Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI : BUNUH DIRI

Pembimbing :

dr. Zulvia Syarif SP.Kj

Disusun Oleh :

Jeffry Rulyanto M. S

11-2018-067

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Jiwa

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan

1
DAFTAR ISI

Daftar Isi

BAB I: Pendahuluan

BAB II: Pembahasan

Definisi

Epidemiologi

Faktor Risiko

Etiologi

Prediksi

Terapi

Faktor Etis dan Hukum

BAB III: Penutup

Daftar Pustaka

2
BAB I

Pendahuluan

Setiap tahun, lebih dari 800 000 orang mengambil kehidupan mereka sendiri dan ada
lebih banyak orang yang mencoba bunuh diri. Setiap bunuh diri adalah tragedi yang
mempengaruhi keluarga, masyarakat,dan juga negara dan memiliki efek jangka panjang pada
orang-orang yang ditinggalkan. Bunuh diri yang terjadi selama kehidupan dan merupakan
penyebab utama kedua kematian pada orang berusia antara 15-29 tahun menurut data global
WHO pada tahun 2012.

Bunuh diri tidak hanya terjadi di negara-negara berpenghasilan tinggi, tetapi


merupakan fenomena global di semua wilayah di dunia. Bahkan, 75% dari kasus bunuh diri
global yang terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah pada tahun 2012.
Data di Indonesia menurut WHO angka bunuh diri di Indonesia mencapai 1,6 hingga 1,8 per
100.000 jiwa.

Tema utama pada kasus bunuh diri ini umumnya meliputi suatu krisis yang
menyebabkan penderitaan yang mendalam (intens) disertai perasaan tak berdaya dan taka da
harapan, konflik antara keinginan untuk bertahan dengan stress yang tak tertanggungkan lagi,
persepsi pasien bahwa ia tak mempunyai banyak pilihan lagi, dan keinginan untuk
melepaskan dirinya dari masalahnya. Bunuh diri merupakan masalah kesehatan masyarakat
yang serius. Namun, bunuh diri dapat dicegah dengan tepat waktu dan dengan penanganan
yang tepat.

3
BAB II

Pembahasan

Definisi

Kata suicide berasal dari bahasa Latin yang berarti “membunuh diri sendiri”. Jika
berhasil, tindakan ini merupakan tindakan fatal yang menunjukkan keinginan orang tersebut
untuk mati. Meskipun demikian, terdapat kisaran antara berpikir mengenai bunuh dan
melakukannya. Beberapa orang memiliki gagasan bunuh diri yang tidak akan pernah mereka
lakukan; beberapa orang lagi merencanakannya berhari-hari, berminggu-minggu, atau bahkan
bertahun-tahun sebelum melakukannya; dan orang lain melakukan bunuh diri berdasarkan
impuls, tanpa memikirkannya terlebih dahulu.1

Epidemiologi

Setiap tahun lebih dari 30.000 orang mati karena bunuh diri di Amerika Serikat. Angka
percobaan bunuh diri kira-kira 650.000. Kira-kira terdapat 85 bunuh diri dalam sehari di
Amerika Serikat – sekitar 1 bunuh diri tiap 20 menit. Angka bunuh diri di Amerika Serikat
rata-rata antara 12,5 per 100.000 di abad ke-20, dengan angka 17,4 per 100.000 selama
Depresi Besar tahun 1930. Bunuh diri saat ini berada di peringkat sembilan untuk keseluruhan
penyebab kematian di Amerika Serikat, setelah penyakit jantung, kanker, penyakit
kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronik, kecelakaan, pneumonia, influenza, dan
diabetes melitus.1,2 Angka bunuh diri di Amerika Serikat berada di titik tengah angka untuk
negara industri seperti yang dilaporkan ke PBB. Di dunia, angka bunuh diri berkisar lebih dari
25 per 100.000 orang.

Faktor Risiko

Jenis Kelamin. Laki-laki melakukan bunuh diri empat kali lebih banyak dibandingkan
perempuan, suatu angka yang stabil pada semua usia. Meskipun demikian, perempuan empat
kali lebih besar kemungkinannya untuk melakukan percobaan bunuh diri dibandingkan laki-
laki.3-5

Usia. Angka bunuh diri meningkat seiring dengan usia menegaskan makna dari krisis usia
pertengahan. Di antara laki-laki, puncak bunuh diri setelah usia 45 tahun; pada perempuan,
angka terbesar bunuh diri yang berhasil dilakukan terdapat setelah usia 55 tahun. Angka 40
per 100.000 populasi terdapat pada laki-laki berusia 65 tahun dan lebih. Orang berusia tua
4
melakukan percobaan bunuh diri lebih jarang dibandingkan orang muda tetapi lebih sering
berhasil. Meskipun mereka hanya 10 persen dari populasi total, 25 persen bunuh diri
dilakukan orang yang lebih tua. Angka untuk 75 tahun atau lebih melebihi tiga kali angka di
antara orang muda.1-3

Meskipun demikian, angka bunuh diri, meningkat paling cepat di antara orang muda, terutama
pada laki-laki berusia 15 hingga 24 tahun, dan angkanya masih meningkat. Angka bunuh diri
untuk perempuan dengan kelompok usia yang sama meningkat lebih lambat dibandingkan
laki-laki. Di antara laki-laki berusia 25 hingga 34 tahun, angka bunuh diri meningkat hampir
30 persen selama dekade terakhir. Bunuh diri adalah penyebab utama kematian nomor tiga
pada kelompok usia 15 hingga 24 tahun, setelah kecelakaan dan pembunuhan, dan percobaan
bunuh diri kelompok usia ini antara 1 juta hingga 2 juta per tahun. Sebagian besar bunuh diri
saat ini terdapat pada orang-orang berusia 15 hingga 44 tahun.3-5

Ras. Dua dari tiap tiga bunuh diri dilakukan oleh laki-laki kulit putih. Angka bunuh diri di
antara kulit putih hampir dua kali lipat dari semua kelompok lainnya; meskipun demikian,
angka ini sekarang dipertanyakan, karena angka bunuh diri pada kulit hitam meningkat.
Angka bunuh diri pada imigran lebih tinggi daripada populasi asli.1,6

Agama. Secara historis, angka bunuh diri di antara populasi Katolik Roma lebih rendah
dibandingkan dengan angka di antara populasi Protestan dan Yahudi. Derajat keortodoksan
dan integrasi mungkin merupakan ukuran rasio yang lebih akurat di kategori ini daripada
persatuan agama institusional.1-3

