Anda di halaman 1dari 34

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat-Nya
kami telah dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Asuhan Keperawatan pada
Ny. M dengan post craniotomy removal tumor atas indikasi SOL, haemoragic comp
procedure, respiratory disorder, DM tipe II, hipertensi stage II, Hiponatremia, dan
hipokalemia”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini, sehingga makalah ini dapat diselesaikan
tepat pada waktunya.
Kami menyadari, bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari kata sempurna,
baik dari segi penyusunan, bahasa, maupun penulisannya. Oleh karena itu, kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pembaca guna
menjadi acuan agar kami bisa menjadi lebih baik lagi di masa mendatang.
Semoga makalah ini bisa menambah wawasan para pembaca dan bisa
bermanfaat untuk perkembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan.

Padang, Oktober 2022

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.........................................................................................................
Daftar Isi..................................................................................................................
Bab I Pendahuluan...................................................................................................
1.1 Latar Belakang.........................................................................................
1.2 Tujuan......................................................................................................
1.3 Manfaat....................................................................................................
Bab II Konsep Dasar................................................................................................
2.1 SOL..........................................................................................................
2.2 Craniotomy...............................................................................................
2.3 Respiratori disorder..................................................................................
2.4 Hiporkalemia............................................................................................
2.5 Hiponatremia............................................................................................
2.6 DM Tipe 2................................................................................................
2.7 Hipertensi.................................................................................................
2.8 Haemorogic comp procedure...................................................................
Bab III Asuhan Keperawatan Teoritis.....................................................................
3.1 Pengkajian ................................................................................................
3.2 Diagnosa ..................................................................................................
3.3 Intervensi .................................................................................................
3.4 Implementasi ............................................................................................
3.5 Evaluasi ....................................................................................................
Bab IV Kasus Asuhan Keperawatan........................................................................
4.1 Pengkajian ................................................................................................
4.2 Diagnosa ..................................................................................................
4.3 Intervensi .................................................................................................
4.4 Implementasi ............................................................................................
4.5 Evaluasi ....................................................................................................
Bab V Pembahasan..................................................................................................
Bab VI Penutup........................................................................................................
Daftar Pustaka..........................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


SOL (Space Occupying Lesion) merupakan generalisasi adanya lesi pada ruang
intrakranial khususnya yang mengenai otak. Terdapat beberapa penyebab yang dapat
menimbulkan lesi pada otak seperti kontusio serebri, hematom, infark, abses otak dan
tumor pada intrakranial (Butt et al. 2005; Jindal et al. 2016). Tumor otak adalah
pertumbuhan yang abnormal dari sel-sel jaringan otak baik yang berasal dari otak
ataupun meningen/selaputnya baik bersifat jinak atau ganas yang menyebabkan
proses desak ruang. Pendesakan juga dapat diakibatkan adanya edema disekitar
tumor yang dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Tumor otak dibagi menjadi
primer dan sekunder. Tumor otak primer adalah pertumbuhan sel yang abnormal
yang terjadi pertama kali di dalam otak dan bukan merupakan hasil metastase tumor
organ lainnya. Menurut National Cancer Countermesure Commite (2015) angka
mortalitas pada pasien tumor otak primer di Indonesia mencapai 4,25 per 100.000
populasi per tahun, dimana angka kejadiannya sebesar 7 per 100.000 populasi
(Agung 2021).
Manifestasi klinis menurut Simamora, S.K dan Zanariah, Z (2017) tanda dan
gejala dari SOL bisa merupakan nyeri kepala. Tekanan intrakranial dapat meningkat
dan menimbulkan nyeri kepala akibat tekanan jaringan serebri di sekitarnya. Nyeri
kepala dapat menimbulkan mual disertai muntah ataupun tidak. Gangguan saraf
progresif dapat disebabkan oleh tumor intrakranial. TIK dan tumor menyebabkan
gangguan fokal akibat adanya perubahan atau kerusakan pada jaringan otak. Lesi
ruang desak memengaruhi perfusi jaringan serebri dan menimbulkan kematian
jaringan serebri dengan gejala yaitu disfungsi akut. Tanda gejala di atas dapat
menyebabkan serangan kejang serta tekanan neoplasma dapat memperburuk
gangguan saraf fokal.
Craniotomy adalah operasi untuk membuka bagian tengkorak (tempurung kepala)
dengan tujuan memperbaiki dan mengetahui kerusakan yang ada di otak.
Pembedahan tersebut bertujuan memperbaiki dan mengetahui kerusakan yang ada di
otak dengan cara membuka tengkorak jadi sementara waktu pasien post op
craniotomy akan mengalami gangguan mobilisasi bahkan bisa terjadi penurunan
kesadaran. Untuk mengurangi atau meminimalisir komplikasi yang terjadi akibat
pembedahan pasien post operasi craniotomy memerlukan perawatan yang intensif.
Maka dari itu pasien dengan post op craniotomy harus di rawat di ruangan Intensive
Care Unit (ICU) (Brunner dan Suddarth, 2002).
Intensive Care Unit (ICU) merupakan ruangan yangberada di bagian rumah sakit
dilengkapi dengan peralatan khusus serta staf khusus untuk melakukan observasi,
perawatan dan terapi pada pasien-pasien yang mengalami penyakit, cedera yang bisa
mengancam jiwa atau potensial mengancam jiwa yang diharapkan masih bisa
reversible (Hudak & Gallo, 2000). Pasien yang berada di Ruang ICU diharuskan
menjalani bed rest. Stabilisasi kondisi hemodinamik, pemasangan berbagai alat
monitoring maupun support kehidupan, pasien post op dan penurunan kesadaran baik
fisiologis maupun program sedasi menjadi tantangan perawat untuk memobilisasi
pasien kritis.
Perawat sebagai bagian dari tenaga kesehatan, mempunyai peran yang sangat
penting dalam memberikan asuhan keperawatan. Perawat memberikan perawatan
langsung kepada pasien dan mempunyai peranan penting dalam melakukan edukasi
kepada pasien tentang pengelolaan penyakitnya, serta mencegah dari rehospitalisasi.
Perawat dapat mengetahui kebutuhan pasien, merancang dan mengimplementasikan
proses keperawatan secara spesifik, memberikan umpan balik pasien, transparan dan
jujur. Perawat profesional sangat dibutuhkan dalam melakukan proses keperawatan
secara optimal terutama pada pasien kritis (Hudak & Gallo, 2000). Berdasarkan latar
belakang tersebut, penulis tertarik untuk melakukan asuhan keperawatan terhadap
Ny. M dengan post craniotomy removal tumor atas indikasi SOL yang dimulai dari
pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi, serta evaluasinya.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Mampu menerapkan asuhan keperawatan dimulai dari pengkajian, diagnose,
intervensi, implementasi, serta evaluasi terhadap pasien dengan post craniotomy
removal tumor atas indikasi SOL
2. Mampu memahami tentang konsep dasar SOL, craniotomy respiratori disorder,
hipertensi, stage II, diabetes militus tipe II, hyponatremia dan hipokalemia.
1.3 Manfaat
1. Mengasah kemampuan terutama dalam penerapan memberikan asuhan
keperawatan yang profesional bidang keperawatan klien dengan post op
craniotomy.
2. Mengetahui konsep teori tentang craniotomy, SOL, respiratory disorder,
hipertensi stage II, DM tipe II, hiponatremia, dan hipokalemia
BAB II
KONSEP DASAR

