Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

DELIRIUM

DISUSUN OLEH
Silvia Laurents
1102014248

PEMBIMBING
dr. Dharmawan, spKJ

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran


Universitas Yarsi Rumah Sakit Jiwa Soeharto Heerdjan
Periode 15 Oktober – 17 November 2018

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan refrat ini. Referat ini ditulis
untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik di Rumah Sakit Jiwa Soeharto Heerdjan.
Dalam referat ini akan dibahas mengenai Delirium. Tinjauan pustaka pada
referat ini menggunakan berbagai sumber kepustakan. Penulis berharap referat ini
dapat memenuhi memberikan manfaat berupa pengetahuan kepada pembaca.
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu
dalam penyusunan referat ini, khususnya kepada pembimbing, yaitu dr. Dharmawan,
spKJ yang telah banyak memberikan arahan dan masukan guna melengkapi penulisan
referat ini.
Penulisan menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna dan
memiliki banyak keterbatasan. Oleh sebab itu penyusun menerima segala kritik dan
saran yang membangun. Akhir kata semoga referat ini dapat berguna bagi penulis
mupun pembaca sekalian.

Jakarta, 31 Oktober 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ......................................................................................................... i


Daftar Isi ................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 5
2.1. Delirium ......................................................................................... 5
2.1.1. Definisi Delirium ................................................................... 5
2.1.2. Epidemiologi Delirium .......................................................... 6
2.1.3. Etiologi Delirium ................................................................... 6
2.1.4. Patofisiologi Delirium ........................................................... 7
2.1.5. Menifestasi Klinik Delirium ................................................. 8
2.1.6. Diagnosis Delirium ............................................................... 9
2.1.7. Diagnosis Banding Delirium ................................................ 18
2.1.8. Pencegahan Delirium .............................................................. 18
2.1.9. Tatalaksana ............................................................................ 19
2.1.10.Prognosis .............................................................................. 21
BAB III PENUTUP ............................................................................................ 23
3.1.1. Kesimpulan ............................................................................ 23
Daftar Pustaka ....................................................................................... 24

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Delirium merupakan salah satu jenis Gangguan Mental Organik (GMO) yang
sering dijumpai dalam klinik. Dalam DSM-IV-TV sudah tidak ditemui lagi dan
diubah menjadi Gangguan Kognitif dimana gangguan kognititf tersebut terdiri dari
Delirium, Demensia dan Gangguan Amnesia (Budiman R, 2017). Delirium
merupakan suatu sindrom serebral organik dengan penyebab yang tidak spesifik,
dimana karakteristiknya berupa gangguan fungsi kesadaran, atensi, persepsi, berpikir,
memori, psikomotor, emosi, serta pola tidur bangun (LA Steiner, 2011).
Delirium dapat ditandai dengan perubahan status mental, kesadaran, dan juga
perhatian yang bersifat akut serta fluktuatif. Delirium memiliki insiden yang tinggi
pada pasien dengan penyakit kritis (contohnya Gagal ginjal kronik atau GGK) (LA
Steiner, 2011) (AMA, 2006) (D Cornor dkk, 2011). Delirium pascaoperasi adalah
perubahan akut pada karakteristik kognisi dengan fluktuasi kesadaran serta kurangnya
perhatian dalam 30 hari sedangkan delirium emergensi memiliki karakteristik yang
sama hanya saja segera terjadi pada fase pemulihan dari anastesia (LA Steiner, 2011).
Delirium merupakan perjalanan yang serius yang berhubungan dengan pemanjangan
lama perawatan di ruang rawat intensif/ rumah sakit, biaya yang lebih tinggi,
memperlambat pemulihan fungsional, dan peningkatan morbiditas serta mortilitas.
Tanda yang berfluktuasi yang menyebabkan delirium sulit diketahui. Satu penelitian
menunjukan bahwa dokter tidak mendiagnosis delirium pada 32% pasien delirium
dan yang lainnya mendiagnosis delirium sebagai depresi sebanyak 40%. Beberapa
bentuk menunjukan gambaran hiperaktif (agitasi, takikardi, dan gemetar), hipoaktif
(tenang, pasif) dan campuran (LA Steiner, 2011) (AMA, 2006) (D Cornor dkk, 2011).
Terlepas dari fakta bahwa delirium adalah pengalaman yang tidak
menyenangkan bagi pasien dan keluarga, tenaga medis juga menyadari konsekwensi
yang terjadi, bukan hanya lama perawatan yang memanjang, tetapi masalah pasca
pemulangan dari rumah sakit, defisit kognitif jangka panjang, dan mortalitas harus
dipertimbangkan. Risiko terjadi delirium di interpretasikan sebagai pengaruh dari
faktor predisposisi dan faktor presipitasi. Pasien dengan beberapa atau tanpa faktor
predisposisi akan terjadi delirium hanya bila terdapat faktor presipitasi yang kuat,
4
sedangkan pasien dengan beberapa faktor predisposisi akan terjadi delirium setelah
ada faktor presipitasi yang ringan saja. Terdapat faktor protektif yang dapat melawan
faktor predisposisi atau pengaruh kuat dari presipitasi (LA Steiner, 2011) (D Cornor
dkk, 2011).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Delirium
2.1.1. Definisi Delirium
Delirium, suatu kondisi akut penurunan perhatian dan disfungsi kognitif,
merupakan sindrom klinis yang umum, mengancam hidup, dan dapat dicegah;
umumnya terjadi pada individu berusia 65 tahun atau lebih (Inouye SK, 2006).
Sindrom delirium dapat didefinisikan sebagai kegagalan otak akut yang berhubungan
dengan disfungsi otonom, disfungsi motorik, dan kegagalan homeostasis kompleks
dan multifaktorial, sering tidak terdiagnosis dan ditangani dengan buruk (Wass S dkk,
2008).

