Anda di halaman 1dari 48

TUGAS JOURNAL READING

DAFTAR ISI

Judul i

Daftar Isi ii

BAB I JURNAL ASLI 1

BAB II TERJEMAHAN JURNAL 17

1.1 Abstrak 17

1.2 Introduksi 17

1.3 Diagnosis dan Evaluasi 18

1.4 Demensia Neurodegeneratif 18

1.5 Demensia Non-neurodegeneratif 29

1.5 Kesimpulan 33

BAB III CRITICAL APPRAISAL 37


Abstrak
Delirium adalah bentuk disfungsi otak yang sering terjadi di unit perawatan intensif
(ICU). Delirium sangat berkaitan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas, durasi
rawat inap yang lebih lama, biaya rumah sakit yang lebih tinggi, dan gangguan kognitif yang
persisten jauh setelah pasien keluar dari rumah sakit.
Faktor predisposisi delirium termasuk merokok, hipertensi, penyakit jantung, sepsis,
dan demensia premorbid. Faktor pencetus meliputi kegagalan pernapasan dan syok,
gangguan metabolik, ventilasi mekanik yang berkepanjangan, nyeri, pembatasan gerak,
serta penggunaan sedatif dan kondisi lingkungan yang merusak penglihatan, pendengaran,
dan tidur. Secara historis, obat antipsikotik merupakan terapi utama untuk delirium pada
pasien yang kritis. Namun, berdasarkan literatur terbaru, panduan Society of Critical Care
Medicine (SCCM) saat ini menyarankan untuk tidak rutin menggunakan antipsikotik untuk
delirium pada orang dewasa yang kritis. Intervensi farmakologis lainnya (misalnya,
dexmedetomidine) masih dalam penelitian dan dampaknya belum jelas. Oleh karena itu,
intervensi non farmakologis tetap menjadi pijakan manajemen delirium. Pendekatan ini
dirangkum dalam paket ABCDEF (Assess, pencegahan, dan manajemen nyeri; Both SAT
dan SBT; Choose analgesia dan sedasi; Delirium: mengevaluasi, mencegah, dan
mengelola; Mobilitas awal dan olahraga; Keterlibatan keluarga dan pemberdayaan).
Implementasi bundel ini mengurangi kemungkinan mengalami delirium dan kemungkinan
memerlukan ventilasi mekanik, namun ada tantangan dalam implementasinya. Ada
kebutuhan mendesak untuk penelitian yang berkelanjutan guna lebih efektif mengurangi
faktor risiko dan memahami lebih baik patobiologi yang mendasari delirium di ICU agar
dapat mengidentifikasi potensi pengobatan tambahan. Peningkatan lebih lanjut terhadap
pilihan terapeutik, mulai dari obat hingga rehabilitasi, adalah area penelitian saat ini yang
sangat potensial untuk meningkatkan hasil jangka pendek dan jangka panjang pasien kritis
dengan delirium.

Introduction
Delirium adalah disfungsi organ yang umum ditemui pada orang dewasa yang kritis
dan merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Delirium telah
diidentifikasi dalam konteks penyakit kritis sejak zaman Kekaisaran Romawi kuno, di mana
bangsawan Aulus Cornelius Celsus menggambarkan manifestasi delirium pada pasien
dengan infeksi luka dan trauma kepala dalam karyanya yang berpengaruh, "De Medicina."
Lebih dari setengah dari semua pasien di unit perawatan intensif (ICU) modern akan
mengalami delirium pada suatu saat selama masa perawatan mereka. Ini memiliki perhatian
khusus karena delirium secara independen terkait dengan peningkatan risiko kematian.
Selain itu, durasi delirium adalah faktor risiko utama untuk gangguan kognitif setelah kritis,
Terakhir, perkembangan delirium terkait dengan peningkatan lama tinggal di rumah sakit
dan biaya perawatan kesehatan yang lebih tinggi.

Mekanisme delirium belum jelas dan kemungkinan merupakan hasil dari banyak jalur
yang berperan selama penyakit kritis yang mengubah kognisi normal. Banyak mekanisme
patologis telah diusulkan, mulai dari kelainan genetik hingga peradangan otak yang
memburuk dan aliran darah ke otak yang buruk, serta ketidakseimbangan neurotransmitter.
Kemungkinan ada beberapa kerusakan bersamaan yang bertanggung jawab dan bervariasi
tergantung pada cadangan fisiologis individu dan keparahan penyakit mereka. Mengingat
sifat kompleks penyakit ini, pendekatan yang multiaspek terhadap delirium dibutuhkan.

Manajemen delirium ICU secara historis memiliki tantangan, karena sangat sedikit
pilihan farmakologis yang telah terbukti efektif dalam mengobati delirium. Sebagai contoh,
antipsikotik secara konsisten menunjukkan sedikit manfaat dalam mengobati penyakit ini.
Pendekatan yang mendominasi dalam manajemen adalah fokus pada pencegahan dan
pengenalan dini. Pencegahan melibatkan strategi untuk membatasi faktor risiko, seperti
meminimalisasi penggunaan kateter dan mempromosikan lingkungan tidur yang sehat. Ini
juga mencakup pendekatan yang ditargetkan untuk analgosedasi, seperti menghindari
sedasi berbasis benzodiazepin dan fokus pada memberikan sedasi ringan serta mendorong
mobilisasi pasien.

Pengenalan dini delirium melibatkan penggunaan instrumen yang tervalidasi dengan


baik untuk mendeteksi penyakit ini, dan ketika teridentifikasi, pencarian terfokus untuk
etiologi seperti infeksi. Asuhan keperawatan yang mencakup proses perawatan berbasis
bukti untuk manajemen delirium seperti sedasi ringan berdasarkan tujuan dan mobilisasi
awal telah membuktikan peningkatan signifikan dalam berbagai hasil penting pada pasien
ICU, termasuk delirium, hari ventilasi mekanik, dan mortalitas. Bundel sinergis ini disebut
bundel ABCDEF (Evaluasi, pencegahan, dan manajemen nyeri; Keduanya SAT dan SBT;
Pilihan analgesia dan sedasi; Delirium: mengevaluasi, mencegah, dan mengelola; Mobilitas
awal dan olahraga; Keterlibatan keluarga dan pemberdayaan), mewakili strategi manajemen
terbaik untuk pasien kritis dengan delirium. manajemen delirium kedepannya akan
difokuskan pada optimalisasi proses perawatan ini serta mengidentifikasi dasar-dasar
patofisiologi penyakit untuk membantu mengembangkan strategi perawatan baru guna
meningkatkan perawatan pasien kritis.

Manifestasi dan Outcomes of ICU Delirium

Manifestasi
Delirium adalah bentuk disfungsi otak akut yang muncul sebagai perubahan perhatian
yang fluktuatif dan gangguan fungsi kognitif. Ini dapat muncul dengan berbagai gejala,
termasuk agitasi psikomotor yang signifikan, tingkat kesadaran yang terdepresi, atau
keduanya. Menurut panduan American Psychiatric Association's Diagnostic and Statistical
Manual—Edisi ke-5 (DSM-5), delirium adalah keadaan kebingungan akut yang didefinisikan
oleh gangguan akut dalam perhatian, kesadaran, atau kognisi yang berkembang dalam
waktu beberapa jam hingga beberapa hari akibat penyakit atau sedasi yang tidak dapat
dijelaskan lebih baik oleh diagnosis alternatif atau keadaan koma. Penting untuk dicatat
bahwa delirium dapat dan seringkali muncul bersamaan dengan penyakit neurologis yang
mendasar seperti demensia, cedera otak traumatik, dan stroke.

