Anda di halaman 1dari 39

HUBUNGAN TINGKAT KECEMASAN DENGAN KUALITAS TIDUR

PENDERITA ASMA DI RSUD KABUPATEN BIMA

Oleh :

YANTI
NIM : 2118018

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
GEMA INSAN AKADEMIK
MAKASSAR
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi yang membahas tentang “HUBUNGAN
TINGKAT KECEMASAN DENGAN KUALITAS TIDUR PENDERITA
ASMA DI RSUD KABUPATEN BIMA” dapat selesai tepat pada waktunya.
Terimakasih kami sampaikan kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam
proses penyusunan proposal ini, baik yang terlibat secara langsung maupun yang
tidak.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna karena
keterbatasan yang kami miliki.Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya
membangun dari para pembaca sangat kami harapkan agar terciptanya laporan yang
lebih baik lagi.

Bima, 1 April 2021


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................

DAFTAR ISI.............................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang..............................................................................................................

B. Rumusan masalah.........................................................................................................

C. Tujuan ..........................................................................................................................

D. Manfaat penulisan........................................................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan teori...............................................................................................................

B. Keaslian penelitian ......................................................................................................

C. Kerangka teori..............................................................................................................

D. Kerangka konsep .........................................................................................................

E. Hipotesis penelitian......................................................................................................

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan rancangan penelitian .....................................................................................

B. Populasi dan sampel.....................................................................................................

C. Waktu dan tempat penelitian .......................................................................................

D. Variable, definisi operasional dan skala pengukuran....................................................

E. Alat penelitian dan cara pengumpulan data..................................................................

F. Teknik pengolahan data................................................................................................

G. Analisa data..................................................................................................................

H. Etika penelitian ............................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Asma adalah penyakit paru dengan ciri khas yakni saluran nafas sangat
mudah bereaksi terhadap berbagai rangsangan atau pencetus dengan manifestasi
berupa serangan asma. Adapun manifestasi klinis yang ditimbulkan antara lain
mengi/wheezing, sesak nafas, dada terasa tertekan atau sesak, batuk, pilek, nyeri
dada, nadi meningkat, retraksi otot dada, nafas cuping hidung, takipnea,
kelelahan, lemah, anoreksia, sianosis dan gelisah (GINA, 2006).
Diagnosa masalah keperawatan yang muncul pada pasien asma salah
satunya adalah ansietas atau kecemasan (NANDA, 2009). Pada beberapa
individu, stres atau gangguanemosi dapat menjadi pencetus serangan asma dan
bisamemperberat serangan asma yang sudah ada. Stresdapat mengantarkan
seseorang pada tingkatkecemasan sehingga memicu dilepaskannya histamindan
leukotrien, yang menyebabkan penyempitansaluran napas dimana ditandai
dengan sakittenggorokan dan sesak napas, yang pada gilirannyabisa memicu
serangan asma (Sudhita,2005).
Cemas merupakan hal yang sering terjadi dalam hidup manusia. Cemas
juga dapat menjadi beban berat yang menyebabkan kehidupan individu tersebut
selalu dibawah bayang-bayang kecemasan yang berkepanjangan dan
menganggap rasa cemas sebagai ketegangan mental yang disertai dengan
gangguan tubuh yang menyebabkan rasa tidak waspada terhadap ancaman,
kecemasan berhubungan dengan stress fisiologis maupun psikologis. Artinya,
cemas terjadi ketika seseorang terancam baik fisik maupun
psikologis(Asmadi,2008).
Pada keadaan sakit dan dirawat dirumah sakit atau fasilitas kesehatan
lainnya sering kali terjadi dua hal yang berlawanan, disatu sisi individu yang
sakit mengalami peningkatan kebutuhan tidur. Sementara disisi yang lain pola
tidur seseorang yang masuk dan dirawat dirumah sakit dapat dengan mudah
berubah atau mengalami gangguan pola tidur sebagai akibat kecemasan yang
kondisi sakitnya atau rutinitas rumah sakit(Potter&Perry,2010).
Tidur yang tidak adekuat dan kualitas tidur buruk dapat mengakibatkan
gangguan keseimbangan fisiologi dan psikologi. Dampak fisiologi meliputi
penurunan aktivitas sehari-hari, rasa lelah, lemah, daya tahan tubuh menurun
dan ketidakstabilan tanda-tanda vital. Dampak psikologis meliputidepresi,
cemas dan tidak konsentrasi (Potter & Perry, 2010).Kurang tidur dapat
mempengaruhi konsentrasi dan merusak kemampuan untuk melakukan kegiatan
yang melibatkan memori, belajar, pertimbangan logis, dan penghitungan
matematis. Gangguan tidur dapat mengakibatkan kemerosotan mutu hidup.
Misalnya, gangguan tidur dapat menyebabkan kelelahan pada siang hari dan
mempengaruhi status fungsional dan mutu hidup (Nancy W, 2006).
Kurang tidur dapat mengakibatkan dampak negatif. Saat kita terjaga,
kita menyimpan suatu keadaan yang disebut ‘sleep debt’ yang dapat diganti
hanya melalui tidur. Hal ini diatur oleh suatu mekanisme dalam tubuh yang
disebut sebagai “sleep homeostat”, yang mengatur keinginan kita untuk tidur.
Jika jumlah ‘sleep debt’ besar, maka “sleep homeostat” akan memberitahukan
pada kita bahwa kita perlu tidur lebih banyak (Robotham, 2011).
Kurang tidur yang berkepanjangan dapat mengganggu kesehatan fisik
dan psikis. Dari segi fisik, kurang tidur akan menyebabkan muka pucat, mata
sembab, badan lemas, dan daya tahan tubuh menurun sehingga mudah terserang
penyakit. Sedangkan dari segi psikis, kurang tidur akan menyebabkan
timbulnya perubahan suasana kejiwaan, sehingga penderita akan menjadi lesu,
lamban menghadapi rangsangan, dan sulit berkonsentrasi(Endang, 2007).
Setiap tahun diperkirakan sekitar20%-50% orang dewasa melaporkan
adanyagangguan tidur dan sekitar 17% mengalamigangguan tidur yang serius.
Prevalensigangguan tidur pada penderita penyakit cukup tinggi yaitusekitar 67
%. Walaupun demikian, hanya satudari delapan kasus yang menyatakan
bahwagangguan tidurnya telah didiagnosis olehdokter (Amir, 2007).
Banyak faktor yang mempengaruhi kualitas maupun kuantitas tidur, salah satu
diantaranya adalah kecemasan (Chayatin & Mubarak, 2007). Kecemasan sering
kali mengganggu tidur. Seseorang yang pikirannya dipenuhi dengan masalah
pribadi dan merasa sulit untuk rileks saat akan memulai tidur. Kecemasan
meningkatkan kadar norepinefrin dalam darah melalui stimulasi sistem saraf
simpatis. Perubahan kimia ini menyebabkan kurangnya waktu tidur tahap IV
NREM dan tidur REM serta lebih banyak perubahan dalam tahap tidur lain dan
lebih sering terbangun (Kozier et.al. 2010).
Berdasarkan data di Catatan Medis Rumah Sakit Umum Daerah
Kabupaten Bima, data penderita asma pada tahun 2019 adalah 172 penderita,
sedangkan pada tahun 2020 adalah 196 penderita. Sedangkan pada bulan
November tahun 2020 terdapat 18 pasien asma. Dari hasil studipendahuluan
peneliti menemukan bahwasebagian besar penderita asma cenderung memiliki
masalahgangguan kecemasan. Mereka merasa cemas dengan keadaan yang
mereka alami.Mereka mengeluhkan cemas dan takut pada saat terjadi serangan
asma, sehingga dengan kondisi itu kualitas tidur penderita asma tidak terpenuhi
secara optimal.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai hubungan antara tingkat kecemasan dengan kualitas tidur
pada penderita asma di RSUD Kabupaten Bima.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan
masalah penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan antara tingkat
kecemasan dengan kualitas tidur penderita asma di RSUD Kabupaten Bima?”