Kata “delirium” awalnya digunakan dalam dunia medis untuk


menggambarkan gangguan mental selama demam atau cedera kepala, kemudian
berkembang menjadi pengertian yang lebih luas, termasuk istilah “status konfusional
akut”, “sindrom otak akut”, “insufisiensi serebral akut”, “ensefalopati toksik-
metabolik”. Seiring waktu, istilah delirium berkembang untuk menjelaskan suatu
kondisi akut transien, reversibel, berfluktuasi, dan timbul pada kondisi medis tertentu
(Fong TG dkk, 2009).

Sindrom delirium sering muncul sebagai keluhan utama atau tak jarang justru
terjadi pada hari pertama pasien dirawat, menunjukkan gejala berfluktuasi yang tidak
khas. Setidaknya 32-67% sindrom ini tidak terdiagnosis oleh dokter, padahal kondisi
ini dapat dicegah (Soejono CH, 2009).

5
2.1.2. Epidemiologi Delirium
Prevalensi delirium pada awal rawatan rumah sakit berkisar antara 14-24%,
dan kejadian delirium yang timbul selama masa rawat di RS berkisar antara 6-56% di
antara populasi umum rumah sakit. Delirium timbul pada 15-53% pasien geriatri
pascaoperasi dan 70-87% pasien yang dirawat di ruang rawat intensif. Delirium
dijumpai pada hingga 60% pasien rumah rawat atau kondisi perawatan pasca-akut,
dan hingga 83% pasien pada akhir hidupnya. Walaupun prevalensi delirium secara
keseluruhan pada komunitas hanya berkisar 1-2%, namun prevalensi meningkat
seiring bertambahnya umur, hingga 14% pada pasien berusia 85 tahun atau lebih.
Lebih lanjut, pada 10-30% pasien geriatri yang datang ke departemen gawat darurat,
delirium merupakan gejala yang menggambarkan kondisi membahayakan jiwa
(Inouye SK, 2006).
Di Indonesia, prevalensi delirium di ruang rawat akut geriatri RSCM adalah
23% pada tahun 2004, sedangkan insidensnya mencapai 17% pada pasien rawat inap.
Sindrom delirium mempunyai dampak buruk, tidak saja karena meningkatkan risiko
kematian sampai 10 kali lipat, namun juga karena memperpanjang masa rawat serta
meningkatkan kebutuhan perawatan dari petugas kesehatan dan pelaku rawat
(Soejono CH, 2009).
Penelitian mengenai epidemiologi delirium masih sangat sedikit; diduga
sekitar 10-15% pasien rawat bedah umum pernah mengalami delirium, 15-25% pasien
rawat medik umum pernah mengalami delirium selama dirawat di rumah sakit. Juga
diperkirakan sekitar 30% pasien bedah ICU dan 40-50% pasien ICCU pernah
mengalami delirium. Yang tertinggi yaitu 90% ditemukan pada pasien
postcardiotomy (Budiman R, 2017).

2.1.3. Etiologi Delirium


Penyebab utama delirium adalah penyakit pada sistem saraf pusat (misalnya
epilepsi), penyakit sistemik (misalnya gagal jantung), dan intoksitasi atau withdrawal
obat-obatan atau zat toksik.
Hipotesis neurotransmitter utama yang terlibat dalam delirium adalah
acetylcholine dan daerah utama neuroanatomi yang terkena adalah formatio
reticularis. Beberapa laporan menyebutkan bahwa faktor penyebab terjadinya
delirium adalah karena terjadi penurunan aktivitas acetylcholine dalam otak.
6
Salah satu penyebab lain timbulnya delirium adalah toksisitas penggunaan
obat dengan aktivitas antikolinergik. Obat-obat dengan aktivitas antikolinergik
tersebut antara lain amitryptiline, doxepin, imipramine, thioridazine dan
chlorpromazine yang merupakan obat-obat yang sering digunakan dalam psikiatri.
Neurotransmitter lain yang juga berperan adalah serotonin dan glutamat (Budiman R,
2017).

