Anda di halaman 1dari 18

LBM 4

Beberapa penelitian mengenai penuaan yang sesuai usia, didapatkan bahwa kemampuan intelektual
mulai menurun pada usia 80 tahun. Pada penelitian jangka panjang, IQ verbal menurun kurang lebih 5 %
pada usia 70 tahun dan 10 % pada usia 80 tahun. Tetapi ada yang mencapai usia 90 tahun fungsi
kognitifnya relatif stabil. Penampilan fungsi kognitif yang baik, harus didukung pula oleh atensi atau
konsentrasi yang baik. Atensi yang terganggu akan mempunyai dampak terhadap fungsi kognitif lain
seperti memori, bahasa dan fungsi eksekutif. Pada penelitian terhadap proses menua yang normal,
penurunan fungsi atensi mulai usia 20 tahun. Sebaliknya, kemampuan memori pada usia 75 tahun
menurun 25 % dibanding usia 20 tahun. Gangguan utama fungsi memori pada proses menua
berhubungan dengan pemindahan informasi dari penyimpanan sementara pada tempat penyimpanan
permanen di otak yang berkaitan dengan memori baru (Wiener and Tilly, 2002; Pickholtz and Malamut,
2008).

Masalah-masalah yang sering terjadi pada usia lanjut yaitu, forgetfulness (mudah lupa), tidak merasa
cerdas, sukar belajar, susah berkomunikasi dan berhubungan. Mudah lupa merupakan fenomena yang
paling sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari pada usia lanjut. Menurut penelitian, kemampuan
kognitif umum seorang usia lanjut normal tidak menurun sampai usia 90 tahun. Sedangkan forgetfulness
terjadi mulai usia pertengahan. Cummings dan Benson (1992) memperkirakan 39 % orang berusia 50 –
59 tahun mengalami forgetfulness. Pada usia lebih dari 80 tahun forgetfulness frekuensinya meningkat
menjadi 85 %. Hal ini terjadi berhubungan dengan proses menua sel-sel otak yang bekerja untuk fungsi
mengingat (memori). Memori yang menurun adalah kemampuan menyebut nama benda (naming) dan
kecepatan mencari kembali informasi yang tersimpan maupun mempelajari hal-hal baru. Kemampuan
kognitif lainnya seperti daya pikir, abstraksi, kemampuan berbahasa, kemampuan visuopasial tidak
menurun dengan penambahan usia. Lupa normal yang masih sesuai dengan penambahan usia adalah
jika terjadinya hanya sesekali, hanya sebagian peristiwa saja yang terlupa (tidak seluruhnya), ada
perlambatan dalam mengingat namun masih sanggup mengingat jika diberikan catatan bantuan. Dari
segi fungsional biasanya individu masih mandiri dan aktif. (Tucker et al., 2006)

Menurunnya kemampuan kognitif lansia diperlihatkan dengan penurunan dalam kemampuan kognitif
seperti abstraksi, kalkulasi, kelancaran bicara, kemampuan verbal dan orientasi. Penurunan kemampuan
kognitif dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya motivasi, harapan, kepribadian, pola belajar,
kemampuan intelektual, tingkat pendidikan, latar belakang sosiokultural dan status kesehatan.
Penurunan kemampuan kognitif sering kali dianggap sebagai masalah biasa dan merupakan hal yang
wajar terjadi pada mereka yang berusia lanjut. Padahal, menurunnya kemampuan kognitif ditandai
dengan banyak lupa merupakan salah satu gejala awal kepikunan. (Wiener and Tilly, 2002) Perubahan
fungsi kognitif pada usia lanjut di akibatkan oleh proses penuaan dibuktikan dengan adanya perubahan
signifikan pada korteks frontalis yang ditunjukkan oleh imaging maupun analisis posmortem.
Perbandingan gambaran histologis maupun imajing otak antara dewasa muda dibandingkan dengan
lansia menunjukkan secara jelas bahwa terdapat perubahan struktur otak manusia seiring
bertambahnya usia, walaupun tanpa adanya penyakit neurodegeneratif. Gambaran otak pada lansia
menunjukkan terjadinya penurunan selektif regional baik pada substansia alba maupun substansia
grisea. Korteks frontal mengalami perubahan paling dramatis dan perubahan tersebut berkaitan erat
dengan defisit kognitif seseorang. (Xinqi et al., 2010)

Penurunan Kognitif Terkait Usia

Secara definisi, perubahan kognitif normal terkait usia tidak mengganggu kemampuan seseorang untuk
melakukan aktivitas sehari-hari. Jika seorang dewasa tua mengalami gangguan fungsional, bahkan
dengan tugas rumit seperti mengatur keuangan atau obat-obatan, perlu dilakukan pemeriksaan
demensia bila tidak ada penjelasan yang jelas dari kesulitan tersebut, seperti adanya reaksi terhadap
pengobatan, gangguan medis baru, atau masalah penglihatan. Bagaimanapun juga, penelitian
menunjukkan bahwa kognitif terkait usia dapat menurun pada kemampuan fungsional kompleks, seperti
kemampuan mengemudi. (Harada, 2014)

Data menunjukkan bahwa dewasa yang lebih tua memiliki risiko lebih tinggi mengalami kecelakaaan
kendaraan bermotor dibandingkan dengan pengemudi yang lebih muda. Pada beberapa kasus, hal ini
disebabkan karena gangguan kognitif (MCI atau demensia), penyakit neurologis atau muskuloskeletal,
penyakit medis lainnya, gangguan penglihatan, atau obat-obatan. Sayangnya, orang-orang yang dapat
mengelola hal tersebut tetap tidak aman saat berkendara karena penuaan kognitif normal, yang dapat
menyebabkan sedikit penurunan pada domain kognitif multipel yang diperlukan untuk mengemudi.
Domain tersebut mencakup atensi/proses visual (kemampuan untuk memilih stimulus visual berdasar
pada lokasi spasial), persepsi visual (kemampuan untuk menerima dan menginterpretasikan secara
akurat apa yang terlihat), fungsi eksekutif, dan memori. Kebalikan dari observasi tersebut, banyak
dewasa tua dengan fungsi kognitif normal tidak mengalami penurunan dari kemampuan mengemudi
atau mampu secara efektif mencegah situasi berisiko tinggi saat mengemudi. Tantangan untuk para
klinisi adalah menentukan siapa yang aman untuk mengemudi, dimana beberapa pengemudi tua
didapatkan tidak memiliki kemampuan mengemudi yang akurat. Direkomendasikan untuk memprediksi
kecakapan mengemudi adalah melalui tes performance-based road. (Harada, 2014)

DEMENSIA

Definisi

Sindrom neuro degeneratif yang timbul karena adanya kelainan yang bersifat kronis dan
progesifitas disertai dengan gangguan fungsi kognitif antara lain pada intelegensi, belajar dan daya ingat,
bahasa, pemecahan masalah, orientasi, persepsi, perhatian dan konsentrasi, penyesuaian, dan kemampuan
bersosialisasi. Kesadaran pada demensia tidak terganggu. Gangguan fungsi kognitif biasanya disertai
dengan perburukan kontrol emosi, perilaku, dan motivasi.

Etiologi

Sebagian besar peneliti dalam risetnya sepakat bahwa penyebab utama dari gejala demensia
adalah penyakit Alzheimer, penyakit vascular (pembuluh darah), demensia Lewy body, demensia
frontotemporal dan sepuluh persen diantaranya disebabkan oleh penyakit lain. Lima puluh sampai enam
puluh persen penyebab demensia adalah penyakit Alzheimer. Alzhaimer adalah kondisi dimana sel syaraf
pada otak mati sehingga membuat signal dari otak tidak dapat di transmisikan sebagaimana mestinya.
Penderita Alzheimer mengalami gangguan memori, kemampuan membuat keputusan dan juga penurunan
proses berpikir (Nok Isti, et al. 2018)

Penyebab utama dari penyakit demensia adalah penyakit alzaimer, yang penyebabnya sendiri
belum diketahui secara pasti. Penyakit Alzaimer disebabkan karena adanya kelainan faktor genetik atau
adanya kelainan gen tertentu. Bagian otak mengalami kemunduran sehingga terjadi kerusakan sel dan
berkurangnya respon terhadap bahan kimia yang menyalurkan sinyal di dalam otak. Jaringan abnormal
ditemukan di dalam otak (disebut plak senilitis dan serabut saraf yang tidak teratur- dan protein abnormal.
2. Serangan stroke yang berturut-turut. Stroke tunggal yang ukurannya kecil dan menyebabkan
kelemahan yang ringan atau kelemahan yang timbul secara perlahan. Stroke kecil ini secara bertahap
menyebabkan kerusakan jaringan otak, daerah otak yang mengalami kerusakan akibat tersumbatnya
aliran darah yang disebut dengan infark. Demensia yang disebabkan oleh stroke kecil disebut juga
demensia multi-infark. Sebagian penderitanya memiliki tekanan darah tinggi atau kencing manis, yang
keduanya menyebabkan kerusakan pembuluh darah di otak. 3. Menurut Nugroho (2008), penyebab
demensia dapat digolongkan menjadi 4: a. Sindroma demensia dengan penyakit yang etiologi dasarnya
tidak dikenal kelainan yaitu, terdapat pada tingkat subseluler atau secara biokimiawi pada sistem enzim,
atau pada metabolisme. b. Sindroma demensia dengan etiologi yang dikenal tetapi belum dapat diobati,
penyebab utama dalam golongan. Penyakit degenerasi spino serebral c. Sindroma demensia dengan
etiologi penyakit yang dapat diobati, gangguan nutrisi, akibat intoksikasi menahun, penyakit-penyakit
metabolisme.

