Anda di halaman 1dari 35

Nama Husein Fadhilah

NPM 230301007
Prodi S1 Akuntansi
JHPP
JURNAL HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
https://jurnalcendekia.id/index.php/jhpp/
Volume: 1 No: 3 Bulan: Juli Tahun: 2023 | Hal : 184-191

PERILAKU BUNUH DIRI PADA GANGGUAN AFEKTIF BIPOLAR: SEBUAH


TINJAUAN PUSTAKA
I GUSTI NGURAH PUTRA ASTAWA1, RINI TRISNOWATI2
1KSM Psikiatri, RSJ Provinsi Bali, Bali
2PPDS-1 Program Studi Spesialis Kedokteran Jiwa, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, RSUP Prof

Dr. I. G. N. G. Ngoerah, Bali


*Email Corresponding: dokterinirenjiro@gmail.com

Abstrak

Bunuh diri merupakan perilaku yang kompleks tanpa sebab tunggal namun dapat disebabkan interaksi
dari faktor biologis, psikologis, kognitif dan lingkungan yang rumit. Kejadian bunuh diri dewasa ini
menjadi perhatian global terkait dengan peningkatan insiden. Gangguan jiwa merupakan prediktor
terkuat bunuh diri, salah satunya adalah gangguan afektif bipolar yang memiliki risiko tertinggi terjadi
perilaku bunuh diri baik di dunia maupun di Indonesia. Desain penelitian ini adalah Literature Review
atau tinjauan pustaka. Bunuh diri pada kasus bipolar berasosiasi dengan fase depresi dari gangguan
bipolar (depresi bipolar) yang merupakan episode mood yang dominan. Terdapat faktor risiko, faktor
protektif serta peran neurotransmiter dalam terjadinya bunuh diri. Tingginya kejadian bunuh diri pada
pasien dengan gangguan afektif bipolar menjadikan perlunya telaah kembali terkait hal-hal yang dapat
meningkatkan kemampuan diagnostik dan penatalaksanaan yang tepat sehingga dapat menurunkan
kejadian bunuh diri tersebut.

Kata kunci: bunuh diri, bipolar

PENDAHULUAN
Bunuh diri telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia yang mencuri perhatian
global. Jumlah kematian akibat bunuh diri di dunia mendekati 800.000 kasus pertahun, dapat
diasumsikan bahwa satu kematian akibat bunuh diri terjadi setiap 40 detik. WHO melaporkan bahwa
bunuh diri merupakan penyebab kematian terbesar keempat di antara populasi berusia 15-29 tahun
di seluruh dunia pada 2019 dan 79% terjadi di negara berpendapatan rendah dan menengah. Di Asia
Tenggara, kejadian bunuh diri tertinggi terdapat di Thailand sedangkan Indonesia menempati
peringkat kelima dengan 3.7 per 100.000 populasi (World Health Organization, 2019).
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, menunjukkan lebih dari 19 juta penduduk Indonesia
yang berusia diatas 15 tahun mengalami gangguan mental emosional. Data lain menunjukkan bunuh
diri pertahun sebanyak 1.800 orang atau setiap hari ada 5 orang melakukan bunuh diri, serta 47,7%
korban bunuh diri adalah pada usia 10-39 tahun yang merupakan usia anak remaja dan usia
produktif (Riskesdas, 2018). Berdasarkan data yang terkumpul di Kepolisian Daerah Bali dan catatan
komunitas Lisa Helpline Bali tercatat untuk tahun 2020 ada 64 orang bunuh diri dan di tahun 2021
meningkat dua kali lipat sebanyak 125 orang yang melakukan bunuh diri (CNN, 2021).
Individu dengan gangguan bipolar memiliki risiko tertinggi terkait dengan mortalitas dan
morbiditas untuk melakukan tindakan bunuh diri. Sekitar 25% hingga 50% dari total individu
dengan gangguan bipolar akan melakukan percobaan bunuh diri. Risiko bunuh diri pada individu
dengan gangguan bipolar paling tinggi selama episode depresi, diikuti episode campuran, keadaan
psikotik, dan manik.