Status Perkawinan. Perkawinan yang dilengkapi oleh anak tampaknya mengurangi risiko
bunuh diri secara signifikan. Angka bunuh diri adalah 11 per 100.000 untuk orang yang
menikah; lajang, orang yang tidak pernah menikah memiliki angka keseluruhan hampir dua
kali lipat dari itu. Meskipun demikian, orang yang sebelumnya pernah menikah menunjukkan
angka yang jauh lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak pernah menikah; 24 per
100.000 pada janda atau duda, dan 40 per 100.000 pada orang yang bercerai, dengan laki-laki
bercerai memiliki angka 69 bunuh diri per 100.000 dibandingkan dengan 18 per 100.000
untuk perempuan yang bercerai. Bunuh diri terjadi lebih sering dari biasanya pada orang yang
terisolasi secara sosial dan memiliki riwayat keluarga bunuh diri (percobaan atau
sesungguhnya). Orang yang melakukan yang disebut anniversary suicide melakukan bunuh
diri pada hari saat anggota keluarganya melakukan bunuh diri.1-3

5
Pekerjaan. Semakin tinggi status sosial seseorang, semakin besar risiko bunuh dirinya, tetapi
penurunan status sosial juga meningkatkan risiko bunuh diri. Pekerjaan, pada umumnya,
melindungi orang dari bunuh diri. Di antara tingkat pekerjaan, profesional, terutama dokter,
dari dahulu dianggap memiliki risiko bunuh diri paling tinggi, tetapi studi terkini yang paling
baik menemukan tidak ada risiko bunuh diri yang meningkat untuk dokter laki-laki di
Amerika Serikat. Sebaliknya, data Skandinavia dan Inggris terkini menunjukkan bahwa angka
bunuh diri untuk dokter laki-laki dua sampai tiga kali dari angka bunuh diri yang ditemukan
pada populasi laki-laki umum dengan usia yang sama. Populasi khusus yang memiliki risiko
adalah musisi, dokter gigi, petugas penagak hukum, pengacara, dan agen asuransi. Bunuh diri
lebih tinggi pada penganggur dibandingkan dengan orang yang bekerja. Angka bunuh diri
meningkat selama resesi ekonomi dan menurun selama waktu perang dan saat banyak orang
yang dipekerjakan.1,2

Bunuh Diri pada Dokter. Dokter perempuan memiliki risiko lebih tinggi untuk bunuh diri
dibandingkan degan perempuan lain. Di Amerika Serikat angka bunuh diri tiap tahun untuk
dokter perempuan adalah kira-kira 41 per 100.000, dibandingkan dengan 12 per 100.000 pada
semua perempuan kulit putih di atas usia 25 tahun. Demikian juga, di Inggris dan Wales,
angka bunuh diri untuk dokter perempuan yang tidak menikah adalah 2,5 kali dari angka
bunuh diri pada perempuan tidak menikah di populasi umum, meskipun dapat dibandingkan
dengan angka bunuh diri dari kelompok profesional perempuan lainnya.1-3

Sejumlah studi menunjukkan bahwa dokter yang melakukan bunuh diri memiliki gangguan
jiwa. Gangguan jiwa yang paling lazim di antara dokter dan korban bunuh diri dokter adalah
gangguan depresif dan ketergantungan zat. Beberapa bukti menunjukkan bahwa dokter
perempuan memiliki risiko seumur hidup yang sangat tinggi untuk mengalami gangguan
mood. Seorang dokter yang melakukan bunuh diri sering mengalami kesulitan profesi,
pribadi, atau keluarga baru-baru ini. Dokter perempuan dan laki-laki melakukan bunuh diri
lebih sering secara signifikan dengan overdosis zat dan lebih jarang dengan senjata
dibandingkan orang-orang di populasi umum; ketersediaan obat dan pengetahuan mengenai
merupakan faktor penting di dalam bunuh diri oleh dokter.1-3

Di antara dokter, psikiater dianggap memiliki risiko paling tinggi, diikuti oleh oftalmologis
dan anestesiologis, tetapi kecenderungannya sama pada semua spesialis.

6
Metode. Angka keberhasilan laki-laki yang lebih tinggi untuk bunuh diri terkai dengan
metode yang mereka gunakan: senjata api, gantung diri, atau lompat dari tempat tinggi.
Perempuan lazimnya mengonsumsi zat psikoaktif overdosis atau racun, tetapi penggunaan
senjata api saat ini meningkat. Di negara dengan hukum pengendalian senjata, penggunaan
senjata menurun sebagai metode bunuh diri. Secara global, metode bunuh diri yang paling
lazim adalah gantung diri.1-3

Kesehatan Fisik. Hubungan penyakit dan kesehatan fisik dengan bunuh diri cukup
bermakna. Perawatan medis sebelumnya tampaknya merupakan indikator bunuh diri yang
berhubungan positif: 32 persen orang yang melakukan bunuh diri pernah mendapatkan
perhatian medis dalam 6 bulan sebelum kematiannya. Studi postmortem menunjukkan bahwa
penyakit fisik ada pada 25 hingga 75 persen korban bunuh diri, dan penyakit fisik
diperkirakan sebagai faktor yang turut berperan pada hampir 50 persen bunuh diri.5-8

Faktor-faktor yang berkaitan dengan penyakit dan turut berperan di dalam bunuh diri maupun
percobaan bunuh diri adalah hilangnya mobilitas, terutama ketika aktivitas fisik penting bagi
pekerjaan dan kesengangan; cacat, terutama pada perempuan; serta nyeri yang sulit sembuh
dan kronis. Di samping efek langsung penyakit, efek sekundernya – contohnya, gangguan
hubungan dan hilangnya status pekerjaan – merupakan faktor prognostik yang buruk.1-3

Obat-obat tertentu dapat menimbulkan depresi yang dapat menyebabkan bunuh diri pada
beberapa kasus. Di antara obat-obat ini adalah reserpin (Serpasil), kortikosteroid,
antihipertensi, dan beberapa agen antikanker.

