Anda di halaman 1dari 23

REFRAT

PERILAKU BUNUH DIRI

PENULIS

Matias Nurhariyadi
01073179153

PENGUJI

Dr. Waskita Roan, Sp. KJ

KEPANITRAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA

SANOTARIUM DHARMAWANGSA

UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

TANGERANG

Refrat Perilaku Bunuh diri| Matias Nurhariyadi Page 1


DAFTAR ISI

BAB I................................................................................................................2
PENDAHULUAN ...............................................................................2
BAB II..............................................................................................................4
2.1 DEFENISI......................................................................................4
2.2 EPIDEMIOLOGI...........................................................................4
2.3 ETIOLOGI.....................................................................................5
2.3.1 FAKTOR SOSIOLOGIKAL......................................................8
2.3.2 FAKTOR PSIKOLOGIKAL ..................................................9
2.4 MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS..............................11
2.5 TATALKSANA............................................................................14
2.5.1 FARMAKOTERAPI..................................................................15
2.5.2 ECT.............................................................................................17
2.5.3 PSIKOTERAPI..........................................................................17
BAB III...........................................................................................................19
KESIMPULAN..................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA

Refrat Perilaku Bunuh diri| Matias Nurhariyadi Page 2


BAB I

PENDAHULUAN

Kematian yang disebabkan oleh bunuh diri merupakan suatu


masalah kompleks yang menyebabkan sakit mendalam bagi ratusan
bahkan ribuan orang di seluruh dunia. Banyak orang menganggap remeh
dan tidak begitu memperhatikan masalah-masalah mengenai bunuh diri
ini, karena mereka berpikir bahwa bunuh diri hanya dilakukan oleh orang-
orang yang tidak memiliki kekuatan mental yang cukup atau orang-orang
dengan gangguan kesehatan jiwa. Masalah kultur dan kepercayaan moral
tentang bunuh diri serta pandangan pesimis dalam pengobatan dan
pencegahan terhadap kasus bunuh diri itu sendiri juga menjadi suatu
halangan yang sangat besar untuk orang-orang mau mengerti dan
mengatasi permasalah bunuh diri ini.
Menurut data yang di keluarkan oleh IHME (Institute for Health
Metrics and Evaluation) pada tahun 2016 terdapat total 817.000 kasus
kematian karena bunuh diri di seluruh dunia pertahunnya. Jumlah ini
hanya mengalami sedikit penurunan dari tahun 1990-an, dimana jumlah
kematian karena bunuh diri pada tahun itu adalah sekitar 850.000-860.000
kasus setiap tahunnya(1). IHME juga mendapatkan data tentang
perbandingan jumlah kematian karena bunuh diri pada laki-laki dan
perempuan dengan ratio 3:1 dengan laki-laki 3 kali lebih tinggi di
bandingkan dengan perempuan(1).
Dalam psikiatri sendiri, bunuh diri merupakan salah satu dari
beberapa kasus emergensi dalam kejiwaan. Jika diibaratkan dalam kasus
penyakit dalam, kasus bunuh diri sama seperti penyakit kanker pada
departemen penyakit dalam.
Usaha yang besar sangat di butuhkan untuk kita dapat mengatasi
masalah tingginya tingkat kematian oleh karena bunuh diri. Usaha tersebut
haruslah terbagi rata dalam hal pencegahan, penyembuhan, dan pemulihan.
Sementara itu selain dalam bidang medis, bidang keluarga dan kerabat

Refrat Perilaku Bunuh diri| Matias Nurhariyadi Page 3


juga memegang peran penting dalam proses pencegahan, penyembuhan,
dan pemulihan dari pasien, oleh karena itu kita tidak boleh melewatkan
satu aspek pun dalam proses mengurangi tingginya tingkat kematian oleh
karena bunuh diri ini.