Manifestasi Klinis

Gejala klinis Ada dua tipe demensia yang paling banyak ditemukan, yaitu tipe Alzheimer dan
Vaskuler :

- Demensia Alzheimer
Gejala klinis demensia Alzheimer merupakan kumpulan gejala demensia akibat gangguan
neuro degenaratif (penuaan saraf) yang berlangsung progresif lambat, dimana akibat proses
degenaratif menyebabkan kematian sel-sel otak yang massif. Kematian sel-sel otak ini baru
menimbulkan gejala klinis dalam kurun waktu 30 tahun. Awalnya ditemukan gejala mudah
lupa (forgetfulness) yang menyebabkan penderita tidak mampu menyebut kata yang benar,
berlanjut dengan kesulitan mengenal benda dan akhirnya tidak mampu menggunakan barang-
barang sekalipun yang termudah. Hal ini disebabkan adanya gangguan kognitif sehingga
timbul gejala neuropsikiatrik seperti, Wahan (curiga, sampai menuduh ada yang mencuri
barangnya), halusinasi pendengaran atau penglihatan, agitasi (gelisah, mengacau), depresi,
gangguan tidur, nafsu makan dan gangguan aktifitas psikomotor, berkelana. Stadium
demensia Alzheimer terbagi atas 3 stadium, yaitu :
A. Stadium I Berlangsung 2-4 tahun disebut stadium amnestik dengan gejala gangguan
memori, berhitung dan aktifitas spontan menurun. "Fungsi memori yang terganggu
adalah memori baru atau lupa hal baru yang dialami
B. Stadium II Berlangsung selama 2-10 tahun, dan. Gejalanya antara lain, 1) Disorientasi 2)
gangguan bahasa (afasia) 3) penderita mudah bingung 4) penurunan fungsi memori lebih
berat sehingga penderita tak dapat melakukan kegiatan sampai selesai, tidak mengenal
anggota keluarganya tidak ingat sudah melakukan suatu tindakan sehingga
mengulanginya lagi. 5) Dan ada gangguan visuospasial, menyebabkan penderita mudah
tersesat di lingkungannya, depresi berat prevalensinya 15-20%,
C. Stadium III Stadium ini dicapai setelah penyakit berlangsung 6-12 tahun.Gejala klinisnya
antara lain: 1) Penderita menjadi vegetatif 2) tidak bergerak dan membisu 3) daya
intelektual serta memori memburuk sehingga tidak mengenal keluarganya sendiri 4) tidak
bisa mengendalikan buang air besar/ kecil 5) kegiatan sehari-hari membutuhkan bantuan
orang lain 6) kematian terjadi akibat infeksi atau trauma
- Demensia Vaskuler
Gejala klinis demensia tipe Vaskuler, disebabkan oleh gangguan sirkulasi darah di otak. "Dan
setiap penyebab atau faktor resiko stroke dapat berakibat terjadinya demensia,". Depresi bisa
disebabkan karena lesi tertentu di otak akibat gangguan sirkulasi darah otak, sehingga depresi
itu dapat didiuga sebagai demensia vaskuler. Gejala depresi lebih sering dijumpai pada
demensia vaskuler daripada Alzheimer. Hal ini disebabkan karena kemampuan penilaian
terhadap diri sendiri dan respos emosi tetap stabil pada demensia vaskuler. Dibawah ini
merupakan klasifikasi penyebab demensia vaskuker, diantaranya:
A. Kelainan sebagai penyebab Demensia: 1) penyakit degenaratif 2) penyakit
serebrovaskuler 3) keadaan anoksi/ cardiac arrest, gagal jantung, intioksi CO 4) trauma
otak 5) infeksi (Aids, ensefalitis, sifilis) 6) Hidrose faulus normotensif 7) Tumor primer
atau metastasis 8) Autoimun, vaskulitif 9) Sklerosis multipel 10) Toksik 11) kelainan
lain: Epilepsi, stress mental, heat stroke, whipple disease
B. Kelainan keadaan yang dapat menampilkan demensi 1) Gangguan psiatrik: Depresi,
Anxietas, Psikosis 2) Obat-obatan Psikofarmaka, Antiaritmia, Antihipertensi 3)
Antikonvulsan : Digitalis 4) Gangguan nutrisi: Defisiensi B6 (Pelagra), Defisiensi B12,
Defisiensi asam folat, penyakit Marchiava- bignami 5) Gangguan metabolisme: Hiper/
hipotiroidi, Hiperkalsemia, Hiper/ hiponatremia, Hiopoglikemia, Hiperlipidemia,
Hipercapnia, Gagal ginjal, Sindrom Cushing, Addison's disesse, Hippotituitaria, Efek
remote penyakit kanker

Tanda dan Gejala

Hal yang menarik dari gejala penderita demensia adalah adanya perubahan kepribadian dan
tingkah laku sehingga mempengaruhi aktivitas sehari-hari.. Penderita yang dimaksudkan dalam tulisan ini
adalah Lansia dengan usia enam puluh lima tahun keatas. Lansia penderita demensia tidak
memperlihatkan gejala yang menonjol pada tahap awal, mereka sebagaimana Lansia pada umumnya
mengalami proses penuaan dan degeneratif. Kejanggalan awal dirasakan oleh penderita itu sendiri,
mereka sulit mengingat nama cucu mereka atau lupa meletakkan suatu barang

Mereka sering kali menutup-nutupi hal tersebut dan meyakinkan diri sendiri bahwa itu adalah hal
yang biasa pada usia mereka. Kejanggalan berikutnya mulai dirasakan oleh orang-orang terdekat yang
tinggal bersama, mereka merasa khawatir terhadap penurunan daya ingat yang semakin menjadi, namun
sekali lagi keluarga merasa bahwa mungkin Lansia kelelahan dan perlu lebih banyak istirahat. Mereka
belum mencurigai adanya sebuah masalah besar di balik penurunan daya ingat yang dialami oleh orang
tua mereka
Gejala demensia berikutnya yang muncul biasanya berupa depresi pada lansia, mereka menjaga
jarak dengan lingkungan dan lebih sensitif. Kondisi seperti ini dapat saja diikuti oleh munculnya penyakit
lain dan biasanya akan memperparah kondisi lansia. Pada saat ini mungkin saja lansia menjadi sangat
ketakutan bahkan sampai berhalusinasi. Di sinilah keluarga membawa lansia penderita demensia ke
rumah sakit dimana demensia bukanlah menjadi hal utama fokus pemeriksaan. Seringkali demensia luput
dari pemeriksaan dan tidak terkaji oleh tim kesehatan. Tidak semua tenaga kesehatan memiliki
kemampuan untuk dapat mengkaji dan mengenali gejala demensia. Mengkaji dan mendiagnosa demensia
bukanlah hal yang mudah dan cepat, perlu waktu yang panjang sebelum memastikan seseorang positif
menderita demensia. Setidaknya ada lima jenis pemeriksaan penting yang harus dilakukan, mulai dari
pengkajian latar belakang individu, pemeriksaan fisik, pengkajian syaraf, pengkajian status mental dan
sebagai penunjang perlu dilakukan juga tes laboratorium. Pada tahap lanjut demensia memunculkan
perubahan tingkah laku yang semakin mengkhawatirkan, sehingga perlu sekali bagi keluarga memahami
dengan baik perubahan tingkah laku yang dialami oleh lansia penderita demensia. Pemahaman perubahan
tingkah laku pada demensia dapat memunculkan sikap empati yang sangat dibutuhkan oleh para anggota
keluarga yang harus dengan sabar merawat mereka.

Perubahan tingkah laku (Behavioral symptom) yang dapat terjadi pada lansia penderita demensia
di antaranya adalah delusi, halusinasi, depresi, kerusakan fungsi tubuh, cemas, disorientasi spasial,
ketidakmampuan melakukan tindakan yang berarti, tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara
mandiri, melawan, marah, agitasi, apatis, dan kabur dari tempat tinggal (Volicer, L., Hurley, A.C.,
Mahoney, E. 1998).

