mendekati normal. konduksi yang abnormal dapat dijumpai pada neuropati
entrapment maupun penyakit saraf tepi lainnya yang timbul bersamaan. Respon saraf
sensoris pada ekstremitas bawah bisa sulit didapatkan pada usia lanjut.

3) Elektromiografi
Konsentris jarum elektromiografi (EMG) memberikan bukti disfungsi LMN yang
diperlukan untuk mendukung diagnosis ALS dan harus ditemukan setidaknya dua
dari empat daerah SSP.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan
4) Transkranial magnetic stimulasi dan Central motor conduction studies Transkranial magnetic
stimulasi (TMS) memungkinkan evaluasi non invasif jalur motorik kortikospinalis, dan
memungkinkan deteksi lesi UMN pada pasien yang tidak memiliki tanda-tanda UMN.
5) Elektromiografi Kuantitatif
Motor Unit Number Estimation (MUNE) adalah teknik elektrofisiologi khusus yang dapat
memberikan perkiraan kuantitatif dari jumlah akson yang mempersarafi otot atau kelompok otot.
6) Neuroimaging
Dilakukan MRI kepala/tulang belakang untuk menyingkirkan lesi struktural dan diagnosis lain pada
pasien yang dicurigai ALS seperti tumor, spondilitis, siringomielia, stroke bilateral, dan multiple
sclerosis
7) Biopsi otot dan neuropatologi
Terutama dilakukan pada pasien dengan presentasi klinis yang tidak khas, terutama dengan lesi
LMN yang tidak jelas.
Prognosis
● ALS adalah penyakit yang fatal. Hidup rata-rata adalah 3 – 5 tahun dari
onset klinis kelemahan. Sekitar 4 - 30% dari pasien dengan ALS dapat
bertahan hidup sekitar5 tahun setelah diagnosis, dan sekitar 4% bertahan
selama lebih dari 10 tahun.

● Kelangsungan hidup jangka panjang dikaitkan dengan usia yang lebih


muda saat onset, laki-laki, dan regio yang terkena. Pada ALS yang terkena
ekstremitas dikatakan dapat bertahan 3-5 tahun dan bulbar 2-3 tahun.
Thanks!

CREDITS: This presentation template was


created by Slidesgo, including icons by Flaticon,
and infographics & images by Freepik
LAPORAN KASUS

“AMYOTROPHIC LATERAL SCLEROSIS (ALS)”

Dosen pengampu :
Nia Kurniawati, SST.Ft., M.Fis.

Disusun oleh Kelompok 5 :

Gemarawan Abadi P3.73.26.1.21.113


Fatiyah Rizqi P3.73.26.1.21.111
Intan Sukma Anggreani P3.73.26.1.21.116
Maryatno P3.73.26.1.21.117
Trie Sekar Utami P3.73.26.1.21.125

PROGRAM STUDI ALIH JENJANG DIPLOMA IV


FISIOTERAPI POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES
JAKARTA III
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
dengan rahmat-Nya kami diberi anugerah kesehatan, akal budi, dan pengetahuan
yang baik sehingga kami dapat menyusun makalah ini.
Kami menyusun makalah ini untuk pemenuhan tugas yang diberikan oleh
dosen mata kuliah Fisioterapi Neuromuscular. Pelaksanaan penyusunan makalah ini
dilakukan dengan metode pengumpulan data dari berbagai sumber.
Kami mengucapkan terima kasih atas segala arahan, bantuan serta dukungan
yang telah diberikan sehingga dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan tema
dan waktu yang telah ditentukan.

Bekasi, 27 Januari 2022

Tim Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...............................................ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED.


KATA PENGANTAR ............................................................................................................. II
DAFTAR ISI ...............................................................................................................................
III
BAB I
PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1
BAB II
KAJIAN TEORI ...................................................................................................................... 3
A. DEFINISI PARKINSON ................................................................................................ 3
B. EPIDEMIOLOGI ............................................................................................................ 3
C. ETIOLOGI ...................................................................................................................... 3
D. PATOFISIOLOGI........................................................................................................... 7
E. GEJALA KLINIS............................................................................................................ 7
F. DIAGNOSIS ................................................................................................................... 9
G. PROGNOSIS ................................................................................................................ 13
H. PENATALAKSAAN FISIOTERAPI ........................................................................... 14

LAMPIRAN
STATUS KLINIS ................................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 27

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Amyotrophic lateral sclerosis (ALS) atau yang dikenal sebagai Lou Gehrig disease
adalah penyakit neurodegeneratif yang menyerang neuron motorik. Amyotrophy
menunjukkan adanya atrofi serat otot, yang diinervasi oleh anterior horncell yang mengalami
degenerasi, menyebabkan kelemahan otot dan fasikulasi. Lateral sclerosis menunjukkan
pengerasan traktus kortikospinalis lateral maupun anterior dimana neuron motorik di daerah
tersebut mengalami degenerasi melalui proses gliosis. ALS pertama kali dijelaskan pada 1869
oleh Jean- Martin Charcot, neurologis Perancis, namun ALS menjadi populer setelah pemain
baseball Lou Gehrig mengumumkan dirinya terdiagnosis dengan penyakit ALS pada tahun
1939 (Hardiman dkk, 2011).
Prevalensi relatif seragam di negara-negara Barat yakni rata-rata 5,2 per 100.000.
Usia rata-rata onset untuk ALS adalah sekitar 60 tahun. Laki-laki lebih sering terkena
dibanding perempuan dengan perbandingan 1,5:1 (Wijesekera dan Nigel,2009).
Penyebab ALS tidak diketahui, walaupun 5-10% dari kasus bersifat familial dan 90 – 95
% bersifat sporadik. Pada penyakit ALS susunan somatosensorik sama sekali tidak
terganggu. Maka dari itu, manifestasi klinisnya terdiri dari gangguan motorik yang
memperlihatkan tanda-tanda kelumpuhan UMN dan LMN secara bersamaan (Wijesekera dan
Nigel, 2009).
Diagnosis ALS ditegakkan secara klinis. Pengujian Elektrodiagnostik memberikan
kontribusi untuk akurasi diagnostik. Penderita dengan penyakit ALS memiliki kelangsungan
hidup rata-rata 3-5 tahun. Aspirasi pneumonia dan komplikasi medis dari imobilisasi
berkontribusi terhadap morbiditas pada pasien dengan ALS. Meskipun ALS tidak dapat
disembuhkan, ada pengobatan yang dapat memperpanjang kelangsungan hidup, sehingga
penegakan diagnosis secara dini penting untuk pasien dan keluarga, seperti pada kasus
Stephen Hawking. Seorang tokoh penting dan garda depan di bidang kuantum fisika,
Profesor Stephen Hawking, didiagnosis dengan ALS

1
pada tahun 1963 saat masih berumur 21 tahun, dan pada saat itu diperkirakan hanya
memiliki dua tahun untuk hidup, namun secara mengagumkan Profesor Hawking bertahan
hidup hingga saat ini, di umur 74 tahun. Faktor apa yang mempengaruhi perbedaan keluaran
dari kasus Lou Gehrig dan Stephen Hawking masing merupakan bahan diskusi hingga saat
ini, dan disinyalir merupakan gabungan dari berbagai macam faktor.