Refrat Perilaku Bunuh diri| Matias Nurhariyadi Page 4


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Menururt nomenklatur yang dibuat pada tahun 2007 oleh “The
American Association of suicidology” bunuh diri adalah suatu tindakan
mengakhiri secara sengaja nyawa dari dirinya sendiri(2). Bunuh diri yang
bahasa Inggrisnya adalah suicide berasal dari kata latin suicidium dari sui
caedere, yang berarti “membunuh diri sendiri”. O’connor dan Nock
mengatakan bahwa perilaku bunuh diri mengacu pada pikiran-pikiran dan
perilaku yang terkait dengan intensi individual untuk mengakhiri hidup
mereka sendiri(3). Hal ini sangatlah berbeda dengan tindakan euthanasia
dimana seseorang yang sedang mengalami suatu penyakit meminta kepada
pihak medis untuk segera mengakhiri nyawanya karena ketidak sanggupan
orang tersebut untuk melawan penyakit yang ada.
Tingkah laku bunuh diri kemudian di klasifikasikan lebih spesifik
ke dalam 3 katergori yakni : suicide ideation yang mengacu ke pada
bermulanya pemikiran-pemikiran mengenai tindakan yang secara sengaja
dapat mengakhiri nyawanya sendiri, suicide plan yang mengacu kepada
perancangan metode-metode spesifik yang mana metode ini dapat
mengakhiri nyawanya sendiri, suicide attempt yang mengacu kepada
tindakan-tindakan yang dilakukan secara sengaja yang berpotensi
mengakhiri nyawanya sendiri(2). Ada beberapa peneliti dan klinisi juga
membedakan antara perilaku bunuh diri dan perilaku nonsuicidal self-
injury yakni suatu perilaku melukai diri sendiri tanpa ada niatan untuk
bunuh diri.

2.2 EPIDEMIOLOGI
Prevalensi kasus bunuh diri di setiap negara tidak lah sama
tergantung dari berbagai faktor yang terdapat di sebuah negara tersebut.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh IHME (Institute for Health
Metrics and Evaluation) pada tahun 2016 didapatkan data yakni 817000

Refrat Perilaku Bunuh diri| Matias Nurhariyadi Page 5


kematian yang diakibatkan oleh kasus bunuh diri(1). Jika kita bandingkan,
data ini hanya mengalami sedikit penurunan dari tahun 1990 dimana angka
kematian pada tahun itu berkisar antara 850000-860000.
Dari beberapa penggolongan umur yang dilakukan oleh IHME,
didapatkan bahwa golongan umur yang paling memberikan kontribusi
tersbesar pada angka kematian akibat bunuh diri di dunia adalah kelompok
umur 15-49 tahun, dan kelomopok umur paling sedikit angka kematian
akibat kasus bunuh diri adalah umur 5-14 tahun(1).
Untuk indonesia sendiri tercatat ada total 8577 kasus kematian
akibat bunuh diri pada tahun 2016 tersebut dengan kasus terbanyak
disumbangkan oleh kelompok umur 15-49 tahun dan yang paling sedikit
adalah kelompok umur 5-14 tahun.

2.3 ETIOLOGI
Penyebab dari kematian oleh karena bunuh diri masih belom dapat
di pahami dengan sempurna. Perilaku ini diyakini berasal dari adanya
suatu interaksi yang sangat kompleks dari beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi pikiran seseorang.
Seperti halnya dalam penyakit gangguan-gangguan lain atau
penyakit-penyakit lain, perilaku bunuh diri juga memiliki berbagai macam
faktor resiko yakni:
Jenis kelamin. Terdapat fakta bahwa laki-laki 4 kali lebih banyak
melakukan bunuh diri dari perempuan walaupun perempuan memiliki
pemikiran untuk bunuh diri 3 kali lebih besar dari laki-laki. Hal ini
kemungkinan besar dipengaruhi oleh metode-metode yang dipakai dalam
melakukan bunuh diri. Laki-laki lebih cenderung untuk menggunakan
senjata api, gantung diri, dan melompat dari ketinggian tinggi. Perempuan
di sisi lain lebih sering menggunakan obat-obat psikoaktif dan racun
dengan dosis yang tinggi untuk melakukan bunuh diri(4).
Umur. Angka bunuh diri meningkat sesuai dengan bertambahnya
usia. Pada laki laki, puncak bunuh diri adalah ada pada usia 45 tahun;