Insiden delirium bervariasi antara studi-studi individu, tetapi merupakan diagnosis


yang paling sering ditemukan di semua pengaturan perawatan inap. Vasilevskis dan rekan-
rekannya memperkirakan bahwa sekitar sepertiga pasien yang dirawat di rumah sakit
akhirnya mengalami delirium. Delirium terutama umum terjadi di unit perawatan intensif
(ICU), dengan tiga perempat pasien yang menggunakan ventilasi mekanis menderita
penyakit ini, dan hingga setengah dari mereka yang tidak menggunakan ventilasi
mekanis mengalami delirium.

Sifat gejala delirium juga bervariasi, terutama dalam hal manifestasi psikomotornya.
Delirium diklasifikasikan menjadi subjenis hiperaktif, hipokatif, dan campuran. Delirium
hipokatif dan campuran adalah presentasi yang paling umum terjadi di ICU,
mencakup lebih dari 90% kasus. Pasien dengan delirium hipokatif umumnya lesu dengan
aktivitas motor yang berkurang, berbeda dengan pasien dengan delirium hiperaktif yang
seringkali gelisah dan resah. Pasien dengan delirium campuran memiliki gejala baik delirium
hipokatif maupun hiperaktif yang dapat berubah seiring perkembangan penyakit.

Outcomes
Kemajuan dalam bidang kedokteran telah secara signifikan meningkatkan tingkat
kelangsungan hidup, namun delirium tetap menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas
yang sering terjadi serta berdampak signifikan pada gangguan fungsi kognitif dan fisik di
masa berikutnya (Gambar 1). Pasien yang mengalami delirium memiliki tingkat kematian
yang lebih tinggi, baik di rumah sakit maupun dalam satu tahun setelah dirawat di rumah
sakit, dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami delirium. Keberadaan delirium
dalam 24 jam setelah masuk perawatan intensif secara kuat terkait dengan peningkatan
tingkat kematian di rumah sakit.

Pasien yang menggunakan ventilasi mekanis dan mengalami delirium memiliki tingkat
kematian dalam 6 bulan yang lebih tinggi dan lama tinggal di rumah sakit yang signifikan
lebih lama dibandingkan dengan pasien sebanding yang tidak mengalami delirium.
Kematian yang lebih tinggi juga telah dikaitkan dengan delirium hingga 1 tahun setelah
masuk di antara orang dewasa yang sakit parah yang lebih tua. Perlu diperhatikan bahwa
delirium hipokatif dikaitkan dengan kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan delirium
hiperaktif atau delirium campuran.

Selain kematian yang lebih tinggi, pasien yang mengalami delirium menderita
komplikasi fisik lainnya. Delirium secara konsisten dikaitkan dengan lama tinggal di ICU dan
rumah sakit yang lebih lama. Pasien dengan delirium juga menghabiskan waktu yang lebih
lama menggunakan ventilasi mekanis dan memiliki komplikasi pernapasan yang lebih
banyak dengan kesulitan yang meningkat dalam proses pelepasan ventilasi. Delirium juga
dikaitkan dengan peningkatan kemungkinan untuk dipindahkan ke fasilitas perawatan jangka
panjang, dan pasien dengan infeksi aliran darah juga kurang mungkin kembali ke status
fungsional dasar mereka. Brummel dan rekan-rekannya menunjukkan bahwa pasien kritis
yang menggunakan ventilasi mekanis dan mengalami delirium mengalami gangguan yang
signifikan dalam aktivitas dasar sehari-hari mereka serta fungsi sensori-motor yang lebih
buruk pada pemantauan 3 dan 12 bulan. Ventilasi mekanis yang berkepanjangan dan
disabilitas akibat delirium mencegah pasien untuk kembali ke status dasar mereka dan
mengurangi kualitas hidup mereka secara keseluruhan.

Dampak neurokognitif delirium melampaui masa penyakit akut. Orang dewasa yang
mengalami delirium, baik dengan atau tanpa demensia, menunjukkan gejala delirium selama
berbulan-bulan setelah episode awal mereka, termasuk gejala ketidaksediaan dan
disorientasi. Di antara pasien kritis, pasien yang mengalami delirium memiliki gangguan
kognitif yang lebih besar pada saat keluar dari rumah sakit dibandingkan dengan yang tidak
mengalami delirium, dan semakin parahnya delirium dikaitkan dengan gangguan kognitif
yang lebih besar. Girard dan rekan-rekannya menunjukkan bahwa delirium secara
independen terkait dengan gangguan kognitif pada penyintas ICU pada 3 dan 12 bulan
setelah perawatan di rumah sakit, dengan lebih dari 70% penyintas ICU mengalami
gangguan kognitif pada 12 bulan. Temuan ini dikonfirmasi oleh Pandharipande dan
rekan-rekannya dalam studi BRAINICU. Gangguan kognitif terlihat di seluruh rentang usia
dalam kelompok ini dengan insiden yang serupa dengan studi Girard. Dari kelompok ini,
lebih dari sepertiga pasien memiliki bukti gangguan kognitif sedang hingga berat pada 12
bulan. Dalam penelitian terkait, delirium dikaitkan dengan gangguan kognitif yang signifikan
pada 18 bulan setelah perawatan di ICU. Selain itu, pasien yang mengalami delirium juga
memiliki risiko demensia yang lebih tinggi dan penurunan kognitif yang lebih besar. Pada
orang dewasa yang lebih tua berusia di atas 85 tahun yang diikuti selama 10 tahun, delirium
adalah prediktor kuat yang terhadap demensia yang baru terjadi. Dan pada pasien dengan
demensia Alzheimer pra-eksis, delirium dikaitkan dengan perkembangan kognitif yang
signifikan lebih buruk dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalami delirium, setelah
disesuaikan dengan tingkat keparahan penyakit dan komorbiditas dasar. Selain manifestasi
klinis, neuroimaging delirium menunjukkan perubahan struktural penting dalam otak, seperti
atrofi dan kehilangan volume serta lesi materi putih. Sama seperti delirium memperburuk
fungsi kognitif pada mereka yang memiliki demensia dasar, penyakit neurologis yang ada
juga meningkatkan risiko terjadinya delirium. Disfungsi kognitif yang berkelanjutan yang
terkait dengan delirium memiliki dampak sosio ekonomi yang signifikan karena juga terkait
dengan penurunan pekerjaan pada penyintas ICU yang paling rentan. Hubungan antara
delirium dan gangguan kognitif mewakili hubungan timbal balik yang tidak menguntungkan
yang mempengaruhi pasien kritis yang paling rentan.

Selain gangguan kognitif dan peningkatan insiden demensia, semakin diakui adanya
konsekuensi psikologis dari delirium. Sekitar tiga perempat pasien yang sakit parah dan
diwawancarai dua minggu setelah bertahan dari penyakit awal mereka melaporkan
mengalami delusi, dan mereka yang memiliki ingatan fakta yang terbatas tentang rawat inap
mereka mengalami kecemasan yang signifikan dan gejala gangguan stres pasca trauma
(PTSD) yang meningkat. Jackson dan rekan-rekannya menemukan bahwa 37% dan
33% dari penyintas ICU melaporkan gejala depresi pada 3 dan 12 bulan setelah
penyakit kritis, dengan 7% dari semua penyintas mengalami gejala yang konsisten
dengan PTSD. Patel dkk. menemukan bahwa satu dari sepuluh pasien setelah penyakit
kritis mengalami gejala yang konsisten dengan PTSD yang dapat dihubungkan dengan
kunjungan mereka ke ICU, dan bahwa diagnosis psikiatri pre-existing seperti kecemasan,
depresi, atau PTSD terkait pelayanan militer terkait dengan kemungkinan yang lebih besar
mengalami PTSD terkait ICU.

