Anda di halaman 1dari 30

REFERAT

KEDARURATAN PSIKIATRI: BUNUH DIRI

Disusun oleh:

Adhe William Fanggidae 112021044

Pembimbing:

dr. H. Riza Putra, SpKJ

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN JIWA


RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI JAWA BARAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA JAKARTA
PERIODE 8 AGUSTUS -9 SEPTEMBER 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan
kuasanya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Kedaruratan Psikiatri:
Bunuh Diri”. Tujuan pembuatan referat ini adalah sebagai salah satu syarat tercapainya
keberhasilan penulis dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu
Kesehatan Jiwa.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada pembimbing dr. H. Riza Pura , Sp.KJ
yang telah memberi dengan segenap hati membimbing penulis, meluangkan waktu,
pikiran, tenaga, dan perhatian yang begitu besar. 
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan kasus ini banyak terdapat
kekurangan dan juga masih jauh dari kesempurnaan dengan demikian Penulis dengan
tangan terbuka menerima masukan, kritik ataupun saran yang bersifat membangun demi
perbaikan yang lebih baik kedepannya. Demikian penulis sampaikan, semoga tujuan
penulisan ini dapat terpenuhi dan bermanfaat bagi semua pihak.

Jakarta, Agustus 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL......................................................................................... 1
KATA PENGANTAR....................................................................................... 2
DAFTAR ISI...................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................... 5
II.1 Kedaruratan Psikiatri..................................................................... 5
II.1.1 Definisi.............................................................................. 5
II.1.2 Tempat Pelayanan Kedaruratan Psikiatri.......................... 5
II.1.3 Evaluasi............................................................................. 6
II.2 Bunuh Diri..................................................................................... 9
II.2.1 Definisi Bunuh Diri........................................................... 8
II.2.2 Epidemiologi..................................................................... 9
II.2.3 Etiologi.............................................................................. 10
II.2.4 Faktor Risiko..................................................................... 12
II.2.5 Gangguan Kejiwaan yang Berhubungan dengan Bunuh Diri
...................................................................................................16
II.2.6 Panduan Wawancara dan Psikiatri.................................... 19
II.2.7 Evaluasi dan Penatalaksanaan........................................... 20
II.2.8 Terapi Psikofarmaka......................................................... 21
II.2.9 Terapi non Farmakologi.................................................... 21
II.2.10 Inpatient versus Outpatient Treatment............................ 22
II.2.11 Bunuh Diri yang Tak Terhindarkan................................ 27
II.2.12 Bunuh Diri yang Melibatkan Kematian Lainnya............ 28
II.2.13 Pencegahan...................................................................... 29
BAB III KESIMPULAN................................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 32

3
BAB I

PENDAHULUAN

Kedaruratan medis adalah situasi dimana individu berada dalam risiko kematian
yang akan segera terjadi, sehingga membutuhkan intervensi segera. Kedaruratan ini
terjadi dalam semua bidang kesehatan, salah satunya dalam bidang psikiatri. Dalam
psikiatri situasi darurat yang paling umum terjadi adalah pengabaian diri yang parah,
melukai diri sendiri, perilaku bunuh diri, episode depresi atau manik, agitasi psikomotor
agresif, penilaian yang sangat terganggu, keracunan atau pemakaian zat psikoaktif. 1
Kasus kedaruratan psikiatri meliputi gangguan pikiran, perasaan dan perilaku yang
meliputi kondisi gaduh gelisah, dampak tindak kekerasan, bunuh diri (suicide), gejala
ekstra piramidal akibat penggunaan obat dan delirium.2

Bunuh diri (suicide), merupakan salah satu kasus kedaruratan psikiatri yang
menjadi masalah serius dan diperhatikan secara global. Setiap harinya, terdapat 1
kematian akibat bunuh diri setiap 40 detik. 3 Beberapa kasus bunuh diri yang terjadi
banyak melibatkan artis seperti yang terjadi di Korea Selatan pada artis Jong Hyun
Shinee pada tahun 2017 dan Sulli pada tahun 2019.4,5 Di Hollywood terjadi kasus bunuh
diri yang dilakukan oleh beberapa artis seperti Lucy Gordon bintang film Spiderman 3
yang ditemukan tewas gantung diri dan Tim Bergling atau Avici seorang DJ yang
bunuh diri dengan memotong nadi dipergelangan tangan menggunakan pecahan botol
kaca.6,7 Kematian para artis ini disebabkan karena depresi yang dialami, yang
berhubungan dengan persaingan ketat yang terjadi di jagat hiburan.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Kedaruratan Psikiatri


II.1.1 Definisi
Kedaruratan psikiatri merupakan cabang ilmu kedokteran jiwa dan
kedokteran kedaruratan, yang dibentuk untuk menghadapi kasus
kedaruratan yang memerlukan intervensi psikiatrik. Kasus kegawatdaruratan
psikiatri meliputi gangguan pikiran, perasaan dan perilaku yang
memerlukan intervensi terapeutik segera, antara lain: kondisi gaduh gelisah,
dampak tindak kekerasan, bunuh diri (suicide), gejala ekstra pyramidal
akibat penggunaan obat dan delirium.2
Berdasarkan konsesus yang dikembangkan oleh American Psychiatric
Association (APA) menyebutkan bahwa kedaruratan psikiatri adalah
gangguan yang bersifat akut, baik pada pikiran, perilaku atau hubungan
sosial yang membutuhkan intervensi segera yang didefinisikan oleh pasien,
keluarga pasien atau masyarakat.8
Tujuan dari perawatan kedaruratan psikiatri adalah, pertama
memberikan perawatan tepat waktu atas kedaruratan psikiatri. Kedua,
adanya akses perawatan yang bersifat lokal dan berbasis masyarakat.
Ketiga, menyingkirkan etiologi perilaku pasien yang mungkin mengancam
nyawa atau meningkatkan morbiditas medis. Dan terakhir berjalannya
kesinambungan perawatan.8

II.1.2 Tempat Pelayanan Kedaruratan Psikiatri

Kasus kedaruratan psikiatri dapat ditangan di Rumah Sakit Umum,


Rumah Sakit Jiwa, Klinik dan Sentral Primer. Hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam mempersiapkan tempat pelayanan kegawatdaruratan
psikiatri, antara lain:2

1. Keamanan

5
Pada tempat pelayanan harus dibentuk tim dalam jumlah yang cukup
yang terdiri dari psikiater dan/dokter umum, perawat. Pembantu
perawat serta pekerja sosial. Setiap tim baiknya terdiri dari berbagai
profesi dengan pembagian tanggung jawab dan arahan yang jelas serta
terjalinnya komunikasi yang baik antar tim.
2. Pemisahan ruang secara spesifik
Perawatan untuk anak, remaja dan dewasa, ruangannya harus dipisah.
Hal ini juga berlaku untuk pasien dengan tindak kekerasan atau
agitative agar tidak mengganggu dan membahayakan pasien yang lain.
Ruang isolasi dan fiksasi harus terletak di dekat ruang perawtan agar
dapat diawasi secara ketat.
3. Akses langsung dan mudah
Tempat pelayanan kegawatdaruratan yang disediakan harus mudah di
akses, karena 5-30% kondisi medik umum menunjukkan manifestasi
psikiatrik
4. Psikofarmaka
Di tempat pelayanan kesehatan obat-obat psikofarmaka yang digunakan
harus lengkap tersedia. Selain itu, alat fikasi dan ruang evaluasi
diusahakan ada dan memadai.
5. Tim yang bertugas harus yang sudah terlatih dan bertindak segera pada
saat yang tepat.
6. Seluruh staf yang ada harus memperhatikan setiap tindakan yang
dilakukan dan harus didiskusikan dan dijelaskan dengan baik kepada
pasien maupun dengan keluarga pasien.
7. Sikap, perilaku staf dan pasien, harus dijaga dan dipahami dimulai dari
pasien dirawat diruang gawat darurat.

II.1.3 Evaluasi
Tindakan segera yang harus dilakukan secara tepat adalah menentukan
diagnosis awal, melakukan identifikasi faktor-faktor presipitasi dan
kebutuhan segera sang pasien dan memulai terapi atau merujuk pasien ke
fasilitas yang sesuai. Tujuan utama dalam evaluasi kedaruratan psikiatri

6
adalah menilai kondisi pasien yang sedang dalam kritis secara cepat dan
tepat. Dalam proses evaluasi dilakukan wawancara kedaruratan psikiatrik,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.2
Dalam wawancara, hal utama yang difokuskan adalah pada
autoanamnesis dengan menanyakan keluhan pasien dan alasan pasien
dibawa ke unit gawat darurat. Keterangan tambahan dapat diperoleh dari
alloanamnesis melalui pihak yang mengantarkan, keluarga, polisi, teman
agar dapat melengkapi informasi. Alloanamnesis juga dapat dijadikan
keterangan utama yang digunakan apabila pasien mutisme, negavistik, tidak
kooperatif atau inkoheren. Dalam wawancara, tunjukan sikap yang tenang,
kemampuan untuk mendengar, dan jujur agar dapat membangun
kepercayaan antara pasien dan dokter.2 Hal-hal yang harus diperhatikan di
seting kedaruratan yaitu, agitasi dan agresi, withdrawal, intoksikasi zat,
kekerasan domestik, kekerasan pada anak, kekerasan pada lansia dan
pemerkosaan.8
Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi riwayat perjalanan
penyakit, pemeriksaan status mental, pemeriksaan status fisik/neurologik.
Saat pasien tiba di Unit Gawat Darurat, hal pertama yang dilakukan oleh
pemeriksa adalah menilai tanda-tanda vital pasien, yaitu tekanan darah,
suhu, frekuensi napas dan frekuensi nadi. Apabila terdapat kelainan maka
tangani terlebih dahulu sebelum melakukan pemeriksaan lanjutan.
Perhatikan bagan alur evaluasi dan penatalaksanaan pasien gawat darurat
psikiatrik.2

7
Gambar 1. Alur evaluasi dan penatalaksanaan pasien gawat darurat
psikiatrik2

Lima hal yang harus ditentukan sebelum menangani pasien


selanjutnya. Pertama, dokter harus memastikan bahwa situasi di ruang
gawat darurat, pola pelayanan, komunikasi antar staf serta jumlah pasien
dalam ruangan aman bagi pasien baik secara fisik maupun emosional.
Kedua, setiap pasien yang masuk ke UGD dilakukan penilaian apakah
kasusnya medik, psikiatrik atau kombinasi keduanya untuk penentuan
tatalaksana. Ketiga, nilai apakah pasien memiliki gejla psikotik dan
bagaimana kemampuan pasien menilai realita serta tentukan tilikan derajat
pasien. Hal ini dapat mempengaruhi sikapnya terhadap pertolongan yang
kita berikan serta kepatuhannya dalam berobat. Dalam wawancara dengan
pasien psikosis, jangan terlalu bertele-tele dan jangan mengharapkan pasien
mempercayai atau mengharapkan bantuan kita. Keempat, pasien dengan
kecenderungan bunuh diri atau pembunuhan sangat membahayakan diri
sendiri atau orang lain. semua pasien dengan kecenderungan bunuh diri
harus diobservasi secara ketat. Kelima, sebelum memulangkan pasien, harus
dipertimbangkan apakah pasien mampu merawat dirinya sendiri, mampu
menjalankan saran yang dianjurkan. Apabila pasien belum dapat merawat
diri dengan baik dan atau keluarga pasien tidak dapat merawat pasien
dirumah, ini merupakan indikasi rawat inap. Indikasi rapat inap pasien
adalah bila pasien membahayakan diri sendiri atau orang lain, perawatan di
rumah tidak memadai dan perlu observasi lebih lanjut.2

II.2 Bunuh Diri


II.2.1 Definisi Bunuh Diri

Bunuh diri (suicide) adalah kematian yang diniatkan dan dilakukan


oleh seseorang terhadap dirinya sendiri. Ide-ide bunuh diri dan percobaan
bunuh diri merupakan hal yang sering dijumpai di ruang gawat darurat. Ide
bunuh diri sering muncul pada orang-orang yang rapuh sebagai respon

8
terhadap berbagai tekanan pada setiap usia, dan bisa saja terdapat untuk
waktu yang lama tanpa diakhiri dengan suatu tindakan bunuh diri.2

Beberapa merencanakan tindakan bunuh diri selama berhari-hari,


berminggu-minggu, atau bahkan bertahun-tahun sebelum bertindak,
sementara yang lain mengambil hidup mereka berdasarkan dorongan hati
tanpa rencana sebelumnya. Dalam psikiatri, bunuh diri adalah keadaan
darurat utama. Bunuh diri bagi psikiater sama seperti kanker bagi dokter
penyakit dalam. Dokter dapat memberikan perawatan yang optimal,
namun pasien dapat meninggal dengan bunuh diri. Bunuh diri sulit
diprediksi tapi banyak petunjuk yang dapat dilihat. Bunuh diri hampir
selalu merupakan hasil dari penyakit mental, biasanya depresi, dan dapat
menerima perawatan psikologis dan farmakologis.9

II.2.2 Epidemiologi

Berdasarkan WHO Global Health Estimates, estimasi jumlah


kematian akibat bunuh diri di seluruh dunia adalah sejumlah 793.000
kematian pada tahun 2016 atau 10,6 kematian per 100.000 penduduk atau
1 kematian tiap 40 detik. Bunuh diri adalah penyebab dari 1,4% kematian
seluruh dunia dan merupakan ranking ke 18 penyebab kematian terbanyak.
Angka kematian akibat bunuh diri tertinggi adalah di Eropa dan Asia
Tenggara, terendah di Mediterania Timur. Angka kematian lebih tinggi
pada laki-laki dibandingkan perempuan.3

Idealnya, data kematian, termasuk kematian akibat bunuh diri,


diperoleh dari sistem pencatatan sipil dan statisik hayati. Namun
pencatatan kematian dan penyebab kematian di Indonesia belum baik,
sehingga data yang didapat bersumber dari WHO Global Health Estimates.
Jumlah kasus bunuh diri yang dilaporkan ke kepolisian tahun 2016 sebesar
875 kasus dan tahun 2017 sebesar 789 kasus. Jumlah ini jauh lebih kecil
dibandingkan perkiraan jumlah kematian akibat bunuh diri dari WHO
Global Health Estimates. Menurut WHO Global Health Estimates, angka
kematian akibat bunuh diri di Indonesia tahun 2016 sebesar 3,4/100.000

9
penduduk, laki-laki 4,8/100.000 penduduk dan 2,0/100.000 pada
perempuan. Jika diasumsikan pada tahun 2018 angka kejadian akibat
bunuh diri tidak berubah, dan penduduk Indonesia tahun 2018 sejumlah
265 juta, maka dihitung perkiraan jumlah kematian akibat bunuh diri di
Indonesia sekitar 9.000 per tahun.3

Gambar 2. Angka kematian kasar akibat bunuh diri (per 100.000


penduduk) di Indonesia tahun 2016.3

II.2.3 Etiologi
 Teori Durkheim
Kontribusi besar pertama untuk studi tentang pengaruh sosial dan
budaya pada bunuh diri dibuat pada akhir abad ke-19 oleh sosiolog Prancis
Emile Durkheim. Durkheim membagi bunuh diri menjadi tiga kategori
sosial: egoistik, altruistik, dan anomik.
a. Bunuh diri egoistik: Berlaku untuk mereka yang tidak terintegrasi
secara kuat ke dalam kelompok sosial mana pun. Kurangnya integrasi
keluarga menjelaskan mengapa orang yang tidak menikah lebih rentan
bunuh diri daripada yang sudah menikah dan mengapa pasangan
dengan anak-anak adalah kelompok dengan perlindungan terbaik.
Masyarakat pedesaan memiliki lebih banyak integrasi sosial daripada
daerah perkotaan, dengan demikian bunuh diri juga lebih sedikit.9
b. Bunuh diri altruistik: Berlaku untuk mereka yang berasal dari integrasi
berlebihan mereka ke dalam kelompok, dengan bunuh diri menjadi
hasil dari integrasi. Misalnya, tentara Jepang yang mengorbankan

10
hidupnya dalam pertempuran.9 Atau individu itu terikat pada tuntutan
tradisi khusus atau pun ia cenderung untuk bunuh diri karena
identifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok, ia merasa bahwa
kelompok tersebut sangat mengharapkannya. Contohnya, Hara-kiri di
Jepang, puputan di Bali.10
c. Bunuh diri anomik: Hal ini terjadi bila terdapat gangguan
keseimbangan integrasi antara individu dengan masyarakat, sehingga
individu tersebut meninggalkan norma-norma kelakuan yang biasa.
Individu itu kehilangan pegangan dan tujuan hidup. Masyarakat atau
kelompoknya tidak dapat memberikan kepuasan kepadanya karena
tidak ada pengaturan dan pengawasan terhadap kebutuhan-
kebutuhannya. Hal ini menerangkan mengapa percobaan bunuh diri
pada orang cerai lebih banyak dari pada mereka ynag tetap dalam
pernikahan. Golongan manusia yang mengalami perubahan ekonomi
yang drastis juga lebih mudah melakukan percobaan bunuh diri.
Statistik menunjukkan bahwa angka bunuh diri lebih rendah pada
orang-orang yang beragama dan religius dibandingkan dengan yang
tidak.10
 Teori Freud
Sigmund Freud menganggap bunuh diri sebagai pembunuhan,
sebuah perluasan atas teorinya mengenai depresi. Ketika seseorang
kehilangan orang yang dicintai sekaligus dibencinya, dan meleburkan
orang tersebut dengan dirinya, agresi dialihkan ke dalam. Jika perasaan ini
cukup kuat, orang yang bersangkutan akan bunuh diri.9 
 Teori Baru
Ahli bunuh diri kontemporer menganggap bahwa psikodinamik
atau kepribadian tertentu tidak selalu berhubungan dengan bunuh diri.
Mereka percaya bahwa banyak yang bisa dipelajari tentang psikodinamika
pasien bunuh diri dari fantasi mereka tentang apa yang akan terjadi dan
apa konsekuensinya akan terjadi jika mereka bunuh diri. Fantasi seperti itu
sering kali termasuk keinginan untuk balas dendam, kekuasaan, kontrol,
atau hukuman; penebusan dosa, pengorbanan, atau ganti rugi; melarikan

11
diri atau tidur; penyelamatan, kelahiran kembali, reuni dengan orang mati;
atau kehidupan baru.9
 Faktor Biologis
Serotonin sentral yang berkurang berperan dalam perilaku bunuh
diri. Sebuah grup di Institut Karolinska di Swedia pertama kali mencatat
bahwa konsentrasi rendah metabolit serotonin 5-hydroxyindoleacetic acid
(5-HIAA) dalam cairan serebrospinal dikaitkan dengan perilaku bunuh
diri. Studi neurokimia postmortem telah melaporkan penurunan sederhana
dalam serotonin itu sendiri atau 5-HIAA baik di batang otak atau korteks
frontal pada korban bunuh diri. Studi reseptor postmortem telah
melaporkan perubahan signifikan di binding sites serotonin prasinaptik dan
pascasinaptik pada korban bunuh diri. Secara bersamaan, studi cairan
serebrospinal, neurokimia, dan reseptor mendukung hipotesis yang
mengatakan jika produksi serotonin pusat yang menurun berhubungan
dengan bunuh diri. Konsentrasi rendah 5-HIAA di cairan serebrospinal
juga memprediksi perilaku bunuh diri di masa depan.9

II.2.4 Faktor Risiko


1. Laki-laki
Pria bunuh diri empat kali lebih sering daripada wanita, tanpa
memandang usia atau ras, di Amerika Serikat terlepas dari kenyataan
bahwa wanita mencoba bunuh diri atau memiliki pikiran untuk melakukan
bunuh diri tiga kali lebih sering daripada pria. Pria lebih mungkin daripada
perempuan untuk bunuh diri dengan menggunakan senjata api,
menggantung diri, atau melompat dari tempat tinggi. Disisi lain, wanita
lebih sering mengkonsumsi zat psikoaktif atau racun dalam dosis
berlebihan. Di negara dengan undang-undang pengaturan senjata,
penggunaan senjata api menurun sebagai metode bunuh diri. Secara global
metode bunuh diri yang umum adalah gantung diri.9
2. Usia tua
Untuk semua kelompok, bunuh diri jarang terjadi sebelum
pubertas. Tingkat bunuh diri meningkat dengan usia. Diantara pria, bunuh

12
diri mencapai puncaknya setelah usia 45 tahun; diantara wanita, jumlah
terbesar bunuh diri selesai terjadi setelah usia 55 tahun. Tingkat 29 per
100.000 penduduk terjadi pada pria berusia 65 tahun atau lebih. Upaya
orang tua bunuh diri lebih jarang daripada orang yang lebih muda, tetapi
lebih sering berhasil. Bagaimanapun, tingkat bunuh diri di kalangan anak
muda meningkat. Bunuh diri adalah penyebab utama kematian ketiga pada
mereka yang berusia 15 hingga 24 tahun, setelah kecelakaan dan
pembunuhan. Percobaan bunuh diri dalam jumlah kelompok usia ini antara
1 juta hingga 2 juta per tahun. Sebagian besar bunuh diri sekarang
termasuk di antaranya mereka yang berusia 35 hingga 64 tahun.2,9
3. Status Pernikahan
Pernikahan mengurangi risiko bunuh diri secara signifikan, apalagi
jika di pasangan tersebut sudah memiliki anak. Perceraian meningkatkan
risiko bunuh diri, dengan pria yang bercerai tiga kali lebih banyak
cenderung bunuh diri sebagai wanita yang diceraikan. Janda dan duda juga
memiliki tarif tinggi. Bunuh diri terjadi lebih sering dari biasanya pada
orang yang terisolasi secara sosial dan memiliki riwayat keluarga bunuh
diri (percobaan atau nyata). Pria dan wanita homoseksual tampaknya
memiliki tingkat bunuh diri yang lebih tinggi daripada heteroseksual.9
4. Tidak mempunyai pekerjaan
Semakin tinggi status sosial seseorang, semakin besar risiko bunuh
diri, tetapi penurunan status sosial juga meningkatkan risiko. Pekerjaan,
secara umum, melindungi dari bunuh diri. Di antara peringkat pekerjaan,
profesional, khususnya dokter, secara tradisional telah dianggap memiliki
risiko terbesar. Pekerjaan berisiko tinggi lainnya termasuk: penegak
hukum, dokter gigi, seniman, mekanik, pengacara, dan agen asuransi.
Bunuh diri lebih tinggi di kalangan pengangguran daripada di kalangan
pekerja.2,9
5. Kesehatan Fisik
Hubungan kesehatan fisik dan penyakit dengan bunuh diri adalah
signifikan. Perawatan medis sebelumnya tampaknya positif indikator
risiko bunuh diri yang berkorelasi: Sekitar sepertiga dari semua orang yang

13
bunuh diri telah mendapat perhatian medis dalam waktu 6 bulan setelah
kematian, dan penyakit fisik diperkirakan menjadi faktor penting di sekitar
setengah dari semua kasus bunuh diri. Faktor-faktor yang berhubungan
dengan penyakit yang berkontribusi terhadap bunuh diri dan upaya bunuh
diri adalah hilangnya mobilitas, terutama ketika aktivitas fisik penting
untuk pekerjaan atau rekreasi; cacat, khususnya di antara wanita; dan nyeri
kronis yang tak tertahankan. Pasien yang menjalani hemodialisis berada
pada risiko tinggi. Selain efek langsung dari penyakit, efek sekunder efek-
misalnya, gangguan hubungan dan hilangnya status pekerjaan-merupakan
faktor prognostik. Obat-obatan tertentu dapat menyebabkan depresi, yang
dapat menyebabkan bunuh diri dalam beberapa kasus. Di antara obat-
obatan tersebut adalah reserpin, kortikosteroid, antihipertensi, dan
beberapa agen antikanker. Penyakit yang berhubungan dengan alkohol
seperti sirosis, dikaitkan dengan tingkat bunuh diri yang lebih tinggi.9
6. Perilaku Bunuh Diri Sebelumnya
Percobaan bunuh diri di masa lalu mungkin merupakan indikator
terbaik bahwa seorang pasien berada pada peningkatan risiko bunuh diri.
Studi menunjukkan bahwa sekitar 40 persen pasien depresi yang
melakukan bunuh diri telah melakukan upaya sebelumnya. Gambaran
klinis yang paling sering dikaitkan dengan keseriusan niat untuk mati
adalah diagnosis gangguan depresi. Hal ini ditunjukkan oleh penelitian
yang menghubungkan karakteristik klinis pasien bunuh diri dengan
berbagai ukuran keseriusan medis usaha atau niat untuk mati. Juga, skor
niat untuk mati berkorelasi secara signifikan dengan skor risiko bunuh diri
dan jumlah serta tingkat keparahannya gejala depresi. Pasien yang
memiliki niat bunuh diri tinggi lebih sering pada laki-laki, usia tua, lajang
atau terpisah, dan hidup sendiri. Dengan kata lain, pasien depresi yang
serius mencoba bunuh diri lebih mirip dengan korban bunuh diri daripada
mereka yang mencoba bunuh diri.9
7. Gangguan Kesehatan Mental
Hampir 95 persen dari semua orang yang melakukan atau mencoba
bunuh diri memiliki gangguan mental yang terdiagnosis. Gangguan

14
depresi menyumbang 80 persen dari angka ini, skizofrenia menyumbang
10 persen, dan demensia atau delirium sebesar 5 persen. Di antara semua
orang dengan gangguan mental, 25 persen juga ketergantungan alkohol
dan memiliki diagnosis ganda. Orang dengan depresi delusi berada pada
risiko tertinggi bunuh diri. Riwayat perilaku impulsif atau tindakan
kekerasan meningkatkan risiko bunuh diri seperti halnya rawat inap
psikiatri sebelumnya karena alasan apa pun. Diagnosis penyalahgunaan zat
dan gangguan kepribadian antisosial paling sering terjadi pada kasus
bunuh diri pada orang yang berusia kurang dari 30 tahun dan diagnosis
gangguan mood dan gangguan kognitif sebagian besar sering pada mereka
yang berusia 30 tahun ke atas. Stresor terkait dengan bunuh diri pada
mereka yang berusia di bawah 30 tahun adalah perpisahan, penolakan,
pengangguran, dan masalah hukum; stresor penyakit paling sering terjadi
di antara korban bunuh diri di atas usia 30 tahun.9
8. Pasien Psikiatri
Risiko pasien psikiatri untuk bunuh diri adalah 3 sampai 12 kali
lipat dari nonpasien. Tingkat risiko bervariasi, tergantung pada usia jenis
kelamin, diagnosis, dan status rawat inap atau rawat jalan. Pasien psikiatri
laki-laki dan wanita yang pernah menjadi pasien rawat inap risiko bunuh
diri lima dan sepuluh kali lebih tinggi, masing-masing, daripada populasi
umum. Untuk pasien rawat jalan pria dan wanita yang tidak pernah dirawat
di rumah sakit untuk perawatan psikiatri, risiko bunuh diri masing-masing
tiga dan empat kali lebih besar daripada rekan-rekan mereka dalam
populasi umum. Risiko bunuh diri yang lebih tinggi untuk pasien psikiatri
yang telah rawat inap mencerminkan bahwa pasien dengan gangguan jiwa
berat cenderung dirawat di rumah sakit, misalnya pasien dengan gangguan
depresi yang membutuhkan terapi electroconvulsive (ECT). Diagnosis
psikiatri dengan risiko bunuh diri terbesar pada kedua jenis kelamin
adalah: gangguan mood. Mereka dalam populasi umum yang melakukan
bunuh diri cenderung berusia paruh baya atau lebih tua, tetapi penelitian
melaporkan bahwa pasien psikiatri yang melakukan bunuh diri cenderung
berusia relatif muda. Dalam satu studi, rata-rata usia bunuh diri pria adalah

15
29,5 tahun dan wanita 38,4 tahun. Hubungannya kasus bunuh diri dengan
usia yang muda ini sebagian disebabkan oleh dua onset dini, gangguan
mental kronis-skizofrenia dan gangguan depresi mayor berulang-yang
menyumbang lebih dari setengah dari bunuh diri ini.9
Sebagian kecil, tetapi signifikan, persentase pasien psikiatri yang
bunuh diri melakukannya saat mereka dirawat inap. Sebagian besar tidak
membunuh sendiri di bangsal psikiatri itu sendiri, tetapi di halaman rumah
sakit, saat cuti atau cuti akhir pekan, atau saat tidak hadir tanpa cuti. Untuk
kedua jenis kelamin, risiko bunuh diri tertinggi pada minggu pertama
masuk psikiatri; setelah 3 sampai 5 minggu, pasien rawat inap memiliki
risiko yang sama dengan populasi umum. Periode setelah keluar dari
rumah sakit juga merupakan waktu peningkatan risiko bunuh diri. Sebuah
studi tindak lanjut dari 5.000 pasien dipulangkan dari rumah sakit jiwa
Iowa menunjukkan bahwa dalam 3 bulan pertama setelah keluar, tingkat
bunuh diri untuk pasien wanita adalah 275 kali lipat dari semua wanita
Iowa; tingkat bunuh diri untuk pasien laki-laki adalah 70 kali bahwa dari
semua pria Iowa. Studi menunjukkan bahwa sepertiga atau lebih dari
pasien depresi yang melakukan bunuh diri melakukannya dalam waktu 6
bulan setelah meninggalkan rumah sakit; mungkin mereka telah kambuh.
Kelompok risiko utama adalah pasien dengan gangguan depresi,
schizophrenia, dan penyalahgunaan zat dan pasien yang melakukan
kunjungan berulang ke ruang gawat darurat.9

II.2.5 Gangguan Kejiwaan yang Berhubungan dengan Bunuh Diri


a. Gangguan depresif
Sekitar 60 hingga 70 persen korban bunuh diri mengalami depresi
yang signifikan pada saat kematian mereka. Risiko kematian karena bunuh
diri di antara individu dengan gangguan bipolar sekitar 15 hingga 20
persen, dan bunuh diri lebih mungkin terjadi selama keadaan depresi
daripada keadaan manik. Lebih banyak pasien dengan gangguan depresi
melakukan bunuh diri di masa awal penyakit daripada nanti; lebih banyak
pria depresi yang melakukan bunuh diri daripada wanita yang melakukan

16
bunuh diri; dan kemungkinan orang depresi bunuh diri meningkat jika
mereka lajang, berpisah, bercerai, menjanda, atau baru saja berkabung.
Pasien dengan gangguan depresi di masyarakat yang melakukan bunuh diri
cenderung setengah baya atau lebih tua. Isolasi sosial meningkatkan
kecenderungan bunuh diri di antara yang pasien depresi. Temuan ini sesuai
dengan data dari studi epidemiologi yang menunjukkan bahwa orang yang
melakukan bunuh diri mungkin terintegrasi buruk di dalam masyarakat.
Bunuh diri di antara pasien depresi mungkin terjadi awal atau akhir
episode depresi. Seperti pasien psikiatri lainnya, beberapa bulan setelah
keluar dari rumah sakit adalah waktu berisiko tinggi.2,9
b. Skizofrenia
Risiko bunuh diri tinggi di antara pasien dengan skizofrenia adalah
hingga 10 persen meninggal karena bunuh diri. Di Amerika Serikat,
diperkirakan 4.000 pasien dengan skizofrenia bunuh diri setiap tahun.
Onset skizofrenia biasanya pada masa remaja atau dewasa awal, dan
sebagian besar pasien yang melakukan bunuh diri melakukannya selama
beberapa tahun pertama penyakit mereka; Oleh karena itu, pasien dengan
skizofrenia yang bunuh diri masih muda. Dengan demikian, faktor risiko
bunuh diri di antara pasien dengan skizofrenia adalah usia muda, jenis
kelamin laki-laki, usaha bunuh diri sebelumnya, kerentanan terhadap
gejala depresi, dan baru keluar dari sebuah rumah sakit. Setelah keluar dari
rawat inap, mereka mungkin mengalami kesulitan baru atau kembali ke
kesulitan yang sedang berlangsung. Akibatnya, mereka menjadi sedih,
mengalami perasaan tidak berdaya dan putus asa, mencapai keadaan
depresi, dan akhirnya bertindak ke arah ide-ide bunuh diri. Hanya sebagian
kecil yang melakukan bunuh diri karena halusinasi berupa suruhan atau
instruksi dan untuk menghindari delusi penganiayaan. Hingga 50 persen
kasus bunuh diri di antara pasien dengan skizofrenia terjadi selama
beberapa minggu hingga bulan pertama setelah keluar dari rumah sakit;
hanya sebagian kecil yang melakukan bunuh diri selama menjadi pasien
rawat inap.2,9
c. Ketergantungan Alkohol

17
Hingga 15 persen dari semua ketergantungan alkohol orang bunuh
diri. Tingkat bunuh diri bagi mereka yang alkoholik adalah diperkirakan
sekitar 270 per 100.000 per tahun; di Amerika Serikat, antara 7.000 dan
13.000 orang yang ketergantungan alkohol melakukan bunuh diri setiap
tahun. Sekitar 80 persen dari semua korban bunuh diri yang bergantung
pada alkohol adalah laki-laki, persentase yang sebagian besar
mencerminkan rasio jenis kelamin untuk ketergantungan alkohol. Korban
bunuh diri yang ketergantungan alkohol cenderung berkulit putih, setengah
baya, belum menikah, tidak memiliki teman, terisolasi secara sosial.
Hingga 40 persen pernah melakukan percobaan bunuh diri sebelumnya.
Hingga 40 persen dari semua bunuh diri oleh orang yang ketergantungan
alkohol terjadi dalam waktu satu tahun setelah rawat inap terakhir pasien;
pasien ketergantungan alkohol yang lebih tua berada di risiko tertentu
selama periode pasca pelepasan. Studi menunjukkan bahwa banyak pasien
ketergantungan alkohol yang akhirnya melakukan bunuh diri dinilai
mengalami depresi selama rawat inap dan hingga dua pertiga dinilai
memiliki gejala gangguan mood selama periode di mana mereka
melakukan bunuh diri. Sebanyak 50 persen dari semua korban bunuh diri
yang ketergantungan alkohol telah mengalami kehilangan yang dekat atau
hubungan kasih sayang selama setahun sebelumnya. Kehilangan hubungan
interpersonal seperti itu maupun jenis lain dari peristiwa kehidupan yang
tidak diinginkan mungkin mengarahkan penderita ke ketergantungan
alkohol dan berkontribusi pada pengembangan gejala gangguan mood,
yang sering muncul dalam beberapa minggu dan bulan sebelum bunuh
diri. Kelompok terbesar dari pasien laki-laki yang ketergantungan alkohol
terdiri dari: mereka yang memiliki gangguan kepribadian antisosial terkait.
Penelitian menunjukkan bahwa pasien tersebut sangat mungkin untuk
mencoba bunuh diri; menyalahgunakan zat lain; untuk menunjukkan
perilaku impulsif, agresif, dan kriminal; dan ditemukan di antara korban
bunuh diri yang ketergantungan alkohol.2,9
d. Gangguan Kepribadian

18
Diperkirakan 5 persen pasien dengan gangguan kepribadian
antisosial melakukan bunuh diri. Bunuh diri tiga kali lebih umum di antara
narapidana daripada di antara populasi umum. Lebih dari sepertiga tahanan
yang bunuh diri telah menjalani perawatan psikiatri sebelumnya, dan
setengahnya pernah membuat ancaman atau upaya bunuh diri
sebelumnya.9
e. Gangguan Kecemasan
Upaya bunuh diri yang belum selesai dilakukan oleh hampir 20
persen pasien dengan gangguan panik dan fobia sosial. Namun, jika
depresi adalah fitur yang terkait, risiko selesai bunuh diri meningkat. 9

II.2.6 Panduan Wawancara dan Psikiatri2


a. Saat wawancara, pasein dapat saja mengatakan langsung adanya pikiran
atau ide bunuh diri. Bila tidak, bisa langsung ditanyakan. Perlu diingat
bahwa membicarakan bunuh diri dalam situasi klinik akan mendorong
terjadinya hal tersebut adalah tidak benar.

Mulai dengan pertanyaan berikut:

- Apakah anda pernah merasa ingin menyerah saja?


- Apakah anda pernah merasa bahwa lebih baik anda mati saja?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini umumnya dapat diterima oleh
hampir setiap orang dan tidak mengandung stigma
b. Kemudian tanyakan isi pikiran pasien. Langsung gunakan kata-kata seperti
“membunuh diri” atau “mati”, bukan “menyakiti diri”, agar pasien tidak
bingung, karena sebagian besar pasien tidak ingin menyakiti diri sendiri
meskipun mereka ingin membunuh dirinya sendiri.
- Berapa sering pikiran-pikiran bunuh diri ini muncul?
- Apakah pikiran-pikiran tentang bunuh diri ini meningkat?
- Apakah anda hanya memikirkan kematian, ataukah anda sudah
memikirkan secara pasti bagaimana anda akan membunuh diri anda?
c. Selidiki:
- Apakah pasien bisa mendapatkan alat atau cara untuk melakukan
rencana bunuh dirinya?

19
- Apakah mereka sudah mengambil langkah-langkah aktif, misalnya
mengumpulkan obat, menyelesaikan segala urusannya?
- Seberapa pesimiskah mereka?
- Apakah mereka bisa membayangkan atau memikirkan bahwa
kehidupannya dapat membaik?
- Pertanyaan terakhir ini dapat membantu assessment dan terapi, karena
pasien dapat mengajukan suatu alternatif untuk memecahkan
masalahnya.
- Jika tidak, apakah merasa masa depannya suram, tak ada harapan lagi?
- Jika ya, apakah ketakutannya itu rasional atau tidak?
- Jika pasien tidak kooperatif, cari data dari orang-orang penting dalam
kehidupannya.

II.2.7 Evaluasi dan Penatalaksanaan


Ketika sedang mengevaluasi pasien dengan kecenderungan bunuh
diri, jangan tinggalkan mereka sendiri di ruangan. Singkirkan benda-
benda yang dapat membahayakan dari ruangan tersebut.2
Ketika mengevaluasi pasien yang baru melakukan percobaan
bunuh diri, buatlah penilaian apakah hal itu direncanakan atau dilakukan
secara impulsif. Selain itu, tentukan tingkat letalitasnya, kemungkinan
pasien dipergoki ketika sedang melakukan tindakan itu (mereka
melakukannya sembunyi-sembunyi atau memperingati orang lain dulu),
reaksi pasien ketika diselamatkan (lega atau kecewa), atau apakah faktor-
faktor yang mendorong tindakan itu sudah berubah.2,9
Penatalaksanaan tergantung pada diagnosis yang ditegakkan.
Pasien dengan depresi berat boleh saja berobat jalan asalkan keluarganya
dapat mengawasi pasien secara ketat di rumah dan bahwa terapi dapat
dilakukan segera. Jika tidak, diperlukan rawat inap.2,9
Ide bunuh diri pada pasien-pasien alkoholik umumnya akan hilang
sesudah mereka menghentikan penggunaan alkohol itu. Umumnya tak ada
terapi spesifik kasus-kasus ini. Jika depresinya menetap setelah gejala
putus zatnya teratasi, pertimbangkan kemungkinan depresi berat. Semua

20
pasien bunuh diri yang masuk dalam keadaan intoksikasi harus dinilai
kembali setelah mereka terbebas dari zat itu.2,9
Ide bunuh diri pada pasien skizofrenia harus dianggap serius,
karena biasanya mereka menggunakan cara yang keras atau sadis dan
aneh dengan tingkat letalitas yang tinggi.2
Pasien dengan gangguan kepribadian akan berespon dengan baik
bila mereka ditangani secara empatik, dan dibantu untuk memecahkan
masalahnya dengan cara rasional dan bertanggung jawab (biasanya
mereka sendiri mempunyai andil dalam timbulnya krisis tersebut).
Manipulasi lingkungan dengan mengikutsertakan keluarga dan teman-
temannya biasnaya akan membantunya mengatasi krisis.2,11
Rawat inap jangka panjang diperlukan bagi pasien yang cenderung
dan mempunyai kebiasaan melukai diri sendiri, serta pascasuicides.
Setelah rehabilitasi jangka panjang ini diperlukan periode stabilisasi
singkat.2,11

II.2.8 Terapi Psikofarmaka


Pemberian terapi psikofarmaka tergantung daripada diagnosis
dasar pasien. Pasien dapat diberikan antidepresan atau antipsikotik bila
diperlukan. Beberapa obat seperti risperidone memiliki efek antipsikotik
dan antidepresan dan berguna untuk pasien yang memiliki gejala depresi
dengan psikotik (Sarkhel, 2009).9,11
Seseorang yang sedang dalam krisis karena baru ditinggal mati
atau baru mengalami suatu kejadian yang jangka waktunya tak lama,
biasanya akan berfungsi lebih baik setelah mendapat tranquilizer ringan,
terutama bila tidurnya terganggu. Obat pilihan adalah golongan
benzodiazepin, misalnya lorazepam 3x1mg sehari, selama 2 minggu.2,9
Hati-hati memberikan benzodiazepines pada pasien yang hostil,
karena penggunaan benzodiazepin secara teratur dapat meningkatkan
iritabilitas pasien. Jangan memberikan obat dalam jumlah banyak
sekaligus kepada pasien (resepkan sedikit demi sedikit saja) dan pasien
harus kontrol dalam beberapa hari.2,9

21
Pemberian antidepresan biasanya tidak dimulai di ruang gawat
darurat, meskipun biasanya terapi definitif pasien-pasien yang
mempunyai kecenderungan bunuh diri adalah antidepresan. Boleh
diberikan di instalasi gawat darurat asal dibuat perjanjian kontrol
keesokan harinya secara pasti.2

II.2.9 Terapi non Farmakologi


Pada pasien yang melakukan percobaan bunuh diri terkait atau
dieksaserbasi oleh stress psikososial yang berat maka psikoterapi suportif
dapat diberikan pada pasien untuk memulihkan strategi kopingnya dan
melihat perspektif serta berbagai pilihan lain selain bunuh diri. Berikan
pertanyaan yang bersifat empatik. Terapis harus menghindari pertanyaan
yang sifatnya memojokkan, introgratif, serta menganggap persoalan
pasien adalah suatu hal yang ringan. Pada pasien dengan strategi koping
yang maladaptif maka dapat diberikan intervensi psikoterapi yang
berfokus pada pengembangan ketrampilan dalam penyelesaian masalah
seperti cognitive behaviour therapy.2

II.2.10 Inpatient versus Outpatient Treatment


Tidak semua pasien dengan ide bunuh diri memerlukan rawat
inap, beberapa dapat diobati secara rawat jalan. Tetapi tidak adanya
sistem dukungan sosial yang kuat, riwayat perilaku impulsif, dan rencana
tindakan bunuh diri merupakan indikasi rawat inap. Untuk memutuskan
apakah pengobatan rawat jalan layak, dokter harus menggunakan
pendekatan klinis langsung. Minta pasien yang dianggap bunuh diri untuk
setuju untuk menelepon ketika mereka menjadi tidak yakin tentang
kemampuan mereka untuk mengendalikan impuls bunuh diri mereka.
Pasien yang dapat membuat kesepakatan dengan dokter yang memiliki
hubungan dengan mereka menegaskan kembali keyakinan bahwa mereka
memiliki kekuatan yang cukup untuk mengendalikan impuls tersebut dan
untuk mencari bantuan.9,11

22
Dengan mendapatkan kesepakatan dari pasien, dokter harus dapat
bersedia untuk pasien 24 jam per hari. Jika pasien yang dianggap serius
ingin bunuh diri tidak dapat membuat komitmen, rawat inap darurat
segera diindikasikan; baik pasien maupun keluarga pasien harus diberi
nasehat. Namun, jika pasien harus dirawat secara rawat jalan, terapis
harus mencatat nomor telepon rumah dan kantor pasien untuk referensi
darurat; kadang-kadang, seorang pasien menutup telepon secara tidak
terduga selama panggilan larut malam atau hanya memberikan nama ke
layanan penjawab. Jika pasien menolak rawat inap, keluarga harus
bertanggung jawab untuk bersama pasien 24 jam sehari.9,11
Banyak psikiatri percaya bahwa setiap pasien yang pernah
mencoba untuk bunuh diri harus di rawat inap. Meskipun sebagian besar
pasien ini secara sukarela masuk rumah sakit, bahaya bagi diri sendiri
adalah salah satu dari sedikit indikasi jelas yang saat ini dapat diterima di
semua negara bagian untuk rawat inap paksa. Di rumah sakit, pasien dapat
menerima obat antidepresan atau antipsikotik sesuai indikasi; terapi
individu, terapi kelompok, dan terapi keluarga tersedia, dan pasien
menerima dukungan sosial dan rasa aman dari rumah sakit. Tindakan
terapeutik lainnya tergantung pada diagnosis yang mendasari pasien.
Misalnya, jika ketergantungan alkohol adalah masalah yang terkait,
pengobatan harus diarahkan untuk mengurangi kondisi itu.9,11
Meskipun pasien yang diklasifikasikan sebagai bunuh diri akut
mungkin memiliki prognosis yang baik, pasien dengan bunuh diri kronis
sulit diobati, dan mereka menguras tenaga perawat. Pengamatan terus-
menerus oleh perawat khusus, pengasingan, dan pengekangan tidak dapat
mencegah bunuh diri ketika pasien tegas. ECT mungkin diperlukan untuk
beberapa pasien depresi berat, yang mungkin memerlukan beberapa
kursus pengobatan.9,11
Tindakan yang berguna untuk pengobatan pasien rawat inap yang
mengalami depresi bunuh diri termasuk mencari pasien dan barang-
barang mereka pada saat kedatangan di bangsal untuk benda-benda yang
dapat digunakan untuk bunuh diri dan mengulangi pencarian pada saat

23
eksaserbasi ide bunuh diri. Idealnya, pasien rawat inap yang depresi
karena bunuh diri harus dirawat di bangsal terkunci di mana jendelanya
tahan pecah, dan kamar pasien harus ditempatkan di dekat stasiun perawat
untuk memaksimalkan pengamatan oleh staf perawat. Tim perawatan
harus menilai seberapa banyak membatasi pasien dan apakah akan
melakukan pemeriksaan rutin atau menggunakan pengamatan langsung
terus menerus.9,11
Pengobatan yang kuat dengan obat antidepresan atau antipsikotik
harus dimulai, tergantung pada gangguan yang mendasarinya. Beberapa
obat (misalnya, risperidone (Risperdal)) memiliki efek antipsikotik dan
antidepresan dan berguna ketika pasien memiliki tanda dan gejala psikosis
dan depresi.9,11
Psikoterapi suportif oleh seorang psikiater menunjukkan perhatian
dan dapat meringankan beberapa penderitaan intens pasien. Beberapa
pasien mungkin dapat menerima gagasan bahwa mereka menderita
penyakit yang dikenali dan bahwa mereka mungkin akan sembuh total.
Pasien harus dilarang membuat keputusan besar dalam hidup saat mereka
mengalami depresi bunuh diri, karena keputusan tersebut sering
ditentukan secara tidak sehat dan mungkin tidak dapat dibatalkan.
Konsekuensi dari keputusan buruk seperti itu dapat menyebabkan
penderitaan dan kesengsaraan lebih lanjut ketika pasien telah pulih.2,9,11
Pasien yang pulih dari depresi bunuh diri berada pada risiko
tertentu. Saat depresi berkurang, pasien menjadi bersemangat dan, dengan
demikian, mampu mewujudkan rencana bunuh diri mereka (bunuh diri
paradoks). Komplikasi lebih lanjut adalah efek pengaktifan obat
serotonergik, seperti fluoxetine (Prozac), yang merupakan antidepresan
yang efektif, terutama pada pasien yang mengalami depresi bunuh diri.
Agen tersebut dapat meningkatkan penarikan psikomotor, sehingga
memungkinkan pasien untuk bertindak berdasarkan impuls bunuh diri
yang sudah ada sebelumnya karena mereka memiliki lebih banyak energi.
Kadang-kadang, pasien depresi, dengan atau tanpa pengobatan, tiba-tiba
tampak berdamai dengan diri mereka sendiri karena mereka telah

24
mencapai keputusan rahasia untuk bunuh diri. Dokter harus sangat curiga
terhadap perubahan klinis yang dramatis, yang mungkin menandakan
upaya bunuh diri. Meskipun jarang, beberapa pasien berbohong kepada
psikiater tentang niat bunuh diri mereka, sehingga merusak penilaian
klinis yang paling hati-hati.2,9
Seorang pasien dapat melakukan bunuh diri bahkan ketika di
rumah sakit. Menurut sebuah survei, sekitar 1 persen dari semua kasus
bunuh diri dilakukan oleh pasien yang dirawat di rumah sakit umum
medis-bedah atau psikiatri, tetapi tingkat bunuh diri tahunan di rumah
sakit jiwa hanya 0,003 persen.11
II.2.11 Bunuh Diri Yang Tak Terhindarkan
Tidak semua bunuh diri dapat dicegah; beberapa mungkin tak
terelakkan. Faktanya, lebih dari sepertiga dari semua kasus bunuh diri
terjadi pada orang yang menerima pengobatan untuk gangguan kejiwaan,
paling sering depresi, gangguan bipolar, atau skizofrenia. Bukan tidak
masuk akal untuk berasumsi bahwa beberapa dari pasien tersebut
menerima perawatan terbaik yang tersedia, tetapi bunuh diri mereka tidak
dapat dicegah.2,9,11
Beberapa dokter percaya bahwa melihat bunuh diri tertentu
sebagai hal yang tak terhindarkan dapat menyebabkan nihilisme
terapeutik, yang lain merasa itu dapat menyebabkan dokter dan pasien
kehilangan harapan. Tetapi bunuh diri yang tak terhindarkan hanya dapat
ditentukan secara a posteriori, setelah semua fakta yang diketahui tentang
bunuh diri tertentu telah dianalisis dan disintesis. Dan jika tidak dapat
diprediksi tidak ada alasan untuk nihilisme terapeutik atau upaya
pengobatan untuk dipengaruhi secara negatif; memang melihat beberapa
bunuh diri sebagai kemungkinan yang tak terhindarkan dapat mendorong
dokter untuk meningkatkan semangat terapeutik mereka untuk mencegah
atau menunda hal yang tak terhindarkan terjadi.9,11
Kriteria tertentu harus dipenuhi agar bunuh diri tertentu dianggap
tak terelakkan. Yang paling penting adalah riwayat genetik yang kuat dari
bunuh diri pada satu atau lebih anggota keluarga serta beban genetik yang

25
berat untuk penyakit mental. Meskipun diatesis genetik yang kuat untuk
bunuh diri dikaitkan dengan bunuh diri total, itu tidak cukup. Faktor risiko
lain juga harus ada, banyak, dan paling ujung dari patologi yang
mendalam. Di antara banyak faktor risiko (seperti dijelaskan di atas)
adalah riwayat pelecehan fisik, emosional, atau seksual, terutama selama
masa kanak-kanak; perceraian; pengangguran; jenis kelamin laki-laki;
baru keluar dari rumah sakit jiwa; percobaan bunuh diri sebelumnya;
alkoholisme atau penyalahgunaan zat lainnya; riwayat serangan panik;
dan adanya penyakit medis. Pikiran bunuh diri yang terus-menerus,
terutama yang disertai dengan rencana, sangat berbahaya. Seperti
disebutkan di atas, keniscayaan menganggap bahwa faktor risiko ini
banyak, parah, dan hadir dalam derajat yang parah.9,11
Akhirnya, untuk mempertimbangkan bunuh diri yang tak
terhindarkan, pasien harus menerima standar pengobatan tertinggi dan
pengobatan itu pasti gagal. Keniscayaan mengasumsikan, di antara
banyak faktor lain, bahwa segala sesuatu yang bisa dilakukan telah
dilakukan dan dilakukan dengan benar-namun pasien meninggal.9,11
Sampai saat ini, tidak ada data yang cukup untuk memprediksi
keniscayaan bunuh diri tertentu. Paradigma keniscayaan, bagaimanapun,
dapat berfungsi sebagai stimulus untuk meningkatkan analisis akar
masalah ke dalam fenomena ini. Sejarah kedokteran penuh dengan
gangguan yang tak terhindarkan menyebabkan kematian tetapi sekarang
dapat disembuhkan dan bunuh diri mungkin suatu hari bergabung dengan
barisan itu.9,11
II.2.12 Bunuh Diri yang Melibatkan Kematian Lainnya
Victim-Precipitated Homocide
Fenomena menggunakan orang lain, biasanya polisi, untuk
membunuh diri sendiri sudah dikenal oleh aparat penegak hukum.
Digambarkan oleh Marvin Wolfgang, situasi klasik dicontohkan oleh
seseorang yang memegang pompa bensin atau toko sepanjang malam dan
mengacungkan pistol, yang dia ancam akan digunakan pada polisi ketika
mereka tiba. Mereka kemudian menembaknya, berpikir bahwa itu untuk

26
membela diri. Psikologi para korban seperti itu tidak jelas, kecuali bahwa
mereka tampaknya percaya bahwa inilah satu-satunya cara mereka bisa
mati.9,11
Pembunuhan-bunuh diri
Pembunuhan-bunuh diri menerima perhatian yang tidak
proporsional karena mereka dramatis dan tragis. Kecuali jika itu adalah
pakta antara dua orang dewasa yang benar-benar setuju, peristiwa-
peristiwa semacam itu membuktikan banyaknya agresi yang melekat
dalam banyak bunuh diri-selain depresi. Lebih jauh lagi, apa yang tampak
sebagai sebuah pakta seringkali, pada kenyataannya, lebih merupakan
paksaan (atau pembunuhan secara langsung) daripada pakta sejati di
antara orang-orang yang sederajat. Perjanjian cenderung lebih sering
dilakukan oleh wanita atau pasangan lanjut usia.9,11
Bunuh Diri Teroris.
Bunuh diri pengebom teroris mewakili kategori khusus
pembunuhan bunuh diri, di mana tidak ada pertanyaan tentang kesediaan
pihak korban dan di mana korban tidak diketahui oleh pelaku kecuali
dalam pengertian umum kelompok (misalnya, orang Yahudi, orang
Barat). Beberapa ahli bunuh diri tidak mengklasifikasikan ini sebagai
bunuh diri "benar" karena mereka berbeda dalam banyak domain dari
bunuh diri biasa. Meskipun banyak teroris direkrut dari kelas yang lebih
miskin dan berpendidikan rendah, namun cukup mengejutkan bahwa
proporsi yang sangat besar dari pengebom teroris justru berasal dari kelas
menengah, berpendidikan tinggi, dan mungkin populasi yang kurang
fundamentalis. Karena bunuh diri berarti mengambil nyawa seseorang,
sulit untuk mengecualikan kematian teroris ini dari klasifikasi seperti
itu.9,11

II.2.13 Pencegahan
Sampai saat ini belum didapatkan penyebab yang pasti dari
bunuh diri. Bunuh diri merupakan interaksi yang kompleks dari faktor-
faktor genetik, organobiologik, psikologik, dan sosiokultural. Faktor-faktor

27
tersebut dapat saling menguatkan atau melemahkan terjadinya tindakan
bunuh diri pada seorang individu.3
Bunuh diri dapat dicegah dan semua anggota masyarakat dapat
melakukan tindakan yang akan menyelamatkan kehidupan dan mencegah
bunuh diri. Sangat dibutuhkan kerjasama yang erat antara individu,
keluarga, masyarakat, profesi, dan pemerintah untuk bersama
mengatasinya.3
Pencegahan bunuh diri menurut Conwell terdiri atas pencegahan
primer, sekunder dan tertier. Pencegahan primer adalah suatu upaya
pencegahan terjadinya perilaku bunuh diri atau keadaan yang berkembang
menjadi menjadi upaya bunuh diri. Pencegahan sekunder adalah suatu
upaya pencegahan dengan cara menemukan sedini mungkin krisis bunuh
diri dan melakukan tindakan agar tidak berlanjut menjadi bunuh diri.
Sedangkan pencegahan tertier adalah tindakan yang ditujukan untuk
menyelamatkan sesorang yang melakukan bunuh diri, mengurangi gejala
psikiatris dan penyakit sosial pada kelompok risiko.3
Pencegahan terhadap usaha bunuh diri pada remaja perlu
dilakukan, mengingat remaja merupakan kelompok usia berisiko tingi
melakukan bunuh diri. Ide bunuh diri, ancaman, dan percobaan bunuh diri
memerlukan prioritas tinggi dan merupakan hal serius apapun tujuannya.
Salah satu langkah preventif awal yang dapat dilakukan adalah menggali
tentang adanya ide bunuh diri pada remaja. Remaja harus ditanyakan
secara langsung tentanng pikiran bunuh diri, dimana pertanyaan tersebut
membuat remaja merasa diperhatikan dan memberikan kesempatan pada
mereka untuk mengungkapkan masalah.3,11
Upaya pencegahan yang dapat dilakukan oleh keluarga dan
masyarakat adalah mengetahui ciri atau faktor risiko individu yang rentan
untuk melakukan bunuh diri atau percobaan bunuh diri. Jika melihat
perubahan drastis perilaku seseorang yang merupakan tanda peringatan
yang umumnya terjadi pada orang yang memiliki pikiran untuk bunuh diri,
jangan ragu untuk menanyakan kondisinya.3,11

28
Komitmen, kepekaan, pengetahuan dan kepedulian terhadap
orang lain, keyakinan bahwa hidup ini adalah anugerah yang harus
dipelihara sebaik-baiknya merupakan modal dasar untuk membantu
mencegah suatu tindakan bunuh diri.3
Dengan upaya yang tepat, bunuh diri dapat dicegah. Upaya pencegahan
bunuh diri membutuhkan strategi yang komprehensif dan melibatkan lintas
sektor baik pemerintah maupun masyarakat.3

II.3 KESIMPULAN
Bunuh diri adalah segala perbuatan dengan tujuan untuk membinasakan
dirinya sendiri yang sengaja dilakukan oleh seseorang yang tahu akan akibatnya,
dilakukan dalam waktu singkat. Menurut Durkheim, bunuh diri terbagi menjadi 3
tipe yaitu egoistik, altruistik, anomik.
Penyebab bunuh diri ada beberapa faktor yaitu faktor psikologis, faktor
biologis dan faktor sosiologis. Penyebab lain bunuh diri yaitu adanya harapan
untuk reuni dan fantasi, merupakan jalan untuk mengakhiri keputusasaan dan
ketidakberdayaan, tangisan untuk meminta bantuan, dan sebuah tindakan untuk
mencari kehidupan yang lebih baik.
Motif bunuh diri dapat digolongkan dalam kategori sebab, yaitu dilanda
keputusasaan dan depresi, cobaan hidup dan tekanan lingkungan, gangguan
kejiwaan, himpitan ekonomi atau kemiskinan (harta/ iman,/ilmu), dan
penderitaan akibat penyakit yang berkepanjangan.
Terapi farmakologi dapat diberikan tergantung daripada diagnosis dasar
pasien. Pasien dapat diberikan antidepresan atau antipsikotik bila diperlukan.
Pada pasien yang melakukan percobaan bunuh diri terkait atau dieksaserbasi oleh
stress psikososial yang berat maka psikoterapi suportif dapat diberikan pada
pasien untuk memulihkan strategi kopingnya dan melihat perspektif serta
berbagai pilihan lain selain bunuh diri.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Baldacara L, da Silva AG, Pereira LA, Malloy-Diniz L, Tung TC. The


managements of psychiatric emergencies in situations of public calamity. São Paulo:
Frontiers in Psychiatry; 2021;12: 556792.
2. Elvira SD,Hadisukanto G. Editor. Buku Ajar Psikiatri Edisi Ketiga. Edisi ketiga.
2018. p. 392- 409.
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Situasi dan Pencegahan Bunuh Diri.
Pusat Data dan Informasi. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia;
2019. p. 1–12.
4. Jong hyun shinee bunuh diri karena depresi. Made for Minds. 2017. Di unduh dari
https://www.dw.com/id/jong-hyun-shinee-bunuh-diri-karena-depresi/a-41858973.
5. Wareza M. Sulli f(x) bunuh diri, netizen julid & kejamnya industri k-pop. CNBS
Indonesia. 209. Di unduh dari
https://www.cnbcindonesia.com/news/20191019172434-4-108342/sulli-f-x--bunuh-
diri-netizen-julid-kejamnya-industri-kpop.
6. Kodrati F. Bintang film spiderman 3 tewas bunuh diri. Showbiz. Di unduh dari
https://www.viva.co.id/showbiz/59889-bintang-film-spiderman-3-tewas-bunuh-diri.
7. AFP. Avici dilaporkan meninggal karena bunuh diri. CNN Indonesia. Di unduh dari
https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20180502092432-234-295014/avicii-
dilaporkan-meninggal-karena-bunuh-diri.
8. Mirantri K, Khairina. Kedaruratan psikiatri (fokus pada intervensi psikososial).
Surabaya; Journal Unair. Surabaya: Fakultas Kedokteran Airlangga. 2017. p. 21-31.
9. Sadock, BJ, Sadock, VA, Ruiz P. Kaplan and sadock’s synopsis of psychiatry
behavioral science clinical psychiatry 11th Edition. 2015. p. 763-773.
10. Maramis, WF, Maramis, AA. Catatan ilmu kedokteran jiwa. Edisi 2. Surabaya:
Airlangga University Press.
11. Sadock, BJ, Sadock VA. Kaplan and Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi 2.
Edisi Ke-2. 2019. p. 361.

30

Anda mungkin juga menyukai