Refrat Perilaku Bunuh diri| Matias Nurhariyadi Page 6


pada wanita, jumlah terbesar bunuh diri yang berhasil adalah diatas 55
tahun. Orang lanjut usia kurang sering melakukan usaha bunuh diri
dibandingkan orang muda tetapi lebih sering berhasil. Angka untuk
mereka yang berusia75 tahun atau lebih adalah lebih dari tiga
kali dibandingkan angka untuk orang muda(4)
Ras. Angka bunuh diri pada pria kulit putih dan perempuan kulit
putih adalah sekitar 2 sampai tiga kali lebih besar dari pada orang-orang
dengan ras afrika amerika.
Status perkawinan. Perkawinan yang diperkuat oleh anak
tampaknya secara bermakna menurunkan risiko bunuh diri. Orang yang
hidup sendirian dan tidak pernah menikah memiliki angka dua kali lipat
dibandingkan dengan orang yang menikah. Tetapi, orang yang sebelumnya
pernah menikah menunjukan angka yang jelas lebih tinggi dibandingkan
orang yang tidak pernah menikah. Bunuh diri menjadi lebih sering pada
orang yang memiliki riwayat bunuh diri dalam keluarganya dan yang
terisolasi.
Ada satu hal yang disebut bunuh diri ulang tahun (anniversary
suicide) adalah bunuh diri yang dilakukan oleh orang yang mencabut
hidupnya pada hari yang sama seperti yang dilakukan oleh anggota
keluarganya.
Pekerjaan. Semakin tinggi status seseorang, semakin besar resiko
bunuh diri, tetapi penurunan status social yang terjadi secara mendadak
dan drastis juga meningkatkan risiko. Pada umumnya, pekerjaan
menghalangi bunuh diri.Bunuh diri lebih tinggi pada orang yang
pengangguran dibandingkan orang yang bekerja.Selama resesi ekonomi
dan depresi, angka bunuh diri menjadi meningkat. Selama waktu tingginya
pekerjaan dan selama perang, angka bunuh diri menurun. Dokter
secaratradisional dianggap memiliki risiko terbesar untuk bunuh diri.
Dokter psikiatri dianggapmemiliki risiko yang paling tinggi. Populasi yang
berada dalam risiko khusus adalah musisi, dokter gigi, pekerja mekanik,
pengacara dan agen asuransi(4).

Refrat Perilaku Bunuh diri| Matias Nurhariyadi Page 7


Kesehatan fisik. Hubungan antara kesehatan fisik dan bunuh diri
sangat bermakna. Penelitian postmortem menunjukan bahwa suatu
penyakit fisik ditemukan pada 25 sampai 75 persen dari semua korban
bunuh diri. 50% orang dengan kanker yang melakukan bunuh diri
melakukannya dalam satu tahun setelah mendapatkan diagnosis(4).
Faktor yang berhubungan dengan penyakit dan terlibat didalam
bunuh diri dan usaha bunuh diri adalah hilangnya mobilitas pada orang
yang aktivitas fisiknya memiliki kepentingan pekerjaan atau rekreasional;
kecacatan, terutama pada wanita; dan rasa sakit kronis yang tidak dapat
diobati.
Obat-obat tertentu yang dapat menyebabkan depresi, diketahui
kemungkinan besar menyebabkan bunuh diri pada beberapa kasus.
Diantara obat obat tersebut adalah reserpine (Serpasil), kortikosteroid,
antihipertensi, dan beberapa obat antikanker.
Kesehatan mental. Sekitar 95 persen dari semua orang yang
melakukan bunuh diri atau hanya sekedar percobaan bunuh diri telah
didiagnosis menderita gangguan mental. Gangguan depresi menyubang
sekitar 80 persen, schizofrenia sebesar 10 persen, dan demensia atau
delirium memberikan kontribusi sebesar 5 persen. Diantara semua orang
dengan gangguan mental, 25 persen diantaranya adalah pecandu alkohol
dan memiliki dual diagnosis. Orang-orang dengan perilaku impulsif atau
tindakan kekerasan juga berada dalam resiko yang tinggi untuk melakukan
tindakan bunuh diri(4).
Pasien psikiatrik. Pasien psikiatrik memiliki resiko untuk bunuh
diri 3 sampai 12 kali lebih tinggi dibandingkan dengan orang-orang yang
bukan pasien psikiatrik. Derajat resikonya bervariasi bergantung pada usia
jenis kelamin, diagnosis dan status pasien rawat inap atau rawat jalan.
Setelah penyesuaian untuk usia pasien psikiatrik laki-laki dan perempuan
yang pernah dirawat sebelumnya masing-masing memiliki lima dan
sepuluh kali lebih tinggi resiko bunuh diri dari pada yang lainnya di
populasi umum. Untuk pasien rawat jalan laki-laki dan perempuan yang