2
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Definisi Parkinson
Amyotrophic lateral sclerosis (ALS) adalah penyakit neurodegeneratif yang
menyerang neuron motorik. Amyotrophy menunjukkan adanya atrofi serat otot,
yang diinervasi oleh anterior horn cell yang mengalami degenerasi, menyebabkan
kelemahan otot dan fasikulasi. Lateral Sclerosis menunjukkan pengerasan traktus
kortikospinalis lateral maupun anterior dimana neuron motorik di daerah tersebut
mengalami degenerasi melalui proses gliosis. Melalui gabungan istilah ini, bisa
tergambarkan bahwa pada penyakit ini terjadi lesi campuran Upper Motor Neuron
dengan Lower Motor Neuron.
ALS merupakan penyakit degeneratif yang paling banyak ditemukan pada sistem
motor neuron. ALS pertama kali dideskripsikan pada tahun 1874 oleh seorang
neurologis Perancis bernama Jean-Martin Charcot dan ALS dikenal juga dengan
namapenyakit Charcot.

B. Epidemiologi
Insiden penyakit ALS pada tahun 1990 dilaporkan antara 1,5 - 2,7 per 100.000
penduduk/tahun (rata-rata 1,89 per 100.000/tahun) di Eropa dan Amerika Utara.
Insiden ALS lebih tinggi pada pria dibandingkan dengan wanita, dengan
perbandingan secara keseluruhan 1,5 : 1. Menurut letak geografis, prevalensi
penyakit ALS di pasifik barat termasuk daerah Guam, Pulau Mariana, Pulau Honsu
dan sebelah selatan New Guinea Barat dilaporkan 50–100 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan tempat lain. Onset ALS dapat terjadi dari usia remaja hingga
usia 80 tahun, namun usia insiden puncak terjadi pada usia 55-75 tahun. Onset rata-
rata usia sporadis ALS (SALS) adalah 65 tahun, onset rata-rata usia familial ALS
(FALS) adalah 46 tahun.

C. Etiologi
Penyakit ALS sampai saat ini belum diketahui penyebabnya meskipun pada
beberapa kasus dikatakan terdapat faktor risiko genetik. Tidak ada hubungan yang

3
konsisten antara faktor lingkungan dengan resiko terjadinya ALS.
Perubahan molekuler yang menyebabkan degenerasi neuron motorik pada ALS
tidak diketahui, tetapi sama dengan penyakit neurodegeneratif lainnya, kemungkinan
terjadi interaksi kompleks berbagai mekanisme patogenik selular seperti:
1. Faktor Genetik
ALS sporadis dan familial secara klinis dan patologis serupa, sehingga ada
kemungkinan memiliki patogenesis yang sama. Dua puluh persen dari kasus
FALS (Familial Amyotrophic Lateral Sclerosis) diturunkan secara autosomal
dominan dan hanya 2% pasien penderita SALS (Sporadic Amyotrophic Lateral
Sclerosis) memiliki mutasi pada superoksida dismutase 1 (SOD1). Penemuan
mutasi ini merupakan hal penting pada penelitian ALS karena memungkinkan
penelitian berbasis molekular dalam pathogenesis ALS. SOD1 adalah enzim
yang mengkatalisasi konversi superoksida radikal yang bersifat toksik menjadi
hidrogen peroksida dan oksigen. Mutasi pada SOD1 yang mengganggu fungsi
antioksidan menyebabkan akumulasi superoksida yang bersifat toksik. Gen lain
yang menyebabkan FALS termasuk alsin (ALS2), senataxin (ALS4), vesikel
terkait protein membran (VAPB, ALS8), angiogenin dan mutasi pada P150
subunit dynactin (DCTN1). Baru-baru ini, mutasi pada gen TARDBP
(pengkodean TAR-DNA pengikat protein TDP- 43) yang terletak pada
kromosom 1p36.22 telah dikaitkan dengan FALS ataupun SALS

Gambar 1. Patofisiologi Faktor Genetik terhadap ALS

4
2. Eksitotoksisitas
Cedera neuronal yang disebabkan oleh rangsangan glutamat berlebihan
diinduksi dari reseptor glutamat pasca sinaptik seperti reseptor NMDA dan
reseptor AMPA. Stimulasi berlebih reseptor glutamat ini diduga
mengakibatkan masuknya kalsium ke dalam neuron, yang menyebabkan
peningkatan nitric oxide sehingga terjadi kematian neuron. Jumlah
glutamat dalam CSF meningkat pada beberapa pasien dengan ALS.
3. Stres Oksidatif
Stres oksidatif telah dikaitkan dengan degenerasi neuro dan diketahui
bahwa akumulasi reactive oxygen species (ROS) menyebabkan kematian
sel. Hipotesis ini didukung dengan ditemukannya perubahan biokimia yang
mencerminkan kerusakan radikal bebas dan metabolisme radikal bebas
yangabnormal dalam CSF dan sampel jaringan post mortem pada pasien
ALS.
4. Disfungsi mitokondria
Kelainan morfologi mitokondria dan biokimia dilaporkan pada pasien
SALSyang mengakibatkan ketidakmampuan metabolisme energi.
5. Gangguan transportasi aksonal
Pada pasien dengan ALS ditemukan mutasi pada gen kinesin yang
diketahui menyebabkan penyakit saraf motorik neurodegeneratif pada
manusia seperti paraplegia spastik yang herediter dan penyakit Charcot-
Marie-Tooth. Mutasi di kompleks dynactin menyebabkan gangguan lower
motor neuron (LMN).
6. Agregasi neurofilamen
Neurofilamen protein bersama-sama dengan peripherin (suatu protein
filamen intermedia) ditemukan di sebagian besar akson neuron motorik
pasien ALS. Sebuah isoform toxic dari peripherin (peripherin 61), telah
ditemukan menjadi toksin bagi neuron motorik bahkan ketika
diekspresikan pada tingkat yang sederhana dan terdeteksi dalam spinal
cord pasien ALS.
7. Agregasi protein
Agregasi proten intrasitoplasma adalah ciri dari FALS dan SALS. Namun,
masih belum jelas apakah pembentukan agregat protein secara langsung
menyebabkan toksisitas selular dan memiliki peran kunci dalam
5
patogenesis. Agregasi protein mungkin tidak berperanan dalam proses
neurodegenerasi, atau jika pembentukan agregat protein mungkin benar-
benar menjadi proses yang menguntungkan dengan menjadi bagian dari
mekanisme pertahanan untuk mengurangi konsentrasi intracellular dari
protein toksin.
8. Disfungsi inflamasi dan kontribusi sel non-saraf
Meskipun ALS bukan gangguan autoimunitas primer atau disregulasi
imun, ada bukti yang cukup bahwa proses inflamasi mungkin memainkan
peranan dalam patogenesis ALS. Aktivasi sel mikroglial dan dendritik
menghasilkan sitokin inflamasi seperti interleukin, COX-2, TNFa dan
MCP-1.
9. Defisit dalam faktor-faktor neurotropik dan disfungsi jalur sinyal
Penurunan kadar faktor neurotropik (misalnya CTNF, BDNF, GDNF dan
IGF-1) telah diamati dalam pasien ALS pasca-mortem. Tiga mutasi pada
vascular endotel growth factor (VEGF) yang ditemukan terkait dengan
peningkatan risiko terjadinya SALS. Setelah dilakukan metaanalisis, gagal
menunjukkan hubungan antara haplotype VEGF dan peningkatan risiko
ALS (Lambrechts dkk, 2003). Proses akhir dari kematian sel neuron dalam
ALS diduga mirip jalur kematian sel terprogram (apoptosis). Penanda
biokimia apoptosis terdeteksi dalam tahap terminal pasien ALS.

