DI DESA SENTONG
Di susun oleh :
Ayu Lestari
(14201.09.17007)
GENGGONG - PROBOLINGGO
2021
1. Definisi
Demensia merupakan sindrom yang ditandai oleh berbagai gangguan fungsi
kognitif antara lain intelegensi, belajar dan daya ingat, bahasa, pemecahan masalah,
orientasi, persepsi, perhatian dan konsentrasi, penyesuaian dan kemampuan
bersosialisasi (Corwin, 2009).
Demensia merupakan suatu gangguan fungsi daya ingat yang terjadi perlahan-
lahan, serta dapat mengganggu kinerja dan aktivitas kehidupan sehari-hari (Atun,
2010).
Menurut Josep J. Gallo dkk., 1998 bahwa demensia adalah suatun sindrom
yang dikarakteristikkan dengan adanya kehilangan kapasitas intelektual melibatkan
tidak hanya ingatan (memori), namun juga kognitif, bahasa, kemampuan visouspasial,
dan kepribadian. Kelima komponen tersebut tidak harus terganggu seluruhnya, namun
pada sebagian besar kasus, kelima komponen ini memang terganggu dalam derajat
yang bervariasi. Demensia menyebabkan gangguan intelektual dalam keadaan sadar
penuh, dan kasus ini bisa bersifat progresif, stabil atau kekambuhan (Mujahidullah,
2012).
Jadi dapat disimpulkan bahwa demensia adalah suatu gangguan fungsi
kognitif, yang meliputi intelegensi, belajar dan daya ingat, bahasa, pemecahan
masalah, orientasi, persepsi, perhatian dan konsentrasi, penyesuaian dan kemampuan
bersosialisasi yang dapat mengganggu aktivitas kehidupan sehari-hari.
2. Etiologi
Menurut Nugroho (2008), etiologi dari demensia dapat digolongkan menjadi
3 golongan besar yaitu :
a. Sindroma demensia dengan penyakit yang etiologi dasarnya tidak dikenal
kelainan yaitu : terdapat pada tingkat subseluler atau secara biokimiawi pada
system enzim, atau pada metabolism
b. Sindroma demensia dengan etiologi yang dikenal tetapi belum dapat diobati,
penyebab utama dalam golongan ini diantaranya :
1) Penyakit degenerasi spino - serebelar
2) Subakut leuko-esefalitis sklerotik fan bogaert
3) Khorea Hungtington
c. Sindrome demensia dengan etiologi penyakit yang dapat diobati, dalam golongan
ini diantranya :
1) Penyakit cerrebro kardiovaskuler
2) Penyakit-penyakit metabolik
3) Gangguan nutrisi
4) Akibat intoksikasi menahun
3. Klasifikasi
Menurut Mujahidullah (2012), Secara garis besar demensia pada usia lanjut
dapat dikategorikan dalam 4 golongan, yaitu :
a. Demensia degeneratif primer (50-60%)
Dikenal juga dengan nama demensia Alzheimer, adalah suatu keadaan
yang meliputi perubahan dari jumlah, struktur dan fungsi neuron di daerah
tertentu dari korteks otak. Terjadi suatu kekusutan neurifiblier (neurofiblier
tangles) dan plak-plak neurit dan perubahan aktivitas kolinergik di daerah-daerah
tertentu di otak. Penyebab tidak diketahui dengan pasti, tetapi beberapa teori
menerangkan kemungkinan adanya faktor kromosom atau genetik, radikal bebas,
toksi amiloid, pengaruh logam alumunium, akibat infeksi virus lambat atau
pengaruh lingkungan yang lain.
Menurut Walley, 1997 bahwa gejala klinik demensia alzheimer biasanya
berupa permulaannya yang gradual yang berlanjut secara lambat, biasanya dapat
dibedakan dalam 3 fase, yaitu :
1) Fase I : Ditandai dengan gangguan memori subyektif, konsentrasi buruk dan
gangguan visuo-spatial. Lingkungan yang biasa menjadi seperti asing, sukar
menemukan jalan pulang yang biasa dilalui. Penderita mungkin menegluhkan
agnosia kanan-kiri. Bahkan pada fase dini ini rasa tilikan (insight) sering
sudah terganggu.
2) Fase II : Terjadi tanda yang mengarah ke kerusakan fokal-kortikal, walaupun
tidak terlihat pola defisit yang khas. Gejala yang disebabkan oleh disfungsi
lobus parientalis (misal agnosia, dispraksia dan akalkulia) sering terjadi.
Gejala neurologik mungkin termasuk antara lain tanggapan ekstensor
plantaris dan beberapa kelemahan fasial. Delusi dan halusianasi mungkin
terjadi, walaupun pembicaraan mungkin masih kelihatan normal.
