Anda di halaman 1dari 98

Keperawatan Medikal Bedah I

Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Endokrin:


Diabetes Mellitus dan Gangguan Thyroid

Dosen:
Ika Nur Pratiwi, S.Kep., Ns., M.Kep.

Disusun oleh kelompok 5:


1. Sarah Maulida Rahmah 131611133006
2. Regyana Mutiara Guti 131611133013
3. Ayu Saadatul Karimah 131611133020
4. Putri Aulia Kharisma 131611133027
5. Indriani Dwi Wulandari 131611133034
6. Novia Tri Handika 131611133042
7. Mudrika Novita Sari 131611133050

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis berhasil
menyelesaikan. Sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat waktu yang
berjudul “Askep Gangguan Sistem Endokrin”. Penulis menyadari bahwa makalah
ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak
yang bersifat membangun selalu penulis harapkan demi kesempurnaan makalah
ini.
Akhir kata, penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang
telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini d ari awal sampai akhir.
Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

Surabaya, 26 Oktober 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER ................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
1.1 Latar Belakang................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ..........................................................................................2
1.3 Tujuan .............................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................3
2.1 Diabetes Melitus .............................................................................................3
2.1.1 Etiologi Penyebab Diabetes Melitus ................................................................ 4
2.1.2 Gambaran Klinis ............................................................................................... 4
2.1.3 Proses Terjadi ................................................................................................ 13
2.1.4 Patofisiologis .................................................................................................. 14
2.1.5 Penyebab dan Faktor Resiko Diabetes Melitus ............................................. 18
2.1.6 Penatalaksanaan ............................................................................................ 20
2.1.7 Komplikasi ...................................................................................................... 30
2.1.8 Data Dasar Pengkajian ................................................................................... 30
2.1.9 Asuhan Keperawatan Pada Pasien Yang Mengalami Diabetes
Melitus .................................................................................................................... 31
2.2 Kelenjar Tiroid .............................................................................................48
2.2.1 Kelainan Tiroid ............................................................................................... 49
2.2.2 Hipertiroid...................................................................................................... 51
2.2.3 Hipotiroid ....................................................................................................... 53
2.2.4 Asuhan Keperawatan Pada Pasien Yang Mengalami Gangguan Hipotiroid .. 64
BAB III PENUTUP ..............................................................................................93
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................94

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistem endokrin merupakan system kelenjar yang memproduksi
substans untuk digunanakn di dalam tubuh. Kelenjar endokrin mengeluarkan
substansi yang tetap beredar dan bekerja didalam tubuh. Hormon merupakan
senyawa kimia khsus diproduksi oleh kelenjar endokrin tertentu. terdapat
hormon setempat dan hormon umum. Contoh dari hormon setempat adalah
asetilkolin yang dilepaskan oleh bagian ujung-ujung syaraf parasimpatis dan
syaraf rangka. Sekretin yang dilepaskan oleh dinding duedenum dan diangkut
dalam darah menuju penkreas untuk menimbulkan sekresi pankreas dan
kolesistokinin yang dilepaskan diusus halus, diangkut kekandung empedu
sehingga timbul kontraksi kandung empedu dan pankreas sehingga timbul
sekresi enzim.
Sistem endokrin, dalam kaitannya dengan sistem saraf, mengontrol
dan memadukan fungsi tubuh. Kedua sistem ini bersama-sama bekerja untuk
mempertahankan homeostasis tubuh. Fungsi mereka satu sama lain saling
berhubungan, namun dapat dibedakan dengan karakteristik tertentu.
Misalnya, medulla adrenal dan kelenjar hipofise posterior yang mempunyai
asal dari saraf (neural). Jika keduanya dihancurkan atau diangkat, maka
fungsi dari kedua kelenjar ini sebagian diambil alih oleh sistem saraf. Bila
sistem endokrin umumnya bekerja melalui hormon, maka sistem saraf bekerja
melalui neurotransmiter yang dihasilkan oleh ujung-ujung saraf.
Kelenjar endokrin melepaskan sekresinya langsung ke dalam darah .
Kelenjar endokrin ini termasuk hepar, pancreas (kelenjar eksokrin dan
endokrin), payudara, dan kelenjar lakrimalis untuk air mata. Sebaliknya,
Kelenjar eksokrin melepaskan sekresinya kedalam duktus pada permukaan
tubuh, sepertikulit, atau organ internal, seperti lapisan traktusintestinal.Jika
kelenjar endokrin mengalami kelainan fungsi, maka kadar hormon di dalam
darah bisa menjadi tinggi atau rendah, sehingga mengganggu fungsi

Page 1
tubuh. Untuk mengendalikan fungsi endokrin, maka pelepasan setiap hormon
harus diatur dalam batas-batas yang tepat. Tubuh perlu merasakan dari waktu
ke waktu apakah diperlukan lebih banyak atau lebih sedikit hormon.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi dari diabetes melitus?
2. Bagaiana penyebab dan faktor resiko diabetes melitus?
3. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien yang mengalami diabetes
mellitus?
4. Apa definisi dari kelenjar tiroid?
5. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien yang mengalami gangguan
hipotiroid?
6. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien yang mengalami gangguan
hipertiroid?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari diabetes melitus
2. Untuk mengetahui penyebab dan faktor resiko diabetes melitus
3. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien yang mengalami
diabetes mellitus
4. Untuk mengetahui definisi dari kelenjar tiroid
5. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien yang mengalami
hipotiroid
6. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien yang mengalami
hipertiroid

Page 2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus


Istilah diabetes mellitus diperoleh dari Bahasa latin yang berasal dari
kata Yunani, yaitu diabetes yang berarti pancuran dan mellitus yang berarti
madu. Istilah pancuran madu berkaitan dengan kondisi penderita yang
mengeluarkan urin dengan kadar gula yang tinggi dalam jumlah besar.
Ditinjau dari segi ilmiah, diabetes mellitus merupakan penyakit
kelainan metabolic glukosa (molekul gula paling sederhana yang merupakan
hasil pemecahan karbohidrat) akibat defisiensi atau penurunan efektivitas
insulin.
Insulin merupakan hormone yang berperan dalam metabolism glukosa
dan disekresikan oleh sel β pada pancreas. Kurangnya sekresi insulin
menyebabkan kadar glukosa darah meningkat dan melebihi batas normal
jumlah glukosa yang seharusnya ada dalam darah. Kelebihan glukosa tersebut
akan dibuang melalui urin. Tingginya kadar glukosa dapat merusak saraf,
pembulih darah, dan arteri yang menuju ke jantung. Kondisi tersebut
menyebabkan diabetes mellitus meningkatkan resiko serangan jantung,
stroke, gagal ginjal, penyakit pembuluh darah di perifer, serta penyakit
komplikasi lain. Dalam kasus yang parah, diabetes mellitus dapat
menyebabkan kebutaan sampai kematian. Gangguan metabolisme glukosa
pada kasus diabetes mellitus akan mempengaruhi metabolisme tubuh yang
lain, seperti metabolism karbohidrat, protein, lemak, dan air. Gangguan
metabolism tersebut akhirnya menimbulkan kerusakan seluler pada beberapa
jaringan tubuh.
Diabetes Melitus (DM) menurut D’ Adamo adalah suatu penyakit
yang mengakibatkan tidak seimbangnya kemampuan tubuh menggunakan
makanan secara efisien yang disebabkan oleh pancreas gagal memproduksi
insulin atau terjadi misfungsi tubuh yang tidak bisa menggunakan insulin
secara tepat (D’Adamo, 2008).

Page 3
Diabetes Melitus adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai
kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagai
komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah, disertai lesi
membran basalis dalam pemeriksaan dengan mikroskop elektron (Mansjoer,
2000:580). Diabetes Melitus yaitu suatu gangguan metabolik kronik yang
tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dikontrol yang dikarakteristikkan
dengan hiperglikemia karena defisiensi atau ketidakadekuatan penggunaan
insulin (Engram, 1999:532).

2.1.1 Etiologi
Penyebab Diabetes Melitus menurut Price (1995) dibagi menjadi 2 yaitu :
1. IDDM (Insulin Dependent Diabetes Melitus)
Penyebab dari jenis IDDM yaitu karena faktor genetik, penyakit ini
timbul karena adanya proses perusakan imunologi sel-sel yang
memproduksi insulin.
2. NIDDM (Non Insulin Dependent Diabetes Melitus)
DM jenis ini disebabkan karena kurangnya jumlah tempat reseptor
yang responsif insulin pada membran sel, hal ini dapat terjadi karena
obesitas. NIDDM ditandai dengan kelainan dalam sekresi insulin dan
kerja insulin.

2.1.2 Gambaran Klinis


2.1.2.1 Diabetes Melitus Tipe 1

Page 4
Diabetes Melitus Tipe 1 adalah gangguan metabolisme yang
ditandai dengan adanya hiperglikemia kronis akibat gangguan sekresi
insulin, yang diakibatkan oleh karena berkurangnya sekresi insulin
akibat kerusakan sel β-pankreas yang didasari proses autoimun.
(American Diabetes Association [ADA], 2015)
2.1.2.1.1 Etiologi
Etiologi DM tipe 1 diakibatkan oleh kerusakan sel beta
pankreas karena paparan agen infeksi atau lingkungan, yaitu racun,
virus (rubella kongenital, mumps, coxsackievirus dan
cytomegalovirus) dan makanan (gula, kopi, kedelai, gandum dan
susu sapi).
Beberapa teori ilmiah yang menjelaskan penyebab diabetes
mellitus tipe 1 sebagai berikut:
1. Hipotesis sinar matahari
Menyatakan bahwa waktu yang lama dihabiskan dalam
ruangan, dimana akan mengurangi paparan sinar matahari
kepada anak-anak, yang akan mengakibatkan berkurangnya
kadar vitamin D. Bukti menyebutkan bahwa vitamin D
memainkan peran integral dalam sensitivitas dan sekresi
insulin (Penckofer, Kouba, Wallis, & Emanuele, 2008).
2. Hipotesis higiene "Hipotesis kebersihan”
Menyatakan bahwa kurangnya paparan dengan prevalensi
patogen, dimana kita menjaga anak-anak kita terlalu bersih,
dapat menyebabkan hipersensitivitas autoimun, yaitu
kehancuran sel beta yang memproduksi insulin di dalam tubuh
oleh leukosit. (Curry, 2009)
3. Hipotesis Susu Sapi
Menyatakan bahwa eksposur terhadap susu sapi dalam susu
formula pada 6 bulan pertama pada bayi dapat menyebabkan
kekacauan pada sistem kekebalan tubuh dan meningkatkan
risiko untuk mengembangkan diabetes mellitus tipe 1 di
kemudian hari.

Page 5
2.1.2.1.2 Patofisiologi

Diabetes mellitus (DM) tipe I diperantarai oleh


degenerasi sel β Langerhans pankreas akibat infeksi virus,
pemberian senyawa toksin, diabetogenik (streptozotosin,
aloksan), atau secara genetik (wolfram sindrome) yang
mengakibatkan produksi insulin sangat rendah atau
berhenti sama sekali. Hal tersebut mengakibatkan
penurunan pemasukan glukosa dalam otot dan jaringan
adiposa. Secara patofisiologi, penyakit ini terjadi lambat dan
membutuhkan waktu yang bertahun-tahun, biasanya terjadi sejak
anak-anak atau awal remaja. Penurunan berat badan merupakan
ciri khas dari penderita DM I yang tidak terkontrol.
Gejala yang sering mengiringi DM I yaitu poliuria, polidipsia, dan
polifagia. Peningkatan volume urin terjadi disebabkan oleh
diuresis osmotik (akibat peningkatan kadar glukosa darah atau
hiperglikemik) dan benda-benda keton dalam urin. Lebih
lanjut, diuresis osmotik tersebut akan mengakibatkan kondisi
dehidrasi, kelaparan dan shock.
Pada DM I, kadar glukosa darah sangat tinggi, tetapi
tubuh tidak dapat memanfaatkannya secara optimal untuk
membentuk energi. Oleh karena itu, energi diperoleh
melalui peningkatan katabolisme protein dan lemak. Seiring

Page 6
dengan kondisi tersebut, terjadi perangsangan lipolisis serta
peningkatan kadar asam lemak bebas dan gliserol darah.
Dalam hal ini terjadi peningkatan produksi asetil-KoA oleh
hati, yang pada gilirannya diubah menjadi asam
asetoasetat dan pada akhirnya direduksi menjadi asam β-
hidroksibutirat atau mengalami dekarboksilasi menjadi
aseton. Pada kondisi normal, konsentrasi benda-benda keton
relatif rendah karena insulin dapat menstimulasi sintesis
asam lemak dan menghambat lipolisis.
2.1.2.1.3 Gejala Klinis
1. Polidipsi, poliuria, polifagia, berat badan turun
2. Hiperglikemia (≥ 200 mg/dl), ketonemia, glukosuria
Anak dengan DM tipe 1 cepat sekali menjurus ke dalam
ketoasidosis diabetik yang disertai atau tanpa koma dengan
prognosis yang kurang baik bila tidak diterapi dengan baik.
Oleh karena itu, pada dugaan DM tipe 1, penderita harus
segera dirawat inap.
2.1.2.1.4 Komplikasi
Komplikasi jangka pendek (akut) yang sering terjadi :
hipoglikemia dan ketoasidosis. Komplikasi jangka panjang
biasanya terjadi setelah tahun ke-5, berupa : nefropati, neuropati,
dan retinopati. Nefropati diabetik dijumpai pada 1 diantara 3
penderita DM tipe 1.
Diagnosis dini dan pengobatan dini penting sekali untuk :
1. Mengurangi terjadinya gagal ginjal berat, yang memerlukan
dialisis.
2. Menunda ”end stage renal disease” dan dengan ini
memperpanjang umur penderita.
Adanya ’mikroalbuminuria’ merupakan parameter yang
paling sensitif untuk identifikasi penderita resiko tinggi untuk
nefropati diabetik. Mikroalbuminuria mendahului
makroalbuminuria. Pada anak dengan DM tipe-1 selama > 5 tahun,

Page 7
dianjurkan skrining mikroalbuminuria 1x/tahun. Bila tes positif,
maka dianjurkan lebih sering dilakukan pemeriksaan. Bila
didapatkan hipertensi pada penderita DM tipe-1, biasanya disertai
terjadinya nefropati diabetik. Tindakan: pengobatan hiperglikemia
dan hipertensi (bila ada). (Irland NB, 2010)
2.1.2.1.5 Pemantauan
Ditujukan untuk mengurangi morbiditas akibat komplikasi
akut maupun kronis, baik dilakukan selama perawatan di rumah
sakit maupun secara mandiri di rumah, meliputi :
1. Keadaan umum, tanda vital.
2. Kemungkinan infeksi.
3. Kadar gula darah (juga dapat dilakukan di rumah dengan
menggunakan glukometer) setiap sebelum makan utama dan
menjelang tidur malam hari.
4. Kadar HbA1C (setiap 3 bulan).
5. Pemeriksaan keton urine (terutama bila kadar gula > 250
mg/dl).
6. Mikroalbuminuria (setiap 1 tahun).
7. Fungsi ginjal.
8. Funduskopi untuk memantau terjadinya retinopati (biasanya
terjadi setelah 3-5 tahun menderita DM tipe-1, atau setelah
pubertas).
9. Tumbuh kembang.

Page 8
2.1.2.2 Diabetes Melitus Tipe 2
DiabetesMellitus Tipe 2 merupakan penyakit hiperglikemi
akibat insensivitas sel terhadap insulin.Kadar insulin mungkin sedikit
menurun atau berada dalam rentang normal.Karena insulin tetap
dihasilkan oleh sel-sel beta pancreas, maka diabetes mellitus tipe 2
dianggap sebagai non insulin dependent diabetes mellitus. Diabetes
Mellitus Tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolic yang di tandai
oleh kenaikan kadar gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh
sel beta pancreas dana tau gannguan fungsi insulin (resistensi insulin).
(Corwin, 2001, hal 543)
2.1.2.2.1 Prevalensi
Kejadian Diabetes Melitus Tipe 2 pada wanita lebih tinggi
daripada laki-laki.Wanita lebih berisiko mengidap diabetes karena
sering secara fisik wanita memiliki peluang peningkatan indeks
masa tubuh yang lebih besar. Hasil Riset Kesehatan Dasar pada
tahun 2008, menunjukan prevalensi DM di Indonesia membesar

Page 9
sampai 57% pada tahun 2012 angka kejadian diabetes mellitus
didunia adalah sebanyak 371 juta jiwa, dimana proporsi kejadian
diabetes mellitus tipe 2 adalah 95% dari popoulsi dunia yang
menderita diabetes mellitus dan hanya 5% dari jumlah tersebut
menederita dibetes mellitus tipe 1. Diabetes Mellitus Tipe 2 sedang
naik daun.Hal ini ditandai dengan hiperglikemia karena resistensi
insulin dan penurunan aktivitas insulin. Pada 2014, lebih dari 371
juta orang dilaporkan menderita Diabetes Mellitus Tipe 2
dibeberapa negara dengan China di puncak (92,3 juta) diikuti oleh
India (80 juta) dan Amerika Serikat (29,1 juta). (Najah Syamiyah,
2014)

2.1.2.2.2Patogenesis
Diabetes mellitus merupakan penyakit yang disebabkan
oleh adanya kekurangan insulin secara relative maupun absolut.
Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3 jalan, yaitu:
a. Rusaknya sel-sel B pancreas karena pengaruh dari luar
(virus,zat kimia, dll).
b. Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar
pancreas.
c. Desensitasi atau kerusakan reseptor insulin di jaringan
perifer. (Manaf, 2006)
2.1.2.2.3 Patofisiologi
Dalam patifisiologi diabetes melitus tipe 2 terdapat
beberapa keadaan yang berperan adalah resistensi insulin dan
disfungsi sel B pancreas.Diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan
oleh kurangnya sekresi insulin, namun karena sel sel sasaran
insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin secara
normal.Keadaan ini lazim disebut sebagai resistesi
insulin.Resistensi insulin banyak terjadi akibat dari obesitas dan
kurangnya aktivitas fisik serta penuaan.Pada penderita diabetes
mellitus tipe 2 dapat juga terjadi produksi glukosa hepatic yang

