Anda di halaman 1dari 93

PENGARUH PENERAPAN TERAPI TAWA TERHADAP

PENURUNAN KECENDERUNGAN STRES PADA LANJUT


USIA

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Psikologi Eksperimen

Nama Kelompok :
Nurlia Damayanti (J71214046)
Ririn Fitriyah (J71214073)
Sholahuddin Almaliki (J01214026)
Aprilia Dwi Aviati (B07212041)

Dosen Pengampuh:
Dr. Suryani, S. Ag, M.Si
197708122005012004

FAKULTAS PSIKOLOGI dan KESEHATAN


PRODI PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2016
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur hanya bagi Allah SWT. Tidak ada daya dan upaya
selain dari Nya. Semoga kita selalu dilimpahkan rahmat dan karunia-Nya dalam
mengarungi kehidupan di dunia ini. Salawat serta salam semoga tetap
terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat dan
orang-orang yang mengikutinya sampai akhir zaman di manapun mereka berada.
Alhamdulillah dengan izin dan kehendak dari Allah SWT, penulis dapat
menyelesaikan sebuah proposal penelitian yang berjudul Terapi Tawa Terhadap
Penurunan Stress Pada Lansia. Penulis mengucapkan rasa syukur kepada Allah
SWT yang telah mengizinkan kami menyelesaikan proposal penelitian ini. Pada
kesempatan ini penulis menghaturkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada
yang terhormat:
1. Dr. Suryani, S. Ag, M.Si, selaku dosen pembimbing yang telah membantu
penelitian penulis.
2. Semua pihak yang terkait baik secara langsung maupun tidak langsung
yang belum disebutkan yang telah membantu menyelesaikan penelitian
ini.
Terakhir, penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran. Guna
membangun untuk lebih menyempurnakan laporan penelitian ini dan agar lebih
baik pada masa yang akan datang.

Surabaya, 17 Nopember 2016

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..........................................................................................

Daftar Isi ...................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ............................................................................ 1


B. Rumusan Masalah ......................................................................
C. Tujuan Penulisan .......................................................................
D. Manfaat Penulisan ......................................................................
E. Keaslian Penelitian ......................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Stres Pada Lansia.........................................................................


B. Terapi Tawa.................................................................................
C. Terapi Tawa dalam menurunkan stres lansia...............................
D. Landasan Teoritis.........................................................................
E. Hipotesis ......................................................................................

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Variabel dan Definisi Operasional...............................................


B. Subjek Penelitian.........................................................................
C. Desain Penelitian..........................................................................
D. Prosedur Eksperimen...................................................................
E. Validitas Eksperimen...................................................................
F. Instrumen Penelitian.....................................................................
G. Analisis Data................................................................................

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian...................................................
B. Pembahasan.....................................................................................
BAB V PENUTUP

A. Simpulan.
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA..

LAMPIRAN.

Informed Consent
Transkip Wawancara (Verbaltime)...............................................................
Hasil tes skala stress.....................................................................................
Skala stres bagian 1.
Skala stres bagian 2
Uji Validitas dan Reabilitas
Uji data menggunakan SPSS
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Proses menua (aging) adalah proses alami yang disertai adanya
penurunankondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu
sama lain.Proses menua cenderung menimbulkan masalah kesehatan secara
umum maupunkesehatan jiwa secara khusus pada lansia (Kuntjoro, 2002).
Lanjut usia menurut UU RI no 13 tahun 1998 adalah mereka yang telah
memasuki usia 60 tahun ke atas (Indriana, 2008). Banyak istilah yang dikenal
masyarakat untuk menyebut orang lanjut usia, antara lain lansia yang
merupakan singkatan dari lanjut usia. Istilah lain adalah manula yang
merupakan singkatan dari manusia lanjut usia. Apapun istilah yang dikenakan
pada individu yang telah memasuki usia 60 tahun ke atas tersebut tidak lebih
penting dari realitas yang dihadapi oleh kebanyakan individu usia ini.
Lansia sering kali dipandang sebagai suatu masa degenerasi biologis
yang disertai dengan berbagai keadaan yang menyertai proses menua. Proses
menua merupakan suatu proses menghilangnya secara perlahan kemampuan
jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan
struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas
dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Nugroho, 2008).
Usia yang bertambahtua merupakan masa paling rawan seseorang
terserang penyakit kronis denganproses penyembuhan yang membutuhkan
waktu lama. Usaha yang lebih tepatdilakukan pada lanjut usia (lansia) adalah
upaya pencegahan, pengontrolan, danpenundaan timbulnya penyakit seperti
pencegahan sejak awal terhadap timbulnyaberbagai penyakit, terjadinya
proses penuaan dalam tubuh dan terjadinyaperubahan dalam tubuh (Bangun,
2005)
Memasuki masa tua, sebagian besar lanjut usia kurang siap
menghadapi dan menyikapi masa tua tersebut, sehingga menyebabkan para
lanjut usia kurang dapat menyesuaikan diri dan memecahkan masalah yang
dihadapi (Widyastuti, 2000). Pada lansia, menunjukkan penurunan fisik yang
lebih besar dibandingkan periode-periode usia sebelumnya serta rentan
terkena penyakit tertentu berkaitan dengan penurunan fisiknya yang mulai
melemah dan sakit-sakitan (Santrock, John W, 2002).
Perubahan-perubahan itu sering mengakibatkan lansia dianggap
merasa tidak ada gunanya lagi, karena mereka tidak dapat bersaing dengan
orang-orang yang lebih muda dalam berbagai bidang. Perasaan tidak berguna
dan tidak diperlukan lagi, bagi lansia menumbuhkan rasa rendah diri dan
kemarahan, yaitu suatu perasaan yang tidak menunjang proses penyesuaian
sosial seseorang (Hurlock, 1994).
Dikarenakan berkurangnya fungsi- fungsi dan perannya, lansia
umumnya membutuhkan seorang pengasuh dalam menjalani kehidupannya
sehari-hari. Namun, banyak dari keluarga lansia memiliki kesibukan-
kesibukan tersendiri seperti bekerja, membuat para lansia tidak ada yang
mengurusnya. Salah satu alternatif yang dipilih oleh keluarga adalah panti
wredha.
Keberadaan panti wredha merupakan salah satu tempat untuk
menampung para lansia di Indonesia. Panti wredha merupakan salah satu
bentuk perhatian pemerintah pada kelompok usia ini. Lansia yang tinggal
dipanti wredha memiliki latar belakang kehidupan dan alasan yang berbeda-
beda. Dari beberapa lansia yang kami wawancarai bahwa kebanyak dari
mereka tinggal di panti wredha tersebut dikarenakan keluarganya sibuk, tidak
bisa mengurus mereka, ada juga yang beranggapan bahwa mereka tidak ingin
mengganggu rumah tangga anaknya. Namun, beberapa dari mereka tinggal di
panti wredha tersebut karena keinginannya sendiri.
Tinggal di panti wredha seringkalimenimbulkan stres, karena mereka
harusberadaptasi dengan lingkungan baru danbertemu dengan orang-orang
baru yangberasal dari kebudayaan keluarga yangberbeda-beda. Namun
demikian, ketikaseseorang memutuskan untuk tinggal di pantiwerdha,
mempunyai sisi positif dan sisinegatif. Sisi positif tinggal di panti
werdhaadalah lansia bisa bergaul dengan orangseusianya karena merasa sama
dalam halumur yang memasuki usia dewasa akhir(lansia), bisa bersosialisasi
dan berinteraksi.Tapi dari sisi negatifnya, lansia yang tinggaldi panti werdha
padahal mereka masihmempunyai keluarga, keluarganya dianggaptelah
melupakan orang tuanya serta lebih membuat lansia merasa kesepian (Arixs,
2006).
Keputusan keluarga untukmenempatkan orang lansia di panti
werdhabelum tentu dapat diterima oleh lansia.Mereka mungkin merasa
terbuang, tidakdibutuhkan lagi, terisolasi, dan kehilanganorang-orang yang
dicintai. Selain itu, pantiwerdha merupakan tempat yang relatif asingbagi
lansia jika dibandingkan dengan tinggaldi rumahnya sendiri bersama
keluarganya.Hal ini dapat menjadi stressor, baik yangberasal dari dirinya
maupun dari lingkungan.Walaupun kadang-kadang penempatan lansiadi suatu
panti maupun lembaga-lembagasosial disebabkan oleh keinginan para
lansiaitu sendiri atau karena kondisi keluargaPapalia&Olds (dalam Soekamto,
2000:185).
Pada kenyataan sekarang ini memperlihatkan bahwa para lansia yang
tinggal di panti sosial atau panti perawatan dan jauh dari anak cucu, ternyata
dapat membuat lansia tersebut merasa kesepian, sendiri dan terisolasi. Apalagi
jika tiba saat- saat liburan yang berarti saat berkumpul bersama keluarga dan
mengingatkan lansia pada masa-masa bahagia saat masih banyak orang yang
mereka cintai ada di sekitar mereka. Data penelitan terdahulu menyebutkan
bahwa kelompok lansia yang mengalami perasaaan kesepian menempati
urutan yang paling atas dengan prosentase 37,37% yang berarti secara
keseluruhan mereka mengalami kesepian. Dan keadaaan ini menonjol pada
penghuni panti werdha yang menjadi stresor munculnya stress (Haditono,
1988:16).
Pinel (2009) mencantumkan bahwa stres terjadi jika seseorang
dihadapkan dengan peristiwa yang mereka rasakan sebagai sesuatu yang
mengancam kesehatan fisik atau psikologisnya.Stres dapat bersifat positif dan
negatif (Davison, 2010).Stres positif disebut juga eustress, yang terjadi apabila
taraf stres yang dialami mendorong atau memotivasi individu untuk
meningkatkan usaha pencapaian tujuan.Sebaliknya, stres yang negatif disebut
juga distress, mengandung emosi negatif yang sangat kuat sehingga tidak
hanya mengancam kesehatan, kognitif, emosi, serta perilaku seseorang.
Sarafino (1994) mendefinisikan stres adalah kondisi yang disebabkan
oleh interaksi antara individu dengan lingkungan, menimbulkan persepsi jarak
antara tuntutan-tuntutan yang berasal dari situasi yang bersumber pada sistem
biologis, psikologis dan sosial dari seseorang.Stres adalah tekanan internal
maupun eksternal serta kondisi bermasalah lainnya dalam kehidupan (an
internal and eksternal pressure and other troublesome condition in life).
Compas (dalam Preece, 2011) berpendapat bahwa stres adalah suatu
konsep yang mengancam dan konsep tersebut terbentuk dari perspektif
lingkungan dan pendekatan yang ditransaksikan.Baum (dalam Yusuf, 2004)
mendefinisikan stres sebagai pengalaman emosional yang negatif yang disertai
dengan perubahan-perubahan biokimia, fisik, kognitif, dan tingkah laku yang
diarahkan untuk mengubah peristiwa stres tersebut atau mengakomodasikan
dampak-dampaknya.
Lazarus dan Folkman (dalam Evanjeli, 2012) menjelaskan stres
sebagai kondisi individu yang dipengaruhi oleh lingkungan.Kondisi stres
terjadi karena ketidakseimbangan antara tekanan yang dihadapi individu dan
kemampuan untuk menghadapi tekanan tersebut.Individu membutuhkan
energi yang cukup untuk menghadapi situasi stres agar tidak mengganggu
kesejahteraan mereka.
Ketika menghadapi suatu situasi yang dapat menimbulkan stress,
faktor stress setiap individu berbeda-beda. Beberapa respon ini merupakan
faktor yang tidak disadari, sedangkan sebagian lagi disadari oleh individu
untuk segera melakukan coping. Lazarus (1984) membagi faktor-faktor ini
kedalam 4 kategori yaitu:
1. Kognitif
Faktor kognitif terhadap stress meliputi hasil proses appraisal seperti
adanya keyakinan mengenai bahaya atau ancaman yang terkandung
dalam suatu kejadian atau keyakinan mengenai penyebabnya. Respon
kognitif juga memasukkan respon stress tidak sadar seperti membuat
jarak, ketidakmampuan konsentrasi, gangguan performance dalam
pekerjaan-pekerjaan kognitif, dan pikiran-pikiran yang mengganggu,
berulang dan abnormal. Simptom stress dalam bentuk kognitif mencakup
pemikiran obsesif dan adanya ketidakmampuan untuk berkonsentrasi.
2. Fisiologis
Pada saat menghadapi stress, tubuh memobilisasi diri untuk menangani
stress tersebut.Hati mengeluarkan lebih banyak glukosa untuk melumasi
otot serta hormon-hormon dikeluarkan untuk menstimulasi perubahan
lemak dan protein menjadi gula. Metabolisme tubuh meningkat sebagai
persiapan tuntutan energi dari aktifitas fisik. Denyut jantung, tekanan
darah, dan pernafasan meningkat serta otot menjadi tegang. Pada saat
yang sama, aktifitas yang tidak dibutuhkan seperti digestif dikurangi,
saliva dan lendir akan mengering dan sebagai gantinya meningkatnya
jumlah udara yang dihirup. Respon psikologis tersebut merupakan hasil
dari bekerjanya beberapa sistem tubuh untuk menghadapi stress.
3. Emosional
Penilaian atau interpretasi kognitif terhadap lingkungan yang dikaitkan
dengan kebutuhan, tujuan, harapan, atau perhatiannya adalah hal yang
menentukan bagaimana respon emosi seseorang (Lazarus, 1982). Lazarus
& Folkman (1984) mengungkapkan bahwa dominansi emosi negatif
seperti cemas, depresi, dan marah merupakan indikasi bahwa individu
yang bersangkutan menilai situasi sebagai sesuatu yang menimbulkan
stress dan dirasakan melukai atau merugikan (harm/loss), atau
memberikan ancaman bahwa akan muncul sesuatu yang dapat melukai
atau merugikan keberadaan individu tersebut.
4. Tingkah laku
Tingkah laku berhubungan dengan memunculkannya suatu perilaku baru
sebagai upaya individu untuk mengurangi atau menghilangkan kondisi
stress yang dialaminya. Perilaku-perilaku yang muncul seperti merokok,
mengurangi atau makan berlebih, berolahraga berlebihan, mengkonsumsi
alkohol atau obat-obatan terlarang, dan sebagainya.Tingkah laku ini
muncul tergantung pada stressor yang dihadapi, perilaku melawan
stressor secara langsung (fight) dan menjauh atau menarik diri dari
ancaman (flight)merupakan dua reaksi yang paling ekstrim.
Dari faktor-faktor yang mempengaruhi stres di atas, terlihat bahwa
salah satu faktornya adalah emosional.Menurut Lazarus dan Folkman, ada 2
jenis strategi coping stres, yaitu : (1) Problem-Focused Coping, dan (2)
Emotional-Focused Coping.
Emotional-FocusedCopingbertujuan untuk melakukan kontrol
terhadap respon emosional terhadap situasi penyebab stres, baik dalam
pendekatan secara behavioral maupun kognitif. Lazarus dan Folkman (1986)
mengemukakan bahwa individu cenderung menggunakan Emotional-Focused
Coping ketika individu memiliki persepsi bahwa stresor yang ada tidak dapat
diubah atau diatasi. Dengan melakukan tawa maka seseorang akan mampu
untuk mengontrol emosinya atau mengubah emosi penyebab stres.
Strategi untuk menurunkan tingkat stress dengan menerapkan terapi
tawa. Firmanto (2006), membuktikan bahwa terapi tawa efektif menurunkan
stres keja pada Pegawai Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Surabaya di Desa
Kebon Agung Kecamatan Porong.
Terapi Tawa merupakan metode terapi dengan menggunakan humor
dan tawa, yang dikombinasikan dengan yoga dan meditasi, untuk membantu
individu mengurangi gangguan fisik maupun gangguan mental. Penggunaan
tawa dalam terapi akan menghasilkan perasan lega pada individu karena tawa
secara alami menghasilkan pereda stres dan rasa sakit (psikologizone,
2010).Penanganan stres menggunakan terapi tawa, yaitu metode terapi
dengan tawa untuk membantu individu menyelesaikan masalah dan gangguan
fisik maupun mental.Terapi tawa adalah salah satu cara untuk mencapai
kondisi rileks.
Tertawa merupakan paduan dari peningkatan sistem saraf simpatetik
dan juga penurunan kerja sistem saraf simpatetik. Peningkatannya berfungsi
untuk memberikan tenaga bagi gerakan pada tubuh, namun hal ini kemudian
juga diikuti oleh penurunan sistem saraf simpatetik yang salah satunya
disebabkan oleh adanya perubahan kondisi otot yang menjadi lebih rileks,
dan pengurangan pemecahan terhadap nitric oxide yang membawa pada
pelebaran pembuluh darah, sehingga rata-rata tertawa menyebabkan aliran
darah sebesar 20%, sementara stres menyebabkan penurunan aliran darah
sekitar 30% (Hasan& Hasan, 2009).
Palma (2002) menjelaskan bahwa kelelahan dalam memproduksi
adrenalin dapat disebabkan oleh ketegangan emosional, seperti frustrasi.Oleh
karena itu, penting bagi seseorang untuk mengembalikan kondisi ke keadaan
rileks agar terjadi penurunan kerja sistem saraf tersebut dan agar tidak
mengalami stress.
Dinamika antara terapi tawa dengan stres pada lansia dapat muncul
karena tekanan yang di alami lansia yang tidak mampu untuk menyesuaikan
diri terhadap lingkungan barunya yaitu panti wredha. Dengan adanya tekanan
dalam diri lansia memrupakan faktor munculnya stres pada faktor emosional.
Agar tidak terjadi stress pada lansia baik untuk mengkopingnya dengan cara
emotional-focusedcoping dengan bertujuan untuk melakukan kontrol terhadap
respon emosional terhadap situasi penyebab stres, baik dalam pendekatan
secara behavioral maupun kognitif. Dengan melakukan tawa maka seseorang
akan mampu untuk mengontrol emosinya atau mengubah emosi penyebab
stres.
Penelitian sebelumnya, yang dilakukan oleh Deshinta & Ramadhani
(2013) menunjukkan bahwaada perbedaan yang signifikan pada stres lansia
dengan tekanan darah sistolik antara kelompok eksperimen dengan kelompok
kontrol setelah mengikuti terapi tawa. Sebaliknya, uji yang sama terhadap
selisih tekanan darah diastolik menunjukkan tidak adanya perbedaan yang
signifikan antara kedua kelompok. Berdasarkan hasil tersebut dapat
disimpulkan bahwa terapi tawa dapat menurunkan tingkat stres dan tekanan
darah sistolik pada penderita hipertensi.
Tertawa adalah gejala reaksi fisik seseorang yang menerima
rangsangan batiniah (lucu) atau badaniah (gelitik) atau faal (penyakit), bisa
juga dampak dari rangsangan kimiawi.Tertawa dapat mem- buat manusia
sehat, baik bagi fisik, mental, maupun suasana komunikasi.Tetapi dapat pula
tidak sehat bahkan berbahaya dan mengganggu hubungan antar manu- sia
apabila tertawa tidak pada tempatnya, mengganggu kesehatan seperti sesak
nafas, kejang perut, atau karena wabah penyakit (Kataria, 2004).
Terapi tawa dilakukan dengan cara mengajak subjek melakukan
aktivitas tertawa dengan melibatkan perilaku dan gerakan tubuh yaitu dengan
melakukan latihan teknik tawa untuk memunculkan tertawa alami lewat
perilakunya sendiri tanpa adanya humor. Individu akan berlatih melakukan
gerakan motorik dan suara tertawa, yang akhirnya berakhir pada kondisi
fisiologis (meningkatnya sistem saraf parasimpatetis dan menurunnya sistem
saraf simpatis). Mengacu kepada facial feedback hypotheses maka perubahan
ekspresi atau gerakan wajah dapat menimbulkan perasaan/emosi yang sama.
Signifikan tentang penelitian terapi tawa untuk menurunkan tingkat
kecenderungan stress di panti wredha sangat penting untuk dilakukan dengan
berbagai alasan. Pertama, penelitian ini dapat mengetahui sejauh mana
pengaruh terapi tawa terhadap penurunan tingkat kecenderungan stress.
Kedua, penelitian ini dapat menambah penelitian akademik dan literatur
dalam bidang psikologi.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa penerapan terapi
tawa dapat menurunkan tingkat kecenderungan stres pada lansia yang tinggal
di panti wredha. Karena dengan cara tawa tubuh akan menjadi rileks dapat
menurunkan ketegangan berupa tekanan dalam diri seseorang, dan dengan
tertawa dapat menurunkan kerja hormon adrenalin, hormon pemicu stress.
Sehingga stress dapat diturunkan dengan penerapan terapi tawa. Oleh karena
itu, peneliti mengambil judul tentang pengaruh penerapan terapi tawa
terhadap penurunan kecenderungan stres pada lanjut usia.

B. RUMUSAN MASALAH
Apakah Terapi Tawa Dapat Menurunkan Tingkat Stress pada Lanjut
Usia di Panti Wredha?

C. TUJUAN PENELITIAN
Untuk Mengetahui Bagaimana Pengaruh Terapi Tawa Terhadap
Penurunan Stres Lanjut Usia di Panti Wredha.

D. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah
1. Manfaat teoritis
a. Lansia
Lansia dapat memahami penyebab-penyebab stress, sehingga ketika
mengalami stres lansia dapat menggunakan terapi tawa. Lansia dapat
memperoleh informasi tentang pengaruh terapi tawa terhadap stress
pada lansia.
b. Peneliti
Melalui penelitian ini akan diteliti pengaruh terapi tawa terhadap stress
lansia. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk
membuktikan teori yang sudah ada dan dapat juga digunakan sebagai
pijakan untuk melakukan penelitian selanjutnya yang sejenis.

c. Bagi Ilmu Pengetahuan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan teoritis pada


ilmu pengetahuan khususnya Psikologi Klinis.
2. Manfaat praktis
a. Lansia
Lansia diharapkan untuk bisa melakukan terapi tawa untuk
menurunkan tingkat stress yang dialami.
b. Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat membantu dan menjadi pedoman
informasi atas penelitian selanjutnya mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan stress lansia.
E. KEASLIAN PENELITIAN
Pentingnya memahami pengaruh terapi tawa terhadap stres menjadikan
cukup banyak peneliti yang tertarik melakukan penelitian, baik di dalam negri
maupun di luar negeri.Beberapa jurnal penelitian yang terpublikasi
menunjukkan bahwa hubungan keduanya menarik untuk diteliti.Banyak hasil
penelitian yang dilakukan pada pekerja, orang-orang dewasa, ibu rumah
tangga, sampai para pengangguran.Hampir semua penelitian tersebut
menunjukkan hasil yang signifikan terhadap pengaruh terapi tawa.
Penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo & Nurtjahjanti (2011) pada
pegawai PT. KAI menunjukkan bahwa terapi tawa dapat diberikan untuk
menurunkan stres kerja yang dialami oleh pegawai PT. KAI.Penurunan stres
kerja tersebut dipengaruhi oleh komitmen dan kesediaan subyek penelitian
dalam menerapkan terapi tawa.
Penelitian lain pada penderita hipertensi yang telah dilakukan oleh
Deshinta & Ramadhani (2013) menunjukkan adanya perbedaan yang
signifikan pada tekanan darah sistolik antara kelompok eksperimen dengan
kelompok kontrol setelah mengikuti terapi tawa. Sebaliknya, uji yang sama
terhadap selisih tekanan darah diastolik menunjukkan tidak adanya perbedaan
yang signifikan antara kedua kelompok. Berdasarkan hasil tersebut dapat
disimpulkan bahwa terapi tawa dapat menurunkan tingkat stres dan tekanan
darah sistolik pada penderita hipertensi.
Anggarasari, dkk (2014) melakukan penelitian tentang pengaruh terapi
tawa. Hasil dari penelitian tersebut adalah terapi tawa dapat merilekskan
tubuh, namun tidak dapat menurunkan emosi marah dalam waktu yang
pendek. Hal ini dapat dilihat dari adanya saran dan hal yang dirasakan setelah
proses terapi tawa itu berlangsung. Hampir semua setuju bahwa terapi tawa
dapat dilakukan secara rutin dan dapat dilakukan juga di masyarakat.Hal ini
menunjukkan bahwa terapi tawa memberikan pengaruh bagi perubahan
perilaku pengasuh lansia.
Diluar negeri juga telah dilakukan penelitian tentantang pengaruh
terapi tawa terhadap stress.Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan
oleh Kaur & Walia (2008). Penelitian tersebut memberikan hasil yang
menunjukkan level stress menurun pada mahasiswa keperawatan setelah
dilakukan terapi tawa selama tujuh hari, dan setiap harinya diberikan satu kali
perlakuan.
Pada penelitian Demir (2015), juga melakukan penelitian tentang
pengaruh terapi tawa yang diberikan kepada pasien kanker yang mengalami
stress, depresi, dan kualitas. Penelitian tersebut menunjukkan terapi tawa
sangat efektif untuk menurunkan stress dan depresi. Selain itu, terapi tawa
juga dapat meningkatkan kualitas hidup pada penderita kanker.
Melihat dari beberapa hasil penelitian terpublikasi yang telah
disebutkan, terdapat kesamaan yang muncul adalah tentang penurunan tingkat
stres.Namun terdapat sedikit perbedaan didalampengambilan sample, pada
penelitian yang dilakukan oleh Dhesinta dan Ramandhani selain meneliti
pengaruh terapi tertawa terhadap penurunan stres, penelitian ini juga
melibatkan penyakit hipertensi.Pada penelitian yang dilakukan Demir subjek
yang dipilih adalah penderita kanker. Dari kedua penelitian tersebut
menggunakan penelitian kuantitatif dengan jenis penelitian quasi
eksperimental (kuasi eksperimen) yang menggunakan satu kelompok kontrol
dan satu kelompok eksperimen.
Berbeda dari peneltian terdahulu yang telah disebutkan di atas, dalam
penelitian ini peneliti menggunakan terapi tawa sebagai treatmentnya dan
stress pada lansia sebagai variabel yang dipengaruhi, namun dalam penelitian
ini, peneliti menggunakan subyek lansia yang bertempat tinggal di panti
Wredha Hargo Dedali. Desain penelitian ini berbeda dengan penelitian
sebelumnya, yaitu menggunakan one group pre-test post-test design.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Stres Pada Lansia


1. Lansia
a. Pengertian Lansia
Proses menua (aging) adalah proses alami yang dihadapi setiap
manusia. Dalam proses ini, tahap yang paling krusial adalah tahap
lansia (lanjut usia). Dalam tahap ini, pada diri manusia secara alami
terjadi penurunan atau perubahan kondisi fisik, psikologis maupun
sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu cenderung
berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum (fisik)
maupun kesehatan jiwa secara khusus pada individu lansia. Lansia
merupakan istilah tahapan paling akhir dari proses penuaan.
Menurut Hurlock (1999), lansia merupakan periode terakhir atau
periode penutup dalam rentang hidup seseorang. Usia lanjut ditandai
dengan perubahan fisik dan psikologis tertentu. Efek-efek tersebut
menentukan lansia dalam melakukan penyesuaian diri secara baik atau
buruk, akan tetapi ciri-ciri usia lanjut cenderung menuju dan
membawa penyesuaian diri yang buruk dari pada yang baik dan
kepada kesengsaraan dari pada kebahagiaan, itulah sebabnya mengapa
usia lanjut lebih rentan dari pada usia madya (Hurlock, 1999).
Sedangkan menurut Erikson (dalam Schaie dan Willis, 2000) bahwa
lansia merupakan suatu tahap kehidupan dimana seseorang harus
mencapai integritas, sedangkan kegagalan dalam mencapai integritas
akan menyebabkan kondisi keputusasaan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa lansia merupakan
tahap akhir rentang hidup yang ditandai dengan berbagai penurunan
(seperti kondisi fisik, psikologis, dan sosial) dan akan mencapai
integritas atau keputusasaan.

b. Penggolongan Lansia
Menurut Hurlock (1999), masa lansia dimulai dari umur enam
puluh tahun (60 tahun) sampai meninggal dunia yang ditandai dengan
adanya berbagai perubahan yang bersifat fisik dan psikologis serta
semakin menunjukkan penurunan dalam setiap perubahan. Sedangkan
penggolongan kelompok lansia menurut Depkes (dalam Azis, 1994)
dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu:
1) Kelompok lansia dini (55-65 tahun), merupakan kelompok yang
baru memasuki lansia.
2) Kelompok lansia (65 tahun ke atas).
3) Kelompok lansia resiko tinggi, yaitu yang berusia lebih dari 70
tahun.

Pada penelitian ini, usia lansia yang dipakai mengacu pada


pendapat Hurlock (1999) yaitu usia diatas 60 tahun. Pada usia 60
tahun keatas biasanya semua lansia sudah memasuki masa pensiun
sehingga ciri-ciri individu yang akan dijadikan sampel hampir sama.

c. Ciri-ciri Lansia
Menurut Hurlock (1980) terdapat beberapa ciri orang lanjut usia yaitu:
1) Usia lanjut merupakan periode kemunduran.
Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan
faktor psikologis.Kemunduran tersebut dapat berdampak pada
psikologis lansia.Motivasi memiliki peran yang penting dalam
kemunduran pada lansia. Kemunduran pada lansia semakin cepat
apabila memiliki motivasi yang rendah, sebaliknya jika memiliki
motivasi yang kuat maka kemunduran itu akan lama terjadi.
2) Orang lanjut usia memiliki status kelompok minoritas.
Lansia memiliki status kelompok minoritas karena sebagai akibat
dari sikap sosial yang tidak menyenangkan terhadap orang lanjut
usia dan diperkuat oleh pendapat-pendapat klise yang jelek
terhadap lansia. Pendapat-pendapat klise itu seperti: lansia lebih
senang mempertahankan pendapatnya daripada mendengarkan
pendapat orang lain.
3) Menua membutuhkan perubahan peran.
Perubahan peran tersebut dilakukan karena lansia mulai
mengalami kemunduran dalam segala hal.Perubahan peran pada
lansia sebaiknya dilakukan atas dasar keinginan sendiri bukan
atas dasar tekanan dari lingkungan.
4) Penyesuaian yang buruk pada lansia
Perlakuan yang buruk terhadap orang lanjut usia membuat lansia
cenderung mengembangkan konsep diri yang buruk. Lansia lebih
memperlihatkan bentuk perilaku yang buruk.Karena perlakuan yang
buruk itu membuat penyesuaian diri lansia menjadi buruk.

d. Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia.


1) Perubahan fisik-biologi
Perubahan fisik pada lansia lebih banyak ditekankan pada
penurunan atau berkurangnya fungsi alat indera dan sistem saraf
mereka seperti penurunan jumlah sel dan cairan intra sel, sistem
kardiovaskuler, sistem pernafasan, sistem gastrointestinal, sistem
endokrin dan sistem musculoskeletal.Perubahan-perubahan fisik
yang nyata dapat dilihat membuat lansia merasa minder atau
kurang percaya diri jika harus berinteraksi dengan lingkungannya
(Santrock, 2002).
2) Perubahan psikis
Perubahan psikis pada lansia adalah besarnya individual
differences pada lansia. Lansia memiliki kepribadian yang
berbeda dengan sebelumnya. Penyesuaian diri lansia juga sulit
karena ketidakinginan lansia untuk berinteraksi sosial dengan
lingkungan ataupun pemberian batasan untuk dapat beinteraksi
(Hurlock, 1980). Keadaan ini dapat cenderung berpotensi
menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan
jiwa secara khusus pada lansia.
3) Perubahan sosial
Umumnya lansia banyak yang melepaskan partisipasi sosial
mereka, walaupun pelepasan itu dilakukan secara terpaksa.
Aktivitas sosial yang banyak pada lansia juga mempengaruhi baik
buruknya kondisi fisik dan sosial lansia.(Santrock, 2002).
4) Perubahan kehidupan keluarga
Umumnya ketergantungan lansia pada anak dalam hal
keuangan.Lansia sudah tidak memiliki kemampuan untuk dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya. Anak-anaknya pun tidak semua
dapat menerima permintaan atau tanggung jawab yang harus
mereka penuhi. Perubahan-perubahan tersebut pada umumnya
mengarah pada kemunduruan kesehatan fisik dan psikis yang
akhirnya akan berpengaruh juga pada aktivitas ekonomi dan
sosial mereka. Secara umum akan berpengaruh pada aktivitas
kehidupan sehari-hari.
2. Stres
a. Pengertian Stres

Stress berasal dari bahasa latin stingere yang berarti keras


(stictus), yang pada akhirnya istilah itu berkembang terus menjadi
Stress (Cox, 1978). Pada abad 17, istilah Stress diartikan sebagai
kesukaran, kesulitan, atau penderitaan.Selanjutnya pada abad 18,
Stress digunakan untuk menunjukkan kekuatan, tekanan, ketegangan
atau usaha yang keras yang ditunjukkan pada benda-benda atau
manusia, terutama untuk kekuatan mental atau organ manusia
(Cooper, Cooper & Eaher, 1988).
Hawari ( dalam Yusuf, 2004) berpendapat bahwa istilah stres
tidak dapat dipisahkan dari distress dan depresi, karena satu sama
lainnya saling terkait. Stres merupakan reaksi fisik terhadap
permasalahan kehidupan yang dialaminya dan apabila fungsi organ
tubuh sampai terganggu dinamakan distress.Sedangkan depresi
merupakan reaksi kejiwaan terhadap stressor yang dialaminya. Dalam
banyak hal manusia akan cukup cepat untuk pulih kembali dari
pengaruh-pengaruh pengalaman stres. Manusia mempunyai suplai
yang baik dan energi penyesuaian diri untuk dipakai dan diisi kembali
bilamana perlu.

Sarafino (1994) mendefinisikan stres adalah kondisi yang


disebabkan oleh interaksi antara individu dengan lingkungan,
menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan-tuntutan yang berasal dari
situasi yang bersumber pada sistem biologis, psikologis dan sosial dari
seseorang.Stres adalah tekanan internal maupun eksternal serta
kondisi bermasalah lainnya dalam kehidupan (an internal and
eksternal pressure and other troublesome condition in life).

Menurut Richard (2010) stres adalah suatu proses yang menilai


suatu peristiwa sebagai sesuatu yang mengancam, ataupun
membahayakan dan individu merespon peristiwa itu pada level
fisiologis, emosional, kognitif dan perilaku. Peristiwa yang
memunculkan stres dapat saja positif (misalnya merencanakan
perkawinan) atau negatif (contoh: kematian keluarga). Sesuatu
didefinisikan sebagai peristiwa yang menekan (stressful event) atau
tidak, bergantung pada respon yang diberikan oleh individu
terhadapnya.

Compas (dalam Preece, 2011) berpendapat bahwa stres adalah


suatu konsep yang mengancam dan konsep tersebut terbentuk dari
perspektif lingkungan dan pendekatan yang ditransaksikan.Baum
(dalam Yusuf, 2004) mendefinisikan stres sebagai pengalaman
emosional yang negatif yang disertai dengan perubahan-perubahan
biokimia, fisik, kognitif, dan tingkah laku yang diarahkan untuk
mengubah peristiwa stres tersebut atau mengakomodasikan dampak-
dampaknya.
Lazarus dan Folkman (dalam Evanjeli, 2012) menjelaskan
stres sebagai kondisi individu yang dipengaruhi oleh
lingkungan.Kondisi stres terjadi karena ketidakseimbangan antara
tekanan yang dihadapi individu dan kemampuan untuk menghadapi
tekanan tersebut.Individu membutuhkan energi yang cukup untuk
menghadapi situasi stres agar tidak mengganggu kesejahteraan
mereka.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa stres
adalah suatu peristiwa atau pengalaman yang negatif sebagai sesuatu
yang mengancam, ataupun membahayakan dan individu yang berasal
dari situasi yang bersumber pada sistem biologis, psikologis dan sosial
dari seseorang.
b. Aspek Stress
Pada saat seseorang mengalami stres ada dua aspek utama dari
dampak yang ditimbulkan akibat stres yang terjadi, yaitu aspek fisik
dan aspek psikologis (Sarafino, 1998) yaitu:
1) Aspek fisik
Berdampak pada menurunnya kondisi seseorang pada saat stres
sehingga orang tersebut mengalami sakit pada organ tubuhnya,
seperti sakit kepala, gangguan pencernaan.
2) Aspek psikologis
Terdiri dari gejala kognisi, gejala emosi, dan gejala tingkah
laku.Masing-masing gejala tersebut mempengaruhi kondisi
psikologi seseorang dan membuat kondisi psikologisnya
menjadi negatif, seperti menurunnya daya ingat, merasa sedih
dan menunda pekerjaan.Hal ini dipengaruhi oleh berat atau
ringannya stres.

c. Faktor-faktor Stres
Ketika menghadapi suatu situasi yang dapat menimbulkan
stress, faktor stress setiap individu berbeda-beda. Beberapa respon
ini merupakan faktor yang tidak disadari, sedangkan sebagian lagi
disadari oleh individu untuk segera melakukan coping. Lazarus
(1984) membagi faktor-faktor ini kedalam 4 kategori yaitu:
1. Kognitif
Faktor kognitif terhadap stress meliputi hasil proses appraisal
seperti adanya keyakinan mengenai bahaya atau ancaman yang
terkandung dalam suatu kejadian atau keyakinan mengenai
penyebabnya. Respon kognitif juga memasukkan respon stress
tidak sadar seperti membuat jarak, ketidakmampuan konsentrasi,
gangguan performance dalam pekerjaan-pekerjaan kognitif, dan
pikiran-pikiran yang mengganggu, berulang dan abnormal.
Simptom stress dalam bentuk kognitif mencakup pemikiran
obsesif dan adanya ketidakmampuan untuk berkonsentrasi.
2. Fisiologis
Pada saat menghadapi stress, tubuh memobilisasi diri untuk
menangani stress tersebut. Hati mengeluarkan lebih banyak
glukosa untuk melumasi otot serta hormon-hormon dikeluarkan
untuk menstimulasi perubahan lemak dan protein menjadi gula.
Metabolisme tubuh meningkat sebagai persiapan tuntutan energi
dari aktifitas fisik. Denyut jantung, tekanan darah, dan
pernafasan meningkat serta otot menjadi tegang. Pada saat yang
sama, aktifitas yang tidak dibutuhkan seperti digestif dikurangi,
saliva dan lendir akan mengering dan sebagai gantinya
meningkatnya jumlah udara yang dihirup. Respon psikologis
tersebut merupakan hasil dari bekerjanya beberapa sistem tubuh
untuk menghadapi stress.
3. Emosional
Penilaian atau interpretasi kognitif terhadap lingkungan yang
dikaitkan dengan kebutuhan, tujuan, harapan, atau perhatiannya
adalah hal yang menentukan bagaimana respon emosi seseorang
(Lazarus, 1982). Lazarus & Folkman (1984) mengungkapkan
bahwa dominansi emosi negatif seperti cemas, depresi, dan
marah merupakan indikasi bahwa individu yang bersangkutan
menilai situasi sebagai sesuatu yang menimbulkan stress dan
dirasakan melukai atau merugikan (harm/loss), atau memberikan
ancaman bahwa akan muncul sesuatu yang dapat melukai atau
merugikan keberadaan individu tersebut.
4. Tingkah laku
Tingkah laku berhubungan dengan memunculkannya suatu
perilaku baru sebagai upaya individu untuk mengurangi atau
menghilangkan kondisi stress yang dialaminya. Perilaku-perilaku
yang muncul seperti merokok, mengurangi atau makan berlebih,
berolahraga berlebihan, mengkonsumsi alkohol atau obat-obatan
terlarang, dan sebagainya. Tingkah laku ini muncul tergantung
pada stressor yang dihadapi, perilaku melawan stressor secara
langsung (fight) dan menjauh atau menarik diri dari ancaman
(flight) merupakan dua reaksi yang paling ekstrim.
Dari faktor-faktor yang mempengaruhi stres di atas, terlihat bahwa
salah satu faktornya adalah emosional. Menurut Lazarus dan Folkman,
ada 2 jenis strategi coping stres, yaitu : (1) Problem-Focused Coping, dan
(2) Emotional-Focused Coping.
Emotional-Focused Coping bertujuan untuk melakukan kontrol
terhadap respon emosional terhadap situasi penyebab stres, baik dalam
pendekatan secara behavioral maupun kognitif. Lazarus dan Folkman
(1986) mengemukakan bahwa individu cenderung menggunakan
Emotional-Focused Coping ketika individu memiliki persepsi bahwa
stresor yang ada tidak dapat diubah atau diatasi. Dengan melakukan tawa
maka seseorang akan mampu untuk mengontrol emosinya atau mengubah
emosi penyebab stres.
2. Stres pada Lansia
Stres bisa dialami oleh setiap orang, demikian juga pada lanjut
usia (lansia). Ada beberapa hal yang menjadi penyebab orang lansia
mengalami stres. Penyebab stres pada lansia adalah ketika seseorang
memasuki masa lansia, akan mengalami perubahan-perubahan yang dalam
kehidupannya. Menurut Havighrust (dalam Hurlock, 1980: 10), lansia
yang berada di tahap perkembangan terakhir, dituntut untuk dapat
menyesuaikan diri dengan kondisi atau keadaannya yang mengalami
perubahan.Kemudian ketika lansia tersebut berada atau tinggal di panti
werdha, selain dituntut untuk menyesuaikan atau beradaptasi dengan
perubahan dalam kehidupannya, juga dituntut untuk beradaptasi dengan
lingkungan maupun dengan penghuni panti werdha. Jika kemampuan
beradaptasi mereka tidak baik, akan menyebabkan seseorang merasa tidak
nyaman dan kurangnya sosialisasi dengan penghuni yang lain.
Keputusan seseorang untuk menetap tinggal di panti werdha,
membuatnya bisa bergaul dengan orang seusianya karena merasa
samadalam hal umur yang memasuki usia dewasa akhir (lansia), bisa
bersosialisasi dan berinteraksi. Namun ketika mereka berada di panti
werdha sementara masih mempunyai keluarga, mereka merasa terbuang,
tidak dibutuhkan lagi, terisolasi, dan kehilangan orang-orang yang
dicintai.Walaupun kadang-kadang penempatan lansia di suatu panti
maupun lembaga-lembaga sosial disebabkan oleh keinginan para lansia itu
sendiri atau karena kondisi keluarga (Papalia&Olds dalam Soekamto,
2000:185).
Selain itu, lansia yang jauh dari anak cucu apalagi lansia yang
tinggal di panti sosial atau panti perawatan, ternyata dapat membuat lansia
tersebut merasa kesepian, sendiri dan terisolasi.Perasaan kesepian ini
terjadi jika tiba saat-saat liburan yang mengingatkan saat berkumpul
bersama keluarga dan masa-masa bahagia saat masih banyak orang yang
mereka cintai ada di sekitar mereka.Kesepian yang terjadi pada kelompok
lansia merupakan urutan paling atas yang berarti secara keseluruhan para
lansia mengalami kesepian.Dan keadaaan ini menonjol pada penghuni
panti werdha (Haditono, 1988:16). Hal ini juga dinyatakan oleh Dr. Madan
Kataria dalam bukunya Laugh For No Reason, bahwa banyak juga orang
yang tinggal di panti werdha merasa kesepian dan tertekan, meskipun
mereka hidup bersama dengan orang tua lain dan ada rasa kebersamaan
(Kataria Madan, 2004, hal: 247).
Apabila lansia tidak segera mampu menyesuaikan diri dengan
perubahan-perubahanyang terjadi pada dirinya dan menyesuaikan diri pada
lingkungan baru di panti werdha, akan muncul stres atau ketegangan jiwa.
Selain itu, perasaan-perasaan tersebut, seperti dibuang, terkadang kesepian
karena adanya keinginan untuk bertemu keluarganya, merasa dibuang serta
tidak dibutuhkan lagi akan menimbulkan seseorang menjadi stres. Stres
yang berkepanjangan dapat memperbesar peluang penyakit fisik dan atau
mental (Papalia&Olds dalam Soekamto, 2000:185).
B. Cara Pengukuran Stres Pada Lansia
Tingkat stres pada lansia yang tinggal di panti werdha diukur
dengan menggunakan skala tingkat stres pada lansia. Dalam hal ini
peneliti memberikan kuesioner kepada subyek (lansia). Kuisioner tersebut
merupakan skala DASS 42 Lavibond and Lavibond. Dari kuesioner yang
peneliti berikan tersebut maka akan dapat mengetahui tingkat stres pada
subyek (lansia). Untuk menurunkan stres pada lansia maka peneliti
menggunakan terapi tawa.

3. Terapi Tawa
1. Pengertian Terapi
Terapi (dalam Yunani :), atau pengobatan, adalah
remediasi masalah kesehatan, biasanya mengikuti diagnosis. Orang yang
melakukan terapi disebut sebagai terapis. Dalam bidang medis, kata terapi
sinonim dengan kata pengobatan. Di antara psikolog, kata ini mengacu
kepada psikoterapi. Terapi biasanya digunakan sebagai jalan alternatif
untuk mencegah timbulnya gejala medis atau bisa juga digunakan sebagai
alternatif penyembuhan lain yang dilakukan dengan peralatan tradisional
maupun modern. Terapi memiliki banyak manfaat dan dari segi biaya
tentu lebih efisien atau lebih murah. Secara non medis gejala penyakit
atau penyakit sebernya berasal dari pikiran yang merambat ke hati yang
mengakibatkan stress yang akhirnya rentan terhadap virus atau kuman
atau jiwa itu sendiri. (Sumber: wikipedia.org)
2. Pengertian Tertawa
Tertawa merupakan meditasi dinamis atau teknik relaksasi yang
dinamis dalam waktu singkat yang mampu mengurangi stres dan
kecemasan seseorang (Kataria, 200, hlm. 70). Tertawa melatih otot dada,
pernafasan, wajah, kaki, dan punggung. Selain fisik, tertawa juga
berpengaruh terhadap kesehatan mental. Tertawa terbukti memperbaiki
suasana hati dalam konteks sosial. Selain itu tertawa akan merelaksasikan
otot-otot yang tegang. Tertawa juga melebarkan pembuluh darah sehingga
memperlancar aliran darah ke seluruh tubuh. (Mangoenprasodjo &
Hidayati, 2005, hlm.32).
Tertawa melepaskan hormon endofrin ke dalam sirkulasi sehingga
tubuh menjadi lebih nyaman dan rileks. Hormon endofrin tersebut
sebagai morfin tubuh yang menimbulkan efek sensasi nyaman dan sehat
(Potter, 2005 dalam setyoadi & Kushariyadi, 2011, hlm.41-42). Saat
tertawa bukan hanya hormon endofrin saja yang keluar tetapi banyak
hormone positif yang muncul. Keluarnya hormon positif yaitu hormon
yang keluar diproduksi oleh tubuh ketika merasa bahagia, ceria dan
gembira seperti hormon beta-endorfin dan endomorfin. (Setyoadi
&Kusharyadi, 2011, hlm.42).
Penelitian lain menunjukkan bahwa tertawa memiliki manfaat
yakni menguatkan jantung, menurunkan tekanan darah menjadi lebih
rendah (Gordon, 2006; Bennett dkk, 2003), mengurangi kecemasan
(Wiyanna Mathofani S & Sri Eka Wahyuni, 2012), merubah pikiran-
pikiran negatif menjadi positif (Barkmann dkk, 2012), mengurangi stress
(Trent, 163:1990; Weaver & Wilson, 1997; Ria Hindri Nela Riki, 2014),
menguatkan sistem kekebalan tubuh (Kataria, 2004; Satish, 2012;
Anggun Resdasari Prasetyo & Harlina Nurtjahjanti, 2012; Emawati
Chasanah, 2012) dan menambah mood (Bennett, 1258:2003). Selain itu,
hasil penelitian Keller dan Koenig juga menyajikan kegunaan tertawa ini
selain sebagai pengatur stres, juga dapat digunakan sebagai pencegah
burnout (Bennett, 1258:2003).
3. Pengertian Terapi Tawa
Terapi tawa atau humor adalah cara alami untuk menghadapi sakit
mental dan perasaan tertekan. Meskipun cara ini tidak dijamin berhasil
untuk semua kasus, dan keberhasilannya tergantung pada seberapa lama
gangguan itu telah dialami dan seberapa besar, akan tetapi setidak-
tidaknya tersenyum akan membuat penderita lebih riang dan dan secara
sementara terbebas dari masalah.Terapi tawa dilakukan dengan cara
mengajak klien melakukan aktivitas tertawa dengan melibatkan perilaku
dan gerakan tubuh yaitu dengan melakukan latihan teknik tawa untuk
memunculkan tertawa alami lewat perilakunya sendiri tanpa adanya
humor. Individu akan berlatih melakukan gerakan motorik dan suara
tertawa, yang akhirnya berakhir pada kondisi fisiologis (meningkatnya
sistem saraf parasimpatetis dan menurunnya sistem saraf simpatis).
Mengacu kepada facial feedback hypotheses maka perubahan
ekspresi/gerakan wajah dapat menimbulkan perasaan/emosi yang sama.
Beberapa penelitian terhadap terapi tawa menunjukkan, bahwa terapi tawa
memiliki dampak psikologis dan fisiologis, terkait stres, efikasi diri, dan
tekanan darah (Beckman, Regier dan Young, 2007; Chaya et al., 2008;
Christina, 2006).
Terapi tawa merupakan metode terapi dengan menggunakan humor
dan tawa dalam rangka membantu individu menyelesaikan masalah
mereka, baik dalam bentuk gangguan fisik maupun gangguan mental.
Penggunaan tawa dalam terapi akan menghasilkan perasan lega pada
individu. Ini disebabkan tawa secara alami menghasilkan pereda stres dan
rasa sakit.Terapi tawa adalah salah satu cara untuk mencapai kondisi
rileks.
Tertawa merupakan paduan dari peningkatan sistem saraf
simpatetik dan juga penurunan kerja sistem saraf simpatetik.
Peningkatannya berfungsi untuk memberikan tenaga bagi gerakan pada
tubuh, namun hal ini kemudian juga diikuti oleh penurunan sistem saraf
simpatetik yang salah satunya disebabkan oleh adanya perubahan kondisi
otot yang menjadi lebih rileks, dan pengurangan pemecahan terhadap
nitric oxide yang membawa pada pelebaran pembuluh darah, sehingga
rata-rata tertawa menyebabkan aliran darah sebesar 20%, sementara stres
menyebabkan penurunan aliran darah sekitar 30% (Hasan& Hasan, 2009).
Disamping tertawa, membentuk wajah dengan ekspresi tertentu
juga akan mempengaruhi pengalaman emosional yang disebut dengan
facial feedback hypothesis (Izard, 1981; McIntosh, 1996). Rutledge dan
Hupka (1985) menemukan bahwa individu merasakan emosi bahagia
pada saat membuat ekspresi wajah bahagia, sebaliknya perasaan kurang
bahagiapun akan muncul apabila individu mengekspresikan wajah marah.
Hasil-hasil penelitian ilmiah terbaru memperlihatkan bahwa
kebahagiaan bukan hanya terletak dalam pikiran, tetapi terkandung dalam
otot-otot dan hormon.Tindakan menggerakkan otot-otot wajah
membentuk ekspresi yang berkaitan dengan kesukacitaan dapat
menghasilkan efek positif yang berdampak pada sistem saraf. Paul
Ekman, peneliti utama dalam bidang ini, meyakini bahwa mekanika
gerakan otot-otot wajah sangat berkaitan dengan sistem saraf otonom,
yang mengatur denyut jantung, pernapasan, dan fungsi-fungsi yang tidak
bisa dikendalikan secara sadar.
Zajonc menyatakan bahwa terapi ini dapat digunakan untuk
membantu merawat pasien yang mengalami gangguan psikosomatis dan
kondisi-kondisi negatif seperti depresi dan kecemasan.Jika pasien yang
cemas dan depresi dapat diajari untuk mengendalikan otot-otot wajah
yang tepat sehingga terlihat bahagia, maka individu menyadari bahwa
perasaan individu benar-benar berubah lebih baik, tanpa harus mengubah
apapun.
Terapi tawa adalah sebuah program yang bertujuan menurunkan
tingkat stres dengan menerapkan metode Sesi Tawa dari buku terapi tawa
Laugh For No Reason oleh Dr. Mahdan Kataria yang merupakan
pendiri dari gerakan klub tawa dunia. Terapi tawa merupakan suatu terapi
yang bisa membuat hidup lebih sehat, tenang, dan nyaman, serta
menunjukkan getaran otak pada frekuensi gelombang alfa yang membuat
orang merasa rileks dan santai. Dengan tertawa akan menunjang
kesehatan karena menghambat aliran kortisol, yaitu hormon stres yang
meningkatkan tekanan darah.
Sementara itu, menurut dr. William Foy dari Universitas Stanford,
tertawa terbahak-bahak amat bermanfaat bagi orang sakit. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa tertawa terpingkal-pingkal itu akan
menggoyang-goyangkanotot perut, dada, bahu, serta pernafasan, sehingga
membuat tubuh seakan-akansedang joging di tempat, dan setelah tertawa,
tubuh akan terasa rileks, segar dan tenang (Simanungkalit Bona, Bien
Pasaribu, 2007, hal 15). Menurut Dr. Lee S. Berg, peneliti dari
Universitas Loma Linda California Amerika Serikat, mengatakan bahwa
tertawa bisa mengurangi tingkat hormon stres di dalam tubuh sekaligus
meningkatkan imunitas, sehingga kekebalan tubuh akan bertambah. Jika
kita bisa hidup dengan senyuman dan tawa, akan membuat tubuh lebih
segar serta bermanfaat dalam menekan stres yang sering kita hadapi.
Tertawa yang kelihatannya kecil dan hanya berlangsung sesaat ternyata
sangat bermanfaat dalam hidup dan bertahan cukup lama (Simanungkalit
Bona, Bien Pasaribu, 2007, hal 33).
Manipulasi dilakukan dengan memberikan terapi tawa kepada
subyek (lansia) kelompok eksperimen, dengan hal ini kita akan dapat
mengetauhi sejauh mana terapi tawa dapat menurunkan tingkat stres pada
subyek.

4. Hubungan Antar terapi tawa dengan stress pada lansia


Terapi tawa merupakan suatu kegiatan yang membuat hidup lebih sehat,
tenang, nyaman, serta menunjukkan getaran otak pada frekuensi gelombang
alfa yang membuat orang merasa rileks dan santai. Ketika seseorang
mengalami stres, akan keluar hormon adrenalin yang mempengaruhi tekanan
darah dan mengakibatkan jantung berdebar keras. Pada saat kita tertawa,
tubuh akan melepaskan hormon adrenalin dan secara otomatis tercipta efek
antiadrenalin dan menghambat kerja hormon adrenalin dalam aliran darah,
sehingga ketegangan merada dan tekanan darah menurun (Simanungkalit
Bona, Bien Pasaribu, 2007:15).
Beberapa peneliti yang melakukan studi mengenai tertawa dan
mendukung penelitian ini, diantaranya adalah menurut dr. William Foy
(dalam Simanungkalit Bona, Bien Pasaribu, 2007:15), hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa tertawa tepingkal-pingkal akan menggoyang-goyangkan
otot perut, dada, bahu, serta pernafasan, sehingga membuat tubuh seakan-
akan joging di tempat dan setelah tertawa, tubuh terasa rileks, segar, dan
tenang. Studi yang dilakukan oleh Loma Linda dari Universitas Imunologi
Obat/Kedokteran (Berk, 1989), yang menyimpulkan bahwa tertawa
menurunkan serum kortisol dan meningkatkan sel pembunuh alami seperti T
sel dengan reseptor helper/suppressor yang penting untuk menghilangkan
infeksi/peradangan (Parrish Monique M, Quinn Patricia 1999).
Waynbaum (1996) yang dikutip Wulandari (2012), menyatakan bahwa
otot-otot wajah berperan sebagai pengikat pada pembuluh darah dan
mengatur aliran darah ke otak.Aliran darah ini mempengaruhi temperatur di
otak dan perubahan temperatur di otak ini berhubungan dengan perasaan
subyektif yang dialami seseorang.
Teori Waynbaum diperkuat kembali oleh Zajonc (dalam Wulandari,
2012) yang menjelaskan lebih rinci bahwa pada saat tertawa, 15 otot muka
berkontraksi dan mendapatkan rangsangan efektif pada sebagian besar otot
mulut. Saat mulut terbuka dan tertutup, ada suatu dorongan untuk mengisap
udara yang cukup, sehingga dapat menangkap lebih banyak oksigen. Oksigen
ini dialirkan keseluruh tubuh dalam jumlah yang banyak.Jumlah oksigen yang
cukup banyak dalam sistem peredaran darah memberikan dampak pada
pengaturan temperatur diotak yaitu dapat mendinginkan otak.
Hal ini mempengaruhi pengeluaran neurotransmitter yakni hormon
serotonin, endofrin dan melatonin yang membawah keadaan emosi dan
perasaan keseluruh bagian tubuh. Serotinin menimbulkan efek vasodilatasi
pembuluh darah yang akhirnya akan menekan peredaran oksigenke seluruh
tubuh. Serotonin normalnya menimbulkan dorongan bagi sistem limbic untuk
meningkatkan perasaan seseorang terhadap rasa nyaman, menciptakanrasa
bahagia, nafsu makan yang baik, dan kesimbangan psikomotor. Penurunan
tingkat stres ini dikarenakan adanya efek dari terapitertawa.
Hal tersebut sesuai dengan teori menurut Dr. Lee Berk dalam Prasetyo
(2012), seorang imunolog dari Loma Linda University di California USA,
tertawa bisa mengurangi peredaran dua hormon dalam tubuh, yaitu efinefrin
dan kortisol (hormon yang dikeluarkan ketika stres) yang dikeluarkan oleh
hipotalamus, jika kedua hormon tersebut dikeluarkan maka bisa menghalangi
proses penyembuhan penyakit.

5. Landasan Teoritis

Menurut Lazarus (1986) stres adalah keadaan internal yang dapat


diakibatkan oleh tuntutan fisik dari tubuh atau kondisi lingkungan dan sosial
yang dinilai potensial membahayakan, tidak terkendali atau melebihi
kemampuan individu untuk mengatasinya.Stres bisa dialami oleh setiap
orang, demikian juga pada lanjut usia (lansia). Ada beberapa hal yang
menjadi penyebab orang lansia mengalami stres. Penyebab stres pada lansia
adalah ketika seseorang memasuki masa lansia, akan mengalami perubahan-
perubahan yang dalam kehidupannya.
Menurut Havighrust (dalam Hurlock, 1980: 10), lansia yang berada di
tahap perkembangan terakhir, dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan
kondisi atau keadaannya yang mengalami perubahan. Kemudian ketika lansia
tersebut berada atau tinggal di panti werdha, selain dituntut untuk
menyesuaikan atau beradaptasi dengan perubahan dalam kehidupannya, juga
dituntut untuk beradaptasi dengan lingkungan maupun dengan penghuni panti
werdha. Jika kemampuan beradaptasi mereka tidak baik, akan menyebabkan
seseorang merasa tidak nyaman dan kurangnya sosialisasi dengan penghuni
yang lain.
Apabila lansia tidak segera mampu menyesuaikan diri dengan
perubahan-perubahanyang terjadi pada dirinya dan menyesuaikan diri pada
lingkungan baru di panti werdha, akan muncul stres atau ketegangan jiwa.
Selain itu, perasaan-perasaan tersebut, seperti dibuang, terkadang kesepian
karena adanya keinginan untuk bertemu keluarganya, merasa dibuang serta
tidak dibutuhkan lagi akan menimbulkan seseorang menjadi stres. Stres yang
berkepanjangan dapat memperbesar peluang penyakit fisik dan atau mental
(Papalia&Olds dalam Soekamto, 2000:185).
Dari hasil penelitian Indriana (2010), perubahan dalam aktivitas
sehari-hari yang menjadi salah satu faktor yang dipilih sebagai penyebab stres
mereka merasakan perbedaan selama tinggal di panti dengan keadaan mereka
sebelumnya. Aktivitas mereka yang semula bekerja dan sekarang menjadi
pengangguran, terlebih ketika mereka mengalami kemunduran fisik yang
dirasakan sebagai beban, sehingga mereka menjadi stres. Keluarga menjadi
salah satu faktor yang berperan dalam menyebabkan stres bagi lansia di panti.
Para lansia juga sangat rentan terhadap gangguan stres karena secara alamiah
mereka telah mengalami penurunan kemampuan dalam mempertahankan
hidup, menyesuaikan diri dengan lingkungannya, fungsi badan, dan kejiwaan
secara alami.
Banyak faktor yang mempengaruhi keadaan stres pada lansia ini,
diantaranya: kondisi kesehatan fisik, kondisi psikologi, kondisi keluarga, dan
lingkungan (Haryadi, 2012). Hasil penelitian didukung oleh penelitian
Haryanto (2005) yang serupa tentang pengaruh terapi tertawa terhadap stres
psikososial pada usia lanjut di Karang Werda Ngudi Mukti Jawa Timur,
penelitian ini dilakukan pada 20 orang responden. Adapun hasil penelitian
menunjukkan bahwa 18 orang (90%) mengalami penurunan dan hanya 2
orang (10%) yang tidak mengalami penurunan tingkat stres.
Ketika menghadapi suatu situasi yang dapat menimbulkan stress,
faktor stress setiap individu berbeda-beda. Beberapa respon ini merupakan
faktor yang tidak disadari, sedangkan sebagian lagi disadari oleh individu
untuk segera melakukan coping. Lazarus (1984) membagi faktor-faktor ini
kedalam 4 kategori yaitu:
5. Kognitif
Faktor kognitif terhadap stress meliputi hasil proses appraisal seperti
adanya keyakinan mengenai bahaya atau ancaman yang terkandung
dalam suatu kejadian atau keyakinan mengenai penyebabnya. Respon
kognitif juga memasukkan respon stress tidak sadar seperti membuat
jarak, ketidakmampuan konsentrasi, gangguan performance dalam
pekerjaan-pekerjaan kognitif, dan pikiran-pikiran yang mengganggu,
berulang dan abnormal. Simptom stress dalam bentuk kognitif mencakup
pemikiran obsesif dan adanya ketidakmampuan untuk berkonsentrasi.
6. Fisiologis
Pada saat menghadapi stress, tubuh memobilisasi diri untuk menangani
stress tersebut. Hati mengeluarkan lebih banyak glukosa untuk melumasi
otot serta hormon-hormon dikeluarkan untuk menstimulasi perubahan
lemak dan protein menjadi gula. Metabolisme tubuh meningkat sebagai
persiapan tuntutan energi dari aktifitas fisik. Denyut jantung, tekanan
darah, dan pernafasan meningkat serta otot menjadi tegang. Pada saat
yang sama, aktifitas yang tidak dibutuhkan seperti digestif dikurangi,
saliva dan lendir akan mengering dan sebagai gantinya meningkatnya
jumlah udara yang dihirup. Respon psikologis tersebut merupakan hasil
dari bekerjanya beberapa sistem tubuh untuk menghadapi stress.
7. Emosional
Penilaian atau interpretasi kognitif terhadap lingkungan yang dikaitkan
dengan kebutuhan, tujuan, harapan, atau perhatiannya adalah hal yang
menentukan bagaimana respon emosi seseorang (Lazarus, 1982). Lazarus
& Folkman (1984) mengungkapkan bahwa dominansi emosi negatif
seperti cemas, depresi, dan marah merupakan indikasi bahwa individu
yang bersangkutan menilai situasi sebagai sesuatu yang menimbulkan
stress dan dirasakan melukai atau merugikan (harm/loss), atau
memberikan ancaman bahwa akan muncul sesuatu yang dapat melukai
atau merugikan keberadaan individu tersebut.
8. Tingkah laku
Tingkah laku berhubungan dengan memunculkannya suatu perilaku baru
sebagai upaya individu untuk mengurangi atau menghilangkan kondisi
stress yang dialaminya. Perilaku-perilaku yang muncul seperti merokok,
mengurangi atau makan berlebih, berolahraga berlebihan, mengkonsumsi
alkohol atau obat-obatan terlarang, dan sebagainya. Tingkah laku ini
muncul tergantung pada stressor yang dihadapi, perilaku melawan
stressor secara langsung (fight) dan menjauh atau menarik diri dari
ancaman (flight) merupakan dua reaksi yang paling ekstrim.
Dari faktor-faktor yang mempengaruhi stres di atas, terlihat bahwa
salah satu faktornya adalah emosional. Menurut Lazarus dan Folkman, ada 2
jenis strategi coping stres, yaitu : (1) Problem-Focused Coping, dan (2)
Emotional-Focused Coping.
Emotional-Focused Coping bertujuan untuk melakukan kontrol
terhadap respon emosional terhadap situasi penyebab stres, baik dalam
pendekatan secara behavioral maupun kognitif. Lazarus dan Folkman (1986)
mengemukakan bahwa individu cenderung menggunakan Emotional-Focused
Coping ketika individu memiliki persepsi bahwa stresor yang ada tidak dapat
diubah atau diatasi. Dengan melakukan tawa maka seseorang akan mampu
untuk mengontrol emosinya atau mengubah emosi penyebab stres.
Strategi untuk menurunkan tingkat stress dengan menerapkan terapi
tawa. Firmanto (2006), membuktikan bahwa terapi tawa efektif menurunkan
stres keja pada Pegawai Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Surabaya di Desa
Kebon Agung Kecamatan Porong.

Terapi Tawa (X) Stres pada Lansia (Y)

6. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini yaitu terapi tawa dapat menurunkan
kecederungan stres pada lansia.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Variabel dan Definisi Operasional


1. Variabel
Variabel variabel dalam penelitian ini diklasifikasikan sebagai berikut:

Variabel Independen/ bebas (X) : Terapi Tertawa

VariabelDependen/ terikat( Y) : Strespadalansia


2. Definisi Operasional
Definisi operasional merupakan makna makna spesifik dari
variabel-variabel yang ada di dalam suatu eksperimen yang mana definisi
tersebut meliputi operasional prosedur dan pengukuran yang dapat
diobservasi (Myers & Hansen, dalam Aprianti 2009). Definisi operasional
variabel dalam penelitian ini adalah:
a. Terapi tertawa
Merupakan metode terapi dengan menggunakan humor dan
tawa, yang dikombinasikan dengan yoga dan meditasi, untuk
membantu individu mengurangi gangguan fisik maupun gangguan
mental. Penggunaan tawa dalam terapi akan menghasilkan perasan
lega pada individu karena tawa secara alami menghasilkan pereda
stress dan rasa sakit,
Cara untuk memanipulasi terapi tawa yaitu dengan cara
memberikan sebuah program terapi tawa yang dilakukan dalam kurun
waktu 2 hari dengan dua sesi. Sesi persiapan dengan memperkenalkan
terapi tawa selama 15 menit, sesi kedua yaitu mencakup inti terapi dan
berbagi pengalaman. Dalam hal ini akan berlangsung selama 30-45
menit (lihat modul). Terapi tawa dalam penelitian ini disusun
berdasarkan modifikasi penelitian yang sudah di lakukan oleh
Prasetyo dan Nurtjahjanti dengan judul pengaruh penerapan terapi
tawa terhadap penurunan tingkat stress kerja pada pegawai kereta api.
Di dalam penelitian tersebut terdapat 15 langkah dalam memberikan
terapi, namun disini peneliti hanya menerapkan 10 langkah saja
mengingat subjekpeneliti ini adalah para lanjut usia yang usianya 60
tahun ke atas.
b. Stress pada lansia

Yaitu individu yang berusia 60 keatas, yang tidak segera


mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi
pada dirinya dan tidak mampu untuk menyesuaikan diri pada
lingkungan baru.

Untuk mengukurnya peneliti menggunakan skala DASS 42


(Depression Anxiety Stress Scale 42) dari Lavibond and Lavibond
yang telah di modifikasi dan diterjemahkan kedalam bahasa
Indonesia. Skala ini berisikan 42 item pernyataan yang terdiri dari 14
item pernyataan untuk depresi, 14 item pernyataan untuk anxiety dan
14 item pernyataan untuk stress. Peneliti mengambil 14 item
pernyataan untuk mengungkap stres.

B. SubjekPenelitian
Kriteria sampel yang digunakan yakni:
a. Lansia yang tinggal di Panti Wredha

bahwabanyak Lansia yang tinggal di panti werdha merasa


kesepian dan tertekan, meskipun mereka hidup bersama denganorang tua
lain dan ada rasa kebersamaan (Kataria Madan, 2004, hal: 247). Kesepian
dan tertekan inilah yang menyebabkan lansia mengalami stress.
b. Minimal berusia 60 tahun

Menurut WHO dan Undang-Undang No 13 tahun 1998


mneyebutkan bahwa lanjut usia (elderly) ialah kelompok usia 60 ke
atas.Dan lansia yang tinggal dipanti Wreda Hargo Dedali minimal
berusia 60 tahun.

c. Cenderung mengalami stress

Sebelum menjadikan lansia sebagai subjek penelitian, para lansia


diberikan kuisioner berupa skala pengukuran stress untuk mengetahui
tingkat stres yang dialami oleh lansia. Skala yang di gunakan yaitu
Depresion Anxiety Stress Scale 42 (DASS 42) dari Lovibond dan
Lovibond (1995). Didalam skala ini terdapat 42 item pernyataan dengan
mengungkap tiga gangguan psikologis, yaitu depresi, anxiety, dan stres.
Masing masing terdapat 14 item pernyataan. DASS 42 ini diberikan
kepada lansia untuk memastikan apakah lansia cenderung mengalami
sress apa tidak.

Setelah dilakukan pengukuran didapatkan 16 orang lansia yang


masih bisa mengikuti penelitian, sedangkan lansia yang lainnya tidak
mampu karena hanya bisa tidur di atas tempat tidur atau fisiknya sudah
tidak mendukung. 16 lansia ini mengalami kecenderungan stres, dengan
rincian 7 orang lansia cenderung stres ringan dan 9 orang lansia
cenderung stress sedang.

C. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian ekperimen dengan type pre-


experimental. Desain penelitian pre-experimental ini menggunakan rancangan
one-group pre-test post-test design, yaitu rancangan yang menyangkut satu
kelompok yang di observasi pada tahap pre-test yang kemudian di lanjutkan
memberikan treatmen dan post-test. (Cresswell, 2014:242). Desain penelitian
ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Kelompok A O1 X O2

Keterangan:

Kelompok A : Kelompok Eksperimen

O1 : Pengukuran pre-test

O2 :Pengukuran post-test

X : Treatment

D. Prosedur Eksperimen

Prosedur eksperimen merupakan tahapan atau cara peneliti dalam


melakukan penelitian. Dalam hal ini peneliti ada dua tahap dalam melakukan
penelitian, yaitu

1. Pra-ekspermen
a. Menjelaskan maksud dan tujuan penelian
b. Memberikan informed consent
c. Menata tempat di aula panti
d. Menyiapkan speaker (pengeras suara)
e. Menyiapkan layar proyektor
f. Menyusun kursi menbentuk huruf U dengan menhadap ke layar
proyektor
2. Eksperimen
a. Lansia memasuki ruangan yaitu di aula panti dan duduk di kursi
yang sudah di sediakan
b. Membagikan skala stres kepada lansia untuk pretest hal ini
dilakukan agar peneliti mengetahui keadaan awal dari subjek
penelitian
c. Membantu dan membimbing lansia mengisi skala, seperti
membacakan atau menuliskan jawaban yang diinginkan oleh para
lansia.
d. Sebelum kuisioner dikumpulkan, peneliti akan mengechek terlebih
dahulu agar tidak ada yang terlewati
e. Eksperimenter menjelaskan tentang terapi tawa seperti manfaatnya
f. Eksperimentermelakukan sesi pertama penerapan terapi yaitu
dengan cara membuka sesi perkenalan antar lansia
g. Lansia diminta untuk berdiri, dimana lansia diminta untuk secara
bergantian bersalaman dan memperkenalkan diri.
h. Lansia diminta untuk duduk kembali
i. Eksperimenterakan melakukakan serangkaian terapi tawa yang
tertulis dalam modul dengan cara menjadi model dan para lansia
diminta untuk mengikuti setiap langkah yang di berikan oleh
trainer. Langkah penerapan terapi tawa terdapat sepuluh langkah
(lihat di modul)
j. Eksperimenter membagikan kuisioner skala stress, sebagai post-
test (seperti pada pretest Eksperimenter membantu lansia untuk
mengisi kuisioner)
3. Pasca-eksperimen
a. Eksperimenter meminta perwakilan lansia untuk menceritakan
pengalaman selama mengikuti terapi tawa dan apa saja yang
dirasakan
b. Eksperimenter menanyakan kepada lansia bagaimana kesan setelah
melakukan terapi tawa dan apa perubahan yang dirasakan.
E. Validitas Eksperimen

Dalam penelitian eksperimen akan dilakukan manipulasi pada variabel


bebas, yaitu terapi tawa. Maka peneliti harus melakukan validitas
eksperimen untuk mengontrol agar tidak ada faktor lain yang
mempengaruhi variabel terikat yaitu stress pada lansia. Karena desain
dalam penelitian ini tidak terdapat kelompok kontrol (tidak ada kelompok
yang dibandingkan) maka peneliti akan mengontol agar tidak ada faktor
luar yang mempengaruhi penurunan stres pada lansia. Hal ini akan
mengancam validitas internal,

1. Validitas internal
Validitas internal menunjukkan sejauh mana hubungan sebab
akibat antara variabel bebas dan variabel terikat, Adapun jenis
ancaman ancaman terhadap validitas internal, yaitu:
a. Historis
Karena tidak ada kelompok kontrol, tidak ada kelompok yang di
buat perbandingan hasil sejauhmana terapi tawa dapat
menurunkan kecenderungan stress maka peneliti meminta agar
kelompok eksperimen benar-benar merasakan treatmen yang di
berikan yaitu terapi tawa.
b. Maturbasi
Karena subjek penielitian ini adalah lanjut usia, maka peneliti
menetapkan individu yang berusia minimal 60 tahun, alat
pendengaran dan penglihatan masih baik walapun mengalami
penurunan
c. Mortalitas
Karena peneliti tidak bisa mendapatkan subjek dengan banyak
hanya 16 partisipan, maka peneliti akan menjalin rapo yang kuat
agar tidak mengundurkan diri, dan selain itu peneliti hanya
menggunakan satu kelompok saja, yaitu kelompok eksperimen.
d. Instrumen
Peneliti menggunakan instrumen yang sama pada pretest dan
postest.
2. Validitas eksternal
Validitas eksternal adalah untuk melihat sejauh mana hasil
penelitian dapat di generalisasikan pada subjek, situasi, dan waktu
yang berbeda Secara validitas ekstrenal peneliti hanya mengontrol
pada pemilihan dan treatmen. Karena terapi tawa tidak memerlukan
gerakan yang banyak dan tidak menggangu kesehatan maka terapi ini
efektif dilakukan untuk lansia. Adapun ancaman-ancaman terhadap
validitas eksternal, antara lain:
a. Antara pemilihan dan treatmen
Karena dalam penelitian ini peneliti mengambil subjek di
panti wreda hargo dadali yang memiliki kecenderungan stress
maka peneliti tidak mampu melakukan randomisasi. Hingga
akhirnya penelitian ini tidak bisa digeneralisasikan kepada semua
lansia. Karena ada karakteristis-karateristik tertentu juga. namun,
peneliti menggeneralisasikan kriteria subjek penelitian yaitu
lansia yang tinggal di panti wredha dengan cenderungf
mengalami stress.
b. Antara setting dan treatment

Karena ditetapkan karakteristik-karakteristik khusus


dalam memilih setting, peneliti seringkali tak mampu
menggeneralisasi individu-individu pada setting-setting yang
berbeda.

Tindakan responsif yang dilakukan peneliti adalah dengan


memberikan fasilitas bentuk ruang aula yang sama, usia yang
sama, dan ada di panti wredha. Selain itu, peneliti juga membuat
materi yang sama dengan penerapan terapi tawa.

c. Antara sejarah dan treatment


Karena hasil eksperiment terikat waktu, peneliti sering kali
tidak mampu menggeneralisasikan hasil penelitian untuk situasi
masalalu dan masa depan. Tindakan responsif yang dilakukan
peneliti adalah dengan mengacu pada penelitian penelitian
sebelumnya. Untuk masa depan peneliti harus melakukan
penelitian lagi.
F. InstrumenPenelitian
1. Alat Ukur/Instrumen Yang Digunakan

Adapun alat ukur dan instrumen yang akan di gunakan pada


penelitian ini, adalah

a. Kuisioner (skala stress pada lansia)

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan Depresion Anxiety


Stress Scale 42 (DASS 42) dari Lovibond dan Lovibond (1995). DASS
42 ini telah dimodifikasi dan diterjemahkan kedalam bahasa indonesia.
Dalam skala DASS 42 ini terdiri dari 42 item pernyataan (lihat lampiran),
dengan rincian depresi sebanyak 14 item, anxiety sebanyak 14 item, dan
sebanyak 14 item untuk mengukur stress. Nomor item pembagian skala
DASS 42 dijelaskan pada tabel 1.

Tabel 1

Item skala DASS

No Gangguan Psikologis Nomor Item Jumlah


1 Depresi 3, 5, 10, 13, 16, 17, 21, 24, 14
26, 31,34, 37, 38, 42
2 Anxiety 2, 4, 7, 9, 15, 19, 20, 23, 25, 14
28, 30,36, 40, 41
3 Stress 1, 6, 8, 11, 12, 14, 18, 22, 14
27, 29, 32, 33, 35, 39
Jumlah Item 42
Namun, dalam hal ini peneliti hanya menggunakan 14 item
pernyataan untuk mengukur stress. Skala stres ini terdiri dari 14 item
pernyataan, yang terdapat 3 indikator dari stress, yaitu gejala fisik, gejala
psikologis dan gejala perilaku. Skalaini digunakan sebagai kuisioner pre-
test dan post-test
Subjek diminta untuk menjawab dengan membeikan tanda silang
(X) pada kolom yang sesuai. Skala stress inimemberikan empat kategori
jawaban, yaitu Sering Sekali, Lumayan Sering, Kadang-kadang,
dan Tidak Pernah. Selanjutnya, subjek diminta untuk memilih salah
satu dari pilihan jawaban yang masing-masing jawaban menunjukan
kesesuaian pernyataan yang diberikan dengan keadaan yang dirasakan
oleh subjek.

Tabel 2

Skor alternatif jawaban

Alternatif Jawaban Skor


Sering Sekali 3
Lumayan Sering 2
Kadang-kadang 1
Tidak Pernah 0
Tabel 2 menjelaskan bahwa pilihan jawaban tersebut dalam model
skala likert dibagi dengan rentang skala empat poin, yaitu dari 3
(Sering Sekali), 2 (Lumayan Sering), 1 (Kadang-kadang), 0 (Tidak
Pernah), dengan tujuan untuk memudahkan responden dalam menjawab.
Adapun pembagian item-item tiap dimensi dapat dilihat pada table 3.

Tabel 3

Blue Print Skala Stres

No Dimensi Indikator Nomor Item Jumlah


1 Fisik tegang 12 1

2 Psikologis stres yang melibatkan 1, 6, 11, 18, 9


mental, sulit untuk rileks 27, 29, 32,
seperti gelisah, khawatir, 33, 39
rasa bersalah, dll
3 Perilaku berhubungan dengan 8, 14, 22, 35 4
perilaku seperti tidak
sabaran dan tidak mentolelir
gangguan
Jumlah Item 14

2. Validitas Dan Reliabilitas Alat Ukur


a. Validitas Alat Ukur

Validitas diartikan sebagai ketetapan dan kecermatan alat


ukur dalam menjalankan fungsi ukur. Alat ukur dikatakan valid
apabila alat tersebut memberikan hasil pengukuran yang sesuai
dengan maksud dan tujuan dari pengukuran tersebut (Azwar,1992:
16).

Validitas isi kuesioner tingkat stres pada lansia menggunakan


Depresion Anxiety Stress Scale 42 (DASS 42) dari Lovibond dan
Lovibond (1995). yang sudah teruji validitas secara internasional.
Psychometric Properties of the Depression Anxiety Stress Scale 42
(DASS 42) terdiri dari 42 pertanyaan. Menurut Lovibond &
Lovibond (1995) yang dikutip oleh Crawford dan Henry (2003)
dalam jurnalnya yang berjudul DASS: Normative data &latent
structure in large non clinical sample. DASS mempunyai tingkatan
discrcrimant validity.

Berdasarkan uji validitas yang dilakukan oleh Bektiningtyas


(2015), diperoleh hasil bahwa skala tingkat stres yang terdiri dari 14
aitem dinyatakan valid semua. Aitem yang valid pada skala tingkat
stres mempunyai koefisien validitas berkisar antara 0,390 sampai
dengan 0,679 dengan taraf signifikansi 1%.
b. Reliabilitas Alat Ukur

Reliabilitas adalah sejauhmana hasil suatu pengukuran


terhadap suatu kelompok yang sama diperoleh hasil yang relatif
sama. Selama aspek dalam diri subjek yang diukur memang belum
berubah. Pengukuran yang memiliki reliabilitas yang tinggi
merupakan pengukuran yang reliabel (Azwar, 1992: 20).

Kuesioner stres (DASS 42) tidak dilakukan uji reliabilitas


karena kuesioner sudah berlaku secara internasional. Kuesioner ini
diukur dengan menggunakan Depresion Anxiety Stress Scale 42
(DASS 42) dari Lovibond dan Lovibond (1995) dan mempunyai nilai
reliabelitas sebesar 0,91 yang diolah berdasarkan penilaian
Cronbacs alpha. Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan
Bektiningtyas (2015) menunjukkan bahwa hasil uji reliabilitas dari
skala tingkat stres diperoleh koefisien sebesar 0,797. Skala tingkat
stres dinyatakan reliabel dalam kategori cukup.

G. Analisis Data

Untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini peneliti menggunakan


uji statistic yaitu One-Samples T-test. Analisis ini untuk mengetahui
perbedaan skor pretest-posttest pada kelompok eksperiment. Dengan
mengetahui skor antara pre-test dan posttest kelompok eksperimen maka
akan diketahui hasil dari eksperimen yang telah dilakukan. Dan selanjutnya
untuk semua hasil perhitungan akan diolah oleh aplikasi SPSS (aplikasi
perhitugan statistik).
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian
Deskripsi Subyek
Subyek penelitian ini adalah lansia yang bertempat tinggal di Panti
Wredha Hargo Dedali. Subyek yang dapat berpartisipasi dalam peneltian
ini adalah lansia yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 16 orang,
denan rincian 7 orang cenderung mengalami stres ringan, dan 9 orang
cenderung mengalami stress sedang.

Tabel 4.

Usia Subyek

No. Jenis Kelamin Usia Jumlah

1. Perempuan <60 1

<70 3

<80 7

<90 5

2. Laki-laki - -
Total 16

Dari tabel 4 di atas ditunjukan bahwa mayoritas umur lansia adalah


70 ke-atas. Dalam penelitian ini kami tidak membagi subyek ke dalam
dua kelompok, yaitu kelompok kontrol dan kelompok eksperimen karena
jumlah subyek lansia yang mampu mengikuti prosedur penelitian
eksperimen ini tidak banyak yaitu hanya 16 orang. Semua subyek lansia
berjenis kelamin perempuan karena di panti werdha yang kami teliti
khusus menerima lansia yang berjenis kelamin perempuan.

Tabel 5.

Lama Tinggal Subyek

No. Jenis Kelamin Lama Tinggal Jumlah

1. Perempuan < 5 bulan 5

< 10 bulan 6

< 2 tahun 4
6tahun 1

2. Laki-laki - -

Total 16

Dari tabel 5 di atas diketahui bahwa lama tinggal lansia di panti


werdha adalah rata-rata 5-10 bulan, yang mana mayoritas dari lansia
yang tinggal selama itu mengalami stress tingkat sedang. Sedangkan
sisanya mengalami stress tingkat rendah yaitu dengan lama tinggal < 2
tahun.

Reliabilitas Data

Hasil uji reliabilitas menggunakan rumus alpha conbrachs dengan


menggunakan bantuan SPSS.

Tabel 6.
Reliabilitas Data

Statistik Reliabilitas

Cronbach's Jumlah nomer


Alpha Items

.610 14

Dari tabel 6 di atas diketahui bahwa hasil yang diperoleh untuk


skala stress pada lansia yang tinggal di panti werdha sebanyak 14 item
dengan koefisien reliabilitas yang diukur oleh peneliti adalah 0,61 ( pada
tabel reliability). Sedangkan koefisien reliabilitas data yang konsisten dari
penelitian sebelumnya adalah 0,91. Artinya terdapat koefisisen reliabilitas
data yang tidak konsisten dengan penelitian sebelumnya. Menurut
Suryabrata (2002) alat ukur dinyatakan baik apabila nilanya >0,7.
Berdasarkan data tersebut berarti dapat dikatakan bahwa skala stress pada
lansia yang tinggal di panti werdha yang digunakan sebagai alat ukur
dalam penelitian ini memiliki keandalan reliabilitas yang kurang baik.
Artinya alat ukur yang digunakan untuk penelitian ini kurang reliabel.
Untuk peneliti selanjutnya sebaiknya agar mempertimbangkan
menggunakan alat ukur tersebut.

Uji Hipotesis

Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan uji t satu sampel


(One-Sample T-test). Menurut Muhid (2012), uji-t satu sampel yaitu
merupakan prosedur uji-t untuk sampel tunggal jika rata-rata suatu
variabel tunggal dibandingkan dengan suatu nilai konstanta tertentu.
Untuk setiap variabel yang akan diuji ditampilkan rata-rata, standar
diviasi, standar error rata-rata, selisih rata-rata antara tiap nilai data
dengan nilai uji hipotesis, dan taraf kepercayaan/signifikan untuk selisih
rata-rata. Adapun menurut Abdul Muhid (2012), landasan penerimaan
hipotesis, yaitu dengan membandingkan taraf signifikasi. Dengan
ketentuan yaitu:

Jika signifikasi > 0,05 maka Ho diterima

Jika signifikasi < 0,05 maka Ho ditolak

Tabel 7.

Uji Hipotesis

Statistik Satu Sampel

N Sig

SEBELUM DIBERIKAN
16
TERAPI TAWA
0.000
SESUDAH DIBERIKAN
16
TERAPI TAWA

Dari tabel 7 di atas menunjukan hasil analisis uji One-Sample T-test


(pre-test dan post-test), skor pada kelompok eksperimen menunjukan
bahwa terdapat taraf signifikasi 0,000 (p>0,05). Hal ini menunjukan
bahwa taraf signifikasi lebih kecil daripada = 0,05 sehingga Ho ditolak
dan Ha diterima. Artinya hipotesis bahwa terapi tawa dapat menurunkan
stress pada lansia yang tinggal di panti werdha diterima.

Tabel 8.
Hasil Rata-rata Uji Satu Sampel

Statistik Satu Sampel

N Mean

SEBELUM DIBERIKAN
16 25.81
TERAPI TAWA

SESUDAH DIBERIKAN
16 21.44
TERAPI TAWA

Dari tabel 8 di atas menunjukan bahwa perbandingan rata-rata (mean)


tingkat stress lansia yang tinggal di panti werdha antara sebelum dan
sesudah diberikan terapi tawa lebih rendah daripada sebelum diberikan
terapi tawa, yaitu dengan skor rata-rata pre-test 25.81 dan skor rata-rata
post-test 21.44. Hal ini berarti terdapat perbedaan yang signifikan stress
lansia yang tinggal di panti werdha.

PEMBAHASAN

Penelitian terapi dilakukan untuk menurunkan stres lansia yang berada


dipanti wreda hargo dedali. Lazarus dan Folkman (dalam Evanjeli, 2012)
menjelaskan stres sebagai kondisi individu yang dipengaruhi oleh
lingkungan. Kondisi stres terjadi karena ketidakseimbangan antara tekanan
yang dihadapi individu dan kemampuan untuk menghadapi tekanan tersebut.
Individu membutuhkan energi yang cukup untuk menghadapi situasi stres
agar tidak mengganggu kesejahteraan mereka.

Beberapa hal yang menyebabkan lansia mengalami stres adalah


ketidakmampuan beradaptasi pada lingkungan baru, seperti lingkungan di
panti werdha, serta beradaptasi pada perubahanperubahan yang terjadi ketika
memasuki usia lanjut. Permasalahan lain adalah lansia yang tinggal di panti
werdha merasa kesepian dan teretekan (Kataria Madan, 2004: 247), serta
lansia tersebut merasa terbuang, terisolasi, dan tidak dibutuhkan lagi.

Stress yang dicoping secara negatif hanya akan menyebabkan


penyakit bagi lansia. Terkait dengan adanya stres, diperlukan suatu coping
stres, yaitu suatu strategi atau cara untuk merespon pikiran dan perilaku yang
digunakan dalam memecahkan permasalahan agar dapat beradaptasi dalam
permasalahan mereka. Terkait dengan adanya stres, diperlukan suatu coping
stres, yaitu suatu strategi atau cara untuk merespon pikiran dan perilaku yang
digunakan dalam memecahkan permasalahan agar dapat beradaptasi dalam
permasalahan mereka. Menurut Lazarus dan Folkman (1984, dalam Mutadin,
2002) mengklasifikasikan 2 strategi coping,yaitu problem focused coping dan
emotional focused coping.

Terapi tawa merupakan salah satu cara penurunan stres dengan


emotional focused coping. Terapi tawa adalah suatu kegiatan yang membuat
hidup lebih sehat, tenang, nyaman, serta menunjukkan getaran otak pada
frekuensi gelombang alfa yang membuat orang merasa rileks dan santai.
Ketika seseorang mengalami stres, akan keluar hormon adrenalin yang
mempengaruhi tekanan darah dan mengakibatkan jantung berdebar keras.
Pada saat kita tertawa, tubuh akan melepaskan hormon adrenalin dan secara
otomatis tercipta efek antiadrenalin dan menghambat kerja hormon adrenalin
dalam aliran darah, sehingga ketegangan merada dan tekanan darah menurun
(Simanungkalit Bona, Bien Pasaribu, 2007:15).

Penurunan tingkat stres ini dikarenakan adanya efek dari terapi


tertawa. Hal tersebut sesuai dengan teori menurut Dr. Lee Berk dalam
Prasetyo (2012), seorang imunolog dari Loma Linda University di California
USA, tertawa bisa mengurangi peredaran dua hormon dalam tubuh, yaitu
efinefrin dan kortisol (hormon yang dikeluarkan ketika stres) yang
dikeluarkan oleh hipotalamus, jika kedua hormon tersebut dikeluarkan maka
bisa menghalangi proses penyembuhan penyakit.

Waynbaum (1996) yang dikutip Wulandari (2012), menyatakan


bahwa otot-otot wajah berperan sebagai pengikat pada pembuluh darah dan
mengatur aliran darah ke otak. Aliran darah ini mempengaruhi temperatur di
otak dan perubahan temperatur di otak ini berhubungan dengan perasaan
subyektif yang dialami seseorang. Teori Waynbaum diperkuat kembali oleh
Zajonc (1989) dalam Wulandari (2012) yang menjelaskan lebih rinci bahwa
pada saat tertawa, 15 otot muka berkontraksi dan mendapatkan rangsangan
efektif pada sebagian besar otot mulut. Saat mulut terbuka dan tertutup, ada
suatu dorongan untuk mengisap udara yang cukup, sehingga dapat
menangkap lebih banyak oksigen. Oksigen ini dialirkan keseluruh tubuh
dalam jumlah yang banyak. Jumlah oksigen yang cukup banyak dalam sistem
peredaran darah memberikan dampak pada pengaturan temperatur diotak
yaitu dapat mendinginkan otak.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti dengan


menggunakan alat ukur skala tingkat stres pada lansia, didapatkan hasil
perhitungan spss dengan signifikansi sebesar 0,00 lebih kecil dari 0.05 yang
artinya ada pengaruh pemberian terapi tawa terhadap penurunan stress pada
lansia yang tinggal di panti hargo dedali. Dari hasil penelitian juga didapatkan
hasil bahwa, ada perbedaan rata-rata antara pre-test dan pos-test. Dimana
pada waktu pretest subjek belum diberikan terapi tawa sedangkan post-test,
subjek diberikan terapi tawa.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, terapi tawa telah terbukti
mempunyai pengaruh terhadap penurunan tingkat stres pada lansia. Hal
tersebut dapat dijelaskan bahwa ketika kita dapat tertawa secara alami, dapat
merangsang pengeluaran zat-zat yang baik bagi otak, yaitu endorphine,
serotonin, dan metanonin, dan tertawa secara alami dapat dilatih dengan
melakukan terapi tawa.
Beberapa peneliti yang melakukan studi mengenai tertawa dan
mendukung penelitian ini, diantaranya adalah menurut dr. William Foy
(dalam Simanungkalit Bona, Bien Pasaribu, 2007:15), hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa tertawa tepingkal-pingkal akan menggoyang-goyangkan
otot perut, dada, bahu, serta pernafasan, sehingga membuat tubuh seakan-
akan joging di tempat dan setelah tertawa, tubuh terasa rileks, segar, dan
tenang.

Studi yang dilakukan oleh Loma Linda dari Universitas Imunologi


Obat/Kedokteran (Berk, 1989), yang menyimpulkan bahwa tertawa
menurunkan serum kortisol dan meningkatkan sel pembunuh alami seperti T
sel dengan reseptor helper/suppressor yang penting untuk menghilangkan
infeksi/peradangan (Parrish Monique M, Quinn Patricia 1999). Penelitian
yang dilakukan oleh Prasetyo & Nurtjahjanti (2011) pada pegawai PT. KAI
menunjukkan bahwa terapi tawa dapat diberikan untuk menurunkan stres
kerja yang dialami oleh pegawai PT. KAI.

Penurunan stres kerja tersebut dipengaruhi oleh komitmen dan


kesediaan subyek penelitian dalam menerapkan terapi tawa. Penelitian lain
pada penderita hipertensi yang telah dilakukan oleh Deshinta & Ramadhani
(2013) menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan pada tekanan darah
sistolik antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol setelah
mengikuti terapi tawa. Sebaliknya, uji yang sama terhadap selisih tekanan
darah diastolik menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara
kedua kelompok. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa terapi
tawa dapat menurunkan tingkat stres dan tekanan darah sistolik pada
penderita hipertensi.

Terapi tawa ini, selain bermanfaat untuk menurunkan tingkat stres,


yaitu subyek yang memiliki tingkat stres sedang setelah diberikan terapi tawa
menjadi stres rendah, dan subyek yang stres sedang menjadi stres rendah atau
stres sangat rendah, juga bermanfaat untuk menjauhkan stres dari orang yang
belum atau tidak mengalami stres. Hal ini terlihat dari hasil penelitian bahwa
subyek yang memiliki stres rendah tetap memiliki stres rendah atau bisa
dikatakan tidak mengalami peningkatan stres setelah melakukan terapi tawa.
Sehingga dengan melakukan terapi tawa, dapat mengurangi stres bagi yang
telah menderita stres dan menjauhkan stres bagi yang belum stres.

BAB V

PENUTUP

SIMPULAN

Berdasarka uji t satu sampel dapat disimpulkan bahwa terdapat


perbedaan tingkat stress pada lanjut usia antara sebelum dan sesudah
diberikan metode terapi tawa. Berdasarkan perbandingan rata-rata (mean)
tingkat stress pada lanjut usia di panti wredha antara sebelum diberikan
metode terapi tawa ternyata lebih tinggi daripada sesudah diberikan metode
terapi tawa, hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat penurunan yang
signifikan kecenderungan stress pada lanjut usia yang tinggal di panti wredha.
Hal ini berarti hipotesis diterima bahwa terapi tawa dapat menurunkan
kecenderungan tingkat stress pada lanjut usia yang tinggal dipanti wredha.

SARAN

Berdasarkan hasil penelitian, beberapa saran yang dapat diberikan oleh


peneliti adalah:

Lansia
Terapi tawa sebaiknya digunakan sebagai kegiatan dalam panti
wredha dan sebagai penunjang tujuan didirikannya panti werdha yaitu
sebagai upaya yang terencana dan berkesinambungan dalam memberikan
pelayanan kepada lanjut usia sehingga mereka dapat menikmati sisa
hidupnya dengan diliputi ketentraman lahir dan batin, karena dengan terapi
tawa memberikan pengaruh terhadap penurunan tingkat stres.

Peneliti selanjutnya

Adanya penelitian ini akan menambah wacana baru bahwa terapi


tawa dapat berpengaruh dalam penurunan tingkat stres sehingga terapi
tawa ini bisa digunakan sebagai salah satu teknik coping stress khususnya
untuk lanjut usia (lansia).

Dalam pelaksanaan, sebaiknya dilakukan dalam waktu rutin,


misalnya 2 minggu sekali atau 1 bulan sekali. Terapi tawa sebaiknya
diberikan di pagi hari, karena apabila diberikan diwaktu siang lansia
merasa lelah karena waktunya istirahat. Perlu diadakan sosialisasi
pelatihan tawa sebagai terapi kesenangan/rekreasi untuk mengurangi stres.
Bagi peneliti selanjutnya, agar mempertimbangkan menggunakan alat ukur
dalam penelitian ini, karena dalam penelitian ini alat ukur memiliki skor
reliabilitas sebesar 0,610 yang artinya kurang reliabel.
DAFTAR PUSTAKA

Anggarasari, Nandhini H.dkk, (2014).Terapi Tawa Untuk Mengurangi Emosi


Marah Pada Caregiver Lansia. Jurnal Intervensi Psikologi, 6 (1).
Yogyakarta: Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas
Islam Indonesia.

Azwar, S. (1992). Reliabilitas dan Validitas Edisi Keenam. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.

Astuti, Niken. (2011) .Terapi Sehat dengan Tertawa.Jakarta Selatan: Tugu


Publisher

Chaplin, J.P. 2006. Kamus Lengkap Psikologi. (Penerj. Kartini Kartono).


Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Cresswell, John W., (2013). Research Design: Pendekatan Kualitatif,


Kuantitatif, dan Mixed edisi ketiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dahlan, Wilman. 2006. Bahan Kuliah Stress dan Strategi Coping, Program
Pascasarjana Fakultas Psikologi UI Kekhususan PIO-NR.

Davison, Gerald C. dkk, (2010).Psikologi Abnormal. Rajawali Press: PT. Raja


Grafindo Persada
Desinta, Sheni dan Ramahani, Neila. (2013). Terapi Tawa untuk Menurunkan
Stres pada Penderita Hipertensi. Jurnal Paikologi, 40 (1). Program Studi
Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya dan Fakultas
Psikologi Universitas Gadjah Mada

Demir, Melike. (2015). Effects of Laughter Therapy on Anxiety, Stress,


Depression and Quality of Life in Cancer Patients. J Cancer Sci, 7 (9).
Gmhane University, School of Health, Gmhane, Turkey.

Evans-Martin, F. Fay. 2007. Emotion and Stress. USA : Gray Matter.

Gulo, W. 2005. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Grasindo.

Hastjarjo, T. Dicky. (2011). Validitas Eksperimen. Buletin Psikologi, 19 (2).


Jogjakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.

Hawari, D. (2008). Manajemen Stres Cemas dan Depresi (Edisi II Cetakan


2).Jakarta : FKUI.

Hurlock, E.B., (2000). In: Sijibat, R.M., ed. Psikologi Perkembangan Suatu
Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Indriana, Yeniar, dkk. (2010). Tingkat Stres Lansia Di Panti Wredha Pucang
Gading Semarang. Jurnal Psikologi Undip, 8 (2). Fakultas Psikologi
Universitas Diponegoro.

Kataria, M. (1999). Laugh for no reason (terapi tawa). India: Madhuri Inter-
national.

Kaur, Lakhwinder and Walia, Indarjit. (2008). Effect of laughter therapy on


level of stress: A study among nursing students. Nursing and Midwifery
Research Journal, 4 (1). Lecturer, Guru Nanak Mission College of
Nursing, Dhahan Kaleran

Kaplan, N.M. 2006. Kaplans clinical hypertension. Philadelphia : Lipincott


William s & Wilkins.

Latipun. (2015). Psikologi Eksperimen. Malang: UMM Press

Lavibond, S.H. dan Lavibond, P.F. (1995). Manual for the Depression Anxiety
Stress Scales (2nd. Ed). Sydney: Psychology Foundation.
Lazarus, Richard S; Folkman, Susan. 1984. Stress Appraisal And Coping. New
York Springer Publishing Company

Lestari, Esterina Fithri. (2011). Pengaruh Pelatihan Tawa Terhadap Penurunan


Tingkat Stres Pada Lanjut Usia (Lansia) Yang Tinggal Di Panti Werdha
Hargo Dedali. Jurnal Psikologi, 6 (1). Surabaya : Fakultas Psikologi
Universitas Airlangga Surabaya

Muhid, Abdul. (2012). Analistik Statistik. Taman Sidoarjo: Zitama Publishing.

Prasetyo, Anggun Resdasari dan Nurtjahjanti, Herlina. (2011) Pengaruh


Penerapan Terapi Tawa Terhadap Penurunan Tingkat Stres Kerja Pada
Pegawai Kereta Api. Jurnal Psikologi Undip, 10 (2). Semarang: Fakultas
Psikologi Universitas Diponegoro Jl. Prof Sudharto. SH, Kampus
Tembalang,

Prayascita, Putri. (2010). Hubungan Antara Coping Stress Dan Dukungan


Sosial dengan motivasi belajar remaja yang orangtuanya bercerai.
Skripsi. Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sebelas Maret Surakarta.

Pinel, (2009). Stres dan Kesehatan. Dalam: Biopsikologi Edisi ke-7.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 557-565. Edition.

Rasmun, 2004. Stres, Koping dan Adaptasi. Jakarta: Sagung Seto

Santrock, John W, (2002). Perkembangan Masa Hidup edisi


ketigabelas.Erlangga: PT.Gelora Aksara Pratama.

Santrock, J.W. 2007. Psikologi Pendidikan (edisi kedua). (Penerj. Tri Wibowo
B.S). Jakarta: Kencana.

Shadish, W.R., Cook, T.D., and Campbell, D.T. (2002) Experimental and
Quasi Experimental designs for Generalized causal ainference. Boston:
Houghton Mifflin Co:
L
A
M
P
I
R
A
N
TRANSKIP WAWANCARA

Hari/Tanggal : Senin, 14 November 2016 Informan :


Pegawai Panti Wredha Hargo Dedali
Pukul : 10.50-11.00 WIB Lokasi :
Ruang Pegawai Panti Wredha Hargo Dedali
No Deskripsi Kode Refleksi
1. Ririn: assalamalaikum wr. wb.
Pegawai : waalaikumsalam wr. wb
2 Ririn: Boleh mengganggu sebentar
mbak?
Pegawai : iya silahkan
3 Ririn: saya ririn mbak, dari fakultas
psikologi dan kesehatan uin sunan ampel
surabaya
Pegawai :ya...
4 Ririn: saya ingin melakukan wawancara
dengan mbak, dan bolehkan saya
merekamnya juga mbak
Pegawai :ohh.. iya boleh, silahkan
5 Ririn: mbak bekerja disini sudah berapa
lama?
Pegawai : dua setengah tahun,
hhehehe.....
6 Ririn: mbak, disini itu..lansia nya ada L.01.06 jumlah lansia
berapa jumlahnya mbak? yang tinggal
Pegawai : 50 orang lansia sebanyak 50
orang
7 Ririn: ohh 50 lansia itu.. perempuan J.K.L.01.07 semua lansia
semua? berjenis kelamin
Pegawai : iyah, perempuan semua perempuan
8 Ririn: ohh..perempuan semua. E.. itu U.L.01.08 usia lansia dari 61
disini itu usia nya berapa saja mbak? tahun sampai 115
Pegawai :dari 61 taun sampek 115 taun tahun
9 Ririn: mmm 115 tahun, untuk itu apa A.L.01.09 lansia tinggal di
latarbelakang dari mereka tinggal disini panti dengan
itu karena apa mbak? alasan
Pegawai : iya..karena anak-anak oma keluarganya tidak
tidak ada waktu untuk bisa merawatnya, bisa mengurus
terus karena antara oma dan keluarganya dan tidak cocok
kurang cocok, dengan orang
tuanya
10 Ririn: e.. kegiatan lansia disini ngapaen K.L.01.10 Kegiatan lansia
aja mbak? selain di isi
Pegawai : e.. ya biasanya itu ada mahasiswa yang
mahasiswa yang mengisi disini klo ada melakukan
klo nggak ada ya dari sini ada kegiatan penelitian, di
tersendiri jadi kayak pengajian setiap panti setiap hari
hari, selasa, rabu, kamis, jumat, sabtu itu selasa sampai
ada pengajian. Terus juga dipanti nanti sabtu terdapat
ada mewarnai, senam. Senamnya setiap pengajian, dan
pagi hari senin. Terus juga ada kerajinan setiap hari senin
ya seperti itu... pagi ada senam.
Ada juga kegiatan
menggambar dan
kerajinan
11 Ririn: kalo mahasiswanya tu kalo kesini
ada jadwal tersendiri, apa hanya untuk
melakukan penelitian?
Pegawai : oh ya, e..tidak ada waktu
tersendiri. Hanya untuk melakukan
penelitian saja
12 Ririn: untuk tempat berkumpul para
lansia hanya disini apa ada tempat lain
lagi?
Pegawai : iya, hanya di aula sini
13 Ririn: aula sini
Pegawai :ya...
14 Ririn: kalo tidurnya itu sendiri berapa
orang mbak?
Pegawai : e.. satu kamar 4 orang, ada
juga satu orang sendiri jadi tergantung
dan dikondisikan
15 Ririn: kenapa kog bisa seperti itu?
Pegawai : kalo yang satu kamarsatu
orang itu omanya tidak mau tinggal
dengan yang lainnya, kalo yang satu
kamar 4 orang itu memang dari panti
disediakan seperti itu, dengan alasan biar
omanya tidur ada temennya, nanti kalo
ada apa-apa ada temennya yang ngeliat,
ngasih tau dan minta tolong.
16 Ririn: Keluhan yang sering mereka K.L.01.16 lansia merasa
hadapin? kesepian,
Pegawai : banyak yang kesepian, pengen merindukan
di jenguk sama keluarganya terus pengen keluarganya.
jajan,
17 Ririn: kalo penyakit secara psikologis, S.L.01.17 Lansia cenderung
kayak misalkan stres, depresi atau mengalami stres
gimana?
Pegawai : ya itu banyak yang cenderung
stres
18 Ririn: cenderung stres itu sudah di
buktikan atau gimna mbak?
Pegawai : ada yang membuktikan tapi
kita tidak melihat hasilnya keseluruhan,
tapi banyak para mahassiswa yang
melakukan penelitian disini mengatakan
kalo oma-oma disini itu cenderung
mengalami stres, karena lansia disini
kebanyakan mikirin keluarganya, ada
masalah sedikit langsung di pikirin
19 Ririn: jadi di sini itu, 50 lansia
Pegawai : he em
20 Ririn: mulai dari 61 tahun
Pegawai :ya
21 Ririn: sampe 115 tahun,dan apa kata para
peneliti yang sudah melakukan penelitian
menyatakan bahwa lansia disini
cenderung mengalami stres.
Pegawai: he em ya
22 Ririn: oke emm apa terimakasih atas
waktunya
Pegawai: ienggak, ya gapapa
23 Ririn: wassalamualaikum
Pegawai: waalaikumussalam
NAMA : P/L
UMUR :

Petunjuk Pengisian
Kuesioner ini terdiri dari berbagai pernyataan yang mungkin
sesuai dengan pengalaman Bapak/Ibu/Saudara dalam menghadapi
situasi hidup sehari-hari. Terdapat empat pilihan jawaban yang
disediakan untuk setiap pernyataan yaitu:
0 : Tidak sesuai dengan saya sama sekali, atau tidak pernah.

1 : Sesuai dengan saya sampai tingkat tertentu, atau kadang


kadang.

2 : Sesuai dengan saya sampai batas yang dapat dipertimbangkan,


atau lumayan sering.

3 : Sangat sesuai dengan saya, atau sering sekali.

Selanjutnya, Bapak/Ibu/Saudara diminta untuk menjawab


dengan cara memberi tanda silang (X) pada salah satu kolom yang
paling sesuai dengan pengalaman Bapak/Ibu/Saudara selama satu
minggu belakangan ini. Tidak ada jawaban yang benar ataupun
salah, karena itu isilah sesuai dengan keadaan diri Bapak/Ibu/Saudara
yang sesungguhnya, yaitu berdasarkan jawaban pertama yang
terlintas dalam pikiran Bapak/Ibu/ Saudara.
No PERNYATAAN 0 1 2 3

Saya merasa bahwa diri saya menjadi


1
marah karena hal-hal sepele.
2 Saya merasa bibir saya sering kering.
Saya sama sekali tidak dapat merasakan
3
perasaan positif.
Saya mengalami kesulitan bernafas
(misalnya: seringkali terengah-engah atau
4
tidak dapat bernafas padahal tidak
melakukan aktivitas fisik sebelumnya).
Saya sepertinya tidak kuat lagi untuk
5
melakukan suatu kegiatan.
Saya cenderung bereaksi berlebihan
6
terhadap suatu situasi.
Saya merasa goyah (misalnya, kaki terasa
7
mau copot).
8 Saya merasa sulit untuk bersantai.

No PERNYATAAN 0 1 2 3
Saya menemukan diri saya berada dalam
situasi yang membuat saya merasa sangat
9
cemas dan saya akan merasa sangat lega
jika semua ini berakhir.
Saya merasa tidak ada hal yang dapat
10
diharapkan di masa depan.
Saya menemukan diri saya mudah merasa
11
kesal.
Saya merasa telah menghabiskan banyak
12
energi untuk merasa cemas.
13 Saya merasa sedih dan tertekan.
Saya menemukan diri saya menjadi tidak
sabar ketika mengalami penundaan
14
(misalnya: kemacetan lalu lintas, menunggu
sesuatu).
15 Saya merasa lemas seperti mau pingsan.
Saya merasa saya kehilangan minat akan
16
segala hal.
Saya merasa bahwa saya tidak berharga
17
sebagai seorang manusia.
Saya merasa bahwa saya mudah
18
tersinggung.
Saya berkeringat secara berlebihan
(misalnya: tangan berkeringat), padahal
19
temperatur tidak panas atau tidak
melakukan aktivitas fisik sebelumnya.
20 Saya merasa takut tanpa alasan yang jelas.
Saya merasa bahwa hidup tidak
21
bermanfaat.
22 Saya merasa sulit untuk beristirahat.
23 Saya mengalami kesulitan dalam menelan.
Saya tidak dapat merasakan kenikmatan
24
dari berbagai hal yang saya lakukan.
Saya menyadari kegiatan jantung,
walaupun saya tidak sehabis melakukan
25
aktivitas fisik (misalnya: merasa detak
jantung meningkat atau melemah).
26 Saya merasa putus asa dan sedih.
27 Saya merasa bahwa saya sangat mudah
marah.
28 Saya merasa saya hampir panik.

No PERNYATAAN 0 1 2 3

Saya merasa sulit untuk tenang setelah


29
sesuatu membuat saya kesal.
Saya takut bahwa saya akan terhambat
30 oleh tugas-tugas sepele yang tidak biasa
saya lakukan.
Saya tidak merasa antusias dalam hal
31
apapun.
Saya sulit untuk sabar dalam menghadapi
32 gangguan terhadap hal yang sedang saya
lakukan.
33 Saya sedang merasa gelisah.
34 Saya merasa bahwa saya tidak berharga.
Saya tidak dapat memaklumi hal apapun
yang menghalangi saya untuk
35
menyelesaikan hal yang sedang saya
lakukan.
36 Saya merasa sangat ketakutan.
Saya melihat tidak ada harapan untuk masa
37
depan.
38 Saya merasa bahwa hidup tidak berarti.
39 Saya menemukan diri saya mudah gelisah.
Saya merasa khawatir dengan situasi
40 dimana saya mungkin menjadi panik dan
mempermalukan diri sendiri.
41 Saya merasa gemetar (misalnya: pada
tangan).
Saya merasa sulit untuk meningkatkan
42
inisiatif dalam melakukan sesuatu.

Harap diperiksa kembali, jangan sampai ada yang terlewatkan.


Terima kasih.
HASIL PENGUKURAN TINGKAT STRESS

Depression (D) Anxiety (A) Stress (S)


Normal 0-9 0-7 0-14
Mild 10-13 8-9 15-18
Moderate 14-20 10-14 19-25
Severe 21-27 15-19 26-33
Extremely Severe 28+ 20 + 34 +
Recomendation 5-Hydroxytryptophan Herbal Support Ginkgo/ Bacopa
complex for Hyper HPA Complex

SUBJEK 1
Q Score Q Score All D Scores All A Scores All S Scores
1 1 22 1 2
2 0 23 2 2
3 0 24 0 0
4 1 25 0 1
5 1 26 1 2
6 1 27 0 1
7 1 28 1 2
8 2 29 2 4
9 1 30 1 2
10 0 31 0 0
11 2 32 2 4
12 1 33 2 3
13 2 34 1 3
14 0 35 0 0
15 0 36 1 1
16 0 37 0 0
17 0 38 1 1
18 2 39 1 3
19 1 40 1 2
20 2 41 2 4
21 0 42 0 0
TOTAL 6 14 17
subjek 1 mengalami stress tingkat RENDAH

SUBJEK 2
Q Score Q Score All D Scores All A Scores All S Scores
1 2 22 1 3
2 2 23 0 2
3 1 24 1 2
4 1 25 1 2
5 0 26 0 0
6 1 27 1 2
7 0 28 0 0
8 1 29 1 2
9 0 30 0 0
10 0 31 0 0
11 2 32 1 3
12 1 33 2 3
13 1 34 0 1
14 2 35 1 3
15 0 36 0 0
16 0 37 0 0
17 0 38 0 0
18 2 39 1 3
19 0 40 1 1
20 1 41 0 1
21 0 42 0 0
3 6 19
Total for D Total for A Total for S
subjek 2 mengalami stress tingkat SEDANG

SUBJEK 3
Q Score Q Score All D Scores All A Scores All S Scores
1 2 22 1 3
2 0 23 0 0
3 0 24 0 0
4 1 25 0 1
5 0 26 0 0
6 1 27 3 4
7 0 28 1 1
8 2 29 3 5
9 1 30 0 1
10 0 31 0 0
11 1 32 0 1
12 1 33 1 2
13 0 34 0 0
14 2 35 1 3
15 0 36 0 0
16 0 37 0 0
17 1 38 0 1
18 1 39 3 4
19 0 40 0 0
20 0 41 1 1
21 1 42 0 1
2 4 21
Total for D Total for A Total for S
subjek 3 mengalami stress tingkat SEDANG
SUBJEK 4
Q Score Q Score All D Scores All A Scores All S Scores
1 1 22 1 2
2 0 23 2 2
3 0 24 0 0
4 1 25 0 1
5 1 26 1 2
6 1 27 0 1
7 1 28 0 1
8 2 29 2 4
9 1 30 1 2
10 0 31 0 0
11 2 32 2 4
12 1 33 2 3
13 2 34 1 3
14 0 35 0 0
15 0 36 1 1
16 0 37 0 0
17 0 38 1 1
18 2 39 1 3
19 1 40 1 2
20 2 41 2 4
21 0 42 0 0
6 13 15
Total for D Total for A Total for S
subjek 4 mengalami stress tingkat RENDAH

SUBJEK 5
Q Score Q Score All D Scores All A Scores All S Scores
1 1 22 1 2
2 1 23 0 1
3 0 24 0 0
4 1 25 3 4
5 0 26 0 0
6 2 27 1 3
7 1 28 2 3
8 2 29 0 2
9 0 30 1 1
10 0 31 0 0
11 0 32 2 2
12 1 33 2 3
13 1 34 0 1
14 1 35 3 4
15 0 36 0 0
16 0 37 1 1
17 0 38 1 1
18 1 39 1 2
19 0 40 1 1
20 0 41 0 0
21 0 42 0 0
3 10 18
Total for D Total for A Total for S
subjek 5 mengalami stress tingkat RENDAH

SUBJEK 6
Q Score Q Score All D Scores All A Scores All S Scores
1 3 22 1 4
2 0 23 1 1
3 0 24 0 0
4 0 25 1 1
5 0 26 1 1
6 3 27 0 3
7 1 28 0 1
8 1 29 2 3
9 0 30 0 0
10 0 31 0 0
11 1 32 2 3
12 1 33 1 2
13 1 34 0 1
14 1 35 1 2
15 0 36 0 0
16 0 37 0 0
17 0 38 0 0
18 1 39 1 2
19 0 40 1 1
20 1 41 0 1
21 0 42 0 0
2 5 17
Total for D Total for A Total for S
subjek 6 mengalami stress tingkat RENDAH

SUBJEK 7
Q Score Q Score All D Scores All A Scores All S Scores
1 1 22 3 4
2 1 23 0 1
3 0 24 0 0
4 0 25 0 0
5 0 26 0 0
6 1 27 2 3
7 1 28 0 1
8 1 29 1 2
9 0 30 0 0
10 0 31 0 0
11 1 32 1 2
12 1 33 1 2
13 0 34 1 1
14 0 35 2 2
15 0 36 0 0
16 0 37 0 0
17 0 38 1 1
18 1 39 2 3
19 0 40 1 1
20 0 41 1 1
21 0 42 0 0
2 4 18
Total for D Total for A Total for S
subjek 7 mengalami stress tingkat RENDAH

SUBJEK 8
Q Score Q Score All D Scores All A Scores All S Scores
1 1 22 2 3
2 0 23 0 0
3 1 24 0 1
4 0 25 0 0
5 0 26 0 0
6 1 27 2 3
7 1 28 0 1
8 3 29 1 4
9 1 30 0 1
10 1 31 0 1
11 1 32 2 3
12 1 33 3 4
13 0 34 0 0
14 2 35 0 2
15 1 36 0 1
16 0 37 0 0
17 0 38 0 0
18 1 39 2 3
19 0 40 1 1
20 0 41 0 0
21 0 42 0 0
2 4 21
Total for D Total for A Total for S
subjek 8 mengalami stress tingkat SEDANG

SUBJEK 9
Q Score Q Score All D Scores All A Scores All S Scores
1 2 22 1 3
2 1 23 2 3
3 0 24 0 0
4 0 25 0
5 0 26 0 0
6 2 27 1 3
7 0 28 0 0
8 2 29 0 2
9 1 30 2 3
10 0 31 2 2
11 2 32 1 3
12 1 33 2 3
13 2 34 0 2
14 2 35 0 2
15 0 36 0 0
16 0 37 0 0
17 0 38 0 0
18 1 39 2 3
19 1 40 0 1
20 0 41 0 0
21 0 42 1 1
5 7 19
Total for D Total for A Total for S
subjek 9 mengalami stress tingkat SEDANG

SUBJEK 10
Q Score Q Score All D Scores All A Scores All S Scores
1 2 22 2 4
2 1 23 0 1
3 0 24 0 0
4 0 25 1 1
5 0 26 1 1
6 1 27 2 3
7 0 28 1 1
8 2 29 2 4
9 1 30 0 1
10 0 31 0 0
11 1 32 1 2
12 1 33 2 3
13 0 34 0 0
14 0 35 0 0
15 3 36 1 4
16 0 37 1 1
17 0 38 0 0
18 2 39 1 3
19 0 40 0 0
20 1 41 0 1
21 0 42 0 0
2 9 19
Total for D Total for A Total for S
subjek 10 mengalami stress tingkat SEDANG

SUBJEK 11
Q Score Q Score All D Scores All A Scores All S Scores
1 1 22 2 3
2 0 23 1 1
3 0 24 0 0
4 1 25 0 1
5 0 26 0 0
6 0 27 2 2
7 0 28 1 1
8 2 29 1 3
9 0 30 0 0
10 1 31 0 1
11 2 32 1 3
12 1 33 1 2
13 0 34 0 0
14 1 35 0 1
15 0 36 0 0
16 0 37 1 1
17 0 38 0 0
18 2 39 2 4
19 0 40 1 1
20 0 41 0 0
21 0 42 0 0
2 5 18
Total for D Total for A Total for S
subjek 11 mengalami stress tingkat RENDAH

SUBJEK 12
Q Score Q Score All D Scores All A Scores All S Scores
1 1 22 1 2
2 1 23 0 1
3 1 24 0 1
4 0 25 0 0
5 0 26 0 0
6 1 27 2 3
7 0 28 3 3
8 2 29 2 4
9 2 30 1 3
10 0 31 0 0
11 1 32 0 1
12 2 33 1 3
13 0 34 0 0
14 3 35 2 5
15 2 36 3 5
16 0 37 0 0
17 1 38 0 1
18 2 39 1 3
19 0 40 0 0
20 0 41 1 1
21 0 42 0 0
2 13 21
Total for D Total for A Total for S
subjek 12 mengalami stress tingkat SEDANG

SUBJEK 13
Q Score Q Score All D Scores All A Scores All S Scores
1 0 22 1 1
2 1 23 0 1
3 0 24 0 0
4 0 25 1 1
5 0 26 0 0
6 2 27 2 4
7 2 28 0 2
8 2 29 3 5
9 0 30 0 0
10 0 31 0 0
11 1 32 2 3
12 2 33 1
13 1 34 1 2
14 1 35 2 3
15 1 36 0 1
16 0 37 0 0
17 1 38 0 1
18 1 39 2 3
19 3 40 1 4
20 2 41 2 4
21 2 42 0 4
7 13 19
Total for D Total for A Total for S
subjek 13 mengalami stress tingkat SEDANG

SUBJEK 14
Q Score Q Score All D Scores All A Scores All S Scores
1 0 22 1 1
2 1 23 2 3
3 0 24 1 1
4 1 25 0 1
5 0 26 1 1
6 0 27 2 2
7 1 28 3 3
8 3 29 1 4
9 1 30 1 2
10 0 31 2 2
11 3 32 1 4
12 2 33 2 4
13 0 34 1 1
14 1 35 2 3
15 0 36 1 1
16 0 37 0 0
17 0 38 0 0
18 1 39 2 3
19 0 40 0 0
20 0 41 1 1
21 0 42 0 0
5 11 21
Total for D Total for A Total for S
subjek 14 mengalami stress tingkat SEDANG

SUBJEK 15
Q Score Q Score All D Scores All A Scores All S Scores
1 2 22 0 2
2 1 23 0 1
3 1 24 0 1
4 0 25 3 3
5 0 26 0 0
6 2 27 1 2
7 0 28 1 1
8 2 29 2 4
9 1 30 0 1
10 1 31 1 2
11 2 32 2 4
12 2 33 1 3
13 0 34 1 1
14 2 35 2 4
15 0 36 1 1
16 0 37 2 2
17 0 38 1 1
18 0 39 1 1
19 0 40 0 0
20 3 41 1 4
21 1 42 0 1
8 11 20
Total for D Total for A Total for S
subjek 15 mengalami stress tingkat SEDANG

SUBJEK 16
Q Score Q Score All D Scores All A Scores All S Scores
1 1 22 1 2
2 0 23 1 1
3 0 24 1 1
4 1 25 0 1
5 0 26 0 0
6 1 27 2 3
7 0 28 3 3
8 2 29 1 3
9 1 30 0 1
10 0 31 0 0
11 2 32 0 2
12 2 33 2 4
13 0 34 1 1
14 1 35 2 3
15 0 36 1 1
16 0 37 0 0
17 0 38 0 0
18 1 39 0 1
19 0 40 2 2
20 1 41 1 2
21 2 42 0 2
4 11 18
Total for D Total for A Total for S
subjek 16 mengalami stress tingkat RENDAH
KESIMPULAN HASIL

NO STRESS TINGKAT STRES TINGKAT STRESS TINGKAT


RENDAH SEDANG TINGGI
1 subjek 1 subjek 2 -
2 subjek 4 subjek 3 -
3 subjek 5 subjek 8 -
4 subjek 6 subjek 9 -
5 subjek 7 subjek 10 -
6 subjek 11 subjek 12 -
7 subjek 16 subjek 13 -
8 - subjek 14 -
9 - subjek 15 -
7 ORANG 9 ORANG 0 ORANG
TOTAL
I.IDENTITAS RESPONDEN

1. No Responden :
2. Umur :
3. Tanggal Pengisian :
4. Lama tinggal dipanti :
5. Keluarga : Ada / tidak ada

II.PETUNJUK PENGISIAN

1. Sebelum mengisi pernyataan berikut, kami mohon kesediaan


Anda membaca terlebih dahulu petunjuk pengisian ini
2. Jawablah pertanyaan dengan benar dan jujur sesuai dengan
yang Anda alami selamasatu minggu terakhir.
3. Jawaban Anda dalam pernyataan dijamin kerahasiaannya.
4. Pertimbangkan setiap item, kemudian berilah tanda () pada
salah satu kolom yangAnda anggap sesuai dengan keadaan
sebenarnya sampai dengan pada saat ini
5. Periksa kembali jawaban Anda, diharapkan seluruh pernyataan
sudahterjawab.
6. Dalam kuesioner ini tidak terdapat penilaian benar atau salah,
sehingga tidak terdapatjawaban yang dianggap salah. Semua
jawaban dianggap benar jika anda memberikanjawaban sesuai
dengan keadaan anda sebenarnya
No Pernyataan Pilihan
Tidak Kadang- Lumayan Sering
Pernah Kadang Sering Sekali
1 Saya merasa bahwa diri
saya menjadi mudah
marah karena hal-hal
sepele
2 Saya cenderung bereaksi
berlebihan terhadap suatu
situasi
3 Saya merasa sulit bersantai
4 Saya merasa diri saya
mudah kesal
5 Saya merasa telah
menghabiskan banyak
energiketika merasa
bingung
6 Saya menemukan diri saya
menjadi tidak sabar ketika
mengalami penundaan
(misalnya: kemacetan lalu
lintas, menunggu
sesuatu).
7 Saya merasa bahwa saya
mudah tersinggung.
8 Saya merasa sulit untuk
beristirahat.
9 Saya merasa bahwa saya
sangat mudah marah.
10 Saya merasa sulit untuk
tenang setelah sesuatu
membuat saya kesal.

No Pernyataan pilihan
Tidak Kadang- Lumayan sering
pernah kadang Sering sekali
11 Saya sulit untuk sabar
dalam menghadapi
gangguan terhadap hal
yang sedang saya lakukan.
12 Saya sedang merasa
gelisah.
13 Saya tidak dapat
memaklumi hal apapun
yang menghalangi saya
untuk menyelesaikan hal
yang sedang saya lakukan.
14 Saya menemukan diri saya
mudah gelisah.
UJI VALIDITAS DAN RELIABILITAS

Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha Based
on
Cronbach's Standardized N of
Alpha Items Items
,610 ,608 14

Item-Total Statistics
Cronb
ach's
Scale Scale Squared Alpha
Mean if Variance if Corrected Multiple if Item
Item Item Item-Total Correlatio Delete
Deleted Deleted Correlation n d
VAR000
24,2500 22,067 ,247 ,903 ,592
01
VAR000
24,4375 23,996 ,074 ,956 ,619
02
VAR000
24,1250 23,850 ,052 ,962 ,628
03
VAR000
24,0625 19,796 ,617 ,988 ,525
04
VAR000
23,8750 22,383 ,226 ,869 ,596
05
VAR000
23,7500 23,533 ,072 ,720 ,626
06
VAR000
23,7500 20,200 ,450 ,965 ,551
07
VAR000
24,1250 19,450 ,531 ,961 ,532
08
VAR000
24,1250 23,317 ,267 ,891 ,592
09
VAR000
24,0000 23,467 ,132 ,773 ,611
10
VAR000
23,5625 18,662 ,644 ,930 ,507
11
VAR000
23,9375 22,062 ,479 ,876 ,566
12
VAR000
23,7500 24,067 ,052 ,884 ,624
13
VAR000
23,8125 26,829 -,268 ,808 ,669
14
UJI DATA MENGGUNAKAN SPSS

One-Sample Statistics
Std. Std. Error
N Mean Deviation Mean
SEBELUM
DIBERIKAN 16 25.81 5.023 1.256
TERAPI TAWA
SESUDAH
DIBERIKAN 16 21.44 3.010 .753
TERAPI TAWA

One-Sample Test
Test Value = 0
95%
Confidence
Sig. Interval of the
(2- Mean Difference
t df tailed) Difference Lower Upper
SEBELU
M
DIBERIK
20.556 15 .000 25.813 23.14 28.49
AN
TERAPI
TAWA
SESUDA
H
DIBERIK
28.485 15 .000 21.438 19.83 23.04
AN
TERAPI
TAWA
1. Foto bersama satu kelompok didepan panti wreda

2. Ketika pengambilan skala

3. Waktu pemprosesan pre-test


4. Pemberian treatment
a. Langkah pertama (Pemanasan)

b. Langkah ke-2 dan ke-3 (Physical Relaxation)

c. Langkah ke-4 sampai Langkah ke-7 (Mengembangkan Kemampuan


Komunikasi)
d. Tawa Milk Shake

e. Langkah ke-8 sampai Langkah ke-10 (Mencari social Support)

f. Peregangan
g. Berbagi pengalaman

5. Pemprosesan post-test

Anda mungkin juga menyukai