Konsekuensi penting yang muncul setelah delirium tetap menjadi tantangan signifikan
bagi dunia kedokteran perawatan kritis. Komplikasi-komplikasi delirium ini meliputi
peningkatan mortalitas di rumah sakit dan peningkatan waktu penggunaan ventilasi mekanis
hingga gangguan kognitif jangka panjang, disabilitas, dan penyakit jiwa. Masalah-masalah
seperti ini mendesak untuk lebih memahami baik patofisiologi yang mendasarinya maupun
untuk meningkatkan manajemen klinis penyakit ini. Yang jelas adalah bahwa fokus pada
pencegahan delirium yang dikombinasikan dengan manajemen agresif terhadap faktor
risiko, serta praktik berbasis bukti lainnya untuk mencegah iatrogenesis, akan menjadi
pijakan utama dalam perawatan dan penelitian ke depan.

Risk Factor

Delirium dipicu oleh kejadian medis akut. Meskipun sering terjadi dan memiliki dampak
negatif, kondisi ini sering kali tidak terdiagnosis dengan baik, dan patofisiologinya masih
kurang dipahami. Identifikasi faktor risiko pemicu delirium penting untuk
mengimplementasikan, jika memungkinkan, strategi pencegahan pada pasien yang paling
berisiko. Beberapa faktor tampaknya berkontribusi pada sindrom akut ini, dan lebih dari 100
di antaranya telah diteliti untuk kemungkinan hubungan dengan peningkatan risiko
mengalami delirium di ICU. Risiko ini dapat dikelompokkan menjadi dua kategori: risiko yang
dapat membuat pasien rentan terhadap delirium (dapat dimodifikasi dan tidak dapat
dimodifikasi) dan risiko yang terkait dengan perawatan yang diterima selama berada di ICU
atau lingkungan sekitarnya (Gambar 2).

Predisposing Factor

Karakteristik Pasien — Karakteristik pasien yang secara konsisten ditemukan


meningkatkan risiko delirium meliputi usia lanjut, gangguan kognitif yang sudah ada
sebelumnya, dan riwayat hipertensi. Beberapa penelitian telah menemukan bahwa merokok
dan penggunaan alkohol meningkatkan risiko kejadian delirium, meskipun bukti saat ini tidak
cukup untuk menentukan apakah keduanya secara independen terkait dengan delirium ICU.
Dari faktor predisposisi ini, hanya hipertensi yang tidak terkontrol, penggunaan alkohol, dan
merokok yang mungkin dapat dimodifikasi.

Jumlah penyakit penyerta yang tinggi, penyakit jantung, dan kerapuhan juga
tampaknya meningkatkan risiko, meskipun buktinya masih belum meyakinkan. Pasien
dengan banyak penyakit penyerta dan kerapuhan memiliki cadangan fisiologis fisik dan
kognitif yang lebih rendah, yang mengganggu Kapasitas untuk menjaga fungsi otak normal
sebagai respons terhadap stres penyakit kritis dan akhirnya dapat menyebabkan delirium.

Pengobatan Farmakologis — Ada risiko lain yang terkait dengan pengobatan yang
diberikan di ICU. Studi telah menunjukkan bahwa penggunaan benzodiazepin (terutama
lorazepam dan midazolam) secara independen terkait dengan peningkatan risiko delirium.
Selain itu, studi ini telah menunjukkan hubungan berdasarkan dosis, di mana risiko lebih
tinggi dengan dosis benzodiazepin yang lebih tinggi. Hal ini terutama terjadi ketika
benzodiazepin digunakan sebagai sedatif untuk ventilasi mekanis.

Opiat, terutama morfin, juga telah terkait dengan risiko delirium, dan tampaknya ada
hubungan antara pemberian opiat dengan benzodiazepin dan peningkatan durasi delirium.
Hubungan antara obat-obatan ini dan delirium mungkin terkait dengan durasi aksi agen-
agennya, yang meningkatkan risiko akumulasi obat dalam pengaturan fungsi organ yang
terganggu. Selain itu, pemberian analgesia epidural dan sedasi dengan propofol juga
menunjukkan adanya relasi, walaupun buktinya masih belum meyakinkan.

Agen antikolinergik juga dapat memicu delirium, dan kortikosteroid sistemik telah
terbukti secara signifikan terkait dengan transisi ke delirium dari keadaan non-delirium atau
non-koma. Koneksi antara delirium dan agen psikofarmakologis kemungkinan disebabkan
oleh pengaruhnya pada neurotransmitter yang tampaknya penting dalam munculnya
delirium, terutama gamma-aminobutirat (GABA), asetilkolin, dopamin, dan serotonin.
Ketidakseimbangan dalam sintesis, pelepasan, dan inaktivasi neurotransmitter ini
tampaknya menjadi salah satu mekanisme delirium.

ICU Course
Penyakit kritis merupakan insiden sistemik yang berat, dan pasien yang dirawat di unit
perawatan intensif dengan tingkat keparahan penyakit yang tinggi atau skor Acute
Physiology and Chronic Health Evaluation II (APACHE II) yang tinggi, politrauma, kegagalan
organ, dan pasien yang dirawat di ICU setelah operasi darurat memiliki risiko delirium yang
lebih tinggi dibandingkan dengan pasien dengan insiden sistemik yang lebih ringan. Koma
juga telah terbukti menjadi faktor risiko delirium, terutama koma iatrogenik yang diinduksi
secara farmakologis.

Selain itu, studi telah menunjukkan bahwa ventilasi mekanis yang berkepanjangan,
keluar dari delirium, kebutuhan transfusi darah, ketidakmampuan bergerak, asidosis
metabolik, dan nyeri semuanya adalah faktor risiko independen untuk risiko delirium yang
lebih tinggi. Telah disarankan bahwa inflamasi sistemik akut, penuaan, dan cedera iskemik
menyebabkan pelepasan sitokin proinflamasi, yang dapat mengancam integritas
penghalang otak-darah (BBB). Gangguan BBB ini pada gilirannya mengaktifkan serangkaian
peristiwa yang dapat menyebabkan delirium. Semakin banyak bukti yang menunjukkan
bahwa hipoksia dapat menyebabkan disfungsi otak yang meningkat pada pasien kritis, yang
mungkin berkontribusi pada gangguan kognitif jangka panjang. Hipoksia intermiten kronis
dapat menyebabkan perubahan neurodegeneratif pada jaringan otak yang dapat
menyebabkan pasien rentan terhadap delirium.

Akhirnya, penelitian telah menunjukkan bahwa keberadaan triptofan plasma, prekursor


neurotransmitter serotonin, dan biomarker inflamasi (prokalsitonin dan protein C-reaktif)
dapat terkait dengan perkembangan delirium. Mekanisme di balik protein C-reaktif dan
delirium tampaknya terkait dengan gangguan pada BBB karena pembentukan spesies
oksigen reaktif. Penelitian tentang biomarker adalah perkembangan yang menjanjikan dalam
bidang delirium, karena identifikasi mereka dapat menjadi alat diagnostik yang berguna yang
akan memungkinkan diagnosis awal dan stratifikasi risiko.