Refrat Perilaku Bunuh diri| Matias Nurhariyadi Page 8


belum pernah di rawat di rumah sakit untuk terapi psikiatrik masing-
masing resikonya tiga dan empat kali lebih tinggi dari pada yang lainya di
populasi umum. Resiko bunuh diri yang lebih tinggi untuk pasien
psikiatrik yang pernah dirawat mencerminkan fakta bahwa pasien dengan
gangguan jiwa berat cenderung untuk dirawat contohnya pasien dengan
gangguan depresif yang membutuhkan terapi elektrokonvsulsi. Diagnosis
psikiatrik yang memiliki resiko bunuh diri paling tinggi pada kedua jenis
kelamin adalah gangguan mood(4).
Pasien terutama dengan gangguan panik, yang sering
membutuhkan layanan gawat darurat juga memiliki peningkatan resiko
bunuh diri. Satu studi melaporkan bahwa pasien seperti itu memiliki angka
bunuh diri lebih dari tujuh kali dari angka populasi umum yang
disesuaikan dengan usia serta jenis kelamin. Dua kelompok resiko utama
adalah pasien dengan gangguan depresif skizofrenia dan penyalahgunaan
zat serta pasien melakukan kunjungan berulang ke ruang gawatdarurat
harus terlatih dengan baik dalam melakukan anamnesis mengenai riwayat
psikiatrik pasien, memeriksa keadaan jiwa pasien, megkaji resiko bunuh
diri dan melakukan penempatan yang sesuai. Mereka juga harus tau
kebutuhan menghubungi pasien yang beresiko yang tidak memenuhi janji
untuk pemantauan lanjutan(4-5).
Selain beberapa faktor resiko diatas, terdapat 2 faktor utama yang
menjadi penyebab dalam perilaku bunuh diri tersebut yakni factor
sosiologikal dan factor psikologikal.

2.3.1 FAKTOR SOSIOLOGIKAL


Teori Durkheim’s. Seorang sosiologis dari Perancis yakni Emile
Durkheim, pada akhir abad ke 19 membuat suatu penelitian tentang
pengaruh sosial dan kultural terhadap perilaku bunuh diri. Durkheim
membagi perilaku bunuh diri kedalam 3 kategori sosial yakni egoistic,
altruistic, dan anomic.

Refrat Perilaku Bunuh diri| Matias Nurhariyadi Page 9


Egoistic. Kategori ini berlaku pada orang-orang yang tidak
memiliki hubungan yang kuat dengan grup-grup sosial, atau dengan kata
lain lebih suka menyendiri. Kategori ini menjelaskan mengapa orang-
orang yang tidak menikah lebih rentan untuk melakukan tindakan bunuh
diri dibandingkan dengan orang-orang yang menikah, dan pasangan yang
telah mempunyai anak adalah kelompok yang paling terlindungi dari
tindakan atau perilaku bunuh diri tersebut.
Altruistic. Ketegori ini berlaku pada orang-orang yang rentan
terhadap perilaku bunuh diri akibat dari hubungan mereka yang terlalu erat
atau berlebihan dengan suatu kelompok social. Sebagai contoh seorang
prajurit yang rela melakukan tindakan bunuh diri untuk melindungi
negaranya.
Anomic. Kategori ini berlaku bagi seseorang yang hubungan
dengan lingkungan socialnya terganggu sehingga mereka tidak 10ene
mengikuti norma perilaku yang lazim. Anomik ini menjelaskan mengapa
perubahan status ekonomi yang drastic membuat orang-orang lebih rentan
terhadap perilaku bunuh diri(4).

2.3.2 FAKTOR PSIKOLOGIKAL


Teori Freuds. Sigmund Freuds mengutarakan teori penting
pertama mengenai factor psikologikal dalam perilaku bunuh diri. Freud
menyatakan keyakinan bahwa bunuh diri menunjukan agresi yang
diarahkan untuk melawan suatu objek cinta yang di introjeksikan serta
terkurung secara ambivalensi.
Teori Menninger. Berdasar dari teori Freud, dalam Man against
Himself, Menninger meyakini bahwa perilaku bunuh diri merupakan
pembunuhan yang ditujukan kepada diri sendiri akibat dari adanya
kemarahan terhadap orang lain. Pembunuhan yang diretrofleksikan ini
antara di balik ke pada diri sendiri atau dijadikan alasan untuk menghukum
diri sendiri. Menninger juga mendeskripsikan tiga komponen permusuhan

