Psikologi Eksperimen
Nama Kelompok :
Nurlia Damayanti (J71214046)
Ririn Fitriyah (J71214073)
Sholahuddin Almaliki (J01214026)
Aprilia Dwi Aviati (B07212041)
Dosen Pengampuh:
Dr. Suryani, S. Ag, M.Si
197708122005012004
Segala puji dan syukur hanya bagi Allah SWT. Tidak ada daya dan upaya
selain dari Nya. Semoga kita selalu dilimpahkan rahmat dan karunia-Nya dalam
mengarungi kehidupan di dunia ini. Salawat serta salam semoga tetap
terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat dan
orang-orang yang mengikutinya sampai akhir zaman di manapun mereka berada.
Alhamdulillah dengan izin dan kehendak dari Allah SWT, penulis dapat
menyelesaikan sebuah proposal penelitian yang berjudul Terapi Tawa Terhadap
Penurunan Stress Pada Lansia. Penulis mengucapkan rasa syukur kepada Allah
SWT yang telah mengizinkan kami menyelesaikan proposal penelitian ini. Pada
kesempatan ini penulis menghaturkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada
yang terhormat:
1. Dr. Suryani, S. Ag, M.Si, selaku dosen pembimbing yang telah membantu
penelitian penulis.
2. Semua pihak yang terkait baik secara langsung maupun tidak langsung
yang belum disebutkan yang telah membantu menyelesaikan penelitian
ini.
Terakhir, penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran. Guna
membangun untuk lebih menyempurnakan laporan penelitian ini dan agar lebih
baik pada masa yang akan datang.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Hasil Penelitian...................................................
B. Pembahasan.....................................................................................
BAB V PENUTUP
A. Simpulan.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA..
LAMPIRAN.
Informed Consent
Transkip Wawancara (Verbaltime)...............................................................
Hasil tes skala stress.....................................................................................
Skala stres bagian 1.
Skala stres bagian 2
Uji Validitas dan Reabilitas
Uji data menggunakan SPSS
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Proses menua (aging) adalah proses alami yang disertai adanya
penurunankondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu
sama lain.Proses menua cenderung menimbulkan masalah kesehatan secara
umum maupunkesehatan jiwa secara khusus pada lansia (Kuntjoro, 2002).
Lanjut usia menurut UU RI no 13 tahun 1998 adalah mereka yang telah
memasuki usia 60 tahun ke atas (Indriana, 2008). Banyak istilah yang dikenal
masyarakat untuk menyebut orang lanjut usia, antara lain lansia yang
merupakan singkatan dari lanjut usia. Istilah lain adalah manula yang
merupakan singkatan dari manusia lanjut usia. Apapun istilah yang dikenakan
pada individu yang telah memasuki usia 60 tahun ke atas tersebut tidak lebih
penting dari realitas yang dihadapi oleh kebanyakan individu usia ini.
Lansia sering kali dipandang sebagai suatu masa degenerasi biologis
yang disertai dengan berbagai keadaan yang menyertai proses menua. Proses
menua merupakan suatu proses menghilangnya secara perlahan kemampuan
jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan
struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas
dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Nugroho, 2008).
Usia yang bertambahtua merupakan masa paling rawan seseorang
terserang penyakit kronis denganproses penyembuhan yang membutuhkan
waktu lama. Usaha yang lebih tepatdilakukan pada lanjut usia (lansia) adalah
upaya pencegahan, pengontrolan, danpenundaan timbulnya penyakit seperti
pencegahan sejak awal terhadap timbulnyaberbagai penyakit, terjadinya
proses penuaan dalam tubuh dan terjadinyaperubahan dalam tubuh (Bangun,
2005)
Memasuki masa tua, sebagian besar lanjut usia kurang siap
menghadapi dan menyikapi masa tua tersebut, sehingga menyebabkan para
lanjut usia kurang dapat menyesuaikan diri dan memecahkan masalah yang
dihadapi (Widyastuti, 2000). Pada lansia, menunjukkan penurunan fisik yang
lebih besar dibandingkan periode-periode usia sebelumnya serta rentan
terkena penyakit tertentu berkaitan dengan penurunan fisiknya yang mulai
melemah dan sakit-sakitan (Santrock, John W, 2002).
Perubahan-perubahan itu sering mengakibatkan lansia dianggap
merasa tidak ada gunanya lagi, karena mereka tidak dapat bersaing dengan
orang-orang yang lebih muda dalam berbagai bidang. Perasaan tidak berguna
dan tidak diperlukan lagi, bagi lansia menumbuhkan rasa rendah diri dan
kemarahan, yaitu suatu perasaan yang tidak menunjang proses penyesuaian
sosial seseorang (Hurlock, 1994).
Dikarenakan berkurangnya fungsi- fungsi dan perannya, lansia
umumnya membutuhkan seorang pengasuh dalam menjalani kehidupannya
sehari-hari. Namun, banyak dari keluarga lansia memiliki kesibukan-
kesibukan tersendiri seperti bekerja, membuat para lansia tidak ada yang
mengurusnya. Salah satu alternatif yang dipilih oleh keluarga adalah panti
wredha.
Keberadaan panti wredha merupakan salah satu tempat untuk
menampung para lansia di Indonesia. Panti wredha merupakan salah satu
bentuk perhatian pemerintah pada kelompok usia ini. Lansia yang tinggal
dipanti wredha memiliki latar belakang kehidupan dan alasan yang berbeda-
beda. Dari beberapa lansia yang kami wawancarai bahwa kebanyak dari
mereka tinggal di panti wredha tersebut dikarenakan keluarganya sibuk, tidak
bisa mengurus mereka, ada juga yang beranggapan bahwa mereka tidak ingin
mengganggu rumah tangga anaknya. Namun, beberapa dari mereka tinggal di
panti wredha tersebut karena keinginannya sendiri.
Tinggal di panti wredha seringkalimenimbulkan stres, karena mereka
harusberadaptasi dengan lingkungan baru danbertemu dengan orang-orang
baru yangberasal dari kebudayaan keluarga yangberbeda-beda. Namun
demikian, ketikaseseorang memutuskan untuk tinggal di pantiwerdha,
mempunyai sisi positif dan sisinegatif. Sisi positif tinggal di panti
werdhaadalah lansia bisa bergaul dengan orangseusianya karena merasa sama
dalam halumur yang memasuki usia dewasa akhir(lansia), bisa bersosialisasi
dan berinteraksi.Tapi dari sisi negatifnya, lansia yang tinggaldi panti werdha
padahal mereka masihmempunyai keluarga, keluarganya dianggaptelah
melupakan orang tuanya serta lebih membuat lansia merasa kesepian (Arixs,
2006).
Keputusan keluarga untukmenempatkan orang lansia di panti
werdhabelum tentu dapat diterima oleh lansia.Mereka mungkin merasa
terbuang, tidakdibutuhkan lagi, terisolasi, dan kehilanganorang-orang yang
dicintai. Selain itu, pantiwerdha merupakan tempat yang relatif asingbagi
lansia jika dibandingkan dengan tinggaldi rumahnya sendiri bersama
keluarganya.Hal ini dapat menjadi stressor, baik yangberasal dari dirinya
maupun dari lingkungan.Walaupun kadang-kadang penempatan lansiadi suatu
panti maupun lembaga-lembagasosial disebabkan oleh keinginan para
lansiaitu sendiri atau karena kondisi keluargaPapalia&Olds (dalam Soekamto,
2000:185).
Pada kenyataan sekarang ini memperlihatkan bahwa para lansia yang
tinggal di panti sosial atau panti perawatan dan jauh dari anak cucu, ternyata
dapat membuat lansia tersebut merasa kesepian, sendiri dan terisolasi. Apalagi
jika tiba saat- saat liburan yang berarti saat berkumpul bersama keluarga dan
mengingatkan lansia pada masa-masa bahagia saat masih banyak orang yang
mereka cintai ada di sekitar mereka. Data penelitan terdahulu menyebutkan
bahwa kelompok lansia yang mengalami perasaaan kesepian menempati
urutan yang paling atas dengan prosentase 37,37% yang berarti secara
keseluruhan mereka mengalami kesepian. Dan keadaaan ini menonjol pada
penghuni panti werdha yang menjadi stresor munculnya stress (Haditono,
1988:16).
