Anda di halaman 1dari 48

ASUHAN

KEPERAWATAN PADA
DELIRIUM

Kelompok D1 dan D2
Kelas D angkatan 2016
ANGGOTA KELOMPOK:
Kelompok D1:
Maraytus Sissetyaningrul P NIM 162310101119
Irsalina Nabilah Ali NIM 162310101125
Liyah Elsa Nur Cahyani NIM 162310101141
Ubaidillah Ustman NIM 162310101149
Muhamad Nazeh Aminudin NIM 162310101155
Fara Adibah NIM 162310101160
Vio Nadya Permatasari NIM 162310101173
Insyaf Prawitasari NIM 162310101176
Maida Krismonica NIM 162310101182
ANGGOTA KELOMPOK:
Kelompok D2:
Berrylianti Ariesta NIM 142310101076
Mila Sari Lestia Devi NIM 162310101117
Melasari Ika Safitri NIM 162310101121
Ayu Parahita NIM 162310101128
Mochamad Riko Saputra NIM 162310101134
Indana Firdausi Nuzula NIM 162310101139
M. Wahyudi NIM 162310101169
Anisa Kirnawati NIM 162310101186
Try Nurhayati NIM 162310101188
DEFINISI
Delirium adalah gangguan neuropsikiatrik kompleks
yang ditandai oleh perubahan tingkat kesadaran,
disfungsi atensi, gangguan dalam domain kognitif lain
termasuk memori, orientasi, dan bahasa, dan perubahan
terkait dalam domain non-kognitif dari perilaku motorik,
persepsi, pengaruh, siklustidur-bangun, dan proses
berpikir (Harrington & Vardi, 2014)
Delirium memiliki insidensi yang tinggi pada pasien
dengan penyakit kritis. Delirium merupakan kelainan
serius yang berhubungan dengan pemanjangan lama
perawatan di ruang rawat intensif/rumah sakit, biaya
yang lebih tinggi, memperlambat pemulihan fungsional,
dan peningkatan morbiditas serta mortalitas (Adiwinata,
2016)
EPIDEMIOLOGI
 Beban delirium yang dilaporkan dalam ICU sangat bervariasi.
Dalam satu studi cross-sectional dari 590 pasien ICU, tingkat
delirium adalah 20% dan memiliki angka kematian ICU yang lebih
tinggi (27% berbanding 3%; P <0,001). Sebuah studi prospektif
baru-baru ini dari 726 pasien ICU Eropa melaporkan bahwa 15%
dari pasien ini didiagnosis mengalami delirium selama tinggal di
rumah sakit, tingkat yang 50% pada pasien di atas usia 85 tahun.
Penelitian prospektif lain dari 309 pasien yang dirawat di rumah
sakit ICU, menemukan prevalensi delirium 19%, dengan tingkat
kejadian 2 bulan 9% di antara mereka yang bebas dari delirium
pada awal. Demikian pula, dalam studi prospektif terbesar hingga
saat ini oleh Naksuk et al, tingkat kejadian delirium di antara
11.079 pasien di ICU adalah 8% (Ibrahim, dkk., 2018)

