KEPERAWATAN AJAL
DELIRIUM DAN DIMENSIA
Dosen pembimbing : Ns. Sulastri.,M.Kep.Sp.Jiwa
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam yang melimpahkan
rahmatnya kepada kita serta sholawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada nabi
Muhammad SAW yang telah menunjukkan kita pada jalan kebenaran yakni agama Islam.
Makalah yang berjudul “ DELIRIUM DAN DIMENSIA” ini merupakan sebuah tugas untuk
memenuhi tugas mata kuliah. Yang mana dengan tugas ini beliau dapat mengetahui seberapa
besar kemampuan para mahasiswa dalam memahami mata kuliah yang beliau ajarkan.
Agar kami lebih mudah dalam menulis makalah ini, kami berusaha semaksimal mungkin
mencari beberapa referensi baik dari buku maupun internet serta mempelajarinya untuk
mempermudah dalam penyelesaian makalah ini.
Kami harap makalah ini dapat mengganti semua kekurangan kami saat kuliah dan juga dapat
menambah pengetahuan kami walaupun hanya sedikit karena memang itulah batas
kemampuan kami. Selain itu kami harap makalah ini juga bermanfaat dan dapat
meningkatkan pengetahuan belajar kita tentang delirium dan dimensia
Kritik dan saran sangat diharapkan oleh penulis untuk mengetahui kekurangan dari makalah
ini karena penulis masih dalam taraf belajar dan bukanlah manusia yang sempurna.
Penulis
BAB.1
PENDAHULUAN
Sindrom delirium adalah kondisi yang sering dijumpai pada pasien geriatri di
rumah sakit. Sindrom ini sering tidak terdiagnosis dengan baik saat pasien berada di
rumah (akibat kurangnya kewaspadaan keluarga) maupun saat pasien sudah berada di
unit gawat darurat atau unit rawat jalan. Gejala dan tanda yang tidak khas merupakan
salah satu penyebabnya. Setidaknya 32% - 67% dari sindrom ini tidak terdiagnosis,
padahal kondisi ini dapat dicegah. Literature lain menyebutkan bahwa 70% dari kasus
sindrom delirium tidak terdiagnosis atau salah terapi. Sindrom delirium sering muncul
sebagai keluhan utama atau tak jarang justru terjadi pada hari pertama pasien dirawat
dan menunjukkan gejala yang berfluktuasi.
Delirium dan demensia adalah dua kondisi yang mungkin sulit untuk
dibedakan, karena keduanya dapat menyebabkan menurunnya daya ingat, kemampuan
berpikir yang buruk, penurunan kemampuan berkomunikasi, dan gangguan fungsi.
Namun, bila ditinjau lebih jauh, delirium dan demensia sebenarnya memiliki banyak
perbedaan.
BAB II
Delirium dan Demensia
Scott A. Small dan Richard Mayeux
Delirium dan demensia merupakan kelainan yang sering ditemukan pada pasien pada
semua usia, namun kelainan ini paling sering ditemukan pada pasien usia lanjut. Delirium
adalah suatu keadaan kebingungan (confusion) mental yang dapat disertai fluktuasi
kesadaran, kecemasan, halusinasi, ilusi, dan waham (delusi). Kelainan ini dapat menyertai
infeksi, kelainan metabolik, dan kelainan medis atau neurologis lain atau berhubungan
dengan penggunaan obat-obatan atau gejala putus obat. Demensia, sebaliknya, merupakan
kondisi dimana memori dan fungsi kognitif lain terganggu sehingga kegiatan sosial normal
atau pekerjaan menjadi terhambat. Sebagian besar demensia merupakan hasil dari penyakit
degenerasi otak namun stroke dan infeksi juga dapat menimbulkan demensia.
Delirium
Hippocrates pertama kali menjelaskan sifat-sifat dari delirium. Kriteria dasar bagi
diagnosis delirium meliputi gangguan kesadaran dan perubahan fungsi kognitif yang terjadi
dalam periode waktu yang singkat, seperti dalam beberapa jam atau hari. Gejala yang
berhubungan dengan delirium adalah: gangguan dari siklus tidur-terjaga, mengantuk, tidak
dapat beristirahat, inkoherensi, iritabilitas, labilitas emosi, misinterpretasi persepsi (ilusi), dan
halusinasi.
