Anda di halaman 1dari 16

REFERAT

JUNI 2022

DELIRIUM DAN TATALAKSANA

DISUSUN OLEH :
FILBERT FILMORE CENDRIAWAN
C014212085

Pembimbing:
Dr. Febry

SUPERVISOR:
DR. dr. Sonny T. Lisal, Sp.KJ

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN JIWA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2022

i
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Filbert Filmore Cendriawan

NIM : C014212085

Universitas : Universitas Hasanuddin

Judul Referat : Delirium dan Tatalaksana

adalah benar telah menyelesaikan referat yang berjudul “Delirium dan


Tatalaksana” dan telah disetujui serta telah dibacakan di hadapan pembimbing
dan supervisor dalam rangka Kepaniteraan Klinik pada bagian Ilmu Kedokteran
Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar.

Makassar, 30 Juni 2022

Mengetahui,

Supervisor Pembimbing Residen Pembimbing

DR. dr. Sonny T. Lisal, Sp.KJ dr. Febry

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ...................................................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................................1
1.1 Latar Belakang Permasalahan ..............................................................................1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................2
2.1 Definisi ....................................................................................................................2
2.2 Etiologi ....................................................................................................................2
2.3 Epidemiologi ...........................................................................................................3
2.4 Gejala Klinis ...........................................................................................................3
2.5 Diagnosis .................................................................................................................5
2.6 Diagnosis Banding ..................................................................................................9
2.7 Tatalaksana ............................................................................................................9
2.7.1 Tatalaksana Nonfarmakologi .........................................................................9
2.7.2 Tatalaksana Farmakologi .............................................................................10
2.8 Prognosis ...............................................................................................................10
BAB 3 PENUTUP ..........................................................................................................11
3.1 Kesimpulan ...........................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................................12

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Permasalahan


Delirium adalah kondisi yang sering dijumpai pada pasien di rumah sakit.
Delirium dapat terjadi pada usia berapa saja, tetapi lebih sering terjadi pada pasien
usia lanjut atau pasien diatas usia 60 tahun. Delirium ini sering tidak terdiagnosis
apabila pasiennya dirawat di rumah akibat kurangnya kewaspadaan keluarga.
Gejala dan tanda dari delirium biasanya tidak terlalu khas. Pada pasien delirium,
terjadi penurunan daya konsentrasi atau masalah pemusatan perhatian. Selain itu,
terdapat juga disorientasi dan tidak mampu berpikir secara jernih. Delirium
biasanya bersifat sementara dan kadang terjadi secara mendadak. Delirium juga
lebih sering terjadi pada sore hingga malam hari.
Ada banyak penyebab bisa terjadinya delirium, mulai dari obat-obatan,
dehidrasi hingga infeksi yang parah. Berdasarkan tingkat keparahan, faktor
penyebab, dan gejalanya, delirium terbagi menjadi 4 yaitu delirium hiperaktif,
hipoaktif, campuran, dan delirium tremens. Untuk melakukan diagnosis pun,
diperlukan beberapa pemeriksaan, mulai dari anamnesis hingga pemeriksaan
penunjang yang diperlukan. Dapat juga dilakukan pemeriksaan status mental
untuk melakukan screening, diagnostik, menilai tingkat keparahan, bahkan untuk
menilai fungsi motorik dan kognitif pasien.

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kata delirium berasal dari istilah latin delirare yang berarti menjadi “gila
atau marah”. Dilaporkan pertama kali pada masa Hippocrates yang menggunakan
istilah phrenitis (gila) dan lethargus (letargi) untuk menjelaskan delirium subtype
hipoaktif dan hiperaktif. Delirium adalah suatu sindrom yang ditandai dengan
perubahan akut dan fluktuatif dalam perhatian, kesadaran, dan kognitif.
Penurunan kesadaran disebabkan secara organik dari dasar fungsi mental
sebelumnya yang berkembang selama periode waktu yang singkat, biasanya
berjam-jam hingga berhari-hari. Delirium dapat membaik dengan cepat jika faktor
penyebab dapat segera diatasi. Delirium dapat terjadi pada usia berapa saja, tetapi
paling sering terjadi pada pasien dengan usia diatas 60 tahun. (Mittal et al., 2011)
Kebanyakan kasus, delirium dapat sembuh dalam waktu 4 minggu atau
kurang, tetapi jika delirium berlangsung menetap lebih dari 6 bulan, dapat menjadi
progresif kearah demensia dan itu jarang terjadi.

