Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN STASE KEPERAWATAN GERONTIK

DENGAN DEMENSIA DI RUMAH LANSIA BHAKTI SITI ANNA

TAHUN 2023

DISUSUN OLEH :
Nama : Hilda Oktaviani
Nim : 22300005

Preseptor Klinik Preseptor Akademik

Sr.Fidelia, KKS Ns.Arjuna,M.Kep.Sp.Kep.K

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

STIKES CITRA DELIMA BANGKA BELITUNG

TAHUN AJARAN 2023


DEMENSIA

A. Definisi Demensia

Demensia adalah sindrom yang ditandai dengan penurunan fungsi

kognitif atau kemampuan untuk berfikir melampaui apa yang dapat

diharapkan dari penuaan normal (WHO, 2016). Penurunan kemampuan

untuk mengingat dan berpikir yang mengakibatkan gangguan terhadap

aktivitas kehidupan sehari – hari dan ditandai dengan penurunan kognitif,

perubahaan mood, dan tingkah laku disebut sebagai demensia (Aspiani,

2014).

B. Anatomi Fisiologis

Berdasarkan korelasi gejala klinik dengan patologi anatomisnya :

1. Anterior : Frontal premotor cortex Perubahan behavior, kehilangan

kontrol, anti sosial, reaksi lambat.

2. Posterior: lobus parietal dan temporal Gangguan kognitif: memori dan

bahasa, akan tetapi behaviour relatif baik.

3. Subkortikal: apatis, forgetful, lamban, adanya gangguan gerak.

4. Kortikal: gangguan fungsi luhur; afasia, agnosia, apraksia

C. Etiologi

Beberapa penyebab terjadinya demensia menurut Singhealth (2014) yaitu;

a) Penyakit Alzheimer

Penyebab utama dari penyakit demensia adalah penyakit

alzaimer, yang penyebabnya sendiri belum diketahui secara pasti.

Penyakit Alzaimer disebabkan karena adanya kelainan faktor

genetik atau adanya kelainan gen tertentu. Bagian otak mengalami

kemunduran sehingga terjadi kerusakan sel dan berkurangnya

respon terhadap bahan kimia yang menyalurkan sinyal di dalam

otak. Jaringan abnormal ditemukan di dalam otak (disebut plak


senilitis dan serabut saraf yang tidak teratur) dan protein abnormal.

(Nugroho, 2014).

b) Serangan stroke yang berturut-turut.

Stroke tunggal yang ukurannya kecil dan menyebabkan

kelemahan yang ringan atau kelemahan yang timbul secara

perlahan. Stroke kecil ini secara bertahap menyebabkan kerusakan

jaringan otak, daerah otak yang mengalami kerusakan akibat

tersumbatnya aliran darah yang disebut dengan infark. Demensia

yang disebabkan oleh stroke kecil disebut juga demensia multi-

infark. Sebagian penderitanya memiliki tekanan darah tinggi atau

kencing manis, yang keduanya menyebabkan kerusakan pembuluh

darah di otak. (Nugroho, 2014)

c) Sindroma demensia dengan penyakit yang etiologi dasarnya tidak

dikenal kelainan yaitu : terdapat pada tingkat subseluler atau secara

biokimiawi pada sistem enzim, atau pada metabolisme. (Nugroho,

2014)

d) Sindroma demensia dengan etiologi yang dikenal tetapi belum

dapat diobati, penyebab utama dalam golongan : Penyakit

degenerasi spino serebral. (Nugroho, 2014) 5. Sindroma demensia

dengan etiologi penyakit yang dapat diobati : gangguan nutrisi,

akibat intoksikasi menahun, penyakit – penyakit metabolisme.

(Nugroho, 2014)

e) Neurotransmitter

Neurotransmitter yang paling berperan dalam patofisiologi dari

demensia adalah asetikolin dan norepineprin. Keduanya dihipotesis

menjadi hipoaktif, beberapa penelitian melaporkan pada penyakit

demensia ditemukanya suatu degenerasi spesifik pada neuron

kolinergik pada nucleus, data lain yang mendukung adanya defisit


kolinergik pada demensia adalah ditemukan konsentrasi asetikolin

dan asetikolintransferase menurun (Watson, 2013)

f) Penyakit Jisim lewy (Lewy body diseases)

Penyakit Jisim Lewy adalah suatu demensia yang secara klinis

mirip dengan penyakit Alzheimer dan sering ditandai oleh adanya

halusinasi, gambaran Parkinsonisme, dan gejala ekstrapiramidal.

Inklusi Jisim Lewy ditemukan di daerah korteks serebri. Insiden

yang sesungguhnya tidak diketahui. Klien dengan penyakit Jisim

Lewy ini menunjukkan efek yang menyimpang (adverse effect)

ketika diberi pengobatan dengan antipsikotik (Watson, 2013)

D. Patofisiologi

Hal yang menarik dari gejala penderita demensia (usia >65 tahun)

adalah adanya perubahan kepribadian dan tingkah laku sehingga

mempengaruhi aktivitas sehari-hari. Lansia penderita demensia tidak

memperlihatkan gejala yang menonjol pada tahap awal, mereka

sebagaimana

Lansia pada umumnya mengalami proses penuaan dan degeneratif.