Manifestasi delirium sering memburuk pada malam hari. Gangguan memori dan
bahasa yang memiliki onset cepat, dan disorientasi yang sebelumnya tidak terdapat
merupakan indikasi terjadinya delirium. Karakteristik lain meliputi tedapatnya kondisi medis
atau neurologis dimana gangguan mental bersifat sekunder dan hilangnya gangguan mental
tersebut apabila kelainan medis atau neurologis telah sembuh.
Delirium dapat ditimbulkan oleh sejumlah kondisi medis dan neurologis. Hampir
semua kondisi medis akut berat atau kondisi bedah, dalam situasi yang tepat, dapat
menimbulkan delirium. Penyebab-penyebab delirium yang paling sering dapat
dikelompokkan dalam kategori kelainan otak primer dan kelainan sistemik. Kelainan otak
primer mencakup cedera kepala, stroke, peningkatan tekanan intrakranialm infeksi, dan
epilepsi. Penyakit sistemik dapat berupa infeksi, kardiovaskuler, dan endokrin. Intoksikasi
bahan-bahan kimia meliputi penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan dan juga putus obat
(withdrawal) dari substansi-substansi tadi dapat menimbulkan delirium
Pasien yang sedang dirawat inap memiliki resiko tertinggi mengalami delirium, yang
terjadi pada 10%-20% pasien rawat inap. Resiko tersebut lebih tinggi pada pasien tua yang
dirawat di rumah sakit untuk waktu yang lama. Selain itu, fakor predisposisi yang lain
meliputi usia lanjut, terdapatnya demensia, dan gangguan kesehatan fisik dan mental. Pasien
lansia yang menjalani prosedur bedah kardiovaskuler atau ortopedi dan pasien pada
perawatan intensif karena penyakit kanker memiliki insidensi delirium yang paling tinggi.
Pasien dengan pendengaran dan penglihatan yang terganggu tanpa alat bantu dengar atau
kacamata dalam waktu yang lama juga memiliki resiko delirium.
Pada pasien tua, senyawa antikolinergik dan hipnotik merupakan senyawa tersering
dari delirium yang ditimbulkan oleh obat.
Penanganan Delirium
Delirium merupakan suatu kegawatdaruratan medis dan evaluasi segera dari faktor-
faktor yang menimbulkan kejadian tersebut sangat krusial karena penyakit atau intoksikasi
obat dapat bersifat fatal apabila tidak segera diobati. Empat kunci utama dalam penanganan
delirium meliputi: 1) mengidentifikasi penyebab, 2) mengendalikan perilaku, 3) mencegah
komplikasi, dan 4) memberikan support/dukungan bagi kebutuhan fungsional. Terjadinya
delirium dapat melipatgandakan resiko kematian dalam hitungan jam atau minggu.
Penanganan delirium yang berhasil dapat menghilangkan peningkatan resiko kematian ini.
Dua prediktor paling penting dari prognosis adalah usia lanjut dan terdapatnya berbagai
penyakit fisik.
Evaluasi diagnostik ditentukan oleh temuan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan pertama meliputi elektrolit, pemeriksaan darah lengkap, tes fungsi liver dan
tiroid, LED, pemeriksaan screening toksikologi, serologi sifilis, kultur darah, kultur urin, foto
roentgen dada, dan ECG. Apabila penyebabnya tidak dapat ditentukan dari uji-uji yang
disebutkan tadi, pemeriksaan lain perlu dipertimbangkan seperti pencitraan otak
(neuroimaging), EEG, titer antibodi HIV, enzim-enzim jantung, gas darah, dan screening
autoantibodi.
Tingkat kesadaran yang berfluktuasi pada delirium disertai dengan perubahan EEG
yang khas. Berbagai tingkat kesadaran paralel dengan perlambatan ritme background EEG.
Gelombang trifasik juga dapat terlihat. Pengobatan yang sesuai dari penyakit yang diderita
(underlying disease) meningkatkan baik status mental dan EEG pada pasien.
Dementsia
Penyakit Alzheimer (lihat bagian XIII, demensia) merupakan bentuk demensia yang
paling sering terjadi, merupakan lebih dari 50% total kasus pada penelitian klinis dan autopsi.
(tabel 1.1).