2.1.4. Patofisiologi Delirium

Delirium merupakan fenomena kompleks, multifaktorial, dan mempengaruhi


berbagai bagian sistem saraf pusat. Hipotesis terbaru menunjukkan defisiensi jalur
kolinergik dapat merupakan salah satu faktor penyebab delirium (Flinn DR dkk,
2009). Delirium yang diakibatkan oleh penghentian substansi seperti alkohol,
benzodiazepin atau nikotin dapat dibedakan dengan delirium karena penyebab lain.
Pada delirium akibat penghentian alkohol terjadi ketidakseimbangan mekanisme
inhibisi dan eksitasi pada sistem neurotransmiter. Konsumsi alkohol secara reguler
dapat menyebabkan inhibisi reseptor NMDA (N-methyl-D-aspartate) dan aktivasi
reseptor GABA-A (gamma- aminobutyric acid-A). Disinhibisi serebral berhubungan
dengan perubahan neurotransmiter yang memperkuat transmisi dopaminergik dan
noradrenergik, adapun perubahan ini memberikan manifestasi karakteristik delirium,
termasuk aktivasi simpatis dan kecenderungan kejang epileptik. Pada kondisi lain,
penghentian benzodiazepin menyebabkan delirium melalui jalur penurunan transmisi
GABA-ergik dan dapat timbul kejang epileptik. Delirium yang tidak diakibatkan
karena penghentian substansi timbul melalui berbagai mekanisme, jalur akhir
biasanya melibatkan defisit kolinergik dikombinasikan dengan hiperaktivitas
dopaminergik (Lorenzi S dkk, 2012).

Perubahan transmisi neuronal yang dijumpai pada delirium melibatkan berbagai


mekanisme, yang melibatkan tiga hipotesis utama, yaitu:

1. Efek Langsung

Beberapa substansi memiliki efek langsung pada sistem


neurotransmiter, khususnya agen antikolinergik dan dopaminergik. Lebih
lanjut, gangguan metabolik seperti hipoglikemia, hipoksia, atau iskemia dapat
7
langsung mengganggu fungsi neuronal dan mengurangi pembentukan atau
pelepasan neurotransmiter. Kondisi hiperkalsemia pada wanita dengan kanker
payudara merupakan penyebab utama delirium.

2. Inflamasi

Delirium dapat terjadi akibat gangguan primer dari luar otak, seperti
penyakit inflamasi, trauma, atau prosedur bedah. Pada beberapa kasus, respons
inflamasi sistemik menyebabkan peningkatan produksi sitokin, yang dapat
mengaktivasi mikroglia untuk memproduksi reaksi inflamasi pada otak.
Sejalan dengan efeknya yang merusak neuron, sitokin juga mengganggu
pembentukan dan pelepasan neurotransmiter. Proses inflamasi berperan
menyebabkan delirium pada pasien dengan penyakit utama di otak (terutama
penyakit neurodegeneratif ).

3. Stres

Faktor stres menginduksi sistem saraf simpatis untuk melepaskan lebih


banyak noradrenalin, dan aksis hipotalamus-pituitari-adrenokortikal untuk
melepaskan lebih banyak glukokortikoid yang juga dapat mengaktivasi glia
dan menyebabkan kerusakan neuron.

2.1.5. Menifestasi Klinik Delirium

Sejalan dengan DSM-IV-TR, gambaran utama delirium adalah kesadaran


berkabut tentang lingkungan. Gejala yang secara umum terjadi pada delirium adalah
awitannya akut dan hampir sebagian besar dari delirium diawali dengan perubahan
pola tidur, kelelahan yang sulit dijelaskan, mood yang berfluktuasi, fobia terhadap
tidur, gelisah, cemas dan mimpi buruk yang sering muncul. Berikut gambaran klinis
yang dapat ditemukan pada pasien delirium ialah:

1. Prodromal
Biasanya pasien mengeluh kelelahan, cemas, menjadi iritabel, tidurnya
terganggu.
2. Gangguan kesadaran
Penurunan kejernihan tingkat kesadaran terhadap lingkungan (kesadaran
8
berkabut).
3. Kewaspadaan
Terdiri atas hipoaktivitas atau hiperaktivitas. Hipoaktivitas dimana seluruh
aktivitas menurun sehingga sering dikatakan sebagai depresi. Hiperaktivitas
kaitannya dengan sindrom putus zat, misalnya flushing, berkeringat, takikardi,
nausea, hipertermia dsb.
4. Gangguan pemusatan perhatian
Ditandai oleh adanya kesulitan mempertahankan, memusatkan dan
mengalihkan perhatian.
5. Orientasi
Gangguan orientasi waktu sering terjadi (pada delirium yang ringan), bila
delirium berat akan mengcangkup orientasi tempat dan orang.
6. Bahasa dan kognitif
Sering terjadi abnormalitas dalam berbahasa dan terjadi inkoherensi, daya
ingat dan fungsi kognitif umum mungkin terganggu.
7. Persepsi
Halusinasi visual dan auditorik sering ditemukan.
8. Mood
Gejala sering nampak adalah marah, mengamuk, ketakutan yang tak
beralasan. Perubahan mood dapat berfluktuasi sepanjang hari.
9. Gangguan tidur-bangun
Individu sering menunjukanagitasi pada malam hari dan masalah perilaku
pada saat waktu tidur, keadaan ini disebut sundowning.
10. Gejala neurologi
Meliputi disfasia, tremor, asteriksis, inkoordinasi dan inkontinensia urine
(Budiman R, 2017).