2.2 Etiologi
Ada beberapa kemungkinan penyebab terjadinya delirium yang disingkat
menjadi DELIRIUM(S), yaitu sebagai berikut:
 Drug
 Eye, ear (penurunan pendengaran dan penglihatan)
 Low O2 (serangan jantung, emboli paru, stroke)
 Infection
 Retention (Urin)
 Ictal state (pada epilepsi)
 Under hidrasi/ under nutrition
 Metabolic cause (DM, Sodium, dll)
 (S)ubdural hematoma

2
2.3 Epidemiologi
Delirium adalah kondisi serius yang harus segera ditangani dengan serius,
terutama pada pasien usia lanjut yang menjalani pengobatan di rumah sakit.
Sekitar 30% pasien geriatrik yang di rawat di rumah sakit mengalami delirium.
Persentase juga meningkat pada pasien post operasi sekitar 10-70% setelah
menjalani operasi kardiotoraks, prosedur ortopedi yang emergensi, bedah
vaskuler. Di USA dilaporkan bahwa sekitar 78-87% pasien yang mengalami
pengobatan di ruang Intensive Care Unit (ICU). Di Indonesia, prevalensi delirium
bervariasi yaitu sekitar 14-56%, dengan angka kematian di rumah sakit berkisar
25-30%. 10-15% lansia mengalami delirium saat masuk rumah sakit.

2.4 Gejala Klinis


Delirium adalah sindrom yang mencakup serangkaian gejala
neuropsikiatri. Ada beberapa gejala klinis yang dapat ditemukan pada pasien
dengan delirium, antara lain:
1. Inattention/ kurang perhatian
Gejala yang selalu ditemukan pada pasien dengan delirium. Hal ini
ditandai dengan gangguan dan ketidakmampuan untuk mengalihkan
dan/atau mempertahankan perhatian.
2. Gangguan memori
Gangguan memori yang terjadi pada pasien adalah memori jangka pendek.
Memori jangka panjang biasanya tetap tersimpan karena terbentuk
sebelum awitan delirium. Berkurangnya juga kemampuan untuk
membentuk memori jangka panjang yang baru.
3. Disorientasi
Pada pasien delirium, biasanya pasien mengalami kehilangan kesadaran
akan lingkungan, tempat orang tersebut berada, dan mengalami
disorientasi waktu.
4. Pemikiran yang tidak terorganisir
Pemikiran yang tidak terorganisir bisa terlihat dari ucapan pasien yang
tidak masuk akal dan irrelevant, asosiasi yang longgar, dan lain-lain.
5. Gangguan bahasa

3
Gangguan bahasa yang paling sering ditemukan adalah afasia anomik,
agrafia, parafasia, dan gangguan pemahaman.
6. Perubahan pola tidur
Pada pasien delirium biasanya mengalami gangguan irama sirkadian, yaitu
terjadi fragmentasi tidur atau bahkan terjadi kebalikan siklus tidur-bangun
(aktif pada malam hari, tidur pada siang hari). Perubahan pola tidur
biasanya mendahului awitan delirium.
7. Gejala psikotik
8. Mood labil
Keadaan emosi yang fluktuasi pada pasien dan dapat dilihat pada pasien
yang mengigau (misalnya perubahan hati yang cepat dari senang ke sedih,
dan lain-lain)
9. Perubahan aktivitas motorik
Delirium diklasifikasikan berdasarkan tingkat keparahan, faktor
penyebab, dan gejalanya, yaitu hipoaktif, hiperaktif, campuran, dan
delirium tremens. Pasien delirium yang hipoaktif sering terjadi kesalahan
diagnosis karena penampakan gejala klinis yang mirip dengan depresi.
Gejala pasien delirium yang hiperaktif, antara lain kewaspadaan yang
berlebihan, gelisah, ucapan yang cepat dan keras, cepat marah, agresif,
euforia, respon motorik yang cepat, mudah teralihkan, dan lain-lain.
Sedangkan pada pasien delirium dengan hipoaktif memiliki gejala seperti
lesu, bicara lambat, tidak sadar, kewaspadaan menurun, gerakan lambat,
dan apatis.
Pada pasien dengan delirium campuran, gejala yang dialami oleh
pasien berubah-ubah secara bergantian dari hiperaktif ke hipoaktif dan
akan terjadi terus-menerus. Selain itu, dapat juga terjadi delirium tremens.
Delirium tremens terjadi pada pasien yang mengkonsumsi alkohol dalam
jumlah yang banyak dan jangka waktu yang panjang, dan berhenti
mengkonsumsi alkohol.