I Gusti Ngurah Putra Astawa, Dkk |184


JHPP
JURNAL HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
https://jurnalcendekia.id/index.php/jhpp/
Volume: 1 No: 3 Bulan: Juli Tahun: 2023 | Hal : 184-191

Pasien gangguan afektif bipolar saat ini di Indonesia masih kurang mendapatkan perhatian,
banyak yang tidak disadari oleh masyarakat dan tenaga kesehatan ketika episode manik maupun
depresi. Kondisi pasien gangguan bipolar tersebut dianggap sebagai hal yang masih wajar terjadi di
masyarakat atau kadang keliru diagnosis dengan gangguan psikiatri lain. Sehingga berdampak
terhadap kurangnya pencegahan terjadinya bunuh diri pada pasien dengan gangguan afektif bipolar.

METODE
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah literature review atau sebuah studi
kepustakaan. Data diperoleh dari bahana acuan untuk dijadikan landasan kegiatan penelitian.
Literature review berisi ulasan, rangkuman, dan pemikiran penulis tentang beberapa sumber data
sekunder yang berasal dari berbagai artikel pada jurnal nasional, internasional, dan textbook tentang
topik yang dibahas. Literature review yang baik harus bersifat relevan, mutakhir, dan memadai.
Landasan teori, tinjauan teori, dan tinjauan pustaka merupakan beberapa cara untuk melakukan
literature review.
Penulis menggunakan Pubmed dan Google Scholar dengan pencarian kata kunci, “Bunuh diri”
dan “Bipolar. Literatur yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara sistematis menggunakan metode
literature review yang terdiri atas beberapa aktivitas seperti pemilihan topik, pengumpulan artikel
yang relevan, analisis serta sintesis literatur, dan mengembangkan penulisan review. Pengumpulan
literatur dilakukan dengan memperhatikan kriteria inklusi berupa kepustakaan yang diterbitkan
paling lama diterbitkan pada tahun 2018.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Gangguan bipolar dapat menurunkan produktifitas dan kualitas hidup penderitanya yang terus
akan menunjukkan peningkatan kerugian dan kecacatan pada masyarakat. Gangguan ini berulang
yang dialami sepanjang hidup dengan angka kejadian rawat inap, bunuh diri dan komorbiditas yang
tinggi sehingga bipolar menjadi peringkat keenam sebagai penyebab disabilitas yang menyebabkan
lebih banyak kerugian dan kecacatan jika dibandingkan penyakit kanker atau penyakit neurologis
seperti epilepsi dan penyakit Alzheimer (Onie, 2022).
Bipolar tipe I ditandai dengan episode mania berat dan depresi berat. Gangguan bipolar tipe I
ini ketika kondisi mania, penderita ini sering dalam kondisi berat dan berbahaya. Sedangkan pada
bipolar tipe II, pada kondisi ini penderita masih bisa berfungsi melaksanakan kegiatan harian rutin,
tidak separah tipe I. Syclothymic disorder ialah bentuk ringan dari gangguan jiwa bipolar.
Syclothymic disorder (disebut juga cyclothymia) didefinisikan dengan banyak periode gejala
hipomania dan periode gejala depresi yang berlangsung minimal selama 2 tahun (1 tahun pada anak-
anak dan remaja). Kondisi mania dan depresi bisa mengganggu, tetapi tidak seberat pada Gangguan
Bipolar I dan Tipe II (NIMH, 2016).
Penyakit kejiwaan merupakan prediktor kuat bunuh diri di mana lebih dari 90% pasien yang
mencoba bunuh diri memiliki gangguan kejiwaan dan 95% pasien yang berhasil melakukan bunuh
diri memiliki diagnosis psikiatri. Gangguan kejiwaan yang paling sering dikaitkan dengan bunuh diri
termasuk gangguan bipolar, alkoholisme atau penyalahgunaan zat lainnya, skizofrenia, gangguan
kepribadian, gangguan kecemasan termasuk gangguan panik, gangguan stres pasca trauma, dan
delirium (Choi, 2019)
Kejadian Bunuh Diri dan Gangguan Afektif Bipolar
Gangguan mood adalah diagnosis yang paling sering berhubungan dengan bunuh diri. Gangguan
bipolar merupakan salah satu gangguan mood yang berhubungan erat dengan bunuh diri. Bunuh diri
berasosiasi dengan fase depresi dan fase depresi dari gangguan bipolar (depresi bipolar) merupakan
episode mood yang dominan.