Refrat Perilaku Bunuh diri| Matias Nurhariyadi Page 10


di dalam bunuh diri yakni keinginan untuk membunuh, keinginan untuk di
bunuh dan keinginan untuk mati.
Teori terkini. Ahli-ahli bunuh diri kontemporer tidak terpengaruhi
oleh teori yang mengatakan bahwa struktur kepribadian atau psikodinamik
tertentu memiliki hubungan dengan perilaku bunuh diri. Mereka meyakini
bahwa banyak yang dapat dipelajari mengenai psikodinamik pasien bunuh
diri dari khayalan mereka mengenai apa yang akan terjadi dan apa yang
menjadi konsekuensi jika mereka melakukan bunuh diri. Khayalan seperti
ini sering mencakup harapan untuk balas dendam, kekuatan, control, atau
hukuman; penebusan kesalahan, pengorbanan atau ganti rugi: kabur atau
tidur, penyelamatan, kelahiran kembali, penyatuan kembali dengan
kematian, atau suatu kehidupan baru.
Orang yang depresi dapat melakukan tindakan bunuh diri tepat saat
mereka kelihatannya baru saja pulih dari depresi yang mereka alami.
Banyak dari pasien bunuh diri menggunakan preokupasi bunuh diri untuk
melawan balik depresi yang tidak dapat ditoleransi dan rasa tidak berdaya.
Factor biologis. Menurunnya kadar serotonin sentral memiliki
pengaruh di dalam perilaku bunuh diri. Di sebuah grup di institute
karolinka menemukan bahwa rendahnya konsentrasi dari serotonin
metabolite 5-hydroxyindoleacetic acid (5-HIAA) pada cairan serebrospinal
memiliki asosiasi atau hubungan dengan perilaku bunuh diri. Tidak hanya
itu, pada penelitian neurokimia 11enetic11tem ditemukan bahwa,
kebanyakan korban bunuh diri mengalami penurunan terhadap serotonin
dan 5-HIAA baik itu di korteks frontal atau di batang otak. Penelitian pada
11enetic11tem khususnya pada reseptor telah menemukan bahwa adanya
perubahan yang signifikan terhadap reseptor tempat berikatnya serotonin
baik itu di presinaptik atau pun postsinaptik.
Factor genetic. Perilaku bunuh diri seperti penyakit psikiatrik
lainya cenderung untuk menurun dalam keluarga. Pada pasien psikiatrik,
adanya riwayat keluarga yang melakukan bunuh diri meningkatkan resiko
bunuh diri dari pasien tersebut.

Refrat Perilaku Bunuh diri| Matias Nurhariyadi Page 11


Penelitian molekular genetic. Tryptophan hydroxylase (TPH)
merupakan suatu enzyme yang terlibat dalam pembentukan serotonin.
Seperti yang telah di jelaskan sebelumnya, bahwa menurunnya kadar
serotonin yakni 5-HIAA berpengaruh dalam perilaku bunuh diri, maka
muncul hipotesis yang mengatakan bahwa orang-orang tersebut
mengalami suatu perubahan pada gen yang mengontrol produksi dari
serotonin.

2.4 MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS


Mengidentifikasi pasien yang mempunyai kecenderungan untuk
bunuh diri merupakan hal yang sangat penting, namun tidak bisa
dipungkiri juga merupakan hal yang sangat sulit untuk dilakukan.
Faktanya hingga sekarang, belum ada guideline khusus untuk
mendiagnosis perilaku bunuh diri. Para ahli masih terus mendebatkan
apakah perilaku bunuh diri ini layak untuk dijadikan suatu diagnosis
tersendiri dalam DSM-V(16).Akan tetapi kita dapat menggunakan
karakteristik-kareakteristik seperti pada tabel 2.3.1 yang dinilai di miliki
oleh pasien-pasien dengan perilaku bunuh diri(6).
Selain karakteristik-karateristik di atas kita juga perlu untuk
menilai apakah seorang pasien memiliki resiko yang tinggi untuk
melakukan tindakan bunuh diri atau tidak berdasarkan dengan poin-poin
prediksi yang telah di rangkum di dalam tabel 2.3.2. Karakteristik pasien
dengan resiko tinggi termasuk umur yang lebih dari 45 tahun, laki-laki,
ketergantungan alkohol, perilaku kasar, adanya perilaku bunuh diri
sebelumnya, dan adanya riwayat dirawat di rumah sakit jiwa
sebelumnya(7).

Refrat Perilaku Bunuh diri| Matias Nurhariyadi Page 12


Tabel 2.4.1 karakteristik pasien dengan perilaku bunuh diri

Refrat Perilaku Bunuh diri| Matias Nurhariyadi Page 13


Tabel 2.4.2 Evaluasi resiko bunuh diri

Jika ide untuk bunuh diri ada dalam diri seseorang, seorang
psikiater pasti akan mencari lebih lanjut apakah ada rencana yang telah di
pikirkan dan apakah ada langkah-langkah yang sudah diambil untuk
menjalankan rencana tersebut. Walaupun beberapa kasus bunuh diri dapat
terjadi secara mendadak dan tanpa suatu perencanaan terlebih dahulu akan
tetapi rencana yang tersusun secara detail berhubungan dengan resiko
bunuh diri yang lebih besar. Dalam tabel 2.3.3 dibawah ini telah
dirangkum pertanyaan-pertanyaan yang dapat membantu klinisi untuk
memperoleh aspek-aspek spesifik tentang pemikiran, rencana, dan perilaku
bunuh diri(7).