4
2.5 Diagnosis
Untuk menentukan diagnosis delirium, kita harus melakukan anamnesis,
pemeriksaan fisis, status mental, dan pemeriksaan penunjang lainnya. perlu
dilakukan beberapa pemeriksaan, antara lain:
1. Pemeriksaan Saraf dan Fisik sesuai dengan pernyakit yang mendasari
2. Pemeriksaan tingkat kesadaran dengan menggunakan Glasgow Cola Scale
(GCS)
3. Pemeriksaan Status Mental
Pemeriksaan status mental dapat kita gunakan untuk melakukan
screening, diagnosis, menilai tingkat keparahan delirium, menilai fungsi
kognitif dan motorik.
Beberapa intrumen untuk melakukan screening pada pasien
delirium, antara lain:
a. NEECHAM Confusion Scale
Instrumen ini terbagi menjadi 3 subskala. Subskala 1 untuk
mengukur kemampuan kognitif (perhatian, kemampuan untuk
mengikuti perintah, orientasi), subskala 2 untuk mengukur perilaku
(penampilan, perilaku motorik, dan verbal), dan subskala 3 untuk
menilai fisiologi pasien (tanda vital, saturasi oksigen, dan
mengontrol kontinensia urin). Skor berkisar antara 0 hingga 30.
Jika skor <20, menunjukkan bahwa pasien mengalami delirium
sedang hingga berat. Skor 20-24 menunjukkan bahwa pasien
mengalami delirium ringan atau delirium awal, skor 25-26
menunjukkan bahwa pasien “tidak mengigau”, tetapi pasien berada
pada resiko tinggi untuk terjadinya delirium. Jika skor 27-30
menunjukkan fungsi tubuh pasien normal. Instrumen ini memiliki
validitas yang baik, sensitivitas tinggi (95%), dan spesifisitas 78%.
(Judie Csokasy, 1999)
b. Delirium Observation Scale (DOS)
Skala ini dibagi menjadi 13 item, diberi skor “ya” dan
“tidak” (skor total 0-13). Pemeriksaan ini bisa dilakukan tiga kali
dalam sehari dan diambil rata-rata dari ketiga hasil pemeriksaan

5
tersebut. Jika skor <2, tidak perlu dikonsultasikan ke psikiater. Jika
skor ≥2, maka harus dikonsultasikan kepada psikiater untuk
mengkonfirmasikan diagnosis delirium. Tetapi jika skor DOS ≥3,
maka bisa ditegakkan diagnosis delirium. (Grover et al., 2012)

Beberapa instrumen untuk melakukan diagnostik pada pasien


delirium, antara lain:
a. Clinical Assessment Confusion A and B
CAC-A adalah instrumen yang terdiri dari 25 item yang
dibagi menjadi 5 subskala, antara lain kognisi, perilaku umum,
respon motorik, orientasi, dan perilaku psikotik neurotik.
Sedangkan pada CAC-B, terdiri dari 58 item yang dibagi menjadi 7
subskala, antara lain kognisi, perilaku umum, aktivitas
motorik/kemampuan motorik bicara/ketajaman sensorik, orientasi,
perilaku yang mengancam keselamatan pasien, perilaku psikotik
neurotik dan kemampuan berinteraksi. (Smith H.A.B., et al. 2011)
b. Confusion Assessment Method for Intensive Care Unit (CAM-
ICU)
Pemeriksaan ini khusus dikembangkan untuk digunakan
pada pasien non-verbal. CAM-ICU memiliki sensitivitas 95-100%
dan spesifisitas 93-98%. Dengan CAM-ICU, delirium didiagnosis
ketika pasien menunjukkan: (Lynn McNicoll, et al. 2005)
1) Perubahan status mental yang akut atau perubahan status
mental yang fluktuatif
2) Kurangnya perhatian yang diukur baik dengan menggunakan
tes auditori maupun tes visual
3) Pemikiran yang tidak teratur
4) Tingkat kesadaran yang berubah