2.1.6. Diagnosis Delirium

Delirium merupakan suatu diagnosis yang dapat ditegakkan secara bedside,


sehingga sangat diperlukan pemahaman gambaran klinisnya. Tampilan klinis delirium
dapat bervariasi, namun secara umum delirium diklasifikasi berdasarkan sifat
psikomotorik dalam tiga subtipe, yaitu:

9
1. Delirium Hipoaktif (25%).

Pasien bersikap tenang dan menarik diri, dengan tampilan klinis letargi
dan sedasi, berespons lambat terhadap rangsangan, dan pergerakan
spontan minimal. Tipe ini cenderung tidak terdeteksi pada rawat inap dan
menyebabkan peningkatan lama rawat dan komplikasi yang lebih berat.
2. Delirium Hiperaktif (30%).

Pasien memiliki gambaran agitasi, hipervigilansi, dan sering disertai
halusinasi dan delusi, yang walaupun lebih awal dapat terdeteksi,
berhubungan dengan peningkatan penggunaan benzodiazepin, sedasi
berlebihan, dan risiko jatuh.
3. Delirium Campuran (Mixed) (45%).

Pasien menunjukkan gambaran klinis baik hiperaktif maupun hipoaktif
(Wass S dkk, 2008) (Fong TG dkk, 2009).

Masing-masing subtipe delirium diakibatkan oleh mekanisme patofisiologi


yang berbeda dan memberikan prognosis yang juga berbeda. Delirium pascaoperasi
dapat timbul pada hari pertama atau kedua pascaoperasi, namun biasanya bersifat
hipoaktif dan sering tidak terdeteksi. Delirium dapat sulit dideteksi di ICU, mengingat
uji kognitif standar sering tidak dapat digunakan karena pasien diintubasi dan tidak
dapat menjawab pertanyaan secara verbal (Fong TG dkk, 2009).

10
Tabel 1. Gambaran klinis delirium

Gambar 1. Hubungan antara berbagai faktor etiologi delirium. Inflamasi sistemik dapat diakibatkan
oleh infeksi sistemik, trauma, atau pembedahan. Neurotransmiter yang berperan pada delirium
termasuk asetikolin, dopamin, 5-hidroksitriptamin, norepinefrin, glutamat, dan γ–asam aminobutirat
(Fong TG dkk, 2009).

11
Usia lanjut merupakan faktor risiko delirium yang paling umum pada pasien
kondisi kritis. Pada pasien ICU dan pembedahan, faktor risiko yang signifikan adalah
usia lanjut dan komorbiditas, penggunaan alkohol berlebih dan nilai APACHE II yang
tinggi. Pada pasien jantung yang dirawat di ICU, beberapa faktor risiko adalah usia
lanjut dan nilai Mini-Mental State Examination (MMSE) yang rendah (Matar I dkk,
2013).

Tabel 2. Faktor predisposisi delirium (Wass S dkk, 2008).

12
Tabel 3. Faktor risiko umum delirium (Wass S dkk, 2008).

Klasifikasi dan kriteria diagnosis delirium dapat berdasarkan DSM V

(Diagnosis and Statistical Manual of Mental Disorders, 5th edition). Kriteria DSM V
tahun 2013 tidak berbeda dengan pada DSM IV-TR tahun 2000. DSM V
mengklasifikasi delirium menurut etiologi sebagai berikut:

1. Delirium yang berhubungan dengan kondisi medik umum

2. Delirium intoksikasi substansi (penyalahgunaan obat)

3. Delirium penghentian substansi

4. Delirium diinduksi substansi (pengobatan 
atau toksin)

5. Delirium yang berhubungan dengan 
etiologi multipel

13
6. Delirium tidak terklasifikasi (Fong TG dkk, 2009) (AMA, 2013).

Diagnosis delirium memerlukan 5 kriteria (A-E) dari DSM V, yaitu:

a. Gangguan kesadaran (berupa penurunan kejernihan kesadaran terhadap


lingkungan) dengan penurunan kemampuan fokus, mempertahankan atau
mengubah perhatian.

b. Gangguan berkembang dalam periode singkat (biasanya beberapa jam


hingga hari) dan cenderung berfluktuasi dalam perjalanannya.

c. Perubahan kognitif (seperti defisit memori, disorientasi, gangguan bahasa)


atau perkembangan gangguan persepsi yang tidak dapat dimasukkan ke dalam
kondisi demensia.

d. Gangguan pada kriteria (a) dan (c) tidak disebabkan oleh gangguan
neurokognitif lain yang telah ada, terbentuk ataupun sedang berkembang dan
tidak timbul pada kondisi penurunan tingkat kesadaran berat, seperti koma.

e. Temuan bukti dari riwayat, pemeriksaan fisik, atau laboratorium yang


mengindikasikan gangguan terjadi akibat konsekuensi fisiologik langsung
suatu kondisi medik umum, intoksikasi atau penghentian substansi (seperti
penyalahgunaan obat atau pengobatan), pemaparan terhadap toksin, atau
karena etiologi multipel.