I Gusti Ngurah Putra Astawa, Dkk |185


JHPP
JURNAL HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
https://jurnalcendekia.id/index.php/jhpp/
Volume: 1 No: 3 Bulan: Juli Tahun: 2023 | Hal : 184-191

Perilaku bunuh diri cukup sering di antara subjek dengan BD (bipolar disorder), hingga 4-19%
dari mereka akhirnya mengakhiri hidup mereka dengan bunuh diri, sementara 20-60% dari mereka
mencoba bunuh diri setidaknya sekali seumur hidup. Dalam BD, risiko kematian bunuh diri hingga
10-30 kali lebih tinggi daripada populasi umum. Perkiraan tingkat bunuh diri tahunan pada pasien
dengan BD adalah sekitar 200-400 / 100.000. Kasus terkait BD mencapai sekitar 3-14% dari semua
kematian bunuh diri (Schaffer,2015)
Penting untuk disebutkan bahwa rasio upaya bunuh diri terhadap kematian bunuh diri jauh
lebih rendah untuk pasien dengan BD daripada anggota populasi umum (satu studi, misalnya,
melaporkan bahwa rasio 35:1 dan 3:1 untuk populasi umum dan untuk pasien BD, masing-masing).
Penjelasan yang mungkin untuk fenomena ini mungkin bahwa subjek BD biasanya menggunakan
metode bunuh diri yang lebih mematikan dibandingkan dengan anggota populasi umum. Namun
demikian, rasio upaya bunuh diri yang lebih rendah daripada populasi umum tidak spesifik untuk
BD, karena juga dapat diamati misalnya di antara pasien dengan skizofrenia atau gangguan depresi
mayor (MDD). Tidak mengherankan, ide bunuh diri juga jauh lebih sering pada pasien dengan BD
(prevalensi 43% tahun lalu) dibandingkan populasi umum (prevalensi seumur hidup 9,2%). (Bauer,
2018)
Meskipun tidak dapat disangkal bahwa gangguan mood berhubungan dengan tingkat bunuh diri
yang sangat tinggi, sulit untuk memilih dari hasil berbagai penelitian apakah ada perbedaan yang
relevan dalam risiko perilaku bunuh diri antara berbagai jenis gangguan mood. Dengan demikian,
tingkat bunuh diri yang lebih tinggi, serupa atau lebih rendah pada pasien BD dibandingkan dengan
pasien MDD juga telah dilaporkan. Dengan cara yang sama, berdasarkan informasi yang
dipublikasikan, sulit untuk menguraikan apakah subtipe BD (BD-I atau BD-II) dikaitkan dengan
tingkat bunuh diri yang lebih tinggi daripada yang lain (Plans, 2019)
Diketahui bahwa proporsi yang relatif tinggi (8-55%) pasien dengan MDD memiliki riwayat
gejala hipomanik subthreshold. Subkelompok bipolar subthreshold dari pasien MDD ini berbeda dari
pasien MDD tanpa manifestasi hipomanik subthreshold dalam beberapa cara. Sebagai contoh,
beragam penelitian menunjukkan bahwa bipolaritas subthreshold dikaitkan dengan peningkatan
tingkat bunuh diri (Choi, 2019)
Faktor risiko bunuh diri pada pasien dengan gangguan afektif bipolar
Ada beberapa pendekatan untuk mengklasifikasikan faktor risiko bunuh diri pada gangguan
afektif bipolar. Salah satu sistem yang dapat membagi faktor risiko menjadi faktor proksimal dan
distal, yaitu faktor proksimal (atau pencetus) dekat dengan perilaku bunuh diri pada waktunya
sedangkan faktor distal lebih dianggap sebagai sifat atau predisposisi. Klasifikasi lain menetapkan
faktor risiko bunuh diri untuk kategori konseptual (misalnya, faktor risiko yang terkait dengan
komponen genetik atau sosiodemografi atau karakteristik penyakit atau peristiwa kehidupan).
Berdasarkan latar belakang konseptual yang berbeda, model kompleks disusun untuk
menggambarkan seluruh proses bunuh diri (misalnya, model diatesis-stres, model bunuh diri
bipolar, teori bunuh diri antarpribadi, model teori tiga langkah atau neurokognitif yang baru-baru ini
dikembangkan. model bunuh diri dalam konteks gangguan bipolar) (Malhi, 2018).
Komorbiditas dengan gangguan kejiwaan, kecanduan, atau penyakit fisik berat lainnya juga
meningkatkan risiko segala bentuk perilaku bunuh diri. Salah satu faktor penentu yang paling
penting dari perilaku bunuh diri di gangguan afektif bipolar adalah jenis/polaritas episode/keadaan
suasana hati saat ini: episode depresi mayor murni dan keadaan campuran membawa risiko
tertinggi, sementara perilaku bunuh diri jarang terjadi pada mania (euforia), hipomania, dan selama
periode eutimik. Namun, beberapa hasil terbaru menunjukkan bahwa tidak ada peningkatan risiko
perilaku bunuh diri selama keadaan campuran dibandingkan dengan risiko yang disebabkan oleh
komponen depresinya. Selain itu, studi-studi ini menunjukkan bahwa mayoritas peningkatan risiko