Environment
Meskipun penting untuk pemulihan, kualitas tidur di ICU diketahui umumnya buruk.
Faktor-faktor yang memainkan peran penting termasuk kebisingan, gangguan yang sering
terjadi, pemberian obat yang mengubah arsitektur tidur, dan gangguan dalam siklus cahaya-
gelap akibat penurunan paparan cahaya alami. Kualitas tidur yang buruk telah diusulkan
sebagai faktor risiko yang dapat dimodifikasi untuk delirium; meskipun asosiasi ini belum
pasti terbukti, promosi tidur dianggap penting dan merupakan bagian dari strategi
pencegahan delirium yang diusulkan oleh Society of Critical Care Medicine (SCCM).

Secara keseluruhan, tampaknya ada hubungan kompleks antara faktor predisposisi


dan pemicu yang menyebabkan delirium, melibatkan karakteristik struktural, beberapa
neurotransmitter, faktor imunologis, fisiologis, dan genetik, serta paparan iatrogenik dan
lingkungan. Dengan demikian, pasien yang sangat rentan dapat mengembangkan delirium
meskipun memiliki gangguan fisiologis yang lebih ringan, dan sebaliknya, pasien dengan
sedikit penyakit penyerta dan kondisi fungsional yang baik mungkin memerlukan gangguan
yang lebih parah untuk mengembangkan delirium. Pemahaman yang baik tentang faktor-
faktor yang saling terkait ini penting untuk melakukan stratifikasi pasien dalam kategori risiko
yang berbeda, sehingga strategi pencegahan dapat dikembangkan untuk mengurangi
insiden delirium.

Sejarah Penanganan Delirium


Beberapa dekade terakhir telah menyaksikan pergeseran dramatis dalam pandangan
umum tentang manajemen efektif delirium. Untuk konteks, kami memberikan deskripsi
singkat tentang pengamatan dan praktik sejarah yang mengarah kepada kondisi saat ini
dalam bidang ini.

Perspektif Awal dan Penggunaan Antipsikotik


Literatur awal tentang manajemen delirium lebih berfokus pada gangguan terkait
alkohol, khususnya delirium tremens. Untuk delirium pada pasien psikiatri yang dirawat di
rumah sakit, rekomendasi mencakup kombinasi kloral hidrat dan kalium bromida. Selama
pertengahan abad ke-20, berbagai pengobatan diusulkan untuk "delirium akut" yang terkait
dengan rawat inap, penyakit sistemik, atau keadaan pascaoperasi. Pengobatan-pengobatan
tersebut meliputi paraldehida dan natrium klorida, fisostigmina (terutama untuk delirium yang
terkait dengan operasi dan pemberian antikolinergik), obat-obatan fenotiazin, dan bahkan
terapi elektrokonvulsif. Pada tahun 1978, penggunaan haloperidol intravena dilaporkan
dalam serangkaian 15 pasien yang mengalami delirium selama pemulihan dari operasi
jantung, dan ini menjadi pilar pengobatan untuk delirium pada pasien yang sakit parah.
Beberapa dekade berikutnya melihat peningkatan ketergantungan pada obat antipsikotik
untuk tujuan ini. Pada tahun 2002, Pedoman SCCM untuk penggunaan sedatif dan
analgesik di ICU merekomendasikan haloperidol sebagai agen pilihan untuk pengobatan
delirium.

Perubahan Perspektif tentang Antipsikotik


Kelayakan antipsikotik generasi pertama sebagai pengobatan untuk delirium
dipertanyakan pada pertengahan tahun 2000-an oleh laporan bahwa obat-obatan ini
meningkatkan mortalitas pada orang lanjut usia. Seiring dengan ini, antipsikotik generasi
kedua ("atipikal") seperti quetiapine dan risperidone mulai mendapatkan popularitas. Alasan
di balik ini adalah bahwa obat-obatan ini membawa risiko efek samping yang lebih rendah
seperti aritmia jantung dan sindrom malignant neuroleptik. Tinjauan sistematis tentang
antipsikotik atipikal versus haloperidol mengungkapkan bahwa antipsikotik atipikal paling
tidak seefektif haloperidol untuk pengobatan delirium. Dalam 10 tahun terakhir,
bagaimanapun, telah menjadi jelas bahwa antipsikotik tidak mengurangi risiko delirium di
ICU dan juga tidak memperbaiki hasil negatif yang terkait dengan keadaan kegagalan otak
akut ini. Studi Hope-ICU secara acak membagi 142 pasien yang mendapatkan ventilasi
mekanis untuk menerima haloperidol intravena atau larutan saline normal sampai bebas dari
delirium atau keluar dari ICU, tetapi tidak menemukan perbedaan dalam jumlah hari bebas
koma dan bebas delirium, durasi delirium, atau kelangsungan hidup antara kedua kelompok.
Studi HARPOON secara acak membagi 245 pasien usia lanjut yang dirawat di rumah sakit
secara akut untuk menerima haloperidol profilaksis versus plasebo dan tidak menemukan
perbedaan yang jelas dalam insiden delirium, durasi, keparahan, atau mortalitas 3 bulan.
Studi MINDUSA membandingkan haloperidol, ziprasidone, dan plasebo dalam uji acak,
tindakan ganda dan tidak menemukan efek dari kedua obat antipsikotik pada jumlah hari
bebas koma dan bebas delirium (Gambar 3). Selama 30 hari dan 90 hari, kelangsungan
hidup juga serupa di antara ketiga kelompok. Studi acak, tindakan ganda lainnya tentang
haloperidol, risperidone, dan plasebo untuk delirium pada pasien hospis dan perawatan
paliatif di rumah sakit menemukan peningkatan tingkat keparahan gejala delirium pada
pasien yang menerima haloperidol atau risperidone dibandingkan dengan plasebo. Tinjauan
sistematis terbaru tentang antipsikotik untuk pengobatan delirium pada pasien dewasa yang
dirawat di rumah sakit tidak menemukan perbedaan di antara haloperidol, antipsikotik
atipikal, dan plasebo dalam hal durasi delirium, lama rawat inap di rumah sakit, atau
mortalitas. Tinjauan kedua tentang antipsikotik untuk pencegahan delirium tidak menemukan
bukti bahwa haloperidol menurunkan insiden atau durasi delirium, lama rawat inap di rumah
sakit, atau mortalitas dibandingkan dengan plasebo. Tinjauan yang sama, bagaimanapun,
menunjukkan kemungkinan bahwa antipsikotik atipikal dapat mengurangi insiden delirium
khususnya pada pasien pascaoperasi. Pedoman SCCM saat ini menyarankan untuk tidak
rutin menggunakan haloperidol atau antipsikotik atipikal untuk pencegahan atau pengobatan
delirium pada orang dewasa yang sakit parah.

Pengetahuan Saat Ini tentang Manajemen dan Pencegahan


Delirium
Hasil mengejutkan dari studi sistematis tentang haloperidol dan antipsikotik lainnya,
yang dulu dianggap sebagai pilar manajemen delirium, telah mendorong para klinisi dan
peneliti untuk mempertimbangkan terapi alternatif untuk mencegah dan mengobati delirium.
Namun, bidang ini masih jauh dari menemukan "solusi mujarab." Bagian ini
menggambarkan terapi farmakologis dan nonfarmakologis yang paling menjanjikan,
keadaan penelitian saat ini, serta hambatan atau tantangan yang menghalangi implementasi
luas.