6
D. Patofisiologi
Ciri patologis ALS adalah degenerasi dan hilangnya neuron motorik dengan
gliosis astrositik dan adanya inklusi intraneuronal dalam degenerasi neuron dan glia.
Patologi UMN pada ALS ditandai dengan depopulasi sel Betz di korteks motorik
(area Brodmann 4), gliosis astrositik yang mempengaruhi substansia grisea dan
subtansia alba sub korteks disertai hilangnya akson pada descending pyramidal
motor pathway akibat gliosis dan rusaknya myelin traktus kortikospinalis
(Wijesekera dan Nigel, 2009). Jumlah sel dapat berkurang hingga 50% pada otopsi
pada pasien ALS.

Gambar 2. Patofisiologi ALS

E. Gejala Klinis
Penegakan diagnosis ALS berdasarkan penemuan klinis. Seseorang diduga
menderita ALS jika kehilangan fungsi motorik secara bertahap atau progresif pada
satuatau lebih bagian tubuh, tanpa gangguan sensoris dan tanpa penyebab jelas.
Gejala ALS biasanya belum tampak hingga penderita berusia 50 tahun,
namun bisa muncul perlahan di usia muda. Gejala ALS muncul ketika neuron
motorik pada otak dan medulla spinalis mulai berdegenerasi. Progresifitas ALS
mungkin begitu lambat sehingga gejala awal sering diabaikan dan dianggap sebagai
suatu proses penuaan (McCarthy, 2009). Bagian tubuh yang terpengaruh pada
gejala- gejala awal ALS tergantung otot yang diserang pertama kali. Dalam

7
beberapa kasus, gejala awalnya mempengaruhi salah satu kaki, dan pasien
mengalami kesulitan saat sedang berjalan atau berlari dan pasien lebih sering
tersandung daripada sebelumnya. Beberapa penderita merasakan gangguan pertama
kali pada tangan saat mengalami kesulitan dalam melakukan pergerakan-pergerakan
sederhana yang membutuhkan keterampilan tangan, seperti mengancingkan kemeja,
menulis, atau memasukkan dan memutar kuncidalam lubang kunci. Sedangkan pasien
lainnya, mengalami masalah pada suara terlebih dahulu. Pada 75-80% pasien, gejala
dimulai dengan keterlibatan anggota badan, sedangkan 20-25% dari pasien datang
dengan gejala bulbar. Pada pasien dengan gejala bulbar, pasien dapat mengalami
masalah dalam berbicara (disartria) atau penurunan volume suara. Gangguan
menelan (disfagia), aspirasi atau tersedak saat makan mungkin terjadi, oleh karena
terkenanya nukleus saraf kranialis VII, IX, X, XI dan XII.
Pada beberapa pasien, keluhan dapat disertai dengan perubahan kognitif.
Disfungsi kognitif dialami oleh 20–50% penderita ALS, dan 3–15% berkembang
menjadi demensia yang dikategorikan sebagai frontotemporal lobar degeneration
(FTLD). Perubahan kognitif ditandai dengan perubahan personalitas, iritabilitas, dan
defisit pada fungsi eksekutif.
Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya gangguan kelemahan UMN dan
LMN bersamaan pada anggota gerak kelemahan otot, atrofi otot, fasikulasi otot,
dikombinasi dengan hiperrefleks.

Gambar 3. Neuron motorik selektif pada ALS

8
Gejala UMN
 Spastik
 Hiperrefleksia
 Refleks abnormal (+) seperti Babinski, Hoffman-Tromner

Gejala LMN
 Fasikulasi otot
 Kelemahan otot
 Atrofi otot
 Kram otot

F. Diagnosis
Kriteria El Escorial dikembangkan pada tahun 1994 oleh World Federation
of Neurology untuk tujuan penelitian dan uji klinis. Pedoman tersebut kemudian
direvisi menjadi kriteria Airlie House pada tahun 1998 dengan memasukkan kriteria
uji laboratorium. Pada tahun 2008 Kriteria Awaji-Shima diperkenalkan dengan
memasukkan peran neurofisiologi dalam kategorisasi diagnostik, penggunaannya
meningkatkan sensitivitas diagnostik tanpa meningkatkan false positif (Hardiman
dkk,2011).
Kriteria El Escorial dan Airlie House didasarkan pada tingkat kepastian
diagnosis. Hal ini didasarkan pada penilaian klinis, yang memerlukan identifikasi
UMN dan LMN di wilayah topografi anatomi yang sama di batang otak, atau leher,
toraks atau lumbosakral medula spinalis. Diagnosis pasti ALS memerlukan tanda
berikut: identifikasi degenerasi LMN secara klinis, elektrofisiologi atau
neuropathologi; bukti degenerasi UMN secara klinis; dan progresifitas dari sindrom
motorik pada suatu regio atau regio lainnya. Selain itu, diagnosis harus diperkuat
dengan bukti, baik melalui elektrofisiologi atau neuroimaging, bahwa gejala yang
ditemui bukanlah disebabkan oleh penyakit lain. (Hardiman dkk, 2011).

