Anda di halaman 1dari 15

Konsep dan Manajemen Delirium Pada Pasien Keperawatan Kritis

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah :

KEPERAWATAN KRITIS

Dosen Pengampu :
Ns. Diah Tika Anggraeni, S.Kep, M.Kep

Disusun oleh :

Dwi Kurniawati (1610711006)


Haniah Rahmawati (1610711009)
Ziya Daturahmah (1610711013)
Noer Aeni Zam Zam Mia (1610711016)
Windi Kartika (1610711019)
Lycia Dwi Lindiyani (1610711025)
Sharah Nursa’iidah (1610711038)
Berthalia Veronica (1610711039)
Chalvin Aprianto (1610711041)

PROGRAM STUDI S1-KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

JAKARTA
2019

BAB 1

KONSEP DELIRIUM

A. Pengertian
Delirium adalah diagnosis klinis, gangguan otak difus yang dikarasteristikkan
dengan variasi kognitif dan gangguan tingkah laku. Delirium ditandai oleh gangguan
kesadaran, biasanya terlihat bersamaan dengan fungsi gangguan kognitif secara global.
Kelainan mood, persepsi dan perilaku adalah gejala psikiatrik yang umum; tremor,
asteriksis, nistagmus, inkoordinasi dan inkontinensia urin merupakan gejala neurologis
yang umum.
Delirium dapat terjadi pada berbagai tingkat usia namun tersering pada usia diatas
60 tahun. Menggigau merupakan gejala sementara dan dapat berfluktuasi intensitasnya,
kebanyakan kasus dapat sembuh dalam waktu 4 minggu atau kurang. Akan tetapi jika
delirium dengan fluktuasi yang menetap lebih dari 6 bulan sangat jarang dan dapat menjadi
progresif kearah dementia.

B. Etiologi
Faktor predisposisi terjadinya delirium, antara lain:
• Usia
• Kerusakan otak
• Riwayat delirium
• Ketergantungan alkohol
• Diabetes
• Kanker
• Gangguan panca indera
• Malnutrisi
• Alkohol, obat-obatan dan bahan beracun
• Efek toksik dari pengobatan
• Kadar elektrolit, garam dan mineral (misalnya kalsium, natrium atau magnesium) yang
tidak normal akibat pengobatan, dehidrasi atau penyakit tertentu
• Infeksi Akut disertai demam
• Hidrosefalus bertekanan normal, yaitu suatu keadaan dimana cairan yang membantali
otak tidak diserap sebagaimana mestinya dan menekan otak
• Hematoma subdural, yaitu pengumpulan darah di bawah tengkorak yang dapat menekan
otak.
• Meningitis, ensefalitis, sifilis (penyakit infeksi yang menyerang otak)
• Kekurangan tiamin dan vitamin B12
• Hipotiroidisme maupun hipotiroidisme
• Tumor otak (beberapa diantaranya kadang menyebabkan linglung dan gangguan
ingatan)
• Patah tulang panggul dan tulang-tulang panjang
• Fungsi jantung atau paru-paru yang buruk dan menyebabkan rendahnya kadar oksigen
atau tingginya kadar karbon dioksida di dalam darah
• Stroke

C. Patofisologi
Delirium merupakan fenomena kompleks, multifaktorial, dan mempengaruhi
berbagai bagian sistem saraf pusat. Hipotesis terbaru menunjukkan defisiensi jalur
kolinergik dapat merupakan salah satu faktor penyebab delirium. Delirium yang
diakibatkan oleh penghentian substansi seperti alkohol, benzodiazepin, atau nikotin dapat
dibedakan dengan delirium karena penyebab lain. Pada delirium akibat penghentian
alkohol terjadi ketidakseimbangan mekanisme inhibisi dan eksitasi pada system
neurotransmiter. Konsumsi alkohol secara reguler dapat menyebabkan inhibisi reseptor
NMDA (N-methyl-D-aspartate) dan aktivasi reseptor GABA-A (gammaaminobutyric
acid-A). Disinhibisi serebral berhubungan dengan perubahan neurotransmitter yang
memperkuat transmisi dopaminergik dan noradrenergik, adapun perubahan ini
memberikan manifestasi karakteristik delirium, termasuk aktivasi simpatis dan
kecenderungan kejang epileptik. Pada kondisi lain, penghentian benzodiazepine
menyebabkan delirium melalui jalur penurunan transmisi GABA-ergik dan dapat timbul
kejang epileptik. Delirium yang tidak diakibatkan karena penghentian substansi timbul
melalui berbagai mekanisme, jalur akhir biasanya melibatkan defisit kolinergik
dikombinasikan dengan hiperaktivitas dopaminergik.