Pinel (2009) mencantumkan bahwa stres terjadi jika seseorang
dihadapkan dengan peristiwa yang mereka rasakan sebagai sesuatu yang
mengancam kesehatan fisik atau psikologisnya.Stres dapat bersifat positif dan
negatif (Davison, 2010).Stres positif disebut juga eustress, yang terjadi apabila
taraf stres yang dialami mendorong atau memotivasi individu untuk
meningkatkan usaha pencapaian tujuan.Sebaliknya, stres yang negatif disebut
juga distress, mengandung emosi negatif yang sangat kuat sehingga tidak
hanya mengancam kesehatan, kognitif, emosi, serta perilaku seseorang.
Sarafino (1994) mendefinisikan stres adalah kondisi yang disebabkan
oleh interaksi antara individu dengan lingkungan, menimbulkan persepsi jarak
antara tuntutan-tuntutan yang berasal dari situasi yang bersumber pada sistem
biologis, psikologis dan sosial dari seseorang.Stres adalah tekanan internal
maupun eksternal serta kondisi bermasalah lainnya dalam kehidupan (an
internal and eksternal pressure and other troublesome condition in life).
Compas (dalam Preece, 2011) berpendapat bahwa stres adalah suatu
konsep yang mengancam dan konsep tersebut terbentuk dari perspektif
lingkungan dan pendekatan yang ditransaksikan.Baum (dalam Yusuf, 2004)
mendefinisikan stres sebagai pengalaman emosional yang negatif yang disertai
dengan perubahan-perubahan biokimia, fisik, kognitif, dan tingkah laku yang
diarahkan untuk mengubah peristiwa stres tersebut atau mengakomodasikan
dampak-dampaknya.
Lazarus dan Folkman (dalam Evanjeli, 2012) menjelaskan stres
sebagai kondisi individu yang dipengaruhi oleh lingkungan.Kondisi stres
terjadi karena ketidakseimbangan antara tekanan yang dihadapi individu dan
kemampuan untuk menghadapi tekanan tersebut.Individu membutuhkan
energi yang cukup untuk menghadapi situasi stres agar tidak mengganggu
kesejahteraan mereka.
Ketika menghadapi suatu situasi yang dapat menimbulkan stress,
faktor stress setiap individu berbeda-beda. Beberapa respon ini merupakan
faktor yang tidak disadari, sedangkan sebagian lagi disadari oleh individu
untuk segera melakukan coping. Lazarus (1984) membagi faktor-faktor ini
kedalam 4 kategori yaitu:
1. Kognitif
Faktor kognitif terhadap stress meliputi hasil proses appraisal seperti
adanya keyakinan mengenai bahaya atau ancaman yang terkandung
dalam suatu kejadian atau keyakinan mengenai penyebabnya. Respon
kognitif juga memasukkan respon stress tidak sadar seperti membuat
jarak, ketidakmampuan konsentrasi, gangguan performance dalam
pekerjaan-pekerjaan kognitif, dan pikiran-pikiran yang mengganggu,
berulang dan abnormal. Simptom stress dalam bentuk kognitif mencakup
pemikiran obsesif dan adanya ketidakmampuan untuk berkonsentrasi.
2. Fisiologis
Pada saat menghadapi stress, tubuh memobilisasi diri untuk menangani
stress tersebut.Hati mengeluarkan lebih banyak glukosa untuk melumasi
otot serta hormon-hormon dikeluarkan untuk menstimulasi perubahan
lemak dan protein menjadi gula. Metabolisme tubuh meningkat sebagai
persiapan tuntutan energi dari aktifitas fisik. Denyut jantung, tekanan
darah, dan pernafasan meningkat serta otot menjadi tegang. Pada saat
yang sama, aktifitas yang tidak dibutuhkan seperti digestif dikurangi,
saliva dan lendir akan mengering dan sebagai gantinya meningkatnya
jumlah udara yang dihirup. Respon psikologis tersebut merupakan hasil
dari bekerjanya beberapa sistem tubuh untuk menghadapi stress.
3. Emosional
Penilaian atau interpretasi kognitif terhadap lingkungan yang dikaitkan
dengan kebutuhan, tujuan, harapan, atau perhatiannya adalah hal yang
menentukan bagaimana respon emosi seseorang (Lazarus, 1982). Lazarus
& Folkman (1984) mengungkapkan bahwa dominansi emosi negatif
seperti cemas, depresi, dan marah merupakan indikasi bahwa individu
yang bersangkutan menilai situasi sebagai sesuatu yang menimbulkan
stress dan dirasakan melukai atau merugikan (harm/loss), atau
memberikan ancaman bahwa akan muncul sesuatu yang dapat melukai
atau merugikan keberadaan individu tersebut.
4. Tingkah laku
Tingkah laku berhubungan dengan memunculkannya suatu perilaku baru
sebagai upaya individu untuk mengurangi atau menghilangkan kondisi
stress yang dialaminya. Perilaku-perilaku yang muncul seperti merokok,
mengurangi atau makan berlebih, berolahraga berlebihan, mengkonsumsi
alkohol atau obat-obatan terlarang, dan sebagainya.Tingkah laku ini
muncul tergantung pada stressor yang dihadapi, perilaku melawan
stressor secara langsung (fight) dan menjauh atau menarik diri dari
ancaman (flight)merupakan dua reaksi yang paling ekstrim.
Dari faktor-faktor yang mempengaruhi stres di atas, terlihat bahwa
salah satu faktornya adalah emosional.Menurut Lazarus dan Folkman, ada 2
jenis strategi coping stres, yaitu : (1) Problem-Focused Coping, dan (2)
Emotional-Focused Coping.
Emotional-FocusedCopingbertujuan untuk melakukan kontrol
terhadap respon emosional terhadap situasi penyebab stres, baik dalam
pendekatan secara behavioral maupun kognitif. Lazarus dan Folkman (1986)
mengemukakan bahwa individu cenderung menggunakan Emotional-Focused
Coping ketika individu memiliki persepsi bahwa stresor yang ada tidak dapat
diubah atau diatasi. Dengan melakukan tawa maka seseorang akan mampu
untuk mengontrol emosinya atau mengubah emosi penyebab stres.
Strategi untuk menurunkan tingkat stress dengan menerapkan terapi
tawa. Firmanto (2006), membuktikan bahwa terapi tawa efektif menurunkan
stres keja pada Pegawai Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Surabaya di Desa
Kebon Agung Kecamatan Porong.
Terapi Tawa merupakan metode terapi dengan menggunakan humor
dan tawa, yang dikombinasikan dengan yoga dan meditasi, untuk membantu
individu mengurangi gangguan fisik maupun gangguan mental. Penggunaan
tawa dalam terapi akan menghasilkan perasan lega pada individu karena tawa
secara alami menghasilkan pereda stres dan rasa sakit (psikologizone,
2010).Penanganan stres menggunakan terapi tawa, yaitu metode terapi
dengan tawa untuk membantu individu menyelesaikan masalah dan gangguan
fisik maupun mental.Terapi tawa adalah salah satu cara untuk mencapai
kondisi rileks.
Tertawa merupakan paduan dari peningkatan sistem saraf simpatetik
dan juga penurunan kerja sistem saraf simpatetik. Peningkatannya berfungsi
untuk memberikan tenaga bagi gerakan pada tubuh, namun hal ini kemudian
juga diikuti oleh penurunan sistem saraf simpatetik yang salah satunya
disebabkan oleh adanya perubahan kondisi otot yang menjadi lebih rileks,
dan pengurangan pemecahan terhadap nitric oxide yang membawa pada
pelebaran pembuluh darah, sehingga rata-rata tertawa menyebabkan aliran
darah sebesar 20%, sementara stres menyebabkan penurunan aliran darah
sekitar 30% (Hasan& Hasan, 2009).
Palma (2002) menjelaskan bahwa kelelahan dalam memproduksi
adrenalin dapat disebabkan oleh ketegangan emosional, seperti frustrasi.Oleh
karena itu, penting bagi seseorang untuk mengembalikan kondisi ke keadaan
rileks agar terjadi penurunan kerja sistem saraf tersebut dan agar tidak
mengalami stress.
Dinamika antara terapi tawa dengan stres pada lansia dapat muncul
karena tekanan yang di alami lansia yang tidak mampu untuk menyesuaikan
diri terhadap lingkungan barunya yaitu panti wredha. Dengan adanya tekanan
dalam diri lansia memrupakan faktor munculnya stres pada faktor emosional.