Manajemen dan Pencegahan Farmakologis


Dexmedetomidine—Dexmedetomidine adalah agonis α-2 adrenoreseptor selektif yang
dapat mengatur siklus tidur-bangun selain memberikan efek anksiolitik dan sedasi.
Penggunaan dexmedetomidine untuk mencegah delirium masih kontroversial. Dalam dua uji
acak terkontrol ganda, pasien yang mendapatkan ventilasi mekanis dan disedasi dengan
dexmedetomidine memiliki risiko delirium 23% lebih rendah dibandingkan dengan yang
disedasi dengan midazolam, dan dua kali lipat lebih banyak hari bebas koma dan delirium
dibandingkan dengan yang disedasi dengan lorazepam. Sebuah uji acak terkontrol dengan
label terbuka, membandingkan dexmedetomidine dengan perawatan biasa sebagai pilihan
pertama sedasi pada pasien yang mendapatkan ventilasi mekanis, juga menemukan
peningkatan sedikit dalam jumlah hari bebas koma dan delirium dalam kelompok
dexmedetomidine. Namun, tidak ada perbedaan dalam mortalitas 90 hari antara kedua
kelompok. Studi ini memiliki batasan karena sebagian besar kelompok dexmedetomidine
akhirnya menerima obat lain seperti propofol dan fentanyl. Sedang berlangsung uji acak
terkontrol yang membandingkan dexmedetomidine versus propofol pada pasien yang
mendapatkan ventilasi mekanis dengan sepsis. Uji acak terkontrol lainnya akan
membandingkan insiden delirium pada pasien bedah jantung lanjut usia dengan atau tanpa
dosis tidur satu kali postoperatif dari dexmedetomidine. Hasil dari studi-studi ini sangat
dinantikan dan akan memberikan informasi untuk penggunaan potensial dexmedetomidine
dalam pencegahan delirium.
Terkait pengobatan farmakologis setelah delirium muncul, analisis Cochrane terbaru
menemukan bukti bahwa dexmedetomidine dapat memperpendek durasi delirium, ventilasi
mekanis, dan masa tinggal di ICU. Studi tersebut tidak menemukan bukti perbedaan dalam
jumlah hari bebas koma atau delirium, gangguan kognitif jangka panjang, atau mortalitas.
Statina—Seperti yang dijelaskan sebelumnya, salah satu mekanisme yang
dipostulasikan dari patogenesis delirium melibatkan peradangan dalam sistem saraf pusat
yang menyebabkan kerusakan pada BBB. Inhibitor 3-Hidroksi-3-metilglutaryl-koenzim A
reduktase (statina) telah diamati memberikan efek antiinflamasi pada manusia dan hewan,
sehingga diperkirakan ada efek pelindung dari statina terhadap delirium di ICU. Sebagai
dukungan untuk hipotesis ini, statina prapembedahan dikaitkan dengan risiko delirium
postoperatif yang lebih rendah pada pasien lanjut usia yang menjalani operasi jantung. Studi
observasional menunjukkan efek pelindung dari statina terkait dengan perkembangan
delirium selama penyakit kritis dan bahwa efek ini mungkin sebagian disebabkan oleh efek
statina pada peradangan sistemik yang diukur dengan kadar protein C-reactive. Namun,
studi tambahan dari uji coba terkontrol acak prospektif yang membandingkan rosuvastatin
dan plasebo pada sindrom gangguan pernapasan akut tidak menemukan efek pada insiden
delirium atau gangguan kognitif jangka panjang secara keseluruhan. Pasien dalam
kelompok rosuvastatin memiliki skor ingatan tertunda yang sedikit lebih buruk pada tindak
lanjut 6 bulan (perbedaan skor rata-rata: -1,2; interval kepercayaan 95% [CI]: -2,2 hingga -
0,2, p = 0,017).
Ketamine—Ketamine adalah antagonist reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA) intravena
dengan sifat anestesi, analgesik, antidepresan, dan antiinflamasi. Pemberian ketamine
intraoperatif secara signifikan mengurangi konsentrasi interleukin-6 pascaoperatif serta
kebutuhan opiat pascaoperatif. Hudetz et al menemukan bahwa Pemberian ketamine
selama induksi juga dikaitkan dengan peningkatan dalam disfungsi kognitif pascaoperatif
bedah jantung. Konsentrasi protein C-reaktif juga signifikan lebih rendah dalam kelompok
ketamine (median: 7,9 vs. 11,6 mg/dL, p < 0,01). Temuan ini menunjukkan bahwa ketamine
mungkin memiliki potensi sebagai obat profilaksis atau terapeutik untuk delirium
pascaoperatif atau penyakit kritis. Namun, uji coba terkontrol acak yang membandingkan
satu dosis subanestesi intraoperatif tunggal ketamine dengan plasebo tidak menemukan
perbedaan dalam insiden delirium pascaoperatif. Kelompok ketamine justru mengalami
peningkatan tingkat halusinasi dan mimpi buruk. Meskipun studi ini menggunakan dosis
ketamine yang serupa dengan studi Hudetz, studi-studi ini berbeda dalam hal waktu dan
protokol praobat.
Sejauh ini belum ada agen farmakologis yang telah menunjukkan efektivitas dalam
mengobati atau mencegah delirium. Pedoman SCCM saat ini menyarankan untuk tidak rutin
menggunakan dexmedetomidine, statina, atau ketamine untuk mencegah delirium pada
orang dewasa yang kritis. Salah satu atau lebih dari agen ini mungkin akan terbukti berguna
dalam manajemen delirium, tetapi mengingat sifat yang heterogen dari gangguan tersebut,
pengobatan yang optimal kemungkinan akan bergantung pada faktor risiko yang ada,
komorbiditas neurologis dan sistemik, serta profil metabolisme dan fisiologis setiap pasien.