Perubahan transmisi neuronal yang dijumpai pada delirium melibatkan berbagai


mekanisme, yang melibatkan tiga hipotesis utama, yaitu:
1. Efek Langsung

Beberapa substansi memiliki efek langsung pada sistem neurotransmiter,


khususnya agen antikolinergik dan dopaminergik. Lebih lanjut, gangguan metabolik
seperti hipoglikemia, hipoksia, atau iskemia dapat langsung mengganggu fungsi
neuronal dan mengurangi pembentukan atau pelepasan neurotransmiter. Kondisi
hiperkalsemia pada wanita dengan kanker payudara merupakan penyebab utama
delirium.

2. Inflamasi
Delirium dapat terjadi akibat gangguan primer dari luar otak, seperti penyakit
inflamasi, trauma, atau prosedur bedah. Padabeberapa kasus, respons inflamasi
sistemik menyebabkan peningkatan produksi sitokin, yang dapat mengaktivasi
mikroglia untuk memproduksi reaksi infl amasi pada otak. Sejalan dengan efeknya
yang merusak neuron, sitokin juga mengganggu pembentukan dan pelepasan
neurotransmiter. Proses infl amasi berperan menyebabkan delirium pada pasien dengan
penyakit utama di otak (terutama penyakit neurodegeneratif ).
3. Stres
Faktor stres menginduksi sistem saraf simpatis untuk melepaskan lebih banyak
noradrenalin, dan aksis hipotalamuspituitari- adrenokortikal untuk melepaskan lebih
banyak glukokortikoid, yang juga dapat mengaktivasi glia dan menyebab kan
kerusakan neuron.

D. Klasifikasi
Klasifikasi sindrok delirium berdasarkan aktifitas psikomotor (tingkat/kondisi
kesadaran, aktifitas perilaku) yakni:
1) Hiperaktif

Delirium hiperaktif merupakan delirium yang paling sering terjadi. Pada


pasien terjadi agitasi, psikosis, labilitas mood, penolakan untuk terapi medis, dan
tindakan dispruptif lainnya.

2) Hipoaktif

Adalah bentuk delirium yang paling sering, tapi sedikit dikenali oleh para
klinisi. Pasien tampak bingung, lethargia, dan malas.

E. Gejala Klinis
Klasifikasi dan kriteria diagnosis delirium dapat berdasarkan DSM V (Diagnosis
and Statistical Manual of Mental Disorders, 5th edition). Kriteria DSM V tahun 2013 tidak
berbeda dengan pada DSM IV-TR tahun 2000.
DSM V mengklasifikasi delirium menurut etiologi sebagai berikut:
1. Delirium yang berhubungan dengan kondisi medik umum
2. Delirium intoksikasi substansi (penyalahgunaan obat)
3. Delirium penghentian substansi
4. Delirium diinduksi substansi (pengobatan atau toksin)
5. Delirium yang berhubungan dengan etiologi multipel
6. Delirium tidak terklasifikasi.
Diagnosis delirium memerlukan 5 kriteria (A-E) dari DSM V, yaitu:
a) Gangguan kesadaran (berupa penurunan kejernihan kesadaran terhadap lingkungan)
dengan penurunan kemampuan fokus, mempertahankan atau mengubah perhatian.
b) Gangguan berkembang dalam periode singkat (biasanya beberapa jam hingga hari) dan
cenderung berfluktuasi dalam perjalanannya.
c) Perubahan kognitif (seperti defisit memori, disorientasi, gangguan bahasa) atau
perkembangan gangguan persepsi yang tidak dapat dimasukkan ke dalam kondisi
demensia.
d) Gangguan pada kriteria (a) dan (c) tidak disebabkan oleh gangguan neurokognitif lain
yang telah ada, ter bentuk ataupun sedang berkembang dan tidak timbul pada kondisi
penurunan tingkat kesadaran berat, seperti koma.
e) Temuan bukti dari riwayat, pemeriksaan fisik, atau laboratorium yang mengindikasikan
gangguan terjadi akibat konsekuensi fisiologik langsung suatu kondisi medik umum,
intoksikasi atau penghentian substansi (seperti penyalahgunaan obat atau pengobatan),
pemaparan terhadap toksin, atau karena etiologi multipel.