Kejanggalan awal dirasakan oleh penderita itu sendiri, mereka sulit untuk

mengingat dan sering lupa jika meletakkan suatu barang. Mereka sering

kali menutup-nutupi hal tersebut dan meyakinkan bahwa itu adalah hal

yang biasa pada usia mereka. Kejanggalan berikutnya mulai dirasakan

oleh orang-orang terdekat yang tinggal bersama mereka, mereka merasa

khawatir terhadap penurunan daya ingat yang semakin menjadi, namun

sekali lagi keluarga merasa bahwa mungkin lansia kelelahan dan perlu

lebih banyak istirahat. Mereka belum mencurigai adanya sebuah masalah

besar di balik penurunan daya ingat yang dialami oleh orang tua mereka.

Gejala demensia berikutnya yang muncul biasanya berupa depresi

pada Lansia, mereka menjaga jarak dengan lingkungan dan lebih sensitif.
Kondisi seperti ini dapat saja diikuti oleh munculnya penyakit lain dan

biasanya akan memperparah kondisi Lansia. Pada saat ini mungkin saja

lansia menjadi sangat ketakutan bahkan sampai berhalusinasi. Disinilah

keluarga membawa Lansia penderita demensia ke rumah sakit dimana

demensia bukanlah menjadi hal utama fokus pemeriksaan. Seringkali

demensia luput dari pemeriksaan dan tidak terkaji oleh tim kesehatan.

Tidak semua tenaga kesehatan memiliki kemampuan untuk dapat

mengkaji ddan mengenali gejala demensia.

Faktor Psikososial

Derajat keparahan dan perjalanan penyakit demensia dapat

dipengaruhi oleh faktor psikososial. Semakin tinggi intelegensia dan

pendidikan pasien sebelum sakit maka semakin tinggi juga kemampuan

untuk mengkompensasi deficit intelektual. Pasien dengan awitan demensia

yang cepat (rapid onset) menggunakan pertahanan diri yang lebih sedikit

daripada pasien yang mengalami awitan yang bertahap. Kecemasan dan

depresi dapat memperkuat dan memperburuk gejala. Pseudodemensia

dapat terjadi pada individu yang mengalami depresi dan mengeluhkan

gangguan memori, akan tetapi pada kenyataannya ia mengalami gangguan

depresi. Ketika depresinya berhasil ditanggulangi, maka defek kognitifnya

akan menghilang.
E. Pathway Demensia
F. Manifestasi Klinis

Gejala klasik penyakit demensia adalah kehilangan daya ingat (memori)

yang terjadi secara bertahap. Dalam Nugroho,2008 penyakit demensia

dapat berlangsung dalam tiga stadium, yaitu:

1. Stadium Awal Gejala

Stadium awal sering diabaikan dan disalahartikan sebagai usia lanjut

atau sebagian normal dari proses otak menua. Klien menunjukkan

gejala sebagai berikut:

a) Mengalami kemunduran daya ingat secara bermakna.

b) Disorientasi waktu dan tempat.

c) Sering tersesat ditempat yang biasa dikenal.

d) Kesulitan membuat keputusan.

e) Kehilangan inisiatif dan motivasi

f) Menunjukkan gejala depresi dan agitasi.

g) Kehilangan minat dalam hobi dan aktivitas.

2. Stadium Menengah

Proses penyakit berlanjut dan masalah menjadi semakin nyata. Pada

stadium ini, klien mengalami kesulitan melakukan aktivitas kehidupan

sehari-hari dan menunjukkan gejala seperti berikut:

a) Sangat mudah lupa, terutama untuk peristiwa yang baru dan

nama orang.

b) Tidak dapat mengelola kehidupan sendiri tanpa timbul

masalah.

c) Tidak dapat memasak, membersihkan rumah, dan belanja.

d) Sangat bergantung pada orang lain.

e) Semakin sulit bicara.


f) Membutuhkan bantuan untuk kebersihan diri (ke toilet, mandi,

dan berpakaian).

g) Senang mengembara/”ngeluyur” tanpa tujuan. Ngeluyur ini

dapat berupa berulang kali mencari pemberi asuhan, terus

membuntuti pemberi asuhan, terus berkeliling rumah.

h) Terjadi perubahan perilaku.

i) Adanya gangguan kepribadian.

j) Sering tersesat, walaupun jalan tersebut telah dikenal (tersesat

di rumah sendiri).

k) Dapat juga menunjukkan adanya halusinasi.