Secara umum tanda dan gejala demensia adalah sebagai berikut:

1. Menurunnya daya ingat yang terus terjadi. Pada penderita demensia, "lupa" menjadi bagian
keseharian yang tidak bisa lepas
2. Gangguan orientasi waktu dan tempat, misalnya: lupa hari, minggu, bulan, tahun, tempat
penderita demensia berada
3. Penurunan dan ketidakmampuan menyusun kata menjadi kalimat yang benar, menggunakan kata
yang tidak tepat untuk sebuah kondisi, mengulang kata atau cerita yang sama berkali-kali
4. Ekspresi yang berlebihan, misalnya menangis berlebihan saat melihat sebuah drama televisi,
marah besar pada kesalahan kecil yang dilakukan orang lain, rasa takut dan gugup yang tak
beralasan. Penderita demensia kadang tidak mengerti mengapa perasaan-perasaan tersebut
muncul
5. Adanya perubahan perilaku, seperti : acuh tak acuh, menarik diri dan gelisah

Manifestasi klinik

Perjalanan penyakit yang bertahap 2. Tidak terdapat gangguan kesadaran 3. Rusaknya fungsi kognitif 4.
Gangguan kepribadian dan perilaku 5. Mudah tersinggung, bermusuhan, agitasi dan kejang 6. Gangguan
psikotik, halusinasi, ilusi, waham, paranoid 7. Keterbatasan dalam ADL 8. Urin inkontenensia 9. Mudah
terjatuh dan keseimbangan buruk 10. Sulit mandi, makan, berpakaian dan toileting 11. Lupa meletakkan
barang penting 12. Gangguan orientasi waktu dan tempat, lupa hari, minggu, bulan, tahun dan tempat
dimana penderita berada 13. Ekspresi berlebihan, menangis berlebihan saat melihat sebuah dramat
televisi, marah besar terhadap kesalahan yang kecil, rasa takut dan gugup yang tidak beralasan. 14.
Adanya perubahan perilaku, acuh tak acuh, menarik diri, gelisah
Tanda dan Gejala Demensia Menurut Asrori dan putri (2014) menyebutkan ada beberapa tanda dan gejala
yang dialami demensia yaitu:

a. Kehilangan Memory Tanda awal yang dialami lansia yang menderita demensia adalah lupa tentang
informasi yang baru di dapat atau dipelajari, itu merupakan hal biasa yang dialami lansia yang menderita
demensia seperti lupa dengan petunjuk yang diberikan, nama maupun nomer telepon, dan penderita
demensia akan sering lupa dengan benda dan tidak mengingatnya. b. Kesulitan dalam Melakukan
Rutinitas Pekerjaan Lansia yang menderita demensia akan sering kesulitan untuk menyelesaikan rutinitas
pekerjaan sehari-hari. Lansia yang mengalami demensia terutama Alzheimer Disease mungkin tidak
mengerti tentang langkah-langkah dari mempersiapkan aktivitas sehari-hari seperti menyiapkan makanan,
menggunaka peralatan rumah tangga dan melakukan hobi

c. Masalah dengan Bahasa Lansia yang mengalami demensia akan kesulitan dalam mengelolah kata yang
tepat, mengeluarkan kata-kata yang tidak biasa dan sering kali membuat kalimat yang sulit untuk
dimengerti orang lain. d. Disorientasi Waktu dan Tempat Mungkin hal biasa bila orang yang tidak
mempunyai penyakit demensia lupa dengan hari atau dimana dia berada,namun dengan lansia yang
mengalami demensia akan lupa dengan jalan, lupa dengan dimana mereka berada dan bagaimana mereka
bisa sampai ditempat itu, serta tidak mengetahui bagaimana kembali kerumah. e. Tidak dapat Mengambil
Keputusan Lansia yang mengalami demensia tidak dapat mengambil keputusan yang sempurna dalam
setiap waktu seperti memakai pakaian tanpa melihat cuaca atau salah memakai pakaian, tidak dapat
mengelolah keuangan. f. Perubahan Suasana Hati dan Kepribadian Setiap orang dapat mengalami
perubahan suasana hati menjadi sedih maupun senang atau mengalami perubahan perasaan dari waktu ke
waktu, tetapi dengan lansia yang mengalami demensia dapat menunjukan perubahan perasaan dengan
sangat cepat, misalnya menangis dan marah tanpa alasan yang jelas. Kepribadian seseorang akan berubah
sesuai dengan usia, namun dengan yang dialami lansia dengan demensia dapat mengalami banyak
perubahan kepribadian, misalnya ketakutan,curiga yang berlebihan, menjadi sangat bingung, dan
ketergantungan pada anggota keluarga

Tingkah Laku

Lansia Pada suatu waktu lansia dengan demensia dapat terbangun dari tidur malamnya dan panik karena
tidak mengetahui berada di mana, berteriak-teriak dan sulit untuk ditenangkan. Untuk mangatasi hal ini
keluarga perlu membuat lansia rileks dan aman. Yakinkan bahwa mereka berada di tempat yang aman
dan bersama dengan orang- orang yang menyayanginya. Duduklah bersama dalam jarak yang dekat,
genggam tangan lansia, tunjukkan sikap dewasa dan menenangkan. Berikan minuman hangat untuk
menenangkan dan bantu lansia untuk tidur kembali. Lansia dengan demensia melakukan sesuatu yang
kadang mereka sendiri tidak memahaminya. Tindakan tersebut dapat saja membahayakan dirinya sendiri
maupun orang lain. Mereka dapat saja menyalakan kompor dan meninggalkannya begitu saja. Mereka
juga merasa mampu mengemudikan kendaraan dan tersesat atau mungkin mengalami kecelakaan.
Memakai pakaian yang tidak sesuai kondisi atau menggunakan pakaian berlapis-lapis pada suhu yang
panas. Seperti layaknya anak kecil terkadang Lansia dengan demensia bertanya sesuatu yang sama
berulang kali walaupun sudah kita jawab, tapi terus saja pertanyaan yang sama disampaikan. Menciptakan
lingkungan yang aman seperti tidak menaruh benda tajam sembarang tempat, menaruh kunci kendaraan
ditempat yang tidak diketahui oleh lansia, memberikan pengaman tambahan pada pintu dan jendela untuk
menghindari lansia kabur adalah hal yang dapat dilakukan keluarga yang merawat lansia dengan
demensia di rumahnya
Patofisiologi

Semua bentuk demensia adalah dampak dari kematian sel saraf dan/atau hilangnya komunikasi antara sel-
sel ini. Otak manusia sangat kompleks dan banyak faktor yang dapat mengganggu fungsinya. Beberapa
penelitian telah menemukan faktor-faktor ini namun tidak dapat menggabungkan faktor ini untuk
mendapatkan gambaran yang jelas bagaimana demensia terjadi. Pada demensia vaskular, penyakit
vaskular menghasilkan efek fokal atau difus pada otak dan menyebabkan penurunan kognitif. Penyakit
serebrovaskular fokal terjadi sekunder dari oklusi vaskular emboli atau trombotik. Area otak yang
berhubungan dengan penurunan kognitif adalah substansia alba dari hemisfer serebral dan nuklei abu-abu
dalam, terutama striatum dan thalamus. Mekanisme demensia vaskular yang paling banyak adalah infark
kortikal multipel, infark single strategi dan penyakit pembuluh darah kecil. a. Demensia multi-infark:
kombinasi efek dari infark yang berbeda menghasilkan penurunan kognitif dengan menggangu jaringan
neural. b. Demensia infark single: lesi area otak yang berbeda menyebabkan gangguan kognitif yang
signifikan. Ini dapat diperhatikan pada kasus infark arteri serebral anterior, lobus parietal, thalamus dan
satu girus. c. Penyakit pembuluh darah kecil menyebabkan 2 sindrom major, penyakit Binswanger dan
status lakunar. Penyakit pembuluh darah kecil menyebabkan 8 perubahan dinding arteri, pengembangan
ruangan Virchow-Robin dan gliosis parenkim perivaskular d. Penyakit lakunar disebabkan oleh oklusi
pembuluh darah kecil dan menghasilkan lesi kavitas kecil di otak akibat dari oklusi cabang arteri
penetrasi yang kecil. Lakunae ini ditemukan lebih sering di kapsula interna, nuklei abu-abu dalam, dan
substansia alba. Status lakunar adalah kondisi dengan lakunae yang banyak, mengindikasikan adanya
penyakit pembuluh darah kecil yang berat dan menyebar. e. Penyakit Binswanger (juga dikenal sebagai
leukoencephalopati subkortikal) disebabkan oleh penyakit substansia alba difus. Pada penyakit ini,
perubahan vaskular yang terjadi adalah fibrohialinosis dari arteri kecil dan nekrosis fibrinoid dari
pembuluh darah otak yang lebih besar

Patofisiologi Penyakit degenarative pada otak, gangguan vaskular dan penyakit lainnya, serta gangguan
nutrisi, metabolic dan toksisitas secara langsung maupun tak langsung dapat menyebabkan sel neuron
mengalami kerusakan melalui mekanisme iskema, infark, inflamasi, deposisi protein abnormal sehingga
jumlah neuron menurun dan mengganggu fungsi dari area kortikal atauoun subkortikal. Di sampingitu,
kadar neurotransmitter di otak yang diperlukan untuk proses konduksi saraf juga akan berkurang. Hal ini
akan menimbulkan gangguan fungsi kognitif (daya pikir, daya ingat), gangguan sensori (perhatian
kesadaran), atau penyebabnya karena manifestasinya dapat berbeda. Keadaan patofisiologis dari hal
tersebut akan memicu konfusio akut demensia (Boedhi-Darmojo