2.1 SOL ( SPACE OCCUPYING LESION )


1. Pengertian
SOL (Space-occupying Lesion) merupakan generalisasi masalah tentang ada lesi
pada ruang intracranial khususnya mengenai otak. Banyak penyebab yang dapat
menimbulkan lesi pada otak seperti kontusio serebri, hematoma, infark, abses otak
dan tumor intracranial karena cranium merupakan tempat yang kaku dengan volume
yang terfiksasi maka lesi-lesi ini akan meningkatkan tekanan intracranial. (Cross,
2014).
Space occupying lesion intrakranial (lesi desak ruang intrakranial) didefinisikan
sebagai neoplasma, jinak atau ganas, primer atau sekunder, serta setiap inflamasi
yang berada di dalam rongga tengkorak yang menyebabkan peningkatan tekanan
intrakranial dan menempati ruang di dalam otak. Space occupying lesion intrakranial
meliputi tumor, hematoma, dan abses (Simamora & janariah, 2017).
2. Etiologi
SOL (Space-occupying Lesion) intracranial mempunyai beberapa etiologi,
dimana semuanya menimbulkan ekspansi dari volume, dari cairan intrakranial yang
kemudian menyebabkan paningkatan tekanan intrakranial. Pembengkakan pada otak
dapat dibagi dua yaitu diffuse dan fokal (khoirinnisa 2010)
Penyebab tumor sampai saat ini belum diketahui secara pasti, walaupun telah
banyak  penyelidikan yang dilakukan. Adapun faktor-faktor yang perlu ditinjau yaitu:
a. Radiasi
Jaringan dalam sistem saraf pusat peka terhadap radiasi dan dapat mengalami
perubahan degenerasi, namun belum ada bukti radiasi dapat memicu
terjadinya suatu glioma.  
b. Virus
Banyak penelitian tentang inokulasi virus dengan maksud untuk mengetahui
peran infeksi virus dalam proses terjadinya neoplasma, tetapi hingga saat ini
belum ditemukan hubungan antara infeksi virus dengan perkembangan tumor
pada sistem saraf pusat.
c. Substansi-substansi karsinogenik
Penyelidikan tentang substansi karsinogenik sudah lama dan luas dilakukan.
Kini telah diakui bahwa ada substansi yang karsinogenik.
3. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala umum:
a. Nyeri kepala berat pada pagi hari, makin tambah bila batuk dan
membungkuk.
b. Kejang.
c. Tanda-tanda peningkatan TIK: nyeri kepala, papil edema, muntah.
d. Perubahan kepribadian.
e. Gangguan memori dan alam perasa.
4. Patofisiologis
Fase awal abses otak ditandai dengan edema lokal, hiperemia infiltrasi leukosit
atau melunaknya parenkim. Trombisis sepsis dan edema. Beberapa hari atau minggu
dari fase awal terjadi proses liquefaction atau dinding kista berisi pus. Kemudian
terjadi ruptur,  bila terjadi ruptur maka infeksi akan meluas keseluruh otak dan bisa
timbul meningitis. ( long, 2006). Abses otak (AO) dapat terjadi akibat penyebaran
perkontinuitatum dari fokus infeksi di sekitar otak maupun secara hematogen dari
tempat yang jauh, atau secara langsung seperti trauma kepala dan operasi kraniotomi.
Abses yang terjadi oleh  penyebaran hematogen dapat pada setiap bagian otak, tetapi
paling sering pada  pertemuan substansia alba dan grisea; sedangkan yang
perkontinuitatum biasanya  berlokasi pada daerah dekat permukaan otak pada lobus
tertentu. Pada tahap awal AO terjadi reaksi radang yang difus pada jaringan otak
dengan infiltrasi lekosit disertai udem, perlunakan dan kongesti jaringan otak,
kadang-kadang disertai bintik perdarahan. Setelah beberapa hari sampai beberapa
minggu terjadi nekrosis dan pencairan pada pusat lesi sehingga membentuk suatu
rongga abses. Astroglia, fibroblas dan makrofag mengelilingi jaringan yang nekrotik.
Mula-mula abses tidak berbatas tegas tetapi lama kelamaan dengan fibrosis yang
progresif terbentuk kapsul dengan dinding yang konsentris. Tebal kapsul antara
beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter.
5. Penatalaksanaan Medis
Tumor otak yang tidak terobati menunjukkan kearah kematian, salah satu akibat
peningkatan TIK atau dari kerusakan otak yang disebabkan oleh tumor. Pasien
dengan kemungkinan tumor otak harus di evaluasi dan di obati dengan segera bila
memungkinkan sebelum kerusakan neurologis tidak dapat di ubah. Tujuannya adalah
mengangkat dan memusnahkan semua tumor atau banyak kemungkinan tanpa
meningkatkan penurunan neurologic (paralisis, kebutaan) atau tercapainya gejala-
gejala dengan mengangkat sebagian (dekompresi). Menurut Smeltzer, 2013
penatalaksanaan SOL ada tiga yaitu:
a. Pendekatan pembedahan (Craniotomy)
Dilakukan untuk mengobati pasien meningioma, astrositoma kistik pada
serebelum, kista koloid pada ventrikel ke-3, tumor kongenital seperti demoid
dan beberapa granuloma. Untuk pasien dengan glioma maligna, pengangkatan
tumor secara menyeluruh dan pengobatan tidak mungkin, tetapi dapat
melakukan tindakan yang mencakup pengurangan TIK, mengangkat jaringan
nefrotik dan mengangkat bagian besar dari tumor yang secara teori
meninggalkan sedikit sel yang tertinggal atau
b. Pendekatan kemoterapi
Untuk menolong pasien terhadap adanya keracunan sumsum tulang sebagai
akibat dosis tinggi radiasi. Kemoterapi digunakan pada jenis tumor otak
tertentu saja. Hal ini bisa digunakan pada klien:
 Segera setelah pembedahan/tumor reduction kombinasi dengan terapi
radiasi.
 Setelah tumor recurance
c. Stereotaktik
Stereotaktik merupakan elektroda dan kanula di masukkan hingga titik
tertentu di dalam otak dengan tujuan melakukan pengamatan fisiologis atau
untuk menghancurkan jaringan pada penyakit seperti paralisis agitans,
multiple sclerosis dan epilepsy.
6. Pemerikasaan penunjang
a. CT Scan : Memberi informasi spesifik mengenal jumlah, ukuran, kepadatan,
jejas tumor, dan meluasnya edema serebral sekunder serta memberi informasi
tentang sistem vaskuler.  
b. MRI : Membantu dalam mendeteksi jejas yang kecil dan tumor didalam
batang otak dan daerah hiposisis, dimana tulang menggangu dalam gambaran
yang menggunakan CT Scan
c. Biopsi stereotaktik : Dapat mendiagnosa kedudukan tumor yang dalam dan
untuk memberi dasar pengobatan seta informasi prognosi.
d. Angiografi : Memberi gambaran pembuluh darah serebal dan letak tumor
e. Elektroensefalografi (EEG) : Mendeteksi gelombang otak abnormal.
7. Komplikasi
Menurut ( Smeltzer, 2013) komplikasi dari SOL yaitu:
a. Kehilangan memori
b. Paralisis
c. Peningkatan ICP
d. Kehianagan/kerusakan verbal/berbicara
e. Kehilangan/kerusakan sensasi khusus