I Gusti Ngurah Putra Astawa, Dkk |186


JHPP
JURNAL HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
https://jurnalcendekia.id/index.php/jhpp/
Volume: 1 No: 3 Bulan: Juli Tahun: 2023 | Hal : 184-191

bunuh diri terkait dengan keadaan campuran sebelumnya bukanlah akibat dari keadaan campuran
itu sendiri, tetapi lebih dapat dikaitkan dengan perjalanan gangguan yang didominasi depresi. Durasi
yang lebih lama dari penyakit yang tidak diobati (yaitu, jeda waktu yang lama dari awal gejala afektif
hingga dimulainya pengobatan) juga dikaitkan dengan bahaya perilaku bunuh diri yang lebih tinggi.
Mengenai faktor sosiodemografi, jenis kelamin laki-laki merupakan faktor risiko bunuh diri yang
mematikan, sedangkan menurut beberapa hasil, jenis kelamin perempuan merupakan faktor risiko
percobaan. Perbedaan gender ini serupa tetapi lebih lemah dengan yang dapat diamati pada populasi
umum; karenanya, dalam populasi yang berisiko tinggi ini, jenis kelamin tampaknya tidak menjadi
prediktor yang signifikan untuk perilaku bunuh diri). (Plans, 2019)
Bunuh diri juga lebih sering terjadi pada subjek bipolar yang bercerai, tidak menikah atau orang
tua tunggal atau hidup dalam isolasi sosial. Usia adalah faktor sosiodemografi penting lebih lanjut:
subjek gangguan afektif bipolar di bawah usia 35 tahun dan di atas 75 tahun berisiko lebih tinggi
untuk terlibat dalam perilaku terkait bunuh diri. Masalah pekerjaan dan pengangguran juga
berkontribusi pada peningkatan tingkat bunuh diri. Kesulitan dalam sejarah pribadi dan stres akut,
seperti mengalami pelecehan seksual atau fisik dan kehilangan orang tua di masa kanak-kanak atau
berkabung, melanggar hukum/hukuman pidana dan bencana keuangan juga merupakan pemicu
penting dari bunuh diri. Beberapa atribut kepribadian, misalnya sifat impulsif/agresif, putus asa dan
pesimisme juga meningkatkan risiko bunuh diri. Jenis temperamen afektif tertentu (siklotimik
pertama dan terpenting) juga telah terbukti terkait dengan perilaku bunuh diri yang lebih sering
pada gangguan afektif bipolar. Riwayat keluarga tentang tindakan bunuh diri dan/atau gangguan
mood mayor juga merupakan faktor risiko yang kuat untuk bunuh diri pada subjek dengan gangguan
afektif bipolar. Beberapa hasil juga menunjukkan bahwa tinggal di lokasi geografis yang terdapat
perbedaan besar dalam insolasi matahari antara musim dingin dan musim panas (yaitu, dekat kutub)
dapat dikaitkan dengan peningkatan risiko percobaan bunuh diri pada pasien dengan gangguan
afektif bipolar tipe 1. (Vazquez, 2018)
Neurobiologi Perilaku Bunuh Diri pada Pasien Bipolar
Perilaku bunuh diri dihubungkan dengan kelainan sistem serotonergik, hiperaktif aksis HPA,
hiperaktif nonardrenergik, dopaminergik, glutamatergik, dan disfungsi sistem GABA yang berperan
dalam neurobiologi bunuh diri. Sistem serotonin memiliki keterkaitan dengan perilaku bunuh diri
dan ide bunuh diri. Neurotransmiter ini juga berhubungan dengan gangguan depresi dan perilaku
agresif atau impulsif, dua hal ini berkaitan dengan bunuh diri dan menjadi salah satu faktor
pendukung untuk terjadinya bunuh diri. Kejadian bunuh diri melibatkan serotonin, triptofan
hidroxilase 2 (2TPH), ekspresi gen, protein neuron, serta peningkatan konsentrasi serotonin di
batang otak. Abnormalitas sistem 5-HT ditemukan pada korteks prefrontal, korteks ventral
prefrontal, hipotalamus, dan batang otak orang yang meninggal karena bunuh diri. Studi pengukuran
kadar 5-HT, yaitu 5-hydroxindoleacetic acid (5-HIAA) dalam cairan serebrospinal), analisis subtipe
reseptor 5-HT dalam platelet, dan studi postmortem pada otak, serta stimulasi endokrin
mendapatkan penurunan 5-HT pada korteks prefrontal pasien dengan riwayat percobaan bunuh diri
dan peningkatan ikatan impiramin di hipokampus. Rendahnya 5-HIAA di cairan serebrospinal
dihubungkan dengan agresivitas dan impulsivitas (Costanza, et al, 2014). Temuan ini kemudian
dianggap sebagai prediktor percobaan bunuh diri. Hubungan antara impulsivitas dan penurunan
fungsi serotonin memunculkan hipotesis bahwa kekurangan fungsi serotonergik mengakibatkan
peningkatan impulsivitas dan agresivitas termasuk agresi perilaku bunuh diri (Bachmann, 2018)
Berdasarkan pemeriksaan sistem adrenergik pada darah, urin, dan cairan serebrospinal pasien
bunuh diri didapatkan penurunan kadar katekolamin. Terdapat bukti yang melibatkan mekanisme
noradrenergik adalah metabolit norepinefrin 3-methoxy-4- hydroxyphenylglycol (MHPG) yang
ditemukan di dalam cairan serebrospinal pasien bunuh diri. Disebutkan juga bahwa MHPG yang