3. Stadium Lanjut

Pada stadium ini klien sering mengalami:

a) Ketidakmandirian dan inaktif yang total.

b) Tidak mengenali lagi anggota keluarga (disorientasi personal).

c) Sukar memahami dan menilai peristiwa.

d) Tidak mampu menemukan jalan disekitar rumah sendiri

e) Kesulitan berjalan

f) Mengalami inkontinensia (berkemih atau defekasi).

g) Menunjukkan perilaku tidak wajar dimasyarakat.

h) Tergangtung pada kursi roda/tempat tidur

G. Komplikasi

Komplikasi Demensia

Peningkatan risiko infeksi di seluruh bagian tubuh :

1. Ulkus Dekubitus

2. Infeksi saluran kencing

3. Pneumonia

4. Thromboemboli, infark miokardium.

5. Kejang
6. Kontraktur sendi.

7. Kehilangan kemampuan untuk merawat diri

8. Malnutrisi dan dehidrasi akibat nafsu makan kurang dan kesulitan

menggunakan peralatan.

9. Kehilangan kemampuan berinteraksih.

10. Harapan hidup berkurang

H. Penatalaksaan Keperawatan

Penatalaksanaan keperawatan pada klien dengan demensia:

1. Dukungan atau Peran Keluarga (Harrisons,2014).

Mempertahankan lingkungan yang familiar akan membantu penderita

tetap memiliki orientasi. Kalender yang besar, cahaya yang terang, jam

dinding dengan angka-angka yang besar.

2. Terapi Simtomatik (Harrisons,2014).

Pada penderita penyakit demensia dapat diberikan terapi yang bersifat

simtomatik, terapi tersebut meliputi :

a) Diet

b) Latihan fisik yang sesuai

c) Terapi rekreasional dan aktifitas.

d) Penanganan terhadap masalah-masalah

3. Pencegahan dan perawatan demensia Hal yang dapat kita lakukan

untuk menurunkan resiko terjadinya demensia diantaranya adalah

menjaga ketajaman daya ingat dan senantiasa mengoptimalkan fungsi

otak,seperti (Harrisons,2014):

a) Mencegah masuknya zat-zat yang dapat merusak sel-sel otak

seperti alkohol dan zat adiktif yang berlebihan.

b) Membaca buku yang merangsang otak untuk berpikir hendaknya

dilakukan setiap hari.


c) Melakukan kegiatan yang dapat membuat mental kita sehat dan

aktif seperti kegiatan rohani & memperdalam ilmu agama.

d) Tetap berinteraksi dengan lingkungan, berkumpul dengan teman

yang memiliki persamaan minat atau hobi.

e) Mengurangi stress dalam pekerjaan dan berusaha untuk tetap relaks

dalam kehidupan sehari-hari dapat membuat otak kita tetap sehat.

I. Penatalaksanaan Medis

Penatalaksanaan pada klien dengan demensia ada berbagai cara antara lain

sebagai berikut (Turana, 2013) :

1. Farmakoterapi

Untuk mengobati demensia alzheimer digunakan obat - obatan

antikoliesterase seperti Donepezil, Rivastigmine, Galantamine,

Memantine

2. Dementia vaskuler

membutuhkan obat -obatan anti platelet seperti Aspirin ,

Ticlopidine , Clopidogrel untuk melancarkan aliran darah ke otak

sehingga memperbaiki gangguan kognitif.

3. Demensia karena stroke yang berturut-turut tidak dapat diobati,

tetapi perkembangannya bisa diperlambat atau bahkan dihentikan

dengan mengobati tekanan darah tinggi atau kencing manis yang

berhubungan dengan stroke.

4. Jika hilangnya ingatan disebabakan oleh depresi, diberikan obat

antidepresi seperti Sertraline dan Citalopram.

5. Untuk mengendalikan agitasi dan perilaku yang meledak-ledak,

yang bisa menyertai demensia stadium lanjut, sering

digunakanobat antipsikotik (misalnya Haloperidol , Quetiapine dan

Risperidone)
Terapi non-farmakologi meliputi:

1. Penyampaian informasi yang benar kepada keluarga

2. Program harian untuk pasien

3. Istirahat yang cukup

4. Reality orientation trainingm (ROT) atau orientasi realitas

5. Validasi/rehabilitasi/reminiscence.

6. Terapi music.

7. Terapi rekreasi

J. Asuhan Keperawatan secara teoritis

1. Pengkajian

Pengkajian menurut Aspiani (2014) meliputi:

a. Anamnesis

1) Identitas

Pasien Setengah dari 100% populasi kelompok lanjut usia

yang terkena penyakit demensia sering terjadi pada usia

lebih dari 85 tahun.

2) Keluhan Utama

Penurunan daya ingat, perubahan kognitif, dan kelumpuhan

gerak ekstremitas merupakan keluhan utama yang sering

disampaikan oleh klien dan keluarga klien dalam penkajian

awal kesehatan.