Suatu algoritma dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis sindrom


delirium yang dikenal dengan Confusion Assessment Method (CAM). Algoritma
tersebut telah divalidasi, sehingga dapat digunakan untuk penegakan diagnosis. CAM
ditambah uji status mental lain dapat dipakai sebagai baku emas diagnosis. Algoritma
CAM memiliki sensitivitas 94-100% dan spesifisitas 90-95%, dan tingkat reliabilitas
inter-observer tinggi apabila digunakan oleh tenaga terlatih. Uji status mental lain
yang sudah lazim dikenal antara lain Mini-mental Status Examination (MMSE),
Delirium Rating Scale, Delirium Symptom Interview. Kombinasi pemeriksaan
tersebut dapat dikerjakan dalam waktu sekitar 15 menit oleh tenaga kesehatan terlatih,
cukup andal, spesifik, serta sensitif (Fong TG dkk, 2009) (Soejono CH, 2009) (Wei
LA dkk, 2008).
14
Tabel 4. Confusion Assessment Method (CAM) (Wass S dkk, 2008).

Demensia dan depresi sering menunjukkan gejala mirip delirium; bahkan


kedua kondisi tersebut dapat dijumpai bersamaan dengan sindrom delirium. Pada
keadaan tersebut, informasi dari keluarga dan pelaku rawat menjadi sangat berarti saat
anamnesis. Kondisi gangguan kognitif pasca-operasi (post-operative cognitive
dysfunction/POCD) agak berbeda dengan sindrom delirium, namun mempunyai
implikasi klinis yang mirip. Secara klinis POCD jarang disertai penurunan tingkat
kesadaran dan perjalanannya tidak berfluktuasi (Soejono CH, 2009).

Tabel 5. Perbedaan antara delirium, demensia, dan depresi (Wass S dkk, 2008)

Kriteria diagnostik Delirium yang berhubungan dengan kondisi medik umum


(DSM-IV-TR):
15
A. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kesadaran terhadap
lingkungan dalam bentuk memusatkan, mempertahankan dan mengalihkan
perhatian).
B. Hambatan dalam fungsi kognitif (hendaya daya ingat segera dan jangka
pendek namun daya ingat jangka panjang tetap utuh, distorsi persepsi, ilusi
dan halusinasi terutama visual, hendaya daya pikir dan pengertian abstrak
dengan atau tanpa waham sementara, yang khas terdapat sedikit inkoherensi,
disorientasi waktu, tempat dan orang).
C. Awitanya tiba-tiba (dalam beberapa jam atau hari), perjalanan penyakitnya
singkat dan ada kecendrungan berfluktuasi sepanjang hari.
D. Berdasarkan bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau laboratorium
untuk menemukan penyebab delirium ini.

Catatan: Bila delirium bertumpang tindih dengan Demensia (Alzheimer atau


Demensia vaskular maka penulisan delirium disesuaikan dengan subtipe dari
demensia (mis. 290.3 Demensia Alzheimer dengan awitan lambat disertai delirium).
Demikian juga nama kondisi medik umum tercatat di Axis I (mis. 290.3 Delirium
yang disebabkan enselopalopati hepatiku, juga kode kondisi medik umum dicatat
dalam Axis III).

Kriteria diagnostik Delirium yang disebabkan intoksikasi zat (DSM-IV-TR):

A. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kesadaran terhadap


lingkungan dalam bentuk memusatkan, mempertahankan dan mengalihkan).
B. Hambatan dalam fungsi kognitif (hendaya daya ingat segera dan jangka
pendek namun daya ingat jangka panjang tetap utuh, distorsi persepsi, ilusi
dan halusinasi terutama visual, hendaya daya pikir dan pengertian abstrak
dengan atau tanpa waham sementara, tetapi yang khas terdapat inkoherensi
sedikit, disorientasi waktu, tempat dan orang).
C. Awitannya tiba-tiba (dalam beberapa jam atau hari), perjalanan penyakit
singkat dan ada kecenderungan berfluktuasi sepanjang hari.
D. Berdasarkan bukti dan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau laboratorium
untuk menemukan delirium ini (1) atau (2):
(1). Gejala pada kriteria A dan B berkembang selama intoksitasi zat.
(2). Penggunaan intoksitasi disini untuk mengatasi penyebab yang ada
hubungan dengan gangguannya. Intoksitasi zat yang menimbulkan delirium

16
a.l: Alkohol, amfetamin (atau yang mirip dengan amfetamin), kanabis, kokain,
halusinogen, inhalan, opioid, fensiklidin, sadatif, hipnotik, ansiolitik dsb. Juga
zat lain seperti simetidin, digitalis, benztropin.

