Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN SKIZOFRENIA

TUGAS MATA KULIAH KEPERAWATAN JIWA


Dosen Pengajar: Ns. Emi Wuri Wuryaningsih, M.Kep., Sp.Kep.J

Oleh
Kelompok 13:
Dian Novita A. (162310101108)
Jaya Anggara (162310101209)
Grysha Viofananda A. K. A (162310101292)

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS JEMBER
2018
DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN....................................................................................
1.1...........................................................................................................La
tar Belakang.............................................................................................
1.2...........................................................................................................K
asus............................................................................................................
1.3...........................................................................................................R
umusan Masalah......................................................................................
1.4...........................................................................................................T
ujuan Pembelajaran................................................................................
1.4.1 Tujuan Umum..............................................................................
1.4.2 Tujuan Khusus.............................................................................
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................
2.1 Definisi ..................................................................................................
2.2 Faktor Penyebab..................................................................................
2.3 Klasifikasi Skizofrenia.........................................................................
2.4 Diagnosis ICD-10 Skizofrenia.............................................................
2.4.1 PPGDJ III ....................................................................................
2.4.2 DSM V...........................................................................................
2.5 Patofisiologi...........................................................................................
2.6 Tanda dan Gejala.................................................................................
2.7 Rentang Respon Neurobiologi ...........................................................
2.8 Penatalaksanaan...................................................................................
2.8.1 Asuhan Medis ..............................................................................
2.8.2 Asuhan Keperawatan ..................................................................
BAB 3 PENUTUP................................................................................................
3.1 Simpulan ..............................................................................................
3.2 Saran ....................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Skizofrenia adalah sindrom klinis yang kompleks dan memasyarakat.
Gangguan psikologis ini merupakan jenis kelainan yang berhubungan dengan
stigma tentang gila / sakit mental. Sehingga dalam UU RI Nomor 8 Tahun 2016
Skizofrenia dikategorikan ke dalam disabilitas mental yang terganggu fungsi
pikir, emosi, dan perilakunya. Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang paling
banyak terjadi dengan gejala distorsi realita, disorganisasi kepribadian parah, serta
ketidakmampuan individu berinteraksi dengan kehidupan sehari-hari. Hampir 1 %
penduduk dunia mengalami skizofrenia yang berkisar pada usia 15-35 tahun.
Parahnya 7 dari 1000 orang mengalami skizofrenia (Elvira & Hadisukanto, 2010).
Hasil analisis terbaru World Health Organization (2013) menunjukkan
sekitar 450 juta orang menderita gangguan neuropsikiatri, termasuk skizofrenia.
Data American Psychiatric Association (2013) menyebutkan 1% populasi
penduduk dunia menderita skizofrenia. Diperkirakan 75% penderita skizofrenia
berkisar pada usia 16-25 tahun. Usia remaja dan dewasa muda memang berisiko
tinggi karena pada tahap usia perkembangan ini banyak sekali stresor kehidupan.
Pada tahun 2013 secara nasional penduduk Indonesia mengalami gangguan
mental berat (Skizofrenia) sebanyak 0,17% atau setara 400 ribu jiwa, dan
ironisnya ada 12 provinsi dengan prevalensi gangguan jiwa berat yang melebihi
angka nasional. Sedangkan di daerah Surakarta, prevalensi berdasarkan data
rekam medik RSJD Surakarta (2010) terdata sebanyak 2.381 pasien skizofrenia.
Dimana 33 orang (hebefrenik), 10 orang (katatonik), 333 orang (tak terinci), 1
orang (depresi pasca skizofrenia), 158 orang (residual), 4 orang (simpleks),1.047
orang (tidak teridentifikasi) (Lestari, 2011).
Pada pertengahan abad ke-20 penelitian penyebab skizofrenia difokuskan
pada faktor patologis yang biasa disebut autopsi namun hal ini tidak menemukan
hasil. Pada tahun 1920-1960 terjadi pergeseran penyebab skizofrenia dari
patologis menuju psikologis. Penelitian terbaru mulai menujukkan bahwa
skizofrenia diakibatkan oleh disfungsi otak. Hal ini berdasarkan teori neurokimia
atau neorologis dan didukung oleh efek antipsikotik yang membantu mengontrol
gejala dan alat pencitraan saraf seperti computed tomography (CT) yang
menunjukkan bahwa struktur dan fungsi otak individu dengan skizofrenia berbeda
(Gur & Gur, 2000). Jadi tampaknya skizofrenia tidak disebabkan oleh penyebab
tunggal, namun multifaktorial. Sebagian besar ilmuan meyakini bahwa skizofrenia
adalah penyakit biologis yang disebabkan oleh faktor genetik, ketidakseimbangan
kimiawi otak, abnormalitas struktur otak, atau abnormalitas dalam lingkungan
prenatal (Videbeck, 2001).

Skizofrenia sama dengan penyakit kronis lainnya seperti diabetes mellitus,


hipertensi yang tetap memerlukan program pendampingan meskipun gejalanya
sudah mereda. Bagi sebagian besar pasien, pengobatan jangka panjang bisa
mengurangi kekambuhan secara signifikan. Selain itu pasien harus menjalani
pelatihan rehabilitasi secara bertahap untuk pemulihan yang lebih cepat. Disinilah
peran aktif anggota keluarga untuk wajib mendukung dan membantu pasien dalam
mengikuti program pengobatan serta mengikuti kegiatan sosial, demi kehidupan
sosial yang lebih baik. Selain itu, anggota keluarga harus mengekspresikan diri
dan berkomunikasi dengan pasien secara positif dan bersifat langsung,
memperhatikan peningkatan kesehatan pasien, dan memberikan pujian serta
dorongan untuk meningkatkan kepercayaan diri pasien.