Refrat Perilaku Bunuh diri| Matias Nurhariyadi Page 14


Tabel 2.4.3 Pertanyaan pembantu

2.5 TATALAKSANA
Sebagian besar bunuh diri pada pasien psikiatri dapat dicegah,
seperti yang dirunjukan oleh bukti bahwa pengkaijan atau terapi yang
tidak adekuat sering dikaitkan dengan bunuh diri. Beberapa pasien
mengalami penderitaan yang hebat dan cukup parah atau begitu lama dan
tidak sepertinya tidak berespon terhadap pengobatan apapun, sehingga

Refrat Perilaku Bunuh diri| Matias Nurhariyadi Page 15


bunuh diri dianggap sebagai suatu hal yang tidak dapat terelakan.
Untungnya kejadian seperti ini bisa terbilang sangatlah jarang.

2.5.1 Farmakoterapi
Bukti untuk menurunkan resiko bunuh diri dengan menggunakan
terapi psikiatrik sangatlah terbatas. Data yang mendukung penggunaan
terapi psikofarmakologi hanya terbatas pada litium dan clozapine.
Sementara itu data penurunan resiko bunuh diri meggunakan antidepresan
dan mood-stabilizing sangatlah terbatas.
a. Antidepresant
Berdasarkan bukti bahwa resiko bunuh diri berkaitan dengan
gangguan depresi dan beberapa bentuk cemas, pengobatan mengguanakan
antidepresan seharusnya memiliki hubungan dengan penurunan tingkat
kematian akibat perilaku bunuh diri. Akan tetapi data yang mendukung hal
ini masihlah sangat tidak meyakinkan, karena berdasarkan teori ini, semua
jenis antidepresan atau anti cemas dapat menurunkan resiko perilaku
bunuh diri(8).
Seperti yang kita tau bahwa secara spesifik beberapa jenis
antidepresan memiliki tingkat keamanan yang berbeda-beda, ada yang
aman buat orang dengan perilaku bunuh diri, adapula yang tidak. Semua
golongan trycyclic antidepresant dan monoamine oxidase inhibitor
memiliki potensi mematikan dalam kondisi overdosis akut. Maka dari itu,
disarankan untuk menggunakan obat antidepresan golongan nontrisiklik
dan golongan non-MAOI.
b. Lithium
Berdasar kepada pengetahuan tentang intervensi farmakologi dan
hubungannya dengan resiko perilaku bunuh diri, pengobatan profilaksis
menggunakan garam lithium kepada pasien dengan gangguan afek
didukung oleh data-data pengobatan oleh psikiater dimana terjadi
penurunan resiko perilaku bunuh diri secara signifikan. Penelitian yang
dilakukan terhadap hubungan antara pengobatan lithium dengan bunuh diri

Refrat Perilaku Bunuh diri| Matias Nurhariyadi Page 16


pada pasien dengan gangguan bipolar dan gangguan afek yang lain secara
konsisten ditemukan angka kematian karena bunuh diri yang cukup rendah
pada pasien dengan pengobatan lithium dibandingkan dengan yang tidak
menggunakan lithium(9).
Walaupun berbagai data menunjukan terjadi penurunan yang
signifikan terhadap angka kematian karena bunuh diri setelah penggunaan
pengobatan lithium, akan tetapi pengobatan jenis ini tidak melindungi
secara absolut melawan tindakan bunuh diri. Rata-rata bunuh diri pada
pasien dengan pengobatan lithium adalah sekitar 0,174% pertahun, yang
mana angka ini sudah sangat menurun jika dibandingkan dengan yang
tanpa pengobatan lithium yaitu 0,942% pertahun(9).
c. Agen Antipsikotik
Generasi pertama antipsikotik seperti fluphenazine, thiothixene, dan
haloperidol merupakan obat yang sangat ampuh untuk mengobati delusi
dan halusinasi. Hanya saja, masih belum diketahui apakah obat-obat ini
dapat memberikan efek baik terhadap perilaku bunuh diri pada pasien
dengan gangguan psikotik atau malah sebaliknya.
Dari semua jenis obat antipsikotik, sejauh ini hanya clozapine yang
telah diketahui efek spesifik dalam menurunkan perilaku bunuh diri.
Sebagai bagian dari generasi-kedua antipsikotik clozapine berbeda dengan
antipsikotik golongan pertama, termasuk memiliki efek ekstrapiramidal
yang lebih sedikit dibandingkan dengan generasi pertama. Clozapine
memiliki efek baik yang begitu banyak termasuk merupakan obat pilihan
pada pasien skizophrenia yang tidak bisa mentolerir obat golongan
pertama, mempunyai efek yang menguntungkan dalam perkembangan
kognisi pasien, bisa memperbaiki fungsi sosial dan pekerjaan, dan dapat
mengurangi perilaku impulsive dan agresif(10,11).
d. Agen anticemas
Beberapa pasien yang meninggal karena bunuh diri mempunyai
gejala cemas yang berat, panik, agitasi, atau insomnia yang parah yang
terjadi tidak jauh dari waktu mereka melakukan tindakan bunuh diri