I Gusti Ngurah Putra Astawa, Dkk |187


JHPP
JURNAL HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
https://jurnalcendekia.id/index.php/jhpp/
Volume: 1 No: 3 Bulan: Juli Tahun: 2023 | Hal : 184-191

rendah memprediksi ada risiko bunuh diri dan semakin rendah MHPG semakin kuat upaya bunuh
diri yang akan dilakukan. Norepinefrin dan katekolamin disebutkan berhubungan dengan respons
stres tubuh dan berperan dalam munculnya psikopatologi dan perilaku bunuh diri. Pada pasien
bunuh diri ditemukan juga peningkatan ekpsresi mRNA reseptor alfa-2 adrenergik, juga
ditemukannya konsentrasi norepinefrin tinggi di hipokampus. Rendahnya kadar norepinefrin dalam
darah dapat memberikan efek protektif terhadap perkembangan perilaku agresivitas dan
impulsivitas masa kanak-kanak dan dewasa muda pada laki-laki. Enzim tirosin hidroksilase (TH),
atau reseptor norepinefrin, terutama reseptor a-adrenergik dan reseptor b-adrenergik, ditemukan
di jaringan perifer atau otak postmortem pasien bunuh diri (Lindqvist, 2011).
Peningkatan konsentrasi dopamin berhubungan dengan perilaku agresif dan dihubungkan
dengan upaya bunuh diri atau suicide completions. Disfungsi dopaminergik berhubungan dengan
terjadinya upaya bunuh diri, dan lebih khusus lagi bahwa respons hormon pertumbuhan pada
apormorphine melalui reseptor D2 mendukung peran reseptor D2 secara biologi untuk terjadinya
completed suicide. Pasien depresi dengan riwayat percobaan bunuh diri menunjukkan pengurangan
respons hormon pertumbuhan terhadap apomorphine dibandingkan pasien yang tidak mencoba
bunuh diri. Terdapat penurunan pengikatan transporter dopamin dan peningkatan rasio D2 dan D3
pada amigdala pasien depresi, juga terdapat perubahan pada jalur dopaminergik pada pasien
gangguan mood dan bunuh diri. Ketidakseimbangan pengikatan reseptor D1 dan D dalam bunuh diri
dapat dipengaruhi oleh efek early life adversity (ELA) dan dopamine transporter (DAT) serta
keseimbangan D1. Ketidakseimbangan level D1 dan DAT pada ELA yang terpajan memungkinkan
tidak hanya untuk risiko terjadinya bunuh diri tetapi juga untuk penyalahgunaan zat. Striatal
dopamin juga dapat terganggu karena faktor lingkungan hingga menyebabkan bunuh diri, seperti
pada ELA. Pelepasan dopamin di striatal berkaitan dengan kurangnya perawatan orangtua dan
peningkatan respons kadar kortisol pada stresor psikososial (Bernstein, 2013)