1.2 Contoh Kasus


Kasus Nyata Luar Negeri
a. Skizofrenia Paranoid
Esther adalah wanita lajang berusia 31 tahun yang hidup bersama ibunya
yang sudah tua. Keyakinan bahwa udara di luar dipenuhi dengan gelombang
radio yang akan menyusupkan pemikiran jahat ke dalam kepalanya membuat
Esther tidak meninggalkan rumah. Jendela di kamarnya dilindungi dengan
kertas alumunium yang menangkis gelombang radio. Ia sering mendengar
suara-suara yang berkomentar disinyal radio tersebut. Misalnya, seseorang
berkomentar dengan suara yang pelan, rendah seperti suara orang yang sudah
tua yang sedang marah. “Kami akan memasukkan pemikiran ini ke kepalamu.
Menyerahlah!” (Halgind & Susan, 2010).
b. Skizofrenia Disorganized
Joshua, lelaki berusia 43 tahun dapat ditemukan setiap hari didekat anak
tangga sebuah bank lokal di ujung jalan yang sibuk. Setiap hari ia memakai
topi bisbol, kaus oblong bewarna kuning, celana pendek untuk mendaki, dan
sepatu karet berwarna orange. Baik hujan maupun terik, hari demi hari,
Joshua mempertahankan masa lalunya di bank tersebut. Kadang kala, ia
terlihat berbicara dengan orang imajiner. Tanpa sebab ia menangis tersedu-
sedu, kadang kala ia tertawa meledak-ledak. Polisi dan pekerja sosial selalu
membawanya ketempat penampungan bagi gelandangan, namun Joshua
selalu dapat kembali ke bank tersebut sebelum ia mendapat treatment. Ia
secara berulang-ulang menyatakan bahwa orang disekitarnya tidak punya hak
untuk mengganggunya (Halgind & Susan, 2010).
c. Skizofrenia Katatonik
Maria adalah mahasiswa perguruan tinggi berusia 21 tahun yang telah masuk
rumah sakit jiwa selama sebulan ini. Asisten residen di asrama Maria
membawanya ke rumah sakit pada bulan Desember karena ia semakin
khawatir dengan penurunan perilaku maria. Ketika maria kembali ke
perguruan tinggi pada bulan september, teman sekamarnya menceritakan
pada yang lain termasuk asisten residen bahwa maria bertingkah aneh.
Misalnya, ia memiliki kebiasaan yang menjengkelkan yaitu mengulangi kata-
kata orang lain, terus menerus memandang keluar jendela, dan tidak peduli
kebersihan diri. Semakin mendekati akhir semester maria semakin asik
dengan dunia sendiri, hingga perilakunya mencapai titik ketika ia sama sekali
tidak merespon orang lain. Di rumah sakit ia tetap pada postur kaku sambil
menatap ke arah langit-langit dan menghabiskan waktunya dalam kondisi
yang tidak nyata & tidak dapat dimasuki orang lain. Staf penanganan
kebingungan intervensi apA yang akan diberikan karena sensitivitasnya yang
berlebihan terhadap obat pada umumnya (Halgind & Susan, 2010).
d. Skizofrenia Tipe Tidak Dapat Dibedakan
Bruce, pekerja pemeliharaan berusia 24 tahun, dianggap aneh oleh hampir
semua orang yang ia temui. Ia memiliki cara melihat yang aneh, dan ia sering
komat-kamit sendiri, seolah ia sedang bicara dengan seseorang. Kata-kata
yang ia gunakan kadang terdengar seperti bahasa asing, namun tidak seorang
pun yang dapat memahaminya. Kadang, ia memandang keluar jendela selama
berjam-jam, dan ia marah-marah pada setiap orang yang mengganggunya. Ia
seolah-olah hanyut ke dunia fantasi, namun tetap berusaha melakukan tugas-
tugas pemeliharaannya (Halgind & Susan, 2010).
e. Skizofrenia Residu
Tiga tahun setelah dimasukkan kerumah sakit untuk ketiga kalinya karena
skizofrenia, kondisi Joyce terlihat stabil. Ia rutin minum obatnya dan
melakukan pemeriksaan secara teratur di Center For Independent Living
(lembaga yang menyupervisi perpindahan kerjanya di pabrik sarung tangan),
berkunjung dengan saudara perempuan dan keluarganya. Pada usia 45 tahun,
Joyce terkadang memperlihatkan tanda-tanda penyakit yang suatu waktu
dapat melumpuhkan dirinya secara total. Ia kadang masih diliputi gagasan
bahwa mertuanya yang terdahulu mengiriminnya amplop beracun dalam
surat. Lain waktu, ia tidak dapat menghentikan dirinya berjalan kaki kesana
kemari secara pelan-pelan. Akan tetapi, simtom-simtom tersebut tidak pernah
berlangsung lama, dan ia segera mampu melakukan kembali jadwal hariannya
tanpa merasa tertekan (Halgind & Susan, 2010).
Kasus Nyata Dalam Negeri
a. Skizofrenia Disorganized
Heteroanamnesis dilakukan terhadap pak T, kakak pasien yang merupakan
anak ke empat yang sedang berada di Banyuwangi. Pasien sebelumnya
tinggal di Banyuwangi sebelum dibawa berobat oleh kakak pertamanya.
Awalnya pasien adalah anak yang pendiam dan tertutup. Setelah dari Bali
pasien sering berbicara ngelantur (enam bulan yang lalu). Keluarga pasien
berpikir pasien akan membaik jika dinikahkan, sehingga pasien di
perkenalkan dengan seorang laki-laki dan akhirnya dinikahkan. Tiga bulan
setelah menikah, kondisi pasien semakin memburuk, semakin suka ngelantur,
sehingga menyebabkan suaminya tidak tahan dan meminta cerai. Pasien tidak
pernah melihat bayangan maupun berbicara sendiri seolah-olah ada lawan
bicara, hanya saja pasien sering berbicara ngelantur dan mengatakan hal yang
sama. Pasien juga tidak marah maupun mengamuk. Sebelumnya pasien tidak
pernah mengalami kecelakaan maupun cedera kepala (Sucipto, 2011).
b. Skizofrenia Tidak Dapat Dibedakan
Ny. Saminah perempuan biasa disebut aminah, 80 tahun mengalami
halusinasi selama 10 tahun lebih semenjak mengalami pelecahan seksual
yang sebelumnya dia berkeja sebagai PRT. Berdasar data dari keluarga klien,
mengatakan bahwa klien sering jalan-jalan baik pagi, siang maupun malam
hari. Dia juga berbicara sendiri, dan pembicaraannya melantur. Saat
dilakukan pengkajian fisik mayoritas klien tidak kooperatif terhadap
pertanyaan yang diajukan perawat. Klien mampu memenuhi kebutuhan KDM
seperti makan, tidur, BAK dan BAB, namun tidak mau mandi. Sejak saat itu
hubungan klien dengan anak, ormas disekitar lingkungannya memburuk.
Keluarga juga mengatakan ibadah klien memburuk dan tidak mengenal
Tuhan Yang Maha Esa. Kontak mata klien minim sekali, dan terkadang
apatis, afek yang datar, dan tampak terlihat gelisah akan sesuatu yang ada
pada pikirannya. Selain itu klien tidak mampu fokus dan lupa terhadap nama
keluarga dan tetangganya. Respon keluarga masih minim ditandai dengan
klien tidak mendapatakan layanan kesehatan dan pengobatan, justru klien
dibawa ke dukun / ”orang pintar” saja. (Wardani, 2018).
1.3 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dapat diangkat yaitu:
1. Apa pengertian dari skizofrenia?
2. Bagaimana etiologi pada skizofrenia?
3. Apa saja klasifikasi dari skizofrenia?
4. Apa saja tanda dan gejala pada pasien skizofrenia?