Intervensi Nonfarmakologis
Selama beberapa dekade, intervensi nonfarmakologis telah menjadi landasan
manajemen dan pengobatan delirium. Intervensi seperti mempromosikan siklus tidur-bangun
yang teratur, menghindari stimulasi sensorik yang tidak perlu, dan reorientasi berkala telah
disempurnakan selama beberapa dekade dan telah menjadi standar perawatan di seluruh
ICU di seluruh dunia. Intervensi ini sebagian besar telah dikonseptualisasikan dalam bundel
ABCDEF yang terus berkembang. Peningkatan kepatuhan terhadap bundel ABCDEF terkait
dengan penurunan mortalitas serta penurunan jumlah hari di ICU tanpa koma dan delirium
(Gambar 4). Komponen utama dari pendekatan ini dapat dirangkum dalam bundel ABCDEF,
yang dijelaskan dalam bagian-bagian di bawah ini.
Mengevaluasi, Mencegah, dan Mengelola Nyeri—Pasien yang kritis sering mengalami
nyeri saat istirahat dan selama prosedur rutin. Nyeri yang tidak teratasi dapat menyebabkan
delirium serta beberapa komplikasi lainnya. Nyeri harus dimonitor secara rutin pada semua
pasien dewasa di ICU. Ini dapat dilakukan dengan melaporkan diri pada pasien yang terjaga
dan komunikatif, atau dengan menggunakan skala nyeri perilaku yang telah divalidasi
seperti Behavioral Pain Scale atau Critical Care Pain Observation Tool pada mereka yang
tidak dapat mengkomunikasikan nyeri.
Both SAT and SBT—Pengujian pemulihan spontan (Spontaneous Awakening Trials,
SAT) adalah jeda dalam pemberian narkotika intravena dan sedatif. Ketika sesuai, obat-
obatan ini dimulai kembali dengan separuh dosis sebelumnya. Pengujian pernapasan
spontan (Spontaneous Breathing Trials, SBT) adalah periode dukungan ventilator minimal.
Sebuah uji coba terkontrol acak yang membandingkan SBT harian dengan perawatan
standar pada pasien yang mendapatkan ventilasi mekanis menunjukkan bahwa mereka
yang menerima SBT memiliki waktu yang lebih singkat dalam ventilator (4,5 vs. 6 hari, p =
0,003). Kelompok intervensi juga mengalami komplikasi terkait ventilator yang lebih sedikit
dan biaya perawatan ICU yang lebih rendah.139 Uji coba terkontrol acak lainnya yang
membandingkan protokol SAT dan SBT harian dengan SBT harian ditambah sedasi rutin
menemukan bahwa pasien yang menjalani SAT dan SBT Protokol SAT dan SBT harian
adalah bagian kunci dari penghentian penyediaan ventilasi mekanis yang tepat waktu dan
menyebabkan perbaikan hasil ICU. Pemilihan analgesia dan sedasi—Manajemen yang
efektif terhadap nyeri, kecemasan, dan delirium adalah tujuan utama di ICU. Manajemen ini
perlu didasarkan pada tujuan yang disepakati oleh pasien dan ukuran penilaian yang telah
distandardisasi. Ada beberapa skala yang telah divalidasi yang diterbitkan untuk penilaian
tingkat sedasi di ICU, misalnya Skala Agitasi-Sedasi Richmond (RASS) atau Skala Agitasi-
Sedasi Riker.
Obat dan protokol titrasi yang paling efektif untuk sedasi dan analgesia belum jelas,
dan kemungkinan tergantung pada konteks klinis dan karakteristik pasien. Uji coba
terkontrol acak MENDS membandingkan lorazepam dan dexmedetomidine untuk sedasi
berkelanjutan pada pasien yang mendapatkan ventilasi mekanis dan menemukan bahwa
kelompok dexmedetomidine mengalami lebih banyak hari hidup tanpa delirium atau koma
(median: 7,0 vs. 3,0 hari, p = 0,01). Biaya perawatan serupa antara kedua kelompok.72
Studi MENDS2 akan membandingkan dexmedetomidine dan propofol pada pasien septik
yang mendapatkan ventilasi mekanis. Hasil dari studi tersebut masih menunggu saat
penulisan tinjauan ini.
Delirium: Mengevaluasi, Mencegah, dan Mengelola—Komponen kunci dari
manajemen delirium adalah pemantauan untuk identifikasi dini dan modifikasi faktor risiko.
Alat yang paling banyak digunakan untuk penilaian delirium di ICU adalah Metode Penilaian
Kecemasan untuk ICU (CAM-ICU).3 CAM-ICU terdiri dari empat fitur: onset akut perubahan
status mental atau perubahan arus; ketidakmampuan memusatkan perhatian; pemikiran
yang tidak teratur; dan perubahan tingkat kesadaran. Nilai gabungan sebagai tes diagnostik
adalah sensitivitas 80% dan spesifisitas 95,9%.140 Alat lain termasuk Daftar Penyaringan
Delirium Perawatan Intensif (ICDSC).141 ICDSC terdiri dari delapan item, termasuk
penilaian perubahan tingkat kesadaran, ketidakmampuan memusatkan perhatian,
halusinasi/delusi/psikosis, agitasi atau retardasi psikomotor, bicara atau suasana hati yang
tidak sesuai, gangguan siklus tidur/bangun, dan fluktuasi gejala. Nilai gabungan sensitivitas
dan spesifisitasnya adalah 74 dan 81,9%, masing-masing.140 Penting untuk secara rutin
menilai pasien untuk mengurangi risiko mengabaikan delirium hipoaktif, dan waktu yang
optimal untuk penilaian ini adalah selama SATs.142
Setelah delirium teridentifikasi, manajemen melibatkan kembali tindakan pencegahan
utama, termasuk reorientasi, lingkungan tidur yang sesuai, dan manajemen nyeri yang
memadai. Banyak dari intervensi nonfarmakologis ini dijelaskan dalam Tabel 1. Karena
durasi delirium dapat memprediksi hasil jangka panjang yang lebih buruk,4 implementasi
tindakan-tindakan nonfarmakologis ini diharapkan akan meningkatkan perawatan pasien.
Mobilitas dan Olahraga Dini—Mobilitas dini terdiri dari berbagai aktivitas mulai dari
gerakan rentang pasif hingga ambulasi dengan bantuan. Ini aman dan memungkinkan pada
pasien yang kritis, dan mengurangi jumlah hari delirium, durasi ventilasi mekanis, lama
tinggal di ICU, dan lama tinggal di rumah sakit secara keseluruhan. Anggota tim perawatan
dapat melakukan mobilitas dini; tingkat aktivitas yang sesuai ditentukan berdasarkan tingkat
sedasi pasien. Mobilisasi dini selama SATs dikaitkan dengan peningkatan peluang kembali
ke perawatan fungsional independen saat pulang (rasio odds: 2,7; CI 95%: 1,2–6,1) dalam
serangkaian pasien kritis yang mendapatkan ventilasi mekanis.143 Terapi kognitif dan fisik
gabungan dini telah terbukti dapat dilakukan pada populasi serupa, dan hasil saat ini sedang
dalam penelitian.144
Keterlibatan dan Pemberdayaan Keluarga—Menguatkan anggota keluarga untuk
menjadi peserta setara dalam perawatan pasien dapat meningkatkan kinerja tim ICU dan
komunikasi, mengungkapkan wawasan kunci tentang kondisi pasien, dan membuat
penyedia fokus pada tujuan perawatan yang paling relevan untuk setiap pasien. Intervensi
ini juga dapat mengarah pada identifikasi dini dan pengurangan beban stres psikologis dan
emosional yang terkait dengan ICU di antara anggota keluarga. Komunikasi strategis
dengan keluarga melibatkan penggunaan bahasa yang sederhana, konkret, dan
menghindari komunikasi yang cepat. Tinjauan sistematis dan meta-analisis terbaru tentang
intervensi dukungan keluarga terprotokol menemukan bahwa intervensi tersebut
mengurangi lama tinggal di ICU tanpa memengaruhi mortalitas.137 Selain itu, program-
program khusus telah dikembangkan untuk mereplikasi lingkungan yang akrab bagi pasien
berisiko tinggi atau untuk meningkatkan kehadiran anggota keluarga secara langsung atau
online untuk mengurangi defisit kognitif pada pasien kritis saat keluar dari ICU.145
Pentingnya keterlibatan keluarga dalam rehabilitasi kognitif telah diakui dalam jenis cedera
otak lainnya146 dan dapat menjadi jalur yang menjanjikan untuk mengurangi beban cedera
otak akibat delirium pada pasien ICU. 144,147 Metode lain untuk menciptakan lingkungan
yang nyaman termasuk terapi berbasis musik, yang dapat meningkatkan pengukuran
fisiologis yang terkait dengan delirium148 dan diakui sebagai potensial bermanfaat selama
penyakit kritis dan di akhir hidup.149 Intervensi semacam itu masih menjadi subjek
penelitian yang sedang berlangsung.150