Agar tidak terjadi stress pada lansia baik untuk mengkopingnya dengan cara
emotional-focusedcoping dengan bertujuan untuk melakukan kontrol terhadap
respon emosional terhadap situasi penyebab stres, baik dalam pendekatan
secara behavioral maupun kognitif. Dengan melakukan tawa maka seseorang
akan mampu untuk mengontrol emosinya atau mengubah emosi penyebab
stres.
Penelitian sebelumnya, yang dilakukan oleh Deshinta & Ramadhani
(2013) menunjukkan bahwaada perbedaan yang signifikan pada stres lansia
dengan tekanan darah sistolik antara kelompok eksperimen dengan kelompok
kontrol setelah mengikuti terapi tawa. Sebaliknya, uji yang sama terhadap
selisih tekanan darah diastolik menunjukkan tidak adanya perbedaan yang
signifikan antara kedua kelompok. Berdasarkan hasil tersebut dapat
disimpulkan bahwa terapi tawa dapat menurunkan tingkat stres dan tekanan
darah sistolik pada penderita hipertensi.
Tertawa adalah gejala reaksi fisik seseorang yang menerima
rangsangan batiniah (lucu) atau badaniah (gelitik) atau faal (penyakit), bisa
juga dampak dari rangsangan kimiawi.Tertawa dapat mem- buat manusia
sehat, baik bagi fisik, mental, maupun suasana komunikasi.Tetapi dapat pula
tidak sehat bahkan berbahaya dan mengganggu hubungan antar manu- sia
apabila tertawa tidak pada tempatnya, mengganggu kesehatan seperti sesak
nafas, kejang perut, atau karena wabah penyakit (Kataria, 2004).
Terapi tawa dilakukan dengan cara mengajak subjek melakukan
aktivitas tertawa dengan melibatkan perilaku dan gerakan tubuh yaitu dengan
melakukan latihan teknik tawa untuk memunculkan tertawa alami lewat
perilakunya sendiri tanpa adanya humor. Individu akan berlatih melakukan
gerakan motorik dan suara tertawa, yang akhirnya berakhir pada kondisi
fisiologis (meningkatnya sistem saraf parasimpatetis dan menurunnya sistem
saraf simpatis). Mengacu kepada facial feedback hypotheses maka perubahan
ekspresi atau gerakan wajah dapat menimbulkan perasaan/emosi yang sama.
Signifikan tentang penelitian terapi tawa untuk menurunkan tingkat
kecenderungan stress di panti wredha sangat penting untuk dilakukan dengan
berbagai alasan. Pertama, penelitian ini dapat mengetahui sejauh mana
pengaruh terapi tawa terhadap penurunan tingkat kecenderungan stress.
Kedua, penelitian ini dapat menambah penelitian akademik dan literatur
dalam bidang psikologi.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa penerapan terapi
tawa dapat menurunkan tingkat kecenderungan stres pada lansia yang tinggal
di panti wredha. Karena dengan cara tawa tubuh akan menjadi rileks dapat
menurunkan ketegangan berupa tekanan dalam diri seseorang, dan dengan
tertawa dapat menurunkan kerja hormon adrenalin, hormon pemicu stress.
Sehingga stress dapat diturunkan dengan penerapan terapi tawa. Oleh karena
itu, peneliti mengambil judul tentang pengaruh penerapan terapi tawa
terhadap penurunan kecenderungan stres pada lanjut usia.
B. RUMUSAN MASALAH
Apakah Terapi Tawa Dapat Menurunkan Tingkat Stress pada Lanjut
Usia di Panti Wredha?
C. TUJUAN PENELITIAN
Untuk Mengetahui Bagaimana Pengaruh Terapi Tawa Terhadap
Penurunan Stres Lanjut Usia di Panti Wredha.
D. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah
1. Manfaat teoritis
a. Lansia
Lansia dapat memahami penyebab-penyebab stress, sehingga ketika
mengalami stres lansia dapat menggunakan terapi tawa. Lansia dapat
memperoleh informasi tentang pengaruh terapi tawa terhadap stress
pada lansia.
b. Peneliti
Melalui penelitian ini akan diteliti pengaruh terapi tawa terhadap stress
lansia. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk
membuktikan teori yang sudah ada dan dapat juga digunakan sebagai
pijakan untuk melakukan penelitian selanjutnya yang sejenis.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
b. Penggolongan Lansia
Menurut Hurlock (1999), masa lansia dimulai dari umur enam
puluh tahun (60 tahun) sampai meninggal dunia yang ditandai dengan
adanya berbagai perubahan yang bersifat fisik dan psikologis serta
semakin menunjukkan penurunan dalam setiap perubahan. Sedangkan
penggolongan kelompok lansia menurut Depkes (dalam Azis, 1994)
dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu:
1) Kelompok lansia dini (55-65 tahun), merupakan kelompok yang
baru memasuki lansia.
2) Kelompok lansia (65 tahun ke atas).
3) Kelompok lansia resiko tinggi, yaitu yang berusia lebih dari 70
tahun.
c. Ciri-ciri Lansia
Menurut Hurlock (1980) terdapat beberapa ciri orang lanjut usia yaitu:
1) Usia lanjut merupakan periode kemunduran.
Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan
faktor psikologis.Kemunduran tersebut dapat berdampak pada
psikologis lansia.Motivasi memiliki peran yang penting dalam
kemunduran pada lansia. Kemunduran pada lansia semakin cepat
apabila memiliki motivasi yang rendah, sebaliknya jika memiliki
motivasi yang kuat maka kemunduran itu akan lama terjadi.
2) Orang lanjut usia memiliki status kelompok minoritas.
Lansia memiliki status kelompok minoritas karena sebagai akibat
dari sikap sosial yang tidak menyenangkan terhadap orang lanjut
usia dan diperkuat oleh pendapat-pendapat klise yang jelek
terhadap lansia. Pendapat-pendapat klise itu seperti: lansia lebih
senang mempertahankan pendapatnya daripada mendengarkan
pendapat orang lain.
3) Menua membutuhkan perubahan peran.
Perubahan peran tersebut dilakukan karena lansia mulai
mengalami kemunduran dalam segala hal.Perubahan peran pada
lansia sebaiknya dilakukan atas dasar keinginan sendiri bukan
atas dasar tekanan dari lingkungan.
4) Penyesuaian yang buruk pada lansia
Perlakuan yang buruk terhadap orang lanjut usia membuat lansia
cenderung mengembangkan konsep diri yang buruk. Lansia lebih
memperlihatkan bentuk perilaku yang buruk.Karena perlakuan yang
buruk itu membuat penyesuaian diri lansia menjadi buruk.
c. Faktor-faktor Stres
Ketika menghadapi suatu situasi yang dapat menimbulkan
stress, faktor stress setiap individu berbeda-beda. Beberapa respon
ini merupakan faktor yang tidak disadari, sedangkan sebagian lagi
disadari oleh individu untuk segera melakukan coping. Lazarus
(1984) membagi faktor-faktor ini kedalam 4 kategori yaitu:
1. Kognitif
Faktor kognitif terhadap stress meliputi hasil proses appraisal
seperti adanya keyakinan mengenai bahaya atau ancaman yang
terkandung dalam suatu kejadian atau keyakinan mengenai
penyebabnya. Respon kognitif juga memasukkan respon stress
tidak sadar seperti membuat jarak, ketidakmampuan konsentrasi,
gangguan performance dalam pekerjaan-pekerjaan kognitif, dan
pikiran-pikiran yang mengganggu, berulang dan abnormal.
Simptom stress dalam bentuk kognitif mencakup pemikiran
obsesif dan adanya ketidakmampuan untuk berkonsentrasi.
2. Fisiologis
Pada saat menghadapi stress, tubuh memobilisasi diri untuk
menangani stress tersebut. Hati mengeluarkan lebih banyak
glukosa untuk melumasi otot serta hormon-hormon dikeluarkan
untuk menstimulasi perubahan lemak dan protein menjadi gula.