Penyakit cerebrovaskuler dapat pula menjadi penyebab demensia dan juga dapat
berperan sebagai faktor resiko. Demensia vaskuler dapat didefinisikan sebagai sindrom klinis
dari suatu gangguan intelektual yang timbul karena cedera otak, karena penyakit
cerebrovaskler iskemik atau perdarahan atau karena hipoperfusi dari struktur otak. Dari
semua kasus demensia, 15% dampai 20% berhubungan dengan penyakit vaskuler. Diagnosis
demensia vaskuler berdasarkan terdapatya kehilangan kognitif dan lesi cerebrovaskuler yang
didemonstrasikan oleh pencitraan otak. Demensia dapat pula terjadi berhubungan dengan
penyakit pembuluh darah besar dengan stroke multipel (multi infarct dementia) atau stroke
tunggal (strategic stroke), yang dapat pula terjadi pada pasien dengan penyakit Alzheimer.
Hal esensial yang diperlukan dalam membedakan demensia vaskuler adalah demensia dan
kelainan cerebrovaskuler hanya berhubungan secara sementara. Parkinsonisme (lihat bab
115, Parkinsonisme) juga sering berhubungan dengan demensia dan sebagian ahli
menganggap demensia dengan badan Lewy (Dementia with Lewy bodies[DLB]) merupakan
merupakan penyebab demensia paling sering kedua (lihat bab 107). Penyakit Huntington
(lihat bab 109, penyakit Huntington) jauh lebih jarang menyebabkan demensia namun tetap
merupakan penyebab demensia yang pentng pada usia presenile. Penyakit degeneratif yang
lebih jarang terjadi mencakup demensia frontotemporal (lihat bab 107), progresive
supranuclear palsy (lihat bab 116), dan ataxia herediter (lihat bab108).
Demensia yang dieimbulkan oleh HIV saat ini merupakan penyebab demensia karena
infeksi yang paling sering dan merupakan penyebab demensia paling sering pada dewasa
muda. Penyakit Creutzfeld-Jakob dan penyakit demensia yang disebabkan oleh prion
merupakan contoh penyebab demensia lain yang dapat ditularkan. Infeksi nonviral biasanya
lebih jarang muncul sebagai infeksi kronis dibandingkan ensefalitis akut. Meningitis fungal
kadangkala dapat muncul dengan gejala demensia.
Penyebab demensia yang bersifat nutrisional, toksik, dan metabolik tetap penting,
namun jarang terjadi karena bersift reversibel. Defisiensi vitamin B12 kadangkala
menimbulkan demensia dan dapat terjadi tanpa anemia atau penyakit sumsum tulang.
Diantara kelainan metabolik yang dapat timbul sebagai demensia, hipotiroidisme adalah yang
paling penting. Kelainan metabolik yang dapat menimbulkan demensia pada dewasa meliputi
penyakit Wilson, bentuk dewasa dari ceroid Lipofuscinosis (Kufs disease), cerebrotendious
xanthomatosis, metachromatic leukodystrophies, dan kelainan mitrokondria. Pada akhirnya,
pemakaian obat yang berkepanjangan atau paparan terhadap logam berat dapat menimbulkan
intoksikasi kronis karena ketidakmampuan pasien memetabolis obat tersebut atau karena
reaksi idiosinkrasi yang dapat disalah artikan sebagai demensia.
Diagnosis Diferensial
Gejala pertama demensia termasuk sering lupa, salah meletakkan barang, dan
kesulitan dalam menemukan kata. Seiring dengan proses penuaan terjadi, dan membedakan
penurunan kognitif karena usia tua dan demensia awal dapat menyulitkan. Usaha telah
dilakukan untuk menjelaskan perubahan kognitif yang berhubungan dengan penuaan dan
berbagai jenis kriteria telah menciptakan istilah yang beragam, termasuk age-associated
memory impairment (AAMI), age-related cognitive change (ARCD), dan mild cognitive
impairment (MCI). MCI dipergunakan sebagai istilah kronis untuk menjelaskan transisi
antara penuaan normal dan penyakit alzheimer atau demensia lain. Kriteria MCI yang telah
dipublikasikan mencakup tidak adanya demensia dan terdapatnya keluhan gangguan memori
sementara fungsi kognitif umum dan aktivitas kehidupan sehari-hari tetap terjaga baik.
Pemeriksaan follow up dari individu dengan MCI mengindikasikan bahwa sebagian, tapi
tidak semua, mengalami demensia seiring dengan berjalannya waktu. Oleh karena itu,
sepertinya perubahan yang terjadi pada fungsi kognitif tidak dapat dihindari pada usia tua,
dan penyakit yang menimbulkan demensia pada tahap awal merupakan penyebab yang
menimbulkan penyakit tersebut, walaupun etiologi non demensia lain juga dapat menyebab
kan penurunan kognitif mengidentifikasi berbagai penyebab tersebut masih sulit.