Page 10
berlebihan namun tidak terjadi pengrusakan sel-sel B Langerhans
secara autoimun seperti diabetes mellitus tipe 2.Defisiensi fungsi
insulin pada penderita diabetes mellitus tipe 2 hanya bersifat
relative dan tidak absolut.Pada awal perkembangan diabetes
mellitus tipe 2, sel B menjukan gangguan pada sekresi insulin fase
pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi
insulin. Apabila tidak ditangani dengan baik, maka pada
perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel B
pancreas. Kerusakan sel-sel B pancreas akan terjadi secara
progresif seringkali akan menyebabkan defisiensi insulin, sehingga
akhirnya penederita meemerlukan insulin eksogen. Pada penderita
diabetes mellitus tipe 2 memang umumnya ditemukan kedua factor
tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin. (Buraerah,
2010)
2.1.2.2.4 Faktor Risiko
Peningkatan jumlah penderita diabetes mellitus yang
sebagian besar diabetes mellitus tipe 2, berkaitan dengan beberapa
factor yaitu faktor risiko yang tidak dapat diubah, faktor risiko
yang dapat diubah dan faktor lain. Menurut American Diabetes
Association (ADA) bahwa diabetes mellitus berkaitan dengan
faktor risiko yang tidak dapat diubah meliputi riwayat keluarga
dengan diabetes melitus (first degree relative), umur lebihdari 45
tahun, etnik, riwayat melahirkan bayi dengan berat badan bayi
lebih 4000 gram atau riwayat pernah menderita diabetes mellitus
gestasional dan riwayat lair dengan berat badan rendah kurangdari
2,5 kg. fator risiko yang dapat diubah meliputi obesitas berdasarkan
IMT ≥ 25 kg/m2 atau lingkar perut ≥80 cm pada wanita dan ≥90
cm pada laki-laki, kurangnya aktivitas fisik, hipertensi, dislipidemi
dan diet tidak sehat. Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes
adalah penderita polycystic ovarysindrome(PCOS), penderita
sindrom metabolik memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu
(TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya,

Page 11
memiliki riwayat penyakit kardiovaskuler seperti stroke, PJK, atau
peripheral arterial diseases (PAD), konsumsi alcohol, faktor
stress, kebiasaan merokok, jenis kelamin, konsumsi kopi dan
kafein.
a) Obesitas (kegemukan). Terdapat korelasi bermakna antara
obesitas dengan kadar glukosa darah, pada derajat kegemukan
dengan Indeks Massa Tubuh >23 dapat menyebabkan
peningkatan kadar glukosa darah.
b) Hipertensi. Peningkatan tekanan darah pada hipertensi
berhubungan erat dengan tidak tepatnya penyimpanan garam
dan air, atau meningkatnya tekanan darah dari dalam tubuh
pada sirkulasi pembuluh darah perifer
c) Riwayat keluarga diabetes mellitus. Individu yang menderita
diabetes mellitus diduga mempunyai gen diabetes. Diduga
bahwa bakat diabetes merupakan gen resesif. Hanya orang
yang bersifat homozigot dengan gen resesif tersebut yang
menderita Diabetes Mellitus
d) Dislipedimia adalah keadaan yang ditandai dengan kenaikan
kadar lemak darah (Trigliserida >250mg/dl). Terdapat
hubungan antara kenaikan plasma insulin dengan rendahnya
HDL >35mg/dl sering didapat pada pasien Diabetes
e) Umur. Berdasarkan penelitian, usia yang terbanyak terkena
Diabetes Mellitus adalah >45 tahun
f) Faktor genetik. Diabetes Mellitus tipe 2 berasal dari interaksi
genetis dan berebagai faktor mental. Penyakit ini sudah lama
dianggap berhubungan dengan agregasi familial. Risiko
emperis dalam gal terjadinya Diabetes Mellitus tipe 2 akan
meningkatkan dua sampai enam kali lipat jika orang tua
saudara kandung menderita Diabetes Mellitus tipe 2
g) Alcohol dan rokok. Perubahan-perubahan dalam gaya hidup
berhubungan dengan peningkatan frekuensi Diabetes Mellitus
tipe 2. Walaupun kebanyakan peningkatan obesitas dan

Page 12
pengurangan ketidak aktifan fisik, faktor-faktor lain yang
berhubungan dengan perubahan dari lingkungan tradisional
kelingkungan kebarat-baratan yang meliputi perubahan-
perubahan dalam konsumsi alcohol dan rokok, juga berperan
dalam peningkatan Diabetes Mellitus tipe 2. Alcohol akan
mengganggu metabolism gula darah terutama pada penderita
Diabetes Mellitus, sehingga akan mempersulit regulasi gula
darah dan meningkatkan tekanan darah.
Faktor risiko penyakit tidak menular, termasuk Diabetes
Mellitus tipe 2 dibedakan menjadi dua. Yang pertama adalah faktor
risiko yang tidak dapat berubah misalnya umur, faktor genetic, pola
makan yang tidak seimbang jenis kelamin, status perkawinan,
tingkat pendidikan, pekerjaan, aktivitas fisik, kebiasaan merokok,
konsumsi alcohol, indeks masa tubuh.
2.1.3 Proses Terjadi
Tubuh memiliki system yang dapat mengatur dan
menyeimbangkan zat-zat yang mengalir didalamnya. Glukosa dalam tubuh
mengalami proses metabolism agar dapat dimanfaatkan oleh sel-sel yang
membutuhkan. Dalam proses pencernaan makanan, karbohidrat akan
dipecah menjadi molekul yang lebih sederhana, yaitu glukosa dan diserap
ke aliran darah dan bergerak ke seluruh sel yang akan digunakan sebagai
energi.
Tingginya konsumsi karbohidrat menyebabkan konsentrasi glukosa
dalam darah meningkat, sehingga untuk menormalkannya glukosa diubah
menjadi 2 bentuk yaitu glikogen yang disimpan dihati dan otot dan lemak
yang disimpan dalam jaringan adiposa. Jika sedang lapar (tidak ada asupan
karbohidrat), konsentrasi glukosa akan turun, dengan bantuan glucagon
(hormone yang disekresi oleh sel α pankreas), glikogen di hati akan pecah
lagi menjadi glukosa dan dilepaskan kembali ke darah untuk menjaga
glukosa tetap normal.
Produksi dan sekresi insulin dipacu oleh jumlah glukosa dalam
darah. Jika jumlah glukosa telah mencapai kadar tertentu, insulin akan

Page 13
disekresikan dan membuka sel-sel dlam hati, otot, dan lemak sehingga
memungkinkan glukosa masuk ke dalam sel-sel tersebut. Dengan
demikian, glukosa tidak menumpuk dalam darah dan kafdar glukosa darah
tetap normal.
Pada kasus defisiensi insulin, glukosa tidak dapat masuk ke dalam
sel-sel sehingga konsentrasi glukosa diluar sel termasuk dalam darah
meningkat. Sehingga menyebabkan timbunan glukosa di luar sel dan
didarah tidak bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan energy yang
diperlukan sel. Glukosa yang menumpuk didalam darah akan dibuang
melalui ginjal ke dalam urin sehingga terjadi glikosuria. Sebenarnya,
ginjal dapat mencegah setiap glukosa agar tidak masuk ke dalam urin
karena ginjal telah menyaring, tetapi jika kadar glukosa terlalu tinggi maka
ginjal tidak mampu menyaring semua glukosa. Keadaan ini disebut dengan
melewati batas ambang ginjal. Jika glukosa masuk ke dalam urin akan
menyebabkan kencing manis. (Harjadi, 2009)

2.1.4 Patofisiologis

Page 14
Page 15
Insulin adalah hormon yang dibentuk sel beta langerhans yang
berfungsi untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat bagi sel dalam bentuk
insulin yang berfungsi terhadap transparan glukosa, asam amino, asam
lemak, di samping itu insulin juga berperan mengaktifkan enzim sehingga
meningkatkan metabolisme intra sel. Bermacam-macam penyebab
Diabetes Melitus yang berbeda akhirnya akan mengarah ke insufisiensi
insulin. Metabolisme karbohidrat yang terganggu akan menyebabkan
kelaparan dalam sel hormone counter regulator seperti flukagon,
epineprin, non epineprin growth hormon dan kortisel akan dikeluarkan
oleh tubuh. Menurunnya proses glikogenesis menyebabkan produksi
glukosa dari glikogen meningkat dan glikogenesis akan menurun yaitu
pembentukan glukosa dari non karbohidrat seperti asam amino, hal ini
akan menyebabkan penurunan pemecahan lemak menjadi keton untuk
memberi alternatif sumber energi. Kekurangan insulin akan menyebabkan
glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel. Menyebabkan sel mengalami
kelaparan. Sel sebagai keadaan krisis dengan mengeluarkan hormon
counter regulator untuk tetap memenuhi kebutuhan energi dengan
menggunakan sumber energi lain seperti lemak. Akibat tingginya kadar
glukosa darah menimbulkan tiga gejala utama poliuria, polidipsi,
polifagia. Karena glukosa yang masuk ke tubulus tinggi maka glukosa
melampaui ambang ginjal dan glukosa akan dibuang bersama urin dan
menyebabkan dehidrasi ruang ekstra sel dan cairan intra sel akan keluar
dan menimbulkan mekanisme haus. Polifagia terjadi karena glikogen tidak
sampai sel akan mengalami starvasi atau kelaparan dan muncul tanda lapar
(Brunner and Suddart).
2.1.4.1 Gejala
Gejala hiperglikemia ditandai dengan :
1. Poliuria
Poliuria adalah suatu kondisi dimana tubuh memproduksi air seni
berlebihan atau lebih banyak dari jumlah normal, yakni lebih dari
2,5 – 3 Liter selama 24 jam pada orang dewasa. Dengan demikian,

Page 16
banyak yang menyimpulkan bahwa poliuria diartikan sebagai
banyak kencing atau sering buang air kecil.
2. Polidipsia
Polidipsia adalah timbulnya rasa haus yang berlebihan sehingga
akan menyebabkan minum lebih sering. Pada penderita DM,
glukosa dalam darah yang tinggi menyebabkan kepekatan glukosa
dalam pembuluh darah sehingga proses filtrasi ginjal berubah
menjadi osmosis (filtrasi zat dari tekanan tinggi ke tekanan rendah).
Akibatnya, air yang ada di pembuluh darah terambil oleh ginjal
sehingga pembuluh darah menjadi kekurangan air yang
menyebabkan penderita menjadi cepat haus
3. Penurunan berat badan
Fungsi pankreas adalah memproduksi insulin untuk memproses
asupan glukosa sebagai sumber energi. Pada orang yang menderita
diabetes, tubuhnya gagal mengelola gula menjadi energi akibat
terjadinya resistensi insulin. Sehingga ketika tubuh butuh energi,
tubuh akan mencari alternatif dengan cara memecah lemak untuk
menjadi energi. Jika masih tidak cukup, maka protein atau otot
yang dipecah sehingga lama-lama berat badan menyusut.
4. Polifagia
Polifagia adalah rasa lapar yang berlebihan.Pada penderita
diabetes, glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel target dan
berubah menjadi glikogen untuk disimpan di dalam hati sebagai
cadangan energi karena, insulin yang dihasilkan pancreas tidak
dapat bekerja atau insulin dapat bekerja tetapi bekerjanya lambat.
Oleh karena itu, tidak ada intake glukosa yang masuk sehingga
penderita DM merasa cepat lapar dan lemas.
5. Penglihatan kabur
Orang dengan diabetes beresiko terjadi pandangan kabur ketika
gula darah terlalu tinggi. Mereka juga berisiko lebih besar pada tiga
masalah mata yang serius seperti katarak, glaukoma, dan
retinopati.Orang dengan diabetes juga lebih berpotensi untuk

Page 17
mendapatkan jenis glaukoma yang disebut glaukoma neovascular
yaitu pembuluh darah baru tumbuh di iris, sehingga menghalangi
aliran normal cairan dari mata dan meningkatkan tekanan.
6. Kerentanan terhadap infeksi
Penderita penyakit diabetes mellitus khususnya yang tidak disiplin
dalam menjaga kadar gula darah akan sering terjadi kerusakan atau
penurunan system kekebalan tubuh. Masalah inilah yang
menyebabkan penderita DM sangat mudah mengalami infeksi.
Karena ketika system kekebalan tubuh mengalami kerusakan atau
penurunan fungsi, maka bakteri dan juga virus penyebab infeksi
akan sangat mudah menyerang tubuh.
7. Lemas
Rasa lemas yang dikeluhkan penderita ini berhubungan dengan
kadar gula darah yang tinggi. Gula disaring oleh glomerulus ginjal
secara terus menerus,ketika kadar glukosa amat tinggi, filtrate
glomerulus mengandung glukosa diatas batas ambang untuk
direabsorpsi. Akibatnya kelebihan glukosa dikeluarkan melalui
urine yang disebut glikosuria. Glikosuria ini mengakibatkan
kehilangan kalori yang sangat besar sehingga penderita menjadi
lemas.
8. Kesemutan
Pada penderita diabetes, tingginya kadar gula akan menyebabkan
gangguan aliran darah dan fungsi saraf serta kerusakan pada
pembuluh darah sehingga akan menimbulkan gejala kesemutan.
9. Impotensi pada pria
Tingkat gula darah yang tidak terkontrol akibat diabetes dapat
merusak pembuluh darah kecil dan saraf. Kerusakan saraf yang
mengontrol rangsangan dan respon seksual dapat menghambat
kemampuan seorang pria untuk mencapai dan mempertahankan
ereksi yang cukup untuk melakukan hubungan seksual. Selain itu,
berkurangnya aliran darah dari pembuluh darah yang rusak juga
memberikan kontribusi untuk disfungsi ereksi.

Page 18
10. Pruritus pada vulva wanita
Pruritus secara harfiah adalah sensasi gatal pada vulva. Pada tahap
lanjut, pasien akan merasakan sensasi seperti terbakar di daerah
vagina. Pasien akan menggaruk daerah vagina selama tidur dan
mengalami shock ketika bangun karena mendapati dirinya sudah
berlumuran darah akibat garukan yang tidak disadarinya tersebut.
Penyebabnya yaitu kadar glikogen pada sel-sel epitel kulit dan
vagina meningkat, sehingga menimbulkan “diabetes kulit”.
Keadaan tersebut merupaka faktor predisposisi timbulnya
dermatiis, kandidosis, danfurunkolosis yang menyebabkan gatal.
2.1.5 Faktor Risiko Diabetes Melitus
Diabetes mellitus utamanya disebabkan oleh dua hal, yaitu
meningkatnya kadar gula darah, dan kurangnya produksi insulin. Ada beberapa
faktor yang dapat berpengaruh terhadap resistensi atau defisiensi insulin,
diantaranya berat badan lebih, peningkatan usia, gaya hidup yang kurang
aktivitas, kelainan hormone, dan faktor genetic atau keturunan:
1. Konsumsi Zat Gizi
Konsumsi karbohidrat yang tinggi dapat meningkatkan risiko terkena DM
sebanyak 10,28 kali (Sujaya, 2009). Selain itu, individu dengan konsumsi
lemak yang tinggi berisiko 5,25 kali lebih besar untuk terkena diabetes,
dibandingkan dengan individu yang konumsi lemaknya rendah. Konsumsi
karbohidrat yang tinggi ini akan semkain meningkatkan risiko DM jika
diiringi asuan serat yang rendah (Gross dkk., 2004 dalam Sujaya, 2009)
2. Obesitas
Kurangnya aktivitas fisik serta tingginya konsumsi karbohidrat, protein,
dan lemak yang merupakan faktor risiko dari obesitas menyebabkan
meningkatnya Asam Lemat atau Free Fatty Acid (FFA) dalam sel.
Peningkatan FFA ini akan menurunkan translokasi transporter glukosa ke
membrane plasma, dan menyebabkan terjadinya resistensi insulin pada
jaringan otot dan adipose (Teixeira-Lemos dkk., 2011)
3. Faktor Genetik

Page 19
Penelitian dari Genome-Wide Association menemukan bahwa terdapat
jenis Single Nucleotide Polimorphisms (SNPs) yang terkait dengan fungsi
sel β pancreas yang memicu terjadinya DM. Namun, faktor lain seperti
obesitas dan rendahnya aktivitas fisik merupakan faktor yang lebih penting
(Sladek, 2007 dalam Praet, 2009). Penelitian di India Utara juga
menemukan gen DOK5 sebagai gen yang menimbulkan kerentanan akan
diabetes dan obesitas ( Tabassum dkk., 2010).
4. Riwayat Keluarga
Penelitian dari Lies (1998) menunjukkan bahwa adanya riwayat
diabetes mellitus pada keluarga (orang tua atau kakek nenek) berhubungan
signifikan dengan kejadian diabetes mellitus pada seseorang. Hasil ini
diperkuat oleh penelitian Iswanto (2004) yang menemukan bahwa adanya
riwayat diabetes pada kakek, nenek, ayah, ibu, paman, bibi,kakak atau
adik berhubungan signifikan dengan kejadian diabetes mellitus.
5. Penyakit Mental
Saat seorang mengalami stress, tubuhnya akan memproduksi hormone
kortisol secara berlebih. Produksi kortisol yang berlebih ini akan
mengakibatkan sulit tidur, depresi, tekanan darah merosot, yang kemudian
akan membuat individu tersebut menjadi lemas, dan nafsu makan berlebih.
Oleh karena itu, ahli nutrisi biologis Shawn Talbott menejlskan bahwa
pada umumnya orang yang mengalami stress panjang akan mempunyai
kecenderungan berat badan yang lebih (Siagian, 2012). Berat badan
berlebih adalah salah satu faktor risiko diabetes mellitus
6. Hipertensi
Pada penderita hipertensi menyebabkan penebalan pembuluh darah arteri
yang menyebabkan diameter pembuluh darah menjadi menyempit. Hal ini
akan menyebabkan proses pengangkutan glukosa dari dalam tubuh
menjadi terganggu (Zieve, 2012). Berdasarkan hasil Riskesdas 2007,
prevalensi Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) dan diabetes mellitus
cenderung lebih tinggi pada kelompok yang menderita hipertensi,
dibandingkan dengan yang tidak hipertensi. Pada kelompok yang
hipertensi, presentase TGT dan DM adalah masing-maisng sebesar 15,1%

Page 20
dan 9%. Angka yang lebih rendah ditemukan pada kelompok yang tidak
hipertensi,dengan persentase TGT dan DM masing-masing sebesar 8,4%
san 3,4%.
7. Umur
Penelitian Iswanto (2004) menemukan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara umur dengan kejadian diabetes mellitus. Resiko diabetes
meningkat sejalan dengan bertambahnya usia, terutama setelah usia 40
tahun, karena jumlah sel-sel beta di dalam pankreas yang memproduksi
insulin menurun seiring bertambahnya umur.
8. Pendidikan
Dari hasil Rikesdas 2907, ditemukan bahwa pada tingkat pendidikan tidak
sekolah hingga tamat SMA, prevalensi TGT dan DM terus mengalami
peningkatan. Sedangkan khusus untuk pendidikan tamat perguruan tinggi,
prevalensi TGT dan DM-nya meningkat dibandingkan dengan kelompok
pendidikan sebelumnya (Tamat SMA)
9. Aktivitas Fisik
Kurangnya aktivitas fisik menyebabkan jumlah energy yang
dikonsumsi melebihi jumlah energy yang dikeluarkan,sehingga
menimbulkan keseimbangan energy positif yang disimpan pada jaringan
adipose.
10. Jenis kelamin
Hasil Riset Kesehatan Dasar 2007 menunjukkan bahwa prevalensi TGT
dan DM menurut pemeriksaan gula darah pada perempuan lebih tinggi
dibandingkan dengan laki-laki. Prevalensi TGT pada perempuan adalah
11,5 % (dibandingkan dengan 8,7% pada laki-laki), sedangkan prevalensi
DM pada perempuan adalah 6,4% (dibandingkan dengan 4,9% pada laki-
laki). Beckles dan Thompson Reid (2001) dalam Grant, dkk. (2009)
memaparkan bahwa variasi proporsi diabetes mellitus, khususnya pada
wanita dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu dampak dari diabetes
gestasional pada ibu dan bayi, serta tingginya prevalensi pada wanita
berusia tua.
11. Ras

