DELIRIUM
DISUSUN OLEH
Silvia Laurents
1102014248
PEMBIMBING
dr. Dharmawan, spKJ
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan refrat ini. Referat ini ditulis
untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik di Rumah Sakit Jiwa Soeharto Heerdjan.
Dalam referat ini akan dibahas mengenai Delirium. Tinjauan pustaka pada
referat ini menggunakan berbagai sumber kepustakan. Penulis berharap referat ini
dapat memenuhi memberikan manfaat berupa pengetahuan kepada pembaca.
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu
dalam penyusunan referat ini, khususnya kepada pembimbing, yaitu dr. Dharmawan,
spKJ yang telah banyak memberikan arahan dan masukan guna melengkapi penulisan
referat ini.
Penulisan menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna dan
memiliki banyak keterbatasan. Oleh sebab itu penyusun menerima segala kritik dan
saran yang membangun. Akhir kata semoga referat ini dapat berguna bagi penulis
mupun pembaca sekalian.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Delirium merupakan salah satu jenis Gangguan Mental Organik (GMO) yang
sering dijumpai dalam klinik. Dalam DSM-IV-TV sudah tidak ditemui lagi dan
diubah menjadi Gangguan Kognitif dimana gangguan kognititf tersebut terdiri dari
Delirium, Demensia dan Gangguan Amnesia (Budiman R, 2017). Delirium
merupakan suatu sindrom serebral organik dengan penyebab yang tidak spesifik,
dimana karakteristiknya berupa gangguan fungsi kesadaran, atensi, persepsi, berpikir,
memori, psikomotor, emosi, serta pola tidur bangun (LA Steiner, 2011).
Delirium dapat ditandai dengan perubahan status mental, kesadaran, dan juga
perhatian yang bersifat akut serta fluktuatif. Delirium memiliki insiden yang tinggi
pada pasien dengan penyakit kritis (contohnya Gagal ginjal kronik atau GGK) (LA
Steiner, 2011) (AMA, 2006) (D Cornor dkk, 2011). Delirium pascaoperasi adalah
perubahan akut pada karakteristik kognisi dengan fluktuasi kesadaran serta kurangnya
perhatian dalam 30 hari sedangkan delirium emergensi memiliki karakteristik yang
sama hanya saja segera terjadi pada fase pemulihan dari anastesia (LA Steiner, 2011).
Delirium merupakan perjalanan yang serius yang berhubungan dengan pemanjangan
lama perawatan di ruang rawat intensif/ rumah sakit, biaya yang lebih tinggi,
memperlambat pemulihan fungsional, dan peningkatan morbiditas serta mortilitas.
Tanda yang berfluktuasi yang menyebabkan delirium sulit diketahui. Satu penelitian
menunjukan bahwa dokter tidak mendiagnosis delirium pada 32% pasien delirium
dan yang lainnya mendiagnosis delirium sebagai depresi sebanyak 40%. Beberapa
bentuk menunjukan gambaran hiperaktif (agitasi, takikardi, dan gemetar), hipoaktif
(tenang, pasif) dan campuran (LA Steiner, 2011) (AMA, 2006) (D Cornor dkk, 2011).
Terlepas dari fakta bahwa delirium adalah pengalaman yang tidak
menyenangkan bagi pasien dan keluarga, tenaga medis juga menyadari konsekwensi
yang terjadi, bukan hanya lama perawatan yang memanjang, tetapi masalah pasca
pemulangan dari rumah sakit, defisit kognitif jangka panjang, dan mortalitas harus
dipertimbangkan. Risiko terjadi delirium di interpretasikan sebagai pengaruh dari
faktor predisposisi dan faktor presipitasi. Pasien dengan beberapa atau tanpa faktor
predisposisi akan terjadi delirium hanya bila terdapat faktor presipitasi yang kuat,
4
sedangkan pasien dengan beberapa faktor predisposisi akan terjadi delirium setelah
ada faktor presipitasi yang ringan saja. Terdapat faktor protektif yang dapat melawan
faktor predisposisi atau pengaruh kuat dari presipitasi (LA Steiner, 2011) (D Cornor
dkk, 2011).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Delirium
2.1.1. Definisi Delirium
Delirium, suatu kondisi akut penurunan perhatian dan disfungsi kognitif,
merupakan sindrom klinis yang umum, mengancam hidup, dan dapat dicegah;
umumnya terjadi pada individu berusia 65 tahun atau lebih (Inouye SK, 2006).