9
Tabel 1. Kriteria diagnosis ALS .

Dapat juga menggunakan kriteria lain dari World Federation of Neurology


(WFN), yakni:
1. Definite ALS: adanya gejala UMN dan LMN pada 3 level
2. Probable ALS: adanya gejala UMN dan LMN pada 2 level
3. Possible ALS: adanya gejala UMN dan LMN pada 1 level atau gejala UMN
level 2
4. Suspect ALS: gejala LMN pada 2 level atau gejala UMN pada 1 level.
Dalam menggunakan kriteria WFN, ada 4 regio yang harus diketahui:
Bulbar, servikal, torakal dan lumbosakral. ALS sulit untuk didiagnosis sejak
awal karena memiliki gejala mirip dengan beberapa penyakit neurologis lain
sehingga diperlukan pemeriksaan tambahan untuk mengesampingkan kondisi
lain. Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain:
1. Elektrofisiologi
Elektrofisiologi digunakan untuk mendeteksi adanya lesi LMN pada daerah
yang terlibat serta untuk menyingkirkan proses penyakit lainnya.
(Wijesekera dan Nigel,2009).
a. Konduksi saraf motorik dan sensorik
Konduksi saraf diperlukan untuk mendiagnosis dan menyingkirkan
gangguan lain dari saraf perifer, neuromuscular junction, dan otot yang
dapat mirip atau mengacaukan diagnosis ALS (Wijesekera dan Nigel,
2009). Pada pemeriksaan konduksi saraf sensoris didapatkan nilai normal
10
atau mendekati normal. konduksi yang abnormal dapat dijumpai pada
neuropati entrapment maupun penyakit saraf tepi lainnya yang timbul
bersamaan. Respon saraf sensoris pada ekstremitas bawah bisa sulit
didapatkan pada usia lanjut .
b. Elektromiografi
Konsentris jarum elektromiografi (EMG) memberikan bukti disfungsi
LMN yang diperlukan untuk mendukung diagnosis ALS dan harus
ditemukan setidaknya dua dari empat daerah SSP: otak (bulbar), leher,
toraks, atau lumbosakral medula spinalis (cornu anterior motor neuron).
Untuk daerah batang otak itu sudah cukup untuk menunjukkan perubahan
dalam satu EMG otot (misalnya lidah, otot-otot wajah, otot rahang). Untuk
wilayah medula spinalis daerah thorakal itu sudah cukup untuk
menunjukkan perubahan EMG
baik dalam otot paraspinal pada atau di bawah tingkat T6 atau di otot perut.
Untuk daerah leher dan medula spinalis lumbosakral setidaknya dua otot
dipersarafi oleh akar yang berbeda dan saraf perifer harus menunjukkan
perubahan EMG.
Kriteria El-Escorial yang telah direvisi mengharuskan bahwa kedua
bukti denervasi aktif atau sedang berlangsung dan denervasi parsial kronis
diperlukan untuk diagnosis ALS, meskipun proporsi relatif bervariasi dari
otot ke otot. Tanda-tanda denervasi aktif terdiri dari: Fibrilasi dan positive
sharp wave. Tanda-tanda denervasi kronis terdiri dari: Large motor unit
action potensial (MUAP) dengan peningkatan durasi, polifasik, amplitudo
seringkali meningkat. Penurunan interference pattern dengan firing rate
lebih tinggi dari 10 Hz (kecuali adanya tanda UMN menonjol, dalam firing
rate mungkin lebihrendah dari 10 Hz) dan unstable MUAP.
Potensial fasikulasi sangat penting sebagai fitur ciri khas dari ALS
terutama bila didapatkan gambaran durasi panjang dan polifasik; tidak
adanya fasikulasi menimbulkan keraguan tetapi tidak menyingkirkan
diagnosis, tetapi gambaran tersebut dalam EMG dianggap membantu dalam
diagnosis ALS.

11
c. Transkranial magnetic stimulasi dan Central motor conduction studies
Transkranial magnetic stimulasi (TMS) memungkinkan evaluasi non
invasif jalur motorik kortikospinalis, dan memungkinkan deteksi lesi UMN
pada pasien yang tidak memiliki tanda-tanda UMN. Motor amplitudo,
ambang batas kortikal, waktu konduksi motorik pusat dan periode diam
dapat dengan mudah dievaluasi dengan menggunakan metode ini. Central
motor conduction time (CMCT) sering sedikit lama untuk otot-otot
setidaknya satu ekstremitas pada pasien ALS.
d. Elektromiografi Kuantitatif
Motor Unit Number Estimation (MUNE) adalah teknik elektrofisiologi
khusus yang dapat memberikan perkiraan kuantitatif dari jumlah akson
yangmempersarafi otot atau kelompok otot. MUNE terdiri dari sejumlah
metode
yang berbeda (incremental, multiple point stimulation, spike triggered
everaging, F-wave dan metode statistik), dengan masing-masing memiliki
keunggulan spesifik dan keterbatasan. Meskipun kurangnya metode tunggal
yang sempurna untuk melakukan MUNE, mungkin memiliki nilai dalam
penilaian hilangnya secara progresif akson motorik dalam ALS. .
2. Neuroimaging
Dilakukan MRI kepala/tulang belakang untuk menyingkirkan lesi
struktural dan diagnosis lain pada pasien yang dicurigai ALS seperti tumor,
spondilitis, siringomielia, stroke bilateral, dan multiple sclerosis
(Wijesekera dan Nigel, 2009).
3. Biopsi otot dan neuropatologi
Terutama dilakukan pada pasien dengan presentasi klinis yang tidak
khas, terutama dengan lesi LMN yang tidak jelas. Biopsi digunakan untuk
menyingkirkan adanya miopati, seperti inclusion body myositis (Wijesekera
dan Nigel, 2009).
4. Pemeriksaan lab lainnya
Tes laboratorium klinis yang mungkin abnormal dalam kasus
dinyatakan khasALS meliputi:
1. Enzim Otot (serum kreatinin kinase yang tidak biasa di atas sepuluh
kali batasatas normal, ALT, AST, LDH)
12
2. Serum kreatinin (terkait dengan hilangnya massa otot rangka)
i. Hipochloremia, bikarbonat meningkat (terkait dengan gangguan
pernapasan lanjutan)

G. Prognosis
ALS adalah penyakit yang fatal. Hidup rata-rata adalah 3 – 5 tahun dari onset
klinis kelemahan. Sekitar 4 - 30% dari pasien dengan ALS dapat bertahan hidup
sekitar5 tahun setelah diagnosis, dan sekitar 4% bertahan selama lebih dari 10 tahun.
Kelangsungan hidup jangka panjang dikaitkan dengan usia yang lebih muda saat
onset, laki-laki, dan regio yang terkena. Pada ALS yang terkena ekstremitas dikatakan
dapat bertahan 3-5 tahun dan bulbar 2-3 tahun.