Kesehatan Jiwa. Faktor psikiatrik yang sangat bermakna di dalam bunuh diri mencakup
penyalahgunaan zat, gangguan depresif, skizofrenia, dan gangguan jiwa lainnya. Hampir 95
persen orang yang melakukan atau mencoba bunuh diri memiliki diagnosis gangguan jiwa.
Gangguan depresif berperan di dalam 80 persen dari angka ini, skizofrenia 10 persen, dan
demensia atau delirium 5 persen. Di antara semua orang dengan gangguan jiwa, 25 persen
memiliki ketergantungan alkohol dan memiliki diagnosis ganda. Orang dengan depresi
waham memiliki risiko bunuh diri paling tinggi. Risiko bunuh diri pada orang dengan
gangguan depresif kira-kira 15 persen, dan 25 persen orang dengan riwayat prilaku impulsif
atau tindakan kekerasan juga memiliki risiko bunuh diri yang tinggi. Perawatan psikiatrik
sebelumnya untuk alasan apapun meningkatkan risiko bunuh diri.7-10

7
Di antara orang dewasa yang melakukan bunuh diri, terdapat perbedaan bermakna antara
orang muda dan tua untuk diagnosis psikiatrik dan stresor yang mengawali. Suatu studi di San
Diego, California, menunjukkan bahwa diagnosis penyalahgunaan zat dan gangguan
kepribadian antisosial paling sering terjadi pada bunuh diri yang dilakukan oleh orang berusia
di bawah 30 tahun, dan diagnosis gangguan mood dan gangguan kognitif paling sering pada
usia 30 dan lebih. Stresor yang terkait dengan bunuh diri pada orang berusia di bawah 30
tahun adalah perpisahan, penolakan, tidak bekerja, dan masalah dengan hukum; stresor
penyakit paling sering terdapat pada korban bunuh diri yang berusia lebih dari 30 tahun.

Pasien Psikiatrik. Risiko pasien psikiatrik untuk melakukan bunuh diri adalah 3 hingga 12
kali dibandingkan dengan yang bukan pasien psikiatrik. Derajat risikonya bervariasi
bergantung pada usia, jenis kelamin, diagnosis, dan status pasien rawat inap atau rawat jalan.
Setelah penyesuaian untuk usia, pasien psikiatrik laki-laki dan perempuan yang pernah
dirawat sebelumnya masing-masing memiliki lima dan sepuluh kali lebih tinggi risiko bunuh
diri, daripada yang lainnya di populasi umum. Untuk pasien rawat jalan laki-laki dan
perempuan yang belum pernah di rawat di rumah sakit untuk terapi psikiatrik, masing-masing
risiko bunuh dirinya tiga dan empat kali lebih tinggi daripada yang lainnya di populasi umum.
Risiko bunuh diri yang lebih tinggi untuk pasien psikiatrik yang pernah dirawat
mencerminkan fakta bahwa pasien dengan gangguan jiwa berat cenderung untuk dirawat –
contohnya, pasien dengan gangguan depresif yang membutuhkan terapi elektrokonvulsi.
Diagnosis psikiatrik yang memiliki risiko bunuh diri paling tinggi pada kedua jenis kelamin
adalah gangguan mood.1-3

Dalam satu studi, usia rerata untuk bunuh diri pada laki-laki adalah 29,5 tahun dan perempuan
38,4 tahun. Usia yang relatif muda pada kasus bunuh diri sebagian disebabkan oleh fakta
bahwa dua onset dini gangguan jiwa kronis – skizofrenia dan gangguan depresif berulang –
bertanggung jawab untuk lebih dari setengah kasus bunuh diri.2

Untuk kedua jenis kelamin, risiko bunuh diri paling tinggi pada minggu pertama masuk ke
perawatan psikiatrik; setelah 3 hingga 5 minggu, pasien yang dirawat memiliki risiko yang
sama dengan populasi umum. Peningkatan angka pasien dirawat yang bunuh diri seiring
bertambahnya usia tidak sama seperti pada populasi umum; kenyataannya, angka untuk
pasien psikiatrik perempuan turun dengan bertambahnya usia, terutama karena orang berusia
lebih tua yang bunuh diri tidak mencari pertolongan medis.1-3

8
Pasien, terutama dengan gangguan panik, yang sering membutuhkan layanan gawatdarurat,
juga memiliki peningkatan risiko bunuh diri. Satu studi melaporkan bahwa pasien seperti itu
memiliki angka bunuh diri lebih dari tujuh kali dari angka untuk populasi umum yang
disesuaikan dengan usia serta jenis kelamin. Dua kelompok risiko utama adalah pasien
dengan gangguan depresif, skizofrenia, dan penyalahgunaan zat, serta pasien yang melakukan
kunjungan berulang ke ruang gawatdarurat. Dengan demikian, profesional kesehatan jiwa
yang bekerja di layanan gawatdarurat harus terlatih dengan baik dalam melakukan anamnesis
mengenai riwayat psikiatrik pasien, memeriksa keadaan jiwa pasien, mengkaji risiko bunuh
diri, dan melakukan penempatan yang sesuai. Mereka juga harus tahu kebutuhan untuk
menghubungi pasien yang berisiko yang tidak memenuhi janji untuk pemantauan lanjutan.

Gangguan Depresif. Gangguan mood merupakan diagnosis yang paling lazim dikaitkan
dengan bunuh diri. Karena risiko bunuh diri pada gangguan depresif terutama meningkat
ketika pasien sedang depresi, kemajuan psikofarmakologis 25 tahun terakhir mungkin telah
menurunkan risiko bunuh diri pada pasien dengan gangguan depresif. Meskipun demikian,
angka bunuh diri yang disesuaikan dengan usia untuk pasien dengan gangguan mood
diperkirakan sekitar 400 per 100.000 untuk pasien laki-laki dan 180 per 100.000 untuk pasien
perempuan.6-8

Banyak pasien dengan gangguan depresif melakukan bunuh diri di awal penyakitnya,
bukannya di kemudian hari; lebih banyak laki-laki dibandingkan perempuan yang melakukan
bunuh diri dan kemungkinan pasien depresi untuk bunuh diri meningkat jika mereka lajang,
berpisah, bercerai, janda/duda, atau baru berkabung. Pasien dengan gangguan depresif yang
bunuh diri di dalam masyarakat cenderung berada pada usia pertengahan atau lebih tua.