5. Bagaimana penatalaksanaan dari penyakit skizofrenia?

1.4 Tujuan Pembelajaran


Adapun tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut:
1.4.1 Tujuan umum
Mahasiswa Keperawatan Universitas Jember mampu memahami dengan baik
dan dapat mengaplikasikan asuhan keperawatan klien dengan gangguan jiwa
skizofrenia
1.4.2 Tujuan khusus:
1. Mahasiswa mampu menjelaskan mengenai definisi, etiologi, tanda dan gejala
skizofrenia
2. Mahasiswa dapat mengetahui penatalaksanaan serta asuhan keperawatan pada
pasien skizofrenia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Skizofrenia


Menurut American Psychiatric Assosiation (2013) penyakit otak
neurobiologis berat dan terus menerus seperti depresi, waham, psikotik singkat,
dan gangguan psikotik induksi zat disebut skizofrenia. Menurut Videbeck (2001)
skizofrenia adalah penyakit kronis yang membutuhkan strategi pelaksanaan
jangka panjang dan ketrampilan koping karena meliputi penyakit otak, sindrom
klinis yang melibatkan pikiran, presepsi, emosi, gerakan, dan perilaku individu.
Skizofrenia adalah gangguan psikotik ditandai dengan gangguan utama
dalam pikiran, emosi, dan perilaku yang terganggu, dimana terjadi inkohenrensi,
persepsi dan perhatian yang keliru, afek yang datar atau tidak sesuai, dan berbagai
gangguan aktivitas motorik yang bizarre (Davison, dkk., 2006).
Skizofrenia termasuk dalam salah satu gangguan mental yang disebut
psikosis dimana gangguan ini menunjukan beberapa gejala yaitu delusi (waham),
halusinasi, disorganized speech (pembicaraan kacau), disorganized behavior
(tingkah laku kacau), simtom-simtom negatif lainnya. Pasien psikotik tidak dapat
mengenali atau tidak memiliki kontak dengan realitas (Arif, 2006).
Skizofrenia (schizophrenia) adalah gangguan dengan serangkaian simtom
yang meliputi gangguan konteks berpikir, bentuk pemikiran, persepsi, afek, rasa
terhadap diri (sense of self), motivasi, perilaku dan fungsi interpersonal (Halgin &
Whitbourne, 2010).
Menurut PMK No. 39 Tahun 2016 Skizofrenia adalah gangguan jiwa yang
ditandai ketidakmampuan menilai realitas meliputi gangguan proses berpikir,
perasaan, persepsi, dan tingkah laku. Ditandai oleh gejala-gejala proses, arus pikir
(belajar, logika, perhatian, bicara kacau, dll), perasaan (mood), persepsi (waham,
halusinasi, ilusi, dll), tingkah laku (agresivitas, katatonik (mematung), autistik).

2.2 Faktor Penyebab


Terdapat beberapa pendekatan dalam menganalisa penyebab dari skizofrenia,
antara lain:
1. Faktor Genetik
Menurut (Cancro & Lehman, 2000) faktor keturunan dapat menentukan
penyebab dari skizofrenia, dapat dibuktikan dengan penelitian pada keluarga
penderita skizofrenia terutama anak kembar identik memiliki persentase
sebesar 50% sedangkan kembar fraternal beresiko hanya 15%, penelitian
penting lain menunjukkan bahwa anak yang mempunyai satu orang tua
biologis penderita skizofrenia memiliki resiko 15%. Persentase akan
meningkat menjadi 35% apabila anak memiliki kedua orang tua penderita
skizofrenia. Skizofrenia yang melibatkan satu gen dapat disebut quantitative
trait loci, resiko skizofrenia dapat semakin tinggi dengan banyaknya jumlah
keluarga yang menderita skizofrenia. Perlu diperhatikan bahwa faktor genetik
memiliki persentase kecil dan bukan merupakan trait faktor utama.
2. Faktor Neurokimia (Aktivitas Otak)
Skizofrenia berasal dari ketidakseimbangan neurotransmiter otak. Skizofrenia
disebabkan oleh aktivitas neurotransmitter dopamine yang berlebihan pada
otak karena sensitivitas yang abnormal terhadap dopamine yang melalui 2
jalur yaitu jalur mesocortical dan mesolimbic selain itu penelitian yang
sedang saat ini sedang coba dirintis yaitu jalur HPA axis dengan
neurotransmiter 5HT/ Serotonin dan terbukti serotonin memiliki efek serupa
dengan dopamine. Namun perlu diperhatikan bahwa skizofrenia
multifaktorial causal (Stuart, 2013).
3. Faktor Psikologis
Faktor psikososial meliputi adanya trauma dalam kejiwaan, adanya hubungan
kejiwaan anak yang patogenik, serta interaksi patogenik dalam keluarga. Para
ahli telah meneliti bahwa interaksi dalam keluarga mempengaruhi terjadinya
skizofrenia. Sebagai contoh ibu yang mempunyai sikap dingin, dominan dan
penolak hal itu dapat menyebabkan skizofrenia pada anak-anaknya. Keluarga
pada masa anak-anak memiliki peran penting untuk membentuk kepribadian
anak. Orang terkadang banyak bertindak pada anak dan tidak membiarkan
anak berkembang, lebih baik orang tua bertindak sedikit terhap anak memberi
kesempatan anak untuk berkembang atau memberikan bimbingan dan anjuran
yang di butuhkannya (Bunchanan & Carpenter, 2000)
4. Faktor Imunovirologi
Teori populer mengatakan bahwa perjalanan penyakit skizofrenia merupakan
kausla dari mikro organisme bakteri maupun virus. Baru-baru ini di Inggris
angka skizofrenia dikaitkan dengan insidensi flu dan perubahan suhu ekstrim
mengakibatkan adanya hubungan kejadian virus flu dengan insiden
skizofrenia (Egan & Hyde, 2000)
5. Faktor Neuroanatomi
Seiring perkembangan CT-Scan, MRI, PET dalam 25 tahun terakhir ilmuwan
meneliti struktur otak (neuroanatomi). Hasil CT-Scan menunjukkan
pembesaran ventrikel otak dan artrofi korteks otak. Hasil MRI menunjukkan
anatomi jaringan cerebral pada pasien skizofrenia mengalami kegagalan
perkembangan. Hasil PET menunjukkan terjadi penurunan konsumsi oksigen
(hipoksia) dan peningkatan metabolisme glukosa. Riset lanjutan menunjukkan
terjadi penurunan volume otak temporal (sesuai dengan gejala positif) dan
frontal (sesuai dengan gejala negatif misal anhedon, apatis) (Bunchanan &
Carpenter, 2000).