 Di Indonesia, prevalensi delirium bervariasi yaitu 14-56%, dengan


angka kematian dirumah sakit sekitar 25-30%. Kejadian delirium di
rumah sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) berkisar 17- 47,3%.
Sedangkan angka kejadian delirium di ICU RSHS Bandung cukup
tinggi sebesar 37%. (Adiwinata, dkk., 2016).
ETIOLOGI
1. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor-faktor yang membuat
pasien rentan mengalami delirium. Faktor predisposisi
yang menyebabkan delirium pada seseorang adalah :
a. Usia
Baik populasi geriatri dan pediatrik beresiko terkena
delirium. Orang tualebih rentan terhadap delirium
karena hilangnya cadangan kolinergik terkait usia yang
diperlukan untuk memori, pembelajaran, perhatian, dan
kesadaran (Maclullich et al., 2008).
b. Gangguan neurologis
Demensia adalah faktor predisposisi utama untuk
delirium, meta-analisis yang menunjukkan risiko bahwa
sekitar 45% pasien dengan demensia mengalami
delirium selama dirawat di rumah sakit.
c. Fraktur pinggul
Pasien fraktur pinggul berisiko lebih tinggi mengalami
delirium karena trauma yang terkait dengan cedera dan
perkembangan cepat ke rawat inap dan pembedahan, di
samping rasa sakit dan kehilangan fungsi
d. Jenis kelamin
Jenis kelamin laki-laki ditemukan menjadi faktor risiko
dalam beberapa studi delirium
e. Depresi
Depresi telah dilaporkan sebagai faktor predisposisi
untuk delirium pada orang tua dan pada pasien bedah
non-jantung. Berkurangnya konektivitas fungsional di
otak manusia yang berhubungan dengan depresi
dihipotesiskan sebagai salah satu mekanisme yang
membuat pasien depresi mengalami delirium.
2. Faktor pencetus
Faktor pencetus adalah faktor yang memicu
mekanisme yang mengakibatkan. Faktor-faktor
pencetus delirium adalah:
a. Pembedahan
Insiden delirium pasca operasi berkisar antara 5%
hingga 15%. 70% dari pasien ICU yang menjalani
pembedahan dan mengalami trauma gabungan
memiliki setidaknya satu episode delirium .
b. Obat-obatan
Setiap obat yang mengganggu sistem
neurotransmitter ini atau dengan pasokan atau
penggunaan substrat untuk metabolisme sistem
saraf pusat dapat menyebabkan delirium.
KLASIFIKASI
Klasifikasi sindrom delirium berdasarkan aktifitas
psikomotor (tingkat/kondisi kesadaran, aktifitas perilaku) yakni:
 Hiperaktif
Delirium hiperaktif merupakan delirium yang paling sering terjadi.
Pada pasien terjadi agitasi, psikosis, labilitas mood, penolakan untuk
terapi medis, dan tindakan dispruptif lainnya. Kadang diperlukan
pengawas karena pasien mungkin mencabut selang infus atau
kathether, atau mencoba pergi dari tempat tidur. Pasien
delirium karena intoksikasi, obat antikolinergik, dan alkohol
withdrawal biasanya menunjukkan perilaku tersebut.
 Hipoaktif
Bentuk delirium yang paling sering, tapi sedikit dikenali oleh
para klinisi. Pasien tampak bingung, lethargia, dan malas. Hal itu
mungkin sulit dibedakan dengan keadaan fatigue dan somnolen,
bedanya pasien akan dengan mudah dibangunkan dan dalam
berada dalam tingkat kesadaran yang normal. Rangsang yang
kuat diperlukan untuk membangunkan, biasanya bangun tidak
komplet dan transient.
PATOFISIOLOGI
Hipotesis terbaru menunjukkan defisiensi jalur kolinergik
merupakan salah satu faktor penyebab delirium. Delirium yang
diakibatkan oleh penghentian substansi seperti alkohol,
benzodiazepin, atau nikotin dapat dibedakan dengan delirium
karena penyebab lain. Pada delirium akibat penghentian alkohol
terjadi ketidakseimbangan mekanisme inhibisi dan eksitasi pada
system neurotransmiter. Konsumsi alkohol secara reguler dapat
menyebabkan inhibisi reseptor NMDA (N-methyl-D-aspartate)
dan aktivasi reseptor GABA-A (gammaaminobutyric acid-A).
Disinhibisi serebral berhubungan dengan perubahan
neurotransmitter yang memperkuat transmisi dopaminergik dan
noradrenergik, adapun perubahan ini memberikan manifestasi
karakteristik delirium, termasuk aktivasi simpatis dan
kecenderungan kejang epileptik. Pada kondisi lain, penghentian
benzodiazepine menyebabkan delirium melalui jalur penurunan
transmisi GABA-ergik dan dapat timbul kejang epileptik. Delirium
yang tidak diakibatkan karena penghentian substansi timbul melalui
berbagai mekanisme, jalur akhir biasanya melibatkan defisit
kolinergik dikombinasikan dengan hiperaktivitas dopaminergik.
Perubahan transmisi neuronal yang dijumpaipada delirium melibatkan
berbagai mekanisme, yang melibatkan tiga hipotesis utama, yaitu:

 Efek Langsung
Beberapa substansi memiliki efek langsung pada sistem neurotransmiter,
khususnya agen antikolinergik dan dopaminergik. Lebih lanjut, gangguan
metabolik seperti hipoglikemia, hipoksia, atau iskemia dapat langsung
mengganggu fungsi neuronal dan mengurangi pembentukan atau
pelepasan neurotransmiter. Kondisi hiperkalsemia pada wanita dengan
kanker payudara merupakan penyebab utama delirium.
 Inflamasi
Padabeberapa kasus, respons inflamasi sistemik menyebabkan
peningkatan produksi sitokin, yang dapat mengaktivasi mikroglia untuk
memproduksi reaksi inflamasi pada otak. Sejalan dengan efeknya yang
merusak neuron, sitokin juga mengganggu pembentukan dan pelepasan
neurotransmiter.
 Stres
Faktor stres menginduksi sistem saraf simpatis untuk melepaskan lebih
banyak noradrenalin, dan aksis hipotalamuspituitari-adrenokortikal
untuk melepaskan lebih banyak glukokortikoid, yang juga dapat
mengaktivasi glia dan menyebab kan kerusakan neuron.
MANIFESTASI KLINIS
1. Gejala yang Mudah Ditemui
Gejala yang dapat ditemui pada pasien delirium adalah
gangguan kognitif global berupa gangguan memori
(recent memory atau memori jangka pendek), gangguan
persepsi (halusinasi, ilusi), atau gangguan proses pikir
(disorientasi waktu, tempat,orang) (Widyastuti dan
Mahasena, 2017).

2. Gejala yang Mudah Ditemui Namun Sering Terlewatkan


Gejala yang mudah diamati pada pasien delirium namun
justru sering terlewatkan adalah terdapat komunikasi
yang tidak relevan atau autonamnesis yang sulit
dipahami, pasien kadang terlihat seperti mengomel
terus-menerus, atau terdapat ide-ide pembicaraan yang
melompat-lompat (Widyastuti dan Mahasena, 2017).
3. Gejala Lainnya
Gejala lain pada pasien delirium meliputi perubahan
aktivitas psikomotor, baik hipoaktif (25 %), hiperaktif
(25 %), atau campuran keduanya (35 %) (Widyastuti
dan Mahasena, 2017).Sebagian pasien menunjukkan
aktivitas psikomotor normal dan gangguan siklus tidur
(siang hari tertidur sedangkan malam hari terjaga)
(Widyastuti dan Mahasena, 2017).

4. Gejala Menurut Rudolph dan Marcantonio


Menurut Rudolph dan Marcantonio (dalam Widyastuti
dan Mahasena, 2017), memasukkan gejala perubahan
aktivitas psikomotor ke dalam klelompok perubahan
kesadaran yaitu setiap kondisi kesadaran selain compos
mentis, termasuk di dalamnya keadaan hipoaktivitas
serta hiperaktivitas.
PEMERIKSAAN
1. Anamnesa terutama riwayat medis menyeluruh,
termasuk penggunaan obat-obatan atau medikasi.
2. Pemeriksaan fisik lengkap terutama dilakukan
secara rutin pada pasien yang rawatinap.
3. Pemeriksaan neurologis, termasuk status mental,
tesperasaan (sensasi), berpikir (fungsikognitif), dan
fungsi motorik. Pemeriksaan status
kognitifmencakup :
a. Tingkat kesadaran
b. Kemampuanberbahasa
c. Memori
d. Apraksia
e. Agnosiadangangguancitratubuh
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Uji darah
Tujuannya untuk memeriksa adanya gangguan organik,
memeriksa komplikasi fisik akibat gangguan psikiatri untuk
menemukan gangguan metabolik. Uji darah serologis, biokimia,
endokrin dan hematologis yang harus dilakukan termasuk :
 Pemeriksaan darah lengkap
 Urea danelektrolit
 Uji fungsi tiroid
 Uji fungsi hati
 Kadar vitamin B12 dan asam folat
 Serologisifilis

