Anda di halaman 1dari 8

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Demensia merupakan sindrom yang ditandai oleh berbagai gangguan
fungsi kognitif tanpa gangguan kesadaran. Gangguan fungsi kognitif
antara lain pada intelegensi, belajar , dan daya ingat , bahasa, &
pemecahan masalah , orientasi, persepsi , perhatian dan konsentrasi,
penyesuaian , dan kemampuan bersosialisasi. (Arif Mansjoer , 1999)
Demensia adalah gangguan fungsi intelektual tanpa gangguan fungsi
vegetatif atau keadaan yang terjadi. Memori pengetahuan umum, pikiran
abstrak, penilaian dan interpretasi atas komunikasi tertulis dan lisan dapat
terganggu.(Elizabeth J. Corwin 2009)
Demensia adalah penurunan fungsi intelektual yang menyebabkan
hilangnya independensi sosial. (William F . Ganong, 2010)

2.2 Etiologi
Demensia disebabkan oleh:
a. Kondisi akut yang tidak diobati atau tidak dapat disembuhkan, bila
kondisi akut yang menyebabkan delirium atau tidak dapat diobati,
terdapat kemungkinan bahwa kondisi ini akan menjadi kronik dan
karenanya dapat dianggap sebagai demensia.
b. Penyakit vascular, seperti hipertensi, arteriosclerosis, dan
ateroklerosis dapat menyebabkan stroke.
c. Penyakit Parkinson: demensia menyerang 40% dari pasien-pasien
ini.
d. Penyakit prion (protein yang terdapat dalam proses infeksi
penyakit Creutzfeldt-jakob).
e. Infeksi human imuno defisiensi virus (HIV), dapat menyerang
system saraf pusat, menyebabkan enselofalopati HIV atau komplek
demensia AIDS.
f. Gangguan struktur jaringan otak, seperti tekanan normal
hidrosefalus dan cedera akibat trauma kepala.
2.3 Manifestasi Klinis

Demensia lebih merupakan suatu sindrom, bukan diagnosis, dengan tanda


gejala yang muncul adalah :

a. Menurunnya gangguan memori jangka pendek jangka panjang


b. Menurunnya bahasa (afasia nominal)
c. Menurunnya pemikiran, penilaian
d. Hilangnya kemampuan hidup sehari – hari (misalnya,
mencuci,memakai oakaian, mengatur keuangan)
e. Prilaku yang abnormal (misalnya, menyerang, berjalan-jalan tanpa
tujuan, disinhibisi seksual) juga dapat muncul
f. Apatis, depresi dan ansietas
g. Pola tidur terganggu
h. Mengantuk di siang hari
i. Bingung membedakan siang dan malam
j. Kegelisahan di malam hari
k. Fenomena psikotik, terutama waham kejar (diperburuk dengan sifat
pelupa)
l. Auditorik
m. Halusinasi visual.

2.4 Klasifikasi

a. Demensia kortikal; gejala khas melibatkan memori, bahasa, penyelesaian


masalah, dan pemikiran, dan gejalanya muncul pada :
1) Penyakit Alzheimer (Alzheimer’s disease,AD), pada pemeriksaan
makroskopik melalui CT dan MRI didapatkan penyusutan otak,dengan
peningkatanpelebaran sulkus dan pembesaran ventrikel. Sedangkan
pemeriksaan mikroskopik, gambaran utama berupa hilangnya neuron
dan adanya (terutama pada korteks dan hipokampus) plak amiloid dan
kekusutan serat – serat saraf. Dan pemeriksaan secara neurokimia,
terdapat penurunan beberapa neurotransmiter, terutama asetikolin,
noradrenalin, serotonin, dan somatostatin dengan kehilangan badan sel
neuron terkait yang mensekresikan transmiter ini.
2) Demensia Vaskuler (Vascular dementia,VaD)
3) Demensia badan Lewy (demntia with Lewy bodies, DLB)
4) Demnsia frontotemporal
b. Demensia Subkortikal; gejala khas meliputi perlambatan psikomotor dan
disfungsi eksekutif terkait dengan gangguan terhadap jalur frontal,
sedangkan gejala kognitif fokal seperti afasia atau agnosia jarang ada, dan
gejalanya muncul pada :
1) Penyakit Parkinson
2) Penyakit Hungtinton
3) Kelumpuhan supranuklear progesif