Page 21
Variasi kejadian diabetes mellitus menurut suku atau ras ini juga
dipengaruhi oleh kebiasaan makan dari masing-masing. Penelitian pada
masyarakat Bali tahun 2009 menunjukan bahwa masyarakat yang lebih
banyak emngkonsumsi makanan tradisional dengan kandungan lemak dan
karbohidrat yang tinggi memiliki risiko yang lebih besar mengalami
diabetes mellitus (Sujaya, 2009).
2.1.6 Penatalaksanaan
1. Farmakologis
a. Diabetes mellitus tipe 1 : Insulin Dependent Diabetes Mellitus
Pasien dengan DM 1 diobati dengan insulin, karena sel sel betanya
tidak katif lagi.
Lama kerja sediaan insulin (PERKENI, 2011):
 Insulin kerja cepat / rapid acting insulin
 Digunakan pada waktu makan
 Mulai bekerja dalam waktu 30 menit
 Bekerja maksimal dalam 2 hingga 3 jam
 Efek bertahan hingga 6 jam
 Insulin Neutral Protamine Hagedorn (NPH) harus
di-resuspensi (mengaduknya perlahan dengan
memutar pen) sebelum digunakan
 Contoh : Humulin R; Novolin R; dan, untuk pompa
insulin, Velosulin, hanya Humulin R yang tersedia
di Indonesia
 Insulin kerja pendek / short acting insulin
 Digunakan pada waktu makan
 Mulai bekerja dalam 15 menit
 Bekerja maksimal dalam sekitar 1 jam
 Efeknya bertahan hingga 4 jam
 Contoh : glulisine, lispro, dan aspart, semua produk
belum tersedia di Indonesia
 Insulin kerja sedang / intermediate acting insulin
 Digunakan sehari sekali

Page 22
 Bekerja maksimal 4 hingga 8 jam setelah injeksi
 Efeknya bertahan hingga 18 jam
 Jika diinjeksikan sebelum tidur, insulin akan bekerja
maksimal pada dini hari, yaitu saat insulin paling
dibutuhkan
 Contoh : NPH, Humulin N, dan Novolin N, hanya
Humulin N tersedia di Indonesia
 Insulin kerja panjang / long acting insulin
 Menurunkan kadar glukosa secara bertahap
 Efeknya dapat bertahan hingga 24 jam
 Contoh : detemir (Levemir) dan glargine (Lantus),
tersedia di Indonesia
 Ultralong acting insulin
 Digunakan sehari sekali
 Efeknya dapat bertahan lebih dari 24 jam
 Contoh : degludec (Tresiba), belum tersedia di
Indonesia
Respon individual terhadap terapi insulin cukup beragam,
oleh sebab itu jenis sediaan insulin mana yang diberikan
kepada seorang penderita dan berapa frekuensi
penyuntikannya ditentukan secara individual, bahkan
seringkali memerlukan penyesuaian dosis terlebih dahulu.
Umumnya, pada tahap awal diberikan sediaan insulin
dengan kerja sedang, kemudian ditambahkan insulin
dengan kerja singkat untuk mengatasi hiperglikemia setelah
makan. Insulin kerja singkat diberikan sebelum makan,
sedangkan Insulin kerja sedang umumnya diberikan satu
atau dua kali sehari dalam bentuk suntikan subkutan.
Namun, karena tidak mudah bagi penderita untuk
mencampurnya sendiri, maka tersedia sediaan campuran
tetap dari kedua jenis insulin regular (R) dan insulin kerja
sedang (NPH).

Page 23
b. Diabetes mellitus tipe 2 : Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus
Penggolongan DM tipe 2 dengan menggunakan golongan obat
yaitu :
Golongan Contoh senyawa Mekanisme kerja
Sulfonil urea Glyburide/libenkla Merangsang sekresi
mid insulin di kelenjar
Glipizide pancreas, senyawa
Glikazida tersebut efektif pada
Glimepiride penderita diabetes
Glikuidon yang sel-sel
pankreasnya masih
berfungsi.
Meglitinida Refaglinid Merangsang sekresi
insulin di kelenjar
pancreas
Turunan fenilalanin Nateglinide Meningkatkan
kecepatan insulin di
kelenjar pancreas
Biuanida Metformin Bekerja langsung
pada hati,
menurunkan
produksi glukosa
hati, namun tidak
merangsang sekresi
insulin oleh kelenjar
pancreas
Tiazolidindion Rosiglitazone Meningkatkan
keepekaan tubuh
terhadap insulin.
Berkaitan dengan
PPARY (Peroxisome
Proferator activated

Page 24
receptor gamma) di
otot, jaringan lemak
dan hasil untuk
menurunkan
resistensi insulin.
Inhibitor-α Acarbose miglitol Menghambat kerja
glukosidae enzim-enzim
pencernaan yang
mencerna
karbohidrat,
sehingga
memperlambat
absorbs glukosa ke
dalam darah.

c. Obat antidiabetic oral


Obat-obat antidiabetik oral ditujukan untuk membantu penanganan
pasien diabetes mellitus tipe 2. Farmakoterapi antidiabetik oral
dapat dilakukan dengan menggunakan satu jenis obat atau
kombinasi dari dua jenis obat . (Soewondo P, 2011)
1. Golongan sulfonylurea
Golongan obat ini bekerja merangsang sekresi insulin
dikelenjar pankreas, oleh sebab itu hanya efektif apabila
sel-sel β Langerhans pankreas masih dapat berproduksi.
Penurunan kadar glukosa darah yang terjadi setelah
pemberian senyawa-senyawa sulfonilurea disebabkan oleh
perangsangan sekresi insulin oleh kelenjar pankreas. Obat
golongan ini merupakan pilihan untuk diabetes dewasa baru
dengan berat badan normal dan kurang serta tidak pernah
mengalami ketoasidosis sebelumnya.
Jenis sulfonylurea :

Page 25
 Sulfonylurea generasi pertama (contoh: tolbutamid,
asektoheksamid, klorpropamid, tolazamid)
 Sulfonylurea generasi kedua (contoh: gliburid,
glipizid, glimepiride)
2. Golongan biguanida
Golongan ini yang tersedia adalah metformin, metformin
menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap
kerja insulin pada tingkat selular dan menurunkan produksi
gula hati. Metformin juga menekan nafsu makan hingga
berat badan tidak meningkat, sehingga layak diberikan pada
penderita yang overweight.
3. Golongan tiazolidindion
Golongan obat baru ini memiliki kegiatan farmakologis
yang luas dan berupa penurunan kadar glukosa dan insulin
dengan jalan meningkatkan kepekaan bagi insulin dari otot,
jaringan lemak dan hati, sebagai efeknya penyerapan
glukosa ke dalam jaringan lemak dan otot meningkat.
Tiazolidindion diharapkan dapat lebih tepat bekerja pada
sasaran kelainan yaitu resistensi insulin tanpa menyebabkan
hipoglikemia dan juga tidak menyebabkan kelelahan sel β
pankreas.Contoh: Pioglitazone, Troglitazon.
4. Golongan inhibitor alfa glucosidase
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim
glukosidase alfa di dalam saluran cerna sehingga dapat
menurunkan hiperglikemia postprandrial. Obat ini bekerja
di lumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia dan
juga tidak berpengaruh pada kadar insulin. Contoh:
Acarbose.

Page 26
2. Non Farmakologis
a. Pengaturan diet
Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan
diabetes. Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan
komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein dan
lemak. Tujuan pengobatan diet pada diabetes adalah:
 Mencapai dan kemudian mempertahankan kadar
glukosa darah mendekati kadar normal
 Mencapai dan mempertahankan lipid mendekati kadar
yang optimal
 Mencegah komplikasi akut dan kronik
 Meningkatkan kualitas hidup.
 Jumlah asupan kalori ditujukan untuk mencapai berat
badan ideal
 Karbohidrat kompleks merupakan pilihan dan diberikan
secara terbagi dan seimbang sehingga tidak
menimbulkan puncak (peak) glukosa darah yang tinggi
setelah makan
 Komposisi diet sehat mengandung sedikit lemak jenuh
dan tinggi serat larut. (PERKENI,2015)
Terapi nutrisi direkomendasikan untuk semua pasien diabetes
mellitus, yang terpenting dari semua terapi nutrisi adalah
pencapian hasil metabolis yang optimal dan pencegahan serta
perawatan komplikasi. Untuk pasien DM tipe 1, perhatian
utamanya pada regulasi administrasi insulin dengan diet
seimbang untuk mencapai dan memelihara berat badan yang
sehat. Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat
mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki respon sel-sel
β terhadap stimulus glukosa.
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu
makanan yang seimbang, sesuai dengan kebutuhan kalori
masing-masing individu, dengan memperhatikan keteraturan
jadwal makan, jenis dan jumlah makanan. Komposisi makanan
yang dianjurkan terdiri dari karbohidrat 45%-65%, lemak
20%-25%, protein 10%-20%, natrium kurang dari 3 g, dan diet
cukup serat sekitar 25 g /hari. (Rojas, 2013)

Page 27
Sedangkan menurut ADA, 2015. Porsi makan pasien dengan
diabetes digambarkan seperti gambar dibawah ini :

b. Olah raga
Berolah secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar
gula darah tetap normal. Prinsipya, tidak perlu olah raga berat,
olah raga ringan asal dilakukan secara teratur akan sangat
bagus pengaruhnya bagi kesehatan. Beberapa contoh olah raga
yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda,
berenang, dan lain sebagainya. Olah raga akan memperbanyak
jumlah Universitas Sumatera Utara dan juga meningkatkan
penggunaan glukosa.
c. Berhenti merokok
Kandungan nikotin dalam rokok dapat mengurangi penyerapan
glukosa oleh sel. Dari penelitian yang dilakukan terhadap
subyek uji pasien lansia bahwa merokok 2 batang dalam sehari
dapat menyebabkan resiko nefropati dan menghambat absorpsi
insulin.

3. Lima pilar penatalaksanaan DM menurut PERKENI (Perkumpulan


Endokrinologi Indonesia) dan ADA (American Diabetes Association)
1. Edukasi

Page 28
Harus rajin mencari banyak informasi mengenai diabetes dan
penanganannya. Misalnya mendengarkan pesan dokter, bertanya
pada dokter, mendengarkan radio atau televisi mengenai diabetes.
Bisa juga mencari artikel mengenai diabetes.
2. Perencanaan makan/diet
Yaitu dengan mengatur jumlah kalori total dan kalori per makanan,
setiap kali makan pelru mengkombinasikan dengan komponen
tinggi serat, dan rendah glikemik, serta mengatur jadwal seperti 3
kali makanan utama dan 3 kali camilan.
3. Aktifitas fisik
Melakukan aktivitas fisik rutin 30 menit per hari dan 5 hari dalam
seminggu dengan intensitas yang sedang seperti aerobik
(Sudoyono, 2006). Tetapi emang tidak semua orang dapat
melakukan aktifitas fisik secara rutin, karena ada faktor lain yang
menjadi penyebab, seperti usia, kesehatan, dan lainnya. Contoh
lain aktifitas fisik yang dapat dilakukan misalnya senam kaki.
Menurut Priyanto (2013) aktifitas fisik khususnya senam kaki akan
membantu meningkatkan aliran darah di daerah kaki sehingga akan
membantu menstimulasi syaraf-syaraf kaki dalam menerima
rangsang. Hal ini akan meningkatkan sensitivitas kaki terutama
pada penderita diabetes melitus.
4. Obat insulin
Obat insulin perlu diputuskan bersama dokter untuk mennetukan
jenis dan dosis terapi yang sesuai. Umumnya dosis dinaikkan
bertahap.
5. Pemeriksaan gula darah mandiri
Dianjurkan untuk pemeriksaan sacara mingguan, misalnya 2-3 kali
per minggu atau minimum 1 minggu sekali. Sebaiknya monitoring
terfokus pada 2 tes point yaitu glukosa pre meal dan glukosa post
meal.

Page 29
2.1.7 Komplikasi
Komplikasi jangka panjang diabetes yaitu retinopati dengan
potensi kehilanganpenglihatan, nefropati yang menyebabkan gagal ginjal,
neuropati perifer dengan risiko ulkus kaki, amputasi, dan persendian
Charcot, dan neuropatiotonom yang menyebabkan gejala gastrointestinal,
genitourinari, dan kardiovaskular dan gangguan fungsi seksual.
Penderita diabetes memiliki peningkatan kejadian aterosklerotik
kardiovaskular, arteri perifer, dan penyakit serebrovaskular. Hipertensi dan
kelainan metabolisme lipoprotein juga sering ditemukan pada penderita
diabetes.

2.1.8 Data Dasar Pengkajian


Menurut Doenges (2000), pengkajian data dasar Diabetes Melitus adalah:
1. Aktivitas/Istirahat
Gejala : lemah, letih, lesu, sulit bergerak atau berjalan, kram otot,
gangguan istirahat atau tidur.
Tanda : takikardia, dan tachipnea saat istirahat dengan aktivitas
penurunan kekuatan otot, letargi.
2. Integritas Ego
Data Subyektif : stress, tergantung pada orang lain, tidak berdaya,
perasaan putus asa.
Data Obyektif : ansietas, peka, kekuatan, marah, menarik diri.
3. Sirkulasi
DS : riwayat hipertensi pada ekstremitas, penyembuhan yang lama.
DO : takikardia, penurunan tekanan darah postural, hipertensi,
distritmia, kulit panas, kering dan kemerahan.
4. Eliminasi
DS : poliuria, nokturia, rasa nyeri, atau terbakar, kesulitan berkemih,
diare.
DO : urin encer, pucat, poliuria, urin berkabut, bising usus, lemah dan
menurun, hiperkatif.
5. Makanan/Cairan

Page 30
DS : Nafsu makan hilang, mual, muntah, tidak mengikuti diet,
peningkatan masukan glukosa atau karbohidrat, penurunan GD, haus,
penggunaan diuretic.
DO : kulit kering, turgor kulit jelek, kekakuan/distensi abdomen,
muntah, pembesaran tiroid, aceton.
6. Neurosensori
DS : pusing, sakit kepala, kesemutan, kelemahan otot, parestesia,
gangguan penglihatan.
DO : disorientasi, mengantuk, letargi, stupor (tahap lanjut) gangguan
memori (masa lalu).
7. Nyeri/Kenyamanan
DS : abdomen yang tegang, nyeri (sedang berat).
DO : wajah meringis dengan palpasi, terlihat sangat berhati-hati..
8. Pernapasan
DS : batuk dengan/tanpa sputum.
DO : batuk dengan/tanpa sputum (infeksi), frekuensi pernafasan.
9. Keamanan
DS : ulkus kulit, kulit kering gatal.
DO : demam, diaforesis, lesi/ulserasi parastesia, penurunan rentang
gerak.
10. Seksualitas
DS : Masalah tentang hubungan atau keintiman, masalah impotensi
pada pria, kesulitan orgasme pada wanita.
11. Pembelajaran
DS : Faktor resiko keluarga Diabetes Melitus: penyakit jantung, stroke,
hipertensi, penyembuhan yang lambat, penggunaan obat, steroid,
diuretic, dilantin, dan fenobarbital (dapat meningkatkan kadar glukosa
darah), memerlukan bantuan dalam perawatan luka, adaptasi terhadap
alat bantu ambulansi, kemungkinan aktivitas perawatan diri.

2.1.9 Asuhan Keperawatan Pada Pasien Yang Mengalami Diabetes Mellitus


A. Teori Asuhan Keperawatan Pasien Diabetes Mellitus

Page 31
PENGKAJIAN:
Pengkajian merupakan langkah utama dan dasar utama dari proses
keperawatan yang mempunyai dua kegiatan pokok, yaitu:
a. Pengumpulan data
Pengumpulan data yang akurat dan sistematis akan membantu dalam
menentukan status kesehatan dan pola pertahanan penderita,
mengidentifikasikan, kekuatan dan kebutuhan penderita yang dapat
diperoleh melalui anamneses, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium serta pemeriksaan penunjang lainnya.
1. Identitas pasien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pedidikan, pekerjaan,
alamat, status perkawinan, suku bangsa, nomor registrasi, tanggal
masuk rumah sakit dan diagnose medis
2. Keluhan utama
Adanya rasa kesemutan pada kaki/ tungkai nawah, rasa raba yang
menurun, adanya luka yang tidak sembuh-sembuh dan berbau,
adanya nyeri pada luka
3. Riwayat kesehatan sekarang
Berisi tentang kapan terjadinya luka, penyebab terjadinya luka
serta upaya yang telah dilakukan oleh penderita untuk mengatasi
4. Riwayat kesehatan dulu
Adanya riwayat penyakit DM atau penyakit-penyakit lain yang ada
kaitannya dengan defisiensi insulin misalnya penyakit pancreas.
Adanya riwayat penyakit janjtung, obesitas, maupun
arterosklerosis, tindakan medis yang pernah di dapat maupun obat-
obatan yang biasa digunakan oleh penderita.
5. Riwayat kesehatan keluarga
Dari genogram keluarga biasanya terdapat salah satu anggota
keluarga yang juga menderita DM atau penyakit keturunan yang
dapat menyebabkan terjadinya defisiensi insulin misal hipertensi,
jantung.
6. Riwayat psikososial

Page 32
Meliputi informasi mengenai prilaku, perasaan dan emosi yang
dialami penderita sehubungan dengan penyakitnya serta tanggapan
keluarga terhadap penyakit penderita.
7. Pola aktivitas sehari-hari:
a. Pola persepsi management kesehatan
Menjelaskan tentang persepsi atau pandangan klien terhadap
sakit yang dideritanya, tindakan atau usaha apa yang dilakukan
klien sebelum dating kerumah sakit, obat apa yang telah
dikonsumsi pada saat akan datang kerumah sakit.
b. Pola nutrisi dan metabolisme
Menggambarkan asupan nutrisi, keseimbangan cairan dan
elektrolit, kondisi rambut, kuku dan kulit, kebiasaan makan,
frekuensi makan, nafsu makan, makanan pantangan, makanan
yang disukai dan banyaknya minum yang dikaji sebelum dan
sesudah masuk RS.
c. Pola eliminasi
Menggambarkan pola eliminasi klien yang terdiri dari
frekuensi, volume, adakah disertai rasa nyeri, warna dan bau.
d. Pola tidur dan istirahat
Menggambarkan penggunaan waktu istirahat atau waktu
senggang, kesulitan dan hambatan dalam tidur, pada pasien
dengan kasusu DM Adanya poliuri, nyeri pada kaki yang luka
dan situasi rumah sakit yang ramai akan mempengaruhi waktu
tidur dan istirahat penderita, sehingga pola tidur dan waktu
tidur penderita mengalami perubahan.
e. Pola aktivitas dan latihan
Menggambarkan kemampuan beraktivitas sehari-hari, fungsi
pernapasan dan fungsi sirkulasi. Pada kasus DM adanya luka
gangren dan kelemahan otot – otot pada tungkai bawah
menyebabkan penderita tidak mampu melaksanakan aktivitas
sehari-hari secara maksimal, penderita mudah mengalami
kelelahan.