2. Uji urin
Skrining obat terlarang dalam urine perlu dilaksanakan untuk
memeriksa penyalahgunaan zat psikoaktif yang samar.
3. Elektroensefalogram (EEG)
Pemeriksaan EEG secara karakteristik menunjukkan
perlambatan aktivitassecara umum dan berguna
untuk membedakan delirium dengan depresi
ataupun psikosis. EEG pada delirium kadang-
kadang menunjukkan area hiperaktivitasfokal. Pada
delirium akibat putus alkohol ataupun zat sedatif
EEG menunjukkanaktivitas voltase rendah yang
cepat.
4. X-ray dada
5. CT scan kepala
6. MRI scan Kepala
7. Analisiscairanserebrospinal (CSF)
8. Kadar obat, alkohol (toksikologi)
9. Uji genetic
PENATALAKSANAAN MEDIS
Tiga tujuan utama terapi delirium yaitu (Menkes RI,
2015):
1. Mencari dan mengobati penyebab delirium
(diperlukan pemeriksaan fisik yang cermat dan
pemeriksaan penunjang yang adekuat.
2. Memastikan keamanan pasien
3. Mengobati gangguan perilaku terkait dengan
delirium, misalnya agitasi psikomotor.
Terapi farmakologi
 Haloperidol mempunyai rekam jejak terpanjang dalam
mengobati delirium, dapat diberikan per oral, IM, atau
IV..
 Dosis Haloperidol injeksi adalah 2-5 mg IM/IV dan
dapat diulang setiap 30 menit (maksimal 20 mg/hari).
 Efek samping parkinsonisme dan akatisia dapat terjadi.
 Bila diberikan IV, dipantau dengan EKG adanya
pemanjangan interval QTc dan adanya disritmia jantung
 Pasien agitasi yang tidak bisa menggunakan
antipsikotika (misalnya, pasien dengan Syndrom
Neuroleptic Malignance) atau bila tidak berespons bisa
ditambahkan benzodiazepin yang tidak mempunyai
metabolit aktif, misalnya lorazepam tablet 1–2 mg per
oral. Kontraindikasi untuk pasien dengan gangguan
pernafasan.
Terapi non-farmakologi

 Psikoterapi suportif yang memberikan perasaan


aman dapat membantu pasien menghadapi frustrasi
dan kebingungan akan kehilangan fungsi
memorinya.
 Perlunya reorientasi lingkungan, misalnya tersedia
jam besar
 Memberikan edukasi kepada keluarga cara
memberikan dukungan kepada pasien
PATHWAY
ZAT PSIKOAKTIF
Zat psikoaktif adalah zat yang bekerja pada otak, sehingga
menimbulkan perubahan perilaku, perasaan, dan pikiran. Zat
psikoaktif merupakan zat yang memiliki efek psikologis yang
beredar secara luas di masyarakat, baik yang digunakan secara
sengaja ataupun tidak (Ditjen PP, 2010).