2.2 Kraniotomy
1. Pengertian
Kraniotomi adalah suatu tindakan bedah yang dilakukan untuk mengatasi
berbagai macam kerusakan yang terjadi pada otak dan merupakan tindakan
rekomendasi apabila terapi lain yang dilakukan tidak efektif. Kraniotomi berarti
membuat lubang (-otomi) pada tulang tengkorak (cranium). Prosedur operasi
kraniotomi dilakukan dengan cara membuka sebagian tulang tengkorak sebagai akses
ke intrakranial guna mengetahui dan memperbaiki kerusakan yang terjadi pada otak.
Kraniotomi dapat dilakukan secara intratentorial maupun supratentorial, atau
kombinasi dari keduanya. Tindakan ini biasanya dilakukan di rumah sakit yang
memiliki departemen bedah saraf dan ICU (Pratama dkk., 2020).
2. Komplikasi
Menurut (Gulli. dkk, 2010):
a. Edema cerebral
b. Perdarahan epidural: Yaitu penimbunan darah dibawah durameter. Terjadi
secara akurat dan biasanya karena perdarahan arteri yang mengancam jiwa.
c. Pserdarahan subdural
d. Perdarahan intracranial
e. Hipovolemik syok
f. Hydrocephalus
g. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (SIADH atau diabetes Insipidus)
h. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis.
Tromboplebitis post operasi biasanya timbul 7-14 hari setelah operasi.
i. Infeksi: Infeksi luka sering muncul pada 36-46 jam setelah operasi
j. Kerusakan integritas kulit sehubungan dengan dehisensi luka atau eviserasi.
Factor penyebab dehisensi atau eviserasi adalah infeksi luka, kesalahan
menutup waktu pembedahan.
Menurut (Laurent dkk., 2017):
a. Peningkatan tekanan intrakranial
b. Perdarahan dan syok hipovolemik
c. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
d. Infeksi
e. Kejang
f. Nyeri
g. Kematian
3. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dilakukan menurut (Satyanegara, 2010) adalah :
a. Dexamethason / kalmetason adalah sebagai pengobatan untuk anti edema
serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma
b. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi
c. Pemberian analgetik: Pengobatan anti edema dengan laruitan
hipertonis yaitu manitol 20% glukosa 40% atau gliserol.
d. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk infeksi
anaerob diberikan metronidazole.
e. Makanan atau berupa cairan infus seperti dextrose 5%, aminousin dan
aminofel (pada 18 jam pertama dari terjadinya suatu kecelakaan) dan 2-3 hari
kemudian diberikan makanan lunak.
f. Pembedahan

2.3 Acute Respiratory Distress Syndrome (RDS)


1. Pengertian
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) merupakan kerusakan paru total
akibat berbagai etiologi. Keadaan ini dapat dipicu oleh berbagai hal, misalnya sepsis,
pneumonia viral atau bakterial, aspirasi isi lambung, trauma dada, syok yang
berkepanjangan, terbakar, embolilemak, tenggelam, transfusi darah masif, bypass
kardiopulmonal, keracunan O₂, perdarahan pankreatitis akut, inhalasi gas beracun,
serta konsumsi obat-obatan tertentu. ADRS merupakan keadaan darurat medis yang
dipicu oleh berbagai proses akut yang berhubungan langsung ataupun tidak langsung
dengan kerusakan paru (Aryanto Suwondo,2006)
2. Etologi
ARDS berkembang sebagai akibat kerusakan pada epitelalveolar dan endotel
mikrovaskular yang diakibatkan trauma jaringan paru baik secara langsung maupun
secara tidak langsung. (sudoyo aru) Faktor resiko yang berhubungan dengan ARDS:
a. Trauma langsung pada paru penurunan dalam pembentukan surfaktan, yang
mengarah pada kolaps alveolar. alveolar. Komplians Komplians paru menjadi
menjadi sangat menurun atau paru - paru menjadi menjadi kaku akibatnya akibatnya
adalah penurunan karakteristik dalam kapasitas residual fungsional, hipoksia berat
dan hipokapnia (Brunner & Suddart 616).
Ada 3 fase dalam patogenesis ARDS :
a. Fase Eksudatif : Fase permulaan, dengan cedera pada endothelium dan
epitelium, inflamasi, dan eksudasi cairan. Terjadi 2-4 hari sejak serangan akut.
b. Fase Proliferatif : Terjadi setelah fase eksudatif, ditandai dengan influks dan
proliferasi fibroblast, sel tipe II, dan miofibroblast, menyebabkan penebalan
dinding alveolus dan perubahan eksudat perdarahan menjadi jaringan
granulasi seluler/membran seluler/membran hialin. Fase proliferatif
merupakan fase menentukan yaitu cedera bisa mulai sembuh atau menjadi
menetap, ada resiko terjadi lung rupture (pneumothorax)
c. Fase Fibrotik/Recovery : Jika pasien bertahan sampai 3 minggu, paru akan
mengalami remodeling dan fibrosis. Fungsi paru berangsur angsur membaik
dalam waktu 6 – 12 bulan, dan sangat bervariasi antar individu, tergantung
keparahan cederanya.

ARDS biasanya terjadi pada individu yang sudah pernah mengalami trauma fisik,
meskipun dapat juga terjadi pada individu yang terlihat sangat sehat segera sebelum
awitan, misalnya awitan mendadak seperti infeksi akut. Biasanya terdapat periode
laten sekitar 18-24 jam dari waktu cedera paru sampai berkembang menjadi gejala.
gejala. Durasi sindrom dapat beragam dari beberapa hari sampai beberapa minggu.
minggu. Pasien yang tampak sehat akan pulih dari ARDS. Sedangkan secara
mendadak relaps kedalam penyakit pulmonary akut akibat serangan sekunder seperti
pneumotorak atau infeksi berat. Sebenarnya sistim vaskuler paru sanggup
menampung penambahan volume darah sampai 3 kali normalnya, namun pada
tekanan tertentu, cairan bocor keluar masuk ke jaringan jaringan interstisiel
interstisiel dan terjadi terjadi edema paru.( Jan Tambayog 2000, hal 109).

3. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin timbul pada ARDS dan yang berkaitan dalam
tatalaksananya adalah :
a. Barotrauma akibat penggunaan PEEP atau CPAP yang tinggi
b. Komplikasi saluran napas atas akibat ventilasi mekanik jangka panjang seperti
edema laring dan stenosis seperti edema laring dan stenosis subglotis subglotis
c. Risiko infesi nosokomial yang meningkat : VAP (Ventilator-Associated
Pneumonia), ISK, flebitis. Infeksi nosokomial tersebut terjadi pada 55% kasus
ARDS.
d. Gagal ginjal terutama pada konteks sepsis
e. Multisystem organ failure
f. Miopati yang berkaitan dengan blockade neuromuskular jangka panjang
g. Tromboemboli vena, perdarahan saluran cerna dan anemia.
4. Manifestasi klinis
a. Pirauintravulmonal yang nyata
b. Hipoksimia
c. Keregangan paru yang berkurang secara progresif yang berakibat
bertambahnya kerja pernafasan
d. Dispnea serta takipnea yang berat akibat hipoksimia
e. Rongki basah
f. Kapasitas berkurang
g. Peningkatan p(A-a)O ,penurunan PaO dan penurunan PaCO₂
h. Sinar kurang X dada menunjukan paru yang putih(keputihan) ateleksis
kongestif yang difus
i. Gambaran klinis lengkap dapat bermanivestasi 1-2 hari setelah cidera
5. Pemeriksaan Penunjang
a. ABGs / analisa gas darah,leukosit,fungsi ginjal dan hati
b. Pulmonary fungsion
c. Shunt measurement (qs/qt)
d. Alveolar-arterial gradient (A-a gradien)
e. Lactice acide level
f. Foto toraks dan ct scan
6. Penatalaksanaan
Walaupun tidak ada terapi spesifik untuk menghentika proses
inflamasi,penanganan RADS di fokuskan tiga hal penting :
a. Mencegah lesi paru secara iatrogenik
b. Mengurangi cairan dalam paru
c. Mempertahankan oksigenasi jaringan Pemberian oksigen
Terapi umum :
a. Sedapat mungkin hilangkan penyebab dengan cara antara lain drainase
push,antibiotik,fiksasi bila ada fraktur tulang panjang
b. Sedasi dengan kombinasi opiat benzodiasepin,oleh karena penderita akan
memerlukan bantuan fentilasi mekanik dalam jangka lama dosis minimal.
c. Memperbaiki hemodinamik untuk meningkatkan oksigenasi dengan
memberikan vairan, obat - obat fasodilator/konstriktor, inotropik, atau
diuretikun
Terapi Ventilasi :
a. Ventilasi mekanik dengan instubasi endotrakeal merupakan terapi yang
mendasar pada penderita RADS bila ditemukan laju nafas ≤ 30 xmin atau
terjadi peningkatan kebutuhan FiO2≤60% (dengan menggunakan masker
wajah)untuk mempertahankan PO2 sekitar 70 mmHg atau dilebih beberapa
jam
b. Lebih spesifik lagi dapat diberikan ventilasi dengan rasio I:E terbalik disertai
dengan PEEP untuk mengembalikan cairan yang membanjiri alveolus dan
atelaktasis sehingga memperbaiki ventilasi dan perfusi (V/Q)
c. Tergantung keparahannya,maka penderita dapat diberi non ifasis femtilation
seperti CPAP, BIPAP atau positive pressure ventilation. Walaupun metode ini
tidak direkomendasikan bagi penurunan kesadaran atau dijumpai adanya
peningkatan jumlah otot pernafasan disertai peningkatan laju nafas dan PCO₂
darah arterid.
d. Pemberian volume tidal 10-15 mm/kg dapat mengakibatkan kerusakan bagian
bagian paru yang masih normal sehingga terjadi robekan
alveolus,deplesissurfaktan dan lesialfeolar-capillari inter face. Untuk
mengindari dipergunakan folume tidal 6-7 ml/kg dengan tekanan puncak
inspirasi ≥35 cm H2O,plateu presure inspiratori yaitu ≥ 30 cm H2O dan
pemberian positive end ekspiratori presure (peep)antara 8-14 cm H untuk
mencegah aktelatase dan kolaps dari alveolus
e. Penggunaan peep da FIO2 tidak ada ketentusn mengenai batas maksimal.

2.4 Hipokalemia
1. Pengertian

Hipokalemia adalah suatu keadaan dimana kadar atau serum mengacu pada
konsentrasi dibawah normal yang biasanya menunjukkan suatukekurangan nyata
dalam simpanan kalium total (Brunner dan Suddarth,2002). Hipokalemia
didefinisikan sebagai kadar kalium serum yang kurangdari 3,5mEq/L (Price &
Wilson, 2006).
Menurut Price & Wilson (2006) penyebab hipokalemia meliputi: Peningkatan
ekskresi (atau kerugian) dari kalium dari tubuh. Beberapa obat dapat menyebabkan
kehilangan kalium yang dapatmenyebabkan hipokalemia. Obat yang umum termasuk
diuretik loop(seperti Furosemide). Obat lain termasuk steroid, licorice,
kadangkadangaspirin, dan antibiotik tertentu.
Ginjal disfungsi, ginjal tidak dapat bekerja dengan baik karena suatukondisi yang
disebut Asidosis Tubular Ginjal (RTA). Ginjal akanmengeluarkan terlalu banyak
kalium. Obat yang menyebabkan RTA termasuk Cisplatin dan Amfoterisin B.
Kehilangan cairan tubuh karena muntah yang berlebihan, diare, atau berkeringat.
Endokrin atau hormonal masalah (seperti tingkat aldosteron meningkat),aldosteron
adalah hormon yang mengatur kadar potasium. Penyakit tertentu dari sistem
endokrin, seperti aldosteronisme, atau sindromCushing, dapat menyebabkan
kehilangan kalium.Adapun penyebab lain dari timbulnya penyakit hipokalemia :
muntah berulangulang, diare kronik, hilang melalui kemih (mineral kortikoid
berlebihan obat-obat diuretik (Ilmu Faal, Segi Praktis, hal 209).
2. Patofisiologi
Kalium adalah kation utama cairan intrasel. Kenyataannya 98 % darisimpanan
tubuh (3000-4000 mEq) berada di dalam sel dan 2% sisanya (kira-kira 70 mEq)
terutama dalam pada kompetemen ECF. Kadar kalium serum normal adalah 3,5-5,5
mEq/L dan sangat berlawanan dengan kadar di dalamsel yang sekitar 160 mEq/L.
Kalium merupakan bagian terbesar dari zat terlarut intrasel, sehingga berperan
penting dalam menahan cairan di dalamsel dan mempertahankan volume sel. Kalium
ECF, meskipun hanya merupakan bagian kecil dari kalium total, tetapi sangat
berpengaruh dalam fungsi neuromuscular. Perbedaan kadar kalium dalam
kompartemen ICF dan ECF dipertahankan oleh suatu pompa Na-K aktif yang
terdapat di membran sel.Rasio kadar kalium ICF terhadap ECF adalah penentuan
utama potensial membran sel pada jaringan yang dapat tereksitasi, seperti otot
jantung danotot rangka. Potensial membran istirahat mempersiapkan pembentukan
potensial aksi yang penting untuk fungsi saraf dan otot yang normal. Kadar kalium
ECF jauh lebih rendah dibandingkan kadar di dalam sel, sehingga sedikit perubahan
pada kompartemen ECF akan mengubah rasio kalium secara bermakna. Sebaliknya,
hanya perubahan kalium ICF dalam jumlah besar yang dapat mengubah rasio ini
secara bermakna.Salah satu akibat dari hal ini adalah efek toksik dari hiperkalemia
berat yang dapat dikurangi kegawatannya dengan menginduksi pemindahan kalium
dari ECF ke ICF. Selain berperan penting dalam mempertahankan fungsi
nueromuskular yang normal, kalium adalah suatu kofaktor yang penting dalam
sejumlah proses metabolik.
Homeostasis kalium tubuh dipengaruhi oleh distribusi kalium antara ECF dan
ICF,juga keseimbangan antara asupan dan pengeluaran.Beberapa faktor hormonal
dan nonhormonal juga berperan penting dalam pengaturan ini, termasuk aldostreon,
katekolamin, insulin, dan variable asam-basa. Pada orang dewasa yang sehat, asupan
kalium harian adalah sekitar 50-100 mEq. Sehabis makan, semua kalium diabsorpsi
akan masuk kedalam sel dalam beberapa menit, setelah itu ekskresi kalium yang
terutama terjadi melalui ginjal akan berlangsung beberapa jam. Sebagian kecil (lebih
kecil dari 20%) akan diekskresikan melalui keringat dan feses. Dari saat perpindahan
kalium ke dalam sel setelah makan sampai terjadinya ekskresi kalium melalui ginjal
merupakan rangkaian mekanisme yang penting untuk mencegah hiperkalemia yang
berbahaya. Ekskresi kalium melalui ginjal dipengaruhi oleh aldosteron, natrium
tubulus distal dan laju pengeluaran urine. Sekresi aldosteron dirangsang oleh jumlah
natrium yang mencapai tubulus distal dan peningkatan kalium serum diatas normal,
dan tertekan bila kadarnya menurun.
Sebagian besar kalium yang di filtrasikan oleh gromerulus akan direabsorpsi
pada tubulus proksimal. Aldosteron yang meningkat menyebabkan lebih banyak
kalium yang terekskresi kedalam tubulus distal sebagai penukaran bagi reabsorpsi
natrium atau H+. Kalium yang terekskresi akan diekskresikan dalam urine. Sekresi
kalium dalam tubulus distal juga bergantung pada arus pengaliran , sehingga
peningkatan jumlah cairan yang terbentuk pada tubulus distal (poliuria) juga akan
meningkatkan sekresi kalium. Keseimbangan asam basa dan pengaruh hormon
mempengaruhi distribusi kalium antara ECF dan ICF. Asidosis cenderung untuk
memindahkan kalium keluar dari sel, sedangkan alkalosis cenderung memindahkan
dari ECF ke ICF. Tingkat pemindahan ini akan meningkat jika terjadi gangguan
metabolisme asam-basa, dan lebih berat pada alkalosis dibandingkan dengan
asidosis. Beberapa hormon juga berpengaruh terhadap pemindahan kalium antara
ICF dan ECF. Insulin dan Epinefrin merangsang perpindahan kalium ke dalam sel.
Sebaliknya, agonis alfa-adrenergik menghambat masuknya kalium kedalam sel.
Hal ini berperan penting dalam klinik untuk menangani ketoasidosis diabetik
(Price & Wilson, edisi 6, hal341).
4.Pathway
obat steroid, licorice, antibiotic,
kalium serum< 3,5mEq/L Peningkatan aspirin dan obat tertentu Kehilangan Endokrin atau
ekskresi Disfusi Ginjal cairan tubuh masalah hormonal