Page 33
f. Pola tata nilai dan kepercayaan
Menggambarkan sejauh mana keyakinan pasien terhadap
kepercayaan yang dianut dan bagaimana dia menjalankannya.
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi
tubuh serta luka pada kaki tidak menghambat penderita dalam
melaksanakan ibadah tetapi mempengaruhi pola ibadah
penderita.
g. Pemeriksaan fisik
 Status kesehatan umum
Meliputi keadaan penderita, kesadaran, suara bicara, tinggi
badan, berat badan dan tanda – tanda vital.
 Kepala dan leher
Kaji bentuk kepala, keadaan rambut, adakah pembesaran
pada leher, telinga kadang-kadang berdenging, adakah
gangguan pendengaran, lidah sering terasa tebal, ludah
menjadi lebih kental, gigi mudah goyah, gusi mudah
bengkak dan berdarah, apakah penglihatan kabur / ganda,
diplopia, lensa mata keruh.
 Sistem integumen
Turgor kulit menurun, adanya luka atau warna kehitaman
bekas luka, kelembaban dan shu kulit di daerah sekitar
ulkus dan gangren, kemerahan pada kulit sekitar luka,
tekstur rambut dan kuku.
 Sistem pernafasan
Adakah sesak nafas, batuk, sputum, nyeri dada. Pada
penderita DM mudah terjadi infeksi.
 Sistem kardiovaskuler
Perfusi jaringan menurun, nadi perifer lemah
atau berkurang, takikardi/bradikardi, hipertensi/ hipotensi,
aritmia, kardiomegalis.
 Sistem gastrointestinal

Page 34
Terdapat polifagi, polidipsi, mual, muntah, diare,
konstipasi, dehidrase, perubahan berat badan, peningkatan
lingkar abdomen, obesitas.
 Sistem urinary
Poliuri, retensio urine, inkontinensia urine, rasa panas atau
sakit saat berkemih.
 Sistem muskuloskeletal
Penyebaran lemak, penyebaran masa otot, perubahn tinggi
badan, cepat lelah, lemah dan nyeri, adanya gangren di
ekstrimitas
 Sistem neurologis
Terjadi penurunan sensoris, parasthesia, anastesia, letargi,
mengantuk, reflek lambat, kacau mental, disorientasi.
h. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah :
 Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah meliputi : GDS > 200 mg/dl, gula darah
puasa >120 mg/dl dan dua jam post prandial > 200 mg/dl.
 Urine
Pemeriksaan didapatkan adanya glukosa dalam urine.
Pemeriksaan dilakukan dengan cara Benedict ( reduksi ).
Hasil dapat dilihat melalui perubahan warna pada urine :
hijau ( + ), kuning ( ++ ), merah ( +++ ), dan merah bata (
++++ ).
 Kultur pus
Mengetahui jenis kuman pada luka dan memberikan
antibiotik yang sesuai dengan jenis kuman.
Analisa Data
Data yang sudah terkumpul selanjutnya dikelompokan dan
dilakukananalisa serta sintesa data. Dalam mengelompokan data dibedakan atas
data subyektif dan data obyektif dan berpedoman pada teori Abraham Maslow
yang terdiri dari :

Page 35
1. Kebutuhan dasar atau fisiologis
2. Kebutuhan rasa aman
3. Kebutuhan cinta dan kasih sayang
4. Kebutuhan harga diri
5. Kebutuhan aktualisasi diri
Data yang telah dikelompokkan tadi di analisa sehingga dapat diambil
kesimpulan tentang masalah keperawatan dan kemungkinan penyebab, yang dapat
dirumuskan dalam bentuk diagnosa keperawatan meliputi aktual, potensial, dan
kemungkinan.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Berdasarkan pengkajian data keperawatan yang sering terjadi berdasarkan teori,
maka diagnose keperwatan yang mungkin muncul pada klien diabetes mellitus
yaitu:
a. Perubahan status nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakcukupan insulin, penurunan masukan oral.
b. Resiko infeksi berhubungan dengan hyperglikemia.
c. Resiko tinggi terhadap perubahan persepsi sensori berhubungan dengan
ketidakseimbangan glukosa/insulin dan atau elektrolit.
d. Ketidakberdayaan berhubungan dengan penyakit jangka panjang/progresif
yang tidak dapat diobati, ketergantungan pada orang lain.
e. Kurangnya pengetahuan tentang penyakit, prognosis dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kurangnya pemanjanan atau mengigat,
kesalahan interpretasi informasi
INTERVENSI KEPERAWATAN
Perubahan status nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungandengan ketidakcukupan insulin, penurunan masukan oral.
Tujuan :
- Mencerna jumlah kalori/nutrien yang tepat
- Menunjukkan tingkat energi biasanya
- Berat badan stabil atau bertambah.
Intervensi :

Page 36
1. Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan
dengan makanan yang dapat dihabiskan oleh pasien.
Rasional : Mengidentifikasi kekurangan dan penyimpangan dari
kebutuhan terapeutik.
2. Timbang berat badan setiap hari atau sesuai indikasi.
Rasional : Mengkaji pemasukan makanan yang adekuat (termasuk
absorbsi dan utilisasinya).
3. Identifikasi makanan yang disukai/dikehendaki termasuk
kebutuhan etnik/kultural.
Rasional : Jika makanan yang disukai pasien dapat dimasukkan
dalam perencanaan makan, kerjasama ini dapat diupayakan setelah
pulang.
4. Libatkan keluarga pasien pada perencanaan makan sesuai
indikasi.
Rasional : Meningkatkan rasa keterlibatannya; memberikan
informasi pada keluarga untuk memahami nutrisi pasien.
5. Berikan pengobatan insulin secara teratur sesuai indikasi.
Rasional : Insulin reguler memiliki awitan cepat dan karenanya
dengan cepat pula dapat membantu memindahkan glukosa ke
dalam sel.
a. Resiko infeksi berhubungan dengan hyperglikemia.
Tujuan :
- Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/menurunkan resiko
infeksi.
- Mendemonstrasikan teknik, perubahan gaya hidup untuk mencegah
terjadinya infeksi.
Intervensi :
1) Observasi tanda-tanda infeksi dan peradangan.
Rasional : Pasien mungkin masuk dengan infeksi yang
biasanya telah mencetuskan keadaan ketoasidosis atau dapat
mengalami infeksi nosokomial.

Page 37
2) Tingkatkan upaya untuk pencegahan dengan melakukan cuci
tangan yang baik pada semua orang yang berhubungan dengan
pasien termasuk pasiennya sendiri.
Rasional : Mencegah timbulnya infeksi silang.
3) Pertahankan teknik aseptik pada prosedur invasif.
Rasional : Kadar glukosa yang tinggi dalam darah akan
menjadi media terbaik bagi pertumbuhan kuman.
4) Berikan perawatan kulit dengan teratur dan sungguh-sungguh.
Rasional : Sirkulasi perifer bisa terganggu yang menempatkan
pasien pada peningkatan resiko terjadinya kerusakan pada
kulit/iritasi kulit dan infeksi.
5) Lakukan perubahan posisi, anjurkan batuk efektif dan nafas
dalam.
Rasional : Membantu dalam memventilasi semua daerah paru
dan memobilisasi sekret.
b. Resiko tinggi terhadap perubahan persepsi sensori berhubungan dengan
ketidakseimbangan glukosa/insulin dan atau elektrolit.
Tujuan :
- Mempertahankan tingkat kesadaran/orientasi.
- Mengenali dan mengkompensasi adanya kerusakan sensori.
Intervensi :
1) Pantau tanda-tanda vital dan status mental.
Rasional : Sebagai dasar untuk membandingkan temuan
abnormal
2) Panggil pasien dengan nama, orientasikan kembali sesuai
dengan kebutuhannya.
Rasional : Menurunkan kebingungan dan membantu untuk
mempertahankan kontak dengan realitas.
3) Pelihara aktivitas rutin pasien sekonsisten mungkin, dorong
untuk melakukan kegiatan sehari-hari sesuai kemampuannya.
Rasional : Membantu memelihara pasien tetap berhubungan

Page 38
dengan realitas dan mempertahankan orientasi pada
lingkungannya.
4) Selidiki adanya keluhan parestesia, nyeri atau kehilangan
sensori pada paha/kaki.
Rasional : Neuropati perifer dapat mengakibatkan rasa tidak
nyaman yang berat, kehilangan sensasi sentuhan/distorsi yang
mempunyai resiko tinggi terhadap kerusakan kulit dan
gangguan keseimbangan.
c. Ketidakberdayaan berhubungan dengan penyakit jangka panjang/progresif
yang tidak dapat diobati, ketergantungan pada orang lain.
Tujuan :
- Mengakui perasaan putus asa
- Mengidentifikasi cara-cara sehat untuk menghadapi perasaan.
- Membantu dalam merencanakan perawatannya sendiri dan secara
mandiri mengambil tanggung jawab untuk aktivitas perawatan diri.
Intervensi :
1) Anjurkan pasien/keluarga untuk mengekspresikan perasaannya
tentang perawatan di rumah sakit dan penyakitnya secara
keseluruhan.
Rasional : Mengidentifikasi area perhatiannya dan
memudahkan cara pemecahan masalah.
2) Tentukan tujuan/harapan dari pasien atau keluarga.
Rasional : Harapan yang tidak realistis atau adanya tekanan
dari orang lain atau diri sendiri dapat mengakibatkan perasaan
frustasi.kehilangan kontrol diri dan mungkin mengganggu
kemampuan koping.
3) Berikan dukungan pada pasien untuk ikut berperan serta dalam
perawatan diri sendiri dan berikan umpan balik positif sesuai
dengan usaha yang dilakukannya.
Rasional : Meningkatkan perasaan kontrol terhadap situasi.

Page 39
4) Berikan dukungan pada pasien untuk ikut berperan serta dalam
perawatan diri sendiri.
Rasional : Meningkatkan perasaan kontrol terhadap situasi.
IMPLEMENTASI
1) Perubahan status nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakcukupan insulin, penurunan masukan oral.
Intervensi :
- Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan
makanan yang dapat dihabiskan oleh pasien.
- Timbang berat badan setiap hari atau sesuai indikasi.
- Identifikasi makanan yang disukai/dikehendaki termasuk kebutuhan
etnik/kultural.
- Libatkan keluarga pasien pada perencanaan makan sesuai indikasi.
- Berikan pengobatan insulin secara teratur sesuai indikasi.
2) Resiko infeksi berhubungan dengan hyperglikemia.
Intervensi :
- Observasi tanda-tanda infeksi dan peradangan.
mencetuskan keadaan ketoasidosis atau dapat mengalami infeksi
nosokomial.
- Tingkatkan upaya untuk pencegahan dengan melakukan cuci tangan
yang baik pada semua orang yang berhubungan dengan pasien
termasuk pasiennya sendiri.
- Pertahankan teknik aseptik pada prosedur invasif.
- Berikan perawatan kulit dengan teratur dan sungguh-sungguh.
- Lakukan perubahan posisi, anjurkan batuk efektif dan nafas dalam.
3) Resiko tinggi terhadap perubahan persepsi sensori berhubungan dengan
ketidakseimbangan glukosa/insulin dan atau elektrolit.
Intervensi :
- Pantau tanda-tanda vital dan status mental.
- Panggil pasien dengan nama, orientasikan kembali sesuai dengan
kebutuhannya.

Page 40
- Pelihara aktivitas rutin pasien sekonsisten mungkin, dorong untuk
melakukan kegiatan sehari-hari sesuai kemampuannya.
4) Ketidakberdayaan berhubungan dengan penyakit jangka panjang/progresif
yang tidak dapat diobati, ketergantungan pada orang lain.
Intervensi :
- Anjurkan pasien/keluarga untuk mengekspresikan perasaannya tentang
perawatan di rumah sakit dan penyakitnya secara keseluruhan.
- Tentukan tujuan/harapan dari pasien atau keluarga.
- Berikan dukungan pada pasien untuk ikut berperan serta dalam
perawatan diri sendiri dan berikan umpan balik positif sesuai dengan
usaha yang dilakukannya.
- Berikan dukungan pada pasien untuk ikut berperan serta dalam
perawatan diri sendiri.
EVALUASI
Evaluasi merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan. Kegiatan
evaluasi ini adalah membandingkan hasil yang telah dicapai setelah implementasi
keperawatan dengan tujuan yang diharapkan dalam perencanaan. Perawat
mempunyai tiga alternatif dalam menentukan sejauh mana tujuan tercapai:
1. Berhasil : prilaku pasien sesuai pernyatan tujuan dalam waktu atau tanggal
yang ditetapkan di tujuan.
2. Tercapai sebagian : pasien menunujukan prilaku tetapi tidak sebaik yang
ditentukan dalam pernyataan tujuan.
Belum tercapai. : pasien tidak mampu sama sekali menunjukkan prilaku
yang diharapakan sesuai dengan pernyataan tujuan.

Kasus:
Seorang pasien perempuan bernama nyonya x yang merupakan ibu
rumah tangga, usia 57 tahun .Datang ke rumah sakit mengeluh lemas,
pasien menderita hiperglikemia dengan kadar glukosa darah sewaktu 420
mg/dL. Pasien juga mengeluh luka kotor di kaki akibat Diabetes mellitus
yang dialami sejak 5 tahun yang lalu. Area sekitar luka berwarna merah

Page 41
dan pada daerah luka mulai kehilangan sensitivitas saat disentuh dan
mengeluarkan nanah dan berbau busuk.
2.1.9.1 Biodata (Identitas pasien)
Nama : Nyonya X
Umur : 57 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
No. RM : 112233
Tanggal masuk : 25 Oktober 2017
Tanggal pengkajian: 25 Oktober 2017
Alamat : Surabaya
Diagnosa medis : hiperglikemia dengan luka
2.1.9.2Riwayat Kesehatan
 Keluhan Utama
Lemas karena kadar glukosa darah sewaktu 420 mg/dL, luka sejak 5
tahun yang lalu dan area sekitar luka berwarna merah, pada daerah luka
mulai kehilangan sensitivitas saat disentuh dan mengeluarkan nanah
dan berbau busuk.
 Riwayat kesehatan sekarang
Klien dibawa ke Rumah Sakit pada tanggal 25 Oktober 2017 dengan
keluhan lemas dan kaki kehilangan sensitivitas serta mengeluarkan
nanah dan berbau busuk, suhu 37 ˚C. Klien mengatakan telah menderita
penyakit tersebut sudah 5 tahun.
 Riwayat kesehatan masa lalu
Menurut keterangan keluarga sebelumnya klien tidak pernah menderita
penyakit seperti ini, dan tidak ada anggota keluarga klien yang
menderita penyakit yang sama. Klien tidak mempunya alergi terhadap
apapun, klien juga tidak merokok dan minum alcohol.
2.1.9.3Pemeriksaan Fisik
 Pemeriksaan umum

Page 42
a. Keadaan umum : baik
b. Tanda-tanda vital :
1. Tekanan darah : 90/120 mmHg
2. Suhu : 37 ᵒC
3. RR : 17 x /menit
4. Nadi : 90 x / menit
c. Berat badan :
1. BB sebelum sakit : 58 kg
2. BB sekarang : 55 kg
 Pemeriksaan Head to toe
a. Kepala
1. Wajah dan kulit kepala Bentuk muka oval, ekspresi wajah
gelisah dan pucat, rambut hitam tapi beruban, bersih dan tidak
rontok, tidak ada nyeri tekan.
2. Mata kanan dan kiri simetris, mata cekung, konjungtiva anemis,
seklera tidak ikterit, tidak ada sekret, gerakan bola mata normal,
tidak ada benjolan, tidak ada nyeri tekan, fungsi penglihatan
menurun.
3. Hidungtidak ada polip, keadaan seputum bersih, tidak ada
sektet, tidak ada radang, tidak ada benjolan, fungsi penghidu
baik.
4. Telinga Canalis bersih, pendengaran baik, tidak ada benjolan
pada daun telinga, tidak memakai alat bantu pendengaran.
5. Mulut Gigi bersih, tidak ada karies gigi, tidak memakai gigi
palsu, gusi tidak ada peradangan, lidah bersih, bibir kering.
b. Leher
Tidak ada pembesaran kelenjar thyroid, tidak ada nyeri tekan, tidak
ada bendungan vena jugularis dan tidak ada pembesaran kelenjar
thyroid.
c. Thorax dan paru
Tidak ada kelainan pada thorax dan paru
d. Abdomen

Page 43
1. Inspeksi : abdomen simetris, datar dan tidak ada luka
2. Auskultasi : peristartik 25x/ menit
3. Palpasi : ada nyeri di kuadran kiri atas.
4. Perkusi : suara hypertimpani.
e. Genitalia
Tidak ada kelaian, tidak terpasang kateter
f. Musculoskeletal
Ekstresmitas atas : simetris, tidak ada odema atau lesi, tidak ada
nyeri tekan, tangan kanan terpasang infuse RL 20 tetes/ menit.
Ekstremitas bawah : kaki kanan dan kaki kiri simetris tidak ada
kelainan.
g. Integument
Warna kulit kuning kecoklatan, turgor kulit jelek/ kering tidak ada
lesi.
h. Pemeriksaan Lab
1. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah meliputi : GDS > 200 mg/dl, gula darah
puasa >120 mg/dl dan dua jam post prandial > 200 mg/dl.
glukosa darah sewaktu klien adalah 420 mg/dL.
2. Urine
Pemeriksaan didapatkan adanya glukosa dalam urine.
Pemeriksaan dilakukan dengan cara Benedict ( reduksi ). Hasil
dapat dilihat melalui perubahan warna pada urine : hijau ( + ),
kuning ( ++ ), merah ( +++ ), dan merah bata ( ++++ ).
3. Kultur pus
Mengetahui jenis kuman pada luka dan memberikan antibiotik
yang sesuai dengan jenis kuman.
2.1.9.4 Diagnosa
NO. DIAGNOSA NOC NIC
1. Resiko  Pengetahuan: Manajemen hiperglikemia
ketidakseimbangan Manajemen  Rawat luka dengan
kadar glukosa darah diabetes baik dan benar :