Pemeriksaan penunjang: (Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003)

1. Pemeriksaan laboratorium rutin Pemeriksaan laboratorium hanya dilakukan begitu diagnosis klinis
demensia ditegakkan untuk membantu pencarian etiologi demensia khususnya pada demensia reversible,
walaupun 50% penyandang demensia adalah demensia Alzheimer dengan hasil laboratorium normal,
pemeriksaan laboratorium rutin sebaiknya dilakukan. Pemeriksaan laboratorium yang rutin dikerjakan
antara lain: pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, elektrolit serum, kalsium darah, ureum, fungsi hati,
hormone tiroid, kadar asam folat 2. Imaging Computed Tomography (CT) scan dan MRI (Magnetic
Resonance Imaging) telah menjadi pemeriksaan rutin dalam pemeriksaan demensia walaupun hasilnya
masih dipertanyakan. 3. Pemeriksaan EEG Electroencephalogram (EEG) tidak memberikan gambaran
spesifik dan pada sebagian besar EEG adalah normal. Pada Alzheimer stadium lanjut dapat memberi
gambaran perlambatan difus dan kompleks periodik. 4. Pemeriksaan cairan otak Pungsi lumbal
diindikasikan bila klinis dijumpai awitan demensia akut, penyandang dengan imunosupresan, dijumpai
rangsangan meningen dan panas, demensia presentasi atipikal, hidrosefalus normotensif, tes sifilis (+),
penyengatan meningeal pada CT scan. 5. Pemeriksaan genetika Apolipoprotein E (APOE) adalah suatu
protein pengangkut lipid polimorfik yang memiliki 3 allel yaitu epsilon 2, epsilon 3, dan epsilon 4. setiap
allel mengkode bentuk APOE yang berbeda. Meningkatnya frekuensi epsilon 4 diantara penyandang
demensia Alzheimer tipe awitan lambat atau tipe sporadik menyebabkan pemakaian genotif APOE
epsilon 4 sebagai penanda semakin meningkat. 6. Pemeriksaan neuropsikologis Pemeriksaan
neuropsikologis meliputi pemeriksaan status mental, aktivitas sehari-hari fungsional dan aspek kognitif
lainnya. (Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003) Pemeriksaan neuropsikologis penting untuk sebagai
penambahan pemeriksaan demensia, terutama pemeriksaan untuk fungsi kognitif, minimal yang
mencakup atensi, memori, bahasa, konstruksi visuospatial, kalkulasi dan problem solving. Pemeriksaan
neuropsikologi sangat berguna terutama pada kasus yang sangat ringan untuk membedakan proses
ketuaan atau proses depresi. Sebaiknya syarat pemeriksaan neuropsikologis memenuhi syarat sebagai
berikut: a. Mampu menyaring secara cepat suatu populasi b. Mampu mengukur progresifitas penyakit
yang telah diindentifikaskan demensia. 7. Sebagai suatu esesmen awal pemeriksaan Status Mental Mini
(MMSE) adalah test yang paling banyak dipakai. (Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003; Boustani,
2003 ;Houx,2002; Kliegel dkk, 2004) tetapi sensitif untuk mendeteksi gangguan memori ringan. (Tang-
Wei, 2003) Pemeriksaan status mental MMSE Folstein adalah test yang paling sering dipakai saat ini,
penilaian dengan nilai maksimal 30 cukup baik dalam mendeteksi gangguan kognisi, menetapkan data
dasar dan memantau penurunan kognisi dalam kurun waktu tertentu. Nilai di bawah 27 dianggap
abnormal dan mengindikasikan gangguan kognisi yang signifikan pada penderita berpendidikan tinggi.
(Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003). Penyandang dengan pendidikan yang rendah dengan nilai MMSE
paling rendah 24 masih dianggap normal, namun nilai yang rendah ini mengidentifikasikan resiko untuk
demensia. (Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003). Pada penelitian Crum R.M 1993 didapatkan median
skor MMSE adalah 29 untuk usia 18-24 tahun, median skor 25 untuk yang > 80 tahun, dan median skor
29 untuk yang lama pendidikannya >9 tahun, 26 untuk yang berpendidikan 5-8 tahun dan 22 untuk yang
berpendidikan 0-4 tahun. Clinical Dementia Rating (CDR) merupakan suatu pemeriksaan umum pada
demensia dan sering digunakan dan ini juga merupakan suatu metode yang dapat menilai derajat
demensia ke dalam beberapa tingkatan. (Burns,2002). Penilaian fungsi kognitif pada CDR berdasarkan 6
kategori antara lain gangguan memori, orientasi, pengambilan keputusan, aktivitas sosial/masyarakat,
pekerjaan rumah dan hobi, perawatan diri. Nilai yang dapat pada pemeriksaan ini adalah merupakan suatu
derajat penilaian fungsi kognitif yaitu; Nilai 0, untuk orang normal tanpa gangguan kognitif. Nilai 0,5,
untuk Quenstionable dementia. Nilai 1, menggambarkan derajat demensia ringan, Nilai 2,
menggambarkan suatu derajat demensia sedang dan nilai 3, menggambarkan suatu derajat demensia yang
berat. (Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003, Golomb,2001

Penatalksanaan

a. Untuk mengobati demensia alzheimer digunakan obat-obatan antikoliesterase seperti

Donepezil, Rivastigmine, Galantamine, Memantine b. Dementia vaskuler membutuhkan obat-obatan anti


platelet seperti Aspirin, Ticlopidine, Clopidogrel untuk melancarkan aliran darah ke otak sehingga
memperbaiki gangguan kognitif. c. Demensia karena stroke yang berturut-turut tidak dapat diobati, tetapi
perkembangannya bisa diperlambat atau bahkan dihentikan dengan mengobati tekanan darah tinggi atau
kencing manis yang berhubungan dengan stroke. d. Jika hilangnya ingatan disebabakan oleh depresi,
diberikan obat anti-depresi sepertiSertraline dan Citalopram. e. Untuk mengendalikan agitasi dan perilaku
yang meledak-ledak, yang bisa menyertai demensia stadium lanjut, sering digunakanobat anti-psikotik
(misalnya Haloperidol,Quetiapine dan Risperidone). Tetapi obat ini kurang efektif dan menimbulkan efek
samping yang serius. Obat anti-psikotik efektif diberikan mengalamihalusinasi atau paranoid

Dukungan atau Peran Keluarga a. Mempertahankan lingkungan yang familiar akan membantu
penderita tetap memiliki orientasi. Kalender yang besar, cahaya yang terang, jam dinding dengan angka-
angka yang besar atau radio juga bisa membantu penderita tetap memiliki orientasi. b. Menyembunyikan
kunci mobil dan memasang detektor pada pintu bisa membantu mencegah terjadinya kecelekaan pada
penderita yang senang berjalan-jalan. c. Menjalani kegiatan mandi, makan, tidur dan aktivitas lainnya
secara rutin, bisa memberikan rasa keteraturan kepada penderita. d. Memarahi atau menghukum penderita
tidak akan membantu, bahkan akan memperburuk keadaan. e. Meminta bantuan organisasi yang
memberikan pelayanan sosial dan perawatan, akan sangat membantu

Pencegahan dan Perawatan

Dimensia Hal yang dapat kita lakukan untuk menurunkan resiko terjadinya demensia diantaranya adalah
menjaga ketajaman daya ingat dan senantiasa mengoptimalkan fungsi otak, seperti : 1. Mencegah
masuknya zat-zat yang dapat merusak sel-sel otak seperti alkohol dan zat adiktif yang berlebihan. 2.
Membaca buku yang merangsang otak untuk berpikir hendaknya dilakukan setiap hari. 3. Melakukan
kegiatan yang dapat membuat mental kita sehat dan aktif: 4. Kegiatan rohani & memperdalam ilmu
agama. 5. Tetap berinteraksi dengan lingkungan, berkumpul dengan teman yang memiliki persamaan
minat atau hobi 6. Mengurangi stress dalam pekerjaan dan berusaha untuk tetap relaks dalam kehidupan
sehari-hari dapat membuat otak kita tetap sehat

Penyakit Alzeimer

Definisi Penyakit Alzheimer adalah penyebab terbesar terjadinya demensia. Dimana demensia adalah
gangguan fungsi intelektual dan memori didapat yang disebabkan oleh penyakit otak, yang tidak
berhubungan dengan gangguan tingkat kesadaran. Pasien dengan demensia harus mempunyai gangguan
memori selain kemampuan mental lain seperti berpikir abstrak, penilaian, kepribadian, bahasa, praksis
dan visuospasial. Defisit yang terjadi harus cukup berat sehingga mempengaruhi aktivitas kerja dan sosial
secara bermakna.