Indikator prognostik baik


 Umur < 50 tahun
 Onset dimulai dari ekstremitas bawah
 Interval yang panjang dari pertama kali gejala muncul sampai terdiagnosis
 Penanganan secara holistic
 Varian (contoh varian motorik esktremitas atas murni, varian motorik
ekstremitas bawah murni)
Indikator prognostik buruk
 Umur >65 tahun
 Onset dimulai dari bulbar
 Onset dimulai dari penyakit pernapasan
 Interval yang pendek dari pertama kali gejala muncul sampai terdiagnosis
 Malnutrisi
 Gangguan fungsi eksekutif
 Perburukan skor Revised ALS Functional Rating Scale Scores
 Forced vital capacity <50%
 Sniff nasal inspiratory pressure <40 cm H2O

Tabel 3. Kriteria Prognosis

13
H. Penatalaksaan Fisioterapi
1. Pemeriksaan Fisioterapi
1. Asesmen Pasien
a. Anamnesa
AnamnesaAnamnesa adalah metode pengumpulan data dengan wawancara baik langsung
pada pasien maupun pada keluarga pasien. Anamnesa umum mencakup identitas
pasien,keluhan utama, riwayat penyakit, serta tindakan medis yang pernah dilakukan
sedangkananamnesis khusus yaitu mengenai jenis, ketepatan waktu dan durasi nyeri;
lokasi dandistribusi nyeri; provokasi sikap posisi dan gerak yang menimbulkan nyeri.
b. Pemeriksaan
1. Barthel Index
Indeks Barthel merupakan suatu alat ukur pengkajian yang berfungsi mengukur
kemandirian fungsional dalam hal perawatan diri dan mobilitas dengan sistem penilaian
yang didasarkan pada kemampuan seseorang untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari-
hari secara mandiri. Indeks ini menggunakan 10 indikator penilaian, yaitu:

Berdasarkan tabel di atas, interprestasi hasil menurut Barthel adalah jika total nilai indeks

14
100 maka disebut Dependen Total jika skor 0-20, Dependen Berat jika skor 21-40,
Dependen Sedang jika skor 41-60, Dependen Ringan jika skor 61-90, dan Mandiri jika skor
91-100.

2. MMT
Pengukuran kekuatan otot dilakukan dengan cara menggunakam Manual Muscle Testing
(MMT). Manual Muscle Testing (MMT) merupakan salah satu bentuk pemeriksaan
kekuatan otot yang paling sering digunakan. Hal tersebut karena penatalaksanaan,
intepretasi hasil serta validitas dan reliabilitasnya telah teruji. Namun demikian tetap
saja, manual muscle testing tidak mampu untuk mengukur otot secara individual
melainkan group / kelompok otot. (Bambang, 2012).

3. Berg Balance Scale


Test ini digunakan untuk mengukur kemampuan keseimbangan statis dan dinamis. Berg
Balance Scale umumnya di anggap sebagai standar emas untuk test keseimbangan fungsional. Tes
ini sangat cocok untuk melakukan tindakan evaluasi, efektivitas, intervensi,dan kuantitatif.
Scoring: Sebuah skala lima poin, mulai 0-4. "0" menunjukkan tingkat terendah dan fungsi "4"
tingkat tertinggi fungsi. Jumlah Skor = 28
Interpretasi :
- 21-28 = resiko jatuh rendah
- 11-20 = resiko jatuh menengah
- 0-10 = resiko tinggi jatuh
Prosedur tes Pasien dinilai waktu melakukan halhal di bawah ini, sesuai dengan kriteria yang
dikembangkan oleh Berg
a) Sitting to standing.
b) Standing unsupported.
c) Sitting with back unsupported but feet supported on flor or on a stool.
d) Standing to sitting.

15
e) Transfers.6.Standing unsupported with eyes close.
f) Standing unsupported with feet together
g) Reaching forward with utstretched arm while standing.
h) Pick up onject from the floor from a standing.
i) Turning to look behind over left and right shoulder while standing
j) .Turn 360 degrees.
k) Placing alternate foot on step or stool while standing unsupported.
l) Standing unsupported one foot in front.
m) Standing on one leg
4. Pemeriksaan Refleks
a. Biceps refleks.
b. Triceps reflex
c. .Patella refleks.
d. Achilles reflex
e. Babinsky refleks
5. Ekspansi Thoraks
 Pemeriksaan lingkar dada atas
 Pemeriksaan lingkar dada tengah.
 Pemeriksaan lingkar dada bawah.
6. Lingkar Segmen
 Pemeriksaan lingkar lengan atas.
 Pemeriksaan lingkar lengan bawah.
 Pemeriksaan lingkar tungkai atas.
 Pemeriksaan lingkar tungkai bawah.
7. Pemeriksaan Tonus Otot
Ashworth scale atau modified ashworth scale adalah skala untuk mengukur spastisitas
pada pasien yang mengalami lesi pada sistem saraf pusat atau neurological disorder.
Scale ini menilai resistanse pasif yang terjadi pada sendi yang dirasakan oleh pemeriksa.
Nilai resistansi ashworth scale dari 0-4 (Rekand, 2010).

16
8. Pemeriksaan LGS
Pemeriksaan lingkup gerak sendi adalah serangkaian gerakan yang terjadi pada
persendian dari awalsampai akhir gerakan.Instrumen yang dapat digunakan adalah
goniometer.

2. Intervensi Fungsional
a. Sinar Infra Red (IR)
Sinar Infra Red (IR) memiliki pancaran gelombang elektromagnet dengan panjang
gelombang 7700-4jt A0 . Klasifikasi panjang gelombang dapat dibedakan menjadi dua jenis
yaitu gelombang panjang dan gelombang pendek. Gelombang panjang (non penetrating)
memiliki panjang gelombang >12000 A0 – 150000 A0 , penetrasinya pada lapisan
superfisial epidermis sekitar 0,5 mm. Sedangkan untuk gelombang pendek (penetrasi)
memiliki panjang gelombang 7700 A0 – 12000 A0 , penetrasinya sampai sub cutan. Secara
mekanisme kerja Infra Red (IR) terbagi menjadi dua jenis yaitu non luminous dan luminous
(Kurniawati, 2012). Efek terapiutik yang dihasilkan dari Infra Red (IR) diantaranya:
mengurangi rasa sakit, relaksi otot, meningkatkan suplai darah, menghilangkan sisa-sisa
metabolise (Singh, 2005).
Indikasi Terapi Infra Merah
a. Nyeri otot, sendi dan jaringan lunak sekitar sendi. Misal: nyeri punggung bawah,
nyeri leher, nyeri punggung atas, nyeri sendi tangan, sendi lutut, dsb
b. Kekakuan sendi atau keterbatasan gerak sendi karena berbagai sebab.
c. Ketegangan otot atau spasme otot.
d. Peradangan kronik yang disertai dengan pembengkakan.
e. Penyembuhan luka di kulit.

17
Prosedur terapi infra merah:
a. Menggunakan pakaian yang longgar dan nyaman.
b. Dokter atau terapis akan memeriksa kembali daerah yang akan diberikan terapi dan
melakukan wawancara kembali mengenai kelainan yang diderita dan kemungkinan
kontraindikasi untuk pemberian terapi dan riwayat alergi terhadap suhu panas. Dokter
maupun terapis akan menjelaskan sekali lagi tujuan terapi infra merah sesuai kondisi
dan keadaan seseorang, tiap individu berbeda.
c. Dokter atau terapis akan membersihkan daerah yang akan diterapi dari minyak
ataupun kotoran yang menempel di kulit termasuk dari lotion atau obat-obat gosok
yang dipakai sebelumnya menggunakan kapas alkohol atau kapas yang diberi air. Bila
mempunyai kulit yang sensitif dan kering sekali sebaiknya diberitahukan kepada
dokter atau terapis yang akan menerapi, sehingga tidak akan digunakan kapas alkohol
yang kadang dapat menyebabkan iritasi kulit.
d. Dokter atau terapis akan memposisikan bagian yang akan diterapi senyaman
mungkin, bagian yang akan diterapi tidak ditutupi oleh pakaian sehingga infra merah
akan langsung mengenai kulit dan memberikan hasil yang optimal.
e. Dokter atau terapis akan melakukan setting dosis waktu dan posisi alat infra merah.
f. Kemudian segera infra merah akan diberikan, jangan menatap langsung lampu infra
merah.
g. Bila terasa nyeri atau panas berlebihan saat terapi berlangsung segera bilang kepada
terapis atau dokter yang menerapi.
h. Selesai terapi akan ditandai oleh bunyi timer dari alat infra merah. Jangan langsung
berdiri atau duduk, tetap berbaring beberapa saat untuk mengembalikan aliran darah
ke normal.
i. Dokter atau terapis akan kembali melakukan pemeriksaan dan wawancara mengenai
efek yang dirasakan setelah selesai terapi.