Instrumen untuk mengukur tingkat keparahan dari delirium yaitu


Delirium Index. Instrumen ini adalah adaptasi dari Confusion Assessment
Method (CAM). Ini mencakup 7 dari 10 domain gejala di instrument

6
CAM. Yang dinilai dalam Delirium Index adalah gangguan perhatian,
pikiran, kesadaran, orientasi, ingatan, persepsi, dan aktivitas psikomotor.
Masing-masing diberi skor dari 0 (tidak ada) hingga 3 (ada dan parah).
Skor total dari Delirium Index adalah 0 hingga 21, skor yang semakin
besar menunjukkan tingkat keparahan yang lebih besar. (McCusker J., et
al. 2004)

Beberapa instrumen untuk menilai fungsi kognitif pada pasien


delirium, antara lain:
a. Mini Mental Status Examination (MMSE)
Tes MMSE terdiri dari 30 pertanyaan yang meliputi 5
bagian pokok, yaitu atensi, bahasa, memori, visual ruang, dan
fungsi eksekutif. Kegunaan dari tes MMSE adalah untuk
mendeteksi adanya gangguan kognitif pada seseorang,
mengevaluasi perjalanan penyakit yang berhubungan dengan
penurunan kognitif, dan memonitor respon terhadap pengobatan.
Jika skor MMSE 24-30, status kognitif normal. Jika skor MMSE
17-23, probable gangguan kognitif, dan jika skor MMSE 0-16,
maka terjadi gangguan kognitif. (Grover et al., 2012)
b. Clock Drawing Test
Yang dapat dinilai dari Clock Drawing Test adalah
pemahaman, perencanaan, memori visual, kemampuan
visuospasial, motorik, abstraksi, dan konsentrasi. Pasien akan
diminta untuk menggambar jam dan mengisi angkanya.
c. Mental State Questionnaire
Instrumen ini adalah instrumen yang singkat, objektif, dan
kuantitatif dari fungsi kognitif pasien usia lanjut. Instrumen ini
terdiri dari 10 item yang menilai orientasi waktu dan tempat,
memori jangka panjang, dan pengetahuan umum. Jumlah kesalahan
dihitung untuk menilai fungsi kognitif. Skor kesalahan 0-2
menunjukkan disfungsi tidak ada atau minimal, 3-8 kesalahan
menunjukkan gangguan fungsi kognitif sedang, dan 9-10 kesalahan

7
menunjukkan kerusakan fungsi kognitif yang parah. Tes ini
memiliki sensitivitas 64% dan spesifisitas 99% untuk mendeteksi
sindrom otak yang kronis.

Instrument untuk menilai fungsi motorik pada pasien delirium,


yaitu Richmond Agitation and Sedation Scale (RAAS). Instrumen RAAS
dapat digunakan untuk menilai tingkat agitasi dan sedasi seorang pasien.
Jika +1 hingga +4, menunjukkan bahwa pasien mengalami agitasi. Untuk
skor 0 menunjukkan bahwa pasien dalam keadaan tenang dan waspada.
Ada juga 5 tingkatan untuk menilai tingkat sedasi yaitu -1 hingga -5.