Epidemiologi

Penyakit alzheimer merupakan penyakit neurodegeneratif yang secara epidemiologi terbagi 2 kelompok
yaitu kelompok yang menderita pada usia kurang 58 tahun disebut sebagai early onset sedangkan
kelompok yang menderita pada usia lebih dari 58 tahun disebut sebagai late onset. Penyakit alzheimer
dapat timbul pada semua umur, 96% kasus dijumpai setelah berusia 40 tahun keatas. Schoenburg dan
Coleangus (1987) melaporkan insidensi berdasarkan umur: 4,4/1000.000 pada usia 30-50 tahun,
95,8/100.000 pada usia 80 tahun. Angka prevalensi penyakit ini per 100.000 populasi sekitar 300 pada
kelompok usia 60-69 tahun, 3200 pada kelompok usia 70-79 tahun, dan 10.800 pada usia 80 tahun.
Diperkirakan pada tahun 2000 terdapat 2 juta penduduk penderita penyakit alzheimer. Sedangkan di
Indonesia diperkirakan jumlah usia lanjut berkisar, 18,5 juta orang dengan angka insidensi dan prevalensi
penyakit alzheimer belum diketahui dengan pasti. Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi wanita lebih
banyak tiga kali dibandingkan laki-laki. Hal ini mungkin refleksi dari usia harapan hidup wanita lebih
lama dibandingkan laki-laki. Dari beberapa penelitian tidak ada perbedaan terhadap jenis kelamin.
Faktor-faktor risiko lain yang dari berbagai penelitian diketahui berhubungan dengan penyakit Alzheimer
adalah hiperetensi,diabetes melitus, dislipidemia,serta berbagai faktor risiko timbulnya aterosklerosis dan
gangguan sirkulasi pembuluh darah otak.

Mutasi beberapa gen familial penyakit Alzheimer pada kromosom 21,koromosim 14,dan kromosom 1
ditemukan pada kurang dari 5% pasien dengan penyakit Alzheimer. Sementara riwayat keluarga dan
munculnya alel e4 dari Apolipoprotein E pada lebih dari 30% pasien dengan penyakit ini
mengindikasikan adanya faktor genetik yang berperan pada munculnya penyakit ini. Seseorang dengan
riwayat keluarga pada anggota keluarga tingkat pertama mempunyai risiko dua sampai tiga kali menderita
penyakit Alzheimer, walaupun sebagaian besar pasien tidak mempunyai riwayat keluarga yang positif.
Walaupun alel e4 Apo E bukan penyebab timbulnya demensianamun munculnya alel ini merupakan
faktor utama yang mempermudah seseorang menderita penyakit Alzheimer

Etiologi

Penyebab yang pasti belum diketahui. Kemungkinan faktor genetik dan lingkungan yang sedang diteliti
(APOE atau ẞ Secretase). Berdasarkan hasil riset, menunjukan adanya hubungan antara kelainan
neurotransmitter dan enzim-enzim yang memetabolisme neurotransmitter tersebut. Dasar kelainan
patologi penyakit alzheimer terdiri dari degenerasi neuronal, kematian daerah spesifik jaringan otak yang
mengakibatkan gangguan fungsi kognitif dengan penurunan daya ingat secara progresif. Adanya
defisiensi faktor pertumbuhan atau asam amino dapat berperan dalam kematian selektif neuron.
Kemungkinan sel-sel tersebut mengalami degenerasi yang diakibatkan oleh adanya peningkatan kalsium
intraseluler, kegagalan metabolisme energi, adanya formasi radikal bebas atau terdapatnya produksi
protein abnormal yang non spesifik. Penyakit alzheimer adalah penyakit genetika, tetapi beberapa
penelitian telah membuktikan bahwa peran faktor genetika, tetapi beberapa penelitian telah membuktikan
bahwa peran faktor non-genetika (lingkungan) juga ikut terlibat, dimana faktor lingkungan hanya sebagai
pencetus faktor genetika. Faktor risiko terjadinya penyakit Alzheimer diantaranya yaitu usia lebih dari 65
tahun, faktor keluarga dan abnormalitas pada gen ApolipoproteinE (APOE) terutama pada ras kaukasian

Patogenesis

Pasien umumnya mengalami atrofi kortikal dan berkurangnya neuron secara signifikan terutama saraf
kolinergik. Kerusakan saraf kolinergik terjadi terutama pada daerah limbik otak (terlibat dalam emosi)
dan kortek (Memori dan pusat pikiran). Terjadi penurunan jumlah enzim kolinesterasi di korteks serebral
dan hippocampus sehingga terjadi penurunan sintesis asetilkolin di otak. Di otaknya juga dijumpai lesi
yang disebut senile (amyloid) plaques dan neurofibrillary tangles, yang terpusat pada daerah yang sama di
mana terjadi defisit kolinergik sehingga plak tersebut berisi deposit protein yang disebut B-amyloid.
Amyloid adalah istilah umum untuk fragment protein yang diproduksi tubuh secara normal. Beta-amyloid
adalah fragment protein yang terpotong dari suatu protein yang disebut amyloid precursor protein (APP),
yang dikatalisis oleh B-secretase. Pada otak orang sehat, fragmen protein ini akan terdegradasi dan
tereliminasip

Sejumlah patogenesis penyakit alzheimer yaitu:

1. Faktor genetik Beberapa peneliti mengungkapkan 50% prevalensi kasus alzheimer ini diturunkan
melalui gen autosomal dominant. Individu keturunan garis pertama pada keluarga penderita alzheimer
mempunyai resiko menderita demensia 6 kali lebih besar dibandingkan kelompok kontrol normal.
Pemeriksaan genetika DNA pada penderita alzheimer dengan familial early onset terdapat kelainan lokus
pada kromosom 21 diregio proximal log arm, sedangkan pada familial late onset didapatkan kelainan
lokus pada kromosom 19. Begitu pula pada penderita down syndrome mempunyai kelainan gen
kromosom 21, setelah berumur 40 tahun terdapat neurofibrillary tangles (NFT), ssenile plaque dan
penurunan. Marker kolinergik pada jaringan otaknya yang menggambarkan kelainan histopatolgi pada
penderita alzheimer. Hasil penelitian penyakit alzheimer terhadap anak kembar menunjukkan 40-50%
adalah monozygote dan 50% adalah dizygote. Keadaan ini mendukung bahwa faktor genetik berperan
dalam penyakit alzheimer. Pada sporadik non familial (50-70%), beberapa penderitanya ditemukan
kelainan lokus kromosom 6, keadaan ini menunjukkan bahwa kemungkinan faktor lingkungan
menentukan ekspresi genetika pada alzheimer.

2. Faktor infeksi Ada hipotesa menunjukkan penyebab infeksi virus pada keluarga penderita alzheimer
yang dilakukan secara immuno blot analisis, ternyata diketemukan adanya antibodi reaktif. Infeksi virus
tersebut menyebabkan infeksi pada susunan saraf pusat yang bersipat lambat, kronik dan remisi. Beberapa
penyakit infeksi seperti Creutzfeldt- Jacob disease dan kuru, diduga berhubungan dengan penyakit
alzheimer. Hipotesa tersebut mempunyai beberapa persamaan antara lain: a. Manifestasi klinik yang
sama. b. Tidak adanya respon imun yang spesifik c. Adanya plak amyloid pada susunan saraf pusat d.
Timbulnya gejala mioklonus. e. Adanya gambaran spongioform

3. Faktor lingkungan Ekmann (1988), mengatakan bahwa faktor lingkungan juga dapat berperan dalam
patogenesa penyakit alzheimer. Faktor lingkungan antara lain, aluminium, silicon, mercury, zinc.
Aluminium merupakan neurotoksik potensial pada susunan saraf pusat yang ditemukan neurofibrillary
tangles (NFT) dan senile plaque (SPINALIS). Hal tersebut diatas belum dapat dijelaskan secara pasti,
apakah keberadaan aluminum adalah penyebab degenerasi neurosal primer atau sesuatu hal yang tumpang
tindih. Pada penderita alzheimer, juga ditemukan keadan ketidakseimbangan merkuri, nitrogen, fosfor,
sodium, dengan patogenesa yang belum jelas. Ada dugaan bahwa asam amino glutamat akan
menyebabkan depolarisasi melalui reseptor N-methy D-aspartat sehingga kalsium akan masuk ke
intraseluler (Cairan- influks) danmenyebabkan kerusakan metabolisma energi seluler dengan akibat
kerusakan dan kematian neuron.

4. Faktor imunologis Behan dan Felman (1970) melaporkan 60% pasien yang menderita alzheimer
didapatkan kelainan serum protein seperti penurunan albumin dan peningkatan alpha protein, anti tripsin
alphamarcoglobuli dan haptoglobuli. Heyman (1984), melaporkan terdapat hubungan bermakna dan
meningkat dari penderita alzheimer dengan penderita tiroid. Tiroid Hashimoto merupakan penyakit
inflamasi kronik yang sering didapatkan pada wanita muda karena peranan faktor immunitas.