HIPOKALEMIA

SSP & Neuromuskuler pernafasan Saluran cerna kardiovaskuler Ginjal


-otot pernafasan lemah -anoreksia - hipotensi portural
-poliuria
- nafas dangkal -mual - disritmia
-muntah -perubahan pada EKG -nokturia
 Gel T yang lebar dan
mendatar
 Depresi segmen T
 Gel U yang menonjol

Hambatan Ketidakefektifan Nutrisi kurang Penurunan curah Kekurangan


mobilitas fisik pola nafas dari kebutuhan jantung volume cairan
5. Manifestasi klinik
1.CNS dan neuromuskular; lelah, tidak enak badan, reflek tendon dalam menghilang dan lemas.
2.Pernapasan; otot-otot pernapasan lemah, napas dangkal.
3.Saluran cerna; menurunnya motilitas usus besar, anoreksia, mual muntah.
4.Kardiovaskuler; hipotensi postural, disritmia, perubahan pada EKG.
5.Ginjal; poliuria, nokturia. (Price & Wilson, 2006, hal 344)

6.Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Doenges (2002) Pemeriksaan Diagnostik Pada pasien dengan hypokalemia
adalah:
• Kalium serum : penurunan, kurang dari 3,5 mEq/L.
• Klorida serum : sering turun, kurang dari 98 mEq/L.
• Glukosa serum : agak tinggi.
• Bikarbonat plasma : meningkat, lebih besar dari 29 mEq/L.
• Osmolalitas urine : menurun
• GDA : pH dan bikarbonat meningkat (Alkalosis metabolik).

7.Penatalaksanaan
Adapun penatalaksanaan menurut Brunner & Suddarth (2002) penyakithipokalemia
yang
paling baik adalah pencegahan. Berikut adalah contoh-contoh penatalaksanaannya :
• Pemberian kalium sebanyak 40-80 mEq/L. Diet yang mengandung cukup kalium pada orang dewasa rata-rata 50-
100mEq/hari (contoh makanan yang tinggi kalium termasuk kismis, pisang,aprikot, jeruk, advokat, kacang-
kacangan, dan kentang).
• Pemberian kalium dapat melalui oral maupun bolus intravena dalam botolinfus.
Pada situasi kritis, larutan yang lebih pekat (seperti 20 mEq/L) dapat diberikan melalui jalur sentral bahkan pada
hipokalemia yang sangat berat, dianjurkan bahwa pemberian kalium tidak lebih dari 20-40 mEq/jam (diencerkan
secukupnya) : pada situasi semacam ini pasienharus dipantau melalui elektrokardigram (EKG) dan diobservasi
denganketat seperti perubahan pada kekuatan otot.

8.Pengobatan
1. Pemberian Kalium melalui oral atau Intravena untuk penderita berat.
2. Pemberian kalium lebih disenangi dalam bentuk oral karena lebih mudah.
3.Pemberian 40-60 mEq dapat menaikkan kadar kalium sebesar 1-1,5mEq/L, sedangkanpemberian 135-160 mEq dapat
menaikkan kadarkalium sebesar 2,5-3,5 mEq/L. Bila ada intoksikasi digitalis, aritmia, ataukadar Kalium serum Bila
kadar kalium dalam serum > 3 mEq/L, koreksiKalium cukup per oral.
4.MonitorKadar kalium tiap 2-4 jam untuk menghindari hiperkalemia terutama pada pemberian secara intravena.
5.Pemberian Kalium intravena dalam bentuk larutan KCl disarankanmelalui vena yang besar dengan kecepatan 10-20
mEq/jam, kecualidisertai aritmia atau kelumpuhan otot pernafasan, diberikan dengankecepatan 40-100 mEq/jam. KCl
dilarutkan sebanyak 20 mEq dalam 100cc NaCl isotonik.
6. Acetazolamide untuk mencegah serangan.
7.Triamterene atau spironolactone apabila acetazolamide tidak memberikanefek pada orang tertentu.

5. Hiponatremia
Hiponatremia adalah suatu kondisi yang terjadi ketika kadar natrium dalam darahadalah rendah abnormal.
Natrium merupakan elektrolit yang membantu mengatur jumlah air di dalam dan di sekitar selsel tubuh. Satu atau lebih
faktor, mulai darikondisi medis yang mendasari untuk minum terlalu banyak air selama olahraga dapatmenyebabkan
natrium dalam tubuh menjadi encer. Ketika kondisi tersebut terjadi,kadar cairan tubuh meningkat, dan sel-sel dapat
mulai membengkak. Pembengkakanini dapat menyebabkan banyak masalah kesehatan, dari ringan hingga
parah.Pengobatan hiponatremia ditujukan untuk menyelesaikan kondisi yang mendasarinya.Pengobatan hiponatremia
tergantung pada penyebabnya.(Mitchell & Goldstain,2011)