Kriteria diagnostik Delirium yang disebabkan putus zat (DSM-IV-TR):

A. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kesadaran terhadap


lingkungan dalam bentuk memusatkan, mempertahankan dan mengalihkan).
B. Hambatan dalam fungsi kognitif (hendaya daya ingat segera dan jangka
pendek namun daya ingat jangka panjang tetap utuh, distorsi persepsi, ilusi
dan halusinasi terutama visual, hendaya daya pikir dan pengertian abstrak
dengan atau tanpa waham sementara, tetapi yang khas terdapat inkoherensi
sedikit, disorientasi waktu, tempat dan orang).
C. Awitannya tiba-tiba (dalam beberapa jam atau hari), perjalanan penyakit
singkat dan ada kecenderungan berfluktuasi sepanjang hari.
D. Berdasarkan bukti dan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau laboratorium
untuk menemukan penyakit delirium ini dalam kriteria (A) dan (B). Keadaan
ini berkembang selama atau dalam waktu singat sesudah sindroma putus zat.

Kriteria diagnostik Delirium yang berkaitan dengan berbagai penyebab (DSM-IV-


TR):

A. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kesadaran terhadap


lingkungan dalam bentuk memusatkan, mempertahankan dan mengalihkan).
B. Hambatan dalam fungsi kognitif (hendaya daya ingat segera dalam jangka
pendek namun daya ingat jangka panjang tetap utuh, distorsi persepsi, ilusi
dan halusinasi terutama visual, hendaya daya pikir dan pengertian abstrak
dengan atau tanpa waham sementara, tetapi yang khas terdapat inkoherensi
sedikit, disorientasi waktu, tempat dan orang).
C. Awitannya tiba-tiba (dalam beberapa jam atau hari), perjalanan penyakit
singkat dan ada kecenderungan berfluktuasi sepanjang hari.
D. Berdasarkan bukti dan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau laboratorium
untuk menemukan etiologi delirium ini yang disebabkan oleh lebih dari satu
penyebab kondisi medik umum, disertai intoksikasi zat atau efek samping
medikasi.
17
2.1.7. Diagnosis Banding Delirium
1. Dimensia
Yang paling nyata perbedaannya adalah awitannya dimana delirium
memiliki awitan yang tiba-tiba sedangkan demensia berjalan perlahan
meskipun keduanya mengalami gangguan kognitif tetapi pada demensia lebih
stabil sedangkan delirium berfluktuasi.
2. Skizofrenia
Beberapa pasien dengan gangguan psikotik terutama skizofrenia atau
episode manik mungkin pada suatu saat menunjukan perilaku kacau yang sulit
dibedakan dengan delirium. Secara umum halusinasi dan waham pada pasien
skizofrenia lebih konstan dan lebih terorganisasi dibandingkan dengan kondisi
pasien delirium.
3. Depresi
Pasien dengan gejala hipoaktif dari delirium mungkin menunjukan
gejala yang sama dengan pasien depresi berat tetapi untuk membedakannya
dapat dilakukan pemeriksaan EEG (Budiman R, 2017).

2.1.8. Pencegahan Delirium


Pencegahan delirium merupakan strategi paling efektif untuk mengurangi
frekuensi dan komplikasi. Obat-obatan seperti benzodiazepin atau antikolinergik dan
pencetus lain yang dikenal dapat menyebabkan delirium secara umum hendaknya
dihindari. Pencegahan yang sukses termasuk pendekatan multikomponen juga dapat
dilakukan untuk mengurangi faktor risiko. Karena delirium memiliki banyak pe-
nyebab, maka pendekatan multikomponen merupakan yang paling efektif dan relevan
secara klinis. Yale Delirium Prevention Trial menunjukkan efektivitas protokol
intervensi yang menargetkan kepada 6 faktor risiko: re-orientasi dan terapi untuk
gangguan kognitif, mobilisasi dini untuk mengatasi imobilisasi, pendekatan non-
farmakologik untuk meminimalisir penggunaan obat-obat psikoaktif, intervensi untuk
mencegah gangguan siklus tidur, metode komunikasi dan perlengkapan adaptif
(seperti kacamata dan alat bantu dengar) untuk gangguan penglihatan dan
pendengaran, dan intervensi dini untuk kekurangan cairan (Inouye SK, 2006) (Wass S
dkk, 2008) (Soejono CH, 2009).

18
2.1.9. Tatalaksana
Langkah utama adalah menilai semua kemungkinan penyebab, menyediakan
dukungan suportif dan mencegah komplikasi, dan mengatasi gejala. Karena delirium
dapat merupakan kegawatdaruratan medis, tujuan utama penanganan adalah
mengetahui faktor predisposisi dan pencetus secara dini.