3. Breathing exercise
Breathing exercise adalah suatu metode pernafasan untuk meningkatkan kinerja organ
paru-paru. Pernafasan yang baik dan teratur dapat menstabilkan tekanan darah dan
memperbaiki respirasi (Hermansyah dkk., 2015). Prosedur melakukan latihan pernapasan
yaitu dengan menginstruksikan pasien untuk bernapas dalam melalui hidung, bahu rileks,
dada atas tenang, perut sedikit naik. Kemudian instruksikan pasien 4 untuk
18
menghembuskan napas perlahan melalui mulut. Lakukan latihan ini sebanyak tiga atau
empat kali lalu beristirahat (Kisner & Colby, 2007).

4. Terapi latihan
Terapi latihan merupakan salah satu jenis pelaksanaan fisioterapi yang menggunakan
latihan-latihan tubuh baik secara aktif maupun secara pasif (Kisner dan Colby, 2007).
Menurut Apley dan Solomon salah satu prinsip penanganan pada kasus post orif yaitu
untuk memulihkan fungsi, mengurangi nyeri, meningkatkan lingkup gerak sendi (LGS),
dan memulihkan kekuatan otot. Adapun jenis-jenis terapi latihan yang diberikan oleh
terapis berupa: latihan kontraksi statik (static contraction), latihan gerak pasif (passive
excercise), latihan gerak aktif (active exercise), latihan jalan dengan pola weight
bearingdan strengthening(Kisner dan Colby, 2007).
a. Active Exercise
Active exercise merupakan gerakan yang dilakukan oleh adanya kekuatanotot
dan anggota tubuh itu sendiri tanpa bantuan, gerakan yang dihasilkan olehkontraksi
dengan melawan gravitasi penuh (Basmanjian, 1978). Active exercise dilakukan
secara sadar dengan adanya kontraksi aktif dari anggota tubuh itu sendiri.
Active exercise mempunyai tujuan :
1. memelihara dan meningkatkankekuatan otot,
2. mengurangi bengkak,
3. mengembalikan koordinasi danketerampilan motorik untuk aktivitas fungsional
(Kisner, 1996)
b. Passive Exercise
Passive exercise adalah suatu latihan yang dilakukan dengan gerakan yang dihasilkan
dengan tenaga atau kekuatan dari luar tanpa adanya kontraksi otot (Kisner,
2007).Gerakan yang termasuk dalam latihan passive exercise
yaitu :
1. Static contraction merupakan kontraksi otot tanpa perubahan panjang otot atau tanpa
gerakan sendi yang nyata.
2. assive exercise merupakan gerak yang dihasilkan oleh kekuatan dari luar tanpa
disertai kontraksi otot.

19
5. Electrical stimulator (ES)
Stimulasi elektris adalah suatu modalitas fisioterapi dengan menggunakan arus listrik
untuk mengkontraksikan salah satu otot ataupun grup otot (Inverarity, 2005 ). Alat
listrik yang bisa digunakan adalah Interrupted Direct Current, Interfernsi dan TENS
(Kuntoro, 2007). Sistem saraf pusat mempunyai kempuan yang progress untuk
penyembuhan dari injury melalaui proses collateral 3 sprouting dan synaptic
reclamation. Neuro plasiticity merupakan hal yang sangat penting untuk mengajarkan
kembali fungsi otot dan aplikasi fasilitasi. Kemampuan otak beradaptasi untuk
memperbaiki perubahan lingkungannya melalui penyatu neural kembali yang
dikelompokan sebagai berikut :
1. Collateral Sprouting
Merupakan respon neuron daerah yang tidak mengalami cedera dari sel-sel yang
utuh ke daerah yang denervasi setelah cedera. Perbaikan sistem saraf pusat dapat
berlangsung beberapa bulan atau tahun setelah cedera dan dapat terjadi secara luas di
otak.
2. Unmasking
Dalam keadaan normal banyak akson dan synaps yang tidak aktif. Apabila jalur utama
mengalami kerusakan maka fungsinya akan diambil oleh akson dan sinaps yang tidak
aktif. Menurut Wall dan Kabat, jalur sinapsis mempunyai mekanisme homeostatic,
dimana penurunan masukan akan menyebabkan naiknya eksitabilitas sinapsnya.
3. Diaschisia (Dissipation of Diachisia)
Diaschisia keadaan dimana terdapat hilangnya kesinmabungan fungsi atau adanya
hambatan fungsi dari traktus-traktus sentral di otak. Tujuan pemberian electrical
stimulasi pada pasien stroke adalah sebagai muscle reedukasi dan fasilitasi. Stimulas
elktris pada prinsipnya harus menimbulkan kontraksi otot, sehingga akan merangsang
goli tendon dan muscle spindle. Rangsangan pada muscle spindle dan golgi akan
diinformasikan melaluai afferent ke susunan saraf pusat sehingga akan
mengkontribusikan fasilitas dan inhibisi. Rangsangan elektris yang berulang-ulang
akan memberi informasi ke supraspinal sehingga terjadi pola gerak terintegritas dan
menjadi gerakan-gerakan pola fungsional. Selain itu memberikan gerakan-gerakan
pola fungsional.Selain itu juga memberikan fasilitasi pada otot yang lemah dalam
melakukan gerakan (Kuntoro,2007).

20
1) Indikasi Electrical stimulator (ES)

1. Penguatan otot.
2. Re-edukasi otot, mencegah kelemahan otot atau atrofi otot.
3. Pemendekan otot atau spasme otot.
4. Menghilangkan nyeri.
5. Kelemahan otot karena gangguan saraf.
6. Menghilangkan bengkak atau edema.
7. Menyembuhkan peradangan karena suatu trauma atau sehabis operasi.
8. Menyembuhkan luka dan perbaikan jaringan.
9. Membantu memasukkan obat-obat topikal sehingga obat-obat tersebut akan masuk
lebih dalam mencapai target terapi dan efektif. Terapi stimulasi listrik jenis ini disebut
Iontophoresis.