5. Faktor trauma. Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan penyakit alzheimer dengan trauma
kepala. Hal ini dihubungkan dengan petinju yang menderita demensia pugilistik, dimana pada otopsinya
ditemukan banyak neurofibrillary tangles

6. Faktor neurotransmiter Perubahan neurotransmitter pada jaringan otak penderita Alzheimer


mempunyai yang sangat penting seperti: peran a. Asetilkolin Barties et al (1982) mengadakan penelitian
terhadap aktivitas spesifik neurotransmiter dgncara biopsi sterotaktik dan otopsi jaringan otak pada
penderita alzheimer didapatkan penurunan aktivitas kolinasetil transferase, asetikolinesterase dan
transport kolin serta penurunan biosintesa asetilkolin. Adanya defisit presinaptik dan postsynaptic
kolinergik ini bersifat simetris pada korteks frontalis, temporallis superior, nukleus basalis, hipokampus.
Kelainan neurotransmiter asetilkoline merupakan kelainan yang selalu ada dibandingkan jenis
neurotransmiter lainnyapd penyakit alzheimer, dimana pada jaringan otak/biopsinya selalu didapatkan
kehilangan cholinergik Marker. Pada penelitian dengan pemberian scopolamine pada orang normal, akan
menyebabkan berkurang atau hilangnya daya ingat. Hal ini sangat mendukung hipotesa kolinergik
sebagai patogenesa penyakit Alzheimer. B. Noradrenalin Kadar metabolisme norepinefrin dan dopimin
didapatkan menurun pada jaringan otak penderita alzheimer. Hilangnya neuron bagian dorsal lokus
seruleus yang merupakan tempat yang utama noradrenalin pada korteks serebri, berkorelasi dengan defisit
kortikal noradrenergik

Gejala Klinik

Penyakit ini menyebabkan penurunan kemampuan intelektual penderita secara progresif yang
mempengaruhi fungsi sosialnya, meliputi penurunan ingatan jangka pendek atau kemampuan belajar atau
menyimpan informasi, penurunan kemampuan berbahasa, kesulitan menemukan kata atau kesulitan
memahami pertanyaan atau petunjuk, ketidakmampuan menggambar atau mengenal gambar dua-tiga
dimensi, dan lain-lain

Diagnosa Menegakkan penyakit Alzheimer harus dilakukan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang teliti, serta didukung oleh pemeriksaan penunjang yang tepat. Untuk diagnosis klinis penyakit
Alzheimer diterbitkan suatu konsensus oleh the National Institute of Neurological and Communicative
Disorders and Stroke (NINCDS) dan the Alzheimer's Disease and Related Disorders Association
(ADRDA). (Tabel 1) A. Anamnesa Anamnesis harus terfokus pada awitan (onset), lamanya, dan
bagaimana laju progresi penurunan fungsi kognitif yang terjadi. Seorang usia lanjut dengan kehilangan
memori yang berlangsung lambat selama beberapa tahun kemungkinan menderita penyakit Alzheimer.
Hampir 75% pasien penyakit Alzheimer dimulai dengan gejala memori,tetapi gejala awal juga dapat
meliputi kesulitan mengurus keuangan, berbelanja,mengikuti perintah,menemukan kata,atau mengemudi.
Perubahan kepribadian,disinhibisi,peningkatan berat badan atau obsesi terhadap makanan mengarah pada
fronto-temporal dementia (FTD),bukan penyakit Alzheimer. Pada pasien yang menderita penyakit
serebrovaskular dapat sulit ditentukan apakah demensia yang terjadi adalah penyakit Alzheimer,demensia
multi-infark,atau campuran keduanya. Bila dikaitkan dengan berbagai penyebab demensia,makan
anamnesis harus diarahkan pula pada berbagai fator risiko seperti trauma kepala berulang,infeksi susunan
saraf pusat akibat sifilis,konsumsi alkohol berlebihan, intoksikasi bahan kimia pada pekerja pabrik, serta
penggunaan obat-obat jangka panjang (sedatif dan tranquilizer). Riwayat keluarga juga harus selalu
menjadi bagian dari evaluasi,mengingat bahwa pada penyakit Alzheimer terdapat kecenderungan familial.
b. Pemeriksaan Fisik dan Neurologis Umumnya penyakit Alzheimer tidak menunjukkan gangguan sistem
motork kecuali pada tahap lanjut. Kekakuan motorik dan bagian tubuh aksial, hemiparesis,
parkinsonisme, mioklonus, atau berbagai gangguan motorik lain umumnya timbul pada FTD, Demensia
dengan Lewy Body (DLB), atau demensia multi-infark. c. Pemeriksaan Kognitif dan Neuropsikiatrik

Pemeriksaan yang sering digunakan untuk evaluasi dan konfirmasi penurunan fungsi kognitif adalah the
mini mental status examination (MMSE), yang dapat pula digunakan untuk memantau perjalanan
penyakit. Pada penyakit Alzheimer defisit yang terlibat berupa memori episodik,category generation
(menyebutkan sebanyak-banyaknya binatang dalam satu menit), dan kemampuan visuokonstruktif.
Defisit pada kemampuan verbal dan memori episodik visual sering merupakan abnormalitas
neuropsikologis awal yang terlihat pada penyakit Alzheimer,dan tugas yang membutuhkan pasien untuk
menyebutkan ulang daftar panjang kata atau gambar setelah jeda waktu tertentu akan menunjukkan defisit
pada sebagian pasien penyakit Alzheimer. Pengkajian status fungsional harus juga dilakukan. Dokter
harus menentukan dampak kelainan terhadap memori pasien,hubungan di komunitas,hobi,penilaian,
berpakaian, dan makan. Pengetahuan mengenai status fungsional pasien sehari-hari akan membantu
mengatur pendekatan terapi dengan keluarga

Demensia vaskular

Demensia merupakan salah satu penyakit yang paling sering terjadi pada orang-orang dengan usia lanjut.
Demensia adalah suatu sindroma penurunan kemampuan intelektual secara progresif yang menyebabkan
kemunduran kognitif dan fungsional, sehingga mengakibatkan gangguan fungsi sosial pekerjaan, dan
aktivitas harian. Demensia vaskuler merupakan suatu kelompok kondisi heterogen yang meliputi semua
sindroma demensia akibat iskemik, perdarahan, anoksik atau hipoksik otak dengan penurunan fungsi
kognitif mulai dari yang ringan sampai paling berat dan tidak harus dengan gangguan memori yang
menonjol.4) Demensia vaskular terdiri dari tiga subtipe yaitu: 1. Demensia vaskular pasca stroke yang
mencakup demensia akibat infark lokal, demensia multi-infark, dan stroke akibat perdarahan. Biasanya
mempunyai korelasi waktu yang jelas antara stroke dengan terjadinya demensia. 2. Demensia vaskular
subkortikal, yang meliputi infark lakuner dan penyakit Binswanger dengan kejadian Transient Ischemic
Attack (TIA) atau stroke yang sering tidak terdeteksi namun memiliki faktor resiko vaskular. 3. Demensia
tipe campuran, yaitu demensia dengan patologi vaskuler dalam kombinasi dengan demensia Alzheimer
(AD). Tipe demensia yang paling sering selain akibat penyakit Alzheimer adalah demensia vaskular,
yaitu demensia yang secara kausatif berhubungan dengan penyakit serebrovaskular. Demensia vaskular
berjumlah 15-30 persen dari semua kasus demensia. Demensia vaskular paling sering ditemukan pada
orang yang berusia antara 60-70 tahun dan lebih sering pada laki-laki dibandingkan wanita. Hipertensi
merupakan predisposisi seseorang terhadap penyakit ini. (1.2.34.6) Adapun pembagian demensia vaskular
secara klinis adalah sebagai berikut: 1. Demensia vaskular pasca stroke Untuk demensia karena adanya
infark tertentu akan ditemukan lesi pada girus angularis, thalamus, basal forebrain, daerah sekitar arteri
serebri posterior, dan arteri serebri anterior. Sedangkan untuk Multiple Infark Dementia (MID) akan
didapatkan adanya perdarahan intraserebral. 2. Demensia vaskular subkortikal

Terdapat lesi iskemik pada substansia alba, infark lakuner subkortikal, infark non-lakuner subkortikal, 3.
Demensia vaskular tipe campuran penyakit Alzheimer dan penyakit serebrovaskular

ETIOLOGI
Penyebab demensia yang paling sering adalah penyakit Alzheimer, stroke, dan berbagai penyakit yang
menyebabkan gangguan serebrovaskular. Penyebab timbulnya penyakit Alzheimer tidak diketahui, tetapi
diduga melibatkan faktor genetik karena penyakit ini ditemukan banyak disebabkan atau dipengaruhi oleh
beberapa kelainan gen tertentu. Pada serangan stroke yang berturut-turut atau berulang akan
menimbulkan demensia. Demensia juga bisa terjadi setelah seseorang mengalami cedera otak atau cardiac
arrest. Penyebab lain dari demensia adalah penyakit pick, parkinson, dan AIDS. (5) Demensia vaskular
diakibatkan oleh adanya penyakit pembuluh darah serebral. Adanya infark tunggal di lokasi tertentu,
episode hipotensi, leukoaraiosis, infark komplit, dan perdarahan juga dapat menyebabkan timbulnya
kelainan kognitif. Sindrom demensia yang terjadi pada demensia vaskular merupakan konsekuensi dari
lesi hipoksia, iskemia, atau adanya perdarahan di otak. (6) Studi tentang penyebab kematian pada pasien
dengan demensia menunjukkan bahwa gangguan sistem peredaran darah (misalnya, penyakit jantung
iskemik) adalah penyebab langsung kematian paling umum pada demensia vaskular, diikuti oleh penyakit
sistem pernapasan (misalnya, pneumonia). Prevalensi demensia vaskular terjadi lebih tinggi pada pria
dibandingkan pada wanita dan insidensi meningkat dengan usia.