Strategi penanganan delirium dapat dibagi dalam strategi non-farmakologis


dan farmakologis. Strategi penanganan non-farmakologis merupakan pengobatan
utama seluruh pasien delirium; meliputi re-orientasi dan intervensi tingkah laku.
Tenaga kesehatan memberi instruksi yang jelas dan sering membuat kontak mata
dengan pasien. Gangguan sensorik seperti kehilangan penglihatan dan pendengaran,
dapat diminimalisir dengan menggunakan peralatan seperti kacamata dan alat bantu
dengar. Imobilisasi harus dicegah karena dapat meningkatkan agitasi, peningkatan
risiko luka, dan pemanjangan lamanya delirium. Intervensi lain termasuk membatasi
perubahan ruangan dan staf serta menyediakan kondisi perawatan pasien yang tenang,
dengan pencahayaan rendah pada malam hari. Kondisi lingkungan yang tenang
memberikan periode tidur yang tidak terganggu, cukup penting dalam penanganan
delirium. Meminimalisir penggunaan obat-obat psikoaktif dengan protokol tidur non-
farmakologis yang meliputi 3 komponen, antara lain segelas susu hangat atau teh
herbal, musik relaksasi, dan pijat punggung. Protokol ini dapat dilakukan sebagai
bagian dari strategi pencegahan multikomponen yang efektif (Inouye SK, 2006)
(Fong TG dkk, 2009) (McNicoll L dkk, 2004).

Strategi penanganan delirium secara farmakologi lebih jarang dilakukan.


Terapi farmakologi biasanya diberikan pada pasien delirium yang sesuai indikasi atau
diperlukan untuk mencegah pengobatan medis lanjutan (pada delirium hiperaktif).
Terapi farmakologi pada kondisi hipoaktif hingga saat ini masih kontroversial. Obat-
obat yang mempengaruhi perubahan tingkah laku dapat mengaburkan status mental
pasien dan menyulitkan pemantauan, oleh karena itu hendaknya dihindari apabila
memungkinkan. Haloperidol telah luas digunakan sebagai obat pilihan untuk
pengobatan agitasi akut dan memiliki kelebihan, karena tersedia dalam bentuk
parenteral, namun penggunaannya dihubungkan dengan efek samping ekstrapiramidal
dan distonia akut yang lebih tinggi dibandingkan antipsikotik atipikal. Beberapa
antipsikotik atipikal (seperti risperidon, olanzapine, dan quetiapine) digunakan untuk
19
mengatasi agitasi pasien delirium, namun tidak ada data yang menunjukkan
keunggulan satu antipsikotik dibandingkan lainnya. Antipsikotik meningkatkan risiko
stroke pada pasien geriatri dengan demensia dan menyebabkan pemanjangan interval
QT. Golongan benzodiazepin, seperti lorazepam, tidak direkomendasikan sebagai
terapi lini utama pengobatan delirium, karena dapat memperberat perubahan status
mental dan menyebabkan sedasi berlebihan (Fong TG dkk, 2009) (Flaherty JH dkk,
2011) (Campbell N dkk, 2009).

Tabel 6. Penanganan farmakologis delirium (Inouye SK, 2006).

MMSE (Mini-Mental State Exam); CAM (Confusion Assessment Method); OTC


(Over the Counter); PRN, as needed; TFT (thyroid function tests); ABG (Arterial
Blood Gas); CSF (Cerebrospinal Fluid); EEG (Electroencephalogram); PO (per
oral); IM (intramuskuler); IV (intravena) (McNicoll L dkk, 2004).

20
Gambar 2. Algoritma penilaian delirium pada geriatri. MMSE (Mini-Mental State Exam); CAM
(Confusion Assessment Method); OTC (Over the Counter); PRN, as needed; TFT (thyroid function
tests); ABG (Arterial Blood Gas); CSF (Cerebrospinal Fluid); EEG (Electroencephalogram); PO (per
oral); IM (intramuskuler); IV (intravena) (McNicoll L dkk, 2004).

Dalam mengobati delirium, hal yang paling utama adalah mengobati


penyebabnya. Bila penyebabnya toksitas antikolinergik maka digunakan pisostigmin
salisilat 1-2 mg IV atau IM dan dapat diulang 15-30 menit bila diperlukan (Budiman
R, 2017).

2.1.10. Prognosis
Berbagai studi menunjukkan hampir setengah pasien delirium keluar dari
kondisi rawatan akut rumah sakit dengan gejala persisten dan 20-40% di antaranya
masih mengalami delirium hingga 12 bulan; prognosis jangka panjang lebih buruk
dibandingkan pasien yang mengalami perbaikan sempurna pada akhir rawatan (Wass
21
S dkk, 2008). Pasien sindrom delirium memiliki risiko kematian lebih tinggi jika
komorbiditasnya tinggi, penyakitnya lebih berat (nilaiAPACHE II tinggi), dan jenis
kelamin laki-laki. Episode delirium juga lebih panjang pada kelompok pasien
demensia (Soejono CH, 2009) (Witlox J dkk, 2010) (Lima Dp dkk, 2010).