2) Persiapan alat
a. Lakukan kalibrasi awal alat sebelum digunakan, meliputi cek kabel, pad
elektroda,intensitas dan ES sendiri.
b. Persiapan pasien
c. Pasien tidur terlentang dan posisikan senyaman mungkin sesuai pasien. Kemudian
lakukan tes sensoris tajam tumpul pada ektremitas atas dan bawah sisi kiri untuk
mengetahui apakah pasien masih bisa merasakan tajam atau tumpul. Pada test ini
pasien bisa membedakan tajam dan tumpul disemua ektremitas yang dilakukan test.
Kemudian minta ke pasien untuk menanggalkan pakaian atas dan menggulung celana
panjang pasien (sisi kiri). lalu jelaskan pada pasien bahwa yang akan dirasakan adalah
sepeti tertusuk ringan disertai kontraksi otot.
3) Pelaksanaan terapi
Pad elektroda diletakan oleh terapis pada lengan dan tungkai pada grup otot ekstensor pad
diletakan pada cervical dan grup otot ekstensor pada anggota gerak atas, untuk anggota gerak
bawah pad berada pada lumbal dan grup otot ekstensor gerak bawah. Lalu nyalakan ES atur
frequency 50 Hz, modulasi 1 second dan naikan intensitas sedikit demi sedikit sampai ada
kontraksi otot pada grup otot ekstensor. Setiap satu grup otot ekstensor dilakukan 15 kali
kontraksi dengan dilakukan 2 kali putaran. Jika terapi selesai segera martikan ES dan tata
kembali seperti semula sebelum digunakan

21
PROGRAM STUDI PROFESI FISIOTERAPIS
JURUSAN FISIOTERAPI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAKARTA III

FORMULIR PEMERIKSAAN FISIOTERAPI NEUROMUSKULER

• Initial Assesment • Re-Evaluation • Discharge

STATUS KLINIS
IDENTITAS KLIEN
No. RM : 834224 Nama : Tn . N

Tanggal Lahir : 18 September 1990 Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Jalan Haji Kado No.38 Limo Depok Pekerjaan : Pengacara

No Telepon : Agama : islam

Tanggal Pemeriksaan : Diagnosa medis : Amyothropic Lateral Sclerosis

PEMERIKSAAN :

Keluhan Utama: Keluhan Penyerta:


Pasien mengeluh cepat Lelah Ketika berjalan jauh, kelemahan pada kedua Tidak ada penyakit
tangan, dan kedua tungkai. Adanya gangguan berbicara (kurang jelas), penyerta
dan wajahnya yang datar. Adanya spastik pada jari-jari tangan.

Goal/Harapan Klien: Mampu berjalan mandiri.

Riwayat Penyakit Sekarang: Riwayat Penyakit:


Tidak ada penyakit
Pasien datang dengan keluhan cepat lelah Ketika berjalan jauh, merasa penyerta
lemah pada kedua tangan dan kedua tungkai, susah berbicara dan jari jari
tangan sedikit menekuk. Pada 14 januari 2021, pasien menjalani
pemeriksaan ke rumah sakit A, lalu di diagnosa Amyothropic Lateral
Sclerosis (ALS), sampai saat ini pasien menjalani terapi.

Riwayat Sosial: sebelum didiagnosa ALS pasien aktif sebagai Pengacara Kemampuan
Sebelumnya: -

Pemeriksaan Penunjang:
MRI
ENMI

22
Pemeriksaan Umum

Kesadaran : Compos Mentis Tekanan Darah : 140/90 mmHg

Denyut Nadi : 72x/Menit Frekuensi Pernapasan: 30x/menit

Kooperatif/Tidak Kognisi dan Persepsi: Kognitif pasien baik mampu


Kooperatif: Kooperatif menceritakan awal kejadian pasien sakit hingga sekarang

Pemeriksaan Fisioterapi

Observasi
Tn. N datang berjalan dengan bantuan keluarga
(dipapah), mengalami kelemahan pada ekstremitas
atas dan bawah, atrofi pada ekstermitas atas dan
bawah, pasien mengalami sedikit kesulitan bernafas
dimana nafas perut lebih mendominasi, transfer
dengan bantuan.
Statis :
● Tampak adanya kelmahan otot lengan dan
tungkai
● Tampak adanya atrofi pada ekstermitas atas dan
bawah
● Gangguan bicara (kurang jelas) dan wajah pasien
Tandai Bagian Tubuh yang mengalami
terlihat tanpa ekspresi (masked face)
masalah
● Spastititas pada jari-jari tangan

Dinamis :
● Tampak pola jalan pasien lambat dan langkah
kecil-kecil
● Tampak pasien kesulitan mengangkan lengan
dan kesulitan berjalan
● Tampak sedikit knee fleksi saat berjalan

Hipotesis: (dugaan fisioterapis dari masalah fisioterapi yang ditemukan dalam pemeriksaan)
1. adanya atrofi pada ekstermitas atas dan bawah.
2. Gangguan bicara dan ekspresi wajah datar (masked face)
3. adanya kelemahan otot pada kedua ekstremitas bawah dan atas.
4. adanya gangguan pola jalan
5. Spastisitas jari-jari tangan

Analisis Gerak
1. tremor pada kaki (+)
2. Spatisitas (+)

23
3. Gangguan pola jalan (+)

Body structure/Function (Pemeriksaan dan pengukuran)


1. Pemeriksaan Rom
Gerak Aktif
Wrist Dextra Sinistra Nyeri
Palmar fleksi Tidak full Tidak full -
Dorsi Fleksi Tidak full Tidak full -
Radial Tidak full Tidak full -
deviasi
Ulna deviasi Tidak full Tidak full -

interpalangeal Dextra Sinistra Nyeri


fleksi Tidak full Tidak full -
ekstensi Tidak full Tidak full -
abduksi Tidak full Tidak full -
adduksi Tidak full Tidak full -

Kesimpulan :
Terdapat keterbatasan LGS pada regio wrist dan interpalangeal
Gerakan pasif : keterbatasan pada interphalangeal dan wrist

2. Inspeksi :
Gait Analisis :
● reduce step length
● heel strike terlihat sedikit
● tidak terdapat arm swing (disertai tremor)
● trunk rotation tidak ada
3. Ekspansi Thoraks
Thoraks Ekspansi thoraks Nilai normal
Lingkar dada atas 1 cm 2-3 cm
Lingkar dada tengah 3 cm 4-5 cm
Lingkar dada bawah 5 cm 7-8 cm

4. Aswort scale
Dextra Sinestra
Wrist 3 3
Interphalank 3 3

24
Activity
1. aktifitas fungsional (indeks barthel) / (65) ketergantungan moderat

2. Berg Balance Scale / (10) resiko tinggi jatuh

Partisipation
Activity 1. Self employment
Body structure/Function (Hasil 1. Berjalan (d450) (d8500)
1. Stiffness (b7800) 2. Mempertahankan posisi 2. d9300
2. Impaired involuntary tubuh (d415) Organized
movement (Tremor, 3. Producing meaningful religion
bradykinesia) (b765) sounds (d3300)
3. Impairment in Gait Pattern
(b770)
4. Vestibular function of
balance (b2351)
5. Reduced exercise tolerance
(b455)
6. Tone of isolated muscles
and muscle groups (b7350)
7. Functions of the thoracic
respiratory muscles (b4450)