Sindrom delirium dapat didefinisikan sebagai kegagalan otak akut yang berhubungan
dengan disfungsi otonom, disfungsi motorik, dan kegagalan homeostasis kompleks
dan multifaktorial, sering tidak terdiagnosis dan ditangani dengan buruk (Wass S dkk,
2008).
Sindrom delirium sering muncul sebagai keluhan utama atau tak jarang justru
terjadi pada hari pertama pasien dirawat, menunjukkan gejala berfluktuasi yang tidak
khas. Setidaknya 32-67% sindrom ini tidak terdiagnosis oleh dokter, padahal kondisi
ini dapat dicegah (Soejono CH, 2009).
5
2.1.2. Epidemiologi Delirium
Prevalensi delirium pada awal rawatan rumah sakit berkisar antara 14-24%,
dan kejadian delirium yang timbul selama masa rawat di RS berkisar antara 6-56% di
antara populasi umum rumah sakit. Delirium timbul pada 15-53% pasien geriatri
pascaoperasi dan 70-87% pasien yang dirawat di ruang rawat intensif. Delirium
dijumpai pada hingga 60% pasien rumah rawat atau kondisi perawatan pasca-akut,
dan hingga 83% pasien pada akhir hidupnya. Walaupun prevalensi delirium secara
keseluruhan pada komunitas hanya berkisar 1-2%, namun prevalensi meningkat
seiring bertambahnya umur, hingga 14% pada pasien berusia 85 tahun atau lebih.
Lebih lanjut, pada 10-30% pasien geriatri yang datang ke departemen gawat darurat,
delirium merupakan gejala yang menggambarkan kondisi membahayakan jiwa
(Inouye SK, 2006).
Di Indonesia, prevalensi delirium di ruang rawat akut geriatri RSCM adalah
23% pada tahun 2004, sedangkan insidensnya mencapai 17% pada pasien rawat inap.
Sindrom delirium mempunyai dampak buruk, tidak saja karena meningkatkan risiko
kematian sampai 10 kali lipat, namun juga karena memperpanjang masa rawat serta
meningkatkan kebutuhan perawatan dari petugas kesehatan dan pelaku rawat
(Soejono CH, 2009).
Penelitian mengenai epidemiologi delirium masih sangat sedikit; diduga
sekitar 10-15% pasien rawat bedah umum pernah mengalami delirium, 15-25% pasien
rawat medik umum pernah mengalami delirium selama dirawat di rumah sakit. Juga
diperkirakan sekitar 30% pasien bedah ICU dan 40-50% pasien ICCU pernah
mengalami delirium. Yang tertinggi yaitu 90% ditemukan pada pasien
postcardiotomy (Budiman R, 2017).
1. Efek Langsung
2. Inflamasi
Delirium dapat terjadi akibat gangguan primer dari luar otak, seperti
penyakit inflamasi, trauma, atau prosedur bedah. Pada beberapa kasus, respons
inflamasi sistemik menyebabkan peningkatan produksi sitokin, yang dapat
mengaktivasi mikroglia untuk memproduksi reaksi inflamasi pada otak.
Sejalan dengan efeknya yang merusak neuron, sitokin juga mengganggu
pembentukan dan pelepasan neurotransmiter. Proses inflamasi berperan
menyebabkan delirium pada pasien dengan penyakit utama di otak (terutama
penyakit neurodegeneratif ).
3. Stres
1. Prodromal
Biasanya pasien mengeluh kelelahan, cemas, menjadi iritabel, tidurnya
terganggu.
2. Gangguan kesadaran
Penurunan kejernihan tingkat kesadaran terhadap lingkungan (kesadaran
8
berkabut).
3. Kewaspadaan
Terdiri atas hipoaktivitas atau hiperaktivitas. Hipoaktivitas dimana seluruh
aktivitas menurun sehingga sering dikatakan sebagai depresi. Hiperaktivitas
kaitannya dengan sindrom putus zat, misalnya flushing, berkeringat, takikardi,
nausea, hipertermia dsb.