3) Riwayat Kesehatan Sekarang

Klien pada umumnya hilang ingatan pada kejadian yang

baru terjadi, atau sering lupa. Klien terkadang juga berubah

menjadi berperilaku tidak baik seperti, sering keluar rumah

sendiri tanpa meminta izin pada anggota keluarga. Klien

bahkan tidak dapat mengatur daya pikirnya dalam mengatur


buang air, tidak mampu mengurus sendiri keperluan dasar

sehari – hari tanpa diingatkan. Sehingga hal ini mulai

meresahkan pihak anggota keluarga klien yang

merawatnya.

4) Riwayat Kesehatan Dahulu

Dikaji apakah ada riwayat penyakit seperti hipertensi,

diabetes melitus, penyakit jantung, penggunaan obat-obatan

anti-ansietas (benzodiazepin), penggunaan obat-obatan

antikolinergik dalam jangka waktu yang lama, dan riwayat

Down Sindrome yang pada suatu saat kemudian menderita

penyakit Alzheimer pada usia empat puluhan (Muttaqin,

2011).

5) Riwayat Kesehatan Keluarga

Yang perlu di kaji apakah dalam keluarga ada yang

mengalami gangguan psikologi seperti yang dialami oleh

klien, atau adanya penyakit genetik yang mempengaruhi

psikososial (Aspiani, 2014). Pengkajian adanya anggota

generasi terdahulu yang menderita hipertensi dan diabetes

melitus diperlukan untuk melihat adanya komplikasi

penyakit lain yang dapat mempercepat progresivitas

penyakit (Muttaqin, 2011).

b. Pemeriksaan Fisik

1) Keadaan Umum Psikososial

merupakan keadaan umum yang dialami klien lansia. Bawaan

penyakit demensia biasanya terlihat lemah (Aspiani, 2014).

2) Kesadaran

Kesadaran klien biasanya Composmentis.

3) Tanda– Tanda Vital


Suhu : Hipotermia mempengaruhi sistem saraf pusat.

Hipotermia ringan mendepresikan otak dan menyebabkan

confusi, apatis, psikomotor menurun. Hipotermia moderat

menurunkan kesadaran dan menyebabkan halusinasi.

Hipotermia berat dapat menyebabkan koma (Sunaryo, 2016).

Nadi : Klien dengan demensia alzheimer dapat mengalami

bradikardi (Muttaqin, 2011).

Tekanan darah : Tekanan darah yang meningkat dapat

mengalami dimensia pada lansia (Maulidia, Rosalina, &

Yunita, 2016).

Respirasi : Pernapasan pada klien dengan demensia

alzheimer akan mengalami penurunan frekuensi pernapasan

(Muttaqin, 2011).

4) Pemeriksaan Review of System (ROS)

Pemeriksaan sistem pernafasan, sistem sirkulasi, sistem

persyarafan, sistem perkemihan, sistem pencernaan, sistem

muskuloskeletal.

a) B1: Breathing (Sistem Pernapasan)

Mengalami peningkatan frekuensi napas atau masih

dalam batas normal.

b) B2 Bleeding (Sistem Sirkulasi)

Biasanya frekuensi nadi masih dalam batas normal dan

tidak ada kelainan.

c) B3: Brain (Sistem Persyarafan)

Biasanya klien mengalami kehilangan kemampuan daya

ingat, gangguan konsentrasi dan daya pikir, insomnia,

kurang perhatian, dan kelainan persepsi sensori.

d) B4: Bleder (Sistem Perkemihan)


Sistem perkemihan masih dalam batas normal atau

tidak ada kelainan.

e) B5: Bower (Sistem Pencernaan)

Klien terkadang dapat makan berlebih atau kurang

karena daya ingatnya yang berkurang tentang pola

makan.

f) B6: Bone (Sistem Muskuloskeletal)

Klien mengalami gangguan dalam pemenuhan aktivitas

c. Pola Kesehatan Fungsional

Menurut Gordon yang perlu dikaji adalah aktifitas apa saja yang

biasa dilakukan, meliputi:

1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat

Klien tidak bisa menangani dan memelihara pola kesehatannya

karena mengalami gangguan persepsi.

2) Pola Nutrisi Klien

terkadang dapat makan berlebih atau kurang karena daya

ingatnya yang berkurang tentang pola makan.

3) Pola Eliminasi

Tidak terdapat masalah terkait pola eliminasi.

5) Pola Tidur dan Istirahat

Klien biasanya mengalami insomnia.

6) Pola Aktivitas dan Latihan

Pada umumnya gangguan dalam pemenuhan aktivitas yang

dialami klien disebabkan oleh turunnya minat. Metode Indeks

KATZ merupakan metode pengkajian untuk menganalisa

kemampuan klien dalam memenuhi kebutuhan aktivitas sehari-

hari. Klien dengan demensia stadium menengah ditunjukkan

dengan hasil skor Indeks KATZ: D. Sedangkan klien dengan


demensia akut ditunjukkan dengan hasil skor Indeks KATZ: G

dan ditandai dengan klien yang hanya duduk di kursi roda.