Environmental factors:
Personal Factors:
Dukungan keluarga (e310)
Friends (e32)
Pasien memiliki semangat yang products and technology for communication (e125)
tinggi untuk sembuh (d729)

Main Problem: PT diagnose:


1. adanya atrofi pada Adanya gangguan Berjalan, keseimbangan dan
ekstermitas atas dan bawah. berbicara karena adanya atrofi dan kelemahan otot pada
2. adanya kelemahan otot ekstermitas atas dan bawah, gangguan pola jalan,
pada kedua ekstremitas spastistas jari sehingga tidak dapat melakukan aktivitas
bawah dan atas. bekerja dan beribadah et causa Amiotropic lateral
3. adanya gangguan pola jalan sclerosis
4. Gangguan bicara dan
ekspresi wajah datar
(masked face)
5. adanya gangguan pola jalan
6. Spastisitas jari-jari tangan

25
Goal Treatment: Treatment Plan:
(yang direncanakan selama satu bulan)
(fungsi, aktivitas atau partisipasi)
● Latihan pola jalan
Tujuan jangka pendek ● Latihan keseimbangan
a. Untuk mencegah kontraktur ● Latihan kekuatan otot
otot ● Aerobic Exercise
 Untuk mencegah stiffness ● Pursed Lip Breathing
(kaku sendi) ● Stretching Exercise
b. Untuk memperbaiki ● Infra Red
keseimbangan ● Electrical Stimulation
c. Untuk menurunkan
spastisitas
d. Untuk meningkatkan
kekuatan otot
e. Mengurangi sesak nafas

Tujuan jangka panjang :


Untuk mengoptimalkan
kemampuan aktifitas fungsional
pasien dalam berjalan yang benar

26
DAFTAR PUSTAKA

Abrahams, S. et al. 1996. Frontal lobe dysfunction in amyotrophic lateral sclerosis: A


PET study. Brain; 119(6):2105-20.
Almer G, et al. 2001. Increased expression of the pro-inflammatory enzyme
cyclooxygenase-2 in amyotrophic lateral sclerosis. Ann Neurol; 49:176-185
Andersen, P.M. et al. 2005. Task force on management of amyotrophic lateral
sclerosis: guidelines for diagnosing and clinical care of patients and relatives.
An evidence-based review with good practice points. Eur J Neurol;
12(12):921–38.
Braun, M.M., Osecheck, M., Joyce, N.C. 2012. Nutrition assessment and
management in amyotrophic lateral sclerosis. Phys Med Rehabil Clin N Am;
23(4):751-71.
Cozzolino, M., Ferri, A., Carri, M.T. 2008. Amyotrophic lateral sclerosis: from
Current Developments in the Laboratory to Clinical Implications. Antioxid
Redox Signal;10:405-443
Gordon, H. 2013. Amyotrophic Lateral Sclerosis: An update for 2013 Clinical
Features, Pathophysiology, Management and Therapeutic Trials, Aging and
Disease. Aging Dis;4(5):295-310.
Greenwood. 2013. Nutrition Management of Amyotrophic Lateral Sclerosis. Nutr
Clin Pract; 392-9.
Hardiman, L.H., Kiernan, M.C. 2011. Clinical diagnosis and management of
amyotrophic lateral sclerosis. Nat Rev Neurol;7(11):639-49.
Herjanto P, Mudjiani B, Djoenaidi. 2003. Petunjuk Praktis Elektrodiagnostik,
Airlangga University Press, Surabaya.
Jackson CE, et al. 2008. Randomized double-blind study of botulinum toxin type B
for sialorrhea in ALS patients. Muscle Nerve;39:137–43.
Jacqueline C. 2006. Misdiagnosis and missed diagnoses in patients with ALS.
Journal of the American Academy of Physician Assistants;19(7):29-35.
Lacomblez L, Bensimon G, Leigh PN, Guillet P, Meininger V. 1996. Dose-ranging
study of riluzole in amyotrophic lateral sclerosis: Amyotrophic Lateral
Sclerosis/Riluzole Study Group II. Lancet;347:1425–31.

27
Lambrechts D., et al. 2003. VEGF is a modifier of amyotrophic lateral sclerosis in
mice and humans and protects motoneurons against ischemic death. Nat
Genet;34(4):383-94.
Leigh, P.N., et al., King’s MND Care and Research Team. 2003. The management of
motor neuron disease. J Neurol Neurosurg Psychiatry;70(4):32–47.

McCarthy, J. 2009. A Manual For People Living with ALS. 5th edition. ALS Society
of Canada. Canada;11-12.
Murray, B. dan Mitsumoto, H. 2012. Disorders of upper and lower motor neurons.In:
Daroff RB, Fenichel GM, Jankovic J, eds. Bradley’s Neurology in Clinical
Practice. 6th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; chapter 74.
Reinhard Dengler, 2010. Diagnostic Criteria of Amyotrophic Lateral Sclerosis
(ALS).
Romanian Journal of Neurology;9(4):165-71

Rothstein, J.D., et al. 1995. Selective loss of glial glutamate transporter GLT-1 in
amyotrophic lateral sclerosis. Ann Neurol;38(1):73-84.
Rowland LP, Mitsumoto H, Przedborski S. 2010. Amyotrophic Lateral Sclerosis,
Progressive Muscular Atrophy, and Primary Lateral Sclerosis. In: Rowland
LP, Pedley TA (Ed.) Merritt’s Neurology,12th Edition. Lippincott Williams &
Wilkins; Chapter 128, pp.803-8.
Rowland, L.P, dan Shneider, N.A., 2001. Amyotrophic Lateral Sclerosis. N Engl J
Med;344(22):1688-700.
Siklos, L, et al. 1996. Ultrastructural evidence for altered calcium in motor nerve
terminals in amyotrophic lateral sclerosis. Ann Neurol;39(2):203-16.
Steele, J.C, McGeer, P.L.2008. The ALS/PDC syndrome of Guam and the cycad
hypothesis. Neurology;70(21):1984-90.
Sykes, N., Thorns, A. 2003. The use of opioids and sedatives at the end of life.
Lancet Oncology;4:312–8

Wijesekera,L.C, dan Nigel P.L., 2009. Amyotrophic lateral sclerosis. Orphanet J


Rare Dis;3(4):3.
William, S., Nayan P. 2007. ALS: pitfalls in the diagnosis. Pract
Neurol;7(2):74-81.

28
Worms, P.M. 2001. The epidemiology of motor neuron diseases: a review of
recentstudies. J Neurol Sci;191(1-2):3-9.

29

Anda mungkin juga menyukai