EPIDEMIOLOGI Di negara-negara barat, demensia vaskular menduduki urutan kedua terbanyak setelah
penyakit Alzheimer. Tetapi karena demensia vaskular merupakan tipe demensia yang terbanyak pada
beberapa negara Asia dengan populasi penduduk yang besar maka demensia vaskular merupakan tipe
demensia yang terbanyak di dunia. Prevalensi demensia vaskular bervariasi antar negara, tetapi prevalensi
terbesar ditemukan di negara-negara maju. Tingkat prevalensi demensia adalah 9 kali lebih tinggi pada
pasien yang telah mengalami stroke. Satu tahun setelah stroke, 25% pasien masuk dengan onset baru dari
demensia. (4) Di Kanada, insiden rate pada usia ≥ 65 tahun besarnya 2,52 per 1000 penduduk, sedangkan
di Jepang prevalensi demensia vaskular besarnya 4,8%.The European Community Concerted Action on
Epidemiology and Prevention of Dementia mendapatkan prevalensi berkisar dari 1,5/100 wanita usia 75-
79 tahun di Inggris hingga 16,3/100 laki-laki usia di atas 80 tahun di Italia. (6) Demensia vaskular
merupakan demensia yang dapat dicegah sehingga mempunyai peranan yang besar dalam menurunkan
angka kejadian demensia dan perbaikan kualitas hidup orang-orang dengan usia lanjut. (2)

FAKTOR RESIKO Prevalensi demensia vaskular akan semakin meningkat seiring dengan
meningkatnya usia seseorang, dan lebih sering dijumpai pada laki-laki. Sebuah penelitian di Swedia
menunjukkan resiko terjadinya demensia vaskular pada laki-laki sebesar 34,5% dan perempuan sebesar
19,4%. (1.4.7.18-21)) Selain itu, faktor yang harus ditelusuri adalah riwayat penyakit terdahulu. Dari
penelitian penderita stroke didapatkan prevalensi demensia yang cukup tinggi. Dari evaluasi 252
penderita yang 3 bulan sebelumnya menderita stroke, didapatkan hasil bahwa 26,3% dari mereka
menderita demensia. Angka ini cukup signifikan karena sangat jauh dari kelompok pembanding (kontrol)
yaitu 3,2%. Pada pasien-pasien dengan Transient Ischemic Attack (TIA) didapatkan 23,5% menderita
demensia, 23,5% menderita demensia borderline, dan 53% tidak ditemukan gejala demensia. (22)

PATOGENESIS Demensia vaskular, atau gangguan kognitif vaskular, adalah hasil akhir dari kerusakan
otak yang disebabkan oleh penyakit serebrovaskular. Adanya infark multiple, infark lakunar, infark
tunggal di daerah tertentu pada otak, sindrom Binswanger, angiopati amiloid serebral, hipoperfusi,
perdarahan, dan berbagai mekanisme lain menjadi patogenesis timbulnya demensia vaskular. 1. Infark
Multiple Demensia multi infark merupakan akibat dari infark multipel dan bilateral. Terdapat riwayat satu
atau beberapa kali serangan stroke dengan gejala fokal seperti
hemiparesis/hemiplegi, afasia, hemianopsia. Pseudobulbar palsy sering disertai disartria, gangguan
berjalan (small step gait), forced laughing/crying, refleks Babinski dan inkontinensia. Computed
tomography imaging (CT scan) otak menunjukkan hipodensitas bilateral disertai atrofi kortikal, kadang-
kadang disertai dilatasi ventrikel. (6.7) 2. Infark Lakunar Lakunar adalah infark kecil, diameter 2-15 mm,
disebabkan kelainan pada small penetrating arteries di daerah diencephalon, batang otak dan sub kortikal
akibat dari hipertensi. Pada sepertiga kasus, infark lakunar bersifat asimptomatik. Apabila menimbulkan
gejala, dapat terjadi gangguan sensorik, transient ischaemic attackhemiparesis atau ataksia. Bila jumlah
lakunar bertambah maka akan timbul sindrom demensia, sering disertai pseudobulbar palsy. Pada derajat
yang berat terjadi lacunar state. CT scan otak menunjukkan hipodensitas multipel dengan ukuran kecil,
dapat juga tidak tampak pada CT scan otak karena ukurannya yang kecil atau terletak di daerah batang
otak. Magnetic resonance imaging (MRI) otak merupakan pemeriksaan penunjang yang lebih akurat
untuk menunjukkan adanya lakunar terutama di daerah batang otak (pons). (6.7.13) 3. Infark Tunggal di
Daerah Strategis Strategic single infarct dementia merupakan akibat lesi iskemik pada daerah kortikal
atau subkortikal yang mempunyai fungsi penting. Infark girus angularis menimbulkan gejala afasia
sensorik, aleksia, agrafia, gangguan memori, disorientasi spasial dan gangguan konstruksi. Infark daerah
distribusi arteri serebri posterior menimbulkan gejala amnesia disertai agitasi, halusinasi visual, gangguan
visual dan kebingungan. Infark daerah distribusi arteri serebri anterior menimbulkan abulia, afasia
motorik dan apraksia. Infark lobus parietalis menimbulkan gangguan kognitif dan tingkah laku yang
disebabkan gangguan persepsi spasial. Infark pada daerah distribusi arteri paramedian thalamus
menghasilkan thalamic dementia (6,7,13) 4. Sindrom Binswanger Sindrom Binswanger menunjukkan
demensia progresif dengan riwayat stroke, hipertensi dan kadang-kadang diabetes melitus. Sering disertai
gejala pseudobulbar palsy, kelainan piramidal, gangguan berjalan (gait) dan inkontinensia. Terdapat atrofi
white matter, pembesaran ventrikel dengan korteks serebral yang normal. Faktor risikonya adalah small
artery diseases (hipertensi, angiopati amiloid), kegagalan autoregulasi aliran darah di otak pada usia
lanjut, hipoperfusi periventrikel karena kegagalan jantung, aritmia dan hipotensi. (6 (6.7.13-15) 5.
Angiopati Amiloid Serebral Terdapat penimbunan amiloid pada tunika media dan adventisia arteriola
serebral. Insidensinya meningkat dengan bertambahnya usia. Kadang-kadang terjadi demensia dengan
onset mendadak. (67) 6. Hipoperfusi Demensia dapat terjadi akibat iskemia otak global karena henti
jantung, hipotensi berat, hipoperfusi dengan/tanpa gejala oklusi karotis, kegagalan autoregulasi arteri
serebral. kegagalan fungsi pernafasan. Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan lesi vaskular di otak yang
multipel terutama di daerah white matter. (6 (6,7) 7. Perdarahan Demensia dapat terjadi karena lesi
perdarahan seperti hematoma subdural kronik. gejala sisa dari perdarahan sub arachnoid dan hematoma
serebral. Hematoma multipel berhubungan dengan angiopati amiloid serebral idiopatik atau herediter. 8.
Mekanisme Lain Mekanisme lain dapat mengakibatkan demensia termasuk kelainan pembuluh darah
inflamasi atau non inflamasi (poliartritis nodosa, limfomatoid granulomatosis, giant-cell arteritis, dan
sebagainya)

MANIFESTASI KLINIK

Serangan demensia vaskular terjadi secara mendadak, dengan didahului oleh Transient Ischemic Attack
(TIA) atau stroke, risiko terjadinya demensia vaskular 9 kali pada tahun pertama setelah serangan dan
semakin menurun menjadi 2 kali selama 25 tahun kemudian. Adanya riwayat dari faktor risiko penyakit
sebero vaskular harus disadari tentang kemungkinan terjadinya demensia vaskular. (16) Gambaran klinik
penderita demensia vaskular menunjukkan kombinasi dari gejala fokal neurologik, kelainan
neuropsikologik dan gejala neuropsikiatrik. Gejala fokal neurologik dapat berupa gangguan motorik,
gangguan sensorik, dan hemianopsia. Kelainan neuropsikologik berupa gangguan memori disertai dua
atau lebih kelainan kognitif lain. seperti atensi, bahasa, visuospasial dan fungsi eksekutif. Gejala
neuropsikiatrik sering terjadi pada demensia vaskular, dapat berupa perubahan kepribadian (paling
sering), depresi, mood labil, delusion, apati, abulia, tidak adanya spontanitas. Depresi berat terjadi pada
25-50% pasien dan lebih dari 60% mengalami sindrom depresi dengan gejala paling sering yaitu
kesedihan, ansietas, retardasi psikomotor atau keluhan somatik. Psikosis dengan ide-ide seperti waham
terjadi pada ± 50%, termasuk pikiran curiga, sindrom Capgras. Waham paling sering terjadi pada lesi
yang melibatkan struktur temporoparietal. (17)