4. Gangguan pemusatan perhatian
Ditandai oleh adanya kesulitan mempertahankan, memusatkan dan
mengalihkan perhatian.
5. Orientasi
Gangguan orientasi waktu sering terjadi (pada delirium yang ringan), bila
delirium berat akan mengcangkup orientasi tempat dan orang.
6. Bahasa dan kognitif
Sering terjadi abnormalitas dalam berbahasa dan terjadi inkoherensi, daya
ingat dan fungsi kognitif umum mungkin terganggu.
7. Persepsi
Halusinasi visual dan auditorik sering ditemukan.
8. Mood
Gejala sering nampak adalah marah, mengamuk, ketakutan yang tak
beralasan. Perubahan mood dapat berfluktuasi sepanjang hari.
9. Gangguan tidur-bangun
Individu sering menunjukanagitasi pada malam hari dan masalah perilaku
pada saat waktu tidur, keadaan ini disebut sundowning.
10. Gejala neurologi
Meliputi disfasia, tremor, asteriksis, inkoordinasi dan inkontinensia urine
(Budiman R, 2017).
9
1. Delirium Hipoaktif (25%).
Pasien bersikap tenang dan menarik diri, dengan tampilan klinis letargi
dan sedasi, berespons lambat terhadap rangsangan, dan pergerakan
spontan minimal. Tipe ini cenderung tidak terdeteksi pada rawat inap dan
menyebabkan peningkatan lama rawat dan komplikasi yang lebih berat.
2. Delirium Hiperaktif (30%).
Pasien memiliki gambaran agitasi, hipervigilansi, dan sering disertai
halusinasi dan delusi, yang walaupun lebih awal dapat terdeteksi,
berhubungan dengan peningkatan penggunaan benzodiazepin, sedasi
berlebihan, dan risiko jatuh.
3. Delirium Campuran (Mixed) (45%).
Pasien menunjukkan gambaran klinis baik hiperaktif maupun hipoaktif
(Wass S dkk, 2008) (Fong TG dkk, 2009).
10
Tabel 1. Gambaran klinis delirium
Gambar 1. Hubungan antara berbagai faktor etiologi delirium. Inflamasi sistemik dapat diakibatkan
oleh infeksi sistemik, trauma, atau pembedahan. Neurotransmiter yang berperan pada delirium
termasuk asetikolin, dopamin, 5-hidroksitriptamin, norepinefrin, glutamat, dan γ–asam aminobutirat
(Fong TG dkk, 2009).
11
Usia lanjut merupakan faktor risiko delirium yang paling umum pada pasien
kondisi kritis. Pada pasien ICU dan pembedahan, faktor risiko yang signifikan adalah
usia lanjut dan komorbiditas, penggunaan alkohol berlebih dan nilai APACHE II yang
tinggi. Pada pasien jantung yang dirawat di ICU, beberapa faktor risiko adalah usia
lanjut dan nilai Mini-Mental State Examination (MMSE) yang rendah (Matar I dkk,
2013).
12
Tabel 3. Faktor risiko umum delirium (Wass S dkk, 2008).
(Diagnosis and Statistical Manual of Mental Disorders, 5th edition). Kriteria DSM V
tahun 2013 tidak berbeda dengan pada DSM IV-TR tahun 2000. DSM V
mengklasifikasi delirium menurut etiologi sebagai berikut:
13
6. Delirium tidak terklasifikasi (Fong TG dkk, 2009) (AMA, 2013).
d. Gangguan pada kriteria (a) dan (c) tidak disebabkan oleh gangguan
neurokognitif lain yang telah ada, terbentuk ataupun sedang berkembang dan
tidak timbul pada kondisi penurunan tingkat kesadaran berat, seperti koma.
Tabel 5. Perbedaan antara delirium, demensia, dan depresi (Wass S dkk, 2008)
16
a.l: Alkohol, amfetamin (atau yang mirip dengan amfetamin), kanabis, kokain,
halusinogen, inhalan, opioid, fensiklidin, sadatif, hipnotik, ansiolitik dsb. Juga
zat lain seperti simetidin, digitalis, benztropin.