Sejumlah kecil studi menyelidiki pasien dengan gangguan mood yang mana memiliki
peningkatan risiko bunuh diri. Studi-studi ini menunjukkan bahwa isolasi sosial
meningkatkan kecenderungan bunuh diri pada pasien depresi. Temuan ini sesuai dengan data
dari studi epidemiologis yang menunjukkan bahwa pasien yang melakukan bunuh diri
mungkin berintegrasi buruk ke dalam masyarakat. Bunuh diri pada pasien depresi cenderung
dilakukan pada onset atau di akhir episode depresif. Seperti pasien psikiatrik lainnya, bulan-
bulan setelah keluar dari rumah sakit merupakan waktu risiko bunuh diri yang tinggi.
Sejumlah studi menunjukkan bahwa sepertiga atau lebih pasien depresi yang bunuh diri
melakukannya dalam 6 bulan setelah meninggalkan rumah sakit; mungkin mereka mengalami
kekambuhan.1,9
9
Mengenai terapi rawat jalan, sebagian besar pasien depresi yang bunuh diri memiliki riwayat
terapi; meskipun demikian, kurang dari setengahnya menerima terapi psikiatrik saat bunuh
diri. Di antara mereka yang sedang menjalani terapi, studi menunjukkan bahwa terapinya
kurand dari cukup. Contohnya, sebagian besar pasien yang menerima antidepresan diresepkan
dosis obat yang subterapeutik.

Skizofrenia. Risiko bunuh diri pada pasien dengan skizofrenia cukup tinggi. Hingga 10
persen meninggal karena bunuh diri. Onset skizofrenia biasanya pada masa remaja atau
dewasa awal, dan sebagian besar pasien yang bunuh diri ini melakukannya beberapa tahun
pertama penyakitnya; dengan demikian, pasien skizofrenik yang melakukan bunuh diri masih
berusia muda.1,2

Kira-kira 75 persen pasien skizofrenik yang bunuh diri adalah laki-laki yang tidak menikah
dan kira-kira 50 persen sebelumnya pernah melakukan percobaan bunuh diri. Gejala depresif
sangat terkait dengan bunuh diri. Studi berbasis rumah sakit melaporkan bahwa gejala
depresif ada selama periode terakhir hubungan pada sedikitnya dua pertiga pasien skizofrenia
yang melakukan bunuh diri; hanya suatu presentase kecil melakukan bunuh diri karena
instruksi halusinasi atau kebutuhan untuk kabur dari waham kejar. Sampai 50 persen bunuh
diri pada pasien skizofrenia terjadi selama beberapa minggu dan bulan pertama setelah keluar
dari rumah sakit; hanya minoritas yang melakukan bunuh diri saat sedang dirawat.1,2

Ketergantungan Alkohol. Hingga 15 persen orang dengan ketergantungan alkohol


melakukan bunuh diri. Angka bunuh diri untuk mereka yang alkoholik diperkirakan sekitar
720 per 100.000 setiap tahunnya; di Amerika Serikat, antara 7.000 dan 13.000 orang dengan
ketergantungan alkohol melakukan bunuh diri setiap tahunnya.1,3

Kira-kira 80 persen korban bunuh diri dengan ketergantungan alkohol adalah laki-laki, suatu
persentase yang sangat mencerminkan rasio jenis kelamin untuk ketergantungan alkohol.
Kelompok terbesar pasien ketergantungan alkohol laki-laki adalah mereka dengan gangguan
kepribadian antisosial terkait.1,2

Ketergantungan Zat Lain. Sejumlah studi di berbagai negara menemukan adanya


peningkatan risiko bunuh diri pada mereka yang menyalahgunakan zat. Angka bunuh diri
pada mereka yang ketergantungan heroin kira-kira 20 kali angka populasi umum.
Ketersediaan zat dengan jumlah letal, penggunaan IV, gangguan kepribadian antisosial

10
terkait, gaya hidup berantakan, dan impulsivitas, merupakan beberapa faktor predisposisi
untuk perilaku bunuh diri, pada orang dengan ketergantungan zat terutama ketika mereka
sedang disforik, depresi, atau intoksikasi.1-3

Gangguan Kepribadian. Proporsi tinggi pada mereka yang melakukan bunuh diri memiliki
beragam kesulitan atau gangguan kepribadian terkait. Memiliki gangguan kepribadian
mungkin merupakan suatu determinan perilaku bunuh diri dalam beberapa cara; dengan
menjadi predisposisi terhadap gangguan jiwa utama seperti gangguan depresif atau
ketergantungan alkohol; dengan menimbulkan kesulitan di dalam hubungan dan penyelesaian
sosial; dengan mencetuskan peristiwa hidup yang tidak diinginkan; dengan mengganggu
kemampuan seseorang untuk menghadapi gangguan fisik atau jiwa; dan dengan menarik
seseorang ke dalam konflik dengan orang-orang di sekeliling mereka, termasuk anggota
keluarga, dokter, dan petugas rumah sakit.1-3

Suatu perkiraan sebesar 5 persen pasien dengan gangguan kepribadian antisosial melakukan
bunuh diri. Bunuh diri tiga kali lebih lazim pada tahanan dibandingkan populasi umum.

Gangguan Ansietas. Percobaan bunuh diri yang tidak berhasil dilakukan oleh hampir 20
persen pasien dengan gangguan panik dan fobia sosial. Meskipun demikian, jika depresi
merupakan gambaran terkait, risiko keberhasilan menjadi meningkat.1-3

Prilaku Bunuh Diri Sebelumnya. Percobaan bunuh diri sebelumnya mungkin merupakan
indikator terbaik bahwa pasien memiliki peningkatan risiko bunuh diri. Sejumlah studi
menunjukkan bahwa kira-kira 40 persen pasien depresi yang bunuh diri pernah mencobanya
sebelumnya. Risiko percobaan bunuh diri kedua paling tinggi dalam 3 bulan setelah
percobaan yang pertama.9,10

Depresi tidak hanya terkait dengan keberhasilan bunuh diri, tetapi juga dengan percobaan
bunuh diri yang serius. Gambaran klinis yang paling sering dikaitkan dengan keseriusan niat
untuk mati adalah diagnosis gangguan depresif. Hal ini ditunjukkan oleh studi yang
menghubungkan ciri klinis pasien bunuh diri degan berbagai ukuran keseriusan medis
terhadap percobaan atau niat untuk mati. Demikian juga, skor niat untuk mati berhubungan
secara signifikan degan skor bunuh diri dan jumlah serta keparahan gejala depresif. Pelaku
percobaan bunuh diri yang dinilai memiliki niat bunuh diri yang paling tinggi paling sering
adalah laki-laki, lebih tua, lajang atau berpisah, dan tinggal sendiri dibandingkan dengan