2.3 Klasifikasi Skizofrenia


a. Skizofrenia Paranoid
Jenis skizofrenia ini sering dialami ketika usia 30 tahun. Tipe ini di tandai
dengan waham kejar (rasa menjadi korban atau di mata-matai), atau waham
kebesaran, halusinasi dan kadang-kadang keagaman yang berlebihan
(waham agama) atau perilaku agresif dan bermusuhan
b. Skizofrenia Tipe Tidak Terorganisasi
Ditandai dengan afek datar atau afek tidak sesuai secara nyata, inkoherensi,
asosiasi longgar, dan disorganisasi perilaku yang ekstrem
c. Skizofrenia Tipe Katatonik
Di tandai dengan gangguan psikomotor yang nyata dalam bentuk gerakan
atau aktivitas motorik yang berlebihan, megativisme yang aneh, ekokalia.
d. Skizofrenia Tipe Tidak Dapat Di Bedakan
ditandai dengan skizofrenia tipe campuran, di sertai dengan gangguan
pikiran, afek, dan perilaku.
e. Skizofrenia Tipe Residual
Ditandai dengan perilaku menarik diri dari masyarakat, afek datar, serta
asosiasi longgar.

2.4 Diagnosis ICD-10 Skizofrenia


Adapun Pedoman diagnosis yang tercantum dalam Kemenkes RI. (2015)
tentang pedoman nasional pelayanan kedokteran jiwa sebagai berikut:
2.4.1 PPDGJ III
a. Pikiran bergema (thought echo), penarikan pikiran / penyisipan (thought
withdrawal atau thought insertion), dan penyiaran pikiran (thought broadcasting).
b. Waham dikendalikan (delusion of being control), waham dipengaruhi (delusi
on of being influenced), atau “passivity”, yang jelas merujuk pada pergerakan
tubuh atau pergerakan anggota gerak, atau pikiran, perbuatan atau perasaan
(sensations) khusus; waham persepsi.
c. Halusinasi berupa suara yang berkomentar tentang perilaku pasien atau
sekelompok orang yang sedang mendiskusikan pasien, atau bentuk halusinasi
suara lainnya.
d. Waham-waham menetap jenis lain yang menurut budayanya dianggap tidak
wajar serta sama sekali mustahil, seperti misalnya mengenai identitas keagamaan
atau politik, atau kekuatan dan kemampuan “manusia super” (tidak sesuai dengan
budaya dan sangat tidak mungkin atau tidak masuk akal, misalnya mampu
berkomunikasi dengan makhluk asing yang datang dari planet lain).
e. Halusinasi yang menetap pada berbagai modalitas, apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang/melayang maupun yang setengah berbentuk tanpa
kandungan afektif yang jelas, ataupun oleh ide-ide berlebihan (overvaluedideas)
yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau
berbulan-bulan terus menerus.
f. Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan (interpolasi) yang
berakibat inkoheren atau pembicaraan tidak relevan atau neologisme.
g. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), sikap tubuh
tertentu (posturing), atau fleksibilitas serea, negativism, mutisme, dan stupor.
h. Gejala-gejala negatif, seperti sikap masa bodoh (apatis), pembicaraan yang
terhenti, dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja
sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi
atau medikasi neuroleptika.
i. Perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan dari beberapa
aspek perilaku perorangan, bermanifestasi sebagai hilangnya minat, tak bertujuan,
sikap malas, sikap berdiam diri (self absorbed attitude) dan penarikan diri secara
sosial.
Pedoman Diagnostik
a. Minimal satu gejala yang jelas (dua atau lebih, bila gejala kurang jelas) yang
tercatat pada kelompok a sampai d diatas, atau paling sedikit dua gejala dari
kelompok e sampai h, yang harus ada dengan jelas selama kurun waktu satu
bulan atau lebih. Kondisi-kondisi yang memenuhi persyaratan pada gejala
tersebut tetapi lamanya kurang dari satu bulan (baik diobati atau tidak) harus
didiagnosis sebagai gangguan psikotik / skizofrenia akut.
b. Secara retrospektif, mungkin terdapat fase prodromal dengan gejala-gejala dan
perilaku kehilangan minat dalam bekerja, adalam aktivitas (pergaulan) sosial,
penelantaran penampilan pribadi dan perawatan diri, bersama dengan kecemasan
yang menyeluruh serta depresi dan preokupasi yang berderajat ringan, mendahului
onset gejala-gejala psikotik selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan.
Karena sulitnya menentukan onset, kriteria lamanya 1 bulan berlaku hanya untuk
gejala-gejala khas tersebut di atas dan tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik
prodromal.
c. Diagnosis skizofrenia tidak dapat ditegakkan bila terdapat secara luas gejala-
gejala depresif atau manic kecuali bila memang jelas, bahwa gejala-gejala
skizofrenia itu mendahului gangguan afektif tersebut.

d. Skizofrenia tidak dapat didiagnosis bila terdapat penyakit otak yang nyata, atau
dalam keadaan intoksikasi atau putus zat.
2.4.2 DSM V

1. Tipe Paranoid (F20.0)


Tipe skizofrenia yang memenuhi kriteria berikut:
a. Preokupasi terhadap satu atau lebih waham atau halusinasi auditorik yang
sering.
b. Tidak ada hal berikut ini yang prominen : bicara kacau, perilaku kacau
atau katatonik, atau afek datar atau tidak sesuai.
2. Tipe Hebefrenik (Disorganized) (F20.1)
Tipe skizofrenia memenuhi kriteria berikut.
a. Semua hal dibawah ini prominen:
1. Bicara kacau
2. Perilaku kacau
3. Afek datar atau tidak sesuai
b. Tidak memenuhi kriteria katatonik
3. Tipe Katatonik (F20.2)
Tipe skizofrenia yang gambaran klinisnya didominasi setidaknya dua hal berikut.
1. imobilitas motorik sebagaimana dibuktikan dengan katalepsi (termasuk
fleksibilitas serea) atau stupor.
2. aktifitas motorik yang berlebihan (yaitu yang tampaknya tidak bertujuan
dan tidak dipengaruhi stimulus eksternal)
3. negativisme ekstrim (resistensi yang tampaknya tak bermotif terhadap
semua instruksi atau dipertahankanya suatu postur rigid dari usaha
menggerakan) atau mutisme
4. keanehan gerakan volunter sebagaimana diperlihatkan oleh pembentukan
postur (secara volunter menempatkan diri dalam postur yang tidak sesuai
atau bizar), gerakan stereotipi, manerisme prominen, atau menyeringai
prominen
5. ekolalia atau ekopraksia
4. Tipe Tak Terdiferensiasi (F20.3)
Tipe skizofrenia yang gejalanya memenuhi kriteria A, namun tidak memenuhi
kriteria tipe paranoid, hebefrenik atau katatonik.
5. Tipe Residual (F20.5)
Tipe skizofrenia yang memenuhi kriteria berikut:
a. tidak ada waham, halusinasi, bicara kacauyang prominen, serta perilaku
sangat kacau atau katatonik
b. tedapat bukti kontinu adanya gangguan, sebagaimana diindikasikan oleh
adanya gejala negatif atau dua atau lebih gejala yang tercantum pada
kriteria A untuk skizofrenia, yang tampak dalam bentuk yang lebih lemah
(contoh : keyakinan aneh, pengalaman perseptual tak lazim).
2.5 Patofisologi
Menurut Nurarif & Kusuma (2016) patofisiologi skizofrenia sebagai berikut:

Ganggua Fungsi Kepribadian yang


sangat kaku dan sulit
Fungsi pekerjaan atau menyesuaikan diri
fungsi sosial atau sepanjang masa dewasa
penderitaan diri

Ya Tidak

Gangguan jiwa Riwayat


yang lain Pengguanaan zat
secara patologik

Gangguan
Gangguan pengguanaan
Kepribadian Zat

Aneh/ Asentrik Dramatik Kawatir/ takut


Emosional

Gangguan Kepribadian Gangguan kepribadian


Gangguan
histrionic, narsistik, menghindar, depende,
kepribadian schizoid,
ambang dan anti sosial anankastik, dan pasif
skizotipal, paranoid
agresif

Resiko perilaku
Resuki gangguan Resiko perlemahan
kekerasan terhadap
identitas pribadi martabat
diri sendiri dan
Ketidak efektifan orang lain
koping
2.5 Tanda Gejala
Tanda dan Gejala yang dialami pasien skizofrenia mencakup beberapa
gangguan dalam beberapa hal penting seperti pikiran, persepsi, dan perhatian,
perilaku motorik, emosi dan keberfungsian hidup. Dalam hal ini akan diuraikan
beberapa gejala utama skizofrenia dalam dua kategori yaitu gejala positif dan
gejala negatif (Stuart, 2013):
1. Gejala Positif
Fungsi berlebihan atau distorsi otak yang normal, biasanya respon
terhadap semua kategori obat antipsikotik.
a. Gangguan jiwa terkait befikir
1. Waham
Waham adalah keyakinan palsu yang berasal tanpa stimulus luar
artinya klien yang mengalami waham meyakini bahwa klien
sedang tidak gangguan jiwa, dan klien merasa bahwa dirinya
mempunyai kekuatan. Berikut adalah jenis-jenis waham:
1) Waham paranoid
Keyakinan klien bahwa orang lain bermaksut untuk
membahayakan klien, memata-matai, mengikuti, mengejek,
atau merendahkan klien dengan cara tertentu. Klien
kadang-kadang tidak dapat mendefinisikan “orang lain” ini.
Contoh: klien mungkin berfikir bahwa makanannya telah di
racuni orang lain atau kamarnya terpasang alat pendengar.
2) Waham kebesaran
Klien mengatakan dirinya memiliki hubungan dengan
orang terkenal atau keyakinan klien bahwa akan mampu
memperoleh prestasi tertinggi.
Contoh: klien mungkin menyatakan bahwa bertunangan
dengan pemain sinetron terkenal / klien menyatakan bahwa
ia adalah anak dari Presiden Amerika Serikat.
3) Waham Agama
Sering kali berkutat sekitar kedatangan kristus yang kedua
kal atau tokoh agama yang lain. Waham agama ini sering
muncul tiba-tiba sebagai bagian psikotis yang klien
alami,bukan bagian keyakinan agamanya atau agama orang
lain.
Contoh: klien mengatakan bahwa ia adalah Imam Mahdi
atau Nabi yang diutus Tuhan; yakni bahwa tuhan
berkomunikasi langsung oleh dirinya.
4) Waham somatik
Merupakan keyakinan yang tidak realistis mengenai
kesehatan atau fungsi tubuh klien. Bahkan informasi faktual
atau pemeriksaan diagnostik tidak dapat merubah
keyakinan ini.
Contoh: seorang klien pria mengatakan bahwa dirinya
hamil atau klien mungkin melaporkan bahwa ususnya
busuk.
5) Waham referensi atau gagasan rujukan
Mencakup keyakinan klien bahwa tanyangan televisi, radio,
musik atau artikel surat kabar memiliki makna khusus
baginya.
Contoh: klien mungkin melaporkan bahwa klien sedang
berbicara langsung dengannya di tayangan berita.
2. Halusinasi
1) Halusinasi penglihatan.
Mencakup melihat bayangan yang sebenarnya tidak ada
sama sekali, misalnya cahaya atau orang yang telah
meninggal, melihat monster yang menakutkan. Padahal
yang ia lihat adalah perawat.
2) Halusinasi penciuman
Mencium aroma atau bau padahal tidak ada misalnya,
mencium bau urine atau feses atau bau busuk yang tidak
sedap. Jenis halusinasi ini sering di temukan pada klien
dimensia, kejang, atau stroke.
3) Halusinasi taktil
Mengacu pada sensasi aliran listrik yang menjalar keseluruh
tubuh atau binatang kecil yang menyerap di kulit.
Halusinasi ini sering di temukan pada klien yang
mengalami putus alkohol
4) Halusinasi pengecapan
Mencakup rasa tetap ada di dalam mulut, merasakan bahwa
makanan terasa seperti sesuatu yang lain. Misalnya
memakan kue yang manis tetapi klien merasakan bahwa
kue itu rasa nya pedas.
5) Halusinasi kenestik
Klien melaporakan bahwa klien merasakan fungsi tubuh
yang biasanya tidak dapat terdeteksi misalnya, sensai
pembentukan urin atau impuls yang ditransmisikan melalui
otak.
6) Halusinasi kinestik
klien melaporkan sensasi gerakan tubuh padahal klien saat
itu sedang tidak bergerak. Gerakan tubuh kadang kala tidak
lazim. Misalnya, melayang di atas tanah.
b. Disorganisasi Bicara dan Perilaku
1. Gangguan berfikir positif normal
1) Asosiasi longgar
Mengatakan hal yang tidak ada hubungannya satu sama
lain, misalnya “saya mau cokelat, semua orang bisa
menari”
2) Inkoheren
Mengatakan hal yang susah di mengerti maksutnya atau
sukar di tangkap, misalnya semua orang mengambil
pakaian untuk Dapat mengambil mobil ke laut, anda bisa
pergi terbang.
3) Tangensial
Pembicaraan yang panjang dan berbelit-belit tapi tidak
sampai pada tujuan pembicaraan.
Perawat : saya tertarik untuk belajar lebih banyak tentang
lukisan landskap anda
Klien: ketertarikan saya pada seni kembali ke orang tua
saya yang tinggal di sebuah Perternakan Bogor. Mereka
banyak memiliki tumpukan beras, jenis seperti mereka
lakukan di bandung, tapi kau tahu beras memiliki warna
yang berbeda sehingga memberi saya kemampuan melukis
dengan berbagai macam warna yang berbeda dari cokelat
cerah, tapi saya melakukannya. Jika saya membuat beras
benar-benar cokelat cerah, maka saya membuat lumbung
merah kusam, karena lumbung benar-benar tidak harus di
cat merah. Merah terang harus di simpan untuk pemadam
kebakaran dan tanda berhenti.
4) Bicara tidak logis
Perawat: apakah anda berfikir bahwa obat dapat membantu
anda untuk berfikir lebih jelas?
Klien: dulu aku berfikir obat saya membantu saya untuk
berfikir. Tapi saya baru menyadari bahwa saya yang
mengambil obat, jadi bukan obat yang membantu saya
untuk berfikir. Obat tidak bisa berfikir, apakah anda tidak
menyadari? Mungkin anda harus mengambi beberapa obat
untuk membantu anda berfikir lebih baik. Tapi jika anda
melakukannya berarti saya harus mengambilkannya untuk
anda, karena itu fakta bahwa saya mengambil sendiri
bahwa pemikiran saya lebih baik, sehingga, tidak, saya
tidak berfikir bahwa obat ini membantu saya berfikir lebih
baik.
5) Bicara yang distraksi
Perawat: saya ingin berbicara dengan anda tentang
pemahaman anda tentang skizofrenia
Klien: aku tahu punya sesuatu yang di lakukan otak saya.
Apa parfum yang anda kenakan? Itu harus dari prancis. Apa
itu di mana gambar itu diambil? Rambut anda berbeda
dengan gambar itu. Apa itu 4 tahun yang lalu?
6) Clang Asociation
Mengucapkan perkataan yang mempunyai persamaan
dengan bnyi, misalnya saya ingin menyanyikan ping pong
lagu wong kong panjang hari hey cara
7) Miskin isi pembicaraan
Pasien tidak mau bicara atau minimal, misalnya pasien
membisu dalam beberapa hari
2. Perilaku aneh
1) Katatonia : pasien dapat melakuka gerakan berulang kali
dengan urutan yang aneh atau tidak sesuai
2) Imobilitas Katatonia: menunjukkan postir yang tidak biasa
dan tetap dalam posisi itu dengan waktu yang lama.
3) Afek yang tidak sesuai: respon emosional yang tidak sesuai
dengan kondisi yang di hadapi oleh klien.
2. Gejala Negatif
Sebuah penurunan atau hilangnya fungsi otak normal
a. Masalah emosi
1) Afek datar: terbatas jangkauan dan intensitas ekspresi emosional
2).Anhedonia/asocialiti: ketidakmampuan untuk memperoleh
kesenangan atau mempertahankan kontak sosial
b. gangguan pengambilan keputusan
1) Alogika: pembatasan nterhadap berfikir dan berbicara
2) Avolition/apatis: kurangnya inisiasi perilaku yang diarahkan pada
tujuan.
3) Ketidakmampuan mental untuk fokus dan mempertahankan
perhatian.