Ada 1 instrumen yang paling sering digunakan dan bisa digunakan


sebagai screening, menegakkan diagnosis, dan menetukan tingkat
keparahan dari delirium, yaitu Confusion Assessment Method (CAM) ,
seperti berikut:
 Onset akut dan perjalanan fluktuatif
 Penurunan perhatian
 Pikiran tak terorganisir
 Perubahan tingkat kesadaran

4. Pemeriksaan penunjang lain


Delirium biasanya terjadi akibat adanya penyakit yang mendasari pada
pasien tersebut. Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan seperti
pemeriksaan darah untuk memeriksakan darah rutin (mendiagnosis infeksi
dan anemia), elektrolit, kadar gula darah, fungsi hepar dan ginjal, serta
kadar hormon tiroid. Dapat juga memeriksakan urin pasien untuk menilai
paparan zat psikotropika atau alkohol. Kita juga dapat memeriksakan
serum marker pada pasien delirium, yaitu S100 Calcium-Binding Protein
B. Selain pemeriksaan urin dan darah, dapat juga dilakukan pemeriksaan
chest X-Ray, MRI, CT-Scan, elektroensefalogram, bahkan dapat dilakukan
pemeriksaan cairan serebrospinal jika dibutuhkan.

8
2.6 Diagnosis Banding
Ada beberapa kondisi yang memiliki presentasi klinis yang mirip dengan
delirium, antara lain:
1. Demensia
Pada pasien demensia, terjadi penurunan fungsi kognitif dan psikososial
yang bersifat ireversibel. Demensia biasanya hasil dari penyakit otak
degeneratif yang dapat diidentifikasi (misalnya penyakit alzheimer atau
penyakit huntington) dan biasanya tidak terkait dengan perubahan tingkat
kesadaran. Demensia berlangsung dalam jangka waktu yang panjang,
tetapi delirium biasanya berlangsung dalam jangka waktu yang pendek.
2. Depresi
Adanya gejala yang mirip antara depresi dan delirium subtipe hipoaktif.
Perlu untuk menanyakan riwayat pasien untuk membedakan antara depresi
dan delirium.
3. Skizofrenia
Pada pasien skizofrenia, biasa didapatkan halusinasi dan waham yang
lebih konstan dan lebih terorganisasi dibandingkan pasien delirium.

2.7 Tatalaksana
2.7.1 Tatalaksana Nonfarmakologi
1. Cairan dan Nutrisi
Cairan dan nutrisi harus diberikan secara hati-hati karena
pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu secara fisik untuk
mempertahankan asupan yang seimbang. Untuk pasien yang
diduga delirium akibat keracunan alkohol atau withdrawal alkohol,
terapi harus mencakup multivitamin, terutama vitamin Tiamin
(Vitamin B1).
2. Teknik Reorientasi
Teknik reorientasi seperti memperlihatkan kalender dan
foto keluarga dapat membantu pemulihan pasien.
3. Terapi Suportif

9
Lingkungan harus tenang, stabil, dan memiliki penerangan
yang baik. Defisit sensorik harus dikoreksi dengan baik, misalnya
dengan penggunaan kacamata atau alat bantu dengar.

2.7.2 Tatalaksana Farmakologi


Pada pasien dengan delirium, drug of choice adalah haloperidol.
Haloperidol dapat diberikan pada dosis yang rendah dan digunakan dalam
jangka waktu yang pendek (1 minggu atau kurang). Dapat juga menggunakan
antipsikotik atipikal seperti risperidone, olanzapine, quetiapine. Efek samping
dari antipsikotik atipikal lebih minimal dibandingkan antipsikotik tipikal
seperti haloperidol. (Roy L.S. et al., 2019)

Dapat juga menggunakan benzodiazepine untuk mengatasi delirium,


tetapi benzodiazepine tidak bisa digunakan sebagai monoterapi, melainkan
harus dikombinasikan dengan antipsikotik. Benzodiazepine hanya bisa
digunakan pada delirium akibat withdrawal alkohol, withdrawal
benzodiazepine, atau kontaindikasi penggunaan antipsikotik (misalnya pada
pasien extrapyramidal syndrome, penyakin Parkinson, dan neuroleptic
malignant syndrome). Pada pasien yang alkoholik, sebaiknya diberikan
tambahan vitamin B1 (Tiamin) dan vitamin B12 karena rentan mengalami
defisiensi vitamin B1 dan B12 dan dapat menyebabkan delirium. (Sharen K.I.
et al., 2006)

2.8 Prognosis
1. Tergantung pada penyakit yang mendasari
2. Pasien dengan sindrom delirium memiliki resiko kematian yang lebih
tinggi jika memiliki banyak komorbid
3. Pasien dengan sindrom delirium memiliki resiko 1,71 kali lebih tinggi
untuk meninggal dalam 3 tahun ke depan dibanding mereka yang tidak
pernah mengalami delirium.