Suatu algoritma dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis sindrom delirium


yang dikenal dengan Confusion Assessment Method (CAM). Algoritma tersebut telah
divalidasi, sehingga dapat digunakan untuk penegakan diagnosis. CAM ditambah uji status
mental lain dapat dipakai sebagai baku emas diagnosis. Algoritma CAM memiliki
sensitivitas 94-100% dan spesifi sitas 90-95%, dan tingkat reliabilitas inter-observer tinggi
apabila digunakan oleh tenaga terlatih. Uji status mental lain yang sudah lazim
dikenalantara lain Mini-mental Status Examination (MMSE), Delirium Rating Scale,
Delirium Symptom Interview. Kombinasi pemeriksaan tersebut dapat dikerjakan dalam
waktu sekitar 15 menit oleh tenaga kesehatan terlatih, cukup andal, spesifik, serta sensitif.
BAB 2

MANAJEMEN DELIRIUM

A. Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan adalah menentukan dan mengatasi pencetus serta factor
predisposisi. Keselamatan pasien dan keluarga harus diperhatikan. Comprehensive
geriatric assessment (pengkajian geriatric paripurna) sangat bermanfaat karena akan
memberikan gambaran lebih jelas tentang beberapa faktor resiko yang dimiliki pasien.
Pemeriksaan penunjang dasar seperti darah perifer lengkap, elektrolit, analisis gas
darah, gula darah, ureum, kreatinin, SGOT dan SGPT, urin lengkap, EKG, foto toraks dan
kultur darah harus segera dilaksanakan.
Penatalaksanaan spesifik ditujukan untuk mengidentifikasi pencetus dan
predisposisi. Segera setelah factor pencetus diketahui maka dapat dilakukan tindakan yang
lebih definitive sesuai factor pencetusnya. Memperbaiki factor predisposisi harus
dikerjakan tanpa menunggu selesainya masalah terkait faktor pencetus.
Penatalaksanaan delirium sangat kompleks sehingga di simpulkan seperti tabel
dibawah:
1) Pengobatan etiologik harus sedini mungkin dan di samping faal otak dibantu
agar tidak terjadi kerusakan otak yang menetap.
2) Peredaran darah harus diperhatikan (nadi, jantung dan tekanan darah), bila perlu
diberi stimulansia.
3) Pemberian cairan harus cukup, sebab tidak jarang terjadi dehidrasi. Hati-hati
dengan sedativa dan narkotika (barbiturat, morfin) sebab kadang-kadang tidak
menolong, tetapi dapat menimbulkan efek paradoksal, yaitu klien tidak menjadi
tenang, tetapi bertambah gelisah.
4) Penderita harus dijaga terus, lebih-lebih bila ia sangat gelisah, sebab berbahaya
untuk dirinya sendiri (jatuh, lari dan loncat keluar dari jendela dan sebagainya)
ataupun untuk orang lain.
5) Dicoba menenangkan pasien dengan kata-kata (biarpun kesadarannya
menurun) atau dengan kompres es. pasien mungkin lebih tenang bila ia dapat
melihat orang atau barang yang ia kenal dari rumah. Sebaiknya kamar jangan
terlalu gelap , pasien tidak tahan terlalu diisolasi.
6) Terdapat gejala psikiatrik bila sangat mengganggu dapat diberikan neroleptika,
terutama yang mempunyai dosis efektif tinggi.
B. Pencegahan
Berikut beberapa tindakan yang terbukti dapat mencegah delirium seperti yang
tertera pada Tabel dibawah :
ANALISIS JURNAL