Tantangan dan Kesulitan Implementasi


Delirium seringkali tidak dikenali57,151; oleh karena itu penggunaan alat validasi
untuk mengidentifikasi delirium sangat penting untuk meningkatkan hasil pasien.151,152
Seperti yang disebutkan sebelumnya, panduan Pain, Agitation/Sedation, Delirium
Immobility, and Sleep Disruption (PADIS) oleh SCCM merekomendasikan penggunaan baik
CAM-ICU maupun ICDSC untuk menilai delirium pada pasien dewasa yang kritis.121
Meskipun alat-alat ini memiliki reliabilitas yang sangat baik, penyaringan sistematis untuk
delirium kurang dilakukan di banyak ICU151,153–155 karena beberapa hambatan.
Perawat sering melaporkan bahwa delirium sulit dievaluasi pada pasien yang intubasi,154,156–
158 sedangkan yang lain merasa bahwa pasien yang disedasi tidak dapat dinilai.154,157 Namun,
CAM-ICU dirancang khusus untuk menilai pasien ICU yang tidak bisa berbicara yang mendapatkan
ventilasi mekanis, dan manual pelatihan CAM-ICU saat ini159 mengindikasikan bahwa satu-satunya
kondisi yang akan diuji dengan CAM-ICU adalah responsivitas terhadap rangsangan verbal tanpa
memperhatikan penggunaan sedatif (RASS ≤ 3).
Studi lainnya156,160 mencatat bahwa beberapa klinisi percaya bahwa delirium dapat
diidentifikasi tanpa alat penilaian. Ini bertentangan dengan bukti yang ditemukan oleh
Spronk et al,57 yang mengatakan bahwa delirium seringkali terlewatkan tanpa alat penilaian
yang telah divalidasi seperti CAM-ICU: perawat hanya mengenali 35% dari hari delirium,
sementara intensivis yang hadir melakukan lebih buruk lagi (hanya mengenali 28% dari hari
dengan delirium). Dalam studi lain oleh van Eijk et al,161 hampir tiga dari empat pasien
dengan delirium ICU terlewatkan oleh dokter yang tidak menggunakan alat penilaian yang
telah divalidasi. Diagnosis yang terlewatkan dapat menyebabkan kurangnya pengobatan,
sedangkan hasil positif palsu akibat kurangnya objektivitas dapat menghadapkan pasien
pada terapi farmakologis yang tidak pernah terbukti efektif56 dan risiko keamanan162,163.
Di beberapa unit, penyaringan delirium dianggap terlalu kompleks154 atau memakan waktu
terlalu lama156,164 meskipun penilaian dengan CAM-ICU atau ICDSC memerlukan waktu 2
hingga 5 menit untuk selesai.158,165 Beberapa klinisi merasa bahwa CAM-ICU tidak dapat
diandalkan,164,166 atau tidak perlu, sering memilih untuk menggunakan observasi klinis
daripada alat yang divalidasi untuk memantau kegelisahan atau menilai kemampuan untuk
mengikuti perintah.154 Hal ini terutama terjadi dalam pengaturan perawatan neurokritikal, di
mana ada persepsi bahwa CAM-ICU dan ICDSC tidak cocok. Ini berbeda dengan temuan
oleh Mitasova et al,167 yang telah menunjukkan bahwa CAM-ICU memiliki sensitivitas 76%
dan spesifisitas 98% pada pasien yang telah mengalami stroke. Selain itu, Frenette et al168
menemukan bahwa baik CAM-ICU maupun ICDSC memiliki sensitivitas dan spesifisitas
yang baik dalam mengevaluasi delirium pada pasien yang mengalami cedera otak
traumatis.167,168 Meskipun temuan-temuan ini, penilaian pasien neurokritikal tetap
menantang terutama pada mereka dengan depresi ekstrem, katatonia berat, dan afasia
reseptif. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menemukan alat yang
sesuai untuk mendiagnosis dan mencegah delirium pada populasi ini.
Elemen-elemen lain yang dilaporkan sebagai hambatan untuk penilaian delirium
meliputi kurangnya pengetahuan tentang delirium atau pelatihan untuk menggunakan
penilaian tersebut,156,160,164 persepsi bahwa delirium tidak dapat dicegah atau bahwa
penilaian tidak berguna karena tidak ada pengobatan untuknya157,158,164,166; kurang
percaya diri dalam melakukan CAM-ICU158; kepercayaan bahwa tes ini memalukan bagi
pasien166; dan kurang familiaritas dengan pedoman, kurang motivasi untuk mengikuti
pedoman tersebut, dan persepsi bahwa mengikuti pedoman mengenai penyaringan delirium
tidak akan berdampak positif pada perawatan pasien.164
Secara lebih umum, penerapan bundel ABCDEF sebagai keseluruhan telah terbukti
secara substansial meningkatkan hasil, termasuk mengurangi kemungkinan
mengembangkan delirium dan mengurangi peluang memerlukan ventilasi mekanis.23,136
Hambatan untuk menerapkan ABCDEF sebagai bundel mirip dengan yang dihadapi saat
menggunakan alat penilaian delirium. Beberapa berkaitan dengan pasien, termasuk
kekhawatiran keselamatan terkait dengan instabilitas hemodinamik atau kurangnya
kerjasama.169 Sebagian besar berkaitan dengan klinisi yang melaksanakan bundel ini,
terutama kurangnya pengetahuan tentang manfaatnya, enggan mengikuti pedoman,
preferensi untuk otonomi, percepatan beban kerja yang dirasakan,170 dan kurangnya
keyakinan akan efikasi bundel ini.169–171 Akhirnya, ada hambatan yang berkaitan dengan
struktur ICU, termasuk budaya dan organisasi, kerjasama tim, lingkungan fisik, kurangnya
sumber daya, dan manajemen/kepemimpinan yang tidak memadai.169,171,172