Page 44
Domain 2, kelas 4  kadar glukosa membersihkan luka
00179 darah secara aseptik
 manajemen diri: menggunakan larutan
Definisi diabetes yang tidak iritatif,
Kerentanan terhadap  tingkat depresi angkat sisa balutan
variasi kadar glukosa /  status nutrisi yang menempel pada
gula darah dari rentang luka dan nekrotomi
normal, yang dapat Kriteria hasil jaringan yang mati.
mengganggu kesehatan  dapat R:merawat luka dengan
mengontrol teknik aseptik, dapat
Faktor resiko kadar glukosa menjaga kontaminasi luka
 kurang darah dan larutan yang iritatif akan
pengetahuan  pemahaman merusak jaringan granulasi
tentang manajemen tyang timbul, sisa balutan
manajemen diabetes jaringan nekrosis dapat
diabetes  dapat melakukan menghambat proses
 pemantauan tindakan granulasi.
glukosa darah pencegahan  memonitor kadar
tidak adekuat dengan glukosa dalam darah
 stress perawatan kaki R:untuk mengetahui kondisi
berlebihan  melaporkan luka glukosa dalam darah apakah
 manajemen yang tidak mengalami peningkatan /
diabetes tidak sembuh kepada penurunan
tepat pemberi  pantau tanda-tanda
pelayanan hiperglikemia:
primer poliuria, polidipsia,
 dapat polifagia, kelesuan
menggunakan R: poliuria, polidipsia,dan
prosedur yang polifagia dapat menyebabkan
tepat dalam tingkat kelesuan berlebih
mengelola pada tubuh klien karena
insulin pengontrolan fungsi tubuh

Page 45
 dapat yang tidak sesuai.
memanajemen  mengintruksikan
tanda dan gejala pasien dan keluarga
depresi mengenai manajemen
 mengetahui diabetes selama
faktor penyebab, periode sakit,
tanda dan gejala termasuk penggunaan
awal penyakit insulin dan/atau obat
 dapat mengatasi oral, monitor asupan
perasaan depresi cairan, penggantian
 dapat memenuhi karbohidrat, dan
asupan gizi, kapan mencari
makanan, dan bantuan petugas
cairan kesehatan, sesuai
kebutuhan
R: agar dapat memanajemen
diabetes yang dialami oleh
klien dan mengetahui cara
penanganan terhadap
hiperglikemia dan cara
penggunaan insulin
 memberikan insulin
sesuai resep
R: agar dapat mengontrol
hiperglikemia
 melakukan review
riwayat kadar
glukosa darah pasien
dan/atau keluarga
R: untuk mengetahui
penyebab terjadinya
hiperglikemia

Page 46
Konseling Nutrisi
 mengkaji asupan
makanan dan
kebiasaan makan
pasien
R: untuk mengetahui dan
memberikan asupan
makanan yang tepat untuk
pasien
2. Resiko infeksi  status imun Kontrol Infeksi
Domain 11, kelas 1  kontrol resiko:  monitor tanda dan
00004 proses infeksi gejala infeksi
sistemik dan lokal
Definisi Kriteria hasil R: untuk mengetahui pada
Rentan mengalami  klien bebas dari daerah mana saja beresiko
invasi dan multiplikasi tanda dan gejala terhadap infeksi serta
organisme patogenik infeksi penyebaran dari infeksi
yang dapat  jumlah leukosit tersebut
mengganggu kesehatan dalam batas  monitor granulosit,
normal WBC
Faktor resiko  menunjukan R: untuk mengetahui jumlah
 Diabetes perilaku hidup kadar leukosit akibat adanya
mellitus sehat gangguan system kekebalan
 Obesitas tubuh
 Kerusakan  berikan terapi
integritas kulit antibiotic untuk
 Malnutrisi proteksi terhadap
 Prosedur infasif infeksi
 Pertahanan R: antibiotic yang sesuai
primer tidak dapat mencegah dan
adekuat melindungi dari penyebaran

Page 47
 Pengetahuan infeksi menjadi semakin
yang tidak parah
cukup untuk  ajarkan pasien cara
menghindari menghindari infeksi
pemajanan R: untuk mencegah klien
pathogen terpapar ataupun kembali
terinvasi infeksi

2.1.9.5 Evaluasi
1. Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 1x24 jam, kadar
gula pasien menurun
2. Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 1x24 jam, luka
pasien bersih dan terhindar dari infeksi

2.2 Kelenjar Tiroid

Kelenjar tiroid adalah salah satu dari kelenjar endokrin terbesar pada
tubuh manusia. Kelenjar ini dapat ditemui di bagian depan leher, sedikit di
bawah laring. Kelenjar ini berfungsi untuk mengatur kecepatan tubuh

Page 48
membakar energi, membuat protein, dan mengatur sensitivitas tubuh terhadap
hormon lainnya.
Kelenjar tiroid adalah kelenjar yang terletak di dalam leher bagian
bawah melekat pada tulang laringm sebelah kanan depan trakea, dan melekat
pada laring. Kelenjar ini terdiri dari dua lobus yaitu lobus dekstra dan lobus
sinistra, saling berhubungan dan masing-masing lobus tebalnya 2 cm, panjang
4 cm, dan lebar 2,5 cm.
Tiroid mengeluarkan dua hormon penting, yaitu: Triodotironin dan
Tiroksin. Hormon ini berfungsi mengatur laju metabolisme dengan cara
mengalir bersama darah dan memicu sel untuk mengubah lebih banyak
glukosa. Jika Tiroid mengeluarkan terlalu sedikit Triodotironin dan Tiroksin
(Hipotiridisme), maka tubuh akan merasa kedinginan, letih, kulit mengering
dan berat badan bertambah. Sebaliknya jika terlalu banyak (Hipertiroidisme),
tubuh akan berkeringat, merasa gelisah, tidak bisa diam dan berat badan akan
berkurang.
Pertumbuhan dan fungsi dari kelenjar tiroid paling sedikit
dikendalikan empat mekanisme : yaitu sumbu hipotalamus-hipofisis-tiroid
klasik, di mana hormon pelepas-tirotropin hipotalamus (TRH) merangsang
sintesis dan pelepasan dari hormon perangsang-tiroid hipofisis anterior
(TSH), yang kemudian pada gilirannya merangsang sekresi hormon dan
pertumbuhan oleh kelenjar tiroid; kemudian deio dininase hipofisis dan
perifer, yang memodifikasi efek dari T4 dan T3; autoregulasi dari sintesis
hormon oleh kelenjar tiroid sendiri dalam hubungannya dengan suplai
iodinnya; dan stimulasi atau inhibisi dari fungsi tiroid oleh autoantibodi
reseptor TSH . Pengelolaan kelainan kelenjar tiroid dilakukan dengan
melakukan uji kadar hormon TSH dan tiroksin bebas, didasari atas
patofisiologi yang terjadi, sehingga akan didapatkan pengelolaan menyeluruh.

2.2.1 Kelainan Tiroid


1. Hypertrofi dan hyperplasia fungsional
a. Struma difosa toksik (tirotoksikosis), suatu keadaan
hipermetabolisme dari tubuh karena jaringan tubuh di pengaruhi

Page 49
respon terhadap hormone tiroid yang berlebihan dalam darah
lepas dari asalnya, bukan suatu penyakit tetapi suatu sindrom
dalam beberapa kelainan.
b. Struma difusa non toksik:
 Tipe endemic: kekurangan yodium yang kronik, kekurangan
ini di sebut air minum yang kurang mengandung yadium
sebagai goiter simple, struma edemik, gondok edemik, atau
goiter koloid.
 Tipe sporadic: Pembesaran difusi dari struma di daerah
edemik penyebabnya adalah suatu stimulus yang tidak di
ketahui tetapi umumnya tidak terjadi pada penduduk secara
umum.
2. Hipotiroidisme, disebabkan kelainan structural dan fungsional dari
kelenjar tiroid sehingga sintesis dari hormone tiroid sehingga menjadi
insufisiensi. Bila keadaan ini permanen dan komplet maka keadaan
ini di sebut atirosis atau atiroidisme.
a. Kreatinisme hipotiroidisme yang berat terjadi sewaktu bayi .
penderita menjadi cebol dan imbisil. Terjadi pada umur 2-3 bulan
dengan gejala lidah tebal, kedua mata lebih tebal dari biasa, suara
serak, sering konstipasi, somolen, kulit kasar kekuningan, kepala
besar dan ekspresi seperti orang bodoh.
b. Miksedema juvenile. Hipoterodisme yang timbul pada anak
sebelum akhir balik (pubertas). Anak menjadi cebol, pertumbuhan
tulang melambat, kecerdasan berkurang.
c. Miksedema dewaasa. Gejala nonspesifik, timbilnya sangat
perlahan dengan gejala konstipasi, letargi, tidak tahan dingin, otot
tegang dan sering kram.
3. Neoplasma
a. Jinak/ benigna. Adenoma tiroid pada umumnya bekerja secara
otonom dan tidak di pengaruhi oleh TSH, dapat bertambah
menjadi toksik, dan sering menjadi karsinoma (ganas).

Page 50
b. Ganas/ maligna. (karsinoma tiroid), dimulai dari epitel folikel
tiroid dengan karakteristik tersendiri memungkinkan menjadi
karsinoma metastatic (karsinoma kapiler, karsinoma folikuler,
karsinoma anapilastik).
Pengelolaan kelainan kelenjar tiroid dilakukan dengan melakukan
uji kadar hormon TSH dan tiroksin bebas, didasari atas patofisiologi yang
terjadi, sehingga akan didapatkan pengelolaan menyeluruh. Diagnosis dari
penyakit tiroid telah banyak disederhanakan dengan dikembangkannya
assay yang peka untuk TSH dan tiroksin bebas. Suatu peningkatan TSH
dan tiroksin bebas yang rendah menetapkan diagnosis dari hipotiroidisme,
dan TSH yang tersupresi dan FT4 yang meningkat menetapkan diagnosis
dari hipertiroidisme.
Gangguan pada kelenjar paratiroid bisa berupa hipoparatiroid
ataupun hiperparatiroid. Hipoparatiroid merupakan hilangnya fungsi
kelenjar paratiroid sehingga menyebabkan gangguan metabolisme dimana
kalsium serum menurun dan fosfat serum meningkat dan menyebabkan
hipokalsemia. Sedangkan hiperparatiroid merupakan keadaan kelenjar
paratiroid memproduksi lebih banyak hormon paratiroid dengan
dekalsifikasi tulang dan terbentuknya batu ginjal yang mengandung
kalsium (Smeltzer & Bare, 2002).

2.2.2 Hipertiroid

Hipertiroid merupakan gangguan kelenjar tiroid yang memiliki


manifestasi kardiovaskular, salah satu di antaranya adalah fibrilasi atrium
(atrial fibrillation - AF). Hal ini disebabkan karena secara fisiologis,
hormon tiroid memiliki efek langsung terhadap jantung, terhadap sistem
saraf simpatis, dan efek sekunder terhadap perubahan hemodinamik.

Page 51
Fibrilasi atrium merupakan suatu kondisi gangguan irama jantung yang
paling sering ditemui di dalam praktik sehari-hari dan menyebabkan
mortalitas yang dihubungkan dengan tingginya frekuensi emboli.
Hipertiroid merupakan bentuk tirotoksikosis yang paling sering dijumpai,
terjadi akibat kelebihan sekresi tiroksin (T4) atau triiodotironin (T3).
Penyakit Graves merupakan penyebab paling umum; sekitar 60% dari
hipertiroid disebabkan oleh penyakit Graves. Hipertiroid pada penyakit
Graves biasanya disebabkan karena adanya antibodi reseptor TSH yang
merangsang aktivitas tiroid secara berlebihan.
Gejala klinis penyakit Graves meliputi dua kelompok utama, yaitu
tiroidal dan ekstratiroidal. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter akibat hiperplasia
kelenjar tiroid dan hipertiroid akibat sekresi hormon tiroid berlebihan.
Gejala-gejala hipertiroid berupa manifestasi
hipermetabolisme dan aktivitas simpatis berlebihan, seperti cepat
lelah, gemetar, tidak tahan panas, berat badan turun walaupun nafsu makan
meningkat, palpitasi, takikardi, diare, dan kelemahan serta atrofi otot.
Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang
biasanya terbatas di tungkai bawah.Manifestasi ekstratiroidal berupa
oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas di tungkai
bawah. Untuk diagnosis tepat dan terpercaya, Crooks (1959) membuat
indeks diagnostik, yaitu Indeks Wayn.

Page 52
2.2.2 Hipotiroid

Hipotiroid adalah salah satu kelainan pada GAKI yang sering


dijumpai. Bahkan hipotiroid merupakan gangguan yang umum terjadi dan
paling sering ditemui di praktek dokter ahli endokrin (Devdhar et al.).
Hipotiroid timbul karena kelenjar tiroid tidak mampu memproduksi
hormon tiroid yang mencukupi kebutuhan tubuh sehingga kekurangan
pasokan ini berefek pada penurunan hampir seluruh fungsi organ tubuh.
Berdasarkan letak gangguannya, hipotiroid bisa dibagi menjadi hipotiroid
primer, sekunder, dan tersier (Orlander et al.).
Hipotiroid lebih sering terjadi pada wanita dengan ukuran tubuh
kecil pada saat lahir dan indeks massa tubuh yang rendah pada masa anak-
anak (Kajantie et al.). Prevalensi hipotiroid sepuluh kali lebih banyak
ditemukan pada wanita dibanding pria (Devdhar et al.). Perbedaan
prevalensi ini timbul karena pada wanita terjadi peningkatan sintesis
tiroglobulin di sel hepar yang dipicu oleh estrogen (Mazzaferi).

Page 53
Hipotiroid kongenital dapat menyebabkan keterbelakangan mental
yang memiliki prognosis buruk bila terlambat diobati, terutama pada
defisit IQ. Namun, bila dapat dideteksi awal dan diberikan intervensi
berupa hormon tiroid sebelum berumur 3 bulan, maka pertumbuhan mental
dan IQ dapat mendekati normal. Oleh karena itu, diagnosis dini sangatlah
diperlukan dalam kasus hipotiroid. Gejala klinis hipotiroid kongenital
samar dan tidak spesifik. Gejala khas hipotiroid biasanya tampak jelas
pada bayi yang berumur beberapa bulan, tetapi pada saat itu diagnosis
sudah terlambat (Rustama).
Hipotiroid kongenital dapat menyebabkan keterbelakangan mental
yang memiliki prognosis buruk bila terlambat diobati, terutama pada
defisit IQ. Namun, bila dapat dideteksi awal dan diberikan intervensi
berupa hormon tiroid sebelum berumur 3 bulan, maka pertumbuhan mental
dan IQ dapat mendekati normal. Oleh karena itu, diagnosis dini sangatlah
diperlukan dalam kasus hipotiroid. Gejala klinis hipotiroid kongenital
samar dan tidak spesifik. Gejala khas hipotiroid biasanya tampak jelas
pada bayi yang berumur beberapa bulan, tetapi pada saat itu diagnosis
sudah terlambat (Rustama).

Page 54
2.2.2.1 Klasifikasi
Secara klinis dikenal 3 hipotiroidisme, yaitu :
1) Hipotiroidisme sentral, karena kerusakan hipofisis atau hypothalamus
2) Hipotiroidisme primer apabila yang rusak kelenjar tiroid
3) Karena sebab lain, seperti farmakologis, defisiensi yodium, kelebihan
yodium, dan resistensi perifer.
Yang paling banyak ditemukan adalah hipotiroidisme primer. Oleh
karena itu, umumnya diagnosis ditegakkan berdasar atas TSH meningkat
dan fT4 turun. Manifestasi klinis hipotiroidisme tidak tergantung pada
sebabnya.
2.2.2.2 Etiologi
Etiologi dari hipotiroidisme dapat digolongkan menjadi tiga tipe yaitu
1) Hipotiroid primer
Mungkin disebabkan oleh congenital dari tyroid (kretinism),
sintesis hormone yang kurang baik, defisiensi iodine (prenatal dan
postnatal), obat anti tiroid, pembedahan atau terapi radioaktif untuk
hipotiroidisme, penyakit inflamasi kronik seperti penyakit hasimoto,
amylodosis dan sarcoidosis.
2) Hipotiroid sekunder
Hipotiroid sekunder berkembang ketika adanya stimulasi yang
tidak memadai dari kelenjar tiroid normal, konsekwensinya jumlah tiroid
stimulating hormone (TSH) meningkat. Ini mungkin awal dari suatu mal
fungsi dari pituitary atau hipotalamus. Ini dapat juga disebabkan oleh
resistensi perifer terhadap hormone tiroid.
3) Hipotiroid tertier/ pusat
Hipotiroid tertier dapat berkembang jika hipotalamus gagal untuk
memproduksi tiroid releasing hormone (TRH) dan akibatnya tidak dapat
distimulasi pituitary untuk mengeluarkan TSH. Ini mungkin berhubungan
dengan suatu tumor/ lesi destruktif lainnya diarea hipotalamus.Ada dua
bentuk utama dari goiter sederhana yaitu endemic dan sporadic. Goiter
endemic prinsipnya disebabkan oleh nutrisi, defisiensi iodine. Ini

Page 55
mengalah pada “goiter belt” dengan karakteristik area geografis oleh
minyak dan air yang berkurang dan iodine.
Sporadik goiter tidak menyempit ke area geografik lain. Biasanya
disebabkan oleh:
a. Kelainan genetic yang dihasilkan karena metabolisme iodine yang
salah .
b. Ingesti dari jumlah besar nutrisi goiterogen (agen produksi goiter yang
menghambat produksi T4) seperti kobis, kacang, kedelai , buah persik,
bayam, kacang polong, Strowbery, dan lobak. Semuanya mengandung
goitogenik glikosida
Ingesti dari obat goitrogen seperti thioureas (Propylthiracil)
thocarbomen, (Aminothiazole, tolbutamid).
2.2.2.3 Epidemiologi
Prevalensi hipotiroid kongenital di dunia mendekati 1:3000 dengan
prevalensi tinggi sekali pada daerah yang kekurangan yodium yaitu sekitar
1:900. Di Indonesia hasil skrining bayi dengan hipotiroid kongenital
mencapai 1 dari 4.305 bayi lahir hidup. Pada sindrom Down, insiden
hipotiroid kongenital lebih tinggi, yaitu 1:141. Perempuan memiliki
prevalensi lebih besar dibandingkan laki-laki yaitu 2:1.
2.2.2.4 Patogenesis
Kelenjar tiroid mulai berkembang pada umur 24 hari gestasi
sebagai suatu divertikulum, yaitu suatu pertumbuhan dari endoderm pada
bucopharyngeal cavity. Kelenjar tiroid yang berkembang turun pada leher
anterior, pada brachial pouches ke-4 dan mencapai posisi orang dewasa
setinggi C5-7 pada minggu ke-7 gestasi. Proses migrasi dari faring
posterior ke leher anterior ini dapat terhanti yang mengakibatkan
timbulnya kelenjar tiroid ektopik.
Pada umur gestasi 10-11 minggu. Kelenjar tiroid fetal sudah
mampu menghasilkan hormon tiroid, namun kadarnya masih sedikit. Saat
gestasi 18-20 minggu, kadar T4 (tiroksin) dalam sirkulasi fetus sudah
mencapai kadar normal, pada mas ini aksis pituitari-tiroid fetal secara
fungsional sudah bebas dari pengaruh aksis pituitari-tiroid maternal.