7) Pola Hubungan dan Peran

Mengetahui peran klien di lingkungan keluarga tentang

pekerjaan klien, masalah keuangan klien, dan peran klien di

lingkungan sekitar tempat tinggal. Pengkajian ini menggunakan

tes APGAR yang ditujukan ke keluarga klien. Biasanya pada

klien dengan demensia, tes APGAR menunjukkan fungsi sosial

yang terganggu.

8) Pola Sensori dan Kognitif

Pengkajian yang digunakan untuk mengetahui status mental

klien adalah dengan tabel Short Portable Mental Status

Quesionare (SPMSQ). Pengkajian SPMSQ dengan skor

kesalahan 3 menunjukkan bahwa kerusakan intelektual ringan.

Sedangkan dengan skor kesalahan 10 menunjukkan kerusakan

intelektual berat. (Padila, 2013)

Pengkajian untuk mengetahui status kognitif klien

menggunakan tabel Mini Mental State Examination (MMSE)

dengan indikator hasil skor ≤ 21 merupakan kategori kerusakan

kognitif (Perdossi, 2013).

Tabel 1.1 Pengkajian MMSE

No Aspek Kognitif Nilai Nilai Klien Kriteria

Klien 1 Klien
2

Menyebutka dengan benar

1) Tahun
1 Orientasi 5 2) Musim
3) Tanggal
4) Hari
5) Bulan
Dimana kita sekarang berada

1) Negara Indonesia
5 2) Provinsi
3) Kolta
4) Panti Werda
5) Wisma
Pemeriksa menyebutkan nama 3
objek 1 detik untuk mengatakan
2 Regristrasi masing-masing objek, kemudian
tanyakan kepada klien ketiga objek
tadi.
3
1) Objek
2) Objek
3) Objek
Ex : Objek yang ada di sekitar
Griya Asih Lawang (meja, kursi,
kipas angin)
Minta klien untuk memulai dari
angka 100 kemudian dikurangi 7
3 Perhatian dan sampai 5 kali atau tingkat
kalkulasi
5
1) 93
2) 86
3) 79
4) 72
5) 65
Minta klien untuk mengulangi
ketiga objek pada no. 2 tadi, bila
4 Mengingat 3 benar 1 poin untuk masing-masing
objek

1) Tunjukan pada klien suatu


benda dan tanyakan
5 Bahasa namanya pada klien
a) Misal : jam tangan
b) Misal : pensil
9 2) Minta klien untuk
mengulang kata tak, ada,
jika,dan, atau, tetapi. Bila
benar saru nilai satu poin
3) Minta klien untuk
mengikut perintah berikut
yang terdiridari 3 langkah
a) Ambil kertas ditangan
anda, lipat dua buah
dan taruh dilantai
b) Ambil keras ditangan
anda
c) Lipat dua
d) Taruh dilantai
4) Perintah pada klien untuk
hal berikut
a) Tutup mata anda
5) Perintah klien
untuk menulis
kalimat dan
menyalin gambar
a) Tulis satu kalimat
b) Menyalin gambar
Total

Interpretasi hasil :

25-30 : tidak ada gangguan kognitif

18-23: gangguan kognitif sedang

0-17: gangguan kognitif berat

Tabel 1.2 Interpretasi MMSE (Folstein, 1975)

Metode Score Interpretasi


Single cut off < 24 Abnormal
Range < 21 Kemungkinan demensia lebih
besar
< 25 Kemungkinan demensia lebih
kecil
Pendidikan 21 Abnormal pada tingkat
pendidikan 8 tahun
< 23 Abnormal pada tingkat
pendidikan 12 tahun
< 24 Abnormal pada tingkat
perguruan tinggi
Keparahan 24-30 Tidak ada kelainan kognitif
18-23 Kelainan kognotif ringan
0-17 Kelainan kognitif berat

9) Pola Seksual dan Reproduksi

Pada umumnya klien dengan demensia terjadi pada usia lanjut

disertai dengan masa menopause pada perempuan dan

andropause pada laki – laki.

10) Pola Penanggulangan Stress dan Koping Mekanisme

koping yang digunakan klien biasanya tidak efektif untuk

menangani masalah stress dalam hidupnya.

11) Pola Tata Nilai dan Kepercayaan

Klien tidak mengalami gangguan dalam spiritual


2. Diagnosa Keperawatan

a. Sindrom stress relokasi berhubungan dengan perubahan dalam

aktivitas kehidupan sehari-hari ditandai dengan kebingungan,

keprihatinan, gelisah, tampak cemas, mudah tersinggung, tingkah

laku defensive, kekacauan mental, tingkah laku curiga, dan tingkah

laku agresif.

b. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis

(degenerasi neuron ireversibel) ditandai dengan hilang ingatan atau

memori, hilang konsentrsi, tidak mampu menginterpretasikan

stimulasi dan menilai realitas dengan akurat.

c. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan

persepsi, transmisi atau integrasi sensori (penyakit neurologis,

tidak mampu berkomunikasi, gangguan tidur, nyeri) ditandai

dengan cemas, apatis, gelisah, halusinasi.