C. Tujuan Penelitian

a. Tujuan Umum :
Menganalisis hubungan antara tingkat kecemasan dengan kualitas
tidur penderita asma
b. Tujuan Khusus :
1. Mengidentifikasi karakteristik responden
2. Mengetahui gambaran tingkat kecemasan penderita asma
3. Mengetahui gambaran kualitas tidur penderita asma
4. Menganalisis hubungan antara tingkat kecemasan dengan
kualitas tidur penderita asma

2 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini peneliti harapkan dapat memberikan manfaat kepada
semua pihak, meliputi :
1. Bagi Rumah Sakit
Sebagai informasi bagi institusi pelayanan kesehatan tentang
kecemasan pada pasien asma yang mempengaruhi pola tidur. Melalui
penelitian ini peneliti berharap dapat memperoleh informasi tentang klien
danselanjutnya berdasarkan informasi tersebut dapat pula dikembangkan
bentuk pelayanan kesehatan dan meningkatkan mutu serta standar asuhan
keperawatan dalam pemenuhan kebutuhan istirahat dan tidur pada pasien
asma.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai bahan referensi untuk meningkatkan pembelajaran
khususnya yang terkait denganpengembangan konsep asuhan keperawatan
untuk memenuhi kebutuhan istirahat dan tidur klien.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar pengembangan
penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antara tingkat kecemasan dengan
kualitas tidur penderita asma.
4. Bagi Peneliti
a. Manfaat bagi peneliti adalah memperoleh pengetahuan dan wawasan
mengenaihubungan antara tingkat kecemasan dengan kualitas tidur
penderita asma.
63
8