3) Fase III : Pembicaraan terganggu berat, mungkin sama sekali hilang.
Penderita tampak terus –menerus apatik. Banyak penderita tidak mengenali
diri sendiri atau orang yang dikenalnya. Dengan berlanjutnya penyakit,
penderita sering hanya berbaring di tempat tidur, inkontinensia baik urin
maupun alvi. Sering disertai serangan kejang epileptik dranmal. Gejala
neurologik menunjukkan gangguan berat dari gerak langkah, tonus otot dan
gambaran yang mengarah pada sindrom Kluver-Bucy (apatis, gangguan
pengenalan, gerak mulut tak terkontrol, hiperseksualitas, amnesia dan
bulimia).
b. Demensia multi infark (10-20%)
Demensia ini merupakan jenis kedua terbanyak setelah penyakit
Alzheimer. Bisa didapatkan secara tersendiri atau bersama dengan demensia jenis
lain. Didapatkan sebagai akibat/gejala sisa dari stroke kortikal atau subkortikal
yang berulang. Oleh karena lesi di otak sering kali tidak terlalu besar, gejala
strokenya (berupa defisit neurologik) tidak jelas terlihat. Ciri yang khas adalah
bahwa gejala dan tanda menunjukkan penurunan bertingkat (stepwise), dimana
setiap episode akut menurunkan keadaan kognitifnya.
Hal ini berbeda dengan dapatan pada penyakit alzheimer, dimana gejala
dan tanda akan berlangsung secara progresif. Pemeriksaan dengan scan tomografi
terkomputer (scan TK) sering tidak menunjukkan adanya lesi. Dengan MRI, lesi
sering bisa dideteksi. Pemeriksaan dengan skor Hachinsky dapat membantu
penegakan diagnosis demensia jenis ini. Satu jenis demensia tipe vaskuler yang
lain, yaitu demensia sinilis tipe Binswangar sulit dibedakan dengan demensia
multi-infark. Pada banyak penderita sering dijumpai gejala dan tanda dari
demensia tipe campuran (multi-infark dan alzheimer).
c. Sindroma amnestik dan “pelupa benigna akibat penuaan”(20-30%)
Pada kedua keadaan diatas, gejala utama adalah gangguan memori (daya
ingat), sedangkan pada demensia terdapat gangguan pada fungsi intelektual yang
lain. Pada sindroma amnestik terdapat gangguan pada daya ingat hal yang baru
terjadi. Kemungkinan penyebabnya adalah :
1) Defisiensi tiamin (sering akibat pemakaian alkohol yang berlebihan)
2) Lesi pada struktur otak bagian temporal tengah (akibat trauma atau anoksia)
3) Iskemia global transien (sepintas) akibat isufisiensi sserebrovaskuler.
Pelupa benigna akibat penuaan, biasanya terlihat sebagai gangguan ringan
daya ingat yang tidak progresif dan tidak mengganggu aktivitas hidup sehari-
hari. Biasanya dikenali oleh keluarga atau teman, karena sering mengulang
pertanyaan yang sama atau lupa pada kejadian yang baru saja terjadi.perlu
observasi beberapa bulan untuk membedakannya dengan demensia sebenarnya.
Bila gangguan daya ingat bertambah progresif disertai dengan gangguan
intelektual yang lain, maka kemungkinan besar diagnosis demensia dapat
ditegakkan (Brocklehurst and Allen, 1987; Kane et al, 1994.
a. Gangguan lain (terutama neurologik) (5-10%)
Berbagai penyakit neurologik sering disertai dengan gejala demensia.
Diantaranya yang tersering adalah penyakit Parkison, khorea Huntington dan
hidrosefalus berteknan normal. Hidrosefalus bertekanan normal jarang sekali
dijumpai. Kecurigaan akan keadaan ini perlu diwaspadai, bila pada scan TK atau
MRI didapatkan pelebaran ventrikel melebihi proporsi dibanding dengan
atrofikortikal otak. Gejala mirip demensia subkortikal, yaitu selain didapatkan
deensia juga gejala postur dan langkah serta depresi.
4. Patofisiologi
Proses menua tidak dengan sendirinya menyebabkan terjadinya demensia.
Penuaan menyebabkan terjadinya perubahan anatomi dan biokimiawi di susunan saraf
pusat yaitu berat otak akan menurun sebanyak sekitar 10 % pada penuaan antara umur
30 sampai 70 tahun. Berbagai faktor etiologi yang telah disebutkan di atas merupakan
kondisi-kondisi yang dapat mempengaruhi sel-sel neuron korteks serebri.
Penyakit degeneratif pada otak, gangguan vaskular dan penyakit lainnya, serta
gangguan nutrisi, metabolik dan toksisitas secara langsung maupun tak langsung
dapat menyebabkan sel neuron mengalami kerusakan melalui mekanisme iskemia,
infark, inflamasi, deposisi protein abnormal sehingga jumlah neuron menurun dan
mengganggu fungsi dari area kortikal ataupun subkortikal.