Page 56
Produksi T3 (triiodotironin) tergantung dari maturasi enzim deiodinase
hepar, yaitu sekitar umur 30 minggu gestasi.
Kelenjar tiroid memerlukan tirosin tirosin dan iodium untuk
membuat T4 dan T3, iodium masuk ke dalam sel folikel kelenjar tiroid
dengan cara transport aktif. Di dalam sel, iodium akan dioksidasi oleh
enzim tiroid peroksidase menjadi iodida. Kemudian terjadi organifikasi,
yaitu iodida akan berikatan dengan molekul tirosin sehingga terbentuk
monoiodotirosin (MIT) dan diiodotirosin (DIT). Kemudian terjadi proses
coupling. Dua molekul DIT akan membentuk tetraiodotironin=tiroksin
(T4) dan satu molekul MIT dengan satu molekul DIT akan membentuk
triiodotironin (T3). Tiroglobulin dengan T3 dan T4 berikatan dan disimpan
dalam lumen folikel. TSH akan mengaktifkan enzim-enzim yang
dibutuhkan untuk melepaskan ikatan T3 dan T4 dari tiroglobulin. T4
merupakan hormon utama yang diproduksi dan dilepaskan oleh kelenjar
tiroid dan hanya 10-40% dari T3 dalam sirkulasi yang dilepaskan oleh
kelenjar tiroid, sedangkan sisanya dihasilkan dari proses monodeiodonisasi
dari T4 di kelenjar perifer.
T3 merupakan mediator utama yang mempunyai efek biologis dari
kelenjar tiroid dengan mengadakan interaksi dengan receptor nuclear
specific. Bila terjadi abnormalitas dari reseptor tersebut mengakibatkan
terjadinya hormon tiroid resisten. Pemeriksaan T3 dilakukan apabila
dicurigai adanya resisten hormon tiroid yaitu ditemukannya gejala klinis
hipotiroid namun kadar T4 dan TSH normal, serta dibuktikan tidak adanya
kelainan kadar T3.
Pengaruh kadar hormon tiroid ibu terhadap fetus sangat minimal,
tapi penyakit tiroid ibu dapat mempengaruhi fungsi kelenjar tiroid fetus
atau neonatus. Hormon T4 dapat melewati plasenta secara bebas,
sedangkan hormon-hormon tiroid lain tidak. Autoantibodi IgG pada ibu
penderita tiroiditis autoimun dapat melewati plasenta dan akan
menghambat fungsi kelenjar tiroid fetus. Tiamin yang dipakai untuk terapi
hipotiroid dapat memblok sintesis hormon tiroid fetal, tapi kebanyakan hal
ini bersifat transien. Iodium radioaktif yang dipakai ibu hamil akan

Page 57
merusak kelenjar tiroid fetus secara permanen. Obat-obat lain yang
mempengaruhi kelenjar tiroid antara lain litium, estrogen, testosteron,
salisilat, dan antikonvulsan (karbamazepin, fenobarbital, difenilhidantoin,
fenitoin).
Hormon tiroid memberikan efek yang luas pada pertumbuhan,
perkembangan dan metabolisme, termasuk perubahan konsumsi oksigen,
metabolisme protein, karbohidrat, lipid dan vitamin. Hormon tiroid
diperlukan untuk pertumbuhan otak dan proses mielinisasi dari sistem
konektivitas jaringan saraf. Periode kritis terbesar untuk perkembangan
otak akan dipengaruhi hipotiroid, yaitu pada beberapa minggu atau bulan
setelah lahir.
2.2.2.5 Patofisiologi

Kelenjar tiroid membutuhkan iodine untuk sintesis dan mensekresi


hormone tiroid. Jika diet seseorang kurang mengandung iodine atau jika
produksi dari hormone tiroid tertekan untuk alasan yang lain, tiroid akan
membesar sebagai usaha untuk kompendasi dari kekurangan hormone.
Pada keadaan seperti ini, goiter merupakan adaptasi penting pada suatu
defisiensi hormone tiroid. Pembesaran dari kelenjar terjadi sebagai respon
untuk meningkatkan respon sekresi pituitary dari TSH. TSH menstimulasi
tiroid untuk mensekresi T4 lebih banyak, ketika level T4 darah rendah.

Page 58
Biasanya, kelenjar akan membesar dan itu akan menekan struktur di leher
dan dada menyebabkan gejala respirasi disfagia.
Penurunan tingkatan dari hormone tiroid mempengaruhi BMR
secara lambat dan menyeluruh. Perlambatan ini terjadi pada seluruh proses
tubuh mengarah pada kondisi achlorhydria (pennurunan produksi asam
lambung), penurunan traktus gastrointestinal, bradikardi, fungsi pernafasan
menurun, dan suatu penurunan produksi panas tubuh.
Perubahan yang paling penting menyebabkan penurunan tingkatan
hormone tiroid yang mempengaruhi metabolisme lemak. Ada suatu
peningkatan hasil kolesterol dalam serum dan level trigliserida dan
sehingga klien berpotensi mengalami arteriosclerosis dan penyakit jantung
koroner. Akumulasi proteoglikan hidrophilik di rongga interstitial seperti
rongga pleural, cardiac, dan abdominal sebagai tanda dari mixedema.
Hormon tiroid biasanya berperan dalam produksi sel darah merah,
jadi klien dengan hipotiroidisme biasanya menunjukkan tanda anemia
karena pembentukan eritrosit yang tidak optimal dengan kemungkinan
kekurangan vitamin B12 dan asam folat.
2.2.2.6 Gejala Klinis
Tanda-tanda klinis dini dari hipotiroid kongenital tidak dapat
dikenali dengan mudah dan pasti, sehingga banyak negara telah
menganjurkan dilakukan skrining hormon tiroid pada neonatus.
Manifestasi klinis dini tersebut antara lain:
1. Gangguan regulasi termal, seperti: hipotermia, sianosis perifer,
ekstremitas dingin
2. Gangguan gastrointestinal, seperti: gangguan makan, distensi
abdomen, muntah, konstipasi
3. Gangguan neuromuskular, seperti: hipotonia, letargi
4. Keterlambatan maturasi skeletal, seperti: fontanela dan sutura
kranialis lebar, epifisis femoral distal tidak tampak
5. Keterlambatan maturasi biokimia yaitu ikterus
Setelah bayi berusia 3 bulan mulai terlihat gambaran kretin
sporadik klasik yaitu suara tangis berat atau parau, lidah membesar,

Page 59
hipoplasia hidung/nasoorbital, kulit kasar dan kering, hernia umbilikalis,
dan refleks tendon menurun serta terlambat mencapai perkembangan
sesuai umur. Setelah anak berusia 6 bulan anak akan tampak bodoh karena
retardasi mental. Pada kurun usia berikutnya di samping pertumbuhan
tinggi badan yang sangat terganggu (cebol) terdapat juga gangguan
neurologik khususnya tanda-tanda disfungsi serebeler, misalnya gangguan
keseimbangan, tremor, disartri, dan lainnya. Apabila hipotiroid kongenital
ini tidak diobati maka akan timbul komplikasi yaitu gangguan
tumbuh/short stature, gangguan perkembangan intelek (intelectual
disability/retardasi mental), gangguan pendengaran dan dekompensasi
kordis. Keterlambatan pemberian terapi setiap satu bulan akan
menurunkan IQ 1 poin.
2.2.2.6 Komplikasi
Penyakit yang sering muncul akibat hipotiroidisme adalah:
1. Koma Miksedema
Koma miksedema adalah situasi yang mengancam nyawa yang
ditandai oleh eksaserbasi (perburukan) semua gejala hipotiroidsme
termaasuk hipotermia tanpa menggigil, hipotensi, hipoglikemia,
hipoventilasi, dan penurunan kesadaran hingga koma. Kematian dapat
terjadi apabila tidak diberikan HT dan stabilisasi semua gejala
(Corwin, 2009).
2. Penyakit Hashimoto
Disebut tiroiditis otoimun, terjadi akibat otoantibodi yang
merusak jaringan tiroid. Ini menyebabkan penurunan HT disertai
peningkatan kadar TSH dan TRH akibat umpan balik negatif yang
minimal.
3. Gondok Endemic
Hipotiroid akibat ddeffisiensi iodium dalam makanan. ini
terjadi karena sel-sel tiroid menjadi aktif berlebihan dan hipertrofik
dalam usaha untuk menyerap semua iodium yang tersisa dalam darah.
Kadar HT yang rendah akan disertai kadar TSH dan TRH yang tinggi
karena minimnya umpan balik.

Page 60
4. Karsinoma Tiroid
Karsinoma tiroid dapat terjadi akibat terapi tiroidektomi,
pemberian obat penekan TSH atau terapi iodium radioaktif untuk
menghancurkan jaringan tiroid. Terapi-terapi tersebut akan
merangsang poliferasi dan hiperplasia sel tiroid.
5. Masalah Jantung
Hormon tiroid, terutama triiodothyronine (T3), mempengaruhi
jantung secara langsung dan tidak langsung. Mereka terkait erat
dengan denyut jantung dan output jantung. T3 memberikan manfaat
tertentu dengan relaksasi otot polos pembuluh darah dapat mengalir
lancar melalui pembuluh darah.
2.2.2.7 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Penegakan diagnosis hipotiroid kongenital adalah berdasarkan
gejala klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium. Apabila diagnosis hanya
didasarkan pada gejala klinis saja maka diagnosis akan terlambat 6-12
minggu atau lebih, sehingga diperlukan pemeriksaan laboratorium yang
mendukung.
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan antara lain pemeriksaan
darah rutin/darah perifer dan fungsi tiroid (TSH, T4 total/TT4 atau T4
bebas/fT4). Kadar TSH normal di bawah 20-25µU/ml setelah 24 jam
pertama kehidupan. Bila kadar TSH antara 25-50 µU/ml maka perlu
evaluasi lebih lanjut seperti kadar T4. Bila kadar TSH > 50 µU/ml
kemungkinan hipotiroid kongenital sangat besar. Kadar TSH yang sangat
tinggi dan kadar fT4 yang sangat rendah kebanyakan karena
atireosis/aplasia tiroid.
Anemia sering terjadi pada pasien hipotiroid dimana jenis anemia
normositik normokrom adalah paling sering, namun kadang juga bisa
mikrositik yang disebabkan karena penurunan absorpsi besi atau
makrositik karena defisiensi folat dan kobalamin. Gambaran sumsum
tulang tampak lemak lebih banyak dan hiposeluler, sedangkan eritropoesis
biasanya normoblastik. Pada anemia makrositik dan susmsum tulang

Page 61
megaloblastik perlu dipikirkan adanya penyakit autoimun sehingga
antibodi melawan sel parietal sebagaimana melawan kelenjar tiroid. Terapi
hormon biasanya cukup efektif.
Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis ditujukan untuk mengetahui beberapa
gejala dari hipotiroid misalnya adanya kardiomegali pada foto toraks, dan
umur tulang yang terlambat (delayed bone age).
Pemeriksaan Sidik Tiroid
Sintigrafi atau sidik tiroid menggunakan Tc99 atau I123 dapat
membantu dalam menentukan etiologi hipotiroid kongenital. Tidak adanya
uptake radionuclide memberikan kemungkinan sporadic athyroid
hipotiroidism, tiroid ektopik di lingual atau sublingual
Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi dapat digunakan sebagai pengganti sidik tiroid tapi
pemeriksaan ini tidak dapat menentukan adanya tiroid ektopik.

Gambar 5. Bagan Alur Skrining Hipotiroid Kongenital dan Tindak Lanjut


2.2.2.8 Tatalaksana

Page 62
Tindakan utama dalam tatalaksana pasien dengan hipotiroid
kongenital adalah diagnosis dini dan replacement therapy hormon tiroid.
Waktu yang paling baik untuk pemberian hormon tiroid adalah bila
diagnosis dapat ditegakkan sebelum bayi berumur 13 hari dan kadar
hormon tiroid dalam darah mencapi normal dalam umur 3 minggu. Namun
demikian beradasarkan pedoman IDAI retardasi mental dapat dicegah bila
hipotiroid ini ditemukan dan diobati sebelum usia 1 bulan. Dengan
meningkatkan kadar tiroksin di dalam tubuh maka akan membantu proses
mielinisasi susunan saraf pusat sehingga perkembangan fungsi otak dapat
dibantu khususnya dalam periode perkembangan otak (0-3 tahun).
Preparat yang diberikan adalah L-tiroksin. Adapun dosis yang
diberikan sesuai dengan usia pasien serta berdasarkan respon klinis
maupun laboratorium terhadap terapi yang diberikan.
Tabel 1. Dosis pemberian obat L-tiroksin berdasarkan usia
Usia Dosis (µg/kg/hari)
0-3 bulan 10-15
3-6 bulan 8-10
6-12 bulan 6-8
1-5 tahun 4-6
6-12 tahun 3-5
>12 tahun 2-4
Kemungkinan hipertiroid perlu diwaspadai pada pemberian awal
tiroid (dosis tinggi). Pemeriksaan yang perlu dilakukan secara berkala
antara lain fungsi tiroid (setiap bulan apabila terdapat perubahan dosis
terapi). Efek samping yang dapat muncul antara lain hiperaktif,
kecemasan, takikardia, palpitasi, tremor, demam, dan berat badan
menurun.
Apabila fase perkembangan kritis otak sudah dilalui, pemantauan
dapat dilakukan 3 bulan sekali dengan memperhatikan pertumbuhan linier,
berat badan, perkembangan motorik dan bahasa serta kemampuan
akademis untuk yang sudah bersekolah. Apabila terjadi regresi atau
stagnasi perkembangan, kepatuhan pengobatan perlu diselidiki.

Page 63
2.2.2.9 Prognosis
Diagnosis sedini mungkin dan terapi yang adekuat akan
memberikan hasil yang lebih baik. Namun demikian, studi menunjukkan
bahwa walaupun diterapi sedini mungkin akan tetap memiliki kelainan
intelektual meskipun hanya sedikit.

2.2.4 Asuhan Keperawatan Pada Pasien Yang Mengalami Gangguan


Hipotiroid
Teori Asuhan Keperawatan pada Pasien Hipotiroid
Pengkajian
1. Identitas klien
a. umur: kebanyakan terjadi pada usia tua yaitu antara umur 30-60 tahun
dan pada bayi pada hipotiroidisme kongenital
b. jenis kelamin: Hipotiroidisme lima kali lebih banyak diderita
oleh perempuan daripada laki-laki namun tidak menutup
kemungkinan dapat diderita oleh laki-laki
2. Keluhan utama klien
Keluhan utama klien mencakup gangguan pada berbagai sistem tubuh
a. Sistem pernapasan: dispneu atau merasa sesak saat beraktivitas, sleep
apneu
b. Sistem pencernaan: Pasien biasanya akan merasa tidak nafsu makan
atau anoreksia dan kesulitan untuk buang air besar (konstipasi)
c. Sistem kardiovaskuler: terjadi bradikardi
d. Sistem musculoskeletal: pasien akan merasakan nyeri otot, kesemutan,
dan gerak otot lambat
e. Sistem neurologik dan Emosi/psikologis: fungsi intelektual
lambat, berbicara lambat dan terbata – bata dan gangguan memori
f. Metabolik: penurunan metabolism basal yang menyebabkan
penurunan suhu tubuh dan intoleransi terhadap dingin
3. Riwayat penyakit saat ini
4. Riwayat penyakit dahulu
5. Riwayat kesehatan klien dan keluarga.

Page 64
6. Pemeriksaan fisik mencakup
a. Penampilan secara umum: amati wajah klien terhadap adanya edema
sekitar mata, wajah bulan dan ekspresi wajah kosong serta roman
wajah kasar. Lidah tampak menebal dan gerak-gerik klien sangat
lambat. Kulit kasar, tebal dan berisik, dingin dan pucat.
b. Aktivitas atau istirahat : pasien lebih banyak tidur, gerakan melambat,
berkurangnya reflek, kelemahan otot proksimal
c. Sirkulasi : bradikardia, gangguan kontraktilitas, penurunan curah
jantung, dan kardiomegali ( paling banyak disebabkan oleh efusi
perikard), anemia
d. Eliminasi :Penurunan kemampuan ekskresi kelebihan cairan cairan
dan hiponatremia, Penurunan peristaltik usus yang menyebabkan
konstipasi
e. Makanan / Cairan: Anoreksia, Peningkatan berat badan akibat
penurunan metabolisme
f. Neurosensori: lebih sering mengantuk, penurunan reflek otot,
kesemutan, dan gangguan memori, pusing
g. Pernapasan: sesak dengan aktivitas, gangguan respon ventilasi
terhadap hiperkapnia dan hipoksia, hipoventilasi, sleep apnea, dapat
ditemukan efusi pleura
h. Seksualitas: perubahan ovulasi, anovulasi, dan penurunan libido
(Subekti dan Purnamasari: 2007)
7. Pengkajian psikososial klien sangat sulit membina hubungan sasial dengan
lingkungannya, mengurung diri. Keluarga mengeluh klien sangat
malas beraktivitas, dan ingin tidur sepanjang hari. dapat dikaji bagaimana
konsep diri klien mencakup kelima komponen konsep diri
8. Pemeriksaan penunjang yaitu suatu pemeriksaan medis yang dilakuan atas
indikasi tertentu guna memperoleh ketarangan yang lebih lengkap.
Pemeriksaan penunjang pada kasus hipotyroid mencakup:
- Pemeriksaan thoraks,
- Pemeriksaan Hemoglobulin

Page 65
Pemeriksaan hemoglobin merupakan pemeriksaan yang cukup
akurat untuk menentukan keadaan anemia, yang diikuti dengan
pemeriksaan hematokrit dan juga pemeriksaan jumlah retikulosit. Pada
pasien yang menderita hipotiroid kadar HB nya akan lebih kecil dari
kadar HB normal.
- Pemeriksaan TSH, T3 dan T4
Thyroid stimulating hormone (TSH) adalah hormon yang dihasilkan
oleh hipofisa anterior. TSH berfungsi merangsang produksi hormon tiroid
seperti T4 dan T3 melalui reseptornya yang ada di permukaan sel tiroid.
Sintesis dari TSH ini dipengaruhi oleh thyrotropin releasing
hormone (TRH) yang dihasilkan oleh hypothalamus bila didapatkan kadar
hormon tiroid yang rendah di dalam darah. Bila kadar T3 dan T4
meningkat, produksi TSH akan ditekan sehingga akan terjadi penurunan
kadar T3 dan T4. Level TSH yang tinggi menunjukkan kelenjar tiroid
tidak menghasilkan hormon tiroid yg adekuat (terutama tiroksin(T4) dan
sedikit triiodotironin(fT3). (pada klien dengan hipotiroidisme primer
akan terjadi peningkatan TSH serum, sedangkan pada yang sekunder
kadar TSH dapat menurun atau normal). Tetapi, untuk mendiagnosis
hipotiroidisme sekunder dan tertier tidak dapat dgn hanya mengukur level
TSH. Oleh itu, uji darah yang perlu dilakukan (jika TSH normal dan
hipotiroidisme masih disuspek), sbb: free triiodothyronine (fT3), free
levothyroxine (fT4), total T3, total T4 dan 24 hour urine free T3.

Diagnosa
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan fungsi pernafasan.
2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan hipometabolisme, sekresi
hormon tiroid menurun.
3. Hipotermia berhubungan dengan hipometabolisme tubuh.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan gangguan metabolisme.
5. Gangguan eliminasi: defekasi berhubungan dengan penurunan
motilitas usus.
6. Resiko cedera berhubungan dengan penurunan tonus otot.