63
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori

1. Pengertian Kecemasan
Kecemasan adalah gangguan alam sadar (effectife) yang
ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang
mendalam dan berkelanjutan, tidak mengalami gangguan dalam
menilai realitas(Reality Testing Ability/RTA), masi baik, kepribadian
masih tetap utuh(tidak mengalami keretakan kepribadian/splitting of
personality),perilaku dapat terganggu tapi masih dalam batas
normal(Hawari,2006).
Kecemasan merupakan suatu perasaan subjektif mengenai
ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari
ketidakmampuan mengatasi suatu masalah atau tidak adanya rasa
aman. Perasaan yang tidak menentu tersebut pada umumnya tidak
menyenangkan yang nantinya akan menimbulkan atau disertai
perubahan fisiologis dan psikologis (Rochman, 2010).
Menurut Kaplan, Sadock, dan Grebb (Fitri Fauziah & Julianti
Widuri,2007) kecemasan adalah respon terhadap situasi tertentu
yang mengancam,dan merupakan hal yang normal terjadi menyertai
perkembangan, perubahan, pengalaman baru atau yang belum
pernah dilakukan, serta dalam menemukan identitas diri dan arti
hidup. Kecemasan adalah reaksi yang dapat dialami siapapun.
Namun cemas yang berlebihan, apalagi yang sudah menjadi
gangguan akan menghambat fungsi seseorang dalam kehidupannya.
Kesimpulan yang dapat diambil dari beberapa pendapat
diatas bahwa kecemasan adalah rasa takut atau khawatir pada situasi
tertentu yang sangat mengancam yang dapat menyebabkan
kegelisahan karena adanya ketidakpastian dimasa mendatang serta
ketakutan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.
2. Tingkat Kecemasan
Semua orang pasti mengalami kecemasan pada derajat
tertentu, Peplau mengidentifikasi 4 tingkatan kecemasan yaitu:
63
a. Kecemasan Ringan
Kecemasan ini berhubungan dengan kehidupan sehari-
hari. Kecemasan dapat memotivasi belajar menghasilkan
pertumbuhan serta kreatifitas. Tanda dan gejala antara lain:
persepsi dan perhatian meningkat, waspada, sadar akan stimulus
internal dan eksternal, mampu mengatasi masalah secara efektif
serta terjadi kemampuan belajar. Perubahan fisiologi ditandai
dengan gelisah, sulit tidur, hipersensitif terhadap suara, tanda
vital dan pupil normal.
b. Kecemasan Sedang
Kecemasan sedang memungkinkan seseorang
memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan yang
lain, sehingga individu mengalami perhatian yang selektif,
namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah. Respon
fisiologi : sering nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik,
mulut kering, gelisah, konstipasi. Sedangkan respon kognitif
yaitu lahan persepsi menyempit, rangsangan luar tidak mampu
diterima, berfokus pada apa yang menjadi perhatiaannya
c. Kecemasan Berat
Kecemasan berat sangat mempengaruhi persepsi individu,
individu cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci
dan spesifik, serta tidak dapat berfikir tentang hal lain. Semua
perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Tanda dan
gejala dari kecemasan berat yaitu: persepsinya sangat kurang,
berfokus pada hal yang detail, rentang perhatian sangat terbatas,
tidak dapat berkonsentrasi atau menyelesaikan masalah, serta
tidak dapat belajar secara efektif. Pada tingkatan ini individu
mengalami sakit kepala, pusing, mual, gemetar, insomnia,
palpitasi, takikardi, hiperventilasi, sering buang air kecil
maupun besar, dan diare. Secara emosi individu mengalami
ketakutan serta seluruh perhatian terfokus pada dirinya.
d. Panik
Pada tingkat panik dari kecemasan berhubungan dengan
terperangah, ketakutan, dan teror. Karena mengalami kehilangan
kendali, individu yang mengalami panik tidak dapat melakukan
sesuatu walaupun dengan pengarahan. Panik menyebabkan
63
peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan
berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang,
kehilangan pemikiran yang rasional. Kecemasan ini tidak sejalan
dengan kehidupan, dan jika berlangsung lama dapat terjadi
kelelahan yang sangat bahkan kematian. Tanda dan gejala dari
tingkat panik yaitu tidak dapat fokus pada suatu
kejadian(Ratih,2012).
3. Faktor yang mempengaruhi kecemasan
Faktor–faktor yang mempengaruhi kecemasan adalah
Rufaidah (2009):
a. Faktor fisik
Kelemahan fisik dapat melemahkan kondisi mental
individu sehingga memudahkan timbulnya kecemasan.
b. Trauma atau konflik
Munculnya gejala kecemasan sangat bergantung pada kondisi
individu, dalam arti bahwa pengalaman-pengalaman emosional
atau konflik mental yang terjadi pada individu akan
memudahkan timbulnya gejala-gejala kecemasan.
c. Lingkungan awal yang tidak baik.
Lingkungan adalah faktor-faktor utama yang dapat
mempengaruhi kecemasan individu, jika faktor tersebut kurang
baik maka akan menghalangi pembentukan kepribadian sehingga
muncul gejala-gejala kecemasan.
Cara hidup orang di masyarakat juga sangat
mempengaruhi pada timbulnya ansietas. Individu yang
mempunyai cara hidup sangat teratur dan mempunyai. Falsafah
hidup yang jelas maka pada umumnya lebih sukar mengalami
ansietas. Budaya seseorang juga dapat menjadi pemicu
terjadinya ansietas. Hasil survey yang dilakukan oleh
Mudjadid,dkk tahun 2006 di lima wilayah pada masyarakat DKI
Jakarta didapatkan data bahwa tingginya angka ansietas
disebabkan oleh perubahan gaya hidup serta kultur dan budaya
yang mengikuti perkembangan kota. Namun demikian, faktor
predisposisi di atas tidak cukup kuat menyebabkan sesorang
mengalami ansietas apabila tidak disertai faktor presipitasi
(pencetus) (Ghufron, 2012).
63
4. Pengukuran Tingkat Kecemasan
Untuk mengukur tingkat kecemasan, peneliti menggunakan
kuesioner dengan metode Zung – Self Rating Anxiety Scale. Zung –
Self Rating Anxiety Scale (SAS) merupakan instrumen untuk
mengukur tingkat kecemasan. Penilaian berdasarkan skala Likert
dari 1-4, dimana skor 4 menggambarkan hal negatif dengan
penilaian : sangat jarang (1), kadang kadang (2), sering (3), selalu
(4). Dengan menggunakan kuesioner yang terdiri dari 20 pertanyaan,
yang terdiri dari 5 gejala untuk sikap dan 15 pertanyaan untuk gejala
somatis. Tingkat kecemasan di kategorikan menjadi empat, yaitu :
Normal, jika hasil penilaian dari kuisioner didapatkan nilai 25- 44,
Cemas ringan, jika hasil penilaian dari kuisioner didapatkan nilai 45-
59, Cemas berat, jika hasil penilaian dari kuisioner didapatkan nilai
60-74, Cemas ekstrim, jika hasil penilaian dari kuisioner didapatkan
nilai 75-80 (Nursalam, 2012).
63
5. Definisi Tidur
Tidur merupakan keadaan tidak sadar yang relatif lebih
responsif terhadap rangsangan internal. Perbedaan tidur dengan
keadaan tidak sadar lainnya adalah pada keadaan tidur siklusnya
dapat diprediksi dan kurang respons terhadap rangsangan eksternal.
Otak berangsur-angsur menjadi kurang responsif terhadap rangsang
visual, auditori dan rangsangan lingkungan lainnya. Tidur dianggap
sebagai keadaan pasif yang dimulai dari input sensoric walaupun
mekanisme inisiasi aktif juga mempengaruhi keadaan tidur. Faktor
homeostatik (faktor S) maupun faktor sirkadian (faktor C) juga
berinteraksi untuk menentukan waktu dan kualitas
tidur(Susanne,2009).
Tidur merupakan aktifitas yang merupakan susunan saraf
pusat, saraf perifer, endokrin, kardiovasakuler, respirasi, dan
muskuloskletal (Tarwoto W, 2006).
6. Faktor-faktor yang mempengaruhi tidur
Faktor– faktor yang mempengaruhi tidur antara lain
adalah(Alimul, 2006):
a. Penyakit
Sakit dapat mempengaruhi kebutuhan tidur seseorang.
Banyak penyakit yang memperbesar kebutuhan tidur, misalnya :
penyakit yang disebabkan oleh infeksi (infeksi limfa) akan
memerlukan lebih banyak waktu tidur untuk mengatasi
keletihan. Banyak juga keadaan sakit yang menjadikan pasien
kurang tidur, bahkan tidak bisa tidur (Widodo, 2009).
b. Latihan dan Kelelahan
Keletihan akibat akivitas yang tinggi dapat memerlukan lebih
banyak tidur untuk menjaga keseimbangan energi yang telah
dikeluarkan. Hal ini terlihat pada seseorang yang telah
melakukan aktivitas dan mencapai kelelahan. Maka, orang
tersebut akan lebih cepat untuk dapat tidur karena tahap
tidur gelombang lambatnya di perpendek
(Widodo, 2009).
c. Stres Psikologis
Kondisi psikologis dapat terjadi pada seseorang akibat
ketegangan jiwa. Hal tersebut terlihat ketika seseorang yang
63
memiliki masalah psikologis mengalami kegelisahan sehingga
sulit untuk tidur (dr Harry, 2009).
d. Obat
Obat juga dapat mempengaruhi proses tidur, beberapa
jenis obat yang dapat mempengaruhi proses tidur adalah jenis