Di samping itu, kadar neurotransmiter di otak yang diperlukan untuk proses
konduksi saraf juga akan berkurang. Hal ini akan menimbulkan gangguan fungsi
kognitif (daya ingat, daya pikir dan belajar), gangguan sensorium (perhatian,
kesadaran), persepsi, isi pikir, emosi dan mood. Fungsi yang mengalami gangguan
tergantung lokasi area yang terkena (kortikal atau subkortikal) atau penyebabnya,
karena manifestasinya dapat berbeda. Keadaan patologis dari hal tersebut akan
memicu keadaan konfusio akut demensia (Boedhi-Darmojo, 2009).
5. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis demensia berlangsung lama dan bertahap sehingga pasien
dengan keluarga tidak menyadari secara pasti kapan timbulnya penyakit. Manifestasi
klinis dari demensia menurut Nugroho (2008) jika dilihat secara umum tanda dan
gejala demensia adalah :
a. Menurunnya daya ingat yang terus terjadi. Pada penderita demensia, lupa menjadi
bagian keseharian yang tidak bisa lepas.
b. Gangguan orientasi waktu dan tempat, misalnya: lupa hari, minggu, bulan, tahun,
tempat penderita demensia berada.
c. Penurunan dan ketidakmampuan menyusun kata menjadi kalimat yang benar,
menggunakan kata yang tidak tepat untuk sebuah kondisi, mengulang kata atau
cerita yang sama berkali-kali.
d. Ekspresi yang berlebihan, misalnya menangis berlebihan saat melihat sebuah
drama televisi, marah besar pada kesalahan kecil yang dilakukan orang lain, rasa
takut dan gugup yang tak beralasan. Penderita demensia kadang tidak mengerti
mengapa perasaan-perasaan tersebut muncul.
e. Adanya perubahan perilaku, seperti : acuh tak acuh, menarik diri dan gelisah.
6. Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada pasien dengan
demensia antara lain :
a. Pemeriksaan laboratorium rutin
b. Imaging : Computed Tomography (CT) scan dan MRI (Magnetic Resonance
Imaging)
c. Pemeriksaan EEG
d. Pemeriksaan cairan otak
e. Pemeriksaan genetika
f. Pemeriksaan neuropsikologis
7. Komplikasi
Menurut Kushariyadi (2010), menyatakan bahwa komplikasi yang sering
terjadi pada demensia adalah:
a. Kejang
b. Kontraktur sendi
c. Kehilangan kemampuan untuk merawat diri
d. Malnutrisi dan dehidrasi akibat nafsu makan dan kesulitan menggunakan
peralatan
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien dengan demensia antara lain sebagai berikut :
a. Farmakoterapi
Sebagian besar kasus demensia tidak dapat disembuhkan.
1) Untuk mengobati demensia alzheimer digunakan obat - obatan antikoliesterase
seperti Donepezil , Rivastigmine , Galantamine , Memantine
2) Dementia vaskuler membutuhkan obat -obatan anti platelet seperti Aspirin ,
Ticlopidine , Clopidogrel untuk melancarkan aliran darah ke otak sehingga
memperbaiki gangguan kognitif.
3) Demensia karena stroke yang berturut-turut tidak dapat diobati, tetapi
perkembangannya bisa diperlambat atau bahkan dihentikan dengan mengobati
tekanan darah tinggi atau kencing manis yang berhubungan dengan stroke.
4) Jika hilangnya ingatan disebabakan oleh depresi, diberikan obat anti-depresi
seperti Sertraline dan Citalopram.
5) Untuk mengendalikan agitasi dan perilaku yang meledak-ledak, yang bisa
menyertai demensia stadium lanjut, sering digunakanobat anti-psikotik
(misalnya Haloperidol , Quetiapine dan Risperidone)
b. Dukungan atau Peran Keluarga
Mempertahankan lingkungan yang familiar akan membantu penderita
tetap memiliki orientasi. Kalender yang besar, cahaya yang terang, jam dinding
dengan angka-angka yang mudah dipahami.
c. Terapi Simtomatik
Pada penderita penyakit demensia dapat diberikan terapi simtomatik, meliputi :
1) Diet
2) Latihan fisik yang sesuai
3) Terapi rekreasional dan aktifitas
4) Penanganan terhadap masalah-masalah
d. Pencegahan dan perawatan demensia
Hal yang dapat kita lakukan untuk menurunkan resiko terjadinya demensia
diantaranya adalah menjaga ketajaman daya ingat dan senantiasa mengoptimalkan
fungsi otak, seperti :
1) Mencegah masuknya zat-zat yang dapat merusak sel-sel otak seperti alkohol
dan zat adiktif yang berlebihan.