Awitan delirium yang akut, gejala prodromalnya seperti gelisah dan perasaan
takut mungkin muncul pada awal awitan. Bila penyebabnya sudah diketahui dan
dapat dihilangkan maka gejala-gejalanya akan menghilang dalam waktu 3-7 hari dan
akan hilang seluruhnya dalam waktu 2 minggu (Budiman R, 2017).

22
BAB III
PENUTUP

3.1.1. Kesimpulan
Sindrom delirium sering muncul sebagai keluhan utama atau tak jarang justru
terjadi pada hari pertama pasien dirawat, berfluktuasi dengan gejala tidak khas, dan
sering tidak terdiagnosis, padahal kondisi ini dapat dicegah.

Patofisiologi delirium melibatkan berbagai mekanisme dengan tiga hipotesis


utama, yaitu efek langsung pada sistem neurotransmiter, inflamasi, dan stres.
Delirium merupakan kondisi yang dapat didiagnosis secara bedside, sehingga sangat
diperlukan pemahaman gambaran klinisnya yang dapat bevariasi; secara umum
diklasifikasikan dalam tiga subtipe, yaitu hipoaktif, hiperaktif, dan campuran.

Diagnosis delirium dapat menggunakan kriteria DSM IV-TR dengan


terpenuhinya 4 kriteria; Confusion Assessment Method (CAM) merupakan algoritma
telah tervalidasi yang dapat digunakan untuk membantu penegakan diagnosis
delirium.

Strategi penanganan delirium dapat dibagi dalam strategi non-farmakologis


dan farmakologis. Strategi penanganan non-farmakologis merupakan yang utama
untuk seluruh pasien delirium, strategi farmakologis lebih jarang, dengan haloperidol
sebagai agen utama untuk mengatasi agitasi.

23
DAFTAR PUSTAKA

Inouye SK. Delirium in older persons. N Engl J Med. 2006; 354: 1157-65.

Wass S, Webster PJ, Nair BR. Delirium in the elderly: A review. Oman Med
J. 2008; 23(3): 150-7.

Fong TG, Tulebaev SR, Inouye SK. Delirium in elderly adults: Diagnosis,
prevention and treatment. Nat Rev Neurol. 2009; 5(4): 210-20. doi:
10.1038/nrneurol.2009.24

Soejono CH. Sindrom delirium. In: Sudoyo AW, Setiohadi B, Alwi I,


Simadibrata MK, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th ed.
Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 907-12.

Flinn DR, Diehl KM, Seyfried LS, Malani PN. Prevention, diagnosis, and
management of postoperative delirium in older adults. J Am Coll Surg. 2009;
209(2): 261-8. doi: 10.1016/j. 
amcollsurg.2009.03.008

Lorenzi S, Fusgen I, Noachtar S. Acute confusional states in the elderly-


diagnosis and treatment. Dtsch Arztebl Int. 2012; 109(21): 391-400.

Mattar I, Chan MF, Childs C. Risk factors for acute delirium in critically ill
adult patients: A systematic review. ISRN Critical Care 2013: 1-10. doi:
10.5402/2013/910125

American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of mental


disorders. 5th ed. Arlington, VA: American Psychiatric Publishing; 2013.

Wei LA, Fearing MA, Sternberg EJ, Inouye SK. The confusion assessment
method: A systematic review of current usage. J Am Geriatr Soc. 2008; 56:
823-30.

McNicoll L, Inouye SK. Delirium. In: Landefeld CS, Palmer RM, Johnson
MA, Johnston CB, Lyons WL, editors. Current geriatric diagnosis and
treatment. 1st ed. McGraw-Hill: New 
York; 2004.

Flaherty JH, Gonzales JP, Dong B. Antipsychotics in the treatment of delirium


24
in older hospitalized adults: A systematic review. J Am Geriatr Soc. 2011; 59:
269-76.

Campbell N, Boustani MA, Ayub A, Fox GC, Munger SL, Ott C, et al.
Pharmacological management of delirium in hospitalized adults- a systematic
evidence review. J Gen Intern Med. 2009; 
24(7): 848-53. doi:
10.1007/s11606-009-0996-7

Witlox J, Eurelings LSM, de Jonghe JFM, Kalisvaart KJ, Eikelenboom P, van


Gool WA. Delirium in elderly patients and the risk of postdischarge mortality,
institutionalization, and dementia. 
JAMA. 2010; 304(4): 443-51.

Lima DP, Ochiai ME, Lima AB, Curiati JAE, Farfel JM, Filho WJ. Delirium
in hospitalized elderly patients and post-discharge mortality. Clinics 2010;
65(3): 251-5. doi: 10.1590/S1807- 
59322010000300003

Budiman R. Buku Ajar Psikiatri; Delirium. 2017.

25

Anda mungkin juga menyukai