11
mereka yang niatnya kurang. Dengan kata lain, pasien depresi yang secara serius mencoba
bunuh diri lebih menyerupai korban bunuh diri daripada orang yang mencoba melakukan
bunuh diri.9,10

Etiologi

Faktor Sosiologis

Teori Durkheim. Di dalam upaya untuk menjelaskan pola statistik, Durkheim membagi
bunuh diri menjadi tiga kategori sosial: egoistik, altruistik, dan anomik.1

Bunuh diri egoistik berlaku bagi mereka yang tidak terintegrasi kuat ke dalam kelompok
sosial manapun. Tidak adanya integrasi keluarga menjelaskan mengapa orang yang tidak
menikah lebih rentan bunuh diri dibandingkan orang yang menikah serta mengapa pasangan
yang memiliki anak adalah kelompok yang baik terlindungi. Komunitas pedesaan lebih
memiliki integrasi sosial dibandingkan daerah perkotaan sehingga bunuh diri lebih sedikit.

Bunuh diri altruistik berlaku untuk mereka yang rentan terhadap bunuh diri karena integrasi
mereka yang berlebihan ke dalam kelompok, dengan bunuh diri merupakan perkembangan
integrasi – contohnya, serdadu Jepang yang mengorbankan hidupnya di dalam peperangan.

Bunuh diri anomik berlaku bagi orang yang integrasinya ke dalam masyarakat terganggu
sehingga mereka tidak dapat mengikuti norma perilaku yang lazim. Anomik menjelaskan
mengapa perubahan drastis situasi ekonomi membuat orang lebih rentan daripada mereka
yang sebelumnya terjadi perubahan kekayaan. Di dalam teori Durkheim, anomik juga
mengacu pada ketidakstabilan sosial dan pecahnya standar dan nilai masyarakat.

Faktor Psikologis

Teori Freud. Sigmund Freud mengajukan tilikan psikologis pertama mengenai bunuh diri. Ia
menggambarkan hanya satu pasien yang melakukan percobaan bunuh diri, tetapi ia melihat
banyak pasien depresi. Di dalam tulisannya “Mourning and Melancholia”, Freud menyatakan
keyakinannya bahwa bunuh diri menunjukkan agresi yang di arahkan untuk melawan objek
cinta yang diintrojeksikan serta “cathected” secara ambivalensi. Freud meraguakan bahwa
ada bunuh diri tanpa keinginan membunuh orang lain yang ditekan sebelumnya.1

12
Teori Menninger. Di bangun atas gagasan Freud, Karld Meninger, berpendapat bahwa bunuh
diri sebagai pembunuhan yang dibalik ke dalam diri sendiri karena kemarahan pasien pada
orang lain. Pembunuhan yang diretrofleksikan ini antara dibalik ke dalam diri atau digunakan
sebagai alasan atas hukuman. Ia juga menggambarkan insting kematian yang diarahkan pada
diri sendiri (konsep Freud mengenai Thanos) ditambah tiga komponen permusuhan di dalam
bunuh diri: keinginan untuk membunuh, keinginan untuk dibunuh, dan keinginan untuk mati.1

Teori Terkini. Ahli bunuh diri kontemporer tidak menganjurkan bahwa struktur kepribadian
atau psikodinamik tertentu terkait dengan bunuh diri. Mereka yakin bahwa banyak yang dapat
dipelajari mengenai psikodinamik pasien bunuh diri dari khayalan mereka mengenai apa yang
akan terjadi dan apa akibatnya jika mereka bunuh diri. Khayalan seperti ini sering mencakup
keinginan untuk balas dendam, kekuatan, kendali, atau hukuman: penebusan kesalahan,
pengorbanan, atau ganti rugi: kabur atau tidur, penyelamatan, kelahiran kembali, pernyatuan
kembali dengan kematian; atau suatu kehidupan baru. Pasien bunuh diri yang cenderung
melakukan khayalan bunuh diri mungkin telah kehilangan objek cinta atau menerima cedera
narsisistik, dapat mengalami afek berlebihan seperti kemarahan dan rasa bersalah, atau dapat
menganggap dirinya sama dengan korban bunuh diri. Dinamika kelompok mendasari bunuh
diri massal seperti pada Masada, Jones-town dan pemujaan Heaven’s Gate.1

Orang depresi dapat mencoba melakukan bunuh diri tepat saat mereka tampaknya pulih dari
depresi. Percobaan bunuh diri dapat menghilangkan depresi yang lama, terutama jika
memenuhi kebutuhan pasien akan penghukuman. Dengan relevansi yang sama, banyak pasien
bunuh diri menggunakan preokupasi bunuh diri sebagai cara untuk melawan depresi yang
tidak dapat ditoleransi dan rasa putus asa. Kenyataannya, suatu studi oleh Aaron Beck
menunjukkan bahwa keputusasaan adalah salah satu indikator yang paling akurat untuk risiko
bunuh diri jangka panjang.

Faktor Biologis. Berkurangnya serotonin sentral memainkan peranan di dalam perilaku


bunuh diri. Suatu kelompok di Institut Karolinska di Swedia adalah yang pertama kali
memperhatikan bahwa konsentrasi metabolit serotonin 5-hidroxyin-doleacetic acid (5-HIAA)
yang rendah di cairan serebrospinal (CSS) lumbal terkait dengan perilaku bunuh diri. Temuan
ini telah di kemukakan beberapa kali di dalam kelompok diagnostik yang berbeda. Studi
neurokimia postmortem melaporkan adanya sedikit penurunan serotonin itu sendiri atau 5-
HIAA di batang otak atau korteks frontalis korban bunuh diri. Studi reseptor postmortem
melaporkan perubahan bermakna di tempat pengikatan serotonin prasinaps dan pascasinaps
13
pada korban bunuh diri. Jika dipertimbangkan bersama, studi CSS, neurokimia, dan reseptor
menyokong hipotesis bahwa berkurangnya serotonin sentral terkait dengan bunuh diri. Studi
terkini juga melaporkan beberapa perubahan sistem noradrenergik pada korban bunuh diri.1-3

