DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 1
2023
LATAR BELAKANG
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB I .........................................................................................................4
PENDAHULUAN........................................................................................4
C. Tujuan ..............................................................................................5
BAB II ........................................................................................................6
PEMBAHASAN ..........................................................................................6
PENUTUP ...............................................................................................18
A. Kesimpulan ....................................................................................18
B. Saran .............................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................19
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
4
(atau lazim disebut sebagai geriatric giants). Keadaanakan semakin
rumit jika secara psikososial terdapat hendaya seperti neglected
atau miskin (finansial). Sehingga pendekatan untuk pasien geriatri
harus bersifat holistik danparipurna, yaitu bio-psiko-sosial, juga dari
sisi kuratif, reehabilitatif, preventif, danpromotif (Soejono,2006).
Pendekatan klinis yang lazim dikerjakan seperti anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan penunjang ditambah pengkajian untuk
mendeteksi gangguanyang terutama sering terdapat pada usia lanjut
yaitu fungsi kognitif dan afek, mobilitas, gait, keseimbangan,
kontinens, nutrisi, penglihatan dan pendengaran. Pengkajian status
ungsional untuk mengatasi hendaya menjadi penting karena
sering hal ini yangmenjadi skala prioritas penyelesaian masalah
(Supartondo,2001).
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
masalah, gangguan dalam hubungan dengan masyarakat,
gangguan dalam aktivitas di rumah dan minat intelektual
serta gangguan dalam pemeliharaan diri.
2) Tanda dan gejala
a. Kesukaran dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari
b. Pelupa
c. Sering mengulang kata-kata
d. Tidak mengenal dimensi waktu, misalnya tidur di ruang
makan
e. Cepat marah dan sulit di atur.
f. Kehilangan daya ingat
g. Kesulitan belajar dan mengingatin formasi baru
h. Kurang konsentrasi
i. Kurang kebersihan diri
j. Rentan terhadap kecelakaan: jatuh
k. Mudah terangsang
l. Tremor
m. Kurang koordinasi gerakan.
3) Pengenalan dini demensia
Pengenalan dini demensia berarti mengenali:
a. Kondisi normal (mengidentifikasi BSF dan AAMI):
kondisi kognitif padalanjut usia yang terjadi dengan
adanya penambahan usia dan bersifat wajar. Contoh:
keluhan mudah lupa secara subyektif, tidak ada
gangguan kognitif ataupun demensia.
b. Kondisi pre-demensia (mengidentifikasi CIND dan
MCI): kondisi gangguan kognitif pada lanjut usia
dengan ciri mudah lupa yang makin nyata dan dikenali
(diketahui dan diakui) oleh orang dekatnya. Mudah
lupa subyektif dan obyektif serta ditemukan
7
performa kognitif yang rendah tetapi belum ada
tanda-tanda demensia.
c. Kondisi demensia: kondisi gangguan kognitif pada
lanjut usia denganberbagai jenis gangguan seperti
mudah lupa yang konsisten, disorientasi terutama
dalam hal waktu, gangguan pada kemampuan
pendapat dan pemecahan masalah, gangguan dalam
hubungan dengan masyarakat, gangguan dalam
aktivitas di rumah dan minat intelektual serta gangguan
dalam pemeliharaan diri.
3. Strategi Latihan Kognitif
a. Menurunkan cemas
b. Tehnik relaksasic.
c. Biofeed back, menggunakan alat untuk menurunkan cemas
dan memodifikasi respon perilaku.
d. Systematic desenzatization. Dirancang untuk menurunkan
perilaku yang berhubungan dengan stimulus spesifik
misalnya karena ketinggian atau perjalanan melalui
pesawat. Tehnik ini meliputi relaksasi otot
denganmembayangkan situasi yang menyebabkan cemas.
e. Flooding. Klien segera diekspose pada stimuli yang paling
memicu cemas (tidak dilakukan secara berangsur – angsur)
dengan menggunakan bayangan/imajinasi.
f. Pencegahan respon klien. Klien didukung untuk
menghadapi situasi tanpa melakukan respon yang biasanya
dilakukan.
4. Terapi kognitif
a. Latihan kemampuan social meliputi: menanyakan
pertanyaan, memberikansalam, berbicara dengan suara
jelas, menghindari kiritik diri atau orang lai.
8
b. Aversion therapy: therapy ini menolong menurunkan
perilaku yang tidakdiinginkan tapi terus dilakukan. Terapi ini
memberikan stimulasi yang membuat cemas atau penolakan
pada saat tingkah laku maladaptive dilakukan klien.
c. Contingency therapy: Meliputi kontrak formal antara klien dan
terapis tentang apa definisi perilaku yang akan dirubah atau
konsekuensi terhadap perilaku itu jika dilakukan. Meliputi
konsekuensi positif untuk perilaku yang diinginkan dan
konsekuensi negative untuk perilaku yang tidak diinginkan.