2) Membaca buku yang merangsang otak untuk berpikir hendaknya dilakukan
setiap hari.
3) Melakukan kegiatan yang dapat membuat mental kita sehat dan aktif :
Kegiatan rohani & memperdalam ilmu agama.
4) Tetap berinteraksi dengan lingkungan, berkumpul dengan teman yang
memiliki persamaan minat atau hobi
5) Mengurangi stress dalam pekerjaan dan berusaha untuk tetap relaks dalam
kehidupan sehari-hari dapat membuat otak kita tetap sehat.
9. Peran Keluarga dalam Pemenuhan Kebutuhan Dasar pada Lansia Demensia
Keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam perawatan lansia
penderita demensia yang tinggal di rumah. Hidup bersama dengan penderita demensia
bukan hal yang mudah, tapi perlu kesiapan khusus baik secara mental maupun
lingkungan sekitar. Pada tahap awal demensia penderita dapat secara aktif dilibatkan
dalam proses perawatan dirinya. Membuat catatan kegiatan sehari-hari dan minum
obat secara teratur. Ini sangat membantu dalam menekan laju kemunduran kognitif
yang akan dialami penderita demensia. Keluarga tidak berarti harus membantu semua
kebutuhan harian lansia, sehingga lansia cenderung diam dan bergantung pada
lingkungan. Seluruh anggota keluargapun diharapkan aktif dalam membantu lansia
agar dapat seoptimal mungkin melakukan aktifitas sehari-harinya secara mandiri
dengan aman. Melakukan aktivitas sehari-hari secara rutin sebagaimana pada
umumnya lansia tanpa demensia dapat mengurangi depresi yang dialami lansia
penderita demensia (Kusumawati, 2007).
Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan yang sangat primer dan
mutlakharus dipenuhi untuk memelihara homeostasis biologis dan
kelangsungankehidupan bagi tiap manusia (Asmadi, 2008). Gizi pada lansia, terutama
lansia yang mengalami demensia perlu diperhatikan karena biasanya lansia itu sendiri
lupa untuk makan sehingga asupan nutrisi dari lansia tersebut akan berkurang. Lansia
yang mengalami kekurangan protein maka dapat berakibat rambut rontok, daya tahan
terhadap penyakit menurun, atau mudah terkena infeksi. Pemenuhan kebutuhan cairan
juga penting, karena cairan dapat membantu kinerja ginjal dalam menetralisir zat- zat
sisa. Melakukan aktivitas fisik atau olahraga ringan dapat membantu melenturkan otot
dan melancarkan sirkulasi darah. Kebutuhan akan keselamatan dan keamanan adalah
kebutuhan untuk melindungi diri dari berbagai bahaya yang mengancam, baik
terhadap fisik maupun psikososial (Asmadi, 2008).
Berkurangnya mobilitas sendi, waktu reaksi melambat, penurunan
penglihatan,penurunan pendengaran, penurunan kekuatan dan daya tahan otot juga
dapat mengakibatkan cedera pada orang lanjut usia akibat proses penuaan.
Permukaan lantai yang tidak rata dan licin merupakan daerah yang berbahaya
karena potensial menyebabkan jatuh, sehingga perlu bantuan orang lain terutama
keluarga untuk membantu lansia agar tidak terjatuh (Tamher, 2009).
Menurut penelitian (Lee&Yeo,2009) cedera merupakan masalah yang
signifikan yang dialami oleh lansia. Sebagian besar cedera pada lansia terjadi
akibat terjatuh dirumah. Diperlukan beberapa strategi untuk mencegah terjadinya
cedera pada lansia. Seiring dengan berjalannya waktu akibat penuaan, maka
seseorang juga pasti mengalami gangguan atau penurunan fungsi tubuh yang akan
menyebabkan keterbatasan fungsi fisik, psikologis, maupun sosial. Oleh sebab
itu, lansia sangat membutuhkan dukungan, perhatian serta motivasi dari keluarga
maupun kerabat dekatnya.
C. Intervensi Keperawatan
1. Intervensi lansia dengan demensia
DAFTAR PUSTAKA
Asmadi. (2008). Teknik Prosedural Keperawatan : Konsep dan Aplikasi Kebutuhan
Dasar Klien . Jakarta: Salemba Medika.
Atun, M. 2008. Lansia Sehat dan Bugar. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Black & Hawks. 2009. Medical Surgical Nursing Clinical Management for Positive
Outcomes. Elsevier Saunders
Boedhi-Darmojo. 2009.Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut) Edisi 4. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI
Bulechek, Gloria M, dkk. 2015. Nursing Interventions Classification (NIC). Jakarta :
Elsevier