Faktor Genetik. Perilaku bunuh diri, seperti gangguan psikiatrik lainnya, cenderung
menurun di dalam keluarga. Pada pasien psikiatrik, riwayat bunuh diri di dalam keluarga
meningkatkan risiko percobaan bunuh diri dan bunuh diri yang berhasil pada sebagian besar
kelompok.1

Studi Kembar. Studi tonggak pada tahun 1991 menyelidiki 176 pasangan kembar yang salah
satunya melakukan bunuh diri. Dalam sembilan dari pasangan kembar ini, kedua kembaar
telah melakukan bunuh diri. Tujuh dari sembilan pasangan ini yang bersamaan bunuh diri
ditemukan pada 62 pasangan monozigot, sementara dua pasang bersamaan bunuh diri
ditemukan pada 114 pasang kembar dizigot. Perbedaan kedua kelompok kembar untuk bunuh
diri bersamaan (11,3 vs 1,8 persen) secara statistik bermakna (P<0,1).1

Meskipun kembar monozigot dan dizigot dapat memiliki pengalaman perkembangan yang
berbeda, hasil ini menunjukkan bahwa pasangan kembar monozigot memiliki konkordansi
yang secara signifikan lebih tinggi untuk bunuh diri dan percobaan bunuh diri, yang
mengesankan bahwa faktor genetik dapat memainkan peranan di dalam perilaku bunuh diri.

Sudi Genetik Molekular. Tryptophan hydroxylase (TPH) adalah enzim yang terlibat di
dalam biosintesis serotonin. Suatu polimorfisme di dalam gen TPH manusia telah
diidentifikasi dengan dua alel – U dan L. Karena rendahnya konsentrasi 5-HIAA di dalam
CSS terkait dengan perilaku bunuh diri, dihipotesiskan bahwa individu tersebut dapat
memiliki perubahan gen yang mengendalikan sintesis dan metabolisme serotonin. Juga
ditemukan bahwa alkoholik yang impulsif, yang memiliki konsentrasi 5-HIAA-CSS yang
rendah, memiliki genotipe LL dan UL yang lebih banyak. Lebih jauh lagi, riwayat percobaan
bunuh diri secara signifikan terkait dengan genotipe TPH pada semua alkoholik yang
melakukan kekerasan: 34 dari 36 pelaku kekerasan yang mencoba bunuh diri memiliki
genotipe UL atau LL. Dengan demikian, disimpulkan bahwa ada alel L terkait dengan
peningkatan risiko percobaan bunuh diri.1,2

Demikian juga, riwayat percobaan bunuh diri berulang ditemukan paling sering pada subjek
dengan genotipe LL dan pada jumlah yang lebih sedikit, di antara mereka dengan genotipe

14
UL. Hal ini mengarahkan dugaan bahwa alel L dihubungkan dengan perilaku bunuh diri
berulang. Adanya satu alel TPH*L dapat menunjukkan berkurangnya kapasitas untuk
menghidroksilasi tryptophan menjadi 5-hydroxytryptophan di dalam sintesis serotonin,
sehingga menghasilkan rendahnya pergantian serotonin sentral dan dengan demikkan
menurunkan konsentrasi 5-HIAA di dalam CSS.1,2

Perilaku Parasuicidal. Parasuicide adalah istilah yang diperkenalkan untuk mengambarkan


pasien yang mencederai diri sendiri dengan mutilasi diri (cth. Menyayat kulit) tetapi biasanya
tidak ingin mati. Sejumlah studi menunjukkan bahwa kira-kira 4 persen pasien di rumah sakit
psikiatrik menyayat diri mereka sendiri; rasio perempuan banding laki-laki adalah hampir 3:1.
Insiden mencederai diri sendiri pada pasien psikiatrik diperkirakan 50 kali dibandingkan
populasi umum. Psikiater memperhatikan bahwa pelaku telah mencederai dirinya sendiri
selama beberapa tahun.1

Pasien ini biasanya berusia 20-an dan dapat juga lajang atau sudah menikah. Sebagian besar
sayatan bersifat halus, tidak kasar, biasanya dilakukan sendiri dengan pisau cukur, pisau,
pecahan gelas, atau cermin. Pergelangan tangan, lengan, paha, dan tungkai adalah yang paling
sering disayat; wajah, payudara, dan abdomen yang jarang di sayat. Sebagian besar orang
yang menyayat diri mereka sendiri menyatakan tidak merasa sakit dan memberikan alasan
seperti marah pada diri sendiri atau orang lain, meredakan ketegangan dan keinginan untuk
mati. Sebagian besar digolongkan memiliki gangguan kepribadian dan secara signifikan lebih
tertutup, neurotik, dan bermusuhan dibandingkan kontrol. Penyalahgunaan alkohol dan zat
lain lazim melakukannya, dan sebagian besar pelaku pernah mencoba bunuh diri. Mutilasi diri
sendiri di pandang sebagai perusakan diri terlokalisasi, dengan salah penanganan impuls
agresif yang disebabkan oleh keinginan tidak disadari seseorang untuk menghukum dirinya
sendiri atau objek yang diintrojeksikan.1

Gambaran Klinis dan Diagnosis

Mengidentifikasi pasien yang mempunyai kecenderungan bunuh diri merupakan hal yang
sangat penting namun sulit. Berikut adalah hal-hal yang merupakan risiko tinggi terjadinya
tindak bunuh diri.

1. Laki-laki
2. Usia makin tua
3. Isolasi social / hidup seorang diri
15
4. Riwayat bunuh diri atau percobaan bunuh diri dalam keluarga
5. Riwayat menderita sakit atau nyeri kronik
6. Baru menjalani operasi
7. Tidak mempunyai pekerjaan
8. Sudah membereskan segala urusan duniawinya
9. Akan mengalami ‘ulang tahun’ (anniversary) suatu kehilangan.

GAMBAR 1 ■ Faktor risiko bunuh diri.