d. Perubahan pola tidur berhubungan dengan perubahan lingkungan

ditandai dengan keluhan verbal tentang kesulitan tidur, terus-

menerus terjaga, tidak mampu menentukan kebutuhan/ waktu tidur.

e. Kurang perawatan diri berhubungan dengan intoleransi aktivitas,

menurunnya daya tahan dan kekuatan ditandai dengan penurunan

kemampuan melakukan aktivitas sehari-hari.

f. Resiko terhadap cedera berhubungan dengan kesulitan

keseimbangan, kelemahan, otot tidak terkoordinasi, aktivitas

kejang.

g. Resiko terhadap perubahan nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh

berhubungan dengan mudah lupa, kemunduran hobi, perubahn

sensori.
Menurut buku Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (SDKI,

2017), diagnosa terkait kasus gangguan pola pikir akibat demensia

yang sering muncul yaitu sebagai berikut:

a. Defisit Perawatan Diri

Definisi:

Tidak mampu menyelesaikan atau melakukan aktivitas untuk

merawat diri.

Penyebab:

- Kelemahan

- Penurunan motivasi dan minat

- Gangguan psikologis / psikotik

- Gangguan musculoskeletal

- Gangguan neuromuskuler

Gejala dan Tanda Mayor

- Secara subyektif: menolak perawatan diri

- Secara obyektif: tidak mampu melakukan aktivitas sehari – hari

secara mandiri dikarenakan kurang nya minat untuk merawat

diri

Gejala dan Tanda Minor: Tidak ada gejala minor

3. Intervensi Keperawatan

No Tujuan dan kriteria


Intervensi Rasional
Dx hasil

1 Setelah diberikan a. Jalin hubungan a. Untuk membangan


tindakan keperawatan saling kepercayaan dan
diharapkan klien dapat mendukung rasa nyaman.
beradaptasi dengan dengan klien. b. Menurunkan kecemasan dan
perubahan aktivitas b. Orientasikan perasaan terganggu.
sehari- hari dan pada lingkungan c. Untuk menentukan persepsi
No Tujuan dan kriteria
Intervensi Rasional
Dx hasil

lingkungan dengan dan rutinitas klien tentang kejadian dan


KH : baru. tingkat serangan.
c. Kaji tingkat d. Konsistensi mengurangi
a. mengidentifikasi
stressor kebingungan dan
perubahan.
(penyesuaian diri, meningkatkan rasa
b. mampu beradaptasi
perkembangan, kebersamaan.
pada perubahan
peran keluarga, e. Menurunkan
lingkungan dan
akibat perubahan ketegangan,
aktivitas kehidupan
status kesehatan) mempertahankan
sehari-hari
d. Tentukan jadwal rasa saling
c. cemas dan takut
aktivitas  yang percaya, dan
berkurang
wajar  dan orientasi.
d. membuat
masukkan dalam
pernyataan yang
kegiatan rutin.
positif tentang
e. Berikan
lingkungan yang
penjelasan dan
baru.
informasi yang
menyenangkan
mengenai
kegiatan/
peristiwa.

2 Setelah diberikan a. Kembangkan a. Mengurangi kecemasan dan


tindakan keperawatan lingkungan yang emosional.
diharapkan klien mendukung dan b. Kebisingan merupakan
mampu mengenali hubungan klien- sensori berlebihan yang
perubahan dalam perawat yang meningkatkan gangguan
berpikir dengan KH: terapeutik. neuron.
b. Pertahankan c. Menimbulkan perhatian,
a. Mampu
lingkungan yang terutama pada klien dengan
memperlihatkan
menyenangkan gangguan perceptual.
kemampuan kognitif
dan tenang. d. Nama adalah bentuk
untuk menjalani
c. Tatap wajah identitas diri dan
konsekuensi
ketika berbicara menimbulkan pengenalan
kejadian yang
dengan klien.
No Tujuan dan kriteria
Intervensi Rasional
Dx hasil

menegangkan d. Panggil klien terhadap realita dan klien.


terhadap emosi dan dengan namanya. e. Meningkatkan pemahaman.
pikiran tentang diri. e. Gunakan suara Ucapan tinggi dan keras
b. Mampu yang agak rendah menimbulkan stress yg
mengembangkan dan berbicara mencetuskan konfrontasi
strategi untuk dengan perlahan dan respon marah.
mengatasi anggapan pada klien.
diri yang negative.
c. Mampu mengenali
tingkah laku dan
faktor penyebab.