1. “Angka Kejadian Delirium dan Faktor Risiko di Intensive Care Unit Rumah Sakit
Dr. Hasan Sadikin Bandung”
Menurut Jurnal Anestesi Perioperatif. Tahun 2016 dengan judul “Angka Kejadian
Delirium dan Faktor Risiko di Intensive Care Unit Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin
Bandung” mengatakan bahwa Delirium merupakan suatu sindrom serebral organik dengan
penyebab yang tidak spesifik. Delirium memiliki insidensi yang tinggi pada pasien dengan
penyakit kritis. Beberapa bentuk menunjukkan gambaran hiperaktif (agitasi, takikardia,
dan gemetar), hipoaktif (tenang, pasif), dan campuran. Terdapat beberapa alat ukur untuk
menilai delirium pada pasien dengan penyakit kritis. Salah satu nya Confusion Assessment
Method-Intensive Care Unit (CAM-ICU) memiliki tingkat sensitivitas 81% dan spesifisitas
tertinggi 96%.
Tingkat kesadaran pada pasien delirium pada penelitian ini paling banyak adalah
kompos mentis, apatis, dan somnolen. Penyebab delirium menurut salah satu teori adalah
terdapatnya defisiensi neurotransmiter asetikolin serta dopaminergik. Pada geriatrik
terdapat defisiensi relatif asetilkolin hasil metabolisme oksidatif otak sehingga terjadi
disfungsi mental. Neurotransmiter asetilkolin berperanan sangat penting dalam awareness.
Menurut kelompok kami, delirium memiliki insidensi yang tinggi pada pasien
dengan penyakit kritis. Tingkat kesadaran yang banyak terdeteksi pada pasien yang positif
delirium tergolong tipe hipoaktif, yaitu kompos mentis sampai dengan somnolen. Angka
kejadian mortalitas pada pasien positif delirium lebih tinggi dibanding dengan pasien yang
tidak terdeteksi delirium. Pada penelitian ini faktor risiko geriatrik merupakan faktor risiko
terbesar pada pasien positif delirium dilihat dari jumlah pasien di tabel 5
2. “Studi Tingkat Pengetahuan Perawat Tentang Asuhan Keperawatan Pasien
Delirium Di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Baptis Kediri”
Menurut Jurnal STIKES Tahun 2016 dengan judul “Studi Tingkat Pengetahuan
Perawat Tentang Asuhan Keperawatan Pasien Delirium Di Ruang Rawat Inap Rumah
Sakit Baptis Kediri” Delirium adalah suatu gangguan kesadaran, biasanya terlihat
bersamaan dengan gangguan fungsi kognitif (Kaplan, 2002). Faktor–faktor predisposisi
diantaranya adalah demensia, obat– obatan multiple, usia lanjut, kecelakaan otak, depresi,
ketergantungan alkohol. Sedangkan faktor presipitasi adalah penyakit akut berat,
polifarmasi, bedah dan anestesi, dan masalah–masalah sistemik lainya.
Hasil penelitian didapatkan tingkat pengetahuan perawat tentang pengkajian
keperawatan adalah cukup. Dari 8 pertanyaan pada kuesioner tentang pengkajian
keperawatan jawaban salah paling banyak pada nomer 2 dan 6. Pertanyaan nomer 2
mengenai apakah delirium sebagai penyakit genetik. Dari 51 responden 22 menjawab salah
sehingga perawat berpikiran bahwa delirium merupakan penyakit genetik atau menurun.
Pertanyaan nomer 6 mengenai apakah perlu pengkajian GCS (Glasgow Coma Skale) untuk
menilai tingkat kesadaran pada delirium. Pertanyaan yang lain mengenai pengenalan awal
delirium dapat dijawab dengan baik oleh responden. Dengan demikian pemahaman
mengenai pengkajian terutama berguna untuk pengenalan awal delirium adalah cukup.
Hasil penelitian didapatkan tingkat pengetahuan perawat tentang diagnosa
keperawatan adalah cukup. Dari 5 pertanyaan tentang diagnosa keperawatan jawaban salah
paling banyak pada nomer 2 dan 6. Pertanyaan nomer 2 mengenai diagnosa keperawatan
halusinasi pada pasien delirium. Dari 51 responden 42 responden menjawab salah, berarti
responden beranggapan bahwa halusinasi dapat diambil diagnosa keperawatan perubahan
proses pikir seharusnya jawaban yang tepat adalah halusinasi dapat diambil diagnosa
keperawatan perubahan persepsi sensori karena pasien delirium terjadi perubahan dalam
proses persepsi sehingga terjadi halusinasi. Pertanyaan nomer 3 mengenai insomnia
diagnosa keperawatan yang dapat diambil adalah perubahan pola tidur kemungkinan
disebabkan oleh koping tidak efektif. Dari 51 responden 45 responden menjawab salah.
Insomnia merupakan gangguan tidur yang sering terjadi pada pasien delirium tetapi
kemungkinan penyebab adalah hiperaktivitas dari pasien delirum bukan karena koping
yang tidak efektif.
Hasil penelitian didapatkan tingkat pengetahuan perawat tentang intervensi
keperawatan adalah cukup. Dari 6 pertanyaan tentang intervensi keperawatan jawaban
salah paling banyak pada pertanyaan nomer 3 dan 6. Pertanyaan nomer 3 mengenai
intervensi keperawatan resiko penyiksaan diri sendiri, orang lain dan lingkungan adalah
segera restrain. Dari 51 responden 43 responden menjawab salah. Restrain atau pengikatan
memang diperlukan jika pasien sedang gaduh gelisah. Pada pasien delirium terjadi
penurunan kesadaran dan gangguan koordinasi, keluarga dapat melakukan pengawasan
ketat tanpa pengikatan, karena pengikatan dapat menyebabkan pasien cidera. Pertanyaan
nomer 6 mengenai intervensi keperawatan untuk diagnosa keperawatan perubahan persepsi