Kasus:
Ny. N 28 tahun dirawat dengan keluhan tidak ada nafsu makan sudah
seminggu ini, 1 porsi hanya habis 4 sendok, kesehariannya tidak suka makan yang
asin, suka sesak selama 4 hari yang lalu seperti tertekan benda berat dibagian dada

Page 66
skala 8-9 timbul saat bernafas beraktifitas, ada benjolan di leher depan dan nyeri
tekan, sering tidur larut malam karena urusan pekerjaan sejak 10 tahun yang lalu,
cepat lelah, tampak gelisah, rambutnya rontok sangat banyak setiap kali menyisir,
suaranya seminggu ini parau, kuku juga mudah rapuh, dia tidak mengerti kenapa
ini terjadi, kegiatan sehari-harinya sering dibantu oleh keluarga seperti makan,
minum, mandi karena cepat merasa kekah. Ketika diperiksa oleh perawat yang
bertugas pemeriksaan fisik didapat TD 90/60 mmHg, Nadi : 64 x/menit , suhu :
37,3oC, RR 25x/menit, dangkal terdapat wheezing. Miksedema: hasil rongen
thorax: efusi pleura. Hasil pemeriksaan laboratorium: HB: 8g/dl normal : wanita
12-16 gr/dl : pria 14-18gr/dl
T3 : 0,15mg/dl normal: 0,58-1,59 mg/dl
T4 : 0,2 µg/dl normal : 4,3-13,4mg/dl
TSH : 5,00 µlU/ml normal : 0,50-4,0 mIU/ml
Identitas Pasien:
Nama : Ny. N
Tempat, tanggal lahir : Surabaya, 23 Februari 1968
Umur : 45 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Berat badan : 40 kg
Tinggi badan : 160 cm
Suku : Jawa
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Status perkawinan : Menikah
Status Pendidikan : SLTA
Diagnosis medis : Hypotyroid
Riwayat Kesehatan:
 Keluhan utama: klien tidak ada nafsu makan sudah seminggu ini, suka
sesak selama 4 hari yang lalu seperti tertekan benda berat dibagian
dada skala 8-9 timbul saat bernafas beraktifitas, ada benjolan di leher
depan dan nyeri tekan, sering tidur larut malam karena urusan
pekerjaan sejak 10 tahun yang lalu, cepat lelah, tampak gelisah,

Page 67
rambutnya rontok sangat banyak setiap kali menyisir, suaranya
seminggu ini parau, kuku juga mudah rapuh, dia tidak mengerti
kenapa ini terjadi, tidak bisa melakukan kegiatan sehari-hari secara
mandiri.
 Riwayat penyakit sekarang: klien mengalami hipotiroid
 Riwayat penyakit terdahulu: Klien tidak memiliki riwayat penyakit
terdahulu tetapi klien sering tidur larut malam karena urusan
pekerjaan sejak 10 tahun yang lalu.
 Riwayat kesehatan keluarga: Keluarga klien tidak ada yang memiliki
penyakit hipotiroid.
Pemeriksaan Fisik:
a. Pola istirahat dan tidur: Klien sangat malas untu beraktivitas dan
ingin tidur sepanjang hari
b. System pencernaan: Lidah tampak menebal, nafsu makan
berkurang, anoreksia, peningkatan berat badan, konstipasi, distensi
abdomen.
c. System kardiovaskuler: Perbesaran jantung, distritmia, hipotensi,
nadi lambat, penurunan frekuensi denyut jantung, penurunan curah
jantung.
d. System musculoskeletal: Parastesia dan reflek tendon menurun,
gerak-gerik klien lamban, lemah, cepat lelah, sakit pada sendi dan
otot, gerkan yang canggung lamban.
e. System neurologic: Berbicara lambat, kelopak mata turun, wajah
bengkak, pusing, pucat, perlambatan daya piker, berbicara
lambatdan terbata-bata, gangguan memori, perhatian kurang,
letargi atau somnolen, bingung, hilang pendengaran.
f. System reproduksi: Terjadi perubahan menstruasi seperti amenore
atau masa menstruasi yang memanjang.
g. System integument: Kulit kasar, tebal dan bersisik, dingin dan
pucat, tidak ditahan terhadap dingin, pembengkakan dan edema
kulit, terutama dibawah mta dan di pergelangan kaki, pertumbuhan

Page 68
kuku buruk, kuku menebal, rambut kering, kasar, rontok dan
pertumbuhannya buruk .
h. Emosi/ psikologis: Klien sangat sulit membina hubungan sosial
dengan lingkungannya, mengurung diri, depresi, apatis, agitasi,
paranoid dan menarik diri.
i. Pemeriksaan fisik B1-B6
- B1 (Breathing)
a. Inspeksi:
· Bentuk dada normal diameter anteroposteriorndalam
proporsi terhadap diameter lateral 1:2
· Gerakan dinding dada dextra dan sinistra simetris
· Frekuensi pernapasan : 25x/menit, dangkal
· Tidak terdapat lesi dan kemerahan dipermukaan kulit
b. Palpasi :
· Tidak terdapat nyeri tekan di bagian dada
· Tidak terdapat emfisema subkutis
· Ekspansi dada anterior posterior terangkat, bergerak
bebas sesuai dengan irama pernapasan
· Fremitus vocal : getaran terasa oleh kedua telapak
tangan
· Taktil fremitus : bunyi dinding dada terdengar
c. Perkusi :
· Anterior dan posterior terdengar bunyi sonor
d. Auskultasi :
· Anterior thorax terdengar bunyi wheezing
· Terdengar bunyi bronchial diatas trakea
- B2(Blood)
a. Inspeksi:
· Tidak terdapat jaringan parut yang menandakan
adanya Luka post op pembedahan pada jantung
· Terdengar denyut apex pada ICS 5 1cm dari MCL
· Irama jantung : 64x/menit, regular

Page 69
b. Palpasi :
· tidak terdapat peningkatan JVP
· tidak terdapat thrill
· tekanan darah : 90/50 mmHg, hipotensi
c. Perkusi :
· Tidak terdapat pembesaran jantung
· Suara dullness pada area jantung
d. Auskultasi :
· BJ 1 : terdengar
· BJ 2 : terdengar
· S1 : terdengar keras
· S2 : mengeras
· S3 : -

-B3(Brain)
a. Pemeriksaan kepala dan leher
· Bentuk kepala : simetris
· Leher : terdapat benjolan
· Rambut rontok sangat banyak tiap kali menyisir
rambut
b. Pemeriksaan raut muka
· Bentuk muka : bulat, lonjong dan sebagainya
· Ekspresi wajah tampak meringis kesakitan
· Muka pucat (anemia)
c. Pemeriksaan bibir
· Bibir : mukosa bibir kering, tidak sianosis
d. Pemeriksaan neurosensori
· Kesadaran : composmentis
· Keadaan umum : lemah
· GCS : E:4 V:5 M:6
e. Pemeriksaan saraf cranial
· Saraf I (Olfaktorius Nerve)

Page 70
o Pasien dapat membedakan aroma kopi dan teh
· Saraf II (Optikus Nerve)
o Penglihatan 6/100
· Saraf III, IV, VI (okulomotorius Nerve, Toklearis
Nerve dan Abdusen Nerve)
o Gerakan palpebra : normal, dapat memejamkan
mata dan membuka mata
o Pupil : pupil : isokor, reflek terhadap cahaya,
diameter (kanan dan kiri) ±3 mm
· Saraf V (trigeminus Nerve)
o Fungsi motorik nerve trigeminus : otot – otot
dapat berkoordinasi saat mengunyah
· Saraf VII ( facialis )
o Inspeksi wajah : simetris
o Ekspresi wajah : meringis kesakitan
· Saraf VIII ( Vestibulokoklearis)
o Pendengaran : dapat mendengar
o Fungsi vestibular : berdiri tegak dan berjalan
seimbang
· Saraf IX dan X ( glosofaringeus Nerve dan Vagus
Nerve)
o Mekanisme menelan : proses menelan normal
tidak ada nyeri telan
· Saraf XI ( aksesorius Nerve)
o Inspeksi fungsi otot : otot
sternokleidomatoidesus dan otot trapedius berfungsi
dengan normal
· Saraf XII ( Hiplogosus Nerve)
o Lidah : semetris, dapat bergerak, dapat
mengucapkan artikulasi dengan jelas
-B4(Bladder)
a. Inspeksi :

Page 71
· Tidak terpasang kateter
· Urine : warna kuning kecoklatan, ±1500cc/hari
· Tidak terdapat distensi kandung kemih
b. Palpasi :
· Tidak terdapat nyeri tekan di daerah pubica
-B5(Bowel)
a. Inspeksi :
· Perut datar, tidak ada lesi, warna kulit sama dengan
sekitanya
· Rongga mulut : tidak ada lesi
· Tidak terpasang NGT
· Tidak nafsu makan, mual. porsi hanya habis 4
sendok
· Muntah banyak sekali kurang lebih 5 kali sehari
b. Palpasi :
· Abdomen tidak asites
· Nyeri tekan pada abdomen kuadran kiri atas, daerah
epigastrium di bawah processus xipoideus skala
c. Perkusi :
· Suara tympani di seluruh bagian abdomen, pekak
pada area hepar
d. Auskultasi :
· Peristaltic usus : 4x/menit, durasi 4 detik, interval
teratur
-B6(Bone)
a. Inspeksi :
Ekstremitas atas : terpasang infuse RL 20 tpm
Ekstremitas bawah : tidak terpasang alat bantu
Turgor kulit : normal
Kekuatan otot:
4 4
4 4

Page 72
b. Palpasi :
Tidak terdapat odeme
Pemeriksaan Penunjang
1. Miksedema
2. Rongen thorax: efusi pleura.
3. Hasil pemeriksaan laboratorium:
- HB: 8g/dl normal : wanita 12-16 gr/dl : pria 14-18gr/dl
- T3 : 0,15mg/dl normal: 0,58-1,59 mg/dl
- T4 : 0,2 µg/dl normal : 4,3-13,4mg/dl
- TSH : 5,00 µlU/ml normal : 0,50-4,0 mIU/ml

Data Fokus:

Data Subjektif Data Objektif


1. Klien mengeluh tidak ada nafsu 1. Tanda-tanda vital:
makan selama seminggu terakhir, 1 TD : 90/60 mmHg
porsi hanya habis 4 sendok. Nadi : 64 x/menit
2. Klien mengeluh mengalami sesak Suhu : 37,3oC
nafas seperti tertekan benda berat RR: 25x / menit
dibagian dada skala 8-9 timbul saat 2. Miksedema
bernafas beraktifitas 3. Nafas klien dangkal dan terdapat
3. Klien mengeluh rambutnya rontok wheezing.
sangat banyak ketika disisir 4. Hasil rongent thorax : efusi pleura
4. Klien mengatakan suaranya parau 5. Klien terlihat mengalami
selama seminggu terakhir. perlambatan daya pikir
5. Klien mengatakan kukunya mudah 6. Klien terlihat sesak dan
rapuh menggunakan otot bantu nafas dan
6. Klien tidak mengerti mengapa ini memegangi dada
bisa terjadi 7. Klien terlihat cemas dan gelisah
7. Klien mengeluh suka merasa dingin 8. Klien terlihat lemah, cepat Lelah
walaupun udara dilingkungan dan pucat
sangat panas. 9. Kulit klien teraba kasar, tebal,

Page 73
8. Klien mengeluh nyeri tekan pada bersisik, dingin, dan pucat
pada benjolan di leher 10. Klien terlihat mengalami gangguan
9. Klien sering tidur larut malam memori
karena urusan pekerjaan sejak 10 11. Terdapat benjolan pada leher klien
tahun yang lalu 12. Hasil pemeriksaan laboratorium:
10. Klien mengeluh cepat lelah. - HB: 8g/dl normal : wanita 12-
11. Klien mengatakan tidak bisa 16 gr/dl : pria 14-18gr/dl
melakukan kegiatan sehari-harinya - T3 : 0,15mg/dl normal: 0,58-
secara mandiri 1,59 mg/dl
- T4 : 0,2 µg/dl normal : 4,3-
13,4mg/dl

Analisa Data:
DATA MASALAH ETIOLOGI
DS: Pola nafas tidak efektif Depresi ventilasi
1. Klien mengeluh mengalami sesak
nafas seperti tertekan benda berat
dibagian dada skala 8-9 timbul
saat bernafas dan beraktivitas
2. Klien mengatakan suaranya parau
selama seminggu terakhir.

DO:
1. Tanda-tanda vital:
TD : 90/60 mmHg
Nadi : 64 x/menit
Suhu : 37,3oC
RR : 25 x/menit dangkal
Memiliki suara tambahan wheezing
3. Hasil rongent thorax : efusi pleura
4. Klien terlihat menggunakan otot

Page 74
bantu nafas dan memegangi dada
5. Klien terlihat cemas dan gelisah
6. Terdapat benjolan pada leher
klien

DS: Penurunan curah jantung Degenerasi otot jantung


1. Klien mengeluh mengalami sesak (miokarditis)
nafas
2. Klien mengatakan suaranya parau
selama seminggu terakhir.
3. Klien mengeluh cepat lelah.

DO:
4. Tanda-tanda vital:
TD : 90/60 mmHg
Nadi : 64 x/menit
Suhu : 37,3oC
RR : 25 x/menit
5. Hasil rongent thorax : efusi pleura
6. Klien terlihat memegangi dada
7. Klien terlihat cemas dan gelisah
8. Klien terlihat lemah, cepat Lelah
dan pucat
DS: Perubahan nutrisi kurang Peningkatan metabolism
1. Klien mengeluh tidak ada nafsu dari kebutuhan
makan selama seminggu terakhir
2. Klien mengeluh rambutnya
rontok sangat banyak ketika

Page 75
disisir
3. Klien mengatakan kukunya
mudah rapuh
4. Klien mengeluh nyeri tekan pada
pada benjolan di leher sehingga
klien mengalami kesulitan
menelan
DO:
1. Tanda-tanda vital:
TD : 90/60 mmHg
Nadi : 64 x/menit
Suhu : 37,3oC
2. Hasil rongent thorax : efusi pleura
3. Klien terlihat lemah, cepat Lelah
dan pucat
4. Kulit klien teraba kasar, tebal,
bersisik, dingin, dan pucat
5. Terdapat benjolan pada leher
klien yang menyebabkan klien
kesulitan menelan
DS: Intolerensi aktifitas Penekanan produksi H.
1. Klien sering tidur larut malam Tyroid dan kelemahan
karena urusan pekerjaan sejak 10
tahun yang lalu
2. Klien mengeluh cepat lelah
3. Klien mengatakan tidak bisa
melakukan kegiatan sehari-
harinya secara mandiri
DO:
1. Tanda- tanda vital
TD : 90/60 mmHg
Nadi : 64 x/menit

Page 76
Suhu : 37,3oC
RR : 25 x/menit dangkal
2. Klien terlihat lemah, cepat
Lelah dan pucat.
3. HB: 8g/dl normal : wanita 12-
16 gr/dl
4. Kekuatan otot
4 4
4 4

Diagnosa Keperawatan:

Page 77
No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

1. Ketidakefektifan pola Setelah dilakukan tindakan Monitor Pernafasan ( 3350 )


nafas berhubungan dengan keperawatan selama 3 x 24 jam 1. Monitor kecepatan,
penurunan ventilasi diharapkan masalah keperawatan pola irama, kedalaman, dan
napas tidak efektif dapat teratasi kesulitan bernafas
(Domain 4, kelas 4, kode dengan kriteria hasil : Rasional: Memonitor dapat
00032) mengetahui apakah pasien sudah
Status Pernafasan: Ventilasi (0403) tidak mengalami sesak nafas
Definisi : 1 Frekuesi pernafasan kembali 2. Catat pergerakan dada,
Inspirasi dan/atau normal yaitu mencapai 18-22 catat ketidaksimetrisan,
ekspirasi yang tidak x/menit dan tidak lagi penggunaan otot-otot
memberi ventilasi yang mengalami sesak bantu nafas, dan retraksi
adekuat. 2 Irama pernafasan kembali pada otot suplaclaviculas
normal dan tidak lagi dan intercostal
mengalami sesak Rasional: Memonitor dapat
3 Klien tidak lagi menggunakan mengetahui perkembangan
otot bantu nafas pasien tidak lagi mengalami otot
4 Suara auskultasi nafas pasien bantu nafas lagi pada saat pasien
kembali normal bernafas
3. Monitor keluhan sesak
Tingkat Nyeri (2102) nafas pasien, termasuk
1 Tidak ada nyeri yang kegitan yang
dilaporkan lagi oleh klien. meningkatkan atau
2 Klien tidak lagi mengalami memperburuk sesak nafas
kehilangan nafsu makan. tersebut
3 Frekuensi nafas klien kembali Rasional: Memonitor dapat
normal mengetahui perkembangan
4 Tekanan darah klien kembali apakah pasien sudah tidak
normal yaitu 120/80 mmHg mengalami sesak nafas
4. Monitor hasil foto thoraks

Page 78
Rasional: monitor dapat
mengetahui perkembangan pada
thoraks pasien.
5. Memonitor suara nafas
tambahan seperti
ngorok/mengi
Raional: Memantau
perkembangan tidak adanya
suara nafas tambahan yang
sebelumnya di alami pasien

Monitor tanda-tanda vital


(6680)
1. Monitor darah, nadi,
suhu, dan status
pernafasan dengan tepat
Rasional: Memonitor
perkembangan darah, nadi, dan
status pernefasan klien.
2. Identifikasi penyebab
perubahan tanda-tanda
vital
Rasional: identifikasi penyebab
dapat memudahkan perawat agar
pasien dapat menghindari
penyebab perubahan tanda-tanda
vital pasien
3. Memonitor irama dan laju
pernafasan
Rasional: monitor irama dan laju
pernafasan dapat mengetahui
perkembangan pernafasan klien

Page 79
melalui perubahan tanda-tanda
vital klien

Manajemen Nyeri (1400)


1. Menggali Bersama pasien
factor-faktor yang dapat
menurunkan atau
memperberat nyeri
Rasional: gali Bersama pasien
mengenai factor-faktor agar
perawat mengetahui factor yang
dating dari pasien.
2. mengajarkan prinsip-
prinsip manajemen nyeri
Rasional: mengajarkan pasien
agar pasien dapat mengatasi
nyeri secara mandiri
3. Mendorong pasien untuk
memonitor nyeri dan
menangani nyeri dengan
tepat .
Rasional: Mendorong pasien
dalam melakukan hal tersebut
agar pasien dapat merawat dan
manajemen nyerinya secara
mendiri.
4. Menentukan kebutuhan
frekuensi untuk
melakukan pengkajian
ketidaknyamanan pasien
dan
mengimplementasikan