Klasifikasi Hiponatremia
Walaupun differential diagnosisnya cukup luas, hiponatremi bisa dibedakan menjadi beberapa kelompok
menurut etiologinya. Penentuan ini menentukan pengobatan yang paling tepat untuk dilakukan.(Mitchell &
Goldstain,2011)
a. Hipertonik hiponatremiPasien dengan keadaan ini mempunyai total sodium tubuh yang normal. Terdapatmolekul aktif
osmotik di serum, yang menyebabkan air berpindah dari kompartemen intraseluler ke kompartemen ekstraseluler.
Contoh molekul aktif osmotic adalah glukosa, mannitol atau maltose.
b. Normotonik hiponatremi (pseudohyponatremia) Hiperlipidemia dan paraproteinemia dapat menurunkan konsentrasi
serum sodiumdengan osmolalitas serum normal. Konsentrasi sodium dalam total volume plasma (air+protein/lipid)
menurun, walaupun konsentrasi sodium dalam air, plasma dan osmolalitas plasma tidak berubah.
c. Hipotonik hiponatremi Hipotonik hiponatremi selalu merefleksikan ketidakmampuan ginjal dalam menangani eksresi air
untuk menyesuaikan dengan asupan oral.
Sedangkan menurut waktunya, hiponatremia dapat dibedakan menjadi akut dankronik.(Mitchell &
Goldstain,2011)
a) Hiponatremia Akut Durasinya tidak boleh lebih dari 48 jam. Bahaya utama adalah terjadinya pembengkakan otak.
Pengobatan harus cepat dilakukan dengan tujuan menurunkan secara cepat volume sel otak dengan hipertonik saline.
b) Hiponatremia Kronik Masalah dalam diagnosisnya adalah untuk mengidentifikasi mengapa terdapat antidiuretik
hormone(ADH). Asupan air yang berlebihan bila terjadi sendiri belum pernah menjadi penyebab utama hiponatremia
karena ginjal normaldapat mengekskresikan air sampai 12L/hari. Namun, tingginya asupan air yang terjadi bersama
dengan menurunnya ekskresi air dapat menyebabkan hiponatremia. Menurunnya ekskresi air adalah karena ADH. Pada
beberapa pasien dengan hiponatremia kronik, terjadi keseimbangan negative Na.hasilnya adalah kontraksi volume ECF
yang menuju pada pelepasan ADH.

Berdasarkan prinsip di atas maka etiologi hiponatremia dapat dibagi atas:


a. Hiponatremia dengan ADH meningkatSekresi AHD meningkat akibat deplesi volume sirkulasi efektif seperti
padamuntah, diare, pendarahan, jumlah urine meningkat, gagal jantung, sirosis hati,SIADH (syndrome of
inappropriate ADH-secretion), insufisiensi adrtenal, danhipotiroid.
(FK UI,2007)
b. Hiponatremia dengan ADH tertekan fisiologik Pada polidipsia primer dan gagal ginjal terjadi ekskresi cairan lebih
rendahdibanding asupan cairan sehingga menimbulkan respon fisiologik yang menekansekresi
ADH. Respon fisiologik dari hiponatremia adalah tertekannya pengeluaran ADH dari hipotalamus sehingga ekskresi
urin meningkat karenasaluran air (AQP2A) di bagian apical duktus koligentes berkurang (osmolaritasurin rendah).
(FK UI,2007)
c. Hiponatremia dengan osmolalitas plasma normal atau tinggi Dalam keadaan normal, 93% dari volume plasma
terdiri dari air dan elektrolit,sedangkan 7% sisanya terdiri dari lipid dan protein. Pada hiperlipidemia atau
proteinemia berat akan terjadipenurunan volume air plasma menjadi 80% sedang jumlah natrium plasma tetap dan
osmolalitas plasma normal, akan tetapi karenakadar air plasma berkurang (pseudohiponatremia) kadar natrium
dalam cairan plasma total yang terdeteksi pafa pemeriksaan laboratorium lebih rendah darinormal. (FK UI,2007)
Gejala lain terkait hiponatremia karena kondisi dan faktor gaya hidup dapat menyebabkan hiponatremia,
termasuk:
a. Obat-obat tertentu
b. Pil diuretik, khususnya diuretik thiazide
c. Sirosis
d. Masalah ginjal
e. Gagal jantung kongestif
f. Syndrome of inappropriate anti diuretic hormone (SIADH)
g. Minum air terlalu banyak selama olahraga (hiponatremia exertional)
h. Perubahan hormonal akibat insufisiensi kelenjar adrenal (penyakit
Addison)
i. Perubahan hormonal karena tiroid yang kurang aktif (hipotiroidisme)
j. Polidipsia primer
k. Ekstasi
l. Muntah kronis atau diare parah
m. Dehidrasi
n. Diet
Faktor-faktor berikut dapat meningkatkan risiko hiponatremia (Guyton & Hall,2010) :
a. Orang dewasa yang lebih tua mungkin memiliki faktor yang lebih berkontribusiuntuk hiponatremia, termasuk
perubahan yang berkaitan dengan usia, obattertentu dan kemungkinan lebih besar terkena penyakit kronis yang
mengubahkeseimbangan natrium tubuh.
b. Obat tertentu. Obat-obatan yang meningkatkan risiko hiponatremia termasuk diuretik thiazide serta beberapa
antidepresan dan obat nyeri. Selain itu, ekstasitelah dikaitkan dengan kasus-kasus hiponatremia yang fatal.
c. Kondisi yang menurunkan eksresi air dari tubuh. Kondisi kesehatan tubuh Andayang dapat meningkatkan risiko
hiponatremia termasuk penyakit ginjal, sindromhormon anti-diuretik yang tidak tepat (SIADH) dan gagal jantung.
d. Kegiatan fisik yang intensif. Orang yang minum terlalu banyak air saat menjadi bagian dalam maraton,
ultramarathon, triathlon dan kegiatan intensitas tinggi jarak jauh lainnya yang menyebabkan berada pada
peningkatan risikohiponatremia.
Tanda dan gejala hiponatremia (Mardiana,2011) dapat termasuk: a. Mual dan muntah
b. Sakit kepala
c. Kebingungan
d. Kehilangan energy
e. Kelelahan
f. Gelisah dan mudah marah
g. Kelemahan otot, kejang atau kram
h. Kejang
i. Pingsan
j. Koma

Hipoosmolalitas (serum osmolalitas <260 mOsm/kg) selalu mengindikasikan kelebihan total body water (TBW)
relative terhadap solut tubuh atau kelebihan air relatif terhadap solut di ECF, sehingga air dapat bergerak bebas antara
intraseluler dan ekstraseluler kompartemen. Dalam kondisi normal, tubuh merespon keadaan ini dengan menurunkan
osmolalitas tubuh dengan mengurangi rasa haus. Oleh karena itu,hiponatremi terjadi hanya pada kondisi yang
mengganggu eksresi air normal. (Guyton& Hall,2010) Hiponatremia mengindikasikan adanya air yang berpindah ke
dalam sel dan menyebabkan sel membengkak.
Perpindahan ini memiliki nilai klinis yang sangat penting apabila terjadi di sistem saraf pusat karena otak berada pada
tempat yangukurannya tetap dan bengkak ini bisa menjadi gejala. . (Guyton & Hall,2010)

Penatalaksanaan Hiponatremia
a. Penggantian natriumPengobatan yang paling nyata adalah pemberian natrium secara hati-hati.Pemberian dapat di
berikan secara oral,selang nasogastrik, atau perenteral.pasien yang mampu makan atau minum penggantian natrium
dapat mudah dilakukan karena natrium banyak terdapat dalam diet normal. Kebutuhan natrium lazim pada orang dewasa
adalah kurang lebih 100 mEq, jika tidak ada kehilangan yang abnormal.
Pada SIADH, salin yang hipertronis saja tidak dapat mengubah natrium plasma. Natrium yang berlebihan di sekresikan
dengan cepat dalam urine yang pekat. (Siregar.2009)
b. Pembatasan air Jika hiponatremia terjadi pada pasien dengan volume cairan normal atau berlebih, pengobatan pilihannya
adalah pembatasan air. Hal ini jauh lebih aman dibandingkan pemberian natrium dan biasanya cukup efektif. Meskipun
demikian jika jika gejala neurologis timbul, mungkin perlu pemberian volume kecil larutan natrium hipertronis seperti
natrium klorida 3 % atau 5%. Penggunaaan yang tidak benar dari cairan ini sangat berbahaya; hal ini dapat dipahami
ketika perawat mengangap bahwa satu liter larutan natrium klorida 3% dan mengandung513 mEq natrium dan satu liter
natrium klorida 5% mengandung 855% mEqnatrium. (Siregar.2009)