golongan obat diuretic menyebabkan seseorang menjadi isomnia,
anti depresan dapat menekan REM, kafein dapat meningkatkan
syaraf simpatis yang menyebabkan kesulitan untuk tidur,
golongan beta bloker dapat berefek pada timbulnya insomnia,
dan golongan narkotik dapat menekan REM sehingga mudah
mengantuk(Ria Lina, 2005).
e. Nutrisi
Terpenuhinya kebutuhan nutrisi yang cukup dapat mempercepat
proses tidur. Protein yang tinggi dapat mempercepat terjadinya
proses tidur, karena adanya trytophan yang merupakan asam
amino dari protein yang dicerna. Demikian juga sebaliknya,
kebutuhan gizi yang kurang juga dapat mempengaruhi proses
tidur, bahkan terkadang sulit untuk tidur.
f. Lingkungan
Keadaan lingkungan yang aman dan nyaman bagi
seseorang juga dapat mempercepat terjadinya proses tidur.
g. Motivasi
Motivasi merupakan suatu dorongan atau keinginan
seseorang untuk tidur, yang dapat mempengaruhi proses tidur.
Selain itu, adanya keinginan untuk menahan tidak tidur dapat
menimbulkan gangguan proses tidur (dr Brandon peters, 2006).
7. Kualitastidur
Kualitas tidur adalah suatu keadaan dimana tidur yang
dijalani seorang individu menghasilkan kesegaran dan kebugaran
ketika terbangun. Kualitas tidur mencakup aspek kuantitatif seperti
durasi tidur, latensi tidur, serta aspek subjektif seperti tidur dalam
dan istirahat (Khasanah & Hidayati, 2012).
Menurut Hidayat dalam Khasanah & Hidayati (2012),
kualitas tidur seseorang dikatakan baik apabila tidak menunjukan
tanda-tanda kekurangan tidur dan tidak mengalami masalah dalam
tidurnya. Tanda-tanda kekurangan tidur dapat dibedakan menjadi
63
tanda fisik dan tanda psikologis.
Tanda – tanda fisik akibat kekurangan tidur antara lain :
ekspresi wajah (area gelap disekitar mata, bengkak di kelopak mata,
konjungtiva kemerahan dan mata terlihat cekung), kantuk yang
berlebihan, tidak mampu berkonsentrasi, terlihat tanda – tanda
keletihan. Sedangkan tanda – tanda psikologis antara lain : menarik
diri, apatis, merasa tidak enak badan, malas, daya ingat menurun,
bingung, halusinasi, ilusi penglihatan dan kemampuan mengambil
keputusan menurun.
Kualitas tidur dapat diukur menggunakan Pittsburg Quality
of Sleep Index (PSQI). Alat ini merupakan alat untuk menilai
kualitas tidur. Alat ini terdiri dari 19 poin pertanyaan yang berada di
dalam 7 kompenen nilai dan 5 pertanyaan untuk teman sekamar. 19
pertanyaan itu mengkaji secara luas faktor yang berhubungan
dengan tidur seperti durasi tidur, latensi tidur, dan masalah tidur.
Setiap komponen skor memiliki rentang nilai 0-3. Ketujuh
komponen dijumlahkan sehingga terdapat skor 0-21, dimana skor
lebih tinggi dari 5 menandakan kualitas tidur yang buruk (Nancy W,
2006).
63
8. Tahapan Tidur
Tahapan tidur terdapat tidur tenang atau nonREM (non rapid
eye movement) dan tidur aktif atau REM, dengan penjelasan sebagai
berikut :
a. Tidur NonREM
Tidur nonREM terdiri dari 4 tahap, dimana setiap
tahapnya mempunyai ciri tersendiri. Pada tidur tahap I terjadi
bila merasakan ngantuk dan mulai tertidur. Jika telepon
berbunyi atau ada sesuatu sampai terbangun, sering kali tidak
merasakan bahwa sebenarnya kita telah tertidur. Gelombang
listrik otak memperlihatkan ‘gelombang alfa’ dengan penurunan
voltase. Tahap I ini berlangsung 30 detik sampai 5 menit
pertama dari siklus tidur.
Tidur tahap II, seluruh tubuh kita seperti berada pada
tahap tidur yang lebih dalam. Tidur masih mudah dibangunkan,
meskipun kita benar-benar berada dalam keadaan tidur. Periode
tahap II berlangsung dari 10 sampai 40 menit. Kadang-kadang
selama tahap tidur II seseorang dapat terbangun karena sentakan
tiba-tiba dari ekstremitas tubuhnya. Ini normal, kejadian
sentakan ini, sebagai akibat masuknya tahapan REM.
Tahap III dan IV. Tahap ini merupakan tahap tidur nyenyak.
Pada tahap III, Orang yang tertidur cukup pulas, rileks sekali
karena tonus otot lenyap sama. Tahap IV mempunyai karakter :
tanpa mimpi dan sulit dibangunkan, dan orang akan binggung
bila terbangun langsung dari tahap ini, dan memerlukan waktu
beberapa menit untuk meresponnya. Pada tahap ini, diproduksi
hormone pertumbuhan guna memulihkan tubuh, memperbaiki
sel, membangun otot dan jaringan pendukung. Perasaan enak
dan segar setelah tidur nyenyak, setidaktidaknya disebabkan
karena hormon pertumbuhan bekerja baik.
Tahapan NonREM mempunyai karakter sebagai berikut
: NonREM Tahap I kedaan ini masih dapat merespons cahaya,
berlangsung beberapa menit, aktivitas fisik menurun, tanda vital
dan metabolisme menurun, bila terbangun terasa sedang mimpi.
NonREM Tahap II tubuh mulai relaksasi otot, berlangsung 10 –
20 menit, fungsi tubuh berlangsung lambat, dapat dibangunkan
63
dengan mudah. NonREM Tahap III adalah awal dari keadaan
tidur nyenyak, sulit di bangunkan, relaksasi otot menyeluruh,
tekanan darah menurun, berlangsung 15 – 30 menit. NonREM
Tahap IV sudah terdapat tidur nyenyak, sulit untuk di
bangunkan, untuk restorasi dan istirahat, tonus otot menurun,
sekresi lambung menurun, gerak bola mata cepat (Tarwoto &
Wartonah, 2006).
b. Tidur REM
Tahap tidur REM sangat berbeda dari tidur nonREM. Tidur
REM adalah tahapan tidur yang sangat aktif. Pola nafas dan
denyut jantung tak teratur dan tidak terjadi pembentukan
keringat. Kadang-kadang timbul twitching pada tangan, kaki,
atau muka, dan pada laki-laki dapat timbul ereksi pada periode
tidur REM. Walaupun ada aktivitas demikian orang masih tidur
lelap dan sulit untuk dibangunkan. Sebagian besar anggota gerak
tetap lemah dan rileks. Tahap tidur ini diduga berperan dalam
memulihkan pikiran, menjernihkan rasa kuatir dan daya ingat
dan mempertahankan fungsi sel-sel otak. Siklus tidur pada orang
dewasa biasanya terjadi setiap 90 menit. Pada 90 menit pertama
seluruh tahapan tidurnya adalah NonREM. Setelah 90 menit,
akan muncul periode tidur REM, yang kemudian kembali ke
tahap tidur NonREM. Setelah itu hampir setiap 90 menit tahap
tidur REM terjadi. Pada tahap awal tidur, periode REM sangat
singkat, berlangsung hanya beberapa menit. Bila terjadi
gangguan tidur, periode REM akan muncul lebih awal pada
malam itu, setelah kira-kira 30-40 menit. Orang itu akan
mendapatkan tidur tahap IIIdanIV lebih banyak. Selama tidur,
tahapan tidur akan berpindah-pindah dari satu tahap ke tahapan
yang lain, tanpa harus menuruti aturan yang biasanya terjadi.
Artinya suatu malam, mungkin saja tidak ada tahap III atau IV.
Tapi malam lainnya seluruh tahapan tidur akan didapatkannya.
Karakteristik tidur REM meliputi : mata cepat tertutup
dan terbuka, kejang otot kecil, otot besar imobilisasi, pernapasan
tidak teratur, kadang dengan apnea, nadi cepat dan ireguler,
tekanan darah meningkat atau fluktuasi, sekresi gaster
meningkat, metabolisme meningkat, temperatur tubuh naik,
63
siklus tidur : sulit di bangunkan (Alimul, 2006).
9. Pola Tidur Normal
a. Bayi
Pada bayi baru lahir membutuhkan tidur selama 14-18
jam sehari, pernapasan teratur, gerak tubuh 50% adalah tahap
REM dan terbagi dalam 7 periode. Dan pada bayi tidur selama
12-14 jam sehari, sekitar 20-30% tidur REM, tidur lebih lama
pada malam hari dan punya pola terbangun sebentar (Asmadi,
2008).
b. Todler
Kebutuhan tidur pada Todler menurun menjadi 10-12
jam/hari, tahap REM 20-25%. Tidur siang dapat hilang pada usia
3 tahun karena sering terbangun pada malam hari yang
menyebabkan mereka tidak ingin tidur pada malam hari
(Asmadi, 2008).
c. Preschooler
Memerlukan waktu tidur 11-12 jam pada malam hari,
tahap REM 20%. Bisa jadi anak usia 4-5 mengalami kurang
istirahat dan mudah sakit jika kebutuhan tidurnya kurang
terpenuhi (Asmadi, 2008).
d. Usia sekolah
Tidur antara 8-12 jam pada malam hari tanpa tidur siang, tahap
REM berkurang sekitar 20%. Anak usia 8 tahun membutuhkan
waktu kurang lebih 10 jam setiap malam (Asmadi, 2008).
e. Adolensia
Tidur 8-10 jam pada malam hari untuk mencegah
kelemahan dan kerentanan terhadap infeksi, tahap REM 20%.
Pada remaja laki-laki mengalami Noctural Emission (orgasme
dan mengeluarkan cairan semen pada tidur malam hari) yang
biasa kita kenal dengan mimpi basah (Potter, 2005).
f. Dewasa muda
Pada masa ini umumnya mereka sangat aktif
membutuhkan waktu tidur 7-8 jam/hari, tahap REM 20%.
Dewasa muda yang sehat membutuhkan cukup tidur untuk
berpartisipasi dalam kesibukan aktifitas karena jarang sekali
mereka tidur siang (Asmadi, 2008).
63
g. Dewasa Akhir
Kebutuhan akan tidur kurang dari 6 jam/hari, tahap REM
20-25% dan tidur tahap IV mengalami penurunan (Asmadi,
2008).