3 Setelah diberikan a. Kembangkan a. Meningkatkan kenyamanan


tindakan keperawatan lingkungan yang dan menurunkan
diharapkan perubahan suportif dan kecemasan pada klien.
persepsi sensori klien hubungan b. Meningkatkan koping dan
dapat berkurang atau perawat-klien menurunkan halusinasi.
terkontrol dengan KH: yang terapeutik. c. Keterlibatan otak
b. Bantu klien memperlihatkan masalah
a. Mengalami
untuk yang bersifat asimetris
penurunan
memahami menyebabkan klien
halusinasi.
halusinasi. kehilangan kemampuan
b. Mengembangkan
c. Kaji derajat pada salah satu sisi tubuh.
strategi psikososial
sensori atau d. Untuk menurunkan
untuk mengurangi
gangguan kebutuhan akan halusinasi.
stress.
persepsi dan e. Piknik menunjukkan realita
c. Mendemonstrasikan
bagaiman hal dan memberikan stimulasi
respons yang sesuai
tersebut sensori yang menurunkan
stimulasi.
mempengaruhi perasaan curiga dan
klien termasuk halusinasi yang disebabkan
penurunan perasaan terkekang.
penglihatan atau
pendengaran.
d. Ajarkan strategi
untuk
No Tujuan dan kriteria
Intervensi Rasional
Dx hasil

mengurangi
stress.
e. Ajak piknik
sederhana, jalan-
jalan keliling
rumah sakit.
Pantau aktivitas.

4 Setelah dilakukan a. Jangan a. Irama sirkadian (irama


tindakan keperawatan menganjurkan tidur-bangun) yang
diharapkan tidak terjadi klien tidur siang tersinkronisasi disebabkan
gangguan pola tidur apabila oleh tidur siang yang
pada klien dengan KH : berakibat efek singkat.
negative b. Deragement psikis terjadi
a. Memahami faktor
terhadap tidur bila terdapat panggunaan
penyebab gangguan
pada malam kortikosteroid, termasuk
pola tidur.
hari. perubahan mood, insomnia.
b. Mampu menentukan
b. Evaluasi efek c. Mengubah pola yang sudah
penyebab tidur
obat klien terbiasa dari asupan makan
inadekuat.
(steroid, klien pada malam hari
c. Melaporkan dapat
diuretik) yang terbukti mengganggu tidur.
beristirahat yang
mengganggu d. Hambatan kortikal pada
cukup.
tidur. formasi reticular akan
d. Mampu
c. Tentukan berkurang selama tidur,
menciptakan pola
kebiasaan  dan meningkatkan respon
tidur yang adekuat.
rutinitas waktu otomatik, karenanya respon
tidur malam kardiovakular terhadap
dengan suara meningkat selama
kebiasaan tidur.
klien(memberi e. Penguatan bahwa saatnya
susu hangat). tidur dan mempertahankan
d. Memberikan kesetabilan lingkungan.
lingkungan yang
nyaman untuk
meningkatkan
No Tujuan dan kriteria
Intervensi Rasional
Dx hasil

tidur(mematikan
lampu, ventilasi
ruang adekuat,
suhu yang
sesuai,
menghindari
kebisingan).
e. Buat jadwal
tidur secara
teratur. Katakan
pada klien
bahwa saat ini
adalah waktu
untuk tidur.

5 Setelah diberikan a. Identifikasi a. Memahami penyebab yang


tindakan keperawatan kesulitan dalam mempengaruhi intervensi.
diharapkan klien dapat berpakaian/ Masalah dapat
merawat dirinya sesuai perawatan diri, diminimalkan dengan
dengan kemampuannya seperti: menyesuaikan atau
dengan KH : keterbatasan memerlukan konsultasi dari
gerak fisik, ahli lain.
a. Mampu melakukan
apatis/ depresi, b. Seiring perkembangan
aktivitas perawatan
penurunan penyakit, kebutuhan
diri sesuai dengan
kognitif seperti kebersihan dasar mungkin
tingkat
apraksia. dilupakan.
kemampuan.
b. Identifikasi c. Kehilangan sensori dan
kebutuhan penurunan fungsi bahasa
b. Mampu
kebersihan diri menyebabkan klien
mengidentifikasi
dan berikan mengungkapkan kebutuhan
dan menggunakan
bantuan sesuai perawatan diri dengan cara
sumber pribadi/
kebutuhan nonverbal, seperti terengah-
komunitas yang
dengan engah, ingin berkemih
dapat memberikan
perawatan dengan memegang dirinya.
bantuan.
rambut/kuku/ d. Pekerjaan yang tadinya
No Tujuan dan kriteria
Intervensi Rasional
Dx hasil

kulit, bersihkan mudah sekarang menjadi


kaca mata, dan terhambat karena
gosok gigi. penurunan motorik dan
c. Perhatikan perubahan kognitif.
adanya tanda- e. Meningkatkan kepercayaan
tanda nonverbal untuk hidup.
yang fisiologis.
d. Beri banyak
waktu untuk
melakukan
tugas.
e. Bantu
mengenakan
pakaian yang
rapi dan indah.