Zat psikoaktif sering disebut sebagai NAPZA (Narkotika,


Psikotropika, dan Zat Adiktif lain), yaitu bahan/zat/obat yang
bila masuk ke dalam tubuh manusia akan memengaruhi tubuh
terutama otak/ susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan
gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosialnya karena
terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan
(dependensi) terhadap NAPZA. Ada 3 kelompok besar dari
zat psikoaktif yang disalahgunakan, yaitu:
 Depresan
 Stimulan
 Halusinogen
DELIRIUM YANG DIINDUKSI
ZAT PSIKOAKTIF
Delirium pada intoksikasi alkohol mencakup
hiperaktivitas otonom seperti takikardi, daforesis,
demam, ansietas, insomnia, hipertensi, distorsi presepsi
(paling sering dalam keadaan halusinasi visual dan
taktil), dan tingkatan aktifitas psikomotor yang
berfluktuasi. Sedangkan pada delirium yang diakibatkan
oleh penggunaan amfetamin biasanya muncul akibat
dari penggunaan dosis yang terlalu tinggi atau terus
menerus sehingga deprivasi tidur mempengaruhi
tampilan klinis. Delirium akibat intoksifikasi kanabis
ditandai dengan hendaya kognisi dan tugas perfoma
yang nyata. Bahkan dosis sedang kanabis juga dapat
mengganggu tingkat kesadaran pengguna menimbulkan
efek nyata pada pengukuran kognitif. (Gunther dkk.,
2008)
Kriteria diagnosis dilerium karena
intoksikasi zat (DSM IV-TR)
1. Gangguan Kesadaran
2. Perubahan Kemampuan Kognitif
3. Gangguan ini terjadi dalam waktu yang singkat
4. Adanya bukti dari riwayat pemeriksaan fisik atau
temuan menunjukan bahwa gangguan ini:
 Gejala pada a dan b berkembang selama intoksikasi
zat
 Penggunaan intoksikasi disini untuk mengatasi
penyebab yang ada hubungannya dengan gangguannya
 Intoksikasi zat yang menimbulkan delirium antara lain
alkohol, amfetamin, kanabis (ganja), kokain,
halusinogen-inhalan, opioid, hipnotik, anxiolitik dan
sebagainya (APA, 2000)
Kriteria diagnosis delirium karena putus
zat (DSM IV-TR)

 Gangguan Kesadaran
 Perubahan Kemampuan Kognitif
 Gangguan ini terjadi dalam waktu yang singkat
(biasanya dalam beberapa jam atau hari) dan
endering berubah-ubah sepanjang hari
 Adanya bukti dari riwayat pemeriksaan fisik
atau temuan menunjukan bahwa gangguan ini
berkembang selama atau dalam waktu singkat
sesudah sindroma putus zat (APA, 2000)
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DELIRIUM
PENGKAJIAN
1. Identitas diri
(Menyesuaikan Kasus)