2.6 Rentang Respon Neurobiologi

2.7 Penatalaksanaan
2.7.1 Asuhan Medis
1. Penggunaan Obat Antipsikosis.
Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati Skizofrenia disebut
antipsikotik. Antipsikotik bekerja mengontrol halusinasi, delusi dan
perubahan pola fikir yang terjadi pada Skizofrenia. Setiap pasien
skizofrenia memiliki perbedaan dalam kecocokan penggunaan obat.
Antipsikosik yang diperkenalkan sejak 50 tahun yang lalu merupakan obat
yang pertama kali paling efektif untuk menangani pasien skizofrenia.
Terdapat 3 jenis obat antipsikotik yang dikenal saat ini, yaitu:
a. Antipsikotik Konvensional
Obat antipsikotik yang paling lama penggunannya disebut
antipsikotik konvensional. Walaupun sangat efektif, antipsikotik
konvensional sering menimbulkan efek samping yang serius. Karena
adanya efek samping yang begitu serius, kebanyakan para ahli akan
merekomendasikan jenis lain untuk beberapa pasien skizofrenia yaitu
newer atypical antipsycotic. Penggunaan Antipsikotik konvensional
ini biasanya digunakan pada pasien skizofrenia yang sudah
mengonsumsi obat jenis ini dan cocok serta tidak mengalami efek
samping terhadap obat ini.
b. Newer Atypcal Antipsycotic
Obat-obat yang tergolong kelompok ini disebut atipikal karena
prinsip kerjanya berbda, serta sedikit menimbulkan efek samping
apabila dibandingkan dengan jenis obat sebelumnya yaitu antipsikotik
konvensional. Beberapa contoh newer atypical antipsycotic yang
tersedia, antara lain :
1. Risperdal (risperidone)
2. Seroquel (quetiapine)
3. Zyprexa (olanzopine)
Obat jenis ini menjadi beberapa rujukan para ahli dalam
merekomendasikan obat yang cocok bagi pasien skizofrenia karena
minimnya efek samping dibandingkan obat jenis antipsikotik
konvensional.
c. Clozaril (Clozapine)
Clozaril merupakan obat antipsikotik atipikal pertama yang
diperkenalkan. Clozaril terbuktik ampuh dalam menangani pasien-
pasien dengan skizofrenia.bahkan pasien-pasien yang tidak mampu
ditangani dengan antipsikotik konvensional dapat berhasil ditangani
dengan obat ini. Akan tetapi clozaril sangat jarang digunakan karena
efek samping yang sangat berbahaya bagi beberapa pasien skizofrenia
meskipun efek samping tersebut sangat jarang muncul sekitar 1% dari
pasien yang pernah menggunakan obat ini. Clozaril mempunyai efek
samping yaitu menurunkan jumlah sel darah putih pada tubuh,
sehingga pasien yang mendapat clozarikl harus memeriksakan jumlah
sel darah putihnya secara reguler karena sel darah putih sangat
berperan untuk melawan infeksi. Clozaril menjadi pilihan terakhir
bagi pasien skizofrenia apabila anpsikotik konvensional dan Newer
Atypcal Antipsycotic tidak berhasil.