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Kadar Natrium (Na) Natrium adaiah salah satu mineral yang banyak terdapat pada cairan
elektrolitekstraseluler (di luar sel), mempunyai efek menahan air, berfungsi untuk mempertahankan cairan dalam tubuh,
mengaktifkan enzim, sebagai konduksi impulssaraf. Nilai normal dalam serum : Dewasa135-145 mEq/LAnak135145
mEq/LBayi134.150q/L. Nilai normal dalam urin :40– 220 mEq/L/24 jam.
Penurunan Na terjadi pada diare, muntah, cedera jaringan, bilas lambung, diet rendah garam, gagal ginjal, luka
bakar, penggunaan obat diuretik (obat untuk darah tinggi yang fungsinya mengeluarkan air dalam tubuh).Peningkatan
Na terjadi pada pasien diare, gangguan jantung krohis, dehidrasi, asupan Nadari makanan tinggi,gagal hepatik
(kegagalan fungsi hati), dan penggunaan obat antibiotika, obat batuk, obat golongan laksansia (obat pencahar).Sumber
garam Na yaitu: garam dapur, produk awetan (cornedbeef, ikan kaleng, terasi,dan Iain-Iain.), keju,/.buah ceri, saus
tomat, acar, dan Iain-Iain.
6. Konsep Penyakit Diabetes Melitus 2
1. Definisi
Diabetes melitus merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya hiperglikemia yang
dikarenakan organ pankreas tidak mampu memproduksi insulin atau kurangnya sensitivitas insulin pada sel target
tersebut. Abnormalitas yang di temukan pada metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang ada pada
penderita penyakit diabetes melitus dikarenakan aktivitas insulin pada target sel kurang (Kerner and Bruckel,
2014).
Diabetes melitus merupakan kelainan yang terjadi karena meningkatnya kadar gula darah atau
hiperglikemia. Diabetes melitus adalah penyakit metabolik yang terjadi karena peningkatan kadar gula dalam
darah yang terjadi karena adanya kelainan sekresi insulin sehingga memperlambat kerja insulin (Hasdinah dan
Suprapto, 2014).
2. Etiologi DM Tipe II
Penyebab DM tipe 2 belum diketahui secara pasti penyebabnya, diperkirakan faktor genetik menjadi
penyebab terjadinya retensi insulin pada pasien DM. Akibat dari gabungan dari abnormalitas komplek insulin
dan sistem transport glukosa. Kadar glukosa normal dapat dipertahankan dalam waktu yang cukup lama dan
meningkatkan sekresi insulin, tetapi pada akhirnya sekresi insulin yang beredar tidak lagi mempertahankan 6
euglikemia. Faktor-faktor resiko yang berhubungan dengan proses terjadinya diabetes tipe II, yaitu : Usia
(resistensi insulin cenderung meningkat pada usia diatas 65 tahun), obesitas, riwayat keluarga, dan kelompok
etnik (Rendy, 2012).
3. Patofisiologi
Diabetes mellitus adalah penyakit yang disebabkan karena menurunnya insulin atau defisiensi insulin
(Fatimah, 2015).
Defisiensi insulin terjadi karena :
a. Kerusakan
b. Menurunnya reseptor insulin pada jaringan perifer
c. Menurunnya reseptor glukosa di kelenjar pankreas
Diabetes melitus tipe 2 terjadi karena sel-sel insulin gagal karena tidak mampu merespons dengan baik
atau biasa disebut dengan resistensi insulin (Teixeria, 2011). Resistensi insulin disebabkan karena faktor genetik
dan lingkungan juga bisa menjadi penyebab terjadinya DM. Pasien DM tipe 2 produksi glukosa dalam hati
berlebihan akan teteapi tidak terjadi kerusan sel beta langrhans secara autoimun (Fatimah, 2015). Pada
perkembangan awal DM tipe 2 sel beta akan mengalami gangguan sekresi insulin, apabila tidak segera ditangani
makan akan menyebabkan kerusakan pada sel beta pankreas. Ketika kadar gula dalam darah meningkat, pankreas
akan mengelurkan hormon yang dinamakan insulin sehingga memungkinkan sel tubuh akan akan menyerap
glukosa tersebut sebagi energi. Hiperglikemia pada pasien dm terjadi karena menurunnya penyerapan glukosa
oleh sel yang di ikuti dengan meningkatnya pengeluran glukosa dalam hati. 7 Pengeluaran glukosa dalam hati
akan meningkat karena adanya proses yang menghasilkan glukogenolisis dan glukoneogenesis tanpa hambatan
karena insulin tidak diproduksi (Sherwood, 2011).
5. Klasifikasi Diabetes Melitus
1. Diabetes Mellitus tipe 1 terjadi karena obstruksi sel beta dan menyebabkan defisiensi insulin.
2. Diabetes Mellitus tipe 2 terjadi karena adanya kekebalan terhadap insulin
3. Diabetes Mellitus tipe lain terjadi karena defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit
eksokrin pankreas, endokrinopati, pengaruh obat dan zat kimia, infeksi, masalah imunologi yang jarang, dan
sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM
4. DM gestasional. (Perkeni, 2011).
6. Manifestasi Klinis Tanda dan gejala pasien DM dibagi menjadi dua macam yaitu gejala kronik dan gejala akut
serta munculnya ulkus diabetic, yaitu :
1) Gejala akut yang timbul pada pasien DM berupa :
a. Pasien akan banyak mengkonsumsi makanan
b. Pasien akan banyak mengkonsumsi minum
c. Pasien akan lebih sering buang air kecil Apabila gejala tersebut tidak segera ditangani maka akan
timbul gejala lain seperti menurunnya nafsu makan pasien dan berat badan akan turun, mudah merasa
lelah, pada keadaan tertentu pasien akan koma.
2). Gejala kronis yang muncul antara lain :
a. Pasien biasanya akan mengeluh kesemutan 10
b. Kulit pasien akan terasa panas
c. Kulit pasien terasa tebal
d. Mengalami kram
e. Cepat mengantuk
f. Pandangan pasien kabur
g. Gigi mudah goyang dan sering lepas
h. Pada wanita hamil kemungkinan terburuknya dalah keguguran dan prematuritas.
3) Luka diabetic Luka diabetic atau sering biasa disebut ulkus diabetik luka yang disebabkan karena pulsasi
pada bagian arteri distal.
7 . Komplikasi
1. Komplikasi Akut
a. Hipoglikemia, yaitu kadar gula dalam darah berada dibawah nilai normal < 50 mg/dl
b. Hiperglikemia, yaitu suatu keadaan kadar gula dalam darah meningkat secara tiba – tiba dan dapat
berkembang menjadi metabolisme yang berbahaya 2. Komplikasi Kronis
a. Komplikasi makro vaskuler, yang biasanya terjadi pada pasien DM adalah pembekuan darah di sebagian
otak, jantung koroner, stroke, dan gagal jangung kongestif
b. Komplikasi mikro vaskuler, yang biasanya terjadi pada pasien DM adalah nefropati, diabetik retinopati
(kebutaan), neuropati, dan amputasi (Perkeni, 2015).
8. Penatalaksanaan Penatalaksanaan diabetes dititikberatkan pada 4 pilar penatalaksanaan diabetes, yaitu edukasi,
terapi gizi medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis.
a. Edukasi
Tim kesehatan mendampingi pasien dalam perubahan perilaku sehat yang memerlukan partisipasi efektif
dari klien dan keluarga klien. Tujuan utama dari pemberian edukasi pada pasien DM dan juga pada keluarga
adalah harapan diamana pasien dan keluarga akan mengerti bagaimana cara penanganan yang tepat dilakukan
pada pasien DM. Edukasi pada pasien bisa dilakukan meliputi pemantauan kadar gula darah, perawatan luka,
kepatuhan dalam pengansumsian obat, peningkatan aktivitas fisik, pengurangan asupan kalori dan juga
pengertian serta komplikasi dari penyakit tersebut (Suzanna, 2014).
b. Terapi Gizi Medis
Pasien DM harus mampu memenuhi prinsip 3J pada dietnya, meliputi (jumlah makanan yang dikonsumsi,
jadwal diet yang ketat dan juga jenis makanan apa yang dianjurkan dan pantangan makannya) (Rendy, 2012).
c. Olahraga Olahragasecara teratur 3-4x dalam seminggu kurang lebih 30 menit (Suzanna, 2014).
d. Intervensi farmakologis Berupa pemberian obat Hipoglikemik oral (sulfonilurea, biguanid/metformin, inhibitor
alfa glukosidase dan insulin) (Ernawati, 2013).
Dengan penanganan yang benar baik pencegahan dan perawatannya, diharapkan gangren dapat dilakukan
pengobatannya secara benar agar pasien DM bisa berkurang.
Penatalaksanaan gangren sebagai berikut :
a. Kontrol kadar gula darah Pengendalian gula darah dan berbagai upaya sangat penting dilakukan untuk
memperbaiki keadaan umum penderita dengan nutrisi yang memadai.
b. Penanganan ulkus/gangren Tindakan yang dilakukan untuk penanganan ulkus/gangren ini, antara lain : bedah
minor seperti insisi, pengaliran abses, debridemen, dan nekrotomi dengan tujuan untuk mengeluarkan semua
jaringan nekrosis untuk mengeliminasi infeksi, sehingga diharapkan dapat mempercepat penyembuhan luka.
c. Memperbaiki sirkulasi darah
1) Memperbaiki status rheologi, merupakan tindakan memberikan obat antiagregasi trombosit hipolipidemik yang
bertujuan untuk memperbaiki jaringan yang terserang.
2) Memperbaiki struktur vaskuler, merupakan tindakan yang dilakukan dengan cara embolektomi, endarteriktomi
atau biasa disebut dengan rekontruksi pembuluh darah.
d. Penanganan infeksi Berikan antibiotik ika terindikasi adanya infeksi.
e. Perawatan luka Perawatan luka dilakukan dengan cara manajemen jaringan, kontrol infeksi dan infeksi, serta
perluasan tepi luka.
a) Tissue managemen (Managemen jaringan) Manajemen jaringan dilakukan melalui debridemen, yaitu
menghilangkan jaringan mati pada luka. Jaringan yang perlu dihilangkan adalah jaringan nekrotik dan slaf.
Manfaat debridemen adalah menghilangkan jaringan yang sudah tidak tervaskularisasi, bakteri, dan eksudat
sehingga akan menciptakan kondisi luka yang dapat menstimulasi munculnya jaringan yang sehat. Ada beberapa
cara debridemen yang dapat dilakukan, berupa :
(1) Debridemen mekanis Yaitu metodeyang dilakukan dengan cara
menempelkan kasa lembab kemudian tutup atau letakkan kasa kering
diatasnya. Biarkan hingga kasa kering setelah kering angkat.
(2) Debridemen bedah Pengangkatan jaringan mati dengan menggunakan tindakan medis
berupa tindakan pembedahan atau operasi.
(3) Debridemen autolitik Tindakan pembalutan luka setelah dicuci atau dibersihkan.
(4) Debridemen Enzim Debridemen enzim merupakan cara debridemen dengan menggunakan
enzim yang dibuat secara kimiawi untuk dapat mencerna jaringan mati atau melonggarkan ikatan antara
ikatan antara jaringan mati dan jaringan hidup. Enzim ini bersifat selektif, yaitu hanya akan memakan
jaringan mati. Hal yang harus diperhatikan dalam menggunakan jenis debridemen ini adalah menghindari
penggunaan balutan luka yang mengandung logam berat seperti silver, mineral, seng, cairan basa atau
asam, karena dapat menginaktivasi enzim. Pada luka dengan skar (luka jaringan nekrotik yang kering),
maka kita perlu melakukan sayatan pada skar dengan menggunakan pisau agar enzim dapat meresap pada
skar dan permukaan luka tetap lembab.
(5) Debridemen biologi Debridemen biologi dapat dilakukan dengan menggunakan belatung
yang sudah disteril. Jenis belatung yang digunakan adalah spesies Lucia Cerrata atau Phaenica Sericata.
Belatung ini diletakkan didasar luka selama 1-4 hari. Belatung ini mensekresikan enzim preteolitik yang
dapat memecah jaringan nekrotik dan mencerna jaringan yang sudah dipecah. Sekresi dari belatung ini
memiliki efek anti mikrobial yang membantu 15 dalam mencegah pertumbuhan dan proliferasi bakteri,
termasuk Metchilin-resistant Staphylococcus aureus.