Asma Bronkhial

1. Pengertian Asma
Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran nafas dimana banyak
sel berperan terutama sel mast, esonofil, limfosit T macropag,
neutropil dan sel epitel (Hariadi, 2010). Asma merupakan sebuah
penyakit kronik saluran napas yang terdapat di seluruh dunia dengan
kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan dengan
peningkatan kepekaan saluran napas sehingga memicu episode
mengi berulang (wheezing), sesak napas (breathlessness), dada rasa
tertekan (chest tightness), dispnea, dan batuk (cough) terutama pada
malam atau dini hari (GINA, 2006). Menurut National Heart Lung
and Blood Institute (NHLBI, 2007), pada individu yang rentan,
gejala asma berhubungan dengan inflamasi yang akan menyebabkan
obstruksi dan hiperesponsivitas dari saluran pernapasan yang
bervariasi derajatnya.
63
2. Patofisiologi
Asma merupakan obstruksi jalan napas yang reversibel. Obstruksi
tersebut dapat disebabkan oleh faktor berikut, seperti penyempitan
jalan napas; pembengkakan membran pada bronki; pengisian bronki
dengan mucus kental. Beberapa penderita mengalami respon imun
yang buruk terhadap lingkungan mereka. Antibodi yang dihasilkan
(IgE) menyerang sel-sel mast dalam paru yang menyebabkan
pelepasan sel-sel mast, seperti histamin dan prostaglandin. Pelepasan
ini mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan napas,
bronkospasme, pembengkakan membran mukosa, pembentukan
mukus berlebihan (Smeltzer & Bare, 2006).
Penderita asma idiopatik atau nonalergi, ketika ujung saraf
pada jalan napas dirangsang oleh beberapa faktor, seperti udara
dingin, emosi, olahraga, merokok, polusi dan infeksi sehingga
jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat. Peningkatan
asetilkolin ini secara langsung bisa menimbulkan bronkokonstriksi.
Penderita dapat mempunyai toleransi rendah terhadap respon
parasimpatis (Smeltzer & Bare, 2006).
3. Klasifikasi Asma
a. Berdasarkan berat ringan gejala
Asma dapat dibagi dalam 3 tahap menurut berat
ringannya gejala, yaitu asma intermitten, asma persisten ringan,
asma persisten sedang, dan asma persisten berat (Tabrani ,
2010).
b. Berdasarkan serangan asma
Klasifikasi ini mencerminkan berbagai kelainan patologi
yang menyebabkan gangguan aliran udara serta mempunyai
dampak terhadap pengobatan. Serangan asma ringan timbul
kadang-kadang, tidak terdapat atau ada hiperreaktivitas bronkus
yang ringan. Serangan asma persisten timbul sering dan terdapat
hiperreaktivitas bronkus. Penderita asma berat mempunyai
saluran pernafasan yang sensitif, berisiko tinggi untuk
mengalami eksaserbasi tiba-tiba yang berat dan mengancam jiwa
(Maj Kedokteran Indonesia, 2008).
Asma diklasifikasikan berdasarkan etiologi, derajat
penyakit asma, serta pola obstruksi aliran udara di saluran napas.
63
Walaupun berbagai usaha telah dilakukan, klasifikasi
berdasarkan etiologi sulit digunakan karena terdapat kesulitan
dalam penentuan etiologi spesifik dari sekitar pasien (GINA,
2006).
Derajat penyakit asama ditentukan berdasarkan gabungan
penilaian gambaran klinis, jumlah penggunaan agonis β2 untuk
mengatasi gejala, dan pemeriksaan fungsi paru pada evaluasi
awal pasien. Pembagian derajat penyakit asma menurut GINA
adalah sebagai berikut :
1) Intermitten
Gejala kurang dari 1 kali/minggu. Serangan singkat.
Gejala nokturnal tidak lebih dari 2 kali/bulan (≤ 2 kali).
FEV1≥80% predicted atau PEF ≥ 80% nilai terbaik individu.
Variabilitas PEF atau FEV1 < 20%.
2) Persistenringan
Gejala lebih dari 1 kali/minggu tapi kurang dari 1 kali/hari.
Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur. Gejala
nokturnal >2 kali/bulan. FEV1≥80% predicted atau PEF ≥
80% nilai terbaik individu. Variabilitas PEF atau FEV1 20-
30%.
3) Persisten sedang
Gejala terjadi setiap hari. Serangan dapat
mengganggu aktivitas dan tidur. Gejala nokturnal > 1 kali
dalam seminggu. Menggunakan agonis β2 kerja pendek setiap
hari. FEV1 60-80% predicted atau PEF 60-80% nilai terbaik
individu. Variabilitas PEF atau FEV1 > 30%.
4) Persisten berat
Gejala terjadi setiap hari. Serangan sering terjadi.
Gejala asma nokturnal sering terjadi. FEV1 ≤ predicted atau
PEF ≤ 60% nilai terbaik individu. Variabilitas PEF atau
FEV1 > 30%.
4. Tanda dan Gejala
Kejadian utama pada serangan asma adalah obstruksi jalan
napas secara luas yang merupakan kombinasi dari spasme otot polos
bronkus, edema mukosa karena sumbatan mukus. Tanda serangan
asma yang dapat kita ketahui adalah napas cepat, merasa cemas dan
63
ketakutan, tak sanggup bicara lebih dari 1-2 kata setiap kali tarik
napas, dada dan leher tampak mencekung bila tarik napas, bersin-
bersin, hidung mampat atau hidung ngocor, gatal-gatal tenggorokan,
susah tidur, turunnya toleransi tubuh terhadap aktivitas (Hadibroto,
2010). Tiga gejala (Trias Asma) yang sering muncul pada asma
adalah sesak napas, napas bunyi/ wheezing, batuk-batuk terutama
malam hari. Tingkat keparahan serangan asma tergantung pada
tingkat obstruksi saluran napas, kadar saturasi oksigen, pembawaan
pola napas, perubahan status mental, dan bagaimana tanggapan
penderita terhadap status pernapasannya (Smeltzer & Bare, 2006).
5. FaktorResiko Asma
Beberapa faktor resiko timbulnya asma bronkial telah
diketahuisecara pasti, antara lain: riwayat keluarga, tingkat sosial
ekonomi rendah,etnis, daerah perkotaan, letak geografi tempat
tinggal, memelihara anjingatau kucing dalam rumah, terpapar asap
rokok.Secara umum faktor risiko asma dibagi kedalam dua
kelompok besar, factor Resiko yang berhubungan dengan terjadinya
atau berkembangnya asma dan faktor resiko yang berhubungan
denganterjadinya eksaserbasi atau serangan asma yang disebut
trigger faktor ataufaktor pencetus (GINA,2006). Adapun faktor
resiko pencetus asmabronkial antara lain:
63
a. Asap Rokok
Asap rokok dapat menyebabkan asma, baik pada
perokok itu sendiri maupun orang-orang yang terkena asap
rokok. Suatu penelitian di Finlandia menunjukkan bahwa orang
dewasa yang terkena asap rokok berpeluang menderita asma dua
kali lipat dibandingkan orang yang tidak terkena asap rokok
(Jaakkola et al, 2001). Studi lain menunjukkan bahwa seseorang
penderita asma yang terkena asap rokok selama satu jam, maka
akan mengalami sekitar 20% kerusakan fungsi paru. Pada anak-
anak, asap rokok akan memberikan efek lebih parah
dibandingkan orang dewasa, ini disebabkan lebar saluran
pernafasan anak lebih sempit, sehingga jumlah nafas anak akan
lebih cepat dari orang dewasa. Akibatnya, jumlah asap rokok
yang masuk ke dalam saluran pernapasan menjadi lebih banyak
dibanding berat badannya. Selain itu, karena sistem pertahanan
tubuh yang belum berkembang, munculnya gejala asma pada
anak-anak jauh lebih cepat dibanding orang dewasa (Ramaiah,
2006). Hasil analisis 4.000 orang anak berumur 0-5 tahun
menunjukkan bahwa anak-anak yang orang tuanya merokok 10
batang perhari, menyebabkan peningkatan jumlah kasus asma
serta mempercepat munculnya gejala asma pada anak- anaknya.
Begitu juga anak yang kembali dari rumah sakit setelah
perawatan asma akut, penyembuhan akan terganggu karena
orang tua yang merokok (Basyir 2005). Efek asap rokok ini tidak
hanya memberikan efek negatif pada anak- anak yang telah lahir,
tapi juga pada janin yang masih ada di dalam rahim. Karena itu,
di negara maju seperti Jepang, diseluruh rumah sakit bersalin
tidak tersedia tempat yang bisa merokok. Ini karena mereka
benar-benar mengerti akan bahaya rokok tersebut. Bayi yang
akan dilahirkan dari seorang ibu yang merokok selama dalam
masa kehamilan akan lebih sering mengalami penyakit saluran
pernafasan termasuk asma bronkial pada masa anak-anak
(Ramaiah, 2006). Pembakaran tembakau sebagai sumber zat
iritan dalam rumah yang menghasilkan campuran gas yang
komplek dan partikel-partikel berbahaya. Lebih dari 4500 jenis
kontaminan telah dideteksi dalam tembakau, diantaranya
63
hidrokarbon polisiklik, karbon monoksida, karbon dioksida, nitrit
oksida, nikotin, dan akrolein. (GINA,2006).
Secara umum tipe perokok di bagi menjadi beberapa
kategori yakni tipe perokok yang berhubungan dengan udara
atau asap yang dihirup, tipe perokok berdasarkan jumlah rokok
yang dikonsumsi dalam 1 hari, dan tipe perokok yang
dipengaruhi oleh perasaan diri.
Berdasarkan udara atau asap yang dihirup, perokok
dikategorikan menjadi: Perokok pasif yakni mereka yang tidak
merokok, tetapi berada di sekeliling perokok dan menghirup asap
rokok yang dihembuskan oleh perokok. Perokok aktif, yakni
mereka yang menghisap rokok secara langsung
(www.kppk.com). Adapun berdasarkan jumlah rokok yang
dikonsumsi, tipe perokok dikategorikan menjadi ; Perokok
sangat berat, adalah jika mengkonsumsi rokok lebih dari 31
batang perhari, Perokok berat yakni mereka yang merokok
sekitar 21-30 batang perhari, Perokok sedang adalah perokok
yang menghabiskan rokok 11-21 batang perhari, dan Perokok
ringan yang merokok sekitar 10 batang/hari (Basyir 2005).
b. Tungau Debu Rumah
Tungau debu adalah penyebab paling umum diseluruh
dunia. Alergi tungau lebih sering terjadi di kota dan Negara
berkembang. Hal ini terjadi karena rumah modern dan
penggunaan teknik insulasi memuningkankan tungau hidup lebih
baik (Elek Media, 2007). Asma bronkial dikaitkan oleh
masuknya suatu alergen misalnya tungau debu. Tungau debu
akan mengeluarkan feses yang dilapisi protein pada setiap butir
partikelnya. Yang menyebabkan reaksi alergi bagi penderita
asma apabila masuk ke dalam saluran nafas.
Ketika tungau ini mati, tubuhnya yang membusuk
bercampur dengan debu rumah tangga (Elek Media, 2007).
Tungau debu rumah memiliki ukuran 0,1 – 0,3 mm dan lebar 0,2
mm biasanya terdapat di tempat-tempat atau benda-benda yang
banyak mengandung debu (Vitahealth, 2006). Misalnya debu
yang berasal dari karpet dan jok kursi, terutama yang berbulu
tebal dan lama tidak dibersihkan, juga dari tumpukan
63
koran,buku, pakaian lama (Elek Media, 2007).
c. Jenis Kelamin dan usia
Jumlah kejadian asma pada anak laki-laki lebih banyak
dibandingkan dengan anak perempuan (Sundaru,2006).
Perbedaan jenis kelamin pada insidensi penyakit asma bervariasi,
tergantung usia dan perbedaan karakter biologi. Insidensi
penyakit asma pada anak laki-laki usia 2-5 tahun ternyata 2 kali
lebih sering dibandingkan anak perempuan sedangkan pada usia
14 tahun risiko asma anak laki- laki 4 kali lebih sering.
Kunjungan ke rumah sakit 3 kali lebih sering dibanding anak
perempuan pada usia tersebut, tetapi pada usia 20 tahun
kekerapan asma pada laki-laki merupakan kebalikan dari insiden
ini (Yunus, 2006).
Peningkatan resiko pada anak laki-laki disebabkan
semakin sempitnya saluran pernapasan, perubahan pada pita
suara, dan mungkin terjadi peningkatan IgE pada laki-laki yang
cenderung membatasi respon bernapas (Sundaru, 2006)
Didukung lagi oleh adanya hipotesis dari observasi yang
menunjukkan tidak ada perbedaan ratio diameter saluran
pernafasam laki laki dan perempuan setelah berumur 10 tahun,
kemungkinan disebabkan perubahan ukuran rongga dada yang
terjadi pada masa puber laki-laki dan tidak pada perempuan.
Predisposisi perempuan yang mengalami asma lebih tinggi pada
laki-laki mulai ketika masa puber, sehingga prevalensi asma
pada anak yang semula laki-laki lebih tinggi dari pada
perempuan mengalami perubahan dimana nilai prevalensi pada
perempuan lebih tinggi dari pada laki-laki (GINA, 2006).
d. Binatang Peliharaan
Binatang peliharaan yang berbulu seperti anjing, kucing,
hamster,burung dapat menjadi sumber alergen inhalan. Sumber
penyebab asmaadalah alergen protein yang ditemukan pada bulu
binatang di bagian mukadan ekskresi. Alergen tersebut memiliki
ukuran yang sangat kecil (sekitar3- 4 mikron) dan dapat terbang
di udara sehingga menyebabkan seranganasma, terutama dari
burung dan hewan menyusui karena bulu akan rontokdan terbang
mengikuti udara (Wibisono, 2010).
63
e. Jenis Makanan
Alergi makanan seringkali tidak terdiagnosis sebagai
salah satu pencetus asma meskipun penelitian membuktikan
alergi makanan sebagai pencetus bronkokontriksi pada 2% - 5%
anak dengan asma (Ramaiah, 2006). Meskipun hubungan antara
sensitivitas terhadap makanan tertentu dan perkembangan asma
masih diperdebatkan, tetapi bayi dan anak-anak yang sensitif
terhadap makanan tertentu atau menderita enteropathy atau
colitis karena alergi makanan tertentu akan cenderung menderita
asma (GINA, 2006). Beberapa makanan penyebab alergi
makanan seperti susu sapi, ikan laut, kacang, berbagai buah-
buahan seperti tomat, strawberry, mangga, durian berperan
menjadi pencetus seranga asma (Gershwin,2006). Makanan
produk industri dengan pewarna buatan (misal: tartazine),
pengawet (metabisulfit), vetsin (monosodium glutamat-MSG)
juga bisa memicu serangan asma. Makanan yang terutama sering
mengakibatkan reaksi yang fatal adalah kacang, ikan laut dan
telor (Gershwin,2006). Penelitian di Arab Saudi membandingkan
makanan pengidap asma dengan tidak asma. Anak Arab Saudi
yang tinggal di daerah perkotaan banyak menunjukkan gejala
nafas berbunyi atau mengi. Anak-anak ini sering bersantap di
gerai-gerai makanan cepat saji dan secara signifikan kurang
mendapatkan asupan makanan tradisional, termasuk sayuran,
susu, makanan yang kaya serat, vitamin dan mineral (Sundaru,
2006).
f. Perabot Rumah Tangga
Bahan polutan indoor dalam ruangan meliputi bahan
pencemar biologis (virus, bakteri, jamur), formadehyde, volatile
organic coumpounds (VOC), combustion products (CO1, NO2,
SO2) yang biasanya berasal dari asap rokok dan asap dapur.
Sumber polutan VOC berasal dari semprotan serangga, cat,
pembersih, kosmetik, Hairspray, deodorant, pewangi ruangan,
segala sesuatu yang disemprotkan dengan aerosol sebagai
propelan dan pengencer (solvent) seperti thinner. Sumber
formaldehid dalam ruangan adalah bahan bangunan, insulasi,
furnitur, karpet (Ramaiah, 2006). Paparan polutan formaldehid
63
dapat mengakibatkan terjadinya iritasi pada mata dan saluran
pernapasan bagian atas. Partikel debu, khususnya respilable dust
disamping menyebabkan ketidak nyamanan juga dapat
menyebabkan reaksi peradangan paru.