Page 80
rencana monitor
Rasional: Perawat memonitor
ketidaknyamanan pasien dengan
nyerinya sehingga perawat dapat
memberikan kenyamanan kepada
pasien untuk mengatasi nyerinya.
2. Penurunan curah jantung Setelah dilakukan tindakan Monitor Pernafasan ( 3350 )
berhubungan dengan keperawatan selama 3 x 24 jam 1. Monitor kecepatan,
bradikardia diharapkan masalah keperawatan irama, kedalaman, dan
penurunan curah jantung pasien dapat kesulitan bernafas
(domain 4, kelas 4, kode teratasi dengan kriteria hasil : Rasional: Memonitor dapat
00029) mengetahui apakah pasien sudah
Tingkat Kecemasan (1211) tidak mengalami sesak nafas
Definisi: 1 Pasien tidak lagi mengalami 2. Catat pergerakan dada,
Ketidakadekuatan darah perasaan gelisah catat ketidaksimetrisan,
yang dipompa oleh 2 Pasien tidak lagi penggunaan otot-otot
jantung untuk memenuhi menyampaikan perasaan bantu nafas, dan retraksi
kebutuhan metabolok cemasnya secara lisan pada otot suplaclaviculas
tubuh 3 Perubahan pada pola makan dan intercostal
pasen kembali normal Rasional: Memonitor dapat
mengetahui perkembangan
Tingkat Kelelahan (0007) pasien tidak lagi mengalami otot
1. Pasien tidak lagi bantu nafas lagi pada saat pasien
mengalami kelelahan bernafas
2. Pasien tidak lagi 3. Monitor keluhan sesak
mengalami kehilangan nafas pasien, termasuk
selera makan kegitan yang
3. Fungsi Tiroid pasien meningkatkan atau
kembali normal memperburuk sesak nafas
tersebut
Status Pernafasan (0415) Rasional: Memonitor dapat
1. Frekuesi pernafasan mengetahui perkembangan

Page 81
kembali normal dengan apakah pasien sudah tidak
RR mencapai normal mengalami sesak nafas
yaitu 18-22 x/menit dan 4. Monitor hasil foto thoraks
tidak lagi mengalami Rasional: monitor dapat
sesak mengetahui perkembangan pada
2. Irama pernafasan thoraks pasien.
kembali normal dan 5. Memonitor suara nafas
tidak lagi mengalami tambahan seperti
sesak ngorok/mengi
3. Kepatenan jalan nafas Raional: Memantau
tidak terganggu dan perkembangan tidak adanya
kembali normal suara nafas tambahan yang
4. Suara auskultasi nafas sebelumnya di alami pasien
pasien kembali normal
Monitor tanda-tanda vital
Tanda-Tanda Vital (0802) (6680)
1. Tingkat pernafasan pasien 1. Monitor darah, nadi,
kembali normal suhu, dan status
2. Irama pernafasan pasien pernafasan dengan tepat
kembali normal Rasional: Memonitor
3. Tekanan darah diastolic pasien perkembangan darah, nadi, dan
kembali normal status pernefasan klien.
4. Tekanan darah sistolik pasien 2. Identifikasi penyebab
kembali normal perubahan tanda-tanda
vital
Keefektifan Pompa Jantung (0400) Rasional: identifikasi penyebab
1. Tekanan darah sistol pasien dapat memudahkan perawat agar
kembali normal pasien dapat menghindari
2. Tekanan darah diastole pasien penyebab perubahan tanda-tanda
kembali normal vital pasien
3. Kelelahan yang dirasakan 3. Memonitor irama dan laju
pasien hilang pernafasan

Page 82
4. Pasien tidak lagi mengalami Rasional: monitor irama dan laju
pucat. pernafasan dapat mengetahui
perkembangan pernafasan klien
melalui perubahan tanda-tanda
vital klien

Manajemen Nyeri (1400)


1. Menggaliali Bersama
pasien factor-faktor yang
dapat menurunkan atau
memperberat nyeri
Rasional: gali Bersama pasien
mengenai factor-faktor agar
perawat mengetahui factor yang
dating dari pasien.
2. Ajarkan prinsip-prinsip
manajemen nyeri
Rasional: mengajarkan pasien
agar pasien dapat mengatasi
nyeri secara mandiri
3. Mendorong pasien untuk
memonitor nyeri dan
menangani nyeri dengan
tepat .
Rasional: Mendorong pasien
dalam melakukan hal tersebut
agar pasien dapat merawat dan
manajemen nyerinya secara
mendiri.
4. Menentukan kebutuhan
frekuensi untuk
melakukan pengkajian

Page 83
ketidaknyamanan pasien
dan
mengimplementasikan
rencana monitor
Rasional: Perawat memonitor
ketidaknyamanan pasien dengan
nyerinya agar perawat dapat
memberikan kenyamanan kepada
pasien untuk mengatasi nyerinya.

Perwatan Jantung ( 3350 )


1. Memonitor tanda-tanda
vital secara rutin.
Rasional: Melihat
perkembangan jantung melalui
tanda-tanda vital pasien
2. Mencatat tanda dan gejala
penurunan curah jantung
Rasional: Tanda dangejala
apabila diketahui lebih awal akan
mendapatkan penanganan lebih
cepat.
3. Evaluasi perubahan
tekanan darah
Rasional: Tekanan darah pasien
mempengaruhi penurunan curah
jantung pasien.
4. Memonitor sesak nafas,
kelelahan, takipnea, dan
orthopnea
Rasional: Memantau
perkembangan kesehatan dan

Page 84
pengurangan keluhan pasien.

3 Ketidakseimbangan Setelah dilakukan tindakan Manajemen gangguan makan


nutrisi: kurang dari keperawatan selama 3 x 24 jam (1030)
kebutuhan tubuh diharapkan masalah keperawatan 1. Mendorong klien
berhubungan dengan ketidakseimbangn nutrisi pasien dapat untuk mendiskusikan
kurang minat pada teratasi dengan kriteria hasil : makanan yang
makanan Status Nutrisi (1004) disukai dengan ahli
1. Asupan gizi pasien kembali gizi
(domain 2, kelas 1, kode terpenuhi Rasional: Dengan makanan yang
00002) 2. Asupan makanan pasien disukai klien memungkinkan
kembali terpenuhi klien dapat memiliki nafsu
Definisi: 3. Asupan cairan pasien kembali makan untuk memenuhi asupan
Asupan nutrisi tidak cukup terpenuhi makanan klien.
untuk memenuhi 4. Pasien memiliki energi yang 2. Memonitor tanda-
kebutuhan metabolic. adekuat tanda fisiologis
5. Rasio berat badan/ tinggi bada (tanda-tanda vital,
kembali normal elektrolit)
Rasional: memonitor untuk
Nafsu Makan (1014) mengetahui perkembangan
1. Hasrat keinginan pasien untuk nutrisi klien
makan tidak terganggu lagi 3. Memonitor perilaku
2. Intake makanan pasien adekuat klien yang
3. Intake nutrisi pasien adekuat berhubungan denga
4. Intake cairan pasien adekuat pola makan,
5. Rangsangan pasien untuk penambahan dan
makan tidak terganggu kehilangan berat
badan.
Tingkat Nyeri (2102) Rasional: Memonitor dapat
1 Tidak ada nyeri yang mengetahui perkembangan
dilaporkan lagi oleh klien. asupan makanan atau pola

Page 85
2 Klien tidak lagi mengalami makanan klien dan
kehilangan nafsu makan. penambahan/penurunan berat
3 Intoleransi makanan kembali badan klien.
normal. 4. Monitor berat badan
klien secara rutin
Rasional: memonitor dapar
mengetahui perkembangan berat
badan klien.

Pemberian Makan (1050)


1. Ciptakan lingkungan
yang menyenangkan
selama makan
Rasional: ciptakan lingkungan
menyenangkan dapart
membangkitkan minat pasien
untuk makan.
2. Menyediakan pereda
nyeri yang adekuat
sebelum makan dengan
tepat
Rasional: memberikan Pereda
nyeri saat makan membantu
pasien makan dengan lahap tanpa
merasa adanya nyeri
3. Mengatur makanan
sesuai dengan
kesenangan pasien
Rasional: meningkan selera
makan pasien.
4. Memberikan air minum
pada saat makan.

Page 86
Rasional: mengantisipasi jika
pasien mengalami kesusahan
menelan.
5. Menyuapi pasien tanpa
terburu-buru/ pelan
Rasional: Dengan menyuapi
secara pelan-pelan Pasien dapat
terhindar dari nyeri yang dialami.

Monitor Nutrisi (1160)


1. Monitor turgor kulit dan
mobilitas
Rasional: Memantau
perkembangan pemberian nutrisi
kepada pasien melalui monitor
turgor kulit pasien
2. Identifikasi adanya
abnormalitas rambut
(missal, kering, tipis,
kasar, dan mudah patah)
Rasional: Mengetahui penyebab
terjadinya abnormalitas rambut
3. Identifikasi perubahan
nafsu makan dan aktivitas
akhir-akhir ini
Rasional: Mengetahui Penyebab
pasien mengalami kehilangan
nafsu makan
4. Identifikasi adanya
ketidaknormalan kuku
(missal., retak, terpisah,
pecah, rapuh dan kaku)

Page 87
Rasional: Mengidentifikasi
keparahan kebutuhan nutrisi
pasien melalui ketidaknormalan
kuku.
4. Intoleran aktivitas Setelah dilakukan tindakan Terapi Aktivitas (4310)
berhubungan dengan keperawatan selama 3 x 24 jam 1. Membnantu klien untuk
keletihan. diharapkan masalah keperawatan mengidentifikasi aktivitas
intoleransi aktivitas dapat teratasi yang didinginkan
(domain 4, kelas 4, kode dengan kriteria hasil : Rasional: Membatasi aktivitas
00092) Toleransi Terhadap Aktivitas klien dan mengidentifikasi
1. Frekuensi pernafasan pasien aktivitas klien untuk menghindari
Definisi: ketika beraktivitas kembali kelelahan pada klien.
Ketidakcukupan energi normal 2. Membantu klien dan
psikologis atau fisologis 2. Pasien mengalami kemudahan keluarga untuk
untuk mempertahankan bernapas ketika beraktivitas mengidentifikasi
atau menyelesaikan Tekanan darah sistolik pasien ketika kelemahan dalam level
aktivitas kehidupan sehari- beraktivitas kembali normal aktivitas tertentu
hari yang harus atau yang Membatasi aktivitas klien sesuai Rasional: Membatasi aktivitas
ingin dilakukan dengan kemampuan klien. klien sesuai dengan kemampuan
3. Tekanan darah diastolic pasien klien.
ketika beraktivitas kembali 3. Memonitor reson emosi,
normal fisik, sosial, dan spiritual
4. Pasien mengalami kemudahan terhadap aktivitas
dalam melakukan aktivitas Rasional: Melihat
hidup harian. perkembangan dan respon pasien
Tingkat Kelelahan (0007) secara keseluruhan pada saat
1 Pasien tidak lagi melakukan aktivitas.
mengalami kelelahan 4. Membantu dengan
2 Pasien tidak lagi aktivitas fisik secara
mengalami kehilangan teratur (misalnya.,
selera makan ambulasi,
3 Fungsi Tiroid pasien transfer/berpindah,

Page 88
kembali normal berputar dan kebersihan
4 Pasien dapat melakukan diri), sesuai dengan
kegiatan sehari-hari tanpa kebutuhan.
rasa lelah dan mandiri Rasional:
5 Kualitas tidur pasien Meningkatkan/mengembalikan
kembali normal kemampuan pasien dalam
melakukan aktivitasnya secara
Perawatan Diri: Aktivitas sehari- mandiri
hari (0300) Bantuan Perawatan Diri (1800)
1. Pasien dapat melakukan 1. Memerikan bantuan
kegiatan mandi sendiri sampai pasien mampu
2. Pasien dapat melakukan melakukan perawatan diri
kegiatan makan sendiri mandiri
3. Pasien dapat ke toilet dengan Rasional: Membantu dan
mandiri mengembalikan kemampuan
pasien dalam melakukan
aktivitasnya dan mengurangi
tingkat kelelahan pasien.
2. Memonitor kemampuan
perawatan diri secara
mandiri
Rasional: Memantau
perkembangan pasien mengenai
kemampuannya dalam
melakukan aktivitasnya
3. Mendorong pasien untuk
melakukan aktivitas
normal sehari-hari sampai
batas kemampuan pasien
Rasional: mengembalikan
kemampuan aktivitas pasien
secara mandiri sesuai dengan

Page 89
kemampuan pasien.
4. Mengajarkan keluarga
untuk mendukung
kemandirian dengan
membantu ketika pasien
tak mampu melakukan
perawatan diri.
Rasional: keluarga dapat
memberikan bantuan kepada
pasien sesuai dengan
kemampuan pasien.
Peningkatan Tidur (1850)
1. Menentukan pola
tidur/aktivitas pasien
Rasional: menjadwalkan pola
tidur pasien akan membantu
pasien untuk beristirahat dan
mengurangi kelelahannya
2. Memonitor/ mencatat
pola tidur pasien dan
jumlah jam tidur
Rasional: Memantau
perkembangan kualitas tidur
pasien
3. Memonitor pola tidur
pasien dan catat kondisi
fisik (misalnya., apnea
tidur, sumbatan jalan
nafas,
nyeri/ketidaknyamanan,
dan frekuensi buang air
kecil) dan psikologis

Page 90
(ketakutan/kecemasan)
keadaan yang menggangu
tidur.
Rasional: mengidentifikasi
penyebab dan
menghindari/mengatasi
penyebab terganggunya pola
tidur pasien
4. Memonitor partisipasi
dalam kegiatan yang
melelahkan selama
terjaga untuk mencegah
penat yang melelahkan.
Rasional: mengurangi aktivitas
pasien yang menyebabkan pasien
mengalami kelelahan dan
kesulitas untuk tidur dan
beristirahat.
5. Mengajarkan pasien dan
orang terdekat pasien
mengenai factor yang
berkontribusi terjadinya
gangguan pola tidur
(misalnya., fisiologis,
psikologis, pola hidup,
perubahan shift kerja
yang sering, perubahan
zona waktu yang cepat,
jam kerja yang panjang
dan berlebihan dan factor
lingkungan lainnya)
Rasional: memberi penjelasan

Page 91
kepada pasien mengenai factor
penyebab terganggunya pola
tidur sehingga pasien dapat
menghindari hal tersebut.

Evaluasi:
1. Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 1x24 jam,
pola jalan nafas pasien kembali normal.
2. Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 1x24 jam,
curah jantung pasien kembali normal.
3. Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 1x24 jam,
keseimbangan nutrisi pasien kembali normal.

Page 92
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sistem endokrin, dalam kaitannya dengan sistem saraf, mengontrol
dan memadukan fungsi tubuh. Kedua sistem ini bersama-sama bekerja untuk
mempertahankan homeostasis tubuh. Fungsi mereka satu sama lain saling
berhubungan, namun dapat dibedakan dengan karakteristik tertentu. Sistem
endokrin memiliki fungsi untuk mempertahankan hemoestatis, membatu
mensekresikan hormon-hormon yang bekerja dalam sistem persyarafan,
pengaturan pertumbuhan dan perkembangan dan kontrol perkembangan
seksual dan reproduksi.
Ditinjau dari segi ilmiah, diabetes mellitus merupakan penyakit
kelainan metabolic glukosa (molekul gula paling sederhana yang merupakan
hasil pemecahan karbohidrat) akibat defisiensi atau penurunan efektivitas
insulin.Kelenjar tiroid adalah salah satu dari kelenjar endokrin terbesar pada
tubuh manusia. Kelenjar ini dapat ditemui di bagian depan leher, sedikit di
bawah laring. Kelenjar ini berfungsi untuk mengatur kecepatan tubuh
membakar energi, membuat protein, dan mengatur sensitivitas tubuh terhadap
hormon lainnya. Kelenjar tiroid adalah kelenjar yang terletak di dalam leher
bagian bawah melekat pada tulang laringm sebelah kanan depan trakea, dan
melekat pada laring.

3.2 Saran
Tenaga profesi keperawatan perlu melakukan asuhan keperawatan
secara sistematis dan terorganisir demi meningkatkan layanan mutu
keperawatan dan profesionalitas sehingga menghasilkan praktik keperawatan
yang profesional.

Page 93
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association.(2014). Diagnosis and classification of diabetes


mellitus.Diabetes care, 37(Supplement 1), S81-S90.
Arndt, T., Jorns, A., Weiss, H., Tiedge, M., Hedrich, H.-J., Lenzen, S., et al.
(2013). A Variable CD3+ T-Cell Frequency in Peripheral Blood
Lymphocytes Associated with Type 1 Diabetes Mellitus Development in
the LEW.1AR1-iddm Rat. A Variable T-Cell Content in the LEW.1AR1-
iddm Rat volume 8, 1.
Darliana, D. (2017). MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN PADA
PASIEN DIABETES MELITUS. Idea Nursing Journal, 2(2), 132-136.
Deliana, M., Batubara, J. R., Tridjaja, B., & Pulungan, A. B. (2016).
Hipotiroidisme kongenital di bagian ilmu kesehatan anak RS
Ciptomangunkusumo Jakarta, tahun 1992-2002. Sari Pediatri, 5(2), 79-84.
Europan Heart Rhythm, Camm AJ, et al. (2010). Guidelines for the management
fibrillation: the Task Force for the Management of Atrial Fibrillation of
the European Society of Cardiology (ESC). Europan heart journal. 31:2
369-429.
Fatimah, R. N. (2015). DIABETES MELITUS TIPE 2. J MAJORITY, Vol 4.
Firmansyah, L. (2017). PENGUKURAN DOSIS EFEKTIF ORGAN TYROID
DAN MATA PADA PEMERIKSAAN MAMMOGRAFI. Sainstek: Jurnal
Sains dan Teknologi, 8(1), 31-37.
Garnita, D. (2012). FAKTOR RISIKO DIABETES MELITUS DI INDONESIA.
Skripsi, 26-34.
Heriyannis Homenta, d. (2012). Diabetes Melitus Tipe 1. 1-16.
Kania, T., & Tasmini, M. K. (2014). HUBUNGAN ANTARA KADAR TSH
SERUM DAN INDEKS MASSA TUBUH PADA WANITA USIA SUBUR
DENGAN HIPOTIROID DI KABUPATEN PURWOREJO JAWA
TENGAH (Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada).
Mortensen HB, e. a. (2010). Multinational study in children and adolescents with
newly diagnosed type 1 diabetes: association of age, ketoacidosis, HLA

Page 94
status, and autoantibodies on residual beta-cell function and glycemic
control 12 months after diagnosis. Pediatric Diabetes, 218-226.
Mustika Watie, E. L. V. I. R. A. (2007). Asuhan Keperawatan pada Tn. H dengan
gangguan sistem endokrin: Diabetes Mellitus di Bangsal Sindoro RSU
Pandan Arang Boyolali (Doctoral dissertation, Universitas
Muhammadiyah Surakarta).
Putra, B. F. K. (2017) Fibrilasi Atrium pada Hipertiroid.
Rani, J., Mittal, I., Pramanik, A., Singh, N., Dube, N., Sharma, S., et al. (2017).
T2DiACoD: A Gene Atlas of Type 2 Diabetes Mellitus Associated
Complex Disorders. Scientific Reports, 1.
Suriani, N. (2012). Gangguan Metabolisme Karbohidrat pada Diabetes Melitus. 1-
17.

Page 95

Anda mungkin juga menyukai