2.5 Patofisiologi
2.6 Beberapa ahli memisahkan demensia yang terjadi sebelum usia 65 tahun
(demensia prasenilis) dan yang terjadi setelah usia 65 tahun (demensia
senilis). Perbedaan ini dari asumsi penyebab yang berbeda; degenerasi
neuronal yang jarang pada orang muda dan penyakit vaskuler atau keadaan
usia lanjut usia pada orang tua. Meskipun ekspresi penyakit dapat berbeda
pada usia yang berbeda, kelainan utama pada pasien demensia dari semua
usia adalah sama, dan perbedaan berdasarkan kenyataan.
2.7 Sebagian besar penyakit yang menyebabkan demensia adalah degenerasi
neuronal yang luas atau gangguan multifokal. Gejala awal tergantung
dimana proses demensia mulai terjadi, tetapi lokasi danjumlah neuron
ynag hilang yang diperlukan untuk menimbulkan demensia sulit
ditetapkan. Bertambahnya usia mengakibatkanhilangnya neuron dan masa
otak secara bertahap, tetapi hal ini tidak disertai dengan peurunan yang
signifikan tanpa adanya penyakit. Sesungguhnya, massa otak adalah
petunjuk yang buruk untuk fungsi intelektual. Pasien dengan demenasia
degeneratif pada dekade ke enam mempunyai massa otak lebih besar dari
pada pasien normal secara intelektual pada dekade delapan. Akibatnya
dokumentsai atrofi yang menyeluruh dengan pemindahan CT bukan
indikasi demensia yang jelas.
2.8 Demensia yang terjadi akibat penyakit kortikal (misalnya penyakit
Alheimer atau dari penyakit struktur subkortikal) sperti basal ganglia,
talamus, dan substansi alaba bagian dalam (misalnya penyakit
Hungtington atau multiple sklerosis).demensia kortikal ditandai dengan
hilangnya fungsi kognitif seperti bahasa, persepsi,kalkulasi; sebaliknya,
demensia subkortikal menunjukkan perlambatan kognitif dan proses
informasi (“bradiphrenia”), pendataran afek,dan gangguan
motivasi,suasana hati dan bangun. Ingatan terganggu pada kedua
jenis.gambaran demensia subkortikal juga terjadi pada subkortikal yang
mengenai lobus frontalis dan mungkin menunjukkan proyeksi yang rusak
dan dari dan ke lobus frontalis.
2.9 Pada penyakit Alzheimer, yang merupakan penyebab demensia paling
sering, demensia akibat hilangnya jaringan kortikal terutama pada lobus
temporalis, parientalis, dan frontalis. Hal ini mnyertai sebagian kasus
dengan bertambahnya jarak antara girus dan pembesaran ventrikel. Tanda
histologik adalah adanya beberapa kekacauan neurofibrinalis dan plak
senilis. Plak dan kekacauan ditemukan dalam otak orang tua yang normal
tetapi meningkat jumlahnya pada penyakit Alzheimer, terutama dalam
hipokampus dan temporalis. Terkenanya hippokampal mungkin
bertanggung jawab terhadap gangguan ingatan, yang mungkin sebagian
diperantarai oleh berkurangnya aktivitas kolinergik. Aktivitas
neurotransmitter lntermasuk norepinefrin, serotonin, dopamin, glutamat,
somatostatin juga menurun. Perubahan –perubahan ini disertai dengan
berkurangnya aliran darah serebrall dan menurunnya metabolisme okigen
dan glukosa.

2.10 Pathway
2.11 Komplikasi
Kushariyadi (2011) menyatakan komplikasi yang sering terjadi pada
demensia adalah:
a. Peningkatan resiko infeksi diseluruh bagian tubuh
1. Ulkus diabetikus
2. Infeksi saluran kencing
3. Pneumonia
b. Thromboemboli, infarkmiokardium
c. Kejang
d. Kontraktur sendi
e. Kehilangan kemampuan untuk merawat diri
f. Malnutrisi dan dehidrasi akibat nafsu makan dan kesulitan
menggunakan peralatan.
2.12 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien demensia menurut Aspiani (2014) sebagai
berikut:
1. Farmakoterapi
a. Untuk mengobati demensia alzheimer digunakan obat-obatan
antikoliesterase seperti Donepezil, Rivastigmine, Glantamine,
Memantine
b. Demensia vaskuler membutuhkan obat-obatan anti platelet seperti
Aspirin, Ticlopidine, Clopidogrel untuk melancarkan aliran darah ke
otak sehingga memperbaiki gagguan kognitif
c. Demensia karena stroke yang berturut-urut tidak dapat diobati, tetapi
perkembangannya bisa diperlambat atau bahkan dihentikan dengan
mengobati tekanan darah tinggi atau kencing manis yang
berhubungan dengan stroke Jika hilangnya ingatan disebabkan oleh
depresi, diberikan obat anti- depresi seperti Sertraline dan
Citalopram
d. Untuk mengendalikan agitasi dan perilaku yang meledak-ledak,
yang bisa menyertai demensia stadium lanjut, sering digunakan
antipsikotik (misalnya Haloperidol, Quetiaoine dan Risperidone)
e. Dukungan atau peran keluarga. Mempertahankan lingkungan yang
familiar akam membantu penderita tetap memiliki orientasi.
Kalender yang besar, cahaya yang terang, jam dinding dengan angka
angka
2. Terapi simtomatik
Menurut Erwanto & Kurniasih (2018) Penderita penyakit demensia
dapat diberikan terapi simtomatika yaitu terapi rekreasional dan aktifitas
dimana upaya yang dapat dilakukan dengan memberikan terapi brain
gym. Brain gym ini berupa senam otak dengan melibatkan petugas
untuk mengajarkan gerakan-gerakan mudah pada pasien demensia.
Senam otak ini bertujuan untuk membuktikan pernyataan menurut
Pratiwi (2016) bahwa apabila senam otak dilakukan secara rutin 1 kali
dalam sehari maka dapat menjaga fungsi daya ingat pada lansia sehingga
lansia dapat memenuhi aktivitas sehari-hari, hal ini dibuktikan dengan
peningkatan presentase pengkajian Indeks KATZ. Sesuai penelitian
yang dilakukan oleh Chancellor, Duncan, & Chatterjee (2014) bahwa
senam otak mampu meningkatkan fungsi kognitif pada lansia yang
mengalami demensia.
3. Pencegahan dan perawatan demensia
Hal yang dapat kita lakukan untuk menurunkan resiko terjasinya
demensia diantaranya adalah menjaga ketajaman daya ingat dan
senantiasa mengoptimalkan fungsi otak seperti:
a. Mencegah masuknya zat zat yang dapat merusak sel sel otak seperti
alcohol dan zat adiktif yang berlebihan
b. Mambaca buku yang merangsang otak untuk berpikir hendaknya
dilakukan setiap hari
c. Melakukan kegiatan yang data membuat mental kita sehat dan aktif:
Kegiatan rohani & memperdalam ilmu agama
d. Tetep berinteraksi dengan lingkungan, berkumpul dengan teman
yang memiliki persamaan minat atau hobi
e. Mengurangi setress dalam pekerjaan dan berusaha untuk tetap relaks
dalam kehidupan sehari hari dapat membuat otak kita tetap sehat