g. Perubahan Cuaca
Kondisi cuaca seperti temperatur dingin, tingginya
kelembaban dapat menyebabkan asma lebih parah, epidemik
yang dapat membuat asma menjadi lebih parah berhubungan
dengan badai dan meningkatnya konsentrasi partikel alergenik
(Ramaiah, 2006). Dimana partikel tersebut dapat menyapu pollen
sehingga terbawa oleh air dan udara. Perubahan tekanan
atmosfer dan suhu memperburuk asma sesak nafas dan
pengeluaran lendir yang berlebihan. Ini umum terjadi ketika
kelembaban tinggi, hujan, badai selama musim dingin. Udara
yang kering dan dingin menyebabkan sesak di saluran
pernafasan (Ramaiah, 2006). Asma berhubungan dengan iklim,
Kota besar seperti Auckland, Brisbane,
Hongkong dan New Orleans yang mempunyai suhu
panas >24oC dan rata rata curah hujan tahunan >100cm,
mempunyai prevalensi asma yang tinggi. RS Cipto menunjukkan
penderita dengan perubahan udara kemungkinan akan
mengalami asma 31.83 x lebih besar dari penderita tanpa
perubahan cuaca. Hal ini diperkuat dengan penelitian di Amerika
seikat yang membuktikan bahwa ada hubungan antara kunjungan
asma dengan cuaca dingin dan kering pada musim semi.
h. Riwayat Penyakit Keluarga
Genetik merupakan faktor pendukung timbulnya
asma. Bakat alergi merupakan hal yang diturunkan, meskipun
belum diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Bakat
alergi ini membuat penderita sangat mudah terkena penyakit
asma bronkial jika terpapar factor pencetus. Penderita biasanya
mempunyai keluarga dekat yang juga menderita penyakit alergi
(Hariadi, 2010). Apabila kedua orang tua memiliki riwayat
penyakit asma maka hampir 50% dari anak-anaknya memiliki
kecenderungan asma, sedangkan jika hanya salah satu orang
63
tuanya yang menderita asma maka kecenderungannya hanya
35%.
Lebih kurang 25% penderita penyakit asma, keluarga
dekatnya juga menderita asma, meskipun asmanya tidak aktif
lagi, diantara keluarga penderita asma 2/3 memperlihatkan test
alergi positif(Sundaru, 2006). Resiko orang tua dengan asma
mempunyai anak dengan asma adalah tiga kali lipat lebih tinggi
jika riwayat keluarga dengan asma disertai dengan salah satu
riwayat atopi. Predisposisi keluarga untuk mendapatkan penyakit
asma yaitu kalau anak dengan satu orangtua yang terkena
mempunyai risiko menderita asma 25%, risiko bertambah
menjadi sekitar 50% jika kedua orang tua asmatisk. Asma tidak
selalu ada pada kembar monozigot, tingkat stabilitas
bronkokontriksi pada olahraga ada pada kembar identik, tetapi
tidak pada kembar dizigot (Sundaru, 2006). Orang tua asma
kemungkinan 8-16 kali menurunkan asma dibandingkan dengan
orang tua yang tidak asma, terlebih lagi bila anak alergi terhadap
tungau debu rumah (Wibisono, 2010).