Refrat Perilaku Bunuh diri| Matias Nurhariyadi Page 17


tersebut(12). Karena efek dari obat anticemas dapat mengurangi gejala-
gejala diatas, dipercaya bahwa obat anticemas juga dapat mengurangi
resiko bunuh diri jangka pendek. Beberapa agen seperti benzodiazepine,
buspirone, dan beberapa dosis rendah generasi kedua antipsikotik dapat
mengurangi gejala pada pasien dengan gejala cemas yang cukup tinggi dan
pasien dengan agitasi yang tak terkontrol sehingga diharapkan agen-agen
ini dapat mengurangi resiko perilaku bunuh diri dari pasien. Akan tetapi
penelitian yang dapat mendasari kemungkinan ini masih sangat terbatas.
Belum ada percobaan klinis untuk segala jenis obat anticemas mengenai
hubungannya dengan penurunan resiko bunuh diri baik itu dalam jangka
waktu pendek ataupun jangka panjang.

2.5.2 ECT

Bentuk nyata dari perilaku bunuh diri merupakan indikasi dari


penggunaan ECT(13). Kebanyakan pemikiran yang mendasari teori ini
adalah dengan melihat tingginya efikasi keberhasilan penggunaan ECT
terhadap pasien dengan gejala depresi yang berat yang juga sering
berhubungan dengan ide dan perilaku bunuh diri(14). ECT terbukti mampu
bekerja lebih cepat menyediakan efek klinis antidepresan dibandingkan
dengan psikofarmakologikal, psikososial, atau pengobatan lainnya,
terutama pada gejala depresi yang berat dan akut dengan atau tanpa gejala
psikotik(14). Namun sama halnya dengan situasi pada pengobatan dengan
antidepresan, masih terlalu sedikit data yang mendukung penggunaan ECT
secara jangka panjang dalam menurunkan resiko perilaku bunuh diri
dibandingkan dengan data mengenai lithium dan clozapine.

2.5.3 Psikoterapi

Sebagai tambahan kepada farmakoterapi dan ECT, psikoterapi


memainkan peranan yang sangat penting dalam menangani perilaku bunuh
diri. Walaupun beberapa penilitan telah menguji secara langsung efek dari
psikoterapi apakah dapat menurunkan resiko perilaku bunuh diri atau

Refrat Perilaku Bunuh diri| Matias Nurhariyadi Page 18


tidak, namun konsensus klinis menyarankan bahwa intervensi psikososial
dan pendekatan psikoterapi secara spesific dapat menguntungkan bagi
penanganan pasien dengan perilaku bunuh diri. Lebih lanjut, dalam
beberapa tahun terakhir, penelitian telah menunjukan bahwa psikoterapi
dapat mengobati pasien dengan depresi dan gangguan kepribadian yang
terbukti memiliki hubungan dengan meningkatnya resiko bunuh diri(15).
Jenis psikoterapi yang dapat digunakan adalah psikodinamik dan
psikoanalitik psikoterapi, CBT (cognitve behavior therapy), dialetical
behavior therapy, dan intervensi psikososial lainya.

Refrat Perilaku Bunuh diri| Matias Nurhariyadi Page 19


BAB III
KESIMPULAN

Bunuh diri merupakan suatu tindakan mengakhiri nyawa dari


dirinya sendiri. Tingkah laku bunuh diri kemudian diklasifikasikan
kedalam 3 kategori yakni suicide ideation yang mengacu ke pada
bermulanya pemikiran-pemikiran mengenai tindakan yang secara sengaja
dapat mengakhiri nyawanya sendiri, suicide plan yang mengacu kepada
perancangan metode-metode spesifik yang mana metode ini dapat
mengakhiri nyawanya sendiri, suicide attempt yang mengacu kepada
tindakan-tindakan yang dilakukan secara sengaja yang berpotensi
mengakhiri nyawanya sendiri. Ada beberapa peneliti dan klinisi juga
membedakan antara perilaku bunuh diri dan perilaku nonsuicidal self-
injury yakni suatu perilaku melukai diri sendiri tanpa ada niatan untuk
bunuh diri.
Diagnosis atau lebih tepatnya pengenalan akan perilaku bunuh diri
hanya berdasar kepada karakteristik perilaku dari pasien saja, belum ada
klasifikasi diagnosis khusus untuk perilaku bunuh diri. Karakteristik
perilaku bunuh diri tersebut terbagi dalam 5 kelompok besar yakni
perilaku yang mengarah kepada tindakan bunuh diri, gangguan psikiatrik,
riwayat masa lalu, keadaan psikososial, kekuatan seseorang dan
kerentanannya.
Pasien dapat dikelompokan kedalam kelompok dengan resiko
tinggi atau dengan resiko rendah berdasarkan beberapa variabel
daiantaranya usia yang lebih dari 45 tahun, jenis kelamin laki-laki,
ketergantungan alkohol, berperilaku kasar, adanya perilaku bunuh diri
sebelumnya, dan adanya riwayat di rumah sakit jiwa sebelumnya.
Tatalaksana perilaku bunuh diri meliputi pengobatan dengan
farmakoterapi, ECT, dan psikoterapi. Untuk farmakoterapi, masih banyak
jenis golongan obat yang belum diketahui dengan pasti keefektifannya
dalam mengatasi perilaku bunuh diri, dengan kata lain masih