Diagnosis pada pasien dengan demensia dan depresi kadangkala dapat sulit. Depresi
dapat merupakan manifestasi awal dari penyakit Alzheimer. Pada depresi, kehilangan memori
biasanya menurun dan seiring dengan perburukan mood. Onset masalah memori mungkin
dapat lebih cepad daripada demensia dan sering bersifat ringan, dan grafiknya cenderung
melandai (tend to plateau). Hasil tes neuropsikologis mungkin bersifat atipikal pada
demensia.
Uji diagnostik untuk membedakan penyakit Alzheimer dengan demensia lain telah
dikembangkan, namun akurasinya masih kurang belum diterapkan pada penggunan rutin.
Konstituen patologis dari protein amyloid-beta dan protein tau telah diukur pada cairan
cerebrospinal, dan dapat mengidentifikasi pasien dengan penyakit Alzheimer. Pada
umumnya, protein amyloid menurun sementara tau meningkat pada cairan cerebrospinal.
Walaupun pemeriksaan ini lebih baik dibandingkan metode-metode sebelumnya, tes ini tidak
lebih akurat dibandingkan kriteria klinis NINCDS-ADRDA. Walaupun beberapa gen telah
diketahui berhubungan dengan beberapa bentuk penyakit familial dan gen tunggal dengan
beberapa jenis penyakit familial dan gen tunggal berhubungan dengan penyakit Alzheimer
sproradik, namun screening varian gen yang bermutasi sebagai uji diagnostik tidak
direkomendaikan. Kriteria NINCDS-ADRDA merupakan kriteria klinis standar untuk
diagnosis Alzheimer dan merupakan indikator yang dapat cukup akurat dan dipercaya.
CT scan dan MRI penting dalam mengidntifikasi tumor atau stroke sebagai penyebab
demensia. Atrofi, stroke, tumor otak, hematoma subdural, dan hidrosefalus dapat didiagnosis
dengan metode pencitraan otak terkini. Perubahan pada intensitas substansia alba harus
diinterpretasikan dengan hati-hati. Perubahan intensitas dapat disebabkan oleh perubahan
iskemik pembuluh darah kecil, penuaan normal, atau dilatasi spatium Virchow-Robin yang
ditimbulkan oleh penyakit Alzheimer. Pencitraan otak fungsional dengan SPECT juga dapat
membantu. Hipoperfusi temporoparietal bilateral merupakan indikasi defisit metabolik,
sugestif pada penyakit Alzheimer atau penyakit Parkinson idiopatik dengan demensia.
Hipometabolisme frontal bilateral menandakan demensia frontotemporal, progressive
supranuclear palsy, atau depresi. Zona hipometabolik multipel di seluruh otek menandakan
demensia vaskuler atau demensia yang berhubungan dengan HIV. Functional magnetic
resonance imaging (fMRI) merupakan modalitas pencitraan fungsional yang relatif baru
namun belum disempurnakan untuk kegunaan diagnostik. EEG juga berguna dalam
mengidentifikasi dan membedakan penyakit Creutzfeld-Jakob, yang memiliki tanda berupa
lepasan (discharge) periodik dan juga perlambatan generalisata (generalized slowing).
Tes darah penting dalam diagnosis demensia yang berhubungan dengan penyakit
endokrin dan gagal hati atau ginjal. Penting juga untuk mendapatkan hasil tes fungsi tiroid
karena hipotiroidisme merupakan penyebab demensia yang reversibel. Defisiensi vitamin
B12 dapat terdeteksi pada pasien yang tidak anemik, dengan menentukan kadar vitamin B 12
serum. Walaupun neurosifilis jarang terjadi pada saat ini, penyakit tersebut juga merupakan
penyebab demensia yang reversibel; uji serologis terhadap sifilis harus dilakukan.
Pengukuran kadar obat dalam darah dapat mendeteksi intoksikasi. ESR dan pemeriksaan
terhadap penyakit jaringan ikat (seperti antibodi antinuklear dan rheumatoid factor) harus
dilakukan apabila gambaran klinisnya menandakan terdapatnya bukti-bukti vaskulitis atau
arthritis. Pada setiap dewasa muda dengan demensia, titer HIV harus dipertimbangkan, uji
ceruloplasmin juga harus dilakukan.