Nama Obat Bentuk penyedia Harga


Klorpromazin Tablet Salut PT. Mersifarma Rp. 147
Selaput 100 mg Tirmaku
Mercusana
Ampul 25 mg/ml PT.Phapros Tbk Rp. 1.243
Levopromazin Tablet Salut PT. Mersifarma
Selaput 5 mg Tirmaku
Mercusana
Haloperidol Tablet Salut PT. Mersifarma Rp. 56
Selaput 5 mg Tirmaku
Mercusana
Botol 2 mg/ml PT. Mersifarma Rp. 18.700
Tirmaku
Mercusana
Clozapine Tablet 25 mg PT. Dexa Medica Rp. 1.121
Tablet 100 mg PT. Dexa Medica Rp. 3.288
Risperidon Tablet Salut PT. Dexa Medica Rp. 228
Selaput 1 mg
Tablet Salut PT. Dexa Medica Rp. 273
Selaput 2 mg
Tablet Salut PT. Dexa Medica Rp. 419
Selaput 3 mg
Olanzapine Vial 10 mg PT. Bayer Rp. 132.496
Indonesia
Quetiapine Tablet 200 mg PT. AstraZeneca Rp. 14.300
Indonesia
Tablet 300 mg PT. AstraZeneca Rp. 15.548
Indonesia
Tablet 400 mg PT. AstraZeneca Rp. 18.616
Indonesia

2. Terapi Elektrokonvulsif (ECT)


Terapi elektrokonvulsif (ECT) merupakan terapi yang
menggunakan alat untuk mengalirkan tegangan listrik kepada pasien
skizofrenia atau gangguan jiwa lainnya dengan jumlah tegangan dan waktu
yang terkendali untuk menghasilkan kejang. Aktivitas kejang ini diyakini
membawa perubahan biokimia tertentu yang dapat mengurangi atau
bahkan menghilangkan gejala. Namun pengobatan dengan cara ini masih
menjadi kontroversial dan dianggap kejam oleh banyak tenaga medis
meskipun terapi ini lebih efektif dibandingkan dengan penggunaan obat-
obatan.
Peran Perawat dalam pemberian terapi kejang listrik atau ECT
(electroconvulsive therapy) adalah menyiapkan pasien dan mengevaluasi
kondisi pasien setelah mendapatkan terapi kejang listrik. Selain itu
Perawat juga ditunjuk sebagai advokad bagi klien yang akan menjalankan
terapi ECT karena perawat merupakan orang yang paling dekat dengan
klien. Selama proses advokasi perawat memberikan informed concent
tentang tindakan ECT lalu memberikan informasi yang belum diberikan
oleh dokter, mengingatkan dokter untuk memberikan informasi sesuai
dengan format pemberian informed conccent tindakan ECT , melakukan
persiapan tindakan dengan melakukan komunikasi baik pada keluara dan
klien dan memberikan edukasi pada klien mengenai ECT. Tim tenaga
medis tidak bisa memaksa klien untuk menjalani terapi ECT, disinilah
peran perawat sebagai advokad diperlukan. Perawat akan membela klien
mengenai pendapat klien. Klien yang setuju maupun tidak setuju dapat
mengisi inform concent tersebut dan tenaga tim medis tidak bisa
mengganggu gugatnya.
Peran spesifik perawat dalam Pre – ON – Post adalah sebagai
berikut:
Pre ON Post
1. Memberikan 1. Positioning, 1. Observasi Keadaan
Informed conccent Manajemen klien dengan lebih
kepada klien. Resiko ekstra.
2. (3-4 Orang) IC, Dilokasi 2. Mengidentifikasi
Instrumen Protap Akibat Kejang. kondisi klien.
(Menyiapkan alat 2. Put Away, atau 3. Jaga keadaan klien
untuk kebutuhan Pantau agar tetap normal
terapi ECT). Pernapasan. atau stabil.
3. Mengidentifikasi, 3. Memberikan 4. Mendampingi klien
Mengedukasi O2 jika perlu. pasca ECT.
Sebelum dilakukan 5. Lakukan asuhan
ECT kurang lebih 6 keperawatan
jam sebelum kepada klien.
pelaksanaan terapi.

3. Pembedahan Bagian Otak


Teknik ini digunakan untuk menghancurkan saraf otak yang diduga
menjadi penyebab terjadinya skizofrenia dengan pancaran gelombang
elektromagnetik
4. Psikoterapi
a. Terapi Psikoanalisa
Terapi ini merupakan metode yang didasari oleh konsep Freud.
Tujuan terapi psikoanalisa adalah untuk menyadarkan individu
terhadap konflik yang bahkan tidak disadarinya dan menciptakan
mekanisme pertahanan yang dapat digunakan untuk mengendalikan
kecemasannya. Hal yang terpenting dalam terapi psikoanalisa adalah
untuk mengatasi hal-hal yang paling direpress oleh pasien tersebut.
b. Terapi Perilaku (Behavioristik)
Terapi ini menekankan pada prinsip perkondisian klasik dan
operan, karena terapi ini berkaitan dengan perilaku nyata. Teknik
perilaku dapat menggunakan hadiah (Reward) untuk melatih
ketrampilan sosial dan meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan
memenuhi diri sendiri, latihan praktis, dan komunikasi interpersonal
pasien. Perilaku adaptif dapat didorong dengan pujian atau Reward
yang dapat diberikan ketika pasien melakukan hal yang seperti
diharapkan perawat. Dengan demikian, perilaku maladaptif atau
menyimpang seperti berbicara lantang, berbicara sendirian di
masyarakat, dan postur tubuh aneh dapat diturunkan.
c. Terapi Humanistik (Terapi Kelompok dan Keluarga)
Terapi ini sangat berguna karena pasien skizofrenia seringkali
dipulangkan dalam keadaan yang tidak sehat jiwa seutuhnya, untuk itu
peran keluarga maupun kelompok sangat bepengaruh dalam
kesembuhan pasien skizofrenia ketika ia sudah dipulangkan.