sensori adalah dapatkan riwayat resiko terjadi delirium. Dari 51 responden 47 reponden
menjawab salah. Riwayat resiko terjadi delirium perlu dikaji pada tahap awal atau
pengkajian keperawatan bukan merupakan intervensi keperawatan(Budi, 2005).
Hasil penelitian didapatkan tingkat pengetahuan perawat tentang evaluasi adalah
kurang. Dari 5 pertanyaan tentang evaluasi keperawatan jawaban salah paling banyak pada
nomer 3, 5 dan 6. Pertanyan nomer 2 mengenai perlu hasil laboratorium elektrolit serum 2
hari sekali untuk evaluasi kebutuhan nutrisi pasien. Dari 51 responden 26 responden
menjawab salah. Kebutuhan nutrisi pasien delirium masih dalam keadaan baik kecuali
pasien sudah dalam perawatan lama, kebutuhan elektrolit bisa dievaluasi tiap satu minggu
sekali pada pasien delirum. Pertanyaan nomer 3 mengenai GCS (Glasgow Coma Skale)
perlu dievaluasi untuk menilai keadaan gelisah pada pasien delirium. Dari 54 responden
42 responden menjawab salah . GCS (Glasgow Coma Skale) untuk menilai pasien gelisah
karena kerusakan organik pada otak sedanngkan delirium gangguan kesadaran disebabkan
karena gangguan sistem neurotransmiter sehingga GCS (Glasgow Coma Skale) tidak bisa
untuk mengevaluasi tingkat kesadaran pasien delirium. Pertanyaan nomer 5 mengenai
evaluasi untuk diagnosa keperawatan resiko cedera. Dari 51 responden 26 responden
menjawab salah. Hal yang dapat dievaluasi pada diagnosa keperawatan resiko cedera
adalah pasien dalam keadaan aman tidak terjadi cedera dan kebinggunggan pasien
berkurang. Tingkat pengetahuan perawat tentang evaluasi adalah kurang, dari 5 pertanyaan
yang dapat dijawab dengan baik adalah 2 saja.
Maka menurut kelompok kami, secara keseluruhan pengetahuan perawat tentang
asuhan keperawatan pada pasien delirium adalah cukup, dimulai dari pengkajian, diagnose,
intervensi dan mempunyai pengetahuan kurang pada evaluasi asuhan keperawatan.
3. “Nyeri, Agitasi dan Delirium pada Pasien Kritis di Intensive Care Unit (ICU)”
Dalam Jurnal ini dijelaskan bahwa, nyeri pada pasien-pasien kritis dapat memicu
terjadinya delirium dan agitasi yang banyak terjadi di ICU. Delirium merupakan penyebab
paling sering terjadinya agitasi pasien-pasien di ICU, dan merupakan petanda beratnya
gangguan sistemik yang dialami, serta mempunyai luaran yang buruk. Evaluasi yang cermat
diperlukan untuk mencari kausanya yang mungkin dan kemudian dilakukan manajemen
farmakologis dan non farmakologis yang tepat dan efisien, disamping tentunya dilakukan
terapi dan support intensif bagi critical Ill nya.
4. Analisis Jurnal “Phisical Function (Motor Activity) Pada Pasien Kritis dengan Sedation
di Intensive Care Unit”
Menurut jurnal Ilmu Kesehatan tahun 2017 dengan judul “Phisical Function (Motor
Activity) Pada Pasien Kritis dengan Sedation di Intensive Care Unit” yang kami baca, bahwa
terdapat pengaruh pemberian sedasi terhadap Physical Function yang signifikan. dan
didalamnya memperlihatkan kondisi penurunan fungsi fisik dan kognitif. Physical Function
yang digambarkan adanya penurunan fungsi fisik dan kognitif dimungkinkan pada pasien yang
mendapatkan sedasi dan mengarah pada keadaan agitasi pasien dapat didiskripsikan menjadi
tidak berespon yaitu tidak dapat berpindah atau bergerak dengan noxious stimulus (suctioning,
respon nyeri pada sternal), pasien dapat berespon hanya dengan noxious stimuli yaitu
membuka mata, mengangkat alis, memutar kepala, pergerakan lengan dengan noxious stimuli.
Agitasi yang buruk dimana Pergerakan tubuh atau ketidakmauan dengan treatment/prosedur
atau pembatasan pergerakan tubuh secara signifikan membahayakan pasien dan petugas.
Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa peran perawat kritis yaitu melaksanakan
intervensi keperawatan secara mandiri maupun kolaboratif komprehensif untuk pencegahan
munculnya masalah penurunan fungsi fisik dan kognitif post ICU yang dapat terjadi setelah
pasien keluar dari ICU. Beberapa intervensi yang dapat dilakukan untuk mencegah salah satu
atau beberapa masalah penurunan fungsi fisik dan kognitif berdasakan Evidence Base Practice
yaitu physical therapy, cognitive therapy, early activity, early physical therapy, exercise
training, latihan fisik dini, dan rehabilitasi fisik. Hasil penelitian pada intervensi tersebut hanya
mengukur efektivitas salah satu gangguan fungsi fisik, kognitif dalam jangka waktu yang lama
dan saat pasien pulang dari rumah sakit.
Selain itu, perawat kritis dan gawat darurat diharapkan mampu mengidentifikasi
gambaran penurunan fungsi fisik dan kognitif di ICU sehingga mampu meningkatkan kualitas
pelayanan dan kualitas hidup pasien setelah keluar dari ICU. Penerapan Evidence Base
Practice pada tempat pelayanan sangatlah penting dan harus dilakukan sedini mungkin untuk
mencegah permasalahanpermasalahan yang dapat terjadi setelah pasien keluar dari ICU.
Perawat perlu mengembangkan Clinical Pathway keperawatan pasien Kritis di Instalasi
Perawatan Intensif untuk memonitoring dan mengevaluasi perkembangan pasien sehingga
Gold Standar dalam pencapaian Outcame keperawatan tercapai secara optimal.