18
2.1.9. Tatalaksana
Langkah utama adalah menilai semua kemungkinan penyebab, menyediakan
dukungan suportif dan mencegah komplikasi, dan mengatasi gejala. Karena delirium
dapat merupakan kegawatdaruratan medis, tujuan utama penanganan adalah
mengetahui faktor predisposisi dan pencetus secara dini.
20
Gambar 2. Algoritma penilaian delirium pada geriatri. MMSE (Mini-Mental State Exam); CAM
(Confusion Assessment Method); OTC (Over the Counter); PRN, as needed; TFT (thyroid function
tests); ABG (Arterial Blood Gas); CSF (Cerebrospinal Fluid); EEG (Electroencephalogram); PO (per
oral); IM (intramuskuler); IV (intravena) (McNicoll L dkk, 2004).
2.1.10. Prognosis
Berbagai studi menunjukkan hampir setengah pasien delirium keluar dari
kondisi rawatan akut rumah sakit dengan gejala persisten dan 20-40% di antaranya
masih mengalami delirium hingga 12 bulan; prognosis jangka panjang lebih buruk
dibandingkan pasien yang mengalami perbaikan sempurna pada akhir rawatan (Wass
21
S dkk, 2008). Pasien sindrom delirium memiliki risiko kematian lebih tinggi jika
komorbiditasnya tinggi, penyakitnya lebih berat (nilaiAPACHE II tinggi), dan jenis
kelamin laki-laki. Episode delirium juga lebih panjang pada kelompok pasien
demensia (Soejono CH, 2009) (Witlox J dkk, 2010) (Lima Dp dkk, 2010).
Awitan delirium yang akut, gejala prodromalnya seperti gelisah dan perasaan
takut mungkin muncul pada awal awitan. Bila penyebabnya sudah diketahui dan
dapat dihilangkan maka gejala-gejalanya akan menghilang dalam waktu 3-7 hari dan
akan hilang seluruhnya dalam waktu 2 minggu (Budiman R, 2017).
22
BAB III
PENUTUP
3.1.1. Kesimpulan
Sindrom delirium sering muncul sebagai keluhan utama atau tak jarang justru
terjadi pada hari pertama pasien dirawat, berfluktuasi dengan gejala tidak khas, dan
sering tidak terdiagnosis, padahal kondisi ini dapat dicegah.
23
DAFTAR PUSTAKA
Inouye SK. Delirium in older persons. N Engl J Med. 2006; 354: 1157-65.
Wass S, Webster PJ, Nair BR. Delirium in the elderly: A review. Oman Med
J. 2008; 23(3): 150-7.
Fong TG, Tulebaev SR, Inouye SK. Delirium in elderly adults: Diagnosis,
prevention and treatment. Nat Rev Neurol. 2009; 5(4): 210-20. doi:
10.1038/nrneurol.2009.24
Flinn DR, Diehl KM, Seyfried LS, Malani PN. Prevention, diagnosis, and
management of postoperative delirium in older adults. J Am Coll Surg. 2009;
209(2): 261-8. doi: 10.1016/j.
amcollsurg.2009.03.008
Mattar I, Chan MF, Childs C. Risk factors for acute delirium in critically ill
adult patients: A systematic review. ISRN Critical Care 2013: 1-10. doi:
10.5402/2013/910125
Wei LA, Fearing MA, Sternberg EJ, Inouye SK. The confusion assessment
method: A systematic review of current usage. J Am Geriatr Soc. 2008; 56:
823-30.
McNicoll L, Inouye SK. Delirium. In: Landefeld CS, Palmer RM, Johnson
MA, Johnston CB, Lyons WL, editors. Current geriatric diagnosis and
treatment. 1st ed. McGraw-Hill: New
York; 2004.
Campbell N, Boustani MA, Ayub A, Fox GC, Munger SL, Ott C, et al.
Pharmacological management of delirium in hospitalized adults- a systematic
evidence review. J Gen Intern Med. 2009;
24(7): 848-53. doi:
10.1007/s11606-009-0996-7
Lima DP, Ochiai ME, Lima AB, Curiati JAE, Farfel JM, Filho WJ. Delirium
in hospitalized elderly patients and post-discharge mortality. Clinics 2010;
65(3): 251-5. doi: 10.1590/S1807-
59322010000300003
25