Pertimbangan Praktis untuk Pengobatan Delirium


Pada tingkat individu, bagi dokter yang berada di tempat tidur pasien, pengelolaan
delirium dapat menjadi sulit. Dokter harus memahami delirium sebagai bentuk kegagalan
organ akut, dalam hal ini, bentuk kegagalan otak akut. Seseorang harus akrab dan mencari
berbagai manifestasi delirium, dari penyakit hipoaktif hingga hiperaktif. rawat inap,
rangsangan deliriogenik akut akibat penyakit atau pengobatan harus dievaluasi saat menilai
pasien. Ada beberapa mnemonic yang telah dikembangkan untuk mengingatkan dokter
akan etiologi potensial. Salah satu mnemonic yang umum digunakan adalah "Dr. DRE," di
mana "DRE" mengacu pada kategori penyebab delirium, termasuk penyakit, obat-obatan
yang perlu dihentikan, dan faktor risiko lingkungan (Tabel 2). Alat ini berguna untuk setiap
pasien yang dirawat di rumah sakit, bukan hanya pasien kritis di ICU. Dokter harus mencari
penyakit, seperti sepsis atau gagal jantung, sebagai etiologi potensial, serta akibat penyakit
akut dan kronis, seperti kelainan metabolisme. Dokter juga harus mencari obat-obatan
berpotensi berbahaya, seperti benzodiazepin atau antihistamin, yang dapat berkontribusi.
Selain mengevaluasi proses penyakit baru atau memburuk dan menghentikan obat yang
bersalah, evaluasi lingkungan pasien sangat penting dalam mengatasi delirium. Misalnya,
apakah pasien dibatasi atau tidak dapat bergerak di tempat tidur dengan rangsangan siang
hari yang terbatas yang mengarahkan pasien pada tempat dan waktu? Intervensi
sederhana, seperti memberikan kacamata dan alat bantu dengar pasien serta mendorong
mobilitas selama siang hari, efektif dalam mengurangi delirium dan mewakili perawatan
klinis yang baik. Dokter juga dapat menilai dan membuat perubahan pada pemeriksaan vital
malam atau intervensi lainnya di tempat tidur dalam upaya untuk meningkatkan tidur yang
nyaman dan memulihkan.
Melaksanakan penilaian dan intervensi di atas adalah garis depan manajemen
delirium di tempat tidur. Meskipun sebagian besar literatur ilmiah tidak menunjukkan
manfaat penggunaan obat-obatan seperti antipsikotik untuk mengobati atau mengurangi
durasi delirium, mungkin ada indikasi jarang untuk penggunaan mereka. Misalnya, untuk
pasien dengan delirium hiperaktif yang signifikan yang membahayakan diri sendiri karena
melepaskan alat medis atau jatuh di tempat tidur, penggunaan antipsikotik diskrit dan
terbatas mungkin diperlukan untuk mencegah bahaya. Dokter harus memahami bahwa
penggunaan tersebut bukan untuk mengobati atau memperbaiki delirium tetapi untuk
mengurangi kegelisahan yang dapat menyebabkan bahaya. Jika intervensi seperti itu
diperlukan, seseorang juga harus terus mencari etiologi yang dapat dibalikkan dan intervensi
nonfarmakologis untuk mengelola dan mengurangi delirium. Dengan menggunakan
pendekatan hati-hati ini, selain penerapan sistemik dari bundel berbasis bukti seperti bundel
ABCDEF, akan memberikan perawatan terbaik bagi pasien.

Kesimpulan dan Arah Masa Depan


Delirium adalah kondisi yang menghancurkan pada pasien yang sangat sakit dengan
dampak yang luas, dari gangguan kognitif hingga distress psikologis hingga mortalitas
jangka pendek, dan mungkin jangka panjang. Ini umum terjadi, dengan penelitian
menunjukkan bahwa sebagian besar pasien yang menerima intervensi perawatan kritis rutin
seperti ventilasi mekanis mengalami penyakit ini pada suatu saat selama perawatan mereka
di rumah sakit. Konsekuensi hilir delirium melampaui ICU untuk memengaruhi pasien
selama berbulan-bulan hingga tahun setelah sakit kritis.
Fakta-fakta ini telah meningkatkan urgensi untuk lebih memahami penyakit ini dan
patofisiologinya serta mengidentifikasi pengobatan potensial dan mengurangi faktor risiko.
Telah ada minat besar dalam pengobatan farmakologis untuk delirium, dengan penggunaan
antipsikotik yang luas. Diperkirakan bahwa 1 dari 10 pasien yang sangat sakit diberi
antipsikotik dalam pengaturan delirium,173 dengan hingga 30% dari seluruh penerima obat-
obatan antipsikotik. Mereka tidak efektif, dan tidak lagi direkomendasikan dalam panduan
perawatan.20,21,121 Pengobatan paling efektif, dan standar perawatan untuk pasien yang
sangat sakit, adalah bundel ABCDEF. Ini telah menunjukkan penurunan yang signifikan
dalam delirium secara responsif terhadap dosis, selain meningkatkan hasil penting lainnya
seperti hari-hari ventilasi mekanis dan tingkat readmisi.22,23 Gambaran masa depan pasien
yang sangat sakit tidak lagi menjadi pasien yang sangat tereduksi, tidak bisa bergerak,
menggunakan ventilasi mekanis, tetapi sebaliknya menjadi pasien yang bangun dari tempat
tidur, berjalan, berinteraksi dengan keluarga dan tim perawatan, bahkan dengan intervensi
invasif seperti ventilasi mekanis atau terapi penggantian ginjal kontinu. Ke depan, semua
pasien ICU harus dikelola dengan menggunakan panduan dan kerangka kerja sebagaimana
dijelaskan dalam bundel ABCDEF untuk mengurangi delirium, membatasi iatrogenesis, dan
mengoptimalkan hasil yang berpusat pada pasien.
Masih ada banyak area penelitian yang harus dijelajahi untuk mengatasi masalah
delirium pada pasien yang paling kritis. Studi mekanistik yang sedang berlangsung
diperlukan untuk lebih memahami jalur-jalur yang kompleks dan saling terkait yang bekerja
dalam perkembangan delirium. Studi-studi tersebut akan memberikan sasaran potensial lain
untuk intervensi terapeutik dan juga membantu menjelaskan faktor risiko lain yang dapat
dikurangi di lingkungan perawatan intensif. Misalnya, obat-obatan masa depan yang dapat
memodifikasi neuroinflamasi dan gangguan neurotransmiter secara selektif dapat
dikembangkan dari studi ilmu dasar delirium yang sedang berlangsung, dan praktik
perawatan yang memengaruhi delirium seperti mengoptimalkan lingkungan tidur dan
membatasi rangsangan berbahaya akan semakin dipahami pada tingkat molekuler. Masih
ada pertanyaan mengenai praktik optimal kami di ICU untuk mencegah atau mengurangi
delirium—pilihan sedasi terbaik untuk pasien yang memerlukan ventilasi mekanis?
Bagaimana, dan sejauh mana, kami harus melakukan mobilisasi dan latihan pada pasien
yang sangat sakit? Data seputar bundel ABCDEF sangat meyakinkan dan merupakan
kemajuan signifikan dalam perawatan delirium dan perawatan ICU secara keseluruhan.
Penelitian lebih lanjut mengenai praktik terbaik untuk menerapkan bundel secara luas, baik
di ICU besar maupun kecil, akan diperlukan untuk mengoptimalkan perawatan secara
universal. Setelah sakit kritis, pertanyaan seputar perawatan sangat banyak—misalnya,
bagaimana dokter perawatan primer dan klinik pemulihan pasca-ICU dapat bekerja sama
untuk mengurangi sekuela yang tidak diinginkan dari sakit kritis? Setiap area penelitian yang
sedang berlangsung ini penting dan perlu diatasi di masa depan untuk meningkatkan
perawatan dan hasil pasien.
Seiring perawatan pasien yang sangat sakit membaik, pemahaman kami tentang
delirium dan konsekuensinya juga meningkat. Saat pengetahuan berkembang, pentingnya
untuk memahami baik jalur penyakit maupun meningkatkan pencegahan dan
pengobatannya meningkat secara eksponensial. Meskipun belum ada agen tunggal yang
diidentifikasi yang mencegah dan/atau mengobati delirium, kemajuan yang signifikan telah
dicapai. Secara bertahap, standar perawatan di ICU untuk mengelola delirium berpusat
pada proses perawatan yang terintegrasi dan simbiotik seperti yang dijelaskan dalam bundel
ABCDEF, yang baik mencegah delirium maupun membatasi durasinya. Penyempurnaan
lebih lanjut dari pilihan terapeutik, mulai dari obat hingga rehabilitasi, diperlukan dan
merupakan area penelitian yang aktual untuk memperbaiki kehidupan pasien yang sangat
sakit dan mengalami delirium.

Critical Appraisal

Anda mungkin juga menyukai