9
B. Tes Kognitif Dan Interpretasi Latihan Kognitif Pada Lansia
10
2. Teknik Pemakaian Dan Penilaian MMSE
MMSE menggunakan instrumen berbentuk berbagai
pertanyaan. Daftar pertanyaan terdapat pada gambar 1. Cara
penggunaannya adalah sebagai berikut (Folstein, 1975;
Setiati,2007):
a. Penilaian Orientasi (10 poin)
Pemeriksa menanyakan tanggal, kemudian pertanyaan dapat
lebih spesifik jika ada bagian yang lupa (misalnya: ”Dapatkah
anda juga memberitahukan sekarang musim apa?”). Tiap
pertanyaan yang benar mendapatkan 1 (satu) poin.
Pertanyaan kemudian diganti dengan,”Dapatkah anda
11
menyebutkan nama rumah sakit ini (kota, kabupaten, dll) ?”.
Tiap pertanyaan yang benar mendapatkan 1 (satu poin).
b. Penilaian Registrasi (3 poin).
Pemeriksa menyebutkan 3 nama benda yang tidak
berhubungan dengan jelas dan lambat. Setelah itu pasien
diperintahkan untuk mengulanginya. Jumlah benda yang
dapat disebutkan pasien pada kesempatan pertama dicatat
dan diberikan skor (0-3). Jika pasien tidak dapat
menyebutkan ketiga nama benda tersebut pada kesempatan
pertama, lanjutkan dengan mengucapkan namanya sampai
pasien dapat mengulang semuanya, sampai 6 kali
percobaan. Catat jumlah percobaan yang digunakan pasien
untuk mempelajari kata-kata tersebut. Jika pasien tetap tidak
dapat mengulangi ketiga kata tersebut, berarti pemeriksa
harus menguji ingatan pasien tersebut. Setelah
menyelesaikan tugas tersebut, pemeriksa memberitahukan
kepada pasien agar mengingat ketiga kata tersebut, karena
akan ditanyakan sebentar lagi.
c. Perhatian dan kalkulasi (5poin)
Pasien diperintahkan untuk menghitung mundur dari 100
dengan selisih 7. hentikan setelah 5 angka. Skor berdasarkan
jumlah angka yang benar. Jika pasien tidak dapat atau tidak
dapat mengerjakan tugas tersebut, maka dapat digantikan
dengan mengeja kata ”DUNIA” dari belakang. Cara
menilainya adalah menghitung kata yang benar. Contohnya
jika menjawab “AINUD” maka diberi nilai 5, tetapi jika
menjawab “AINDU” diberi nilai 3.
d. Ingatan(3poin)
Pasien diperintahkan untuk mengucapkan 3 kata yang
diberikan sebelumnya kepada pasien dan disuruh
12
mengingatnya. Pemberian skor dihitung berdasarkan jumlah
jawaban yang benar.
e. Bahasa dan praktek (9 poin)
- Penamaan: Pasien ditunjukkan arloji dan diminta
menyebutkannya. Ulangi dengan menggunakan pensil.
Skor 1 poin setiap nama benda yang benar (0-2).
- Repetisi (pengulangan): Pasien diminta untuk mengulangi
sebuah kalimat yang diucapkan oleh penguji pada hanya
sekali kesempatan. Skor 0 atau 1.
- Perintah 3 tahap: pasien diberikan selembar kertas
kosong, dan diperintahkan, ” Taruh kertas ini pada tangan
kanan anda, lipat menjadi 2 bagian, dan taruh di lantai”.
Skor 1 poin diberikan pada setiap perintah yang dapat
dikerjakan dengan baik (0-3).
- Membaca: Pasien diberikan kertas yang bertuliskan
”Tutup mata anda” (hurufnya harus cukup besar dan
terbaca jelas oleh pasien. Pasien diminta untuk membaca
dan melakukan apa yang tertulis. Skor 1 diberikan jika
pasien dapat melakukan apa yang diperintahkan. Tes ini
bukan penilaian memori, sehingga penguji dapat
mendorong pasien dengan mengatakan ”silakan
melakukan apa yang tertulis” setelah pasien membaca
kalimat tersebut.
- Menulis: Pasien diberikan kertas kosong dan diminta
menuliskan suatu kalimat. Jangan mendikte kalimat
tersebut, biarkan pasien menulis spontan. Kalimat yang
ditulis harus mengandung subjek, kata kerja dan
membentuk suatu kalimat. Tata bahasa dan tanda baca
dapat diabaikan.
- Menirukan: pasien ditunjukkan gambar segilima yang
berpotongan, dan diminta untuk menggambarnya semirip
13
mungkin. Kesepuluh sudut harus ada dan ada 2 sudut
yang berpotongan unruk mendapatkan skor 1 poin.
Tremor dan rotasi dapat diabaikan.