Beberapa penelitian menunjukkan perubahan genome-wide transcriptiontomic yang
berhubungan dengan depresi dan bunuh diri. Disregulasi ekspresi gen pada glutamatergik dan
pensinyalan GABAergik pada korteks prefrontal, hipokampus, dan singuli anterior juga ditemukan
pada pasien bunuh diri. Terdapat hubungan antara bunuh diri dan gen G2 reseptor GABA, GABRG.
Gen tersebut juga ditemukan pada pasien skizofrenia dan riwayat penggunaan zat dengan upaya
bunuh diri. Kepadatan reseptor AMPA (receptor ionotropic receptor for glutamate) juga dapat
meningkat di nucleus caudatus pada pasien bunuh diri. Penelitian lain menunjukkan terjadi metilasi
pada reseptor GABA dan downregulation pada pasien bunuh diri. Studi lain melaporkan bahwa
perubahan pada transmisi GABAergik korban bunuh diri akibat perubahan dalam siklus sintesis
glutamat GABA. Choudary, dkk. dan Seueira dkk, berpendapat ada peningkatan regulasi reseptor
subunit GABA A, khususnya GABA alfa-1 dan AGAB beta3 di area kortikal serebral pada pasien yang
melakukan bunuh diri. Lee, dkk. menemukan peningkatan kadar GABA pada cairan serebrospinal
pasien gangguan kepribadian dengan perilaku bunuh diri (Zai, et al, 2014)
Hypothalamus Pituitary Adrenal (HPA) Axis HPA axis merupakan bagian neuroendokrin utama
dalam sistem pengelolaan stres pada manusia. Disfungsi sistem HPA axis ini telah terbukti memiliki
hubungan dengan depresi dan bunuh diri. Berdasarkan data postmortem, pada pasien depresi dan
bunuh diri ditemukan hiperaktivitas corticotropin releasing hormone (CRH) di nukleus
paraventrikular hipotalamus, peningkatan ekspresi CRH di CSF, serta terdapat lebih sedikit ikatan
CRH di korteks frontal, penurunan ekspresi reseptor glukokortikoid di hipokampus dan peningkatan
propiomelanocortin POMC di sel hipofisis kortikotropik pada bunuh diri. Pada suicide completers
juga ditemukan peningkatan berat kelenjar adrenal dan hipertrofi kortikal. Terjadi peningkatan
pelepasan hormon kortikotropin di locus coeruleus, korteks prefrontal dorsolateral (DLPFC) dan

I Gusti Ngurah Putra Astawa, Dkk |188


JHPP
JURNAL HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
https://jurnalcendekia.id/index.php/jhpp/
Volume: 1 No: 3 Bulan: Juli Tahun: 2023 | Hal : 184-191

korteks prefrontal ventromedial (VMPFC), penurunan pelepasan kortikotropin pada kompleks