Sumber : Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock: buku ajar psikiatri klinis. 2010. Ed. 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Prediksi

Klinisi harus mengkaji masing-masing risiko pasien untuk bunuh diri berdasarkan pada
pemeriksaan klinis. Bunuh diri dikelompokkan ke dalam faktor terkait risiko tinggi dan faktor
terkait risiko rendah – dapat dilihat pada tabel di atas. Ciri risiko tinggi mencakup berusia
lebih dari 45 tahun, jenis kelamin laki-laki, ketergantungan alkohol (angka bunuh dirinya 50
kali lebih tinggi pada orang dengan ketergantungan alkohol dibandingkan dengan mereka

16
yang tidak memiliki ketergantungan alkohol), perilaku kekerasan, perilaku bunuh diri
sebelumnya dan perawatan psikiatrik sebelumnya.1,2

Terapi

Sebagian besar bunuh diri pada pasien psikiatrik dapat dicegah, seperti yang ditunjukkan oleh
bukti bahwa pengkajian atau terapi yang tidak adekuat sering dikaitkan dengan bunuh diri.
Beberapa pasien mengalami penderitaan semakin berat dan hebatnya atau sedemikian
kronisnya dan tidak responsif terhadap terapi, sehingga bunuh dirinya dianggap sebagai hal
yang tidak dapat terelakkan. Untungnya, pasien seperti ini relatif tidak lazim. Pasien lain
memiliki gangguan kepribadian berat, sangat impulsif, dan melakukan bunuh diri dengan
spontan, sering ketika mereka sedang disforik atau intoksikasi atau keduanya.1,2

Evaluasi potensi bunuh diri melibatkan anamnesis riwayat psikiatrik yang lengkap;
pemeriksaan menyeluruh mengenai keadaan mental pasien; dan pertanyaan mengenai gejala
depresif, pikiran, niat, rencana dan percobaan bunuh diri. Jika dipertimbangkan semuanya,
tidak adanya rencana di masa mendatang, memberikan milik pribadi, membuat surat wasiat
dan baru-baru ini mengalami kehilangan mengesankan peningkatan risiko bunuh diri.
Keputusan untuk merawat pasien di rumah sakit bergantung pada diagnosis, keparahan
depresi dan gagasan bunuh diri, kemampuan pasien dan keluarga untuk mengatasi masalah,
situasi hidup pasien, ketersediaan dukungan sosial, dan tidak adanya atau adanya faktor risiko
bunuh diri.1,2

Terapi Rawat Inap vs Rawat Jalan. Perlu atau tidaknya merawat pasien dengan gagasan
bunuh diri di rumah sakit merupakan suatu keputusan yang paling penting untuk dibuat. Tidak
semua pasien dengan gagasan bunuh diri perlu perawatan di rumah sakit; beberapa dari
mereka dapat diterapi dengan rawat jalan. Tetapi tidak adanya sistem dukungan sosial yang
kuat, riwayat perilaku impulsif, dan rencana tindakan bunuh diri adalah indikasi perawatan.
Untuk memutuskan apakah terapi rawat jalan dapat dilakukan, klinisi harus menggunakan
pendekatan klinis langsung. Mereka harus meminta pasien yang dianggap berpotensi bunuh
diri untuk menghubungi saat merasa tidak pasti mengenai kemampuan mereka untuk
mengendalikan impuls bunuh diri. Pasien dapat membuat perjanjian seperti ini dengan dokter
yang memiliki hubungan dengan mereka menguatkan kembali keyakinan bahwa mereka
memiliki kekuatan yang cukup untuk mengendalikan impuls tersebut dan untuk mencari
pertolongan.1

17
Sebagai balasan terhadap komitmen pasien, klinisi harus siap 24 jam bagi pasien. Jika pasien
yang dianggap secara serius ingin bunuh diri tidak dapat membuat komitmen tersebut,
perawatan rumah sakit darurat segera diindikasikan; pasien dan juga keluarga pasien harus
diberi saran. Meskipun demikian, jika pasien akan diterapi secara rawat jalan, terapis harus
mencatat nomor telepon rumah dan kantor pasien untuk keadaan gawat darurat; kadang-
kadang, pasien menutup telepon tiba-tiba saat telepon di malam hari atau hanya memberikan
nama pada layanan penjawab telepon. Jika pasien menolak perawatan di rumah sakit,
keluarga harus bertanggung jawab untuk berada bersama pasien selama 24 jam dalam sehari.

Banyak psikiater yakin bahwa pasien yang pernah mencoba bunuh diri, tanpa memandang
letalitasnya, harus dirawat. Meskipun sebagian besar pasien ini secara voluntar masuk rumah
sakit, bahaya pada diri sendiri merupakan salah satu indikasi jelas yang saat ini diterima di
semua negara untuk perawatan involuntar. Di rumah sakit, pasien dapat menerima obat
antidepresan atau antripsikotik sesuai indikasi; terapi individu, terapi kelompok, dan terapi
keluarga tersedia; dan pasien menerima dukungan sosial rumah sakit serta rasa aman. Cara
terapeutik lain bergantung pada diagnosis yang mendasari. Contohnya, jika ketergantungan
alkohol adalah masalah yang menyertai, tetapi harus ditunjukkan untuk menghilangkan
keadaan tersebut.1

Meskipun pasien yang digolongkan berpotensi bunuh diri akut dapat memiliki prognosis yang
baik, pasien dengan potensi bunuh diri kronis sulit diterapi dan mereka melelahkan orang
yang merawat mereka. Pengamatan konstan oleh perawat khusus, pengasingan, dan
pengikatan tidak dapat mencegah bunuh diri saat pasien yakin melakukannya. Terapi
elektrokonvulsi mungkin perlu untuk beberapa pasien depresi berat, yang dapat memerlukan
beberapa kali sesi terapi.

Cara berguna untuk terapi pasien depresi yang dirawat inap dengan kecenderungan bunuh diri
mencakup mencari barang-barang miliknya yang dapat digunakan untuk bunuh diri saat
masuk ke dalam bangsal dan mengulang pencarian saat eksaserbasi gagasan bunuh diri.
Idealnya, ini harus diterapi di bangsal terkunci yang jendelanya tahan pecah, dan ruang pasien
harus ditempatkan di dekat tempat perawat untuk memaksimalkan observasi oleh perawat.
Tim terapi harus mengkaji seberapa banyak harus mengekang pasien dan apakah akan
melakukan pemeriksaan regular atau menggunakan observasi langsung terus menerus. Terapi
dengan obat antidepresan atau antipsikotik yang intensif harus dimulai.

18
Psikoterapi suportif oleh psikiater menunjukkan kepedulian dan dapat menghilangkan
beberapa penderitaan hebat pasien. Beberapa pasien dapat mampu menerima gagasan bahwa
mereka menderita suatu penyakit yang diketahui dan mereka mungkin akan dapat sembuh
sempurna. Pasien harus diminta untuk tidak membuat keputusan hidup yang penting saat
mereka depresi dan ingin bunuh diri, karena keputusan tersebut sering ditentukan secara
morbid dan bisa tidak dapat diubah. Akibat keputusan buruk tersebut dapat menimbulkan
kesedihan dan penderitaan lebih lanjut ketika pasien telah pulih.