b) Kontrol infeksi dan inflamasi Infeksi bisa bersifat lokal (termasuk didalamnya
selulitis), atau sistemik (sepsis). Tanda infeksi yaitu meningkatnya eksudat, nyeri, adanya
kemerahan (eritema) yang baru atau meningkatnya kemerahan pada luka, peningkatan temperatur
pada daerah luka, dan bau luka atau eksudat. Cara yang dilakukan adalah meningkatkan daya
tahan tubuh, debridemen, pembersihan luka dan mencuci luka untuk menghilangkan bakteri,
eksudat, dan jaringan mati, serta memberikan balutan luka anti mikroba.
c) Mempertahankan kelembaban
d) Perluasan tepi luka Salah satu tanda dari penyembuhan luka pasien bisa dilihat
dengan luasnya sel epitel menuju tengah luka (Yunita, 2015)
9. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang untuk DM dilakukan pemeriksaan glukosa darah sewaktu, kadar glukosa darah
puasa, kemudian dilanjutkan dengan Tes Toleransi Glukosa Oral standar. Untuk kelompok resiko tinggi DM,
seperti usia dewasa tua, tekanan darah tinggi, obesitas, riwayat keluarga, dan menghasilkan hasil pemeriksaan
negatif, perlu pemeriksaan penyaring setiap tahun. Bagi pasienberusia tua tanpa faktor resiko pemeriksaan
penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun (Yunita, 2015).
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat digolongkan ke dalam
kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa terganggu (TGT), glukosa darah puasa terganggu
(GDPT). Pertama Glukosa darah puasa terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma puasa antara 100-
125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2 jam.

Anda mungkin juga menyukai