2.7.2 Asuhan Keperawatan


1. Target Asuhan Keperawatan pada ODGJ (5 Kemandirian Pasien):
1. Kemampuan Mengendalikan Tanda Dan Gejala
a. Asuhan Keperawatan
b. Asuhan Medis ( kepatuhan minum obat)
2. Kemampuan Perawatan Diri (self Care)
3. Kemampuan Sosialisasi
4. Kemampuan Kegiatan Sehari-Hari/Rumah Tangga (Activity Daily
Life)
5. Kemampuan Bekerja
Tingkat Kemandirian ODGJ

TINGKAT KEMNDIRIAN KEMAMPUAN YANG DIMILIKI


TOTAL CARE Tidak memiliki kemampuan dalam:
Kemampuan 1 s.d 5 (-) Mengendalikan gejla (1), merawat diri (2),
bersosialisasi (3), ADL / Kemampuan
Kegiatan sehari-hari (4), dan bekerja (5)
PARTIAL CARE Memiliki kemampuan dalam:mengendalikan
Kemampuan 1 s.d 2 (+) gejala (10, merawat diri (2),
Kemampuan 3s.d 5 (-)
MANDIRI / SELF CARE Memiliki kemampuan dalam : mengendalikan
Kemampuan 1 s.d 4 (+) gejala (1), merawat diri (2), bersosialisasi (3),
Kemampuan 1 s.d 5 (-) ADL/ kemampuan kegiatan sehari-hari (4)
PRODUKTIF Memiliki kemampuan dalam : mengendalikan
Kemampuan 1 s.d 5 (+) gejala (1), merawat diri (2), bersosialisasi (3),
ADL/ kemampuan kegiatan sehari-hari (4) dan
bekerja (5)

2. Menurut PMK RI No. 54 tahun 2017


Penatalaksanaan kasus ODS atau ODGJ yang mengalami
pemasungan diutamakan dilakukan di komunitas oleh Puskesmas
setempat. Kasus-kasus tertentu perlu dirujuk jika ada fasilitas rujukan di
RSU atau RSJ, sebagai berikut :
1. Skizofrenia episode pertama
2. Memerlukan tatalaksana psikoterapi dan psikososial (rehabilitasi) atau
kebutuhan managemen kasus intensif;
3. Skizofrenia dengan kehamilan dan pasca persalinan; dan
4. Kondisi/penyakit/patologi yang terjadi bersamaan (komorbid), misalnya
skizofrenia dan penyalahgunaan zat, skizofrenia dan epilepsi, dsb.

Dari keterangan tersebut diperlukan perujukan ke unit Puskesmas


guna upaya rehabilitatif dan bukan melakukan pemasungan dengan alasan-
alasan tersendiri melainkan lebih mementingkan hak asasi manusia
merupakan langkah penanganan skizofrenia yang lebih mulia.
BAB 3
PENUTUP

3.1 Simpulan
Skizofrenia merupakan gangguan mental yang menyebabkan seseorang
tidak dapat mengenali atau tidak memiliki kontak dengan realitas. Skizofrenia
dapat mengakibatkan seseorang mengalami gangguan dalam proses berpikir,
gangguan emosi dan gangguan perilaku. Skizofrenia dapat disebabkan oleh
banyak faktor yaitu faktor genetik, neurologis maupun faktor psikologisnya.
Seseorang yang mengalami skizofrenia biasanya mereka sering berhalusinasi,
waham dan disorganisasi bicara maupun perilaku. Hal yang dapat dilakukan untuk
menangani seseorang dengan skizofrenia bisa menggunakan beberapa jenis obat
maupun beberapa terapi. Oleh karena itu disinilah peran perawat sangat
berpengaruh dalam kesembuhan seseorang dengan skizofrenia.

3.2 Saran
1. Sebagai perawat kita harus melakukan pendekatan kepada keluarga pasien dan
memberikan edukasi tentang skizofrenia sehingga dapat menunjang kesembuhan
pasien skizofrenia tersebut.
2. Keluarga pasien seharusnya lebih caring kepada pasien agar pasien lebih
merasa aman dan nyaman sehingga hal tersebut akan berdampak pada psikologis
yang akan menunjang kesembuhan pasien.
DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. 2013. Diagnostic And Statistical Manual of


Mental Disorder Edition “DSM-4”. Washington DC: American
Psychiatric Publishing.
Arif, Iman, S. 2006. Skizofrenia Memahami Dinamika Keluarga Pasien. Ed. 1.
Bandung: PT. Refika Aditama.
Davison, G.C., Neale, J.M., Kring, A.M. 2006. Psikologi Abnormal. Ed. 9.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Gur, R. E., & Gur, R. C. 2000. Scizophrenia: Brain structure and function
Comprehensive Text Book of Psychiatry, Vol.1 Ed.7. Philadelphia:
Lipponcott Williams & Wilkins
Elvira, Sylvia D dan Hadisukanto, Gitayanti. 2010. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Halgin, Richard P., Whitbourne, Susam K. 2010. Psikologi Abnormal Perspektif
Klinis pada Gangguan Psikologis. Ed. 6. Jakarta: Salemba Humanika.

Kandar, Dkk. 2015. Pelaksanaan Peran Perawat Sebagai Advokad dalam


Pemberian Informed Concent Tindakan Ect Premedikasi di Rsjd Dr.
Amino Gondhoutomo Provinsi Jawa Tengah. Jateng : Stikes St Elisabeth.

Kemenkes RI. 2015. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


HK.02.02/MENKES/73/2015. Tentang Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Jiwa. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Lestari, F. S. 2011. Hubungan Persepsi Keluarga Tentang Gangguan Jiwa dengan
Sikap Keluarga Kepada Anggota Keluarga Ynag Mengalami Gangguan
Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Surakarta. Skripsi. Surakarta: Jurusan
Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Nurarif, Amin H & Kusuma, Hardhi. 2016. Asuhan Keperawatan Praktis. Ed. 2.
Yogjakarta: Mediaction Publishing.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2016.
Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat. Jakarta: Kemenkes
RI
Stuart, G. W. 2013. Principles and Practice Of Psychiatric Nursing. 10th edition.
St Louis: Mosby
Sucipto, Ilhaini N. 2011. Laporan Kasus Psikiatri RSUD dr. Soebandi Jember.
Jember: Fakultas Kedokteran Universitas Jember
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang
Disabilitas. Jakarta: Presiden RI
Videbeck, Sheila L. 2001. Psychiatric Mental Health Nursing. First Edition.
USA: Lippincott William & Wilkins. Terjemahan oleh R. Kumalasari.
2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Ed. 1. Jakarta: EGC.
Wardani, T C. 2018. Laporan Akhir Program Profesi Ners (P2N) Stase
Keperawatan Jiwa Periode 25 Desember 2017- 06 Januari 2018 Di
Dusun Karanganom Desa Serut Kecamatan Panti Kabupaten Jember.
Jember: Fakultas Keperawatan Universitas Jember.

Anda mungkin juga menyukai