Pasien yang pulih dari depresi dengan gagasan bunuh diri memiliki risiko tertentu. Ketika
depresi naik, pasien menjadi sedemikian berenergi sehingga dapat melakukan rencana bunuh
dirinya menjadi kenyataan (bunuh diri paradoksikal). Kadang-kadang, pasien depresi, dengan
atau tanpa terapi, tiba-tiba dapat tampak damai dengan diri mereka sendiri karena mereka
telah mencapai keputusan rahasia untuk melakukan bunuh diri. Klinisi terutama harus curiga
terhadap perubahan klinis dramatik seperti itu, yang dapat meramalkan percobaan bunuh diri.
Meskipun jarang, beberapa pasien berbohong pada psikiater mengenai niat bunuh dirinya,
dengan demikian menumbangkan penilaian klinis yang paling teliti.

Seorang pasien dapat melakukan bunuh diri bahkan ketika berada di rumah sakit. Menurut
satu survei, kira-kira 1 persen bunuh diri dilakukan oleh pasien yang diterapi di rumah sakit
psikiatrik atau bedah-medis umum, tetapi angka bunuh diri tahunan di rumah sakit psikiatrik
hanya 0,003 persen.

Untuk dapat membantu menentukan seseorang dengan risiko bunuh diri dirawat atau tidak
dapat menggunakan SAD PERSONS Scale yang telah dimodifikasi. Skala ini telah dipakai

19
luas dan terdiri dari 10 faktor risiko bunuh diri. Jika skor >= 6, maka pasien tersebut
membutuhkan perawatan di rumah sakit. Tetapi jika skornya <= 5, maka pasien tersebut dapat
dirawat jalan.2

GAMBAR 2 ■ SAD PERSONS Scale yang telah dimodifikasi.


Sumber : Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock: buku ajar psikiatri klinis. 2010. Ed. 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

20
Faktor Etis dan Hukum. Masalah tanggung jawab yang timbul dari bunuh diri di rumah
sakit psikiatrik sering meliputi pertanyaan-pertanyaan mengenai tingkat deteriorasi pasien,
adanya tanda klinis yang menunjukkan risiko selama perawatan di rumah sakit dan kesiagaan
psikiater dan anggota petugas lain, serta respons terhadap tanda-tanda klinis ini.1

Pada kira-kira setengah dari kasus bunuh diri saat pasien berada di unit psikiatrik, terjadi
perkara hukum. Pengadilan tidak mengharuskan angka bunuh diri nol, tetapi mengharuskan
evaluasi pasien periodik untuk risiko bunuh diri, formulasi rencana terapi dengan tingkat
keamanan yang tinggi, dan anggota petugas yang mengikuti rencana terapi.1

Membantu dan bersekongkol di dalam bunuh diri menambahkan dimensi lain pada masalah
hukum dan etis; beberapa keputusan pengadilan berpegang bahwa meskipun baik bunuh diri
maupun percobaan bunuh diri tidak dapat dihukum, siapa pun yang membantu tindakan
tersebut dapat dihukum.1

21
BAB III

Penutup

Kesimpulan

Bunuh diri merupakan suatu kegawatdaruratan psikiatri dimana terdapat kematian


yang diniatkan dan dilakukan oleh seseorang terhadap dirinya sendiri. Ide-ide bunuh diri dan
percobaan bunuh diri merupakan hal yang sering dijumpai di ruang gawat darurat. Evaluasi
potensi bunuh diri melibatkan anamnesis riwayat psikiatrik yang lengkap; pemeriksaan
menyeluruh mengenai keadaan mental pasien, dan pertanyaan mengenai gejala depresif,
pikiran, niat, rencana dan percobaan bunuh diri.

Sebagian besar bunuh diri pada pasien psikiatrik dapat dicegah. Pasien yang mencoba
bunuh diri harus dikaji ulang adakah psikopatologi yang mendasarinya. Penanganan dengan
terapi psikofarmaka dapat digunakan secara supportif untuk mengurangi penderitaan pasien.

22
Referensi

1. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock: buku ajar psikiatri klinis. Ed. 2. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC, 2010: 426-33.
2. Wilcox HC, Beautrais AL, Larkin GL. Suicide assessments. In: Chanmugam A, Triplet P,
Kelen G [editor]. Emergency psychiatry. New York: Cambridge University Press, 2013: 41-
56.
3. World Health Organization. Preventing suicide a global imperative: executive summary. Di
unduh pada https://www.who.int/mental_health/suicide-prevention/world_report_2014/en/
tanggal 20 Agustus 2020.
4. World Health Organization. Mental health gap action programme intervention gap. Di unduh
pada www.who.int/mediacentre/factsheets/fs398/en tanggal 20 Agustus 2020.
5. World Health Organization. Preventing suicide a resource for general physicians. Di unduh
pada https://www.who.int/mental_health/resources/preventingsuicide/en/ tanggal 20
Agustus 2020.
6. Knoll JL. The psychiatric er survival guide. Upstate Medical University Online Press.
Di unduh pada www.umu-op.com tanggal 21 Agustus 2020.
7. Gibbons RD, Brown CH, Hur K, Davis JM, Mann JJ. Suicidal thoughts and behavior with
antidepressant treatment. Arch Gen Psychiatry. 2012 June ; 69(6): 580-7.
8. Zeppegno P, Gramaglia C, Castello LM, Bert F, Gualano MR, Ressico F, et al. Suicide
attempts and emergency room psychiatric consultation. BMC Psychiatry. 2015; 15:13.
9. Nock MK, Borges G, Bromet EJ, Alonso J, Angermeyer M, Beautrais A, et al. Cross-national
prevalence and risk factors for suicidal ideation, plans and attempts. BJPsych. 2008; 192: 98-
105.
10. Inder KJ, Handley TE, Johnston A, Weaver N, Coleman C, Lewin TJ. Determinants of
suicidal ideation and suicide attempts: parallel cross-sectional analyses examining
geographical location. BMC Psychiatry. 2014; 14:208.

23

Anda mungkin juga menyukai