Refrat Perilaku Bunuh diri| Matias Nurhariyadi Page 20


membutuhkan penilitian yang lebih lanjut. Sampai saat ini, hanya lithium
dan clozapine sajalah yang mendapat dukungan dalam pengobatan
perilaku bunuh diri pada pasien.

Refrat Perilaku Bunuh diri| Matias Nurhariyadi Page 21


Daftar pustaka

1. Global Burden of Disease Collaborative Network. Global Burden of


Disease Study 2016 (GBD 2016) Results. Seattle, United States:
Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME), 2017.
2. Silverman MM, Berman AL, Sanddal ND, et al. Rebuilding the Tower
of Babel: a revised nomenclature for the study of suicide and suicidal
behaviors. Part 1: background, rationale, and methodology. Suicide
Life Threat Behav. 2007;37:248–63.
3. Psychology of suicidal behaviour. (2014). 2, pp.73-85.
4. Kaplan & Cadoks Synopsis Of Psychiatry. (2015). 11th ed. New York:
Wolters Kluwer, pp.763
5. Wilcox HC, beaytrais AL, Larkin GL, suicide assessment. In :
chanmugan A, Triplet P, Kelen G [editor], Emergency psychiatry, New
York; cambridge university press 2013; 41-56
6. PRACTICE GUIDELINE FOR THE Assessment and Treatment of
Patients With Suicidal Behaviors. (2010). American Psychiatric
Association, pp.130-141.
7. Kaplan & Cadoks Synopsis Of Psychiatry. (2015). 11th ed. New York:
Wolters Kluwer, pp.768-769.
8. Malone KM: Pharmacotherapy of affectively ill suicidal patients.
Psychiatr Clin North Am 1997; 20:613–625 [G]
9. Baldessarini RJ, Tondo L, Hennen J, Viguera AC: Is lithium still worth
using? an update of selected recent research. Harv Rev Psychiatry
2002; 10:59–75 [E]
10. Baldessarini RJ, Tarazi FI: Drugs and the treatment of psychiatric
disorders: psychosis and mania, in Goodman and Gilman’s The
Pharmacological Basis of Therapeutics, 10th ed. Edited by Hardman
JG, Limbird LE, Gilman AG. New York, McGraw-Hill, 2001, pp 485–
520 [G]

Refrat Perilaku Bunuh diri| Matias Nurhariyadi Page 22


11. Kane J, Honigfeld G, Singer J, Meltzer H: Clozapine for the treatment-
resistant schizophrenic: a double-blind comparison with
chlorpromazine. Arch Gen Psychiatry 1988; 45:789–796 [A]
12. Busch KA, Fawcett J, Jacobs DG: Clinical correlates of inpatient
suicide. J Clin Psychiatry 2003; 64:14–19 [C]
13. American Psychiatric Association: Practice guideline for the treatment
of patients with major depressive disorder (revision). Am J Psychiatry
2000; 157(April suppl):1–45 [G]
14. American Psychiatric Association: The Practice of Electroconvulsive
Therapy: Recommendations for Treatment, Training, and Privileging:
A Task Force Report of the American Psychiatric Association, 2nd ed.
Washington, DC, American Psychiatric Press, 2001 [G]
15. American Psychiatric Association: Practice guideline for the treatment
of patients with major depressive disorder (revision). Am J Psychiatry
2000; 157(April suppl):1–45 [G]
16. A, M. and Baca, E. (2014). Suicidal behavior disorder as a diagnostic
entity in the DSM-5 classification system: advantages outweigh
limitations. PubMed, pp.128-130.

Refrat Perilaku Bunuh diri| Matias Nurhariyadi Page 23

Anda mungkin juga menyukai