kerangka teori

Kualitas Tidur
Pasien Asma Tingkat kecemasan

Ringan
Sedang
Berat
panik
63

Faktor-faktor yang mempengaruhi tidur :


Penyakit
Latihan dan Kelelahan
Stres Psikologis
Obat
Nutrisi
Lingkungan
9. Motivasi
63
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

1. Jenis Dan Rancangan Penelitian


Jenis penelitian ini adalah kuantitatif yaitu berbentuk angka-
angka hasil perhitungan atau pengukuran. Penelitian kuantitatif
adalah pendekatan penelitian yang banyak dituntut menguakan
angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran terhadap data
tersebut, serta penampilan hasilnya.Rancangan penelitian yang
digunakan adalah deskriptif korelasional yaitu rancangan yang
menggambarkan hubungan antara dua variable atau lebih (Arikunto,
2006)

2. Populasi dan Sampel


Populasiadalah keseluruhan subjekpenelitian(Arikunto,
2006). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien asma
yang mondok di RSUD Bima.Dengan kriteria inklusi : pasien asma
dewasa dan bersedia menjadi responden. Kriteria eksklusi : pasien
asma anak dan pasien asma yang disertai penyakit lainnya. Teknik
pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah
Teknik Total Sampling. Yaitu teknik penentuan sampel dengan
mengambil seluruh anggota populasi sebagai responden atau
sampel. (Sugiyono, 2009). Dengan demikian peneliti mengambil
sampel dari seluruh pasien asma yang menginap di RSUD
Kabupaten Bima.

3. Kerangka Konsep
Kerangka konsep pada penelitian ini adalah melihat
HUBUNGAN TINGKAT KECEMASAN DENGAN KUALITAS
TIDUR PENDERITA ASMA DI RSUD KABUPATEN BIMA
.
63

Variabel Independen Variabel Dependen

Tingkat Kualitas Tidur


Kecemasan : 1. Baik
1. Ringan 2. Buruk
2. Sedang
3. Berat
4. Panik

Gambar 2.2. Kerangka Konsep

Keterangan :

: Variabel Independen

: Variabel Dependen

: Garis Penghubung Variabel

b. Definisi Operasional

Tabel 3.1. Definisi Operasional

N Variabel Definisi Skala Alat ukur Kriteria


o Variabel
1 Kecemasan Kecemasan Ordinal Kuesione a. Ringan : 20-
adalah r 44
kondisi b. Sedang : 45-
jiwa yang penuh 59
dengan c. Berat : 60-74
ketakutan dan d. Panik : 75-80
kekhawatiran
63
dan

ketakutan akan
apa
yang
mungkin
terjadi,
baik
berkaitan
dengan
permasalahan
yang
terbatas
maupun hal-
hal
yang aneh.

2 Kualitas Kualitas tidur Ordinal Kuesione a. Kualitas


Tidur adalah r Tidur Baik ≤
kemampuan 5
setiap orang b. Kualitas
untuk Tidur Buruk
mempertahankan >5
keadaan tidur
dan untuk
mendapatkan
tahap tidur REM
dan NREM yang
Pantas

B. Tempat dan Waktu Penelitian


Tempat Penelitian Di Rumah Sakit Umum Daerah Bima dimulai dari
Bulan Februari – April 2021

C. Variabel, Definisi Operasional, dan Skala Pengukuran


a. Variabel penelitian
Variabel penelitian pada dasarnya adalah segala sesuatu yang
63
berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga
diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya
(Sugiyono, 2009). Jadi yang dimaksud dengan variabel penelitian dalam
penelitian ini adalah segala sesuatu sebagai objek penelitian yang ditetapkan
dan dipelajari sehingga memperoleh informasi untuk menarik kesimpulan.
Variabel penelitian dalam penelitian kuantitatif dapat dibedakan menjadi
dua macam, yaitu(Sugiyono, 2009):
1. Variabel bebas (independen variable)
Variabel bebas, merupakan variabel yang mempengaruhi atau
menjadisebab perubahannya atau timbulnya variabel dependent
(terikat). Variabelbebas (X) pada penelitian ini adalah kecemasan pada
pasien Ashma.
2. Variabel terikat (dependent variable)
Variabel terikat, merupakan variabel yang dipengaruhi atau
yang menjadiakibat adanya variabel bebas. Variabel terikat (Y) pada
penelitian inia dalah kualitas tidur pada pasien asma.

D. Alat Penelitian dan Cara Pengumpulan Data

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket/kuesioner.