10
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Delirium adalah penyakit yang serius dan perlu ditangani dengan cepat
dan tepat. Delirium biasa tidak terdiagnosis jika pasiennya dirawat di rumah. Pada
pasien dengan delirium, gejalanya biasanya tidak terlalu khas. Banyak
pemeriksaan yang bisa dilakukan untuk mendiagnosis delirium. Banyak juga
instrument yang bisa digunakan, baik digunakan untuk melakukan screening,
diagnostik, maupun menentukan tingkat keparahan delirium. Pengobatan pada
delirium juga bervariasi, bisa dengan nonfarmakologi dan farmakologi. Delirium
biasa dicetuskan oleh penyakit dasar pada pasien, sehingga jika kita bisa
menyembuhkan penyakit pasien, biasanya kondisi delirium tersebut juga akan
membaik.

11
DAFTAR PUSTAKA

Grover S., Natasha K. 2012. Assessment Scales for Delirium: A Review. India:
Department of Psychiatry, Postgraduate Institute of Medical Education and
Research.

Judie Csokasy. 1999. Assessment of Acute Confusion: Use of The Neecham


Confusion Scale. Kokomo: Indiana University

Leentjens A.F.G., dkk. 2012. Delirium: An Evidence-Based Medicine (EBM)


Monograph for Psychosomatic Medicine Practice, Comissioned By The
Academy of Psychosomatic Medicine (APM) and The European
Association of Consultation Liaison Psychiatry and Psychosomatics
(EACLPP). Maastricht, Netherlands: Department of Psychiatry, Maastricht
University Medical Centre.

Lynn McNicoll, dkk. 2005. Detection of Delirium in the Intensive Care Unit:
Comparison of Confusion Assessment Method for the Intensive Care Unit
With Confusion Assessment Method Ratings. Rhode Island: Department of
Internal Medicine, School of Medicine, Brown University.

Mario F.M. dan Jeffrey L.C. 2003. Dementia: A Clinical Approach

McCusker J., Martin G.C., Nandini D., Eric B. 2004. The Delirium Index, A
Measure of the Severity of Delirium: New Findings on Reliability, Validity,
and Responsiveness. Montreal, Canada: Department of Clinical
Epidemiology and Community Studies and Psychiatry, St Mary’s Hospital.

Mittal V., dkk. 2011. Review: Delirium in the Elderly: A Comprehensive Review.
American Journal of Alzheimer’s Disease and Other Dementias.

Robert H.E., Stuart Y.C., Glen G.O. 2008. The American Psychiatric Publishing
Textbook of Psychiatry. Washington DC: American Psychiatric Publishing.

Roisin O., Sharen K.I., David M. 2014. Delirium and Depression: Inter-
Relationship and Clinical Overlap In Elderly People. Limerick, Ireland:

12
Department of Adult Psychiatry, University Hospital Limerick and
University of Limerick Medical School.

Roy L.S., Phyo K.M. 2019. The Scottish Intercollegiate Guidelines Network
(SIGN) 157: Guidelines on Risk Reduction and Management of Delirium.
Aberdeen, UK: Ageing Clinical and Experimental Research Group (ACER),
University of Aberdeen.

Sharen K.I. 2006. Delirium in Older Persons. Boston, USA: Department of


Medicine, Harvard Medical School

Smith H.A.B, dkk. 2011. Diagnosing Delirium In Critically Ill Children: Validity
and Reliability of The Pediatric Confusion Assessment Method for the
Intensive Care Unit. Critical Care Medicine Vol. 39

Wilson J.E., dkk. 2020. Delirium. USA: Department of Psychiatry and Behavioral
Sciences, Division of General Psychiatry, Vanderbilt University Medical
Center.

13

Anda mungkin juga menyukai