2. Keluhan Utama :
 Keluhan yang umumnya timbul berdasarkan kriteria diagnosis yakni
(Kepmenkes, 2015):
 Gangguan kesadaran
 Perubahan dalam kognisi
 Gangguan Psikomotor berupa hipoaktivitas atau hiperaktivitas,
pengalihan aktivitas yang tidak terduga, waktu bereaksi yang lebih
panjang, arus pembicaran yang bertambah atau berkurang, reaksi
terperanjat yang meningkat.
 Gangguan siklus tidur
 Gangguan emosional berupa depresi, ansietas, takut, lekas marah,
euforia, apatis dan rasa kehilangan akal.
3. Faktor Predisposisi
 Delirium terjadi apabila ada gangguan structural (anatomis)
atau neurokimiawi pada pusat saraf yang bertanggung jawab
pada kesadaran dan perhatian, pusat kesadaran yaitu
ascending reticular activating system (RAS) dan proyeksi
bilateral pada thalamus, sedang perhatian merupakan fungsi
dari input neurocortical dan limbic ke sistem tersebut.
 Mediator inflamasi, mediator inflamasi seperti TNF-Ƚ , IL-1,
dan lain-lain sitokin dan kemokin mempunyai kontribusi
dalam proses patologi kerusakan endothelial, pembentukan
thrombin dan disfungsi mikrovaskuler dalam system saraf
pusat dan berkontribusi untuk terjadinya delirium
 Gangguan metabolism oksidatif.
 Tingginya asam amino netral.
4. Faktor Risiko
 Adapun kelompok factor risiko yang berkaitan
dengan terjadinya delirium-agitasi pada pasien-
pasien di ICU (Widodo, U., 2014):
 Sifat sakit ( acute physiologic of illness) : hiper-
hiponatremia, hiper-hipoglikemia, hiper-
hipotiroidism, hiper-hipotermia, BUN/Creatinin
ratio, gagal ginjal,patologi hepar, shock
kardiogenik,hipoksia.
 Kondisi yang ada sebelumnya (chronic
physiologic of illness) : umur > 70 th,pindah
dari rawat rumah, riwayat-riwayat: depressi,
dementia, stroke, kejang, pemabuk (alcohol),
overdosis obat, gagal, jantung, HIV, dan malnutrisi
 Lingkungan (iatrogenic): Pemberian obat psikoaktif,
nutrisi melalui pipa (NGT), terpasangnya kateter
urin atau kateter rectal, kateter vena sentral,
pengekangan fisik
5. Pemeriksaan Fisik
 Kesadaran : E3V4M5
 Tekanan darah/nadi : 140/90 mmHg
 Nadi : 68 x/menit
 Laju respirasi : 20 x/menit
 Suhu Axilla : 36,00C
 Antropometri
Berat badan : 29 kg
Tinggi badan : 150 cm
BMI : 13 kg/m2
Tinggi lutut : - cm
Lingkar lengan atas : 15 cm (kanan dan kiri)
Kesimpulan : Gizi Buruk
 Pendengaran
DePakai alat bantu dengar : Tidak ada
ngar suara normal :Ya
 Penglihatan
Membaca huruf koran dengan kacamata : Tidak
Jarak penglihatan : Memendek
Jarak baca : Memendek
Katarak : Tidak ada
Temuan funduskopi : Tidak dievaluasi
Anemis : Tidak ada
Ikterus : Tidak ada
Refleks pupil : +/+ Isokor
Edema palpebra : Tidak ada
 Mulut
Hygiene mulut : Kurang
Gigi palsu : Tidak ada
Gigi palsu terpasang baik : Tidak ada
Lesi di bawah gigi palsu : Tidak ada
Kelainan yang lain : Tidak ada
 Paru
Inspeksi : Simetris
Palpasi : N/N
Perkusi : Sonor / Sonor
Auskultasi suara dasar :Vesikuler +/++/++/+
Auskultasi suara tambahan : Ronki +/+ Wheezing -/- +/+
-/-+/+ -/-
 Jantung dan pembuluh darah
Irama : Reguler
Inspeksi : Iktus kordis tak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba MCL
 Saraf
Penghidu :Kesan normal
Ketajaman penglihatan :Tidak Normal
Lapangan penglihatan : Kesan normal
Fundus : Tidak dievaluasi
Pupil : Kesan normal
Ptosis : Tidak ada
Nistagmus : Tidak ada
Gerakan bola mata : Kesan normal
Sensasi kulit occuli : Kesan normal
Sensasi kulit mandibularis : Kesan normal
Sensasi kulit maksilaris : Kesan normal
Otot mengunyah : Kesan normal
Refleks kornea : Normal
Jerk jaw : Tidak ada
Saraf muka simetris : Normal
Kekuatan otot wajah : Normal
Pendengaran : Normal
Uvula : Normal
Refleks trapesius : Kesan normal
Otot trapesius : Normal
Sternokleidomastoideus : Normal
Lidah : Normal
6. Psikososial
Karena gangguan yang umumnya muncul pada pasien delirium
seperti gangguan kognisi dan kesadaran membuat perubahan
presepsi seseorang seperti klien menganggap bahwa keluarga
yang paling penting dan orang lain tidak penting.
7. Status Mental
◦ Klien mengalami keglisahan dan agitasi
◦ Berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap lingkungan
yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan
memfokuskan, mempertahankan dan mengalihkan
perhatian.
◦ Klien mengalami defisit memori
◦ Klien mengalami perubahan presepsi
◦ Klien berbicara keras, cepat dan inkoheren
◦ Klien mengalami halusinasi penglihatan pendengaran
8. Kebutuhan Klien Sehari-hari
 Klien mengalami penurunan nafsu makan
 Klien mengalami gangguan dalam pemenuhan tidur
seperti terbangung di tengah malam dan sulit untuk
tidur lagi. Tidurnya terganggu sepanjang malam,
sehingga tidak merasa segar dipagi hari yang ditandai
adanya klien tampak mengantuk, mata merah.
 Klien terganggu dalam hal eliminasi sehingga harus
dibantu dan kadang-kadang ngompol dan maupun
konstipasi karena tidak mau BAB
DIAGNOSA
INTERVENSI
EVALUASI

Anda mungkin juga menyukai