DIAGNOSIS

A. Kriteria Diagnostik Diagnosis demensia vaskular ditegakkan melalui dua tahap, pertama menegakkan
diagnosis demensia itu sendiri, kedua mencari proses vaskular yang mendasari. Terdapat beberapa kriteria
diagnostik untuk menegakkan diagnosis demensia vaskular, yaitu: (5.12) 1. Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorder edisi ke empat (DSM-IV) 2. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa (PPDGJ III) 3. International Classification of Diseases (ICD-10) 4. The state of California
Alzheimer's Disease Diagnostic and Treatment Centers (ADDTC) 5. National Institute of Neurological
Disorders and Stroke and the Association Internationale pour la Recherche Et l'enseignement en
Neurosciences (NINDS- AIREN) Diagnosis demensia vaskular menurut DSM-IV adalah menggunakan
kriteria sebagai berikut. a) Adanya defisit kognitif multipleks yang dicirikan oleh gangguan memori dan
satu atau lebih dari gangguan kognitif berikut ini: 1) Afasia (gangguan berbahasa) 2) Apraksia (gangguan
kemampuan untuk mengerjakan aktivitas motorik, sementara fungsi mototik normal). 3) Agnosia (tidak
dapat mengenal atau mengidentifikasi suatu benda walaupun fungsi sensoriknya normal). 4) Gangguan
dalam fungsi eksekutif (merancang, mengorganisasikan, daya abstraksi, dan membuat urutan). b) Defisit
kognitif pada kriteria a) yang menyebabkan gangguan fungsi sosial dan okupasional yang jelas. c) Tanda
dan gejala neurologik fokal (refleks fisiologik meningkat, refleks patologik positif, paralisis
pseudobulbar, gangguan langkah, kelumpuhan anggota gerak) atau bukti laboratorium dan radiologik
yang membuktikan adanya gangguan peredaran darah otak (GPOD), seperti infark multipleks yang
melibatkan korteks dan subkorteks, yang dapat menjelaskan kaitannya dengan munculnya gangguan. d)
Defisit yang ada tidak terjadi selama berlangsungnya delirium. Dengan menggunakan kriteria diagnostik
yang berbeda didapatkan prevalensi demensia vaskular yang berbeda, dimana prevalensi tertinggi
didapatkan bila menggunakan kriteria DSM-IV dan terendah bila menggunakan kriteria NINDS-AIREN.
Consortium of Canadian Centers for Clinical Cognitive Research menyatakan bahwa tidak ada kriteria
diagnostik yang lebih baik dari berbagai kriteria yang ada. (12) DSM-IV mempunyai sensitivitas yang
tinggi tetapi spesifitasnya rendah. ADDTC penggunaanya lebih terbatas pada demensia vaskular jenis
iskemik sedangkan NINDS-AIREN dapat digunakan untuk semua mekanisme demensia vaskular
(hipoksia, iskemik, atau perdarahan). Kriteria ADDTC dan NINDS-AIREN mempunyai tiga tingkat
kepastian (probable, possible, definite), memerlukan hubungan waktu antara stroke dan demensia serta
bukti morfologi adanya stroke

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mendapatkan data yang dapat
memberi nilai tambah dalam menunjang diagnosis. 1. Pencitraan Dengan adanya fasilitas pemeriksaan
CT scan kepala atau MRI dapat dipastikan adanya perdarahan atau infark (tunggal atau multipel) yang
besar serta lokasinya. Juga dapat disingkirkan kemungkinan gangguan struktur lain yang dapat
memberikan gambaran mirip dengan demensia vaskular, misalnya metastasis dari neoplasma. Adapun
gambaran yang didapatkan dari pemeriksaan CT scan dan MRI adalah sebagai berikut: a. Tidak adanya
lesi serebrovaskular pada CT scan atau MRI adalah bukti terhadap etiologi vaskular. b. Gambaran CT
scan atau MRI yang mendukung demensia vaskular adalah infark multiple bilateral yang terletak pada
hemisfer yang dominan dan struktur limbik, stroke lacunar multipel atau adanya lesi periventricula yang
meluas sampai ke daerah substansia alba. c. Pasien dengan mild cognitive impairment (MCI) vaskular,
yang merupakan stadium prodromal untuk demensia vaskular subkorteks, memiliki gambaran MRI yang
berbeda dari pasien dengan MCI amnestik, sebagai tahap prodromal untuk penyakit Alzheimer. MCI
vaskular menunjukkan lesi infark lacunar yang lebih luas. adanya leukoaraiosis. atrofi yang minimal pada
hippocampal dan entorhinal cortikal, sedangkan untuk MCI amnestik menunjukkan keadaan yang
sebaliknya. Menurut studi tahun 2000 oleh Nagata et al, (8) positron emission tomography (PET) dapat
digunakan untuk membedakan demensia vaskular dengan penyakit Alzheimer. Pada pasien dengan
demensia vaskular terjadi hipoperfusi dan hipometabolisme pada lobus frontal, sedangkan pada penyakit
Alzheimer dapat ditemukan adanya hipoperfusi dan hipometabolisme tanda parietotemporal

2. Laboratorium Digunakan untuk menentukan penyebab atau faktor resiko yang mengakibatkan
timbulnya stroke dan demensia. Selain itu, pengujian laboratorium juga dilakukan untuk menyingkirkan
diagnosis selain demensia. Pemeriksaan darah tepi, laju endap darah (LED), kadar glukosa, glycosylated
Hb, tes serologi untuk sifilis, HIV, kolesterol, trigliserida, fungsi tiroid, profil koagulasi, kadar asam urat,
lupus antikoagulan, antibodi antikardiolipin dan pemeriksaan lain yang dianggap perlu. 3. Pemeriksaan
Lainnya Pemeriksaan yang dapat digunakan untuk melakukan evaluasi untuk kasus demensia vaskular
adalah echocardiography, pemeriksaan Doppler, potensial cetusan, arteriografi, dan EEG.

PENATALAKSANAAN

Terapi untuk demensia vaskular ditujukan kepada penyebabnya, mengendalikan faktor risiko (pencegahan
sekunder) serta terapi untuk gejala neuropsikiatrik dengan memperhatikan interaksi obat. Selain itu
diperlukan terapi multimodalitas sesuai gangguan (1) kognitif dan gejala perilakunya." Banyak obat sudah
diteliti untuk mengobati demensia vaskular, tetapi belum banyak yang berhasil dan tidak satupun obat
dapat direkomendasikan secara postif. Vasodilator seperti hidergine mempunyai efek yang postif dan
pemberian secara oral active haemorheological agent seperti pentoxiylline mampu memperbaik fungsi
kognitif penderita. Pemberian acetylcholineesretarse inhibito seperti donepezil, rivastigmine and
galantiamin mampu meperbaiki fungsi kognitif penderita. Akhir-akhir ini sedang diteliti memantine untuk
pengobatan demensia vaskular. Efektifitas dari memantine terhadap demensia vaskuler diteliti
menggunakan rancangan randomised, double-blind, placebo controlled yang mengikut sertakan 321
penderita di Perancis dan 579 penderita di Inggris. Hasil penelitian menunjukkan perbaikan fungsi
kognitif yang bermakna pada kelompok yang diberikan memantine (1.23) Penelitian di Inggris yang
meliputi 54 pusat studi melakukan penelitian untuk menilai efektifitas dan keamanan dari memantine
terhadap penderita demensia vaskular ringan dan sedang. Rancangan penelitian double-blind, parallel,
randomised menggunakan kontrol mengikut sertakan 579 penderita. Dosis memantine sebesar 20 mg
diberikan setiap hari selama 28 minggu. Hasil penelitian menunjukkan penderita yang diberikan
memantine menunjukkan perbaikan fungsi kognitif. Efek samping yang ditemukan adalah pusing dan
menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok pelakuan. Ternyata
memantine aman dan dapat diterima oleh penderita. (24.25)

PENCEGAHAN

Demensia vaskular dapat dicegah dengan mengatasi penyakit yang merupakan faktor resiko. Menurut
Sachdev, ada beberapa strategi pencegahan demensia vaskular yang dapat dilakukan sebagai berikut: 1.
Obati hipertensi secara optimal 2. Obati diabetes mellitus 3. Tanggulangi hiperlipidemia 4. Anjurkan
pasien untuk berhenti merokok dan batasi alkohol 5. Beri antikoagulan bila ada atrial fibrilasi 6. Beri
terapi antiagregasi trombosit pada yang beresiko tinggi 7. Lakukan carotid endarterectomy pada stenosis
yang berat (>70%) 8. Gunakan diet untuk mengontrol diabetes, obesitas, dan hiperlipidemia 9. Anjurkan
mengubah gaya hidup (misalnya: mengurangi kegemukan, olahraga, mengurangi stres, dan mengurangi
konsumsi garam) 10. Intervensi dini pada stroke dan TIA dengan obat neuroprotektif (misalnya:
propentofylline, calcium antagonist, N- methyl- D- aspartate receptor antagonists, antioxidants) 11.
Sediakan rehabilitasi intensif setelah stroke

Anda mungkin juga menyukai