dorsovagal pada bunuh diri, serta terjadi peningkatan CRH di hipotalamus korban bunuh diri.
Pencegahan Bunuh Diri pada Gangguan Bipolar
Dari perspektif farmakologis, lithium tampaknya memiliki potensi pencegahan bunuh diri
terbesar pada pasien dengan gangguan afektif bipolar. Menariknya, efek perlindungan bunuh diri
lithium tidak terbatas pada pasien bipolar karena juga telah ditunjukkan di antara pasien dengan
MDD (tidak mengherankan karena, seperti yang telah kita bahas sebelumnya, sebagian besar pasien
MDD unipolar memiliki subthreshold bipolar fitur. Secara keseluruhan, dibandingkan dengan
plasebo, lithium tampaknya menurunkan risiko bunuh diri lebih dari 60% pada gangguan mood
(Plans, 2019).
Peran antidepresan dalam pencegahan bunuh diri pada individu dengan gangguan afektif
bipolar tampaknya dapat diabaikan, dan pada kenyataannya, kekhawatiran telah dikemukakan
bahwa pemberian antidepresan dapat meningkatkan bunuh diri pada gangguan afektif bipolar.
Sungguh luar biasa bahwa temuan juga tidak konsisten mengenai kemampuan antidepresan untuk
mencegah bunuh diri pada pasien MDD. Monoterapi antidepresan harus dihindari pada gangguan
afektif bipolar (Chen, 2019)
Mempertimbangkan peningkatan penggunaannya dalam gangguan afektif bipolar misalnya
sebagai pengobatan pemeliharaan, dapat dibenarkan untuk bertanya apakah antipsikotik (atipikal)
memiliki efek menguntungkan pada perilaku bunuh diri pada gangguan afektif bipolar. Sayangnya,
tidak ada data berkualitas tinggi untuk menjawab pertanyaan ini saat ini, sehingga penelitian lebih
lanjut harus menjelaskan apakah pengobatan dengan antipsikotik bermanfaat dalam hal ini (Tondo,
2018).
Sejalan dengan efek antidepresifnya, ECT juga dianggap sebagai modalitas pengobatan
antisuicidal yang efektif, dan baru-baru ini telah ditunjukkan bahwa ECT lebih unggul dalam hal ini
dibandingkan psikofarmakon baik dalam depresi unipolar maupun bipolar (dan efikasi
antisuicidalnya sebanding dengan efikasi psychopharmacons di negara campuran bipolar dan
mania) (Goldstein, 2015)
Sayangnya, hanya sejumlah kecil penelitian yang menyelidiki sampai sekarang kemanjuran dari
terapi perilaku dialektik, terapi perilaku-kognitif, terapi ritme interpersonal dan sosial) atau
intervensi psikososial yang tidak spesifik (misalnya, psikoedukasi) terhadap bunuh diri di antara
pasien gangguan afektif bipolar. Meskipun demikian, hasil dari beberapa studi yang ada cukup
menjanjikan.
Tatalaksana bunuh diri pada pasien dengan gangguan afektif bipolar
Tatalaksana gangguan afektif bipolar harus diawali dengan penegakan diagnosis yang tepat
karena gangguan ini memiliki kesalahan diagnosisnya yang tinggi sehingga mengakibatkan
komplikasi pengobatan lebih lanjut. Kesalahan diagnosis awal mengakibatkan keterlambatan
pengobatan yang tepat, yang pada gilirannya meningkatkan risiko kekambuhan dan kroniknya
episode. Seperti disebutkan sebelumnya, kesalahan diagnosis yang paling umum pada pasien bipolar
adalah depresi unipolar. Diagnosis depresi unipolar yang salah membawa risiko pengobatan yang
tidak tepat dengan antidepresan, yang dapat mengakibatkan episode manik dan memicu siklus cepat.
Keterlambatan dalam memulai pemberian obat penstabil suasana hati (mood stabilizer) pada
pasien gangguan bipolar telah dikaitkan dengan peningkatan biaya perawatan kesehatan, yang
mencakup peningkatan upaya bunuh diri dan tingginya tingkat penggunaan rumah sakit. Risiko
seumur hidup upaya bunuh diri pada pasien dengan gangguan bipolar adalah antara 25 dan 50
persen dibandingkan dengan 15 persen pada pasien dengan depresi unipolar; sebagian besar kasus
bunuh diri pada pasien dengan gangguan bipolar dilaporkan terjadi pada fase depresi.

I Gusti Ngurah Putra Astawa, Dkk |189


JHPP
JURNAL HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
https://jurnalcendekia.id/index.php/jhpp/
Volume: 1 No: 3 Bulan: Juli Tahun: 2023 | Hal : 184-191

Kurangnya tilikan pasien merupakan salah satu penyebab yang berkontribusi signifikan
terhadap kesalahan diagnosis. Oleh karena itu, penggunaan informasi tambahan dari teman, anggota
keluarga, dan orang terdekat serta pengambilan riwayat gejala yang komprehensif dari setiap
episode depresi, hipomania, dan mania dapat membantu meningkatkan kemungkinan diagnosis
gangguan bipolar yang akurat. Pemeriksaan fisik dengan pemeriksaan laboratorium yang relevan
adalah penting, terutama dalam kasus dengan presentasi atipikal, untuk menyingkirkan kondisi
nonpsikiatrik yang berkontribusi terhadap gejala penyakit bipolar.
Prinsip-prinsip yang berkaitan dengan manajemen