3. Interpretasi Penilaian MMSE
Setelah dilakukan penilaian, skor dijumlahkan dan didapatkan
hasil akhir. Hasil yang didapatkan diintrepetasikan sebagai dasar
diagnosis. Ada beberapa interpretasi yang bisa digunakan.
Metode yang pertama hanya menggunakan single cutoff, yaitu
abnormalitas fungsi kognitif jika skor <24. metode lain
menggunakan range. Jika skor <21 kemungkinan demensia akan
meningkat, sedangkan jika skor >25 kecil kemungkinan
demensia.
Interpretasi lainnya memperhitungkan tingkat pendidikan
pasien. Pada pasien dengan tingkat pendidikan rendah (di bawah
SMP) ambang batas abnormal diturunkan menjadi 21, pada
tingkat pendidikan setingkat SMA abnormal jika skor <23, pada
tingkat perguruan tinggi skor abnormal jika <24.
Berat ringannya gangguan kognitif dapat diperkirakan dengan
MMSE. Skor 24-30 menunjukkan tidak didapatkan kelainan
kognitif. Skor 18-23 menunjukkan kelainan kognitif ringan. Skor
0-17 menunjukkan kelainan kognitif yang berat (Folstein, 1975).
14
Abnormal pada tingkat pendidikan
penguruan tinggi
Keparahan 24-30 Tidak ada kelainan kognitif
18-23 Kelainan kognitif ringan
0-17 Kelainan kognitif berat
4. Tes Kognitif Abbreviated Mental Test Score AMT
No SETIAP JAWABAN BENAR MENDAPATSKOR
SATU POIN
1. Umur
2. Waktu (jam)
3. Alamat lengkap (pertanyaan di ulang saat akhir
wawancara
4. Tahun
5. Nama rumah sakit, institusi atau alamat rumah
(tergantung tempat wawancara)
6. Mengenal 2 orang (misalnya dokter, perawat, istri, dll)
7. Tanggal lahir
8. Tahun perang dunia 1 di mulai
9. Nama raja sekarang
10. Menghitung mundur dari skor 20 ke 1
Total Skor
SKOR KURANG DARI 6 MENUNJUKAN ADANYA
DEMENSIA
15
5. Interpretasi AMT
Perkiraan penggunaan waktu pelaksanaan harus di
perhatikan, karena waktu penilaian lebih panjang pada penderita
dengan kelalaian kognitif daripada yang tidak. Oleh sebab itu, di
kembangkan beberapa instrumen untuk menitai fungsi kognitif
pada penderita lanjut usia dengan waktu yang lebih pendek
daripada MMSE. Salah satu instrumen yang dikembangkan
adalah Abbreviated Mental Test Care (AMT)
(MacKenzie,1996:Tangalos,1996). AMT mempunyai sensifitas
dan spesivitas yang lebih rendah dalam mendeteksi adanya
kelainan kognitif daripada MMSE. AMT tampaknya kurang
menyenangkan, meskipun lebih mudah dan cepat untuk
digunakan. (Tombaugh,1992; MacKenzie,1996). Interpretasi
skor pada AMT adalah jika skor AMT <6 menunjukkan adanya
demensia.
The Abbreviated Mental Test (AMT) lebih singkat, terdiri dari
10 soal yang digunakan untuk skrining kelainan. Tes ini terdiri dari
10 pertanyaan yang diseleksi berdasarkan nilai diskriminatif dari
Mental Test Score yang lebih panjang. AMT termasuk komponen-
komponen yang mengikuti memori baru dan lama, atensi, dan
orientasi. Skor <8 merupakan batas yang menunjukkan defisit
kognitif yang bermakna. Tes ini menunjukkan secara cepat
penilaian beratnya penyakit dibandingkan tes yang lebih panjang.
Tes ini mampu mendeteksi perubahan kognisi yang berhubungan
dengan perkembangan pasca operatif pada delirium. Pada
pasien usia lanjut, tes ini dapat dikerjakan dalam 3 menit.
Terdapat versi 4 pertanyaan AMT (AMT4), dengan
pertanyaan tentang umur, tanggal lahir, tempat, dan tahun saja.
Tes ini lebih cepat, lebih mudah digunakan, dan lebih mudah
diingat oleh pemeriksa. Sehingga lebih meningkatkan
16
kemungkinan penggunaan tes ini secara rutin pada pasien usia
lanjut di rumah sakit yang sibuk atau di UGD.
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
18
DAFTAR PUSTAKA
Mac Kenzie DM, Copp P, Shaw RJ, et al,1996. Brief cognitive screening of
the elderly: acomparison of the Mini Mental State Examination
(MMSE), Abbreviated Mental Test (AMT) and Mental Status
Questionnaire (MSQ). Psychological Medicine; 26:427–30.
Tangalos EG, Smith GE, Ivnik RJ, et al. 1996.The Mini-Mental State
Examinationin general medical practice: clinical utilityand
acceptance MayoClinProc71:829–37
19