Terdapat dua jenis kuesioner yang diberikan kepada responden, yaitu :

1. Untuk mengukur kualitas tidur instrumen yang digunakan adalah


Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI). PSQI merupakan instrumen
yang efektif digunakan untuk mengukur kualitas dan pola tidur pada
orang dewasa. Untuk ketujuh komponennya. Penilaian jawaban
berdasarkan skala Likert dari 0-3,dimana skor 3 menggambarkan hal
negatif. Pengkategorian kualitas tidur terbagi menjadi dua kelompok,
yaitu kualitas tidur baik dan kualitas tidur buruk. Rentang jumlah skor
PSQI adalah 0 s.d 21 dari ketujuh komponennya. Kualitas tidur
dikatakan baik apabila jumlah skor penilaian ≤ 5, sedangkan kualitas
tidur dikatakan buruk apabila jumlah skor penilaian > 5.
2. Untuk mengukur tingkat kecemasan, peneliti menggunakan kuesioner
dengan metode Zung – Self Rating Anxiety Scale. Zung – Self Rating
Anxiety Scale (SAS) merupakan instrumen untuk mengukur tingkat
kecemasan. Penilaian berdasarkan skala Likert dari 1-4, dimana skor 4
63
menggambarkan hal negatif dengan penilaian : sangat jarang (1), kadang
kadang (2), sering (3), selalu (4).Cara pengisian kuesioner adalah
dengan memberikan jawaban dengan tanda ceklis (√) sesuai dengan
hasil yang diinginkan. Sebelum angket dibagikan, peneliti terlebih
dahulu menjelaskan tujuan dari penelitian ini dan juga meminta
kesediaan responden. Setelah angket diisi oleh responden, kemudian
angket dikumpulkan dan dicek kelengkapannya oleh peneliti untuk
diolah dan dianalisis.
Pada penelitian ini peneliti tidak melakukan uji validitas
karena kuesioneryang digunakan diadopsi dari kuesioner baku yaitu
Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) untuk kualitas tidur, memiliki
konsistensi internal dan koefisien reliabilitas (alpha cronbach) sebesar
0,83 dan Zung – Self Rating Anxiety Scale (SAS) untuk tingkat
kecemasan memiliki konsistensi internal (alpha cronbach 0,85) dan
koefesien reliabilitas total 0,79(Nursalam, 2012).
Penggunaan instrumen penelitian tersebut pernah dilakukan
oleh Dewi Komalasari dengan Judul Hubungan Antara Tingkat
Kecemasan dengan Kualitas Tidur pada Ibu Hamil Trimester III di
Puskesmas Jatinangor, Kabupaten Sumedang dengan hasil uji alpha
cronbach 0,83 untuk PSQI dan 0,85 untuk instrumen SAS.

E. Tekhnik Pengolahan Data

Proses pengolahan data penelitian menggunakanlangkah-langkah


diantaranya (Setiadi, 2007).
1. Editing
Peneliti mengumpulkan dan memeriksa kembali pembenaran yang
telah diperoleh dari responden. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini
adalah menjumlah dan melakukan korelasi.
2. Coding
Untuk mempermudah dalam pengolahan data dan proses selanjutnya
melalui tindakan mengklasifikasikan data dengan memberikan kode setiap
kuesioner.
3. Scoring
Peneliti memberikan skor untuk tiap-tiap pertanyaan nilai 1 untuk
jawaban benar dan nilai 0 untuk jawaban salah.
63
4. Tabulating
Tabulasi adalah pengorganisasian data sedemikain rupa agar dengan
mudah dapat dijumlahkan, disusun dan ditata untuk disajikan dan
dianalisis. Dimana peneliti memasukkan data yang telah terkumpul ke
dalam tabel distribusi frekuensi.
63
F. Analisa Data

1. Analisis Univariat
Analisa data ini dilakukan terhadap tiap variabel dari penelitian dan
pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi dan
presentasi dari tiap variabel (Notoatmodjo,2005). Adapun variabel yang
dianalisisadalah tingkat kecemasan dan kualitas tidur pada pasien asma.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat adalah analisis yang dilakukan terhadap kedua
variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi. Yaitu untuk mengetahui
hubungan antara tingkat kecemasan dengan kualitas tidur penderita asma di
RSUD Kabupaten Bima. Analisa bivariat dilakukan untuk mengetahui
hubungan antara variabeldependen dan independen. Teknik analisa yang
dilakukan yaitu dengan Uji Spearman’s Rho. Analisa ini bertujuan untuk
mengujiperbedaan proporsi dua atau lebih kelompok sampel, sehingga
diketahui ada atau tidaknya hubungan yang bermakna secara statistik.
Derajat kepercayaan yang digunakan adalah 95% dengan α
5%sehingga jika nilai P (p value) < 0,05 berarti terdapat hubungan
bermakna(signifikan) antara variabel yang diteliti. Jika nilai P > 0,05 berarti
tidakada hubungan bermakna antara variabel yang diteliti (Notoatmodjo,
2005).

G. Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian, peneliti memandang perlu adanya
rekomendasi dari pihak lain dengan mengajukan permohonan izin kepada
instansi tempat penelitian dalam hal ini Rumah Sakit Umum Daerah Bima
setelah mendapat persetujuan barulah dilakukan penelitian dengan menekankan
masalah etika yang meliputi :
63
1. Informed Concent
Lembar persetujuan ini diberikan kepada responden yang akan
diteliti yang memenuhi criteria inklusi dan disertai judul penelitian, bila
responden menolak maka peneliti tidak memaksa dan tetap menghormati
hak-hak responden.
2. Anonimity
Untuk menjaga kerahasiaan peneliti tidak akan mencantumkan nama
responden, tetapi lembaran tersebut diberikan kode.
3. Confidentiality
Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti. Hanya
kelompok data tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil peneliti.
63

DAFTAR PUSTAKA

Alimul H, Aziz.2006, Pengantar Kebutuhan Dsara Manusia. Jakarta: Salemba


Medika.

Arikunto,S.2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.Jakarta.Rineka


Cipta

Asmadi.2008. Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien.Jakarta. Salemba


Medika

Azizah, Lilik.M. 2011. Keperawatan Lanjut Usia. Yogyakarta : Graha Ilmu


Carpenito, L.J. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8, alih bahasa
Ester M, EGC, Jakarta
Depkes R.I (2009).Pedoman pengendalian penyakit asma.

Djojodibroto, Darmanto. (2009). Respirologi (Respiratory Medicine). Penerbit


Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

GINA (Global Initiative for Asthma).(2006),. Pocket Guide for Asthma


Management and Prevension In Children.

Ghufron M. Nur dan Wati S, Rini.2012,Cara Tepat Menghilangkan Kecemasan


Anda.Yogyakarta:Galang Press

Hawari,D.2008. Manajemen Stress, Cemas, dan Depresi.Jakarta.FKUI

Hadibroto, Iwan & Syamsir Alam. (2006). Asma. Jakarta: Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama

Kozier, Barbara. 2008. Fundamentals of Nursing: concepts, process, and


practice.New Jersey: Berman Audrey

Lestari, Pemi L (2009). Riset. Perbedaan kualitas tidur pekerja shif saat
menjalani shift pagi dengan shift malam pada PT. Kobame Propertindo.
Universitas Indonesia.
Maas, L. Meridean. 2011. Asuhan Keperawatan Geriatrik : Diagnosis NANDA,
Kriteria hasil NOC, & Intervensi NIC. Jakarta : EGC
Maulida. 2011. Test Reliabilitas dan Validitas Indeks Kualitas Tidur Dari
Pittsburg (PSQI) Versi Bahasa Indonesia Pada Lansia [Thesis].
Yogyakarta:Universitas Gajah Mada
Notoatmodjo,S.2010.Metodologi Penelitian Kesehatan.Jakarta.Rineka Cipta

Ni Komang Ratih, 2012.Hubungan Tingkat Kecemasan Terhadap Koping Siswa


SMUN 16 Dalam Menghadapi Ujian Nasional, Skripsi Sarjana
Keperawatan, (Depok: Perpustakaan UI)

Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses dan Praktik.
Jakarta : EGC.
Potter & Perry.(2010).Fundamental of Nursing.Mosby.st.Louis

Ramaiah, Savitri. 2006. Asma Mengetahui Penyebab Gejala dan Cara


Penanggulangannya. Jakarta : Bhuana Ilmu Populer

Sundaru H, Sukamto. (2006) Asma Bronkial , Departemen Ilmu Penyakit Dalam


Fakulas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Suzanne M, Steven G. Normal Sleep, Sleep Physiology, and Sleep Deprivation.


[Cited 2009Dec 20]

Said Az-zahroni, Musfir.(2005). Konseling Terapi.Jakarta: Gema Insani

Tim MGBK. Bahan Dasar Untuk Pelayanan Konseling Pada Satuan Pendidikan
MenengahJilid I .( jakarta: PT.Grasindo, 2010)
Stuart, Gail W. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC
Suliswati, dkk. (2005). Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai