Sri Parwati
Nida Farhani
Risha Aulia Putri Azhari
Fahmi Nurqolbi
Moh. Rendy Herdiansyah
DEFINISI
Demensia onset awal: Pada Alzheimer tingkat ini terjadi gangguan bahasa, kosakata,
bahasa oral & tulisan, gangguan persepsi, gangguan gerakan, terlihat bodoh, kurang
inisiatif untuk melakukan aktivitas.
Dementia moderat: Pada Alzheimer tingkat ini terjadi deteriorasi progresif, tidak mampu
membaca & menulis, gangguan long-term memory, subtitusi penggunaan kata (parafasia),
misidentifikasi, labil, mudah marah, delusi, Inkontinen system urinaria.
Dementia tahap lanjut (advanced): Pada Alzheimer tingkat ini terjadi tidak dapat
mengurus diri secara mandiri, kehilangan kemampuan verbal total, agresif, apatis ekstrim,
deteriorasi massa otot & mobilitas, kehilangan kemampuan untuk makan.
ETIOLOGI
Usia
Kebanyakan orang dengan penyakit Alzheimer didiagnosis pada usia 65 tahun atau
lebih tua.
Riwayat Keluarga
Faktor keturunan (genetika), bersama faktor lingkungan dan gaya hidup, atau keduanya dapat
menjadi penyebabnya.
• Hilangnya ingatan yang mengganggu kehidupan sehari-hari. Sulit dalam memecahkan masalah
sederhana.
• Kesulitan menyelesaikan tugas-tugas yang akrab di rumah, di tempat kerja atau di waktu luang.
• Kebingungan dengan waktu atau tempat.
• Masalah pemahaman gambar visual dan hubungan spasial.
• Masalah baru dengan kata-kata dalam berbicara atau menulis.
• Lupa tempat menyimpan hal-hal dan kehilangan kemampuan untuk menelusuri kembali langkah-
langkah.
• Penurunan atau penilaian buruk.
• Penarikan dari pekerjaan atau kegiatan sosial.
• Perubahan suasana hati dan kepribadian, termasuk apatis dan depresi.
PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI
PADA ALZHEIMER
Anamnesis
Anamnesis merupakan tahap awal dari rangkaian pemeriksaan
pemeriksaan pasien, pemeriksaan secara langsung kepada pasien ataupun
bersama dengan keluarga atau dengan relasi terdekat. Tujuan anamnesis
adalah untuk mendapatkan informasi dan riwayat hidup secara
menyeluruh dari dari pasien yang bersangkutan.
• Identitas pasien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku
bangsa, tanggal dan jam rehabilitasi, nomor register dan diagnosis medis.
• Keluhan utama
Penurunan daya ingat, perubahan emosi menjadi sebuah keluhan utama dari
pasien ataupun keluarga untuk diberikan sebuah pelayanan kesehatan
• Riwayat penyakit sekarang
Pada tahap ini, pasien mengeluhkan sering lupa dan hilang ingatan dengan hal
yang baru saja terjadi. Keluarga mengeluhkan perubahan emosi dan tingkah
laku pada pasien saat berada disekitarnya. Hingga pada akhirnya perlu
bantuan keluarga untuk melakukan aktifitas keseharian pasien
• Riwayat penyakit terdahulu
Pengkajian seperti riwayat kesehatan pasien. Seperti penggunaan obat-
obatan, penyakit jantung, hipertensi.
• Riwayat penyakit keluarga
Salah satu penyebab juga terdapat dari faktor genetika. Penyakit tersebut
dapat diwariskan atau diturunkan pada anggota keluarga dari pasien yang
mengidap Alzheimer. Pengkajian kesehatan generasi terdahulu dari
keluarga diperlukan untuk melihat komplikasi penyakit dan hal yang
mempercepat gerak dari penyakit tersebut.
• Pengkajian psikososiospiritual
Pengkajian untuk menilai nilai emosi, dan perubahan perilaku pasien dalam
kehidupan sehari-hari dan perubahan peran pasien dikeluarga serta respon
ataupun pengaruhnya didalam keluarga.
PENGERTIAN ALZHEIMER
Demensia merupakan hilangnya ingatan yang bisa timbul bersama dengan gejala gangguan
perilaku maupun psikologis pada seseorang (Ikawati, 2009). Gambaran paling awal berupa
hilangnya ingatan mengenai peristiwa yang baru berlangsung. Terganggunya intelektual seseorang
dengan Demensia secara signifikan mempengaruhi aktivitas normal dan hubungan. Mereka juga
kehilangan kemampuan untuk mengontrol emosi dan memecahkan sebuah masalah, sehingga
bukan tidak mungkin mereka mengalami perubahan kepribadian dan tingkah laku.
Penyebab pertama penderita demensia adalah penyakit alzheimer (50- 60%) dan kedua oleh
cerebrovaskuler (20%) (Japardi, 2002). Penyakit Alzheimer adalah penyakit degeneratif otak dan
penyebab paling umum dari demensia. Hal ini ditandai dengan penurunan memori, bahasa,
pemecahan masalah dan keterampilan kognitif lainnya yang mempengaruhi kemampuan
seseorang untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Penurunan ini terjadi karena sel-sel saraf
(neuron) di bagian otak yang terlibat dalam fungsi kognitif telah rusak dan tidak lagi berfungsi
normal.
Pada penyakit Alzheimer, kerusakan saraf akhirnya mempengaruhi bagian otak yang
memungkinkan seseorang untuk melaksanakan fungsi tubuh dasar seperti berjalan dan menelan
(Alzheimer’s Association, 2015). Pada akhirnya penderita dapat mengalami kematian setelah
beberapa tahun karena kemampuan motoriknya sudah tidak berfungsi.
KARAKTERISTIK ALZHEIMER
Penyakit Alzheimer merupakan sebagian besar penyebab umum demensia, menyumbang sekitar
60 persen sampai 80 persen kasus. Kesulitan mengingat percakapan terakhir, nama atau peristiwa
sering kali merupakan gejala klinis awal, apatis dan depresi juga gejala sering yang terjadi diawal.
Termasuk gangguan komunikasi, disorientasi, kebingungan, penilaian buruk, perubahan perilaku,
pada akhirnya kesulitan berbicara, menelan dan berjalan. (Alzheimer’s Association, 2015)
KATEGORI ALZHEIMER
1. Predementia:
Pada Alzheimer tingkat ini terjadi gangguan kognitif ringan, defisit memori, serta
apatis, apatis.
2. Demensia onset awal
Pada Alzheimer tingkat ini terjadi gangguan bahasa, kosakata, bahasa oral &
tulisan, gangguan persepsi, gangguan gerakan, terlihat bodoh, kurang inisiatif untuk
melakukan aktivitas.
3. Dementia moderat
Pada Alzheimer tingkat ini terjadi deteriorasi progresif, tidak mampu membaca &
menulis, gangguan long-term memory, subtitusi penggunaan kata (parafasia),
misidentifikasi, labil, mudah marah, delusi, Inkontinen system urinaria.
4. Dementia tahap lanjut (advanced)
Pada Alzheimer tingkat ini terjadi tidak dapat mengurus diri secara mandiri,
kehilangan kemampuan verbal total, agresif, apatis ekstrim, deteriorasi massa otot &
mobilitas, kehilangan kemampuan untuk makan.
PENYEBAB ALZHEIMER
Para ahli percaya bahwa Alzheimer, seperti penyakit kronis umum lainnya, berkembang sebagai
akibat dari beberapa faktor. Penyebab ataupun faktor yang menyebabkan seseorang menderita
penyakit Alzheimer antara lain sebagai berikut:
a. Usia
Faktor risiko terbesar untuk penyakit Alzheimer adalah usia. Kebanyakan orang dengan penyakit
Alzheimer didiagnosis pada usia 65 tahun atau lebih tua. Orang muda kurang dari 65 tahun juga
dapat terkena penyakit ini, meskipun hal ini jauh lebih jarang. Sementara usia adalah faktor risiko
terbesar.
b. Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga dengan keluarga yang memiliki orangtua, saudara atau saudari dengan
Alzheimer lebih mungkin untuk mengembangkan penyakit daripada mereka yang tidak memiliki
kerabat dengan Alzheimer's. Faktor keturunan (genetika), bersama faktor lingkungan dan gaya
hidup, atau keduanya dapat menjadi penyebabnya.
Beberapa ilmuwan percaya faktor lain dapat berkontribusi atau menjelaskan peningkatan risiko
demensia di antara mereka dengan pendidikan yang rendah. Hal ini cenderung memiliki pekerjaan
yang kurang melatih rangsangan otak. Selain itu, pencapaian pendidikan yang lebih rendah dapat
mencerminkan status sosial ekonomi rendah, yang dapat meningkatkan kemungkinan seseorang
mengalami gizi buruk dan mengurangi kemampuan seseorang untuk membayar biaya perawatan
kesehatan atau mendapatkan perawatan yang disarankan.
d. Traumatic Brain Injury (TBI)
Trauma Cedera Otak sedang dan berat meningkatkan risiko perkembangan penyakit Alzheimer.
Trauma Cedera Otak adalah gangguan fungsi otak yang normal yang disebabkan oleh pukulan
atau tersentak ke kepala atau penetrasi tengkorak oleh benda asing, juga dapat didefinisikan
sebagai cedera kepala yang mengakibatkan hilangnya kesadaran. Trauma Cedera Otak dikaitkan
dengan dua kali risiko mengembangkan Alzheimer dan demensia lainnya dibandingkan dengan
tidak ada cedera kepala.
GEJALA ALZHEIMER
Gejala penyakit Alzheimer bervariasi antara individu. Gejala awal yang paling umum adalah
kemampuan mengingat informasi baru secara bertahap memburuk. Berikut ini adalah gejala
umum dari Alzheimer: (Alzheimer’s Association, 2015)
Selama tahap akhir penyakit, pasien mulai kehilangan kemampuan untuk mengontrol fungsi
motorik seperti menelan, atau kehilangan kontrol usus dan kandung kemih. Mereka akhirnya
kehilangan kemampuan untuk mengenali anggota keluarga dan untuk berbicara. Sebagai penyakit
berlangsung itu mulai mempengaruhi emosi dan perilaku seseorang dan mereka mengembangkan
gejala seperti agresi, agitasi, depresi, sulit tidur.
Berikut ini merupakan langkah ataupun tahap pemeriksaan yang dilakukan bagi penderita
Alzheimer, meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Anamnesis merupakan tahap awal dari rangkaian pemeriksaan pemeriksaan pasien, pemeriksaan
secara langsung kepada pasien ataupun bersama dengan keluarga atau dengan relasi terdekat.
Tujuan anamnesis adalah untuk mendapatkan informasi dan riwayat hidup secara menyeluruh dari
dari pasien yang bersangkutan.
Hal- hal yang bersangkutan dengan anamnesis yaitu
1. Identitas pasien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa,
tanggal dan jam rehabilitasi, nomor register dan diagnosis medis.
2. Keluhan utama
Penurunan daya ingat, perubahan emosi menjadi sebuah keluhan utama dari pasien ataupun
keluarga untuk diberikan sebuah pelayanan kesehatan
Pada tahap ini, pasien mengeluhkan sering lupa dan hilang ingatan dengan hal yang baru
saja terjadi. Keluarga mengeluhkan perubahan emosi dan tingkah laku pada pasien saat
berada disekitarnya. Hingga pada akhirnya perlu bantuan keluarga untuk melakukan
aktifitas keseharian pasien
Pengkajian seperti riwayat kesehatan pasien. Seperti penggunaan obat-obatan, penyakit jantung,
hipertensi.
Salah satu penyebab juga terdapat dari faktor genetika. Penyakit tersebut dapat diwariskan
atau diturunkan pada anggota keluarga dari pasien yang mengidap Alzheimer. Pengkajian
kesehatan generasi terdahulu dari keluarga diperlukan untuk melihat komplikasi penyakit
dan hal yang mempercepat gerak dari penyakit tersebut.
6. Pengkajian psikososiospiritual
Pengkajian untuk menilai nilai emosi, dan perubahan perilaku pasien dalam kehidupan
sehari-hari dan perubahan peran pasien dikeluarga serta respon ataupun pengaruhnya
didalam keluarga.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan yang meliputi berat badan dan tinggi badan. Selain itu pemerikasaan juga dilakukan
pada: suhu, denyut nadi, tekanan darah, tingkat kesadaran.
4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang juga direkomendasikan adalah CT/MRI kepala, yang mana
pemeriksaan tersebut dapat sebagai pendukung lebih jelasnya pemeriksaan pada pasien.
10 Bicara monoton
Faktor Risiko
1 Usia
Gejala penyakit Parkinson sekitar
5-10% pada awalnya muncul
sebelum usia 40 tahun, akan
tetapi rata-rata menyerang
3 Jenis Kelamin
Prevalensi penderita Parkinson
penderita dengan usia 65 tahun, antara laki-laki dan perempuan
2 Trauma Kepala
didapatkan 3:2 ,
4. MMSE
Mini mental State Examination atau MMSE adalah sebuah tes yang
digunakan untuk mengukur gangguan kognitif pada orang dewasa
yang lebih tua.
Pemeriksaan Khusus
5. Finger to Nose Test
Dismetria berarti hilangnya kemampuan untuk memulai atau
menghentikan suatu gerak motorik halus. Untuk menguji adanya
suatu dismetria salah satunya dengan dilakukan finger to nose test.
6. Pemeriksaan Bradikinesia
Bradikinesia adalah penurunan progresif kecepatan dan amplitude
gerakan pada aktivitas repetitif. Bradikinesia tidak sekedar
kelambatan gerakan. Pemeriksaan ini bisa dilakukan dengan
gerakan mengulang-ulang seperti fist open close dan finger tapping.
Intervensi Fisioterapi pada
Penyakit Parkinson
Strengthening Exercise
Latihan penguatan merupakan bentuk dari latihan aktif dimana suatu kontraksi
dinamik maupun statis melawan suatu tenaga/kekuatan dari luar. Tujuan dari
strengthening exercise yaitu; meningkatkan kekuatan otot, meningkatkan
ketahanan otot (endurance), dan meningkatkan tenaga (power).
Intervensi Fisioterapi pada
Penyakit Parkinson
Balance Exercise
Latihan keseimbangan dapat dilakukan dengan posisi berdiri dengan lebar
tumpuan 10 cm, diberikan fiksasi pada pelvis pasien, lalu fisioterapis
memindahkan tumpuan atau menggerakkan ke depan, belakang, samping kanan
dan samping kiri dan pasien diminta agar menjaga keseimbangan agar tidak
jatuh.
Intervensi Fisioterapi pada
Penyakit Parkinson
Frenkel Exercise
Merupakan suatu bentuk latihan gerak untuk perbaikan koordinasi dengan
menggunakan indra yang lain (visual, pendengaran, reseptor). Program ini terdiri
seri latihan yang sudah terencana yang didesain untuk membantu
mengkompensasi ketidakmampuan dari lengan dan tungkai untuk melakukan
gerakan yang terkoordinasi.
Gerakan dalam Frenkel's exercise antara lain :
• Finemotor, Gerakan halus yang memerlukan keterampilan dan
koordinasi visual yang prima serta melibatkan extremitas
superior
• Gross motor, gerakan kasar yang melibatkan aktivitas tungkai
atau extremitas inferior.
Frenkel exercise dapat dilakukan pada posisi berbaring, duduk,
berdiri, hingga berjalan.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
diderita manusia. Penyakit Parkinson secara patologis ditandai oleh degenerasi sel-sel
saraf dalam otak yang disebut ganglia basalis, hilangnya pigmentasi di substansia nigra,
adanya inklusi sitoplasmik yang disebut Lewy bodies, serta penurunan dopamin di
Penyakit Parkinson menyerang jutaan penduduk di dunia atau sekitar 1% dari total
populasi dunia. Penyakit tersebut menyerang penduduk dari berbagai etnis dan status
dengan total kasus kematian akibat penyakit Parkinson di Indonesia menempati peringkat
ke-12 di dunia atau peringkat ke-5 di Asia dengan prevalensi mencapai 1100 kematian
gangguan kognitif dan tingkah laku, demensia, penurunan daya ingat, kelemahan otot,
katalepsi (gerakan jadi lambat dan kaku) dan tremor. Penderita penyakit Parkinson juga
akan mengalami tremor, yaitu suatu gerakan gemetar yang berirama dan tidak terkendali
Pengobatan penyakit parkinson saat ini umumnya bertujuan untuk mengurangi gejala
motorik maupun non motorik seperti depresi dan penurunan kognitif dan memperlambat
progresivitas penyakit.
1
Peran utama fisioterapis sebagai bagian dari tim multidisiplin adalah untuk
(berpindah tempat), perbaikan postur dan fungsi ekstremitas atas maupun bawah,
keseimbangan dan kapasitas fisik serta aktivitas. Fisioterapis juga dapat menggunakan
2
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Penyakit Parkinson
1. Definisi
penyakit ini memiliki dimensi gejala yang sangat luas sehingga baik langsung
pertama kali ditemukan oleh seorang dokter Inggris yang bernama James
ganguan pergerakan .
Akan tetapi mengingat umur harapan hidup makin lama dan makin tinggi yaitu
penduduk usia lanjut sebesar 41,4%. Maka dapat diperkirakan sekitar tahun 2015
– 2020 angka harapan hidup orang Indonesia selama hidupnya mencapai 70 tahun
total jumlah penduduk sebesar 238.452.952. Total kasus kematian akibat penyakit
2. Patofisiologi
Penyakit Parkinson terjadi karena penurunan kadar dopamin yang masif akibat
3
dopaminergik substansia nigra merupakan 8 faktor dasar munculnya penyakit
3. Etiologi
yaitu faktor lingkungan dan faktor genetik. Faktor lingkungan tersebut termasuk
paparan timbal, besi, tembaga, paparan pestisida, hal-hal tersebut dapat menjadi
4. Manifestasi Klinis
Keadaan penderita pada umumnya diawali oleh gejala yang non spesifik, yang
didapat dari anamnesis yaitu kelemahan umum, kekakuan pada otot, pegal-pegal
sensorik (parestesia), dan gejala psikiatrik (ansietas atau depresi). Gambaran klinis
a. Tremor
pada satu tangan kemudian meluas pada tungkai sisi yang sama. Kemudian
sisi yang lain juga akan turut terkena. Kepala, bibir dan lidah sering tidak
terlihat, kecuali pada stadium lanjut. Frekuensi tremor berkisar antara 4-7
gerakan per detik dan terutama timbul pada keadaan istirahat dan berkurang
4
bila ekstremitas digerakan. Tremor akan bertambah pada keadaan emosi dan
b. Rigiditas
Pada permulaan rigiditas terbatas pada satu ekstremitas atas dan hanya
digerakan secara pasif. Rigiditas timbul sebagai reaksi terhadap regangan pada
otot agonis dan antagonis. Salah satu gejala dini akibat rigiditas ialah hilang
c. Bradikinesia
Gerakan volunter menjadi lambat dan memulai suatu gerakan menjadi sulit.
Ekspresi muka atau gerakan mimik wajah berkurang (muka topeng). Gerakan-
gerakan otomatis yang terjadi tanpa disadari waktu duduk juga menjadi sangat
kurang. Bicara menjadi lambat dan monoton dan volume suara berkurang
(hipofonia).
awal stadium penyakit Parkinson gejala ini belum ada. Hanya 37% penderita
ini. Keadaan ini disebabkan kegagalan integrasi dari saraf propioseptif dan
labirin dan sebagian kecil impuls dari mata, pada level talamus dan ganglia
5
e. Wajah Parkinson
muka serta mimik. Muka menjadi seperti topeng, kedipan mata berkurang,
disamping itu kulit muka seperti berminyak dan ludah sering keluar dari mulut.
f. Sikap Parkinson
Parkinson. Pada stadium yang lebih lanjut sikap penderita dalam posisi kepala
g. Bicara
Rigiditas dan bradikinesia otot pernafasan, pita suara, otot faring, lidah dan
dengan volume yang kecil dan khas pada penyakit Parkinson. Pada beberapa
h. Disfungsi otonom
mengatur fungsi otonom, seperti nukleus vagus dorsal, nukleus ambigus dan
6
pusat medullary lainnya seperti medulla ventrolateral, rostral medulla, medulla
i. Demensia
mungkin baru akan terlihat pada stadium lanjut, namun pasien penyakit
fungsi eksekutif pada stadium awal. Gangguan fungsi kognitif pada penyakit
j. Depresi
Sekitar 40% penderita penyakit Parkinson terdapat gejala depresi. Hal ini
dikucilkan. Hal ini disebabkan keadaan depresi yang sifatnya endogen. Secara
anatomi keadaan ini dapat dijelaskan bahwa pada penderita Parkinson terjadi
7
5. Faktor Risiko
a) Usia
Gejala penyakit Parkinson sekitar 5-10% pada awalnya muncul sebelum usia
sehingga usia merupakan salah satu faktor resiko penting terserang penyakit
Parkinson.
b) Onset
penyakit late onset. Disebut penyakit early onset jika tanda dan gejala dimulai
sebelum usia 50 tahun. Kasus early onset yang dimulai sebelum usia 20
harapan hidup, jumlah orang dengan penyakit ini diperkirakan akan meningkat
c) Jenis Kelamin
sehingga jenis kelamin juga dapat menjadi salah satu faktor predisposisi
penyakit Parkinson.
d) Trauma Kepala
Trauma kepala yang berat dan berulang dapat meningkatkan resiko kerusakan
pada sel-sel neuron atau kerusakan pada bagian subtantia nigra yang
trauma kepala menjadi salah satu faktor resiko terserang penyakit Parkinson.
8
B. Pemeriksaan Fisioterapi pada Penyakit Parkinson
melalui penilaian kinerja dari aktivitas fungsional (seperti duduk, berdiri, berpindah
kegiatan keseharian. Berg balance scaleterdiri dari 14 perintah dengan setiap item
terdiri dari lima point yang dinilai menggunakan skala ordinal dari 0 – 4, dengan 0
mengindikasikan level fungsi yang lebih rendah dan 4 level fungsi yang lebih tinggi.
penggunaan kursi roda), 21 – 40 (risiko terjatuh sedang, butuh alat bantu jalan), 41 –
2. MMSE
Mini Mental State Examination (MMSE) merupakan tes yang dapat dilakukan
dalam sepuluh menit dan paling sering digunakan untuk menilai penyakit dengan
penurunan kognitif, terutama demensia walau pun banyak tes lain yang menawarkan
spesifisitas dan sensitifitas yang lebih tinggi. Nilai skor total tes yang diberikan adalah
tiga puluh dan dibagi menjadi lima segmen, yaitu orientasi (tempat dan waktu),
regristrasi, atensi dan menghitung, memori jangka pendek, bahasa dan kemampuan
probable gangguan kognitif dan 24 sebagai nilai terendah yang masih dianggap
normal.
9
Bisa dilakukan dengan posisi pasien berbaring, duduk atau berdiri. Dengan posisi
abduksi dan ektensi secara komplit, mintalah pada pasien untuk menyentuh ujung
hidungnya sendiri dengan ujung jari telunjuknya. Mula-mula dengan gerakan perlahan
kemudian dengan gerakan cepat, baik dengan mata terbuka dan tertutup.
Serupa dengan finger to nose test, tetapi setelah menyentuh hidungnya, pasien
diminta menyentuh ujung jari pemeriksa dan kembali menyentuh ujung hidungnya.
Jari pemeriksa dapat diubah-ubah baik dalam jarak maupun bidang gerakan.
untuk menggerakkan kedua ujung jari telunjuknya saling bertemu tepat ditengah-
10
PROGRAM STUDI PROFESI FISIOTERAPIS
JURUSAN FISIOTERAPI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAKARTA III
DENTITAS KLIEN
Alamat : - Pekerjaan : -
PEMERIKSAAN :
11
Riwayat Sosial: Kemampuan Sebelumnya:
Pasien hanya tinggal bersama dengan suaminya, Pasien mampu melakukan Activity Daily Living
sedangkan anak-anaknya sudah berumah tangga secara mandiri
semua dan tinggal jauh dari pasien.
Pemeriksaan Penunjang:
Pemeriksaan MRI: didapati hilangnya normal swallow tail appearance pada substansia nigra.
Kooperatif/Tidak Kooperatif: Kooperatif Kognisi dan Persepsi: Kognitif pasien cukup baik
dapat diajak berkomunikasi walaupun kurang utuh
menjelaskan kronologi.
Pemeriksaan Fisioterapi
12
Hipotesis: (dugaan fisioterapis dari masalah fisioterapi yang ditemukan dalam pemeriksaan)
1. Adanya gangguan keseimbangan berjalan
2. Adanya gangguan postur kifosis dan forward head
3. Adanya tremor pada kedua tangan
4. Adanya gangguan koordinasi
5. Adanya spasme otot pectoralis dan upper trapezius
6. Adanya kekakuan/stiffness pada jari-jari tangan
Analisis Gerak (General postural alignment, kualitas gerakan, kompensasi, pola gerakan, involuntary
movement):
Gerak Aktif Pasien
Mampu melakukan gerakan aktif dengan hasil keterbatasan ROM akibat stiffness. Pasien tidak merasakan
adanya nyeri.
Gerak pasif
Pasien saat dilakukan gerakan pasif full ROM dengan adanya sedikit tahanan. Pasien tidak merasakan
adanya nyeri.
Upper trapezius
Pectoralis major
Extensor trunk
2. Gait Analisis
Finger to nose
Fist open close
Hasil: terdapat bradikinesia pada gerakan di atas
13
Activity (Pemeriksaan dan Pengukuran)
1. Berg Balance Scale
14
Partisipation
Body structure/Function (Hasil Activity (Pemeriksaan dan
pengukuran):
(Pemeriksaan dan
pemeriksaan dan pengukuran) pengukuran):
1. Stiffness (b7800) 1. Koordinasi (b7602)
1. recreation
2. Impaired involuntary movement 2. Berjalan (d450)
and leisure
(Tremor, bradykinesia) (b765) 3. Mempertahankan
(d920)
3. Impairment in Gait Pattern (b770) posisi tubuh (d415)
4. Vestibular function of balance (b2351) 4. Self Care (d5)
Environmental factors:
Personal Factors:
Dukungan keluarga cukup baik
Pasien semangat untuk latihan
15
Edukasi dan Home Program: (saran aktivitas sehari-hari dan program latihan di rumah)
Evaluasi Simpulan Klinis : (Simpulan klinis yang dituliskan di akhir program latihan fisioterapi)
4. PNF
F: 3x seminggu
I:
T:
T: manual terapi
16
BAB I
PENDAHULUAN
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu
lintas.(Mansjoer Arif,dkk, 2000).
WHO (Word Health Organization) menyatakan bahwa kematian pada cedera
kepala diakibatkan karena kecelakaan lalu lintas. WHO mencatat pada tahun 2013
terjadi kematian yang disebabkan karena kecelakaan lalu lintas dengan jumlah kasus
2.500 kasus. Di amerika serikat, kejadian cidera kepala setiap tahunnya diperkirakan
mencapai 500.000 kasus dengan prevalensi kejadian 80% meninggal dunia sebelum
sampai rumah sakit, 80% cidera kepala ringan, 10% cidera kepala sedang dan 10%
cidera kepala berat, dengan rentang kejadian 15-44 tahun. Presentase dari kecelakaan
lalu lintas tercatat sebesar 48-58% diperoleh dari cidera kepala, 20-28% dari jatuh
dan 3-9% disebabkan tindak kekerasan dan kegiatan olahraga (WHO,2013). Di
Indonesia, cedera kepala berdasarkan hasil riskedas 2013 menunjukkan insiden
cedera kepala sebanyak 100.000 jiwa meninggal dunia (Depkes RI,2003).
Craniectomi adalah salah satu tindakan bedah saraf yang mengangkat
suatu bagian tengkorak untuk memungkinkan otak yang membengkak mendapat
ruang untuk mengembang, sehingga terjadi pengurangan tekanan.craniect omi ini
cocok dilakukan pada korban cedera otak traumatik (Traumatic Brain Injuri).
Cedera kepala dapat timbul kesulitan dalam menggerakkan ekstrimitas, kehilangan
rasa dan bau, atau penglihatan blur dan ganda.
1
Dalam laporan ini pasien traumatic brain injury post operasi Craniectomi
mengalami Kelemahan Anggota Gerak Bawah sisi kanan sehingga dibutuhkan
fisioterapis untuk memberikan penanganan dan pemulihan terhadap masalah yang
diderita pasien.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a. Kulit Kepala
Menurut ATLS terdiri dari 5 lapisan yaitu:
1) Skin atau kulit.
2) Connective Tissue atau jaringan penyambung.
3) Aponeurosis atau galea aponeurotika jaringan ikat berhubungan
langsung dengan tengkorak.
4) Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar Merupakan
tempat terjadinya perdarahan subgaleal (hematom subgaleal).
5) Perikranium (periosteum), merupakan periosteum yang melapisi
tulang tengkorak, melekat crat terutama pada sutura karena melalui
sutura ini periosteum akan langsung berhubungan dengan endostium
(yang melapisi permukaan dalam tulang tengkorak).
3
b. Tulang Tengkorak
4
2) Tulang Tengkorak bagian muka tulang tengkorak bagian muka terletak
pada bagian muka kepala. Tulang tersebut membentuk rongga mata,
ronggahidung dan langit-langit. tulang tengkorak bagian muka terdiri dari
2 tulang rahang atas, 2 tulang rahang bawah, 2tulang tipi, 2 tulang mata, 2
tulang hidung, dan satu tulang pangkal lidah. Tulang rahang bawah
merupakan satusatunya tulang yang dapat digerakkan pada bagian kepala.
3) Terdiri atas Kalvarium dan basis kranii. Rongga tengkorak dasar dibagi 3
fosa :
c. Meningen
Meninges adalah sistem membran yang melapisi sistem saraf pusat. Selaput
ini menutupi seluruh permukaan otak terdiri 3 lapisan :
1) Durameter
Merupakan selaput keras atas jaringan ikat fibrosa melekat dengan
tabula interna atau bagian dalam kranium namun tidak melekat pada selaput
5
arachnoid dibawahnya, sehingga terdapat ruangan potensial disebut ruang
subdural yang terletak antara durameter dan arachnoid. Pada cedera kepala
pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis
superior digaris tengah disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan
serta menyebabkan perdarahan subdural.
Durameter membelah membentuk 2 sinus yang mengalirkan darah
vena ke otak, yaitu : sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus
transverses dan sinus sigmoideus. Perdarahan akibat sinus cedera 1/3 anterior
diligasi aman, tetapi 2/3 posterior berbahaya karena dapat menyebabkan
infark vena dan kenaikan tekanan intracranial. Arteri-arteri meningea terletak
pada ruang epidural, dimana yang sering mengalami cedera adalah arteri
meningea media yang terletak pada fosa temporalis dapat menimbulkan
perdarahan epidural.
2) Arachnoid
Lapisan arachnoid terdiri atas fibrosit berbentuk pipih dan serabut
kolagen. Lapisan arachnoid mempunyai dua komponen, yaitu suatu lapisan
yang berhubungan dengan dura mater dan suatu sistem trabekula yang
menghubungkan lapisan tersebut dengan pia mater. Ruangan di antara
trabekula membentuk ruang subarachnoid yang berisi cairan serebrospinal dan
sama sekali dipisahkan dari ruang subdural. Pada beberapa daerah, arachnoid
melubangi dura mater, dengan membentuk penonjolan yang membentuk
trabekula di dalam sinus venous dura mater. Bagian ini dikenal dengan vilus
arachnoidalis yang berfungsi memindahkan cairan serebrospinal ke darah
sinus venous. Arachnoid merupakan selaput yang tipis dan transparan.
Arachnoid berbentuk seperti jaring laba-laba. Antara Arachnoid dan piameter
terdapat ruangan berisi cairan yang berfungsi untuk melindungi otak bila
terjadi benturan. Baik arachnoid dan piameter kadang-kadang disebut sebagai
leptomeninges.
6
3) Piameter
Piameter adalah membran yang sangat lembut dan tipis. Lapisan ini
melekat pada otak. Pia mater mengandung sedikit serabut kolagen dan
membungkus seluruh permukaan sistem saraf pusat dan vaskula besar yang
menembus otak.Lapisan ini melekat pada permukaan korteks serebri. Cairan
serebro spinal bersirkulasi diantara arachnoid dan piameter dalam ruang
subarahnoid. Perdarahan ditempat ini akibat pecahnya aneurysma intra
cranial.
2. Anatomi Otak
Otak mengatur dan mengkordinir sebagian besar gerakan, perilaku dan fungsi
tubuh homeostasis seperti detak jantung, tekanan darah, keseimbangan cairan tubuh
dan suhu tubuh. Otak manusia bertanggung jawab terhadap pengaturan seluruh badan
dan pemikiran manusia.
Otak dilindungi 3 lapisan selaput meninges. Bila membran ini terkena infeksi
maka akan terjadi radang yang disebut meningitis. Ketiga lapisan membran meninges
dari luar ke dalam adalah sebagai berikut :
a. Duramater atau Lapisan Luar
Duramater kadangkala disebut pachimeningen atau meningen fibrosa
karena tebal, kuat, dan mengandung serabut kolagen. Pada duramater dapat
diamati adanya serabut elastis, fibrosit, saraf, pembuluh darah, dan limfe.
Lapisan dalam duramater terdiri dari beberapa lapis fibrosit pipih dan sel-sel
luar dari lapisan arachnoid.
b. Araknoid atau Lapisan Tengah
Arachnoid merupakan selaput halus yang memisahkan duramater
dengan piamater. Lapisan arachnoid terdiri atas fibrosit berbentuk pipih dan
serabut kolagen. Arachnoid berbentuk seperti jaring laba-laba. Antara
7
arachnoid dan piamater terdapat ruangan berisi cairan yang berfungsi untuk
melindungi otak bila terjadi benturan.
c. Piamater atau Lapisan Dalam
Piamater merupakan membran yang sangat lembut dan tipis penuh
dengan pembuluh darah dan sangat dekat dengan permukaan otak. Lapisan ini
berfungsi untuk memberi oksigen dan nutrisi serta mengangkut bahan sisa
metabolisme.
Otak terdiri dari empat bagian besar yaitu cerebrum atau otak besar,
cerebellum atau otak kecil, brainstem atau batang otak, dan dienchepahalons
(Satyanegara, 1998).
8
hemisfer kanan berfungsi mengontrol sisi kiri tubuh dan terlibat dalam
kreativitas serta kemampuan artistik. Sedangkan hemisfer kiri berfungsi
mengontrol sisi kanan tubuh dan untuk logika serta berpikir rasional.
Cerebrum dibagi menjadi empat lobus. Bagian lobus yang
menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan disebut sulcus. Keempat
lobus tersebut masing-masing adalah:
a) Lobus Frontal merupakan bagian lobus yang ada dipaling depan
dari cerebrum. Lobus ini berhubungan dengan kemampuan
membuat alasan, kemampuan gerak, kognisi, perencanaan,
penyelesaian masalah, memberi penilaian, kreativitas, kontrol
perasaan, kontrol perilaku seksual dan kemampuan bahasa secara
umum.
b) Lobus Parietal berada di tengah, berhubungan dengan proses
sensor perasaan seperti tekanan, sentuhan dan rasa sakit.
c) Lobus Temporal berada di bagian bawah berhubungan dengan
kemampuan pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam
bentuk suara.
d) Lobus Occipital ada di bagian paling belakang, berhubungan
dengan rangsangan visual yang memungkinkan manusia mampu
melakukan interpretasi terhadap objek yang ditangkap oleh retina
mata.
9
Jika terjadi cedera atau terdapat kerusakan pada area ini, dapat
mengakibatkan gangguan pada sikap dan koordinasi gerak otot. Gerakan
menjadi tidak terkoordinasi, misalnya orang tersebut tidak mampu
memasukkan makanan ke dalam mulutnya atau tidak mampu
mengancingkan baju.
10
mata, pembesaran pupil mata, mengatur gerakan tubuh dan
pendengaran.
2) Medulla oblongata adalah titik awal saraf tulang belakang dari
sebelah kiri badan menuju bagian kanan badan, begitu juga
sebaliknya. Medulla oblongata bertugas mengontrol fungsi
otomatis otak seperti: detak jantung, sirkulasi darah, pernafasan,
dan pencernaan.
3) Pons merupakan stasiun pemancar yang mengirimkan data ke
pusat otak bersama dengan formasi reticular. Pons yang
menentukan apakah kita terjaga atau tertidur.
4) Dienchephalons
Terdiri dari thalamus, hypothalamus, subthalamus, dan epithalamus.
a. Thalamus berfungsi sebagai station relay dari sensoris, berperan dalam
perilaku dan emosi sejalan dengan hubungannya dengan system limbic,
serta mempertahankan kesadaran.
b. Hypothalamus terletak dibawah thalamus yang berfungsi mengatur
emosi, hormon, temperatur tubuh, kondisi tidur dan bangun,
keseimbangan kimia tubuh, serta makan dan minum
c. Subthalamus merupakan nukleus motorik ekstrapiramida yang penting.
Fungsinya belum dapat dimengerti sepenuhnya, tetapi lesi pada
subtalamus dapat menimbulkan diskinesia.
d. Epithalamusberhubungan dengan sistem limbik dan berperan pada
beberapa dorongan emosi dasar dan integrasi informasi olfaktorius.
11
mengatur cairan yang keluar dari sirkulasi umum untuk membasahi sel otak.. Banyak
obat dan zat kimia tidak dapat menembus sawar darah-otak.
12
kadar oksigen secara bersamaan. Dalam waktu singkat, otak mulai melakukan
fosforilasi oksidatif.
Tekanan Intrakranial
Tekanan di dalam cranium disebut tekanan intracranial (TIK). TIK ditentukan
oleh volume darah di otak, volume CSS, dan volume jaringan otak. Dalam keadaan
normal, TIK berkisar dari 5 sampai 15 mmHg.
Trauma Brain Injury adalah salah satu bentuk trauma yang dapat
mengubah kemampuan otak dalam menghasilkan keseimbangan fisik,
intelektual, emosional, gangguan traumatik yang dapat menimbulkan
perubahan-perubahan fungsi otak (Pedoman Penaggulangan Gawat Darurat
Ems 119 Jakarta, 2008).
13
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang
dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan
kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
2. Etiologi
Adapun etiologi dari cedera kepala menurut Suriadi & Yuliani (2001),
yaitu :
a. Kecelakaan kenderaan bermotor atau sepeda dan mobil.
b. Jatuh.
c. Kecelakaan saat olahraga.
d. Cedera akibat kekerasan.
Menurut Sjamsuhidajat, R & Jong, WD (2004), etiologi dari trauma
kepala terdiri dari :
a. Benda tajam.
b. Benda tumpul.
c. Peluru.
d. Kecelakaan lalu lintas
Sedangkan menurut Purwoko, S (2006), etiologi dari cedera kepala
yaitu:
a. Olah raga.
b. Jatuh.
14
c. Kecelakaan kenderaan bermotor.
15
dan gangguan biokimia otak seperti penurunan adenosis tripospat, perubahan
permeabilitas vaskuler.
Patofisiologi cedera kepala dapat terbagi atas dua proses yaitu cedera
kepala primer dan cedera kepala sekunder, cedera kepala primer merupakan suatu
proses biomekanik yang terjadi secara langsung saat kepala terbentur dan dapat
memberi dampak kerusakan jaringan otat. Pada cedera kepala sekunder terjadi
akibat dari cedera kepala primer, misalnya akibat dari hipoksemia, iskemia dan
perdarahan.
Perdarahan cerebral menimbulkan hematoma misalnya pada epidural
hematoma, berkumpulnya antara periosteun tengkorak dengan durameter, subdura
hematoma akibat berkumpulnya darah pada ruang antara durameter dengan
subaraknoid dan intra cerebral, hematoma adalah berkumpulnya darah didalam
jaringan cerebral. Kematian pada penderita cedera kepala terjadi karena hipotensi
karena gangguan autoregulasi, ketika terjadi autoregulasi menimbulkan perfusi
jaringan cerebral dan berakhir pada iskemia jaringan otak (Tarwoto, 2007).
16
a. Ikhlas (Genuiness)
Semua perasaan negatif yang dimiliki oleh pasien barus bisa
diterima dan pendekatan individu dengan verbal maupun non verbal akan
memberikan bantuan kepada pasien untuk mengkomunikasikan
kondisinya secara tepat.
b. Empati (Empathy)
Merupakan sikap jujur dalam menerima kondisi pasien. Obyektif
dalam memberikan penilaian terhadap kondisi pasien dan tidak
berlebihan.
c. Hangat (Warmth)
Kehangatan dan sikap permisif yang diberikan diharapkan pasien
dapat memberikan dan mewujudkan ide-idenya tanpa rasa takut, sehingga
pasien bisa mengekspresikan perasaannya lebih mendalam.
17
2. Positioning
3. Infra Red
Infra Red merupakan alternatif terapi yang mempunyai penetrasi yang
hanya berada pada tingkat superfisial jaringan saja. Diharapkan agar terjadi efek
analgesik, efek anti imflamasi, efek sedatif, peningkatan suhu jaringan, efek
rileksasi otot sehingga intensitas spasme menurun, dan efek vasodilatasi agar
terjadi peningkatan blood flow.
18
5. Breathing Exercise
Tujuan latihan exercise adalah meningkatkan otot diafragma yang lemah,
penurunan ekspansi thoraks , penurunan daya tahan serta kelelahan dapat
menghambat program terapi. Penurunan volume paru terjadi sekitar 30-40 %
pada penderita traumatic brain injury. Oleh karena itu diperlukan latihan untuk
penguatan otot diafragma, deep breathing exercise,dan variasi latihan yang
ditujukan untuk meningkatkatkan kapasitas jantung dan paru akibat tirah baring
lama pada pasien traumatic brain injury.
Teknik breathing exercise mengikuti pola gerakan chest pasien, dan pada
akhir ekspirasi ditambahkan dengan fibrasi. Sehingga membantu merangsang
kerja otot pernapasan dan menurunkan sekresi paru.
a. Segmen Apikal Expansion
Teknik Pelaksanaan: Posisi pasien supine lying. Fisioterapis
menempatkan kedua tangan di clavicula. Perintahkan pasien untuk
melakukan expirasi dan fisioterapis memberi tekanan lembut dengan
telapak tangan. Kemudian perintahkan pasien untuk mengembangkan
chestnya dengan mendorong tangan fisioterapis, lalu perintahkan
expirasi yang dibantu oleh tangan fisioterapis dengan tekanan lembut.
b. Segmen Right Middle/Lingula Expansion
Teknik Pelaksanaan: Posisi pasien supine lying. Fisioterapis
menempatkan kedua tangannya di kiri dan kanan chest di bawah
axilla. Perintahkan pasien untuk melakukan expirasi dan fisioterapis
memberi tekanan lembut dengan telapak tangan. Kemudian
perintahkan pasien untuk mengembangkan chestnya dengan
mendorong tangan fisioterapis, lalu perintahkan expirasi yang dibantu
oleh tangan fisioterapis dengan tekanan lembut.
c. Segmen Lateral Lower Costa Expansion
Teknik Pelaksanaan: Posisi pasien supine lying. Fisioterapis
menempatkan tangan di lateral lower costa. Perintahkan pasien untuk
19
melakukan expirasi dan fisioterapis memberi tekanan lembut dengan
telapak tangan. Kemudian perintahkan pasien untuk mengembangkan
chestnya dengan mendorong tangan fisioterapis, lalu perintahkan
expirasi yang dibantu oleh tangan fisioterapis dengan tekanan lembut.
20
8. AAROMEX ( Active Assistive ROM Exercise)
AAROMEX adalah jenis AROM dengan bantuan yang diberikan
secara manual atau mekanik oleh gaya luar karena otot penggerak utama
membutuhkan bantuan untuk menyelesaikan gerakan. Jika pasien memiliki
otot yang lemah dan tidak mampu menggerakkan sendi melalui lingkup gerak
yang diinginkan, AAROMEX digunakan untuk memberikan bantuan yang
cukup pada otot secara terkontrol dan hati-hati sehingga otot dapat berfungsi
pada tingkat maksimumnya dan dikuatkan secara progresif.
Teknik : Posisi pasien tidur terlentang, kemudian fisioterapis
memerintahkan pasien untuk menggerakkan ekstremitas dengan bantuan
sedikit dari fisioterapis pada awal atau akhir gerakan jika ada kelemahan.
21
BAB III
PROSES FISIOTERAPI
A. Data-Data Medis
Nomor Rekam Medik : 84-00-21
Ruangan : L3 Depan Bawah Bedah Saraf Ruangan HCU bed 6
Diagnosa Medis : Traumatic brain injury GCS 10
C. Anamnesis Khusus
Keluhan utama : Kelemhan pada anggota gerak bawah sisi kanan
Awal keluhan : Dialami sejak beberapa minggu setelah operasi
craniektomi pada tanggal 14 april 2018
Riwayat Perjalanan Penyakit : Sekitar 1 bulan yang lalu, pasien mengalami
kecelakaan lalu lintas pada tanggal 14 April
2018 dengan penurunan kesadaran dan dibawa
ke RS. Arifin Nu’mang Sidrap dan pada pukul
12.00 pasien dirujuk ke RSUP DR Wahidin
Sudirohusodo Makassar. Kemudian pukul 20.00
dilakukan operasi craniektomi pada pasien.
Mekanisme Trauma : Pasien mengendarai sepeda motor tanpa
menggunakan helm, tiba-tiba pasien ditabrak
22
oleh sepeda motor lain dari belakang hingga
terjatuh dan kepala membentur aspal.
Riwayat Trauma : Ada
Riwayat Operasi : Operasi Craniektomi
Riwayat Penyakit penyerta :-
Riwayat keluarga :-
E. Inspkesi/Observasi
1. Statis
a. Pasien tidur terlentang diatas bed dengan kedua lengan diikat dan kedua
tungkai tertekuk.
b. Terpasang selang sonde dan inpus
c. Terpasang canulla tracheastomy dan oksigen
d. Terpasang keteter
e. Terdapat bekas jahitan operasi craniektomi pada temporoparietal sisi
kanan.
2. Dinamis
Pasien sulit menggerakkan ekstremitas bawah sisi kanan.
23
(4) : spontan
(2) : dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan kuku
jari)
(5) : melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang
nyeri)
(3) : flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki
extensi saat diberi rangsang nyeri).
(2) : extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan
jari mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).
24
(3) : kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas, namun
tidak dalam satu kalimat. Misalnya “aduh…, bapak…”)
Interpretasi hasil :
- Composmentis : 15-14
- Apatis : 13-12
- Delirium : 11-10
- Somnolen : 9-7
- Stupor : 6-4
- Coma : 3
2. Tes Sensorik
a. Tes tajam tumpul : Sulit dilakukan
b. Tes rasa sakit : Sulit dilakukan
c. Tes rasa posisi :Sulit dilakukan
3. Tes Motorik
Item yang di ukur Nilai
Terlentang ke tidur miring pada sisi Mampu dengan bantuan
yang sehat
Terlentang ke duduk Mampu tetapi dengan bantuan
sandaran bed
Keseimbangan duduk belum mampu
Duduk ke berdiri belum mampu
25
4. Tes Refleks
26
6. Manual Muscle Testing
Ekstremitas superior : 4 (baik)
Ekstremitas inferior : 3 (terbatas)
7. Tes Kognitif
Pasien diajak berbicara dengan memberikan beberapa pertanyaan.
Hasil :pasien tidak mau menjawab pertanyaan yang diberikan oleh
fisioterapis.
8. Tes Koordinasi
a. Finger to nose : Sulit dilakukan
b. Finger to finger terapis :Sulit dilakukan
c. Heel to knee : Sulit dilakukan
27
2 = Mandiri
5. Buang air kecil 0= Inkontinensia atau pakai kateter dan 0
tidak terkontrol
1 = kadang inkontinensia (maks,1 X 24
jam)
2 = kontinensia (teratur untuk lebih dari
7 hari)
6. Buang air besar 0 = Inkontinensia (tidak teratur atau 1
perlu enema)
1 = kadang inkontensia (sekali
seminggu)
2 = kontinensia (teratur)
7. Penggunaan toilet 0 = Tergantung bantuan orang lain 0
1 = Membutuhkan bantuan, tapi dapat
melakukan beberapa hal sendiri
2 = Mandiri
8. Transfer 0 = Tidak mampu 1
1 = butuh bantuan untuk bisa duduk (2
orang)
2 = Bantuan kecil (1 orang)
3 = Mandiri
9. Mobilitas 0 = Immobile (tidak mampu) 0
1 = Menggunakan kursi roda
2 = Berjalan dengan bantuan satu orang
3 = Mandiri (meskipun menggunakan
alat bantu seperti tongkat)
10. Naik turun tangga 0 = Tidak mampu 0
1 = Membutuhkan bantuan (alat bantu)
28
2 = mandiri
Interprestasi hasil :
20 : Mandiri
12-19 : Ketergantungan ringan
9-11 : Ketergantungan sedang
5-8 : Ketergantungan berat
0-4 : Ketergantungan total
G. Pemeriksaan CT-Kepala
29
- Lesi hiperdens (60 HU) disertai perifokal edema pada lobus frontal kanan dan
parietal kanan
- Midline shift kekanan sejauh 9 mm
- Sistem ventrikel lainnya dalam batas normal
- CPA, pons, dan cerebellum yang terscan dalam batas normal
- Cavum septu pellucidum dan vergae masih terbuka
- Kalsifikasi fisiologik pada pineal body dan plexus choroideus bilateral
- Perselubungan (51 HU) pada sinus ethmoidalis kanan dan sinus sphenoidalis
bilateral. Sinus paranasalis lainnya dan aircell mastoid yang terscan dalam
batas normal
- Fraktur dinding lateral sinus sphenoidalis kanan
- Defek pada os temporal kanan, tidak tampak herniasi menings dan parenkim
melalui defek tersebut
- Soft tissue swelling regio temporoparietal kanan
Kesan:
- Pendarahan epidural regio temporal dextra
(Dibandingkan CT scan kepala tanggal 14/04/2018: Perbaikan)
- Pendarahan subdural regio temporal sinistra
- Pendarahan intracerebri lobus frontotemporoparietal sistra, lobus frontal
dextra dan lobus parietal dextra
- Herniasi subfalcine
- Multihematosinus
- Fraktur dinding lateral sinus sphenoidalis dextra
- Subgaleal hematom regio temporoparietal dextra
- Cavum septum pellucidum dan vergae persisten
30
H. Diagnosa dan Problematik Fisioterapi
1. Diagnosa
“Kelemahan Anggota Gerak Bawah Sisi Kanan et Cause Traumatik Brain
Injury Post Operasi Craniektomi”
2. Problematik Fisioterapi
a. Impairment (Body Structure and Function)
1) Penurunan tonus otot pada tungkai sisi kanan
2) Kesulitan menggerakkan tungkai sisi kanan.
b. Activity Limitation
1) Gangguan ADL.
2) Tidak mampu duduk, berdiri dan berjalan.
c. Partisipation Restriction
1) Tidak mampu bekerja.
2) Tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari
31
J. Program Intervensi Fisioterapi
1. Komunikasi terapeutik
Komunikasi terapeutik termasuk komunikasi interpersonal dengan tujuan
saling memberikan pengertian antar fisioterapis dengan pasien. Komunikasi
terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan
kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien (Indrawati, 2003 48).
Tujuan : Membantu pasien untuk memperjelas dan mengurangi beban
perasaan dan pikiran serta dapat mengambil tindakan yang efektif untuk
pasien, membantu mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan diri sendiri.
Teknik:
2. Positioning
Tujuan : Mencegah decubitus, tirah baring dan static pneumonia
Teknik : Fisioterapis mengajarkan dan memposisikan pasien melakukan
perubahan posisi (terlentang,miring kiri dan kanan).
Dosis : Setiap 2 jam
3. Infra Red
Posisi pasien : Supine lying
Persiapan alat : Cek alat, kabel, dan pastikan alat dalam keadaan baik..
Teknik pelaksanaan :
- On kan alat
- Panaskan sekitar 5 menit
- Pastikan daerah yang ingin disinari tidak terhalangi
oleh pakaian / assesoris pasien
- Atur jarak IR dengan tubuh ± 30 cm
- Atur waktu selama 15 menit
- Setelah waktu habis, jauhkan IR dari tubuh pasien
lalu tekan tombol off
Dosis: 3x seminggu (15 menit)
32
4. Elektrical Muscle Stimulasi
Posisi pasien : Supine lying
Persiapan alat : Cek alat, kabel, basahi spon dan pastikan alat dalam keadaan
baik..
Teknik pelaksanaan :
- On kan alat
- Pasang spon pada pad
- Gulung celana atau rok pada kedua tungkai bawah
- Letakkan pad pada tibialis anterior dan muscle
belly pada gastrocnemius
- Atur frekuensi, time, dan instensitas.
- Naikkan intensitas secara perlahan sampai
mencapai intensitas yang nyaman untuk pasien
- Setalah waktu habis, lepaskan pad, dan matikan
alat.
Dosis: 3 x seminggu (7 menit)
5. Breathing exercise
Tujuan :Meningkatkan ventilasi paru, meningkatkan kekuatan dan daya
tahan serta koordinasi otot otot respirasi dan mepertahankan
mobilitas chest
Teknik : Fisioterapi meletakkan kedua tangannya pada bagian perut pasien.
Perintahkan pasien untuk inspirasi sambil mengembungkan
perutnya dan ketika ekspirasi kempiskan perut lalu fisioterapis
mendorong dengan tangan secara pelan kearah dalam mengikuti
pola pernafasan pasien.
Dosis : setiap hari (3 x sehari)
33
6. Passive exercise
Tujuan : Mempertahankan dan meningkatkan mobilitas sendi
Teknik :Posisi tidur terlentang, kemudian fisioterapis memberikan
gerakan pasif pada ekstremitas.
Dosis :Setiap hari (15 sampai 30 kali repetisi).
7. Stretching
Tujuan : Mencegah kontraktur otot
Teknik Pelaksanaan :
- Gerakkan sendi secara perlahan sampai pada batas
keterbatasan.
- Stabilisasi pada bagian proksimal dan gerakkan
pada bagian distal sendi.
- Untuk mencegah kompresi sendi selama
stretching gunakan traksi derajat I untuk
menggerakkan sendi.
- Terapkan stretch secara perlahan dan general pada
sendi yang bersangkutan.
- Lakukan sekitar 08-10 detik atau lebih.
- Lakukan force sesuai dengan toleransi pasien.
Dosis : Setiap hari (6x repetisi)
8. AAROMEX
Tujuan : a) Mengembangkan koordinasi dan keterampilan motorik untuk
aktivitas fungsional, b) Mempertahankan elastisitas fisiologis dan
kontraktilitas otot yang terlibat, c) Memberikan stimulus untuk integritas
tulang dan jaringan sendi.
Teknik : Posisi pasien tidur terlentang, kemudian fisioterapis
memerintahkan pasien untuk menggerakkan ekstremitas dengan bantuan
sedikit dari fisioterapis pada awal atau akhir gerakan jika ada kelemahan.
34
Dosis : Setiap hari (15-30 detik)
K. Evaluasi
Pasien belum mau berkomunikasi dengan fisioterapis dan belum mampu
menggerakkan tungkai kanannya.
35
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN
Setelah pembuatan laporan kasus ini, diharapkan agar mahasiswa giat
membaca laporan ini, dan mencari ilmu yang lebih banyak diluar dari laporan
36
ini terkait tentang meteri dalam pembahasan, dan tidak hanya berpatokan
dengan satu sumber ilmu (materi terkait), agar dapat mengetahui lebih dalam
kasus traumatic brain injury dan bagaimana penatalaksanaan fisioterapi yang
efektif yang dapat diberikan pada pasien TBI. Dan untuk kedepannya
penanganan fisioterapi dapat memberikan perubahan yang signifikan terhadap
pasien sehingga pasien dapat pulih dan beraktivitas dengan baik.
37
Spinal Cord Injury
FT NEUROMUSCULAR
KELOMPOK 4
- Trauma langsung
2. Non trauma
Patof isiologi
MANIFESTASI KLINIS
Tingkat Efek Cedera
Cedera
C1-C3 Kuadriplegia, paralisis diafragma, kelemahan atau
paralisis otot aksesori, paralisis otot interkostal dan
abdominal
C4-C5 Kuadriplegia, menurunnya kapasitas paru, diafragma
mungkin mengalami paralisis/kelemahan, paralisis
interkostal dan abdominal, ketergantungan total dalam
aktivitas sehari-hari
C6-C7 Kuadriplegia, fungsi difragma baik, beberapa gerakan
tangan memungkinkan untuk melakukan sebagian
aktivitas sehari-hari.
C7-C8 Kuadriplegia dengan keterbatasan menggunakan jari
tangan, kemandirian meningkat
T1-T6 Kelemahan/paralisis interkostal, paralisis otot abdomen
T7-T12 Kelemahan/paralisis otot abdominal
L1-L2 dan Paraplegia dengan fungsi tangan masih baik,
atau kehilangan fungsi sensorik dan motorik, kehilangan
dibawahn fungsi defekasi dan berkemih
ya
Lokasi Lesi Manifestasi
Anterior
Kehilangan sensasi nyeri dan fungsi motorik di
(sindrom
bawah lesi; sentuhan ringan, posisi dan sensasi
medula
vibrasi tetap utuh.
anterior)
Paralisis ipsi lateral atau paresis, bersamaan
Lateral
dengan kehilangan sensasi raba, tekanan dan
(sindrom
getaran ipsilateral dan kehilangan sensasi nyeri dan
Brownsequard)
suhu kontralateral.
Posterior
Kehilangan sensasi getaran dan propriosepsi, dan
(sindrom
medula
hanya kehilangan sebagian dari sensasi sentuhan MANIFESTASI
ringan
posterior)
KLINIS
PEMERIKSAAN
PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis Spinal Cord
Injury meliputi pemeriksaan neurologis, pencitraan diagnostik, dan pemeriksaan
elektrofisiologis.
Magnetic resonance imaging (MRI) adalah teknik pilihan untuk pencitraan sumsum tulang
belakang. Lesi SCI yang khas pada MRI berbentuk gelendong, berisi episentrum
perdarahan yang dikelilingi oleh lingkaran edema. Meskipun indikasi yang ditentukan
dengan jelas, beberapa peneliti menyarankan bahwa pasien dengan dugaan cedera
tulang belakang harus menjalani pemeriksaan MRI sesegera mungkin.
PROGNOSIS
Jaringan saraf yang telah
mengalami iritasi akibat
tegangan, kompresi, atau Tingkat keparahan cedera
hipoksia dapat mengalami adalah faktor prognostik Dengan menggunakan nilai AIS,
kerusakan sementara dan utama untuk prediksi prediksi yang lebih akurat dapat
menunjukkan tanda-tanda kemampuan ambulasi setelah dibuat dibandingkan dengan
seseorang mengalami cedera perbedaan antara cedera
pemulihan saat faktor yang complete dan incomplete. Pasien
mengiritasi dihilangkan. SCI. Dalam praktik klinis,
dengan nilai AIS A dan D memiliki
Dengan lesi yang terbentuk perbedaan antara SCI probabilitas terkecil (8,3%) dan
pada sumsum tulang complete dan incomplete terbesar (97,3%) untuk dapat
belakang, pemulihan penuh biasanya dibuat untuk berjalan secara mandiri 1 tahun
menyatakan tingkat setelah cedera. Sebaliknya,
fungsi neurologis tidak variabilitas kemungkinan hasil
mungkin terjadi, dan hasilnya keparahan cedera. Metode
ambulasi pada pasien dengan AIS
tergantung pada lain untuk prediksi hasil grade B dan C tetap relatif tinggi.
kemampuan rehabilitasi ambulasi dapat dicapai
untuk memaksimalkan fungsi dengan penggunaan skala
sisa standar neurologis ASIA/ISCoS.
Grade A: Complete. Tidak ada fungsi motorik
atau sensorik yang di segmen sacral S4-S5
KLASIFIKASI SCI
Grade B: Incomplete. Fungsi sensorik masih
baik, namun fungsi motorik terganggu sampai
segmen S4-S5
Spinal Cord Injury (SCI) merupakan salah satu kasus yang cukup
besar menimpa masyarakat kota pada masa sekarang ini. Apabila kasus ini
tidak ditangani secara cepat dan tepat dapat mengakibatkan penurunan
kualitas hidup seseorang atau bahkan kematian. Seseorang yang mengalami
spinal cord injury seringkali mengalami ketidakmampuan dalam memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari, bekerja, bersosialisasi, dan kehilangan rasa
percaya diri yang semuanya itu jika tidak diatasi dapat membawa penderita
tersebut mengalami masalah yang lebih besar lagi yang dapat berakibat
kepada keluarga, serta orang-orang disekitarnya.
Spinal cord injury (SCI) sekunder akibat trauma tulang belakang
merupakan salah satu cedera hebat yang memberikan signifikansi besar dalam
kehidupan manusia, yakni dalam hal tingkat morbiditas dan mortalitas,
perubahan aktivitas sehari-hari, dan biaya yang harus ditanggung oleh pasien,
keluarga dan masyarakat1. Tingkat insidensi di Amerika Serikat per tahun
mencapai 40 kasus baru per 1 juta penduduk setiap tahunnya atau
diperkirakan sekitar 12.000 kasus baru per tahun2. Tingkat mortalitas yang
tinggi (50%) pada spinal cord injury (SCI) umumnya terjadi pada saat kondisi
kecelakaan awal, sedangkan tingkat mortalitas bagi pasien yang masih
bertahan hidup dan dilarikan ke rumah sakit adalah 16%. Pasien dengan
spinal cord injury (SCI) memerlukan penyesuaian terhadap berbagai aspek,
antara lain masalah mobilitas yang terbatas, psikologi, urologis, pernafasan,
kulit, disfungsi seksual dan ketidakmampuan untuk berkerja. Selain itu biaya
yang dikeluarkan untuk pasien dengan cedera tersebut diestimasikan
mencapai 4 miliar dollar Amerika Serikat per tahunnya untuk pelayanan
kesehatan (akut dan kronis) dan harga yang harus dibayar oleh pasien dan
keluarganya tidak terhitung karena masalah yang ditimbulkan sifatnya seumur
hidup.
Fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang di tujukan kepada
individu dan atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan
memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang daur kehidupan dengan
menggunakan penanganan secara manual peningkatan gerak, peralatan,
pelatihan fungsi dan komunikasi3. Fisioterapi sebagai salah satu pemberi
pelayanan kesehatan dapat memberikan sumbangan ilmu dan kemampuannya
dalam meningkatkan kualitas hidup penderita Spinal Cord Injury. Hal ini
dapat dilakukan karena bidang kajian pelayanan fisioterapi dan masalah yang
ditangani fisioterapi dalam praktek sehari-hari adalah masalah atau gangguan
fungsi dan gerak. Pada kondisi penderita SCI fisioterapi jelas sangat
diperlukan untuk memberikan latihan-latihan serta edukasi, baik kepada
pasien maupun keluarganya untuk membatu pasien dalam mengatasi ganguan
gerak dan fungsi yang diakibatkan SCI tersebut. Penanganan fisioterapi yang
dapat diberikan pada penderita SCI yaitu penanganan yang bertujuan utama
untuk meningkatkan aktivitas fungsional sehari-hari terutama dalam
perpindahan dari satu tempat ketempat yang lain
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
D. Epidemiologi
Tingkat insidensi di Amerika Serikat per tahun mencapai 40 kasus
baru per satu juta penduduk setiap tahunnya atau diperkirakan sekitar 12.000
kasus baru per tahun.2 Sekarang ini, diperkirakan terdapat sekitar 183.000-
230.000 pasien dengan spinal cord injury (SCI) yang masih bertahan hidup di
Amerika Serikat.10
Cedera ini umumnya melibatkan pria dewasa muda dengan rentang
usia rata-rata 28 tahun (terutama antara 16-30 tahun). Hampir seluruh pasien
spinal cord injury (80,6%) adalah pria (perbandingan rasio pria:wanita yaitu
4:1) karena resikoyang lebih tinggi terhadap kecelakaan lalu lintas, kekerasan,
jatuh dan cedera yang berhubungan dengan rekreasi (seperti diving). Tingkat
mortalitas yang tinggi (50%) pada spinal cord injury (SCI) umumnya terjadi
pada saat kondisi kecelakaan awal, sedangkan tingkat mortalitas bagi pasien
yang masih bertahan hidup dan dilarikan ke rumah sakit adalah 16%.
Tingkat harapan hidup pada pasien dengan spinal cord injury (SCI) menurun
secara drastic apabila dibandingkan dengan populasi normal dan tingkat
mortalitas jauh lebih tinggi tahun pertama, apabila dibandingkan dengan di
tahun-tahun berikutnya.
E. Anatomi Tulang Belakang Dan Medulla Spinalis
Medulla spinalis merupakan bagian dari sistem saraf pusat yang
menjadi jalur informasi antara otak dan bagian tubuh lainnya. Pengetahuan
akan struktur neuroanatomi medulla spinalis adalah kebutuhan mendasar
yang diperlukan untuk mengerti setiap manifestasi klinis yang dapat
ditimbulkan oleh spinal cord injury (SCI). Selain itu, pada bagian ini akan
dibahas pula mengenai anatomi tulang belakang dan sekitarnya serta perfusi
dari medulla spinalis karena cedera pada medulla spinalis umumnya
terasosiasi dengan stuktur-struktur yang ada di sekitarnya.
1. Anatomi Kolumna Vertebralis
Kolumna vertebralis merupakan struktur penyokong utama
tubuh.3, 4
vertebra tidak hanya menyokong tulang tengkorak, tetapi
juga thorax, ekstremitas atas, pelvis dan menyalurkan berat tubuh ke
ekstremitas bawah. Selain itu, struktur ini memberikan perlindungan
yang bermakna bagi struktur-struktur yang ada di dalamnya, antara lain
medulla spinalis, nervus spinalis dan meningens.4 Kolumna vertebralis
terdiri dari 33 vertebrae (Gambar 2.1), antara lain 7 cervical, 12
thoracal, 5 lumbar, 5 sacral (bergabung menjadi sacrum) dan 4
coccygeal, dengan bantalan fibrocartilage di antara tiap segmen yang
disebut discus intervertebralis.3 Walaupun terdapat perbedaan secara
regional pada segmen-segmen tersebut, namun secara umum terdapat
pola anatomi yang mirip (Gambar 2.2). Vertebra umumnya terdiri dari
corpus di bagian anterior dan arcus vertebra di posterior, dan di
antaranya terdapat lubang yang disebut sebagai foramen vertebralis
yang berisikan medulla spinalis dan lapisan meningens. Arcus vertebra
terdiri dari sepasang pedicle dan laminae. Arcus vertebralis
membentuk 7 processus, antara lain satu processus spinosus, dua
processus transversus dan 4 processus articularis. Processus spinosus
merupakan sambungan dari kedua laminae, sedangkan processus
transversus terletak di antara laminae dan pedicle. Kedua processus
tersebut berfungsi sebagai tuaspengungkit dan menjadi tempat
perlekatan otot dan ligament. Processus articularis terbagi menjadi dua
processus superior dan dua processus inferior, kedua processus tersebut
membentuk sendi sinovial. Pedikel terdiri dari inferior notch dan
superior notch yang membentuk foramen intervertebralis (dari dua
vertebra). Sendi dari columna vertebralis terbagi menjadi dua, antara
lain sendi antara dua korpus vertebra yaitu fibrocartilaginous joint dari
diskus intervertebralisdan sendi antara dua arcus vertebralis yantu sendi
synovial antara processus articularis.4 Terdapat 6 ligamen di sekitar
columna vertebralis (Gambar 2.3), antara lain ligament anterior
longitudinal dan posterior longitudinal (ligament di sekitar corpus) dan
ligament supraspinatus, interspinatus, intertransversum dan flavum
(ligament di antara arcus vertebralis). Pada daerah cervical, ligament
supraspinatus dan interspinatus bergabung membentuk ligamentum
nuchae.
- Fraktur tulang belakang dan lesi tulang lebih baik ditandai dengan
computed tomography (CT) dan cedera vaskular dapat dideteksi dengan
menggunakan angiografi MR atau dengan CT scan.
J. Penatalaksanaan Fisioterapi
Assessment dalam fisioterapi neurologis adalah proses pengumpulan
informasi tentang pola gerakan yang tidak teratur, gangguan mendasar,
pembatasan aktivitas, dan partisipasi masyarakat untuk tujuan perencanaan
intervensi dan untuk membantu terapis menentukan intervensi terbaik.
Penatalaksanaan fisioterapi terdiri dari assessment, langkah-langkah yang
dilakukan dalam assessment meliputi:
1. Pemeriksaan Subjektif
a) Anamnesis
Penilaian subjektif digunakan untuk memberikan gambaran
rinci tentang bagaimana cedera tulang belakang mempengaruhi
individu dan khusus untuk setiap individu. Memiliki pemahaman
tentang situasi sosial individu akan memungkinkan fisioterapis
untuk merencanakan pemulangan dan untuk memastikan
dukungan yang memadai tersedia baik selama dan setelah
perawatan mereka.
- Sosial : apa latar belakang individu (misal: pekerjaan,
keluarga, hobi/rekreasi)
- Struktur Pendukung : dukungan apa yang dimiliki individu
dari keluarga, teman, kolega, atau tanggungan?
- Akomodasi : jenis akomodasi apa yang mereka tinggali?
misalnya dua lantai, bungalo, apartemen, akses seperti
tangga, tangga tangga. Dengan siapa mereka tinggal?
Keluarga, Teman, Sendiri
2. Pemeriksaan Objektif
Secara obyektif, penting untuk terlebih dahulu menilai
gangguan termasuk kelemahan, sensasi, tonus otot, range of motion
dan kemudian dampak gangguan ini pada tingkat aktivitas dan
partisipasi individu dengan cedera tulang belakang. Gangguan
utama perlu dikaitkan dengan pembatasan aktivitas tertentu dan
pembatasan partisipasi.
a) Kekuatan Otot
Penilaian kekuatan otot biasanya dilakukan sebagai
bagian dari penilaian objektif pasien untuk membantu
penalaran klinis fisioterapis dan memungkinkan mereka
untuk mempertimbangkan titik yang tepat untuk mulai
memperkuat rehabilitasi. Kekuatan otot dapat dinilai
dengan sejumlah metode: secara manual, fungsional atau
mekanis termasuk yang berikut:
- Manual Muscle Testing (MMT)
- Repetition Maximum Testing
- Miometri genggam adalah perangkat kecil yang
mengukur gaya isometrik
- Dinamometri mengukur torsi selama kontraksi
dinamis pada kecepatan sudut konstan
Kekuatan otot dinilai pada awal fase akut setelah
cedera tulang belakang menggunakan penilaian motorik
dari the International Standards for Neurological
Classification of Spinal Cord Injury.
Gambar 2. 21 Dermatome
d) Refleks
Pengujian refleks, yang menggabungkan penilaian
fungsi dan interaksi dari kedua jalur sensorik dan
motorik, sederhana, informatif dan dapat memberikan
wawasan penting ke dalam integritas sistem saraf di
berbagai tingkatan.
- Deep Tendon Reflexes : Biceps (C5/6), Trisep
(C7/8), Brakioradialis (C6/7), Patela / Lutut
(L3/4), Achilles / Pergelangan Kaki (S1/2)
- Plantar Reflex (Babinski’s Sign) : stimulasi
plantar dilakukan untuk mengidentifikasi pasien
dengan disfungsi pyramidal tract
- Hoffmanns Reflex (Finger Flexor Test)
f) Balace
Keseimbangan, terutama keseimbangan duduk,
sangat penting bagi individu dengan SCI karena banyak
individu terikat kursi roda. Keseimbangan diperlukan
agar postur tubuh tetap tegak dan mencegah jatuh saat
menggunakan anggota tubuh bagian atas untuk
membantu ambulasi saat menggunakan kursi roda.
Namun, hilangnya sebagian/seluruh sensasi dan
kekuatan otot pada tungkai bawah dan batang tubuh
dapat mempengaruhi kemampuan individu untuk
menjaga keseimbangan.
Kontrol keseimbangan ditentukan oleh;
h) Indeks Barthel
Indeks Barthel merupakan suatu instrument
pengkajian yang berfungsi mengukur kemandirian
fungsional dalam hal perawatan diri dan mobilitas.
Indeks Barthel menggunakan 10 indikator, yaitu:
Berdasarkan tabel di atas, interprestasi hasil menurut Barthel
adalah :
- 0 – 20 : Ketergantungan penuh
- 62 - 90 : Ketergantungan moderat
- 91 - 99 : Ketergantungan ringan
- 100 : Mandiri
3. Intervensi Fisioterapi
1. Latihan pernapasan (Breathing Exercise) Latihan pernapasan
yang dilakukan dengan teknik deep breathing dan chest
expantion secara aktif. Tujuan dari latihan pernapasan ini
antara lain: (1) menambah atau meningkatkan ekspansi thorak,
(2) memelihara ventilasi, (3) mempertahankan kapasitas vital,
(4) mencegah komplikasi paru, (5) relaksasi. Pada teknik deep
breathing, pasien diminta melakukan inspirasi dan ekspirasi
secara maksimal dengan kombinasi gerakangerakan pada
lengan secara bilateral sedangkan pada teknik chest expantion
dilakukan seperti latihan pernapasan biasa dengan diberi
tahanan manual. Latihan pernapasan ini dilakukan dengan
pengulangan sebanyak tiga kali atau sesuai toleransi pasien
(Hollis dan Fletcher, 1999).
2. Perubahan posisi ( change position) Perubahan posisi sangat
penting pada penderita tetraplegi karena kelumpuhan kedua
tungkai sehingga penderita tidak mampu menggerakkan kedua
tungkainya. Perubahan posisi ini bertujuan untuk: (1)
mencegah decubitus, (2) mencegah komplikasi paru, (3)
mencegah timbulnya batu kandung kemih, (4) mencegah
terjadinya thrombosis. Perubahan posisi ini dilakukan setiap 2
jam sekali (Long, 1999).
3. Latihan gerak pasif Latihan gerak pasif yaitu latihan dengan
cara menggerakan suatu segmen pada tubuh dimana
kekuatannya berasal dari luar, bukan dari kontraksi otot,
kekuatan dapat dari mesin, individu lain atau bagian lain dari
tubuh individu itu sendiri. Fungsi gerakan pasif adalah untuk
memelihara sifat-sifat fisiologis otot, serta untuk
memperlancar aliran darah (Kisner,1991). Latihan gerak pasif
yang digunakan disini adalah relaxed passive movement.
4. Latihan gerak aktif (pada ekstremitas atas) Latihan gerak aktif
yaitu latihan dengan menggerakan suatu segmen pada tubuh
yang dilakukan karena adanya kekuatan otot dari bagian tubuh
itu sendiri. Latihan gerak aktif terdiri dari: a. Free active
movement Free active movement yaitu gerakan yang
dilakukan sendiri oleh penderita tanpa batuan, dimana gerakan
yang dihasilkan adalah kontraksi otot dengan melawan gaya
gravitasi. b. Resisted active movement Resisted active
movement yaitu gerakan aktif melawan tahanan manual atau
beban yang diberikan pada kerja otot untuk membentuk suatu
gerakan dan bisa dilakukan sebagai latihan penguatan.
Penguatan pada otot-otot anggota gerak atas dan otot-otot perut
perlu dilakukan karena untuk pengalihan fungsi aktivitas
transfer dan ambulasi yang biasa dilakukan oleh kedua
tungkai. Selain itu, dapat juga memperbaiki postur dan
memelihara LGS. Penguatan akan memberikan hasil yang baik
bila dilakukan secara group otot (Crosbie, 1993).
4. Bladder training Bladder training yaitu latihan perkemihan
dengan metode pengosongan vesika urinaria yang flaksid
dengan memberikan tekanan eksternal pada simpisis pubis,
jika otot detrusor melemah pada waktu tertentu (Garrison,
1995). Bladder training dilakukan dengan teknik intermitten
catheterization, dimana kandung kemih dapat diisi sesuai
dengan kapasitasnya dan dapat dikosongkan pada waktu-waktu
tertentu. Tujuan dari pemberian bladder training ini untuk
menjaga kontraktilitas otot detrusor. Perawatan bladder
merupakan sesuatu yang sangat vital pada pasien dengan
cedera medulla spinalis karena data statistik menunjukkan
bahwa penyakit ginjal yang berakibat kematian banyak terjadi
pada pasien cedera medulla spinalis (Bromley, 1991).
PROGRAM STUDI PROFESI FISIOTERAPIS
JURUSAN FISIOTERAPI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAKARTA III
DENTITAS KLIEN
PEMERIKSAAN :
Keluhan Utama: tidak bisa duduk stabil Keluhan Penyerta: nyeri pada lutut dan
pergelangan kaki
Pemeriksaan Fisioterapi
Observasi:
- Pasien datang menggunakan kursi roda
dengan diantar orangtua.
- Duduk menyender di kursi roda
- Duduk pada bed terapi dengan hand support
- Shoulder asimetris (dextra lebih rendah
dibanding sinistra)
- Round back
- Tampak spastisitas pada keempat anggota
gerak
- Tampak clonus
3. Pemeriksaan Refleks
Plantar Reflex (Babinski’s Sign) : Positif
Penilaian :
0 – 20 : ketergantungan
20 - 61 : ketergantungan berat/sangat tergantung
62 - 90 : ketergantungan moderat
91 – 99 : ketergantungan ringan
100 : mandiri
(kesimpulan pasien dalam aktifitas fungsional mengalami ketergantungan berat/sangat tergantung)
Body structure/Function
- Nyeri pada knee bilateral (VAS 4) dan Activity limitation Participation
ankle dextra (VAS 4) - Duduk Stabil restriction
- Spastisitas UE bilateral nilai Asworth - Dari berbaring - tidak dapat pergi ke
1 ke duduk sekolah
- Spastisitas LE bilateral nilai Ashworth - tidak dapat bermain
4 bersama teman
- Kelemahan core muscle sebaya
- Stiffness knee bilateral
Personal Factors: Environmental factors:
- Pasien memiliki semangat yang tinggi - Kamar pasien berada di lantai bawah.
untuk sembuh. - Pasien menggunakan toilet duduk.
- Keluarga mendukung kesembuhan pasien
dan memotivasi pasien untuk rajin
latihan.
1. Freidberg SR, Magge SN. Chapter 60. Trauma to the Spine and Spinal Cord. In:
Jones HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA, Netter’s Neurology 2nd Edition.
Elsevier, Saunders. 2012. p.562-71
2. National Spinal Cord Injury Statistical Center. Spinal Cord Injury Facts and
Figures
at Glance. Birmingham, Alabama. 2012. http://www.nsisc.uab.edu,
3. PERMENKES RI NO. 65 Tahun 2015 Tentang : Standar Pelayanan Fisioterapi
4. Baron BJ, McSherry KJ, Larson, Jr. JL, Scalea TM. Chapter 255. Spine and
Spinal Cord Trauma. In: Tintinalli JE, Stapczynski JS, Cline DM, Ma OJ,
Cydulka RK, Meckler GD, eds. Tintinalli’s Emergency: A Comprehensive Study
Guide 7th Ed. New York: McGraw-Hill; 2001.
http://www.accessmedicine.com/con-tent.aspx?
aID=6389092, Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and The Ascending and
Descending Tracts.
In: Snell RS. Clinical Neuroanatomy 7th Edition. Lippincott William &
Wilkins,Philapdelphia. 2010. p. 133-84
5. Gondim FAA, Gest TR. Topographic and Functional Anatomy of the Spinal
Cord. Emedicine Medscape 2013.
http://www.emedicine.medscape/article/1148570-overview#showall,
6. Chin LS. Spinal Cord Injuries. Emedicine Medscape 2013.
http://www.emedicine.medscape/article/793582-overview#showall
7. Sheerin F. Spinal Cord Injury: Causation and Pathophysiology. Emerg
Nurse 2005;12(9):29-38
8. Waxman SG. Chapter 6.The Vertebral Column and Other Structures Surrounding
the Spinal Cord. In: Waxman SG, ed. Clinical Neuroanatomy 26th Ed. NewYork:
McGraw-Hill; 2010.http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=5272198.
9. Dumont et al. Acute Spinal Cord Injury, Part I: Pathophysiologic Mechanisms.
ClinNeuropharmacol 2001;24(5):254-64
10. Gondim FAA. Spianl Cord Trauma and Related Diseases. Emedicine
Medscape 2013. http://www.emedicine.medscape/article/1149070-
overview#showall
11. Derwenkus J, Zaidat OO. Chapter 23. Spinal Cord Injury and Related Diseases.
In: Suarez JI. Critical Care Neurology and Neurosurgery. New Jersey. Humana
Press.2004. p.417-32
12. Ropper AH, Samuels MA. Chapter 44. Diseases of The Spinal Cord. In: Ropper
AH, Samuels MA, eds. Adams and Victor’s Principles of Neurology 9th Ed. New
York: McGraw-Hill;2009. http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=
3640625.
13. Kaye AH. Chapter 16. Spinal Injuries. In: Kaye AH. Essential Neurosurgery
3rd Edition. Victoria, Blackwell Publishing. 2005. p.225-33
14. Kirshblum et al. International Standards for Neurological Classification of
Spinal Cord Injury (Revised 2011). J Spinal Cord Med 2011;34(6):535-46
15. Gruener G, Biller J. Spinal Cord Anatomy, Localization, and Overview of
Spinal Cord Syndromes. Continuum: Lifelong Learning Neurol 2008;14(3):11
16. Gruener G, Biller J. Spinal Cord Anatomy, Localization and Overview of
Spinal Cord Syndromes. Continuum: Lifelong Learning Neurol 2008;14(3):11
17. Stiell et al. The Canadian C-Spine Rule versus NEXUS Low-Risk Criteria
in Patient with Trauma. N Eng J Med 2003;349:2510-8
18. Grundy D, Swain A, Morris A. Chapter 3. Radiological Investigations. In:
Grundy D, Swain A. ABC of Spinal Cord Injury 4th Edition. BMJ
Publishing Group, London. 2002. p.11-6
19. Castellano JM. Prehospital Management of Spinal Cord Injuries.
Emergencias 2007;19:25-31
Amyotrophic lateral
sclerosis (ALS)
Kelompok 5
Gemarawan Abadi
Fatiyah Rizqi
Intan Sukma Anggreani
Maryatno
Trie Sekar Utami
Definisi
ALS (Amyotrophic lateral sclerosis) merupakan penyakit degeneratif yang
paling banyak ditemukan pada sistem motor neuron. ALS pertama kali
dideskripsikan pada tahun 1874 oleh seorang neurologis Perancis bernama
Jean-Martin Charcot dan ALS dikenal juga dengan namapenyakit Charcot.
Melalui gabungan istilah ini, bisa tergambarkan bahwa pada penyakit ini
terjadi lesi campuran Upper Motor Neuron dengan Lower Motor Neuron.
Epidemiologi
Insiden penyakit ALS pada tahun 1990 dilaporkan
antara 1,5 - 2,7 per 100.000 penduduk/tahun (rata-rata
1,89 per 100.000/tahun) di Eropa dan Amerika Utara.
Insiden ALS lebih tinggi pada pria dibandingkan
dengan wanita, dengan perbandingan secara
keseluruhan 1,5 : 1.
Patologi UMN pada ALS ditandai dengan depopulasi sel Betz di korteks
motorik (area Brodmann 4), gliosis astrositik yang mempengaruhi substansia
grisea dan subtansia alba sub korteks disertai hilangnya akson pada
descending pyramidal motor pathway akibat gliosis dan rusaknya myelin
traktus kortikospinalis jumlah sel pada pasien bisa berkurang hingga 50%
saat dilakukan otopsi
Gejala Klinis
● Seseorang diduga menderita ALS jika kehilangan fungsi motorik secara bertahap atau
progresif pada satu atau lebih bagian tubuh, tanpa gangguan sensoris dan tanpa penyebab
jelas.
● Gejala ALS bisa muncul perlahan di usia muda. Gejala ALS muncul ketika neuron motorik
pada otak dan medulla spinalis mulai berdegenerasi. Progresifitas ALS mungkin begitu
lambat sehingga gejala awal sering diabaikan dan dianggap sebagai suatu proses penuaan .
● Bagian tubuh yang terpengaruh pada gejala- gejala awal ALS tergantung otot yang diserang
pertama kali terutama pada otot kaki, maka dari itu penderita sering mengeluh kesulitan
berjalan dan merasa sering tersandung.
● Pada 75-80% pasien, gejala dimulai dengan keterlibatan anggota badan, sedangkan 20-25%
dari pasien datang dengan gejala bulbar. Pada pasien dengan gejala bulbar, pasien dapat
mengalami masalah dalam berbicara (disartria) atau penurunan volume suara.
● Gangguan menelan (disfagia), aspirasi atau tersedak saat makan mungkin terjadi, karena
terkenanya nukleus saraf kranialis VII, IX, X, XI dan XII.
● Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya gangguan kelemahan UMN dan LMN
bersamaan pada anggota gerak kelemahan otot, atrofi otot, fasikulasi otot, dikombinasi
dengan hiperrefleks
Jenis-Jenis ALS
Apabila menyerang Upper Motor Neuron, maka memiliki gejala :
1) Adanya Spastik
2) Adanya Hiperrefleksia
3) Refleks abnormal (+) seperti Babinski, Hoffman-Tromner
3) Elektromiografi
Konsentris jarum elektromiografi (EMG) memberikan bukti disfungsi LMN yang
diperlukan untuk mendukung diagnosis ALS dan harus ditemukan setidaknya dua
dari empat daerah SSP.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan
4) Transkranial magnetic stimulasi dan Central motor conduction studies Transkranial magnetic
stimulasi (TMS) memungkinkan evaluasi non invasif jalur motorik kortikospinalis, dan
memungkinkan deteksi lesi UMN pada pasien yang tidak memiliki tanda-tanda UMN.
5) Elektromiografi Kuantitatif
Motor Unit Number Estimation (MUNE) adalah teknik elektrofisiologi khusus yang dapat
memberikan perkiraan kuantitatif dari jumlah akson yang mempersarafi otot atau kelompok otot.
6) Neuroimaging
Dilakukan MRI kepala/tulang belakang untuk menyingkirkan lesi struktural dan diagnosis lain pada
pasien yang dicurigai ALS seperti tumor, spondilitis, siringomielia, stroke bilateral, dan multiple
sclerosis
7) Biopsi otot dan neuropatologi
Terutama dilakukan pada pasien dengan presentasi klinis yang tidak khas, terutama dengan lesi
LMN yang tidak jelas.
Prognosis
● ALS adalah penyakit yang fatal. Hidup rata-rata adalah 3 – 5 tahun dari
onset klinis kelemahan. Sekitar 4 - 30% dari pasien dengan ALS dapat
bertahan hidup sekitar5 tahun setelah diagnosis, dan sekitar 4% bertahan
selama lebih dari 10 tahun.
Dosen pengampu :
Nia Kurniawati, SST.Ft., M.Fis.
Puji dan Syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
dengan rahmat-Nya kami diberi anugerah kesehatan, akal budi, dan pengetahuan
yang baik sehingga kami dapat menyusun makalah ini.
Kami menyusun makalah ini untuk pemenuhan tugas yang diberikan oleh
dosen mata kuliah Fisioterapi Neuromuscular. Pelaksanaan penyusunan makalah ini
dilakukan dengan metode pengumpulan data dari berbagai sumber.
Kami mengucapkan terima kasih atas segala arahan, bantuan serta dukungan
yang telah diberikan sehingga dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan tema
dan waktu yang telah ditentukan.
Tim Penulis
ii
DAFTAR ISI
LAMPIRAN
STATUS KLINIS ................................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 27
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Amyotrophic lateral sclerosis (ALS) atau yang dikenal sebagai Lou Gehrig disease
adalah penyakit neurodegeneratif yang menyerang neuron motorik. Amyotrophy
menunjukkan adanya atrofi serat otot, yang diinervasi oleh anterior horncell yang mengalami
degenerasi, menyebabkan kelemahan otot dan fasikulasi. Lateral sclerosis menunjukkan
pengerasan traktus kortikospinalis lateral maupun anterior dimana neuron motorik di daerah
tersebut mengalami degenerasi melalui proses gliosis. ALS pertama kali dijelaskan pada 1869
oleh Jean- Martin Charcot, neurologis Perancis, namun ALS menjadi populer setelah pemain
baseball Lou Gehrig mengumumkan dirinya terdiagnosis dengan penyakit ALS pada tahun
1939 (Hardiman dkk, 2011).
Prevalensi relatif seragam di negara-negara Barat yakni rata-rata 5,2 per 100.000.
Usia rata-rata onset untuk ALS adalah sekitar 60 tahun. Laki-laki lebih sering terkena
dibanding perempuan dengan perbandingan 1,5:1 (Wijesekera dan Nigel,2009).
Penyebab ALS tidak diketahui, walaupun 5-10% dari kasus bersifat familial dan 90 – 95
% bersifat sporadik. Pada penyakit ALS susunan somatosensorik sama sekali tidak
terganggu. Maka dari itu, manifestasi klinisnya terdiri dari gangguan motorik yang
memperlihatkan tanda-tanda kelumpuhan UMN dan LMN secara bersamaan (Wijesekera dan
Nigel, 2009).
Diagnosis ALS ditegakkan secara klinis. Pengujian Elektrodiagnostik memberikan
kontribusi untuk akurasi diagnostik. Penderita dengan penyakit ALS memiliki kelangsungan
hidup rata-rata 3-5 tahun. Aspirasi pneumonia dan komplikasi medis dari imobilisasi
berkontribusi terhadap morbiditas pada pasien dengan ALS. Meskipun ALS tidak dapat
disembuhkan, ada pengobatan yang dapat memperpanjang kelangsungan hidup, sehingga
penegakan diagnosis secara dini penting untuk pasien dan keluarga, seperti pada kasus
Stephen Hawking. Seorang tokoh penting dan garda depan di bidang kuantum fisika,
Profesor Stephen Hawking, didiagnosis dengan ALS
1
pada tahun 1963 saat masih berumur 21 tahun, dan pada saat itu diperkirakan hanya
memiliki dua tahun untuk hidup, namun secara mengagumkan Profesor Hawking bertahan
hidup hingga saat ini, di umur 74 tahun. Faktor apa yang mempengaruhi perbedaan keluaran
dari kasus Lou Gehrig dan Stephen Hawking masing merupakan bahan diskusi hingga saat
ini, dan disinyalir merupakan gabungan dari berbagai macam faktor.
2
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Definisi Parkinson
Amyotrophic lateral sclerosis (ALS) adalah penyakit neurodegeneratif yang
menyerang neuron motorik. Amyotrophy menunjukkan adanya atrofi serat otot,
yang diinervasi oleh anterior horn cell yang mengalami degenerasi, menyebabkan
kelemahan otot dan fasikulasi. Lateral Sclerosis menunjukkan pengerasan traktus
kortikospinalis lateral maupun anterior dimana neuron motorik di daerah tersebut
mengalami degenerasi melalui proses gliosis. Melalui gabungan istilah ini, bisa
tergambarkan bahwa pada penyakit ini terjadi lesi campuran Upper Motor Neuron
dengan Lower Motor Neuron.
ALS merupakan penyakit degeneratif yang paling banyak ditemukan pada sistem
motor neuron. ALS pertama kali dideskripsikan pada tahun 1874 oleh seorang
neurologis Perancis bernama Jean-Martin Charcot dan ALS dikenal juga dengan
namapenyakit Charcot.
B. Epidemiologi
Insiden penyakit ALS pada tahun 1990 dilaporkan antara 1,5 - 2,7 per 100.000
penduduk/tahun (rata-rata 1,89 per 100.000/tahun) di Eropa dan Amerika Utara.
Insiden ALS lebih tinggi pada pria dibandingkan dengan wanita, dengan
perbandingan secara keseluruhan 1,5 : 1. Menurut letak geografis, prevalensi
penyakit ALS di pasifik barat termasuk daerah Guam, Pulau Mariana, Pulau Honsu
dan sebelah selatan New Guinea Barat dilaporkan 50–100 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan tempat lain. Onset ALS dapat terjadi dari usia remaja hingga
usia 80 tahun, namun usia insiden puncak terjadi pada usia 55-75 tahun. Onset rata-
rata usia sporadis ALS (SALS) adalah 65 tahun, onset rata-rata usia familial ALS
(FALS) adalah 46 tahun.
C. Etiologi
Penyakit ALS sampai saat ini belum diketahui penyebabnya meskipun pada
beberapa kasus dikatakan terdapat faktor risiko genetik. Tidak ada hubungan yang
3
konsisten antara faktor lingkungan dengan resiko terjadinya ALS.
Perubahan molekuler yang menyebabkan degenerasi neuron motorik pada ALS
tidak diketahui, tetapi sama dengan penyakit neurodegeneratif lainnya, kemungkinan
terjadi interaksi kompleks berbagai mekanisme patogenik selular seperti:
1. Faktor Genetik
ALS sporadis dan familial secara klinis dan patologis serupa, sehingga ada
kemungkinan memiliki patogenesis yang sama. Dua puluh persen dari kasus
FALS (Familial Amyotrophic Lateral Sclerosis) diturunkan secara autosomal
dominan dan hanya 2% pasien penderita SALS (Sporadic Amyotrophic Lateral
Sclerosis) memiliki mutasi pada superoksida dismutase 1 (SOD1). Penemuan
mutasi ini merupakan hal penting pada penelitian ALS karena memungkinkan
penelitian berbasis molekular dalam pathogenesis ALS. SOD1 adalah enzim
yang mengkatalisasi konversi superoksida radikal yang bersifat toksik menjadi
hidrogen peroksida dan oksigen. Mutasi pada SOD1 yang mengganggu fungsi
antioksidan menyebabkan akumulasi superoksida yang bersifat toksik. Gen lain
yang menyebabkan FALS termasuk alsin (ALS2), senataxin (ALS4), vesikel
terkait protein membran (VAPB, ALS8), angiogenin dan mutasi pada P150
subunit dynactin (DCTN1). Baru-baru ini, mutasi pada gen TARDBP
(pengkodean TAR-DNA pengikat protein TDP- 43) yang terletak pada
kromosom 1p36.22 telah dikaitkan dengan FALS ataupun SALS
4
2. Eksitotoksisitas
Cedera neuronal yang disebabkan oleh rangsangan glutamat berlebihan
diinduksi dari reseptor glutamat pasca sinaptik seperti reseptor NMDA dan
reseptor AMPA. Stimulasi berlebih reseptor glutamat ini diduga
mengakibatkan masuknya kalsium ke dalam neuron, yang menyebabkan
peningkatan nitric oxide sehingga terjadi kematian neuron. Jumlah
glutamat dalam CSF meningkat pada beberapa pasien dengan ALS.
3. Stres Oksidatif
Stres oksidatif telah dikaitkan dengan degenerasi neuro dan diketahui
bahwa akumulasi reactive oxygen species (ROS) menyebabkan kematian
sel. Hipotesis ini didukung dengan ditemukannya perubahan biokimia yang
mencerminkan kerusakan radikal bebas dan metabolisme radikal bebas
yangabnormal dalam CSF dan sampel jaringan post mortem pada pasien
ALS.
4. Disfungsi mitokondria
Kelainan morfologi mitokondria dan biokimia dilaporkan pada pasien
SALSyang mengakibatkan ketidakmampuan metabolisme energi.
5. Gangguan transportasi aksonal
Pada pasien dengan ALS ditemukan mutasi pada gen kinesin yang
diketahui menyebabkan penyakit saraf motorik neurodegeneratif pada
manusia seperti paraplegia spastik yang herediter dan penyakit Charcot-
Marie-Tooth. Mutasi di kompleks dynactin menyebabkan gangguan lower
motor neuron (LMN).
6. Agregasi neurofilamen
Neurofilamen protein bersama-sama dengan peripherin (suatu protein
filamen intermedia) ditemukan di sebagian besar akson neuron motorik
pasien ALS. Sebuah isoform toxic dari peripherin (peripherin 61), telah
ditemukan menjadi toksin bagi neuron motorik bahkan ketika
diekspresikan pada tingkat yang sederhana dan terdeteksi dalam spinal
cord pasien ALS.
7. Agregasi protein
Agregasi proten intrasitoplasma adalah ciri dari FALS dan SALS. Namun,
masih belum jelas apakah pembentukan agregat protein secara langsung
menyebabkan toksisitas selular dan memiliki peran kunci dalam
5
patogenesis. Agregasi protein mungkin tidak berperanan dalam proses
neurodegenerasi, atau jika pembentukan agregat protein mungkin benar-
benar menjadi proses yang menguntungkan dengan menjadi bagian dari
mekanisme pertahanan untuk mengurangi konsentrasi intracellular dari
protein toksin.
8. Disfungsi inflamasi dan kontribusi sel non-saraf
Meskipun ALS bukan gangguan autoimunitas primer atau disregulasi
imun, ada bukti yang cukup bahwa proses inflamasi mungkin memainkan
peranan dalam patogenesis ALS. Aktivasi sel mikroglial dan dendritik
menghasilkan sitokin inflamasi seperti interleukin, COX-2, TNFa dan
MCP-1.
9. Defisit dalam faktor-faktor neurotropik dan disfungsi jalur sinyal
Penurunan kadar faktor neurotropik (misalnya CTNF, BDNF, GDNF dan
IGF-1) telah diamati dalam pasien ALS pasca-mortem. Tiga mutasi pada
vascular endotel growth factor (VEGF) yang ditemukan terkait dengan
peningkatan risiko terjadinya SALS. Setelah dilakukan metaanalisis, gagal
menunjukkan hubungan antara haplotype VEGF dan peningkatan risiko
ALS (Lambrechts dkk, 2003). Proses akhir dari kematian sel neuron dalam
ALS diduga mirip jalur kematian sel terprogram (apoptosis). Penanda
biokimia apoptosis terdeteksi dalam tahap terminal pasien ALS.
6
D. Patofisiologi
Ciri patologis ALS adalah degenerasi dan hilangnya neuron motorik dengan
gliosis astrositik dan adanya inklusi intraneuronal dalam degenerasi neuron dan glia.
Patologi UMN pada ALS ditandai dengan depopulasi sel Betz di korteks motorik
(area Brodmann 4), gliosis astrositik yang mempengaruhi substansia grisea dan
subtansia alba sub korteks disertai hilangnya akson pada descending pyramidal
motor pathway akibat gliosis dan rusaknya myelin traktus kortikospinalis
(Wijesekera dan Nigel, 2009). Jumlah sel dapat berkurang hingga 50% pada otopsi
pada pasien ALS.
E. Gejala Klinis
Penegakan diagnosis ALS berdasarkan penemuan klinis. Seseorang diduga
menderita ALS jika kehilangan fungsi motorik secara bertahap atau progresif pada
satuatau lebih bagian tubuh, tanpa gangguan sensoris dan tanpa penyebab jelas.
Gejala ALS biasanya belum tampak hingga penderita berusia 50 tahun,
namun bisa muncul perlahan di usia muda. Gejala ALS muncul ketika neuron
motorik pada otak dan medulla spinalis mulai berdegenerasi. Progresifitas ALS
mungkin begitu lambat sehingga gejala awal sering diabaikan dan dianggap sebagai
suatu proses penuaan (McCarthy, 2009). Bagian tubuh yang terpengaruh pada
gejala- gejala awal ALS tergantung otot yang diserang pertama kali. Dalam
7
beberapa kasus, gejala awalnya mempengaruhi salah satu kaki, dan pasien
mengalami kesulitan saat sedang berjalan atau berlari dan pasien lebih sering
tersandung daripada sebelumnya. Beberapa penderita merasakan gangguan pertama
kali pada tangan saat mengalami kesulitan dalam melakukan pergerakan-pergerakan
sederhana yang membutuhkan keterampilan tangan, seperti mengancingkan kemeja,
menulis, atau memasukkan dan memutar kuncidalam lubang kunci. Sedangkan pasien
lainnya, mengalami masalah pada suara terlebih dahulu. Pada 75-80% pasien, gejala
dimulai dengan keterlibatan anggota badan, sedangkan 20-25% dari pasien datang
dengan gejala bulbar. Pada pasien dengan gejala bulbar, pasien dapat mengalami
masalah dalam berbicara (disartria) atau penurunan volume suara. Gangguan
menelan (disfagia), aspirasi atau tersedak saat makan mungkin terjadi, oleh karena
terkenanya nukleus saraf kranialis VII, IX, X, XI dan XII.
Pada beberapa pasien, keluhan dapat disertai dengan perubahan kognitif.
Disfungsi kognitif dialami oleh 20–50% penderita ALS, dan 3–15% berkembang
menjadi demensia yang dikategorikan sebagai frontotemporal lobar degeneration
(FTLD). Perubahan kognitif ditandai dengan perubahan personalitas, iritabilitas, dan
defisit pada fungsi eksekutif.
Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya gangguan kelemahan UMN dan
LMN bersamaan pada anggota gerak kelemahan otot, atrofi otot, fasikulasi otot,
dikombinasi dengan hiperrefleks.
8
Gejala UMN
Spastik
Hiperrefleksia
Refleks abnormal (+) seperti Babinski, Hoffman-Tromner
Gejala LMN
Fasikulasi otot
Kelemahan otot
Atrofi otot
Kram otot
F. Diagnosis
Kriteria El Escorial dikembangkan pada tahun 1994 oleh World Federation
of Neurology untuk tujuan penelitian dan uji klinis. Pedoman tersebut kemudian
direvisi menjadi kriteria Airlie House pada tahun 1998 dengan memasukkan kriteria
uji laboratorium. Pada tahun 2008 Kriteria Awaji-Shima diperkenalkan dengan
memasukkan peran neurofisiologi dalam kategorisasi diagnostik, penggunaannya
meningkatkan sensitivitas diagnostik tanpa meningkatkan false positif (Hardiman
dkk,2011).
Kriteria El Escorial dan Airlie House didasarkan pada tingkat kepastian
diagnosis. Hal ini didasarkan pada penilaian klinis, yang memerlukan identifikasi
UMN dan LMN di wilayah topografi anatomi yang sama di batang otak, atau leher,
toraks atau lumbosakral medula spinalis. Diagnosis pasti ALS memerlukan tanda
berikut: identifikasi degenerasi LMN secara klinis, elektrofisiologi atau
neuropathologi; bukti degenerasi UMN secara klinis; dan progresifitas dari sindrom
motorik pada suatu regio atau regio lainnya. Selain itu, diagnosis harus diperkuat
dengan bukti, baik melalui elektrofisiologi atau neuroimaging, bahwa gejala yang
ditemui bukanlah disebabkan oleh penyakit lain. (Hardiman dkk, 2011).
9
Tabel 1. Kriteria diagnosis ALS .
11
c. Transkranial magnetic stimulasi dan Central motor conduction studies
Transkranial magnetic stimulasi (TMS) memungkinkan evaluasi non
invasif jalur motorik kortikospinalis, dan memungkinkan deteksi lesi UMN
pada pasien yang tidak memiliki tanda-tanda UMN. Motor amplitudo,
ambang batas kortikal, waktu konduksi motorik pusat dan periode diam
dapat dengan mudah dievaluasi dengan menggunakan metode ini. Central
motor conduction time (CMCT) sering sedikit lama untuk otot-otot
setidaknya satu ekstremitas pada pasien ALS.
d. Elektromiografi Kuantitatif
Motor Unit Number Estimation (MUNE) adalah teknik elektrofisiologi
khusus yang dapat memberikan perkiraan kuantitatif dari jumlah akson
yangmempersarafi otot atau kelompok otot. MUNE terdiri dari sejumlah
metode
yang berbeda (incremental, multiple point stimulation, spike triggered
everaging, F-wave dan metode statistik), dengan masing-masing memiliki
keunggulan spesifik dan keterbatasan. Meskipun kurangnya metode tunggal
yang sempurna untuk melakukan MUNE, mungkin memiliki nilai dalam
penilaian hilangnya secara progresif akson motorik dalam ALS. .
2. Neuroimaging
Dilakukan MRI kepala/tulang belakang untuk menyingkirkan lesi
struktural dan diagnosis lain pada pasien yang dicurigai ALS seperti tumor,
spondilitis, siringomielia, stroke bilateral, dan multiple sclerosis
(Wijesekera dan Nigel, 2009).
3. Biopsi otot dan neuropatologi
Terutama dilakukan pada pasien dengan presentasi klinis yang tidak
khas, terutama dengan lesi LMN yang tidak jelas. Biopsi digunakan untuk
menyingkirkan adanya miopati, seperti inclusion body myositis (Wijesekera
dan Nigel, 2009).
4. Pemeriksaan lab lainnya
Tes laboratorium klinis yang mungkin abnormal dalam kasus
dinyatakan khasALS meliputi:
1. Enzim Otot (serum kreatinin kinase yang tidak biasa di atas sepuluh
kali batasatas normal, ALT, AST, LDH)
12
2. Serum kreatinin (terkait dengan hilangnya massa otot rangka)
i. Hipochloremia, bikarbonat meningkat (terkait dengan gangguan
pernapasan lanjutan)
G. Prognosis
ALS adalah penyakit yang fatal. Hidup rata-rata adalah 3 – 5 tahun dari onset
klinis kelemahan. Sekitar 4 - 30% dari pasien dengan ALS dapat bertahan hidup
sekitar5 tahun setelah diagnosis, dan sekitar 4% bertahan selama lebih dari 10 tahun.
Kelangsungan hidup jangka panjang dikaitkan dengan usia yang lebih muda saat
onset, laki-laki, dan regio yang terkena. Pada ALS yang terkena ekstremitas dikatakan
dapat bertahan 3-5 tahun dan bulbar 2-3 tahun.
13
H. Penatalaksaan Fisioterapi
1. Pemeriksaan Fisioterapi
1. Asesmen Pasien
a. Anamnesa
AnamnesaAnamnesa adalah metode pengumpulan data dengan wawancara baik langsung
pada pasien maupun pada keluarga pasien. Anamnesa umum mencakup identitas
pasien,keluhan utama, riwayat penyakit, serta tindakan medis yang pernah dilakukan
sedangkananamnesis khusus yaitu mengenai jenis, ketepatan waktu dan durasi nyeri;
lokasi dandistribusi nyeri; provokasi sikap posisi dan gerak yang menimbulkan nyeri.
b. Pemeriksaan
1. Barthel Index
Indeks Barthel merupakan suatu alat ukur pengkajian yang berfungsi mengukur
kemandirian fungsional dalam hal perawatan diri dan mobilitas dengan sistem penilaian
yang didasarkan pada kemampuan seseorang untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari-
hari secara mandiri. Indeks ini menggunakan 10 indikator penilaian, yaitu:
Berdasarkan tabel di atas, interprestasi hasil menurut Barthel adalah jika total nilai indeks
14
100 maka disebut Dependen Total jika skor 0-20, Dependen Berat jika skor 21-40,
Dependen Sedang jika skor 41-60, Dependen Ringan jika skor 61-90, dan Mandiri jika skor
91-100.
2. MMT
Pengukuran kekuatan otot dilakukan dengan cara menggunakam Manual Muscle Testing
(MMT). Manual Muscle Testing (MMT) merupakan salah satu bentuk pemeriksaan
kekuatan otot yang paling sering digunakan. Hal tersebut karena penatalaksanaan,
intepretasi hasil serta validitas dan reliabilitasnya telah teruji. Namun demikian tetap
saja, manual muscle testing tidak mampu untuk mengukur otot secara individual
melainkan group / kelompok otot. (Bambang, 2012).
15
e) Transfers.6.Standing unsupported with eyes close.
f) Standing unsupported with feet together
g) Reaching forward with utstretched arm while standing.
h) Pick up onject from the floor from a standing.
i) Turning to look behind over left and right shoulder while standing
j) .Turn 360 degrees.
k) Placing alternate foot on step or stool while standing unsupported.
l) Standing unsupported one foot in front.
m) Standing on one leg
4. Pemeriksaan Refleks
a. Biceps refleks.
b. Triceps reflex
c. .Patella refleks.
d. Achilles reflex
e. Babinsky refleks
5. Ekspansi Thoraks
Pemeriksaan lingkar dada atas
Pemeriksaan lingkar dada tengah.
Pemeriksaan lingkar dada bawah.
6. Lingkar Segmen
Pemeriksaan lingkar lengan atas.
Pemeriksaan lingkar lengan bawah.
Pemeriksaan lingkar tungkai atas.
Pemeriksaan lingkar tungkai bawah.
7. Pemeriksaan Tonus Otot
Ashworth scale atau modified ashworth scale adalah skala untuk mengukur spastisitas
pada pasien yang mengalami lesi pada sistem saraf pusat atau neurological disorder.
Scale ini menilai resistanse pasif yang terjadi pada sendi yang dirasakan oleh pemeriksa.
Nilai resistansi ashworth scale dari 0-4 (Rekand, 2010).
16
8. Pemeriksaan LGS
Pemeriksaan lingkup gerak sendi adalah serangkaian gerakan yang terjadi pada
persendian dari awalsampai akhir gerakan.Instrumen yang dapat digunakan adalah
goniometer.
2. Intervensi Fungsional
a. Sinar Infra Red (IR)
Sinar Infra Red (IR) memiliki pancaran gelombang elektromagnet dengan panjang
gelombang 7700-4jt A0 . Klasifikasi panjang gelombang dapat dibedakan menjadi dua jenis
yaitu gelombang panjang dan gelombang pendek. Gelombang panjang (non penetrating)
memiliki panjang gelombang >12000 A0 – 150000 A0 , penetrasinya pada lapisan
superfisial epidermis sekitar 0,5 mm. Sedangkan untuk gelombang pendek (penetrasi)
memiliki panjang gelombang 7700 A0 – 12000 A0 , penetrasinya sampai sub cutan. Secara
mekanisme kerja Infra Red (IR) terbagi menjadi dua jenis yaitu non luminous dan luminous
(Kurniawati, 2012). Efek terapiutik yang dihasilkan dari Infra Red (IR) diantaranya:
mengurangi rasa sakit, relaksi otot, meningkatkan suplai darah, menghilangkan sisa-sisa
metabolise (Singh, 2005).
Indikasi Terapi Infra Merah
a. Nyeri otot, sendi dan jaringan lunak sekitar sendi. Misal: nyeri punggung bawah,
nyeri leher, nyeri punggung atas, nyeri sendi tangan, sendi lutut, dsb
b. Kekakuan sendi atau keterbatasan gerak sendi karena berbagai sebab.
c. Ketegangan otot atau spasme otot.
d. Peradangan kronik yang disertai dengan pembengkakan.
e. Penyembuhan luka di kulit.
17
Prosedur terapi infra merah:
a. Menggunakan pakaian yang longgar dan nyaman.
b. Dokter atau terapis akan memeriksa kembali daerah yang akan diberikan terapi dan
melakukan wawancara kembali mengenai kelainan yang diderita dan kemungkinan
kontraindikasi untuk pemberian terapi dan riwayat alergi terhadap suhu panas. Dokter
maupun terapis akan menjelaskan sekali lagi tujuan terapi infra merah sesuai kondisi
dan keadaan seseorang, tiap individu berbeda.
c. Dokter atau terapis akan membersihkan daerah yang akan diterapi dari minyak
ataupun kotoran yang menempel di kulit termasuk dari lotion atau obat-obat gosok
yang dipakai sebelumnya menggunakan kapas alkohol atau kapas yang diberi air. Bila
mempunyai kulit yang sensitif dan kering sekali sebaiknya diberitahukan kepada
dokter atau terapis yang akan menerapi, sehingga tidak akan digunakan kapas alkohol
yang kadang dapat menyebabkan iritasi kulit.
d. Dokter atau terapis akan memposisikan bagian yang akan diterapi senyaman
mungkin, bagian yang akan diterapi tidak ditutupi oleh pakaian sehingga infra merah
akan langsung mengenai kulit dan memberikan hasil yang optimal.
e. Dokter atau terapis akan melakukan setting dosis waktu dan posisi alat infra merah.
f. Kemudian segera infra merah akan diberikan, jangan menatap langsung lampu infra
merah.
g. Bila terasa nyeri atau panas berlebihan saat terapi berlangsung segera bilang kepada
terapis atau dokter yang menerapi.
h. Selesai terapi akan ditandai oleh bunyi timer dari alat infra merah. Jangan langsung
berdiri atau duduk, tetap berbaring beberapa saat untuk mengembalikan aliran darah
ke normal.
i. Dokter atau terapis akan kembali melakukan pemeriksaan dan wawancara mengenai
efek yang dirasakan setelah selesai terapi.
3. Breathing exercise
Breathing exercise adalah suatu metode pernafasan untuk meningkatkan kinerja organ
paru-paru. Pernafasan yang baik dan teratur dapat menstabilkan tekanan darah dan
memperbaiki respirasi (Hermansyah dkk., 2015). Prosedur melakukan latihan pernapasan
yaitu dengan menginstruksikan pasien untuk bernapas dalam melalui hidung, bahu rileks,
dada atas tenang, perut sedikit naik. Kemudian instruksikan pasien 4 untuk
18
menghembuskan napas perlahan melalui mulut. Lakukan latihan ini sebanyak tiga atau
empat kali lalu beristirahat (Kisner & Colby, 2007).
4. Terapi latihan
Terapi latihan merupakan salah satu jenis pelaksanaan fisioterapi yang menggunakan
latihan-latihan tubuh baik secara aktif maupun secara pasif (Kisner dan Colby, 2007).
Menurut Apley dan Solomon salah satu prinsip penanganan pada kasus post orif yaitu
untuk memulihkan fungsi, mengurangi nyeri, meningkatkan lingkup gerak sendi (LGS),
dan memulihkan kekuatan otot. Adapun jenis-jenis terapi latihan yang diberikan oleh
terapis berupa: latihan kontraksi statik (static contraction), latihan gerak pasif (passive
excercise), latihan gerak aktif (active exercise), latihan jalan dengan pola weight
bearingdan strengthening(Kisner dan Colby, 2007).
a. Active Exercise
Active exercise merupakan gerakan yang dilakukan oleh adanya kekuatanotot
dan anggota tubuh itu sendiri tanpa bantuan, gerakan yang dihasilkan olehkontraksi
dengan melawan gravitasi penuh (Basmanjian, 1978). Active exercise dilakukan
secara sadar dengan adanya kontraksi aktif dari anggota tubuh itu sendiri.
Active exercise mempunyai tujuan :
1. memelihara dan meningkatkankekuatan otot,
2. mengurangi bengkak,
3. mengembalikan koordinasi danketerampilan motorik untuk aktivitas fungsional
(Kisner, 1996)
b. Passive Exercise
Passive exercise adalah suatu latihan yang dilakukan dengan gerakan yang dihasilkan
dengan tenaga atau kekuatan dari luar tanpa adanya kontraksi otot (Kisner,
2007).Gerakan yang termasuk dalam latihan passive exercise
yaitu :
1. Static contraction merupakan kontraksi otot tanpa perubahan panjang otot atau tanpa
gerakan sendi yang nyata.
2. assive exercise merupakan gerak yang dihasilkan oleh kekuatan dari luar tanpa
disertai kontraksi otot.
19
5. Electrical stimulator (ES)
Stimulasi elektris adalah suatu modalitas fisioterapi dengan menggunakan arus listrik
untuk mengkontraksikan salah satu otot ataupun grup otot (Inverarity, 2005 ). Alat
listrik yang bisa digunakan adalah Interrupted Direct Current, Interfernsi dan TENS
(Kuntoro, 2007). Sistem saraf pusat mempunyai kempuan yang progress untuk
penyembuhan dari injury melalaui proses collateral 3 sprouting dan synaptic
reclamation. Neuro plasiticity merupakan hal yang sangat penting untuk mengajarkan
kembali fungsi otot dan aplikasi fasilitasi. Kemampuan otak beradaptasi untuk
memperbaiki perubahan lingkungannya melalui penyatu neural kembali yang
dikelompokan sebagai berikut :
1. Collateral Sprouting
Merupakan respon neuron daerah yang tidak mengalami cedera dari sel-sel yang
utuh ke daerah yang denervasi setelah cedera. Perbaikan sistem saraf pusat dapat
berlangsung beberapa bulan atau tahun setelah cedera dan dapat terjadi secara luas di
otak.
2. Unmasking
Dalam keadaan normal banyak akson dan synaps yang tidak aktif. Apabila jalur utama
mengalami kerusakan maka fungsinya akan diambil oleh akson dan sinaps yang tidak
aktif. Menurut Wall dan Kabat, jalur sinapsis mempunyai mekanisme homeostatic,
dimana penurunan masukan akan menyebabkan naiknya eksitabilitas sinapsnya.
3. Diaschisia (Dissipation of Diachisia)
Diaschisia keadaan dimana terdapat hilangnya kesinmabungan fungsi atau adanya
hambatan fungsi dari traktus-traktus sentral di otak. Tujuan pemberian electrical
stimulasi pada pasien stroke adalah sebagai muscle reedukasi dan fasilitasi. Stimulas
elktris pada prinsipnya harus menimbulkan kontraksi otot, sehingga akan merangsang
goli tendon dan muscle spindle. Rangsangan pada muscle spindle dan golgi akan
diinformasikan melaluai afferent ke susunan saraf pusat sehingga akan
mengkontribusikan fasilitas dan inhibisi. Rangsangan elektris yang berulang-ulang
akan memberi informasi ke supraspinal sehingga terjadi pola gerak terintegritas dan
menjadi gerakan-gerakan pola fungsional. Selain itu memberikan gerakan-gerakan
pola fungsional.Selain itu juga memberikan fasilitasi pada otot yang lemah dalam
melakukan gerakan (Kuntoro,2007).
20
1) Indikasi Electrical stimulator (ES)
1. Penguatan otot.
2. Re-edukasi otot, mencegah kelemahan otot atau atrofi otot.
3. Pemendekan otot atau spasme otot.
4. Menghilangkan nyeri.
5. Kelemahan otot karena gangguan saraf.
6. Menghilangkan bengkak atau edema.
7. Menyembuhkan peradangan karena suatu trauma atau sehabis operasi.
8. Menyembuhkan luka dan perbaikan jaringan.
9. Membantu memasukkan obat-obat topikal sehingga obat-obat tersebut akan masuk
lebih dalam mencapai target terapi dan efektif. Terapi stimulasi listrik jenis ini disebut
Iontophoresis.
2) Persiapan alat
a. Lakukan kalibrasi awal alat sebelum digunakan, meliputi cek kabel, pad
elektroda,intensitas dan ES sendiri.
b. Persiapan pasien
c. Pasien tidur terlentang dan posisikan senyaman mungkin sesuai pasien. Kemudian
lakukan tes sensoris tajam tumpul pada ektremitas atas dan bawah sisi kiri untuk
mengetahui apakah pasien masih bisa merasakan tajam atau tumpul. Pada test ini
pasien bisa membedakan tajam dan tumpul disemua ektremitas yang dilakukan test.
Kemudian minta ke pasien untuk menanggalkan pakaian atas dan menggulung celana
panjang pasien (sisi kiri). lalu jelaskan pada pasien bahwa yang akan dirasakan adalah
sepeti tertusuk ringan disertai kontraksi otot.
3) Pelaksanaan terapi
Pad elektroda diletakan oleh terapis pada lengan dan tungkai pada grup otot ekstensor pad
diletakan pada cervical dan grup otot ekstensor pada anggota gerak atas, untuk anggota gerak
bawah pad berada pada lumbal dan grup otot ekstensor gerak bawah. Lalu nyalakan ES atur
frequency 50 Hz, modulasi 1 second dan naikan intensitas sedikit demi sedikit sampai ada
kontraksi otot pada grup otot ekstensor. Setiap satu grup otot ekstensor dilakukan 15 kali
kontraksi dengan dilakukan 2 kali putaran. Jika terapi selesai segera martikan ES dan tata
kembali seperti semula sebelum digunakan
21
PROGRAM STUDI PROFESI FISIOTERAPIS
JURUSAN FISIOTERAPI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAKARTA III
STATUS KLINIS
IDENTITAS KLIEN
No. RM : 834224 Nama : Tn . N
PEMERIKSAAN :
Riwayat Sosial: sebelum didiagnosa ALS pasien aktif sebagai Pengacara Kemampuan
Sebelumnya: -
Pemeriksaan Penunjang:
MRI
ENMI
22
Pemeriksaan Umum
Pemeriksaan Fisioterapi
Observasi
Tn. N datang berjalan dengan bantuan keluarga
(dipapah), mengalami kelemahan pada ekstremitas
atas dan bawah, atrofi pada ekstermitas atas dan
bawah, pasien mengalami sedikit kesulitan bernafas
dimana nafas perut lebih mendominasi, transfer
dengan bantuan.
Statis :
● Tampak adanya kelmahan otot lengan dan
tungkai
● Tampak adanya atrofi pada ekstermitas atas dan
bawah
● Gangguan bicara (kurang jelas) dan wajah pasien
Tandai Bagian Tubuh yang mengalami
terlihat tanpa ekspresi (masked face)
masalah
● Spastititas pada jari-jari tangan
Dinamis :
● Tampak pola jalan pasien lambat dan langkah
kecil-kecil
● Tampak pasien kesulitan mengangkan lengan
dan kesulitan berjalan
● Tampak sedikit knee fleksi saat berjalan
Hipotesis: (dugaan fisioterapis dari masalah fisioterapi yang ditemukan dalam pemeriksaan)
1. adanya atrofi pada ekstermitas atas dan bawah.
2. Gangguan bicara dan ekspresi wajah datar (masked face)
3. adanya kelemahan otot pada kedua ekstremitas bawah dan atas.
4. adanya gangguan pola jalan
5. Spastisitas jari-jari tangan
Analisis Gerak
1. tremor pada kaki (+)
2. Spatisitas (+)
23
3. Gangguan pola jalan (+)
Kesimpulan :
Terdapat keterbatasan LGS pada regio wrist dan interpalangeal
Gerakan pasif : keterbatasan pada interphalangeal dan wrist
2. Inspeksi :
Gait Analisis :
● reduce step length
● heel strike terlihat sedikit
● tidak terdapat arm swing (disertai tremor)
● trunk rotation tidak ada
3. Ekspansi Thoraks
Thoraks Ekspansi thoraks Nilai normal
Lingkar dada atas 1 cm 2-3 cm
Lingkar dada tengah 3 cm 4-5 cm
Lingkar dada bawah 5 cm 7-8 cm
4. Aswort scale
Dextra Sinestra
Wrist 3 3
Interphalank 3 3
24
Activity
1. aktifitas fungsional (indeks barthel) / (65) ketergantungan moderat
Partisipation
Activity 1. Self employment
Body structure/Function (Hasil 1. Berjalan (d450) (d8500)
1. Stiffness (b7800) 2. Mempertahankan posisi 2. d9300
2. Impaired involuntary tubuh (d415) Organized
movement (Tremor, 3. Producing meaningful religion
bradykinesia) (b765) sounds (d3300)
3. Impairment in Gait Pattern
(b770)
4. Vestibular function of
balance (b2351)
5. Reduced exercise tolerance
(b455)
6. Tone of isolated muscles
and muscle groups (b7350)
7. Functions of the thoracic
respiratory muscles (b4450)
Environmental factors:
Personal Factors:
Dukungan keluarga (e310)
Friends (e32)
Pasien memiliki semangat yang products and technology for communication (e125)
tinggi untuk sembuh (d729)
25
Goal Treatment: Treatment Plan:
(yang direncanakan selama satu bulan)
(fungsi, aktivitas atau partisipasi)
● Latihan pola jalan
Tujuan jangka pendek ● Latihan keseimbangan
a. Untuk mencegah kontraktur ● Latihan kekuatan otot
otot ● Aerobic Exercise
Untuk mencegah stiffness ● Pursed Lip Breathing
(kaku sendi) ● Stretching Exercise
b. Untuk memperbaiki ● Infra Red
keseimbangan ● Electrical Stimulation
c. Untuk menurunkan
spastisitas
d. Untuk meningkatkan
kekuatan otot
e. Mengurangi sesak nafas
26
DAFTAR PUSTAKA
27
Lambrechts D., et al. 2003. VEGF is a modifier of amyotrophic lateral sclerosis in
mice and humans and protects motoneurons against ischemic death. Nat
Genet;34(4):383-94.
Leigh, P.N., et al., King’s MND Care and Research Team. 2003. The management of
motor neuron disease. J Neurol Neurosurg Psychiatry;70(4):32–47.
McCarthy, J. 2009. A Manual For People Living with ALS. 5th edition. ALS Society
of Canada. Canada;11-12.
Murray, B. dan Mitsumoto, H. 2012. Disorders of upper and lower motor neurons.In:
Daroff RB, Fenichel GM, Jankovic J, eds. Bradley’s Neurology in Clinical
Practice. 6th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; chapter 74.
Reinhard Dengler, 2010. Diagnostic Criteria of Amyotrophic Lateral Sclerosis
(ALS).
Romanian Journal of Neurology;9(4):165-71
Rothstein, J.D., et al. 1995. Selective loss of glial glutamate transporter GLT-1 in
amyotrophic lateral sclerosis. Ann Neurol;38(1):73-84.
Rowland LP, Mitsumoto H, Przedborski S. 2010. Amyotrophic Lateral Sclerosis,
Progressive Muscular Atrophy, and Primary Lateral Sclerosis. In: Rowland
LP, Pedley TA (Ed.) Merritt’s Neurology,12th Edition. Lippincott Williams &
Wilkins; Chapter 128, pp.803-8.
Rowland, L.P, dan Shneider, N.A., 2001. Amyotrophic Lateral Sclerosis. N Engl J
Med;344(22):1688-700.
Siklos, L, et al. 1996. Ultrastructural evidence for altered calcium in motor nerve
terminals in amyotrophic lateral sclerosis. Ann Neurol;39(2):203-16.
Steele, J.C, McGeer, P.L.2008. The ALS/PDC syndrome of Guam and the cycad
hypothesis. Neurology;70(21):1984-90.
Sykes, N., Thorns, A. 2003. The use of opioids and sedatives at the end of life.
Lancet Oncology;4:312–8
28
Worms, P.M. 2001. The epidemiology of motor neuron diseases: a review of
recentstudies. J Neurol Sci;191(1-2):3-9.
29