6 Setelah dilakukan a. Kaji derajat a. Mengidentifikasi risiko di


tindakan keperawatan gangguan lingkungan dan
diharapkan Risiko kemampuan, mempertinggi kesadaran
cedera tidak terjadi tingkah laku perawat akan bahaya. Klien
dengan KH : impulsive dan dengan tingkah laku
penurunan impulsi berisiko trauma
a. Meningkatkan
persepsi visual. karena kurang mampu
tingkat aktivitas.
Bantu keluarga mengendalikan perilaku.
b. Dapat beradaptasi
mengidentifikasi Penurunan persepsi visual
dengan lingkungan
risiko terjadinya berisiko terjatuh.
untuk mengurangi
bahaya yang b. Klien dengan gangguan
risiko trauma/
mungkin timbul. kognitif, gangguan persepsi
cedera.
b. Hilangkan adalah awal terjadi trauma
c. Tidak mengalami
sumber bahaya akibat tidak bertanggung
cedera.
lingkungan. jawab terhadap kebutuhan
c. Alihkan keamanan dasar.
perhatian saat c. Mempertahankan
perilaku keamanan dengan
teragitasi/ menghindari konfrontasi
No Tujuan dan kriteria
Intervensi Rasional
Dx hasil

berbahaya, yang meningkatkan  risiko


memenjat pagar terjadinya trauma.
tempat tidur. d. Klien yang tidak dapat
d. Kaji efek melaporkan tanda/gejala
samping obat, obat dapat menimbulkan
tanda keracunan kadar toksisitas pada lansia.
(tanda Ukuran dosis/ penggantian
ekstrapiramidal, obat diperlukan untuk
hipotensi mengurangi gangguan.
ortostatik, e. Membahayakan klien,
gangguan meningkatkan agitasi dan
penglihatan, timbul risiko fraktur pada
gangguan klien lansia (berhubungan
gastrointestinal). dengan penurunan kalsium
e. Hindari tulang).
penggunaan
restrain terus-
menerus.
Berikan
kesempatan
keluarga tinggal
bersama klien
selama periode
agitasi akut.

7 Setelah dilakukan a. Beri dukungan a. Motivasi terjadi saat klien


tindakan keperawatan untuk penurunan mengidentifikasi kebutuhan
diharapkan klien berat badan. berarti.
mendapat nutrisi yang b. Awasi berat b. Memberikan umpan balik/
seimbang dengan KH: badan setiap penghargaan.
minggu. c. Identifikasi kebutuhan
a. Mengubah pola
c. Kaji membantu  perencanaan
asuhan yang benar.
pengetahuan pendidikan.
b. Mendapat diet
keluarga/ klien d. Klien tidak mampu
nutrisi yang
mengenai menentukan pilihan
No Tujuan dan kriteria
Intervensi Rasional
Dx hasil

seimbang. kebutuhan kebutuhan nutrisi.


c. Mendapat kembali makanan. e. Ketidakmampuan
berat badan yang d. Usahakan/ beri menerima dan hambatan
sesuai. bantuan dalam sosial dari kebiasaan makan
memilih menu. berkembang seiring
e.  Beri Privasi saat berkembangnya penyakit.
kebiasaan
makan menjadi
masalah.

4. Implementasi Keperawatan

Fase dimana perawat melakukan tindakan atau intervensi yang sudah

dilaksanakan sebelumnya merupakan implementasi keperawatan

(Kozier & Synder, 2010).

5. Evaluasi

Evaluasi Keperawatan Evaluasi adalah tahap akhir dari proses

keperawatan yang merupakan perbandingan sistematis dan terencana

antara hasil akhir yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang

dibuat pada tahap perencanaan. Setidaknya ada dua hal utama yang

perlu diperhatikan dalam tahap evaluasi. Pertama, perkembangan klien

terhadap hasil yang sudah dicapai, dan kedua adalah efektif atau

tidaknya rencana keperawatan yang sudah disusun sebelumnya

(Ratnawati, 2015).
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar : Keperawatan Medikal Bedah .Vol 1 & 2.


EGC : Jakarta.

Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien edisi 3 alih bahasa
I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati. EGC : Jakarta.

Elizabeth.J.Corwin. 2009. Buku Saku :  Patofisiologi. Ed.3. EGC : Jakarta.

Kushariyadi.2010. Askep pada Klien Lanjut Usia. Salemba medika : Jakarta

Nugroho, Wahjudi. 1999. Keperawatan Gerontik Edisi 2 Buku


Kedokteran. EGC : Jakarta.

Silvia.A.Price & Wilson, Patofisiologi. Ed.8. Jakarta. EGC.2006

Stanley,Mickey. 2002. Buku Ajar Keperawatan Gerontik.Edisi2. EGC; Jakarta.

Sumber: http://stikeskabmalang.wordpress.com/2009/10/03/demensia-
pada-lansia-3/

Arjatmo, (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI

Brunner & Suddart, (1996). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:


EGC

Capernito, (2000). Diagnosa Keperawatan, edisi 8. Jakarta: EGC


Doengoes, (1999). Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC

Prince, Loraine M. Wilson, (1995). Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit,


edisi 4. Jakarta: EGC

Corwin, J. Elizabeth, (2001). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai