Anda di halaman 1dari 15

Dispepsia Fungsional

Adhe William FanggidaE


102014270
Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Terusan Arjuna no.6, Jakarta Barat
e-mail :adhewilliam@gmail.com

Pendahuluan

Dispepsia merupakan istilah yang digunakan untuk suatu sindrom atau kumpulan
gejala/ keluhan yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual,
muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, perut rasa penuh/begah. Keluhan ini tidak perlu selalu
semua ada pada tiap pasien, dan bahkan pada satu pasien pun keluhan dapat berganti atau
bervariasi baik dari segi jenis keluhan maupun kualitasnya. Terdapat berbagai definisi tentang
dispepsia. Salah satunya yang dapat dipakai adalah dyspepsia refers to pain or discomfort
centered in the upper abdomen. Definisi ini berdasarkan kriteria Roma II tahun 1999-2000.
Jadi dispepsia bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan suatu sindrom yang harus dicari
penyebabnya. Secara garis besar, penyebab sindrom dispepsia ini dibagi menjadi 2 kelompok,
yaitu kelompok penyakit organik ( seperti tukak peptik, gastritis, batu kandung empedu, dll )
dan kelompok dimana sarana penunjang diagnostik yang konvensional atau baku tidak dapat
memperlihatkan adanya gangguan patologis struktural atau biokimiawi. Atau dengan kata
lain, kelompok ini disebut sebagai gangguan fungsional.

Anamnesis

Anamnesis yang akurat untuk memperoleh gambaran keluhan yang terjadi,


karakteristik keterkaitan dengan penyakit tertentu, keluhan bersifat lokal atau manifestasi
gangguan sistemik. Harus terjadi persepsi yang sama untuk menginterpretasikan keluhan
antara dokter dan pasien yang dihadapinya.

Pada anamnesis perlu ditanyakan :

1
o Identitas dan pekerjaan
o Umur
o Jenis kelamin
o Keluhan utama/ Keadaan umum yang dirasakan
o Riwayat penyakit sekarang
o Riwayat penyakit dahulu
o Riwayat keluarga
o Riwayat sosial
o Riwayat obat yang sudah digunakan

Berdasarkan lokasi nyeri, dapat dipikirkan kemungkinan kelainan yang terjadi :


Lokasi nyeri Dugaan sumber nyeri
Epigastrium gaster, pankreas, duodenum
Periumbilikus usus halus, duodenum
Kuadran kanan atas hati, duodenum, kantung empedu
Kuadran kiri atas pankreas, limpa, gaster, kolon, ginjal

Perlu diketahui kualitas nyeri yang dialami pasien. Namun hal ini tidak mudah
terutama di Indonesia dimana ekpresi bahasa tidak sama untuk menggambarkan rasa nyeri.
Pada dasarnya harus dibedakan antara nyeri kolik seperti obstruksi intestinal dan bilier, nyeri
yang bersifat tumpul seperti pada batu ginjal, rasa seperti diremas pada kolesistis, rasa panas
pada esofagitis, dan nyeri tumpul yang menetap pada apendisitis.
Intensitas nyeri juga dapat membantu dalam diagnosis penyakit. Pada keadaan kaut,
intensitas nyeri dapat diurutkan dari yang paling hebat sampai nyeri yang cukup ringan sesuai
dengan urutan penyakit berikut : perforasi ulkus, pankreatitis akut, kolik ginjal, obstruksi
ileus, kolesistis, apendisitis, tukak peptik, gastroenteritis dan esofagitis. Pada nyeri kronik
banyak faktor psikologis yang berperan sehingga lebih sulit dalam menentukan diagnosis.3

Pemeriksaan Fisik dan Penunjang

Setelah melakukan anamnesis dan mendapatkan informasi yang cukup dari pasien.
Dokter tentu mendapatkan gambaran penyakit yang diderita pasien tersebut tetapi perlu
dilakukan pemeriksaan fisik dan penunjang untuk mendapatkan diagnosis yang tepat
sehingga tindakan terapi/penatalaksanaan dapat diberikan secara optimal.

2
Pada dasarnya langkah pemeriksaan penunjang diagnostik adalah untuk mengeksklusi
gangguan organik atau biokimiawi. Pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi kelainan intra
abdomen atau intra lumen yang padat ( misalnya tumor ), organomegali, atau nyeri tekan
yang sesuai dengan adanya rangsang peritoneal/ peritonitis. Pemeriksaan laboratorium untuk
mengidentifikasi adanya faktor infeksi ( lekositosis ), pankreatitis ( amilase, lipase ),
keganasan saluran cerna ( CEA, CA19-9, AFP ). Pemeriksaan ultrasonografi untuk
mengidentifikasi kelainan pada intra abdomen, misalnya adanya batu kandung empedu,
kolesistis, sirosis hati dan sebagainya.

Pemeriksaan endoskopi ( esofagogastroduodenoskopi ), pemeriksaan ini sangat


dianjurkan untuk dikerjakan bila dispepsia tersebut disertai oleh keadaan yang disebut alarm
symptoms yaitu adanya penurunan berat badan, anemia, muntah hebat dengan dugaan adanya
obstruksi, muntah darah, hematemesis melena, atau keluhan sudah berlangsung lama dan
terjadi pada usia lebih dari 45 tahun. Keadaan ini sangat mengarah pada gangguan organik,
terutama keganasan, sehingga memerlukan eksplorasi diagnosis secepatnya. Teknik
pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi dengan akurat adanya kelainan struktural/ organik
intra lumen saluran cerna bagian atas seperti adanya tukak/ ulkus, tumor dan sebagainya serta
dapat disertai pengambilan contoh jaringan ( biopsi ) dari jaringan yang dicurigai
memperoleh gambaran histopatologiknya atau untuk keperluan lain seperti mengidentifikasi
adanya kuman Helicobacter pylori.

Pemeriksaan radiologi, dalam hal ini pemeriksaan barium meal adalah pemeriksaan
untuk mengidentifikasi kelainan struktural dinding/ mukosa saluran cerna bagian atas seperti
adanya tukak atau gambaran ke arah tumor. Pemeriksaan ini terutama bermanfaat pada
kelainan yang bersifat penyempitan/ stenotik/ obstruktif dimana skop endoskopi tidak dapat
melewatinya.

Pada umumnya pemeriksaan fisik dan laboratorium bersifat tidak khas atau tidak
spesifik karena dalam aplikasi klinisnya jarang digunakan karena tidak memberikan
gambaran yang tepat dalam rangka mencari dasar patofisiologi atau mencari dasar penyebab
penyakit. Tetapi pemeriksaan endoskopi dan radiologi sangat penting dalam indikasi
dispepsia yang disertai alarm symptoms.1

Diagnosis

Working Diagnosis ( WD )

3
 Dispepsia fungsional

Untuk menentukan diagnosis dispepsia diperlukan anamnesis yang cermat, sebab


tindakan-tindakan yang pertama tergantung pada keluhan yang dikemukakan penderita.
Untuk lengkapnya diajukan pula pertanyaan yang mungkin dapat menyatakan keadaan
kejiwaan penderita. Perlu ditanyakan pula kemungkinan adanya dispepsia organik.
Pemeriksaan fisik dan laboratoris biasanya tidak menunjang banyak untuk dispepsia
fungsional.

Seperti dikemukakan diatas bahwa kasus dispepsia setelah ekplorasi penunjang


diagnostik, akan terbukti apakah disebabkan gangguan patologis organik atau bersifat
fungsional. Dalam konsensus Roma III ( tahun 2006 ) yang khusus membicarakan tentang
kelainan gastrointestinal fungsional, dispepsia fungsional didefinisikan sebagai :

1. Adanya satu atau lebih keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, nyeri ulu
hati/ epigastrik, rasa terbakar di epigastrium.
2. Tidak ada bukti kelainan struktural ( termasuk didalamnya pemeriksaan endoskopi
saluran cerna bagian atas ) yang dapat menerangkan penyebab keluhan tersebut.
3. Keluhan ini terjadi selama 3 bulan dalam waktu 6 bulan terakhir sebelum diagnosis
ditegakkan.

Jadi disini ada batasan waktu yang ditujukan untuk meminimalisasikan kemungkinan
adanya penyebab organik. Seperti dalam algoritme penanganan dispepsia, bahwa bila ada
alarm symptoms seperti penurunan berat badan, timbulnya anemia, melena, muntah yang
persisten, maka merupakan petunjuk awal kemungkinan adanya penyebab organik yang
membutuhkan pemeriksaan penunjang diagnostik secara lebih intensif seperti endoskopi dan
sebagainya.1,3

Different Diagnosis

 Dispepsia organik

Diagnosis ditegakkan pada dispepsia organik jika pada penunjang diagnostik


ditemukan kelainan struktural organik maupun biokimiawi. Dispepsia organik meliputi ;

1. Gastritis

4
Definisi gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan submukosa lambung.
Infeksi kuman Helicobacter pylori dan OAINS merupakan kausa gastritis yang sangat
penting. Perjalanan alamiah gastritis kronik akibat infeksi kuman Helicobacter pylori
secara garis besar dibagi menjadi gastritis kronik non atropi predominasi antrum dan
gastritis kronik atropi multifokal. Ciri khas gastritis kronik non atropi predominasi
antrum adalah inflamasi moderat sampai berat mukosa antrum, sedangkan inflamasi
di korpus ringan atau tidak sama sekali. Antrum tidak mengalami atropi atau
metaplasia. Pasien-pasien seperti ini biasanya asimptomatis, tetapi mempunyai resiko
menjadi tukak duodenum. Gastritis kronik atrofi multifokal mempunyai ciri-ciri
khusus sebagai berikut : terjadi inflamasi pada hampir seluruh mukosa, seringkali
sangat berat berupa atropi atau metaplasia setempat-setempat pada daerah antrum dan
korpus. Gastritis kronik atropi multifokal merupakan faktor resiko terpenting displasia
epitel mukosa dan karsinoma gaster. Infeksi Helicobacter pylori juga sering
dihubungkan dengan limfoma MALT. Gastritis kronik atrofi predominasi korpus atau
sering disebut gastritis kronik autoimun setelah beberapa dekade kemudian akan
dikuti anemia pernisiosa dan defisiensi besi.

Gambar 1. Infeksi bakteri H. Pylori

Kebanyakan gastritis tanpa gejala. Mereka yang mempunyai keluhan biasanya berupa
keluhan yang tidak khas. Keluhan yang sering dihubung-hubungkan dengan gastritis

5
adalah nyeri panas dan pedih di ulu hati disertai mual kadang-kadang sampai muntah.
Keluhan-keluhan tersebut sebenarnya tidak berkorelasi baik dengan gastritis.
Keluhan-keluhan tersebut juga tidak dapat digunakan sebagai alat evaluasi
keberasilan pengobatan. Pemeriksaan fisis juga tidak dapat memberikan informasi
yang dibutuhkan untun menegakkan diagnosis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan endoskopi dan histopatologi. Sebaiknya biopsi dilakukan dengan
sistematis sesuai dengan update Sydney System yang mengharuskan mencantumkan
topografi. Gambaran endoskopi yang dapat dijumpai adalah eritema, eksudatif, flat-
erosion, raised erosion, perdarahan, edematous rugae. Perubahan-perubahan
histopatologi selain menggambarkan perubahan morfologi sering juga dapat
menggambarkan proses yang mendasari, misalnya autoimun atau respon adaptif
mukosa lambung. Perubahan – perubahan yang terjadi berupa degradasi epitel,
hyperplasia foveolar, infiltrasi neutrofil, inflamsai sel mononuklear, folikel limpoid,
atropi, intestinal metaplasia, hyperplasia sel endokrin, kerusakan sel parietal.
Pemeriksaan histopatologi sebaiknya juga menyertakan pemeriksaan kuman
Helicobacter pylori.2

Gastropati OAINS

OAINS merupakan salah satu obat yang paling sering direseokan. Obat ini dianggap
sebagai first line theraphy untuk arthritis dan digunakan secara luas pada kasus traum,
nyeri pasca pembedahan dan nyeri-nyeri yang lain. Sebagian besar efek OAINS pada
saluran cerna bersifat ingan dan reversibel. Hanya sebagian kecil yang menjadi berat
yakni tukak peptik, perdarahan saluran cerna dan perforasi. Risiko untuk
mendapatkan efek samping OAINS tidak sama untuk semua orang. Faktor risiko yang
penting adalah : usia lanjut, digunakan bersama-sama dengan steroid, riwayat pernah
mengalami efek samping OAINS, dosis tinggi atau kombinasi lebih dari satu macam
OAINS dan disabilitas.

Efek samping OAINS pada saluran cerna tidak terbatas pada lambung. Efek samping
pada lambung memang yang paling sering terjadi. OAINS merusak mukosa lambung
melalui 2 mekanisme yakni : topikal dan sistemik. Kerusakan mukosa secara topikal
terjadi karena OAINS bersifat asam dan lipofilik, sehingga mempermudah trapping
ion hydrogen masuk mukosa dan menimbulkan kerusakan. Efek samping OAINS
tampaknya lebih pentimg yaitu kerusakan mukosa terjadi akibat produksi
6
prostaglandin menurun, OAINS secara bermakna menekan prostaglandin. Seperti
diketahui prostaglandin merupakan substansi sitoprotektif yang amat penting bagi
mukosa lambung. Efek sitoproteksi itu dilakukan dengan cara menjaga aliran darah
mukosa, meningkatkan sekresi mukosa dan ion bikarbonat dan meningkatkan
epithalial defense. Aliran darah mukosa yang menurun menimbulkan adhesi netrolit
pada endotel pembuluh darah mukosa dan memacu lebih jauh proses imunologis.
Radikal bebas dan protease yang dilepaskan akibat proses imunologis tersebut akan
merusak lambung.2,3

2. Tukak peptik

Penyakit tukak peptik yaitu tukak lambung ( TL ) dan tukak duodenum ( TD )


merupakan penyakit yang masih banyak ditemukan di klinik terutama dalam
kelompok umur diatas 45 tahun. Tukak peptik secara anatomis didefinisikan sebagai
suatu defek mukosa/ submukosa yang berbatas tegas dapat menembus muskularis
mukosa sampai lapisan serosa sehingga dapat terjadi perforasi. Secara klinis, suatu
tukak adalah hilangnya epitel superfisial atau lapisan lebih dalam dengan diameter ≤
5mm yang dapat diamati secara endoskopis atau radiologis.
Patogenesis terjadinya tukak peptik adalah ketidakseimbangan antara faktor agresif
yang dapat merusak mukosa dan faktor defensif yang memelihara keutuhan mukosa
lambung dan duodenum.
Secara umum pasien tukak biasanya mengeluh sindrom dispepsia, berupa nyeri dan
rasa tidak nyaman ( discomfort ) pada epigastrium. Memiliki periode remisi dan
eksaserbasi.
Pada tukak duodeni rasa sakit timbul waktu pasien merasa lapar, rasa sakit
membangunkan pasien tengah malam, rasa sakit hilang setelah makan dan minum
obat antasida ( Hunger Pain Food Relief / HPFR ). Rasa sakit tukak gaster timbul
setelah makan, berbeda dengan tukak duodeni yang merasa enak setelah makan, rasa
sakit tukak gaster sebelah kiri dan rasa sakit tukak duodeni sebelah kanan garis tengah
perut. Rasa sakit bermula pada satu titik ( pointing sign ) akhirnya difus bisa menjalar
ke punggung. Ini kemungkinan disebabkan penyakit bertambah berat atau mengalami
komplikasi berupa penetrasi tukak ke organ pankreas. Muntah kadang timbul pada
tukak peptik disebabkan edema dan spasme seperti tukak kanal pilorik ( obstruksi

7
gastric outlet ). Tukak prepilorik dan duodeni bisa menimbulkan gastric outlet
obstruction melalui terbentuknya fibrosis/ oedem dan spasme.1

Epidemiologi

Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinik yang sering dijumpai dalam praktek
sehari-hari. Diperkirakan bahwa hampir 30% kasus pada praktek umum dan 60% pada
praktek gastroenterologist merupakan kasus dispepsia ini. Dispepsia merupakan keluhan
umum yang dalam waktu tertentu dapat dialami oleh seseorang. Berdasarkan penelitian pada
populasi umum didapatkan bahwa 15-30% orang dewasa pernah mengalami hal ini dalam
beberapa hari. Dari data pustaka Negara Barat didapatkan angka prevalensinya berkisar 7-
41% tapi hanya 10-20% yang akan mencari pertolongan medis. Angka insidens dispepsia
diperkirakan 1-8%. Belum ada data epidemiologi di Indonesia.1

Etiologi

Istilah dispepsia mulai gencar dikemukakan sejak akhir tahun 80-an, yang
menggambarkan keluhan atau kumpulan gejala ( sindrom ) yang terdiri dari nyeri atau rasa
tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh,
sendawa, regurgitasi dan rasa panas yang menjalar di dada. Sindroma atau keluhan ini dapat
disebabkan atau didasari oleh berbagai penyakit atau gangguan dalam lumen saluran cerna,
tentunya termasuk pula penyakit pada lambung, yang diasumsikan oleh orang awam sebagai
penyakit maag/ lambung. Penyakit hepato-pancreato-bilier ( hepatitis, pankreatitis kronik,
kolesitis kronik dll ) merupakan penyakit tersering setelah penyakit yang melibatkan
gangguan patologik pada esofago-gastroduodenal ( tukak peptik, gastritis dll ). Beberapa
penyakit diluar sistem gastrointestinal dapat pula bermanifest dalam bentuk sindroma
dispepsia, seperti yang cukup kita harus waspadai adalah gangguan kardiak ( inferior
iskemia/ infark miokard ), penyakit tiroid, obat-obatan dan sebagainya. Bersifat fungsional
jika dispepsia yang terdapat pada kasus yang tidak terbukti adanya kelainan atau gangguan
organik/ struktural biokimia.2,3

Patofisiologi

Berbagai hipotesis mekanisme telah diajukan untuk menerangkan patogenesis


terjadinya gangguan ini. Proses patofisiologik yang paling banyak dibicarakan dan potensial

8
berhubungan dengan dispepsia fungsional adalah ; hipotesis asam lambung dan inflamasi,
hipotesis gangguan motorik, hipotesis hipersensitivitas viseral, serta hipotesis tentang adanya
gangguan psikologik atau psikiatrik.

 Sekresi Asam lambung


Kasus dengan dispepsia fungsional, umumnya mempunyai tingkat sekresi asam
lambung, baik sekresi basal maupun dengan stimulasi pentagastrin, yang rata-rata
normal. Diduga adanya peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang
menimbulkan rasa tidak enak diperut.
 Helicobacter pylori
Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum sepenuhnya
dimengerti dan diterima. Dari berbagai laporan kekerapan helicobacter pylori pada
dispepsia fungsional sekitar 50% dan tidak berbeda makna dengan angka kekerapan
Hp pada kelompok orang sehat. Memang mulai ada kecenderungan untuk melakukan
eradikasi helicobacter pylori pada dispepsia fungsional dengan Hp positif yang gagal
dengan pengobatan konservatif baku.
 Dismotilitas gastrointestinal
Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional terjadi perlambatan
pengosongan lambung, adanya hipomtilitas antrum ( sampai 50% kasus ), gangguan
akomodasi lambung waktu makan, disritmia gaster dan hipersensitivitas viseral. Salah
satu dari keadaaan ini dapat ditemukan pada setengah sampai duapertiga kasus
dispepsia fungsional. Perlambatan pengosongan lambung terjadi pada 25-80% kasus
dispepsia fungsional, tetapi tidak adanya korelasi antara beratnya keluhan dengan
derajat perlambatan pengosongan lambung. Pemeriksaan manometri antro-duodenal
memperlihatkan adanya abnormalitas dalam bentuk post antral hipomotilitas prandial,
disamping juga ditemukannya disfungsi motorik usus halus. Perbedaan patofisiologi
ini diduga yang mendasari perbedaan pola keluhan dan akan mempengaruhi pola pikir
pengobatan yang akan diambil. Pada kasus dispepsia fungsional yang mengalami
perlambatan pengosongan lambung berkorelasi dengan keluhan mual, muntah dan
rasa penuh di ulu hati. Sedangkan kasus dengan hipersensitivitas terhadap distensi
lambung biasanya akan mengeluh nyeri, sendawa dan adanya penurunan berat badan.
Rasa cepat kenyang ditemukan pada kasus yang mengalami gangguan akomodasi
lambung waktu makan. Pada keadaaan normal, waktu makanan masuk lambung
terjadi relaksasi fundus dan korpus gaster tanpa meningkatkan tekanan dalam

9
lambung. Dilaporkan bahwa pada penderita dispepsia fungsional terjadi penurunan
kemampuan relaksasi fundus post prandial pada 40% kasus. Konsep ini yang
mendasari adanya pembagian subgrup dispepsia fungsional menjadi tipe dismotilitas,
tipe seperti ulkus, dan tipe campuran.
 Ambang rangsang persepsi
Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor kimiawi, reseptor
mekanik dan nociceptor. Dalam studi tampaknya kasus dispepsia ini mempunyai
hipersensitivitas viseral terhadap distensi balon di gaster atau duodenum. Bagaimana
mekanismenya, masih belum dipahami. Penelitian dengan menggunakan balon
intargastrik didapatkan hasil bahwa 50% populasi dsipepsia fungsional sudah timbul
rasa nyeri atau tidak nyaman di perut pada inflasi balon dengan volume yang lebih
rendah dibandingkan volume yang menimbulkan rasa nyeri pada populasi kontrol.
 Disfungsi autonom
Disfungsi persyarafan vagal diduga berperan daam hipersensitivitas gastrointestinal
pada kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal juga diduga berperan dalam
kegagalan relaksasi bagianproksimal lambung waktu menerima makanan, sehingga
menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang.
 Aktivitas mioelektrik lambung
Adanya disritmia mioelektrik lambung pada pemeriksaan elektrogastrografi berupa
tachygastria, bradygastria, pada lebih kurang 40% kasus dispepsia fungsional, yapi
hal ini bersifat inkonsisten.
 Hormonal
Peran hormonal belum jelas dalam patogenesis dispepsia fungsional. Dilaporkan
adanya penurunan kadar hormon motilin yang menyebabkan gangguan motilitas
antroduodenal. Dalam beberapa percobaan, progesteron, estradiol, dan prolaktin
mempengaruhi kontraktilitas otot polos dan memperlambat waktu transit
gastrointestinal.
 Diet dan faktor lingkungan
Adanya intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada kasus dispepsia
fungsional dibandingkan kasus kontrol.
 Psikologis
Adanya stress akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetuskan
keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas lambung yang
mendahului keluhan mual setelah stimulus stres sentral. Tapi korelasi antara faktor

10
psikologik stres kehidupan, fungsi otonom dan motilitas tetap masih kontroversial.
Tidak didapatkan personaliti yang karakteristik untuk kelompok dispepsia fungsional
ini dibandingkan kelompok kontrol. Walaupun dilaporkan dalam studi terbatas adanya
kecenderungan pada kasus dispepsia fungsional terdapat adanya masa kecil yang
kurang bahagia atau adanya gangguan psikiatrik.1-4

Manifestasi Klinis

Karena bervariasinya jenis keluhan dan kuantitas/ kualitasnya pada setiap pasien,
maka banyak disarankan untuk mengklasifikasikan dispepsia fungsional menjadi subgrup
didasarkan pada keluhan yang paling mencolok atau dominan.

 Bila nyeri ulu hati yang dominan adalah nyeri epigastrik disertai nyeri pada malam
hari dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe ulkus ( ulcer like dyspepsia )
 Bila kembung, mual, cepat kenyang merupakan keluhan yang paling sering
dikemukakan, dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe seperti dismotilitas
( dismotility like dyspepsia )
 Bila tidak ada keluhan yang bersifat dominan, dikategorikan sebagai dispepsia non-
spesifik.
Perlu ditekankan bahwa pengelompokan tersebut hanya untuk mempermudah
diperoleh gambaran klinis pasien yang kita hadapi serta pemilihan alternatif pengobatan
awalnya.1

Komplikasi Dispepsia

Penderita sindroma dispepsia selama bertahun-tahun, dapat memicu adanya


komplikasi yang tidak ringan. Salah satunya komplikasi Ulkus Peptikum, yaitu luka di
dinding lambung yang dalam atau melebar, tergantung berapa lama lambung terpapar oleh
asam lambung. Bila keadaan Ulkus Peptikum ini terus terjadi luka akan semakin dalam dan
dapat menimbulkan komplikasi pendarahan saluran cerna yang ditandai dengan terjadinya
muntah darah. Muntah darah ini sebenarnya pertanda yang timbul belakangan. Awalnya
penderita pasti akan mengalami buang air besar berwarna hitam terlebih dulu. Yang artinya
sudah ada perdarahan awal.Tapi komplikasi yang paling dikuatirkan adalah terjadinya kanker
lambung yang mengharuskan penderitanya melakukan operasi.

Penatalaksanaan Dispepsia fungsional

11
Pendekatan umum

Luasnya lingkup manajemen pada kasus dispepsia fungsional menggambarkan bahwa


adanya ketidakpastian dalam patogenesisnya. Adanya respon plasebo yang tinggi ( sekitar
45% ) mempersulit untuk mencari regimen pengobatan yang lebih pasti. Penjelasan dan
reaasurance kepada pasien mengenai latar belakang keluhan yang dialaminya, merupakan
langkah awal yang penting. Buat diagnosis klinik dan evaluasi bahwa tidak ada penyakit
serius atau fatal yang mengancamnya. Coba jelaskan sejauh mungkin tentang patogenesis
penyakit yang dideritanya. Evaluasi latar belakang faktor psikologis. Nasehat untuk
menghindari makanan yang dapat mencetuskan serangan keluhan. Sistem rujukan yang baik
akan berdampak positif bagi perjalanan penyakit pada kasus dispepsia fungsional.1

Non-medikamentosa

Pada penatalaksanaan non-medika mentosa kita perlu menjelaskan tentang perlunya


dietetik kepada pasien. Walaupun, tidak ada dietetik baku yang menghasilkan penyembuhan
keluhan secara bermakna. Prinsip dasar menghindari makanan pencetus serangan merupakan
pegangan yang lebih bermanfaat. Makanan yang merangsang, seperti pedas, asam, tinggi
lemak, kopi sebaiknya dipakai sebagai pegangan umum secara proporsional dan jangan
sampai menurunkan/ mempengaruhi kualitas hidup penderita. Bila keluhan cepat kenyang,
dapat dianjurkan untuk makan porsi kecil tapi sering dan rendah lemak.1,4

Penatalaksanaaan non farmakologis yaitu meliputi:

1. Atur pola makan

2. Olah raga teratur

3. Hindari makanan berlemak tinggi yang menghambat pengosongan isi lambung (coklat,
keju, dll )

4. Hindari makanan yang terlalu pedas

5. Hindari minuman dengan kadar caffeine,alkohol,dan kurangi rokok

6.Hindari obat yang mengiritasi dinding lambung

7.Kelola stress psikologi seefisien mungkin.

12
Medikamentosa

 Antasida
Antasida merupakan obat yang paling umum dikonsumsi oleh penderita dispepsia,
merupakan suatu obat yang bekerja lokal, menetralkan asam lambung dengan
menurunkan aktivitas pepsin dan menaikkan pH lambung ≤ 4 dan merupakan suatu
basa lemah.
 Penyekat H2 reseptor/ antagonis reseptor histamin – H2
Obat ini juga diberikan pada penderita dispepsia. Dari data studi acak tersamar
ganda, didapatkan hasil yang kontroversi. Sebagian gagal memperlihatkan
manfaatnya pada dispepsia fungsional, dan sebgaian lagi berhasil. Secara
metaanalisis diperkirakan manfaat terapinya 20% diatas plasebo. Masalah pkok
adalah kriteria inklusi pada berbagai penelitian, dan juga kemungkinan masuknya
kasus penyakit refluks gastroesofageal. Umumnya manfaatnya untuk menghilangakn
rasa nyeri ulu hati.
 Penghambat pompa proton ( PPI )
Obat ini tampaknya cukup superior dibanding plasebo pada dispepsia fungsional.
Respons baik terlihat pada dispepsia fungsional tipe ulkus. Paling efektif menekan
sekresi asam lambung dan merupakan suatu pro-drug yang membutuhkan suasana
asam sehingga harus diminum sebelum makan. Efeknya akan menurun jika diberi
bersama H2 – reseptor antagonis dan antasida. Preparat : omeprazole, lanzoprazole,
pantoprazole dan rabeprazole.
 Sitoproteksi
Obat ini misalnya misoprostol, sukralfat, tidak banyak studinya yang memperoleh
kemanfaatan yang dapat dinilai.
 Prokinetik
Termasuk golongan ini adalah metoklopramid ( antagonis reseptor dopamin D2 ),
domperidon ( antagonis reseptor D2 yang tidak melewati sawar otak 0 dan cisapride
9 agonis reseptor 5-HT4 ). Dalam berbagai studi metaanalisis, baik domperidon dan
cisapride mempunyai efektivitas yang baik dibandingkan plasebo dalam mengurangi
nyeri epigastrik, cepat kenyang, distensi abdomen dan mual.
Metoklopramid yang tampaknya cukup bermanfaat pada dispepsia fungsional, tapi
terbatas studinya dan hambatan efek samping ekstrapiramidalnya.

13
Cisapride tergolong agonist reseptor 5-HT4 dan antagonis 5-HT3, yang secara
metaanalisis memperlihatkan angka keberhasilan dua kali lipat dibandingkan
plasebo. Beraksi pada pengosongan lambung dan disritmia lambung. Masalah saat
ini adalah setelah diketahuinya efek sampingnya pada aritmia jantung, terutama
perpanjangan masa Q-T, sehingga pemakaiannya berada dalam pengawasan.
 Obat lain – lain
Adanya peran hipersensitivitas viseral dalam patogenesis dispepsia fungsional,
mebuka peran obat-obatan yang bermanfaat dalam menghilangkan persepsi nyeri.
Dalam beberapa penelitian, dosis rendah antidepresan golongan trisiklik dilaporkan
dapat menurunkan keluhan dispepsia terutama nyeri abdomen.
Kappa agonist fedotoxine dapat menurunkan hipersensitivitas lambung dalam studi
pada volunteer serta pada beberapa studi dapat menurnkan keluhan pada dispepsia
fungsional, walaupun manfaat kliniknya masih dipertanyakan. Obat golongan
agonist 5-HT1 ( sumatriptan dan busipiron ) dapat memperbaiki akomodasi lambung
dan memperbaiki rasa keluhan cepat kenyang setelah makan.5
 Psikoterapi
Dalam beberapa studi terbatas, tampaknya behavioral therapy memperlihatkan
manfaatnya pada kasus dispepsia fungsional dibanding terapi baku.

Prognosis

Dispepsia fungsional yang ditegakkan setelah pemeriksaan klinis dan penunjang yang
akurat, mempunyai prognosis yang baik.1-3

Kesimpulan

Dispepsia merupakan istilah yang digunakan untuk suatu sindrom atau kumpulan
gejala/ keluhan yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual,
muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, perut rasa penuh/begah. Diagnosis dispepsia
fungsional didarakan pada keluhan/ simptom/ sindrom dispepsia dimana pada pemeriksaan
penunjang baku dapat disingkirkan kausa organik/ biokimiawi, sehingga masuk dalam
kelompok penyakit gastrointestinal fungsional. Mempunyai patofisiologi yang kompleks dan
multifaktorial, diaman tampaknya berbasiskan gangguan pada motilitas atau hipersensitivitas
viseral. pemeriksaan endoskopi dan radiologi sangat penting dalam indikasi dispepsia yang
disertai alarm symptoms. Modalitas pengobatannya menjadi luas, berdasarkan kompleksitas

14
patogenesisnya, serta lebih kearah hanya menrunkan atau menghilangkan simptom. Pilihan
pengobatan berdasarkan pengelompokan gejala utama dapat dianjurkan, walaupun masih
diperdebatkan manfaatnya.

Daftar pustaka

1. Aru W. Sudoyo, Bambang S, Idrus A, Marcellus simadibrata, Siti S editor. Buku ajar
ilmu penyakit dalam jilid III edisi V. Pusat informasi dan Penerbitan bagian Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. Jakarta; 2009 : 441 – 533.
2. Sylvia Anderson P, Lorraine McCarty W. Alih bahasa, Braham U, Pendit dkk. Editor
edisi bahasa indonesia, Huriawati H. Patofisiologi ; konsep-konsep klinis penyakit.
Edisi 6. EGC. Jakarta; 2005 : 235-40
3. Fauci et all. Harisson’s priciples of internal medicine. 17 th ed. USA : McGraw-Hill
Companises; 2008 : 2575-590
4. Tack j. Pathophysiology and treatment of functional dyspepsia. Gastroenterology ;
2004 : 325-40
5. Sulistia G, Rianto S, Elysabeth ( dkk ). Farmakologi dan terapi. Edisi- 5. FKUI. Jakarta
; 2005 : 820-5

15

Anda mungkin juga menyukai