DAFTAR PUSTAKA

Adiwinata, R., Oktaliansah, E. Maskoen, T. (2016). Angka Kejadian Delirium dan Faktor Risiko
di Intensive Care Unit Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. Jurnal Anestesi Perioperatif,
volume 4 : 36-41.

Delirium , Pedoman Klinis NICE (Juli 2010); Delirium: diagnosis, pencegahan dan manajemen.

Kaplan dan Sadock. 2010. Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi 2. EGC : Jakarta.
Kurniajati, S., & Triyoga, A. 2016. Studi Tingkat Pengetahuan Perawat Tentang Asuhan
Keperawatan Pasien Delirium Di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Baptis Kediri. Jurnal STIKES
,Volume 9 No.2

Macdonald, Alastair; Lindesay, Yakobus;. Rockwood, Kenneth (2002) Delirium di usia tua.
Oxford [Oxfordshire]:. Oxford University Press.

Pharmacological management of delirium in hospitalized adults- a systematic evidence review. J


Gen Intern Med. 2009.

Sudoyo. Aru W. dkk. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Jili I Edisi IV. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia : Jakarta.

Suwardianto, H. Prasetyo, A. Utami,R,S. 2017. Phisical Function (Motor Activity) Pada Pasien
Kritis dengan Sedation di Intensive Care Unit. , Jurnal Ilmu Kesehatan, Volume 5. 46-55.

Trzepacz, Paula T., Dinesh Mittal, Rafael Torres, Kim Kanary, John Norton, dan Nita Jimerson.
"Validasi Delirium Rating Skala-Revisi-98: Perbandingan dengan skala penilaian delirium dan tes
kognitif untuk delirium." Journal of Neuroscience Neuropsychiatry dan Klinis 13 (2001): 229-242.

Widodo Untung. (2014). Nyeri, Agitasi dan Delirium pada Pasien Kritis di Intensive Care Unit
(ICU). 1(3), 51-55.

Anda mungkin juga menyukai