Metabolisme tubuh meningkat sebagai persiapan tuntutan energi
dari aktifitas fisik. Denyut jantung, tekanan darah, dan
pernafasan meningkat serta otot menjadi tegang. Pada saat yang
sama, aktifitas yang tidak dibutuhkan seperti digestif dikurangi,
saliva dan lendir akan mengering dan sebagai gantinya
meningkatnya jumlah udara yang dihirup. Respon psikologis
tersebut merupakan hasil dari bekerjanya beberapa sistem tubuh
untuk menghadapi stress.
3. Emosional
Penilaian atau interpretasi kognitif terhadap lingkungan yang
dikaitkan dengan kebutuhan, tujuan, harapan, atau perhatiannya
adalah hal yang menentukan bagaimana respon emosi seseorang
(Lazarus, 1982). Lazarus & Folkman (1984) mengungkapkan
bahwa dominansi emosi negatif seperti cemas, depresi, dan
marah merupakan indikasi bahwa individu yang bersangkutan
menilai situasi sebagai sesuatu yang menimbulkan stress dan
dirasakan melukai atau merugikan (harm/loss), atau memberikan
ancaman bahwa akan muncul sesuatu yang dapat melukai atau
merugikan keberadaan individu tersebut.
4. Tingkah laku
Tingkah laku berhubungan dengan memunculkannya suatu
perilaku baru sebagai upaya individu untuk mengurangi atau
menghilangkan kondisi stress yang dialaminya. Perilaku-perilaku
yang muncul seperti merokok, mengurangi atau makan berlebih,
berolahraga berlebihan, mengkonsumsi alkohol atau obat-obatan
terlarang, dan sebagainya. Tingkah laku ini muncul tergantung
pada stressor yang dihadapi, perilaku melawan stressor secara
langsung (fight) dan menjauh atau menarik diri dari ancaman
(flight) merupakan dua reaksi yang paling ekstrim.
Dari faktor-faktor yang mempengaruhi stres di atas, terlihat bahwa
salah satu faktornya adalah emosional. Menurut Lazarus dan Folkman,
ada 2 jenis strategi coping stres, yaitu : (1) Problem-Focused Coping, dan
(2) Emotional-Focused Coping.
Emotional-Focused Coping bertujuan untuk melakukan kontrol
terhadap respon emosional terhadap situasi penyebab stres, baik dalam
pendekatan secara behavioral maupun kognitif. Lazarus dan Folkman
(1986) mengemukakan bahwa individu cenderung menggunakan
Emotional-Focused Coping ketika individu memiliki persepsi bahwa
stresor yang ada tidak dapat diubah atau diatasi. Dengan melakukan tawa
maka seseorang akan mampu untuk mengontrol emosinya atau mengubah
emosi penyebab stres.
2. Stres pada Lansia
Stres bisa dialami oleh setiap orang, demikian juga pada lanjut
usia (lansia). Ada beberapa hal yang menjadi penyebab orang lansia
mengalami stres. Penyebab stres pada lansia adalah ketika seseorang
memasuki masa lansia, akan mengalami perubahan-perubahan yang dalam
kehidupannya. Menurut Havighrust (dalam Hurlock, 1980: 10), lansia
yang berada di tahap perkembangan terakhir, dituntut untuk dapat
menyesuaikan diri dengan kondisi atau keadaannya yang mengalami
perubahan.Kemudian ketika lansia tersebut berada atau tinggal di panti
werdha, selain dituntut untuk menyesuaikan atau beradaptasi dengan
perubahan dalam kehidupannya, juga dituntut untuk beradaptasi dengan
lingkungan maupun dengan penghuni panti werdha. Jika kemampuan
beradaptasi mereka tidak baik, akan menyebabkan seseorang merasa tidak
nyaman dan kurangnya sosialisasi dengan penghuni yang lain.
Keputusan seseorang untuk menetap tinggal di panti werdha,
membuatnya bisa bergaul dengan orang seusianya karena merasa
samadalam hal umur yang memasuki usia dewasa akhir (lansia), bisa
bersosialisasi dan berinteraksi. Namun ketika mereka berada di panti
werdha sementara masih mempunyai keluarga, mereka merasa terbuang,
tidak dibutuhkan lagi, terisolasi, dan kehilangan orang-orang yang
dicintai.Walaupun kadang-kadang penempatan lansia di suatu panti
maupun lembaga-lembaga sosial disebabkan oleh keinginan para lansia itu
sendiri atau karena kondisi keluarga (Papalia&Olds dalam Soekamto,
2000:185).
Selain itu, lansia yang jauh dari anak cucu apalagi lansia yang
tinggal di panti sosial atau panti perawatan, ternyata dapat membuat lansia
tersebut merasa kesepian, sendiri dan terisolasi.Perasaan kesepian ini
terjadi jika tiba saat-saat liburan yang mengingatkan saat berkumpul
bersama keluarga dan masa-masa bahagia saat masih banyak orang yang
mereka cintai ada di sekitar mereka.Kesepian yang terjadi pada kelompok
lansia merupakan urutan paling atas yang berarti secara keseluruhan para
lansia mengalami kesepian.Dan keadaaan ini menonjol pada penghuni
panti werdha (Haditono, 1988:16). Hal ini juga dinyatakan oleh Dr. Madan
Kataria dalam bukunya Laugh For No Reason, bahwa banyak juga orang
yang tinggal di panti werdha merasa kesepian dan tertekan, meskipun
mereka hidup bersama dengan orang tua lain dan ada rasa kebersamaan
(Kataria Madan, 2004, hal: 247).
Apabila lansia tidak segera mampu menyesuaikan diri dengan
perubahan-perubahanyang terjadi pada dirinya dan menyesuaikan diri pada
lingkungan baru di panti werdha, akan muncul stres atau ketegangan jiwa.
Selain itu, perasaan-perasaan tersebut, seperti dibuang, terkadang kesepian
karena adanya keinginan untuk bertemu keluarganya, merasa dibuang serta
tidak dibutuhkan lagi akan menimbulkan seseorang menjadi stres. Stres
yang berkepanjangan dapat memperbesar peluang penyakit fisik dan atau
mental (Papalia&Olds dalam Soekamto, 2000:185).
B. Cara Pengukuran Stres Pada Lansia
Tingkat stres pada lansia yang tinggal di panti werdha diukur
dengan menggunakan skala tingkat stres pada lansia. Dalam hal ini
peneliti memberikan kuesioner kepada subyek (lansia). Kuisioner tersebut
merupakan skala DASS 42 Lavibond and Lavibond. Dari kuesioner yang
peneliti berikan tersebut maka akan dapat mengetahui tingkat stres pada
subyek (lansia). Untuk menurunkan stres pada lansia maka peneliti
menggunakan terapi tawa.
3. Terapi Tawa
1. Pengertian Terapi
Terapi (dalam Yunani :), atau pengobatan, adalah
remediasi masalah kesehatan, biasanya mengikuti diagnosis. Orang yang
melakukan terapi disebut sebagai terapis. Dalam bidang medis, kata terapi
sinonim dengan kata pengobatan. Di antara psikolog, kata ini mengacu
kepada psikoterapi. Terapi biasanya digunakan sebagai jalan alternatif
untuk mencegah timbulnya gejala medis atau bisa juga digunakan sebagai
alternatif penyembuhan lain yang dilakukan dengan peralatan tradisional
maupun modern. Terapi memiliki banyak manfaat dan dari segi biaya
tentu lebih efisien atau lebih murah. Secara non medis gejala penyakit
atau penyakit sebernya berasal dari pikiran yang merambat ke hati yang
mengakibatkan stress yang akhirnya rentan terhadap virus atau kuman
atau jiwa itu sendiri. (Sumber: wikipedia.org)
2. Pengertian Tertawa
Tertawa merupakan meditasi dinamis atau teknik relaksasi yang
dinamis dalam waktu singkat yang mampu mengurangi stres dan
kecemasan seseorang (Kataria, 200, hlm. 70). Tertawa melatih otot dada,
pernafasan, wajah, kaki, dan punggung. Selain fisik, tertawa juga
berpengaruh terhadap kesehatan mental. Tertawa terbukti memperbaiki
suasana hati dalam konteks sosial. Selain itu tertawa akan merelaksasikan
otot-otot yang tegang. Tertawa juga melebarkan pembuluh darah sehingga
memperlancar aliran darah ke seluruh tubuh. (Mangoenprasodjo &
Hidayati, 2005, hlm.32).
Tertawa melepaskan hormon endofrin ke dalam sirkulasi sehingga
tubuh menjadi lebih nyaman dan rileks. Hormon endofrin tersebut
sebagai morfin tubuh yang menimbulkan efek sensasi nyaman dan sehat
(Potter, 2005 dalam setyoadi & Kushariyadi, 2011, hlm.41-42). Saat
tertawa bukan hanya hormon endofrin saja yang keluar tetapi banyak
hormone positif yang muncul. Keluarnya hormon positif yaitu hormon
yang keluar diproduksi oleh tubuh ketika merasa bahagia, ceria dan
gembira seperti hormon beta-endorfin dan endomorfin. (Setyoadi
&Kusharyadi, 2011, hlm.42).
Penelitian lain menunjukkan bahwa tertawa memiliki manfaat
yakni menguatkan jantung, menurunkan tekanan darah menjadi lebih
rendah (Gordon, 2006; Bennett dkk, 2003), mengurangi kecemasan
(Wiyanna Mathofani S & Sri Eka Wahyuni, 2012), merubah pikiran-
pikiran negatif menjadi positif (Barkmann dkk, 2012), mengurangi stress
(Trent, 163:1990; Weaver & Wilson, 1997; Ria Hindri Nela Riki, 2014),
menguatkan sistem kekebalan tubuh (Kataria, 2004; Satish, 2012;
Anggun Resdasari Prasetyo & Harlina Nurtjahjanti, 2012; Emawati
Chasanah, 2012) dan menambah mood (Bennett, 1258:2003). Selain itu,
hasil penelitian Keller dan Koenig juga menyajikan kegunaan tertawa ini
selain sebagai pengatur stres, juga dapat digunakan sebagai pencegah
burnout (Bennett, 1258:2003).
3. Pengertian Terapi Tawa
Terapi tawa atau humor adalah cara alami untuk menghadapi sakit
mental dan perasaan tertekan. Meskipun cara ini tidak dijamin berhasil
untuk semua kasus, dan keberhasilannya tergantung pada seberapa lama
gangguan itu telah dialami dan seberapa besar, akan tetapi setidak-
tidaknya tersenyum akan membuat penderita lebih riang dan dan secara
sementara terbebas dari masalah.Terapi tawa dilakukan dengan cara
mengajak klien melakukan aktivitas tertawa dengan melibatkan perilaku
dan gerakan tubuh yaitu dengan melakukan latihan teknik tawa untuk
memunculkan tertawa alami lewat perilakunya sendiri tanpa adanya
humor. Individu akan berlatih melakukan gerakan motorik dan suara
tertawa, yang akhirnya berakhir pada kondisi fisiologis (meningkatnya
sistem saraf parasimpatetis dan menurunnya sistem saraf simpatis).
Mengacu kepada facial feedback hypotheses maka perubahan
ekspresi/gerakan wajah dapat menimbulkan perasaan/emosi yang sama.
Beberapa penelitian terhadap terapi tawa menunjukkan, bahwa terapi tawa
memiliki dampak psikologis dan fisiologis, terkait stres, efikasi diri, dan
tekanan darah (Beckman, Regier dan Young, 2007; Chaya et al., 2008;
Christina, 2006).
Terapi tawa merupakan metode terapi dengan menggunakan humor
dan tawa dalam rangka membantu individu menyelesaikan masalah
mereka, baik dalam bentuk gangguan fisik maupun gangguan mental.
Penggunaan tawa dalam terapi akan menghasilkan perasan lega pada
individu. Ini disebabkan tawa secara alami menghasilkan pereda stres dan
rasa sakit.Terapi tawa adalah salah satu cara untuk mencapai kondisi
rileks.
Tertawa merupakan paduan dari peningkatan sistem saraf
simpatetik dan juga penurunan kerja sistem saraf simpatetik.
Peningkatannya berfungsi untuk memberikan tenaga bagi gerakan pada
tubuh, namun hal ini kemudian juga diikuti oleh penurunan sistem saraf
simpatetik yang salah satunya disebabkan oleh adanya perubahan kondisi
otot yang menjadi lebih rileks, dan pengurangan pemecahan terhadap
nitric oxide yang membawa pada pelebaran pembuluh darah, sehingga
rata-rata tertawa menyebabkan aliran darah sebesar 20%, sementara stres
menyebabkan penurunan aliran darah sekitar 30% (Hasan& Hasan, 2009).
Disamping tertawa, membentuk wajah dengan ekspresi tertentu
juga akan mempengaruhi pengalaman emosional yang disebut dengan
facial feedback hypothesis (Izard, 1981; McIntosh, 1996). Rutledge dan
Hupka (1985) menemukan bahwa individu merasakan emosi bahagia
pada saat membuat ekspresi wajah bahagia, sebaliknya perasaan kurang
bahagiapun akan muncul apabila individu mengekspresikan wajah marah.
Hasil-hasil penelitian ilmiah terbaru memperlihatkan bahwa
kebahagiaan bukan hanya terletak dalam pikiran, tetapi terkandung dalam
otot-otot dan hormon.Tindakan menggerakkan otot-otot wajah
membentuk ekspresi yang berkaitan dengan kesukacitaan dapat
menghasilkan efek positif yang berdampak pada sistem saraf. Paul
Ekman, peneliti utama dalam bidang ini, meyakini bahwa mekanika
gerakan otot-otot wajah sangat berkaitan dengan sistem saraf otonom,
yang mengatur denyut jantung, pernapasan, dan fungsi-fungsi yang tidak
bisa dikendalikan secara sadar.
Zajonc menyatakan bahwa terapi ini dapat digunakan untuk
membantu merawat pasien yang mengalami gangguan psikosomatis dan
kondisi-kondisi negatif seperti depresi dan kecemasan.Jika pasien yang
cemas dan depresi dapat diajari untuk mengendalikan otot-otot wajah
yang tepat sehingga terlihat bahagia, maka individu menyadari bahwa
perasaan individu benar-benar berubah lebih baik, tanpa harus mengubah
apapun.
Terapi tawa adalah sebuah program yang bertujuan menurunkan
tingkat stres dengan menerapkan metode Sesi Tawa dari buku terapi tawa
Laugh For No Reason oleh Dr. Mahdan Kataria yang merupakan
pendiri dari gerakan klub tawa dunia. Terapi tawa merupakan suatu terapi
yang bisa membuat hidup lebih sehat, tenang, dan nyaman, serta
menunjukkan getaran otak pada frekuensi gelombang alfa yang membuat
orang merasa rileks dan santai. Dengan tertawa akan menunjang
kesehatan karena menghambat aliran kortisol, yaitu hormon stres yang
meningkatkan tekanan darah.
Sementara itu, menurut dr. William Foy dari Universitas Stanford,
tertawa terbahak-bahak amat bermanfaat bagi orang sakit. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa tertawa terpingkal-pingkal itu akan
menggoyang-goyangkanotot perut, dada, bahu, serta pernafasan, sehingga
membuat tubuh seakan-akansedang joging di tempat, dan setelah tertawa,
tubuh akan terasa rileks, segar dan tenang (Simanungkalit Bona, Bien
Pasaribu, 2007, hal 15). Menurut Dr. Lee S. Berg, peneliti dari
Universitas Loma Linda California Amerika Serikat, mengatakan bahwa
tertawa bisa mengurangi tingkat hormon stres di dalam tubuh sekaligus
meningkatkan imunitas, sehingga kekebalan tubuh akan bertambah. Jika
kita bisa hidup dengan senyuman dan tawa, akan membuat tubuh lebih
segar serta bermanfaat dalam menekan stres yang sering kita hadapi.
Tertawa yang kelihatannya kecil dan hanya berlangsung sesaat ternyata
sangat bermanfaat dalam hidup dan bertahan cukup lama (Simanungkalit
Bona, Bien Pasaribu, 2007, hal 33).
Manipulasi dilakukan dengan memberikan terapi tawa kepada
subyek (lansia) kelompok eksperimen, dengan hal ini kita akan dapat
mengetauhi sejauh mana terapi tawa dapat menurunkan tingkat stres pada
subyek.
5. Landasan Teoritis
6. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini yaitu terapi tawa dapat menurunkan
kecederungan stres pada lansia.
BAB III
METODE PENELITIAN
B. SubjekPenelitian
Kriteria sampel yang digunakan yakni:
a. Lansia yang tinggal di Panti Wredha
C. Desain Penelitian
Keterangan:
O1 : Pengukuran pre-test
O2 :Pengukuran post-test
X : Treatment
D. Prosedur Eksperimen
1. Pra-ekspermen
a. Menjelaskan maksud dan tujuan penelian
b. Memberikan informed consent
c. Menata tempat di aula panti
d. Menyiapkan speaker (pengeras suara)
e. Menyiapkan layar proyektor
f. Menyusun kursi menbentuk huruf U dengan menhadap ke layar
proyektor
2. Eksperimen
a. Lansia memasuki ruangan yaitu di aula panti dan duduk di kursi
yang sudah di sediakan
b. Membagikan skala stres kepada lansia untuk pretest hal ini
dilakukan agar peneliti mengetahui keadaan awal dari subjek
penelitian
c. Membantu dan membimbing lansia mengisi skala, seperti
membacakan atau menuliskan jawaban yang diinginkan oleh para
lansia.
d. Sebelum kuisioner dikumpulkan, peneliti akan mengechek terlebih
dahulu agar tidak ada yang terlewati
e. Eksperimenter menjelaskan tentang terapi tawa seperti manfaatnya
f. Eksperimentermelakukan sesi pertama penerapan terapi yaitu
dengan cara membuka sesi perkenalan antar lansia
g. Lansia diminta untuk berdiri, dimana lansia diminta untuk secara
bergantian bersalaman dan memperkenalkan diri.
h. Lansia diminta untuk duduk kembali
i. Eksperimenterakan melakukakan serangkaian terapi tawa yang
tertulis dalam modul dengan cara menjadi model dan para lansia
diminta untuk mengikuti setiap langkah yang di berikan oleh
trainer. Langkah penerapan terapi tawa terdapat sepuluh langkah
(lihat di modul)
j. Eksperimenter membagikan kuisioner skala stress, sebagai post-
test (seperti pada pretest Eksperimenter membantu lansia untuk
mengisi kuisioner)
3. Pasca-eksperimen
a. Eksperimenter meminta perwakilan lansia untuk menceritakan
pengalaman selama mengikuti terapi tawa dan apa saja yang
dirasakan
b. Eksperimenter menanyakan kepada lansia bagaimana kesan setelah
melakukan terapi tawa dan apa perubahan yang dirasakan.
E. Validitas Eksperimen
1. Validitas internal
Validitas internal menunjukkan sejauh mana hubungan sebab
akibat antara variabel bebas dan variabel terikat, Adapun jenis
ancaman ancaman terhadap validitas internal, yaitu:
a. Historis
Karena tidak ada kelompok kontrol, tidak ada kelompok yang di
buat perbandingan hasil sejauhmana terapi tawa dapat
menurunkan kecenderungan stress maka peneliti meminta agar
kelompok eksperimen benar-benar merasakan treatmen yang di
berikan yaitu terapi tawa.
b. Maturbasi
Karena subjek penielitian ini adalah lanjut usia, maka peneliti
menetapkan individu yang berusia minimal 60 tahun, alat
pendengaran dan penglihatan masih baik walapun mengalami
penurunan
c. Mortalitas
Karena peneliti tidak bisa mendapatkan subjek dengan banyak
hanya 16 partisipan, maka peneliti akan menjalin rapo yang kuat
agar tidak mengundurkan diri, dan selain itu peneliti hanya
menggunakan satu kelompok saja, yaitu kelompok eksperimen.
d. Instrumen
Peneliti menggunakan instrumen yang sama pada pretest dan
postest.
2. Validitas eksternal
Validitas eksternal adalah untuk melihat sejauh mana hasil
penelitian dapat di generalisasikan pada subjek, situasi, dan waktu
yang berbeda Secara validitas ekstrenal peneliti hanya mengontrol
pada pemilihan dan treatmen. Karena terapi tawa tidak memerlukan
gerakan yang banyak dan tidak menggangu kesehatan maka terapi ini
efektif dilakukan untuk lansia. Adapun ancaman-ancaman terhadap
validitas eksternal, antara lain:
a. Antara pemilihan dan treatmen
Karena dalam penelitian ini peneliti mengambil subjek di
panti wreda hargo dadali yang memiliki kecenderungan stress
maka peneliti tidak mampu melakukan randomisasi. Hingga
akhirnya penelitian ini tidak bisa digeneralisasikan kepada semua
lansia. Karena ada karakteristis-karateristik tertentu juga. namun,
peneliti menggeneralisasikan kriteria subjek penelitian yaitu
lansia yang tinggal di panti wredha dengan cenderungf
mengalami stress.
b. Antara setting dan treatment
Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
G. Analisis Data
Hasil Penelitian
Deskripsi Subyek
Subyek penelitian ini adalah lansia yang bertempat tinggal di Panti
Wredha Hargo Dedali. Subyek yang dapat berpartisipasi dalam peneltian
ini adalah lansia yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 16 orang,
denan rincian 7 orang cenderung mengalami stres ringan, dan 9 orang
cenderung mengalami stress sedang.
Tabel 4.
Usia Subyek
1. Perempuan <60 1
<70 3
<80 7
<90 5
2. Laki-laki - -
Total 16
Tabel 5.
< 10 bulan 6
< 2 tahun 4
6tahun 1
2. Laki-laki - -
Total 16
Reliabilitas Data
Tabel 6.
Reliabilitas Data
Statistik Reliabilitas
.610 14
Uji Hipotesis
Tabel 7.
Uji Hipotesis
N Sig
SEBELUM DIBERIKAN
16
TERAPI TAWA
0.000
SESUDAH DIBERIKAN
16
TERAPI TAWA
Tabel 8.
Hasil Rata-rata Uji Satu Sampel
N Mean
SEBELUM DIBERIKAN
16 25.81
TERAPI TAWA
SESUDAH DIBERIKAN
16 21.44
TERAPI TAWA
PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, terapi tawa telah terbukti
mempunyai pengaruh terhadap penurunan tingkat stres pada lansia. Hal
tersebut dapat dijelaskan bahwa ketika kita dapat tertawa secara alami, dapat
merangsang pengeluaran zat-zat yang baik bagi otak, yaitu endorphine,
serotonin, dan metanonin, dan tertawa secara alami dapat dilatih dengan
melakukan terapi tawa.
Beberapa peneliti yang melakukan studi mengenai tertawa dan
mendukung penelitian ini, diantaranya adalah menurut dr. William Foy
(dalam Simanungkalit Bona, Bien Pasaribu, 2007:15), hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa tertawa tepingkal-pingkal akan menggoyang-goyangkan
otot perut, dada, bahu, serta pernafasan, sehingga membuat tubuh seakan-
akan joging di tempat dan setelah tertawa, tubuh terasa rileks, segar, dan
tenang.
BAB V
PENUTUP
SIMPULAN
SARAN
Lansia
Terapi tawa sebaiknya digunakan sebagai kegiatan dalam panti
wredha dan sebagai penunjang tujuan didirikannya panti werdha yaitu
sebagai upaya yang terencana dan berkesinambungan dalam memberikan
pelayanan kepada lanjut usia sehingga mereka dapat menikmati sisa
hidupnya dengan diliputi ketentraman lahir dan batin, karena dengan terapi
tawa memberikan pengaruh terhadap penurunan tingkat stres.
Peneliti selanjutnya
Dahlan, Wilman. 2006. Bahan Kuliah Stress dan Strategi Coping, Program
Pascasarjana Fakultas Psikologi UI Kekhususan PIO-NR.
Hurlock, E.B., (2000). In: Sijibat, R.M., ed. Psikologi Perkembangan Suatu
Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Indriana, Yeniar, dkk. (2010). Tingkat Stres Lansia Di Panti Wredha Pucang
Gading Semarang. Jurnal Psikologi Undip, 8 (2). Fakultas Psikologi
Universitas Diponegoro.
Kataria, M. (1999). Laugh for no reason (terapi tawa). India: Madhuri Inter-
national.
Lavibond, S.H. dan Lavibond, P.F. (1995). Manual for the Depression Anxiety
Stress Scales (2nd. Ed). Sydney: Psychology Foundation.
Lazarus, Richard S; Folkman, Susan. 1984. Stress Appraisal And Coping. New
York Springer Publishing Company
Santrock, J.W. 2007. Psikologi Pendidikan (edisi kedua). (Penerj. Tri Wibowo
B.S). Jakarta: Kencana.
Shadish, W.R., Cook, T.D., and Campbell, D.T. (2002) Experimental and
Quasi Experimental designs for Generalized causal ainference. Boston:
Houghton Mifflin Co:
L
A
M
P
I
R
A
N
TRANSKIP WAWANCARA
Petunjuk Pengisian
Kuesioner ini terdiri dari berbagai pernyataan yang mungkin
sesuai dengan pengalaman Bapak/Ibu/Saudara dalam menghadapi
situasi hidup sehari-hari. Terdapat empat pilihan jawaban yang
disediakan untuk setiap pernyataan yaitu:
0 : Tidak sesuai dengan saya sama sekali, atau tidak pernah.
No PERNYATAAN 0 1 2 3
Saya menemukan diri saya berada dalam
situasi yang membuat saya merasa sangat
9
cemas dan saya akan merasa sangat lega
jika semua ini berakhir.
Saya merasa tidak ada hal yang dapat
10
diharapkan di masa depan.
Saya menemukan diri saya mudah merasa
11
kesal.
Saya merasa telah menghabiskan banyak
12
energi untuk merasa cemas.
13 Saya merasa sedih dan tertekan.
Saya menemukan diri saya menjadi tidak
sabar ketika mengalami penundaan
14
(misalnya: kemacetan lalu lintas, menunggu
sesuatu).
15 Saya merasa lemas seperti mau pingsan.
Saya merasa saya kehilangan minat akan
16
segala hal.
Saya merasa bahwa saya tidak berharga
17
sebagai seorang manusia.
Saya merasa bahwa saya mudah
18
tersinggung.
Saya berkeringat secara berlebihan
(misalnya: tangan berkeringat), padahal
19
temperatur tidak panas atau tidak
melakukan aktivitas fisik sebelumnya.
20 Saya merasa takut tanpa alasan yang jelas.
Saya merasa bahwa hidup tidak
21
bermanfaat.
22 Saya merasa sulit untuk beristirahat.
23 Saya mengalami kesulitan dalam menelan.
Saya tidak dapat merasakan kenikmatan
24
dari berbagai hal yang saya lakukan.
Saya menyadari kegiatan jantung,
walaupun saya tidak sehabis melakukan
25
aktivitas fisik (misalnya: merasa detak
jantung meningkat atau melemah).
26 Saya merasa putus asa dan sedih.
27 Saya merasa bahwa saya sangat mudah
marah.
28 Saya merasa saya hampir panik.
No PERNYATAAN 0 1 2 3
SUBJEK 1
Q Score Q Score All D Scores All A Scores All S Scores
1 1 22 1 2
2 0 23 2 2
3 0 24 0 0
4 1 25 0 1
5 1 26 1 2
6 1 27 0 1
7 1 28 1 2
8 2 29 2 4
9 1 30 1 2
10 0 31 0 0
11 2 32 2 4
12 1 33 2 3
13 2 34 1 3
14 0 35 0 0
15 0 36 1 1
16 0 37 0 0
17 0 38 1 1
18 2 39 1 3
19 1 40 1 2
20 2 41 2 4
21 0 42 0 0
TOTAL 6 14 17
subjek 1 mengalami stress tingkat RENDAH
SUBJEK 2
Q Score Q Score All D Scores All A Scores All S Scores
1 2 22 1 3
2 2 23 0 2
3 1 24 1 2
4 1 25 1 2
5 0 26 0 0
6 1 27 1 2
7 0 28 0 0
8 1 29 1 2
9 0 30 0 0
10 0 31 0 0
11 2 32 1 3
12 1 33 2 3
13 1 34 0 1
14 2 35 1 3
15 0 36 0 0
16 0 37 0 0
17 0 38 0 0
18 2 39 1 3
19 0 40 1 1
20 1 41 0 1
21 0 42 0 0
3 6 19
Total for D Total for A Total for S
subjek 2 mengalami stress tingkat SEDANG
SUBJEK 3
Q Score Q Score All D Scores All A Scores All S Scores
1 2 22 1 3
2 0 23 0 0
3 0 24 0 0
4 1 25 0 1
5 0 26 0 0
6 1 27 3 4
7 0 28 1 1
8 2 29 3 5
9 1 30 0 1
10 0 31 0 0
11 1 32 0 1
12 1 33 1 2
13 0 34 0 0
14 2 35 1 3
15 0 36 0 0
16 0 37 0 0
17 1 38 0 1
18 1 39 3 4
19 0 40 0 0
20 0 41 1 1
21 1 42 0 1
2 4 21
Total for D Total for A Total for S
subjek 3 mengalami stress tingkat SEDANG
SUBJEK 4
Q Score Q Score All D Scores All A Scores All S Scores
1 1 22 1 2
2 0 23 2 2
3 0 24 0 0
4 1 25 0 1
5 1 26 1 2
6 1 27 0 1
7 1 28 0 1
8 2 29 2 4
9 1 30 1 2
10 0 31 0 0
11 2 32 2 4
12 1 33 2 3
13 2 34 1 3
14 0 35 0 0
15 0 36 1 1
16 0 37 0 0
17 0 38 1 1
18 2 39 1 3
19 1 40 1 2
20 2 41 2 4
21 0 42 0 0
6 13 15
Total for D Total for A Total for S
subjek 4 mengalami stress tingkat RENDAH
SUBJEK 5
Q Score Q Score All D Scores All A Scores All S Scores
1 1 22 1 2
2 1 23 0 1
3 0 24 0 0
4 1 25 3 4
5 0 26 0 0
6 2 27 1 3
7 1 28 2 3
8 2 29 0 2
9 0 30 1 1
10 0 31 0 0
11 0 32 2 2
12 1 33 2 3
13 1 34 0 1
14 1 35 3 4
15 0 36 0 0
16 0 37 1 1
17 0 38 1 1
18 1 39 1 2
19 0 40 1 1
20 0 41 0 0
21 0 42 0 0
3 10 18
Total for D Total for A Total for S
subjek 5 mengalami stress tingkat RENDAH
SUBJEK 6
Q Score Q Score All D Scores All A Scores All S Scores
1 3 22 1 4
2 0 23 1 1
3 0 24 0 0
4 0 25 1 1
5 0 26 1 1
6 3 27 0 3
7 1 28 0 1
8 1 29 2 3
9 0 30 0 0
10 0 31 0 0
11 1 32 2 3
12 1 33 1 2
13 1 34 0 1
14 1 35 1 2
15 0 36 0 0
16 0 37 0 0
17 0 38 0 0
18 1 39 1 2
19 0 40 1 1
20 1 41 0 1
21 0 42 0 0
2 5 17
Total for D Total for A Total for S
subjek 6 mengalami stress tingkat RENDAH
SUBJEK 7
Q Score Q Score All D Scores All A Scores All S Scores
1 1 22 3 4
2 1 23 0 1
3 0 24 0 0
4 0 25 0 0
5 0 26 0 0
6 1 27 2 3
7 1 28 0 1
8 1 29 1 2
9 0 30 0 0
10 0 31 0 0
11 1 32 1 2
12 1 33 1 2
13 0 34 1 1
14 0 35 2 2
15 0 36 0 0
16 0 37 0 0
17 0 38 1 1
18 1 39 2 3
19 0 40 1 1
20 0 41 1 1
21 0 42 0 0
2 4 18
Total for D Total for A Total for S
subjek 7 mengalami stress tingkat RENDAH
SUBJEK 8
Q Score Q Score All D Scores All A Scores All S Scores
1 1 22 2 3
2 0 23 0 0
3 1 24 0 1
4 0 25 0 0
5 0 26 0 0
6 1 27 2 3
7 1 28 0 1
8 3 29 1 4
9 1 30 0 1
10 1 31 0 1
11 1 32 2 3
12 1 33 3 4
13 0 34 0 0
14 2 35 0 2
15 1 36 0 1
16 0 37 0 0
17 0 38 0 0
18 1 39 2 3
19 0 40 1 1
20 0 41 0 0
21 0 42 0 0
2 4 21
Total for D Total for A Total for S
subjek 8 mengalami stress tingkat SEDANG
SUBJEK 9
Q Score Q Score All D Scores All A Scores All S Scores
1 2 22 1 3
2 1 23 2 3
3 0 24 0 0
4 0 25 0
5 0 26 0 0
6 2 27 1 3
7 0 28 0 0
8 2 29 0 2
9 1 30 2 3
10 0 31 2 2
11 2 32 1 3
12 1 33 2 3
13 2 34 0 2
14 2 35 0 2
15 0 36 0 0
16 0 37 0 0
17 0 38 0 0
18 1 39 2 3
19 1 40 0 1
20 0 41 0 0
21 0 42 1 1
5 7 19
Total for D Total for A Total for S
subjek 9 mengalami stress tingkat SEDANG
SUBJEK 10
Q Score Q Score All D Scores All A Scores All S Scores
1 2 22 2 4
2 1 23 0 1
3 0 24 0 0
4 0 25 1 1
5 0 26 1 1
6 1 27 2 3
7 0 28 1 1
8 2 29 2 4
9 1 30 0 1
10 0 31 0 0
11 1 32 1 2
12 1 33 2 3
13 0 34 0 0
14 0 35 0 0
15 3 36 1 4
16 0 37 1 1
17 0 38 0 0
18 2 39 1 3
19 0 40 0 0
20 1 41 0 1
21 0 42 0 0
2 9 19
Total for D Total for A Total for S
subjek 10 mengalami stress tingkat SEDANG
SUBJEK 11
Q Score Q Score All D Scores All A Scores All S Scores
1 1 22 2 3
2 0 23 1 1
3 0 24 0 0
4 1 25 0 1
5 0 26 0 0
6 0 27 2 2
7 0 28 1 1
8 2 29 1 3
9 0 30 0 0
10 1 31 0 1
11 2 32 1 3
12 1 33 1 2
13 0 34 0 0
14 1 35 0 1
15 0 36 0 0
16 0 37 1 1
17 0 38 0 0
18 2 39 2 4
19 0 40 1 1
20 0 41 0 0
21 0 42 0 0
2 5 18
Total for D Total for A Total for S
subjek 11 mengalami stress tingkat RENDAH
SUBJEK 12
Q Score Q Score All D Scores All A Scores All S Scores
1 1 22 1 2
2 1 23 0 1
3 1 24 0 1
4 0 25 0 0
5 0 26 0 0
6 1 27 2 3
7 0 28 3 3
8 2 29 2 4
9 2 30 1 3
10 0 31 0 0
11 1 32 0 1
12 2 33 1 3
13 0 34 0 0
14 3 35 2 5
15 2 36 3 5
16 0 37 0 0
17 1 38 0 1
18 2 39 1 3
19 0 40 0 0
20 0 41 1 1
21 0 42 0 0
2 13 21
Total for D Total for A Total for S
subjek 12 mengalami stress tingkat SEDANG
SUBJEK 13
Q Score Q Score All D Scores All A Scores All S Scores
1 0 22 1 1
2 1 23 0 1
3 0 24 0 0
4 0 25 1 1
5 0 26 0 0
6 2 27 2 4
7 2 28 0 2
8 2 29 3 5
9 0 30 0 0
10 0 31 0 0
11 1 32 2 3
12 2 33 1
13 1 34 1 2
14 1 35 2 3
15 1 36 0 1
16 0 37 0 0
17 1 38 0 1
18 1 39 2 3
19 3 40 1 4
20 2 41 2 4
21 2 42 0 4
7 13 19
Total for D Total for A Total for S
subjek 13 mengalami stress tingkat SEDANG
SUBJEK 14
Q Score Q Score All D Scores All A Scores All S Scores
1 0 22 1 1
2 1 23 2 3
3 0 24 1 1
4 1 25 0 1
5 0 26 1 1
6 0 27 2 2
7 1 28 3 3
8 3 29 1 4
9 1 30 1 2
10 0 31 2 2
11 3 32 1 4
12 2 33 2 4
13 0 34 1 1
14 1 35 2 3
15 0 36 1 1
16 0 37 0 0
17 0 38 0 0
18 1 39 2 3
19 0 40 0 0
20 0 41 1 1
21 0 42 0 0
5 11 21
Total for D Total for A Total for S
subjek 14 mengalami stress tingkat SEDANG
SUBJEK 15
Q Score Q Score All D Scores All A Scores All S Scores
1 2 22 0 2
2 1 23 0 1
3 1 24 0 1
4 0 25 3 3
5 0 26 0 0
6 2 27 1 2
7 0 28 1 1
8 2 29 2 4
9 1 30 0 1
10 1 31 1 2
11 2 32 2 4
12 2 33 1 3
13 0 34 1 1
14 2 35 2 4
15 0 36 1 1
16 0 37 2 2
17 0 38 1 1
18 0 39 1 1
19 0 40 0 0
20 3 41 1 4
21 1 42 0 1
8 11 20
Total for D Total for A Total for S
subjek 15 mengalami stress tingkat SEDANG
SUBJEK 16
Q Score Q Score All D Scores All A Scores All S Scores
1 1 22 1 2
2 0 23 1 1
3 0 24 1 1
4 1 25 0 1
5 0 26 0 0
6 1 27 2 3
7 0 28 3 3
8 2 29 1 3
9 1 30 0 1
10 0 31 0 0
11 2 32 0 2
12 2 33 2 4
13 0 34 1 1
14 1 35 2 3
15 0 36 1 1
16 0 37 0 0
17 0 38 0 0
18 1 39 0 1
19 0 40 2 2
20 1 41 1 2
21 2 42 0 2
4 11 18
Total for D Total for A Total for S
subjek 16 mengalami stress tingkat RENDAH
KESIMPULAN HASIL
1. No Responden :
2. Umur :
3. Tanggal Pengisian :
4. Lama tinggal dipanti :
5. Keluarga : Ada / tidak ada
II.PETUNJUK PENGISIAN
No Pernyataan pilihan
Tidak Kadang- Lumayan sering
pernah kadang Sering sekali
11 Saya sulit untuk sabar
dalam menghadapi
gangguan terhadap hal
yang sedang saya lakukan.
12 Saya sedang merasa
gelisah.
13 Saya tidak dapat
memaklumi hal apapun
yang menghalangi saya
untuk menyelesaikan hal
yang sedang saya lakukan.
14 Saya menemukan diri saya
mudah gelisah.
UJI VALIDITAS DAN RELIABILITAS
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha Based
on
Cronbach's Standardized N of
Alpha Items Items
,610 ,608 14
Item-Total Statistics
Cronb
ach's
Scale Scale Squared Alpha
Mean if Variance if Corrected Multiple if Item
Item Item Item-Total Correlatio Delete
Deleted Deleted Correlation n d
VAR000
24,2500 22,067 ,247 ,903 ,592
01
VAR000
24,4375 23,996 ,074 ,956 ,619
02
VAR000
24,1250 23,850 ,052 ,962 ,628
03
VAR000
24,0625 19,796 ,617 ,988 ,525
04
VAR000
23,8750 22,383 ,226 ,869 ,596
05
VAR000
23,7500 23,533 ,072 ,720 ,626
06
VAR000
23,7500 20,200 ,450 ,965 ,551
07
VAR000
24,1250 19,450 ,531 ,961 ,532
08
VAR000
24,1250 23,317 ,267 ,891 ,592
09
VAR000
24,0000 23,467 ,132 ,773 ,611
10
VAR000
23,5625 18,662 ,644 ,930 ,507
11
VAR000
23,9375 22,062 ,479 ,876 ,566
12
VAR000
23,7500 24,067 ,052 ,884 ,624
13
VAR000
23,8125 26,829 -,268 ,808 ,669
14
UJI DATA MENGGUNAKAN SPSS
One-Sample Statistics
Std. Std. Error
N Mean Deviation Mean
SEBELUM
DIBERIKAN 16 25.81 5.023 1.256
TERAPI TAWA
SESUDAH
DIBERIKAN 16 21.44 3.010 .753
TERAPI TAWA
One-Sample Test
Test Value = 0
95%
Confidence
Sig. Interval of the
(2- Mean Difference
t df tailed) Difference Lower Upper
SEBELU
M
DIBERIK
20.556 15 .000 25.813 23.14 28.49
AN
TERAPI
TAWA
SESUDA
H
DIBERIK
28.485 15 .000 21.438 19.83 23.04
AN
TERAPI
TAWA
1. Foto bersama satu kelompok didepan panti wreda
f. Peregangan
g. Berbagi pengalaman
5. Pemprosesan post-test