Menurut Munir (2015) Terapi Non Farmakologi yang dapat dilakukan


sebagai berikut:

1. Memberikan program harian untuk pasien


a. Kegiatan harian teratur dan sistematis, yang meliputi latihan fisik
yang dapat memacu aktifitas fisik dan otak yang baik (brain-gym)
b. Asupan gizi yang berimbang, cukup serat, mengandung
antioksidan(obat-obat penangkal kerusakan dalam tubuh akibat pola
hidup yang kurang sehat), mudah dicerna, penyajian yang menarik
dan praktis
c. Mencegah/mengelola faktor resiko yang dapat memberatkan
penyakitnya, misalnya hipertensi, kadar lemak yang meningkat
dalam darah, diabetes, dan merokok
d. Melaksanakan hobi dan aktifitas sosial sesuai dengan
kemampuannya
e. Melaksanakan “LUPA” (Latih, Ulang, Perhatikan dan Asosiasi)
yaitu suatu strategi untuk memaksa otak berfikir yang dapat
mencegah lajunya dimensia
f. Tingkatkan aktifitas di siang hari, tempatkan di ruangan yang
mendapatkan cahaya cukup serta aman untuk beraktifitas. Hal ini
dapat mencegah terlalu banyak tidur di siang hari yang dapat
mengganggu periode tidur malam
2.13 Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan laboratorium rutin
Dilakukan begitu diagnosis demensia ditegakkan untuk membantu
pencarian etiologi demensia khususnya pada demensia reversible,
walaupun 50% penyandang demensia adalah Alzheimer dengan hasil
laboratorium normal,pemeriksaan laboratorium rutin sebaiknya
dilakukan. Pemeriksaan laboratoium yang rutin dikerjakan antara lain :
pemeriksaan darah lengkap, urinalis, elektrolit serum, kalsium darah,
ureum, fungsi hati, hormone tiroid, kadar asam folat.
2. Imaging
Computed Tomograpy (CT) scan dan MRI (Magic Resonance
Imaging ) telah menjadi pemeriksaan rutin dalam penmeriksaan
demensia walaupun hasiilnya dipertanyakan
3. Pemeriksaan EEG
EEG (Electroencephalogram) tidak memberikan gambaran spesifik dan
pada sebagian besar EEG adalah normal. Pada Alzheimer stadium
lanjut dapat memebri gambaran perlambatan difus dan kompleks
periodic. .
4. Pemeriksaan cairan otak
Pungsi lumbal diindikasikan bila klinis dijumpai awitan demensia akut,
penyandang dengan imunosupresan dijumpai rangsangan meningen dan
panas, demensia presentasi atipikal, hidroselafus normotensive, tes
sifilis, penyengatan meningeal pada CT scan
5. Pemeriksaan genetika
Apolipoprotein E (APOE) adalah suatu protein pengangkut lipid
polimorfik yang memliki 3 allel yaitu epsilon 2, epsilon 3 dan epsilon 4.
Setiap allel mengkode bentuk APOE yang berbeda. Meningkatnya
frekuensi epsilon 4 diantar penyandang demensia Alzheimer tipe awitan
lambat atau tipe sporadic menyebabkan pemakaian genotif APOE
epsilon 4 sebagai penanda semakin meningkat.
6. Pemeriksaan MMSE
Pemeriksaan status mentak MMSE Folstein adalah test yang paling
sering dipakai saat ini. Penilaian dengan nilai maksimal 30 cukup baik
dalam mendeteksi gangguan kognisi, menetapkan data dasar dan
memantau penurunan kognisi dalam kurun waktu tertentu. Nilai
dibawah 27 dianggap abnormal dan mengindikasikan gangguan kognisi
yang signifikan pada penderita.

Anda mungkin juga menyukai