Detail dari diagnosis diferensial yang dapat menimbulkan demensia disediakan pada
bab yang bersangkutan. Sangat penting untuk menekankan bahwa evaluasi yang menyeluruh
pada pasien demensia harus dilakukan. Walaupun pengobatan efektif terhadap penyakit
degeneratif primer terbatas, banyak etiologi demensia lain yang dapat dipengaruhi oleh
pengobatan, yang penurunan fungsi kognitifnya dapat dihambat, bahkan dikembalikan.
Pemeriksaan status mental merupakan bagian yang esensial dari setiap pemeriksaan
neurologis. Pemeriksaan ini mencakup evaluasi dari kewaspadaan (awareness) dan kesadaran
(consciousness), tingkah laku, keadaan emosional, isi dan proses berpikir, dan kemampuan
(kapabilitas) sensoris dan intelektual. Gangguan intelektual jelas pada kondisi yang khas
seperti delirium tremens atau demensia lanjut, namun defisit kognitif mungkin tidak jelas
pada kasus awal delirium atau demensia kecuali dokter memeriksa status mental secara
spesifik.
Item yang paling penting dan sensitif mungkin adalah orientasi waktu, pengulangan
serial, dan frase memori. Pemeriksaan mini-mental status exam (MMSE) dilakukan sebagai
standar pengukuran status kognitif untuk dipergunakan untuk tujuan penelitian dan
pemeriksaan klinis. Pemeriksaan ini pendek, berlangsung sekitar 10 menit, dan relatif mudah
untuk dilakukan bahkan saat di samping tempat tidur pasien (bedside exam). Skema
penilaiannya digambarkan pada tabel 1.2, dan skor maksimumnya adalah 30 poin. Skor yang
kurang dari 24 dianggap konsisten dengan demensia.
Sangat penting untuk menekankan bahwa MMSE, seperti semua pemeriksaan status
mental singkat lainnya, tidak akurat. Beberapa penelitian mempergunakan skor 26 sebagai
cutoff (titik ambang) untuk menandakan demensia ringan dan untuk meningkatkan
spesifisitas. MMSE cenderung menimbulkan overdiagnosis demensia pada pasien dengan
pendidikan kurang. Oleh karena itu MMSE harus dipergunakan sebagai langkah utama, dan
harusnya tidak menggantikan anamnesis atau pemeriksaan fungsi neurofisiologis (lihat bab
20).
Sebagai tambahan terhadap pengujia status mental, sangat penting untuk memeriksa
fungsi intelektual yang lebih tinggi, termasuk kelainan bahasa (dysphasia): apraxia
konstruksional, dan disorientasi kanan-dan-kiri; dan juga pengujian terhadap
ketidakmampuan melaksanakan perintah kompleks, terutama yang memerlukan gerakan
melintasi garis tengah (crossing the midline) (misalnya: sentuhlah telinga kiri anda dengan
jempol kanan anda.); ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang membutuhkan
imajinasi (imagined act) (apraxia ideomotor, misal seandainya anda mempunyai sebuah
korek api, dan tunjukkan pada saya bagaimana caranya anda menyalakan korek api.);
pengabaian unilateral (unilateral neglect; atau inatensi (tidak adanya perhatian) pada stimulasi
ganda. Abnormalitas ini sering berhubungan dengan lesi otak tunggal, namun juga dapat
terganggu pada delirium atau demensia. Pemeriksaan aphasia, apraksia, dan agnosia
dijelaskan dengan detail pada bab 2.
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Sudoyo. Aru W. dkk. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Jili I Edisi IV. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta
Kaplan dan Sadock. 2010. Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi 2. EGC :
Jakarta
Trzepacz, Paula T., Dinesh Mittal, Rafael Torres, Kim Kanary, John Norton,
dan Nita Jimerson. "Validasi Delirium Rating Skala-Revisi-98: Perbandingan dengan
skala penilaian delirium dan tes kognitif untuk delirium." Journal of Neuroscience
Neuropsychiatry dan Klinis 13 (2001): 229-242.
Fong TG, Tulebaev SR, Inouye SK. Delirium in elderly adults: Diagnosis,
prevention and treatment. Nat Rev Neurol. 2009; 5(4): 210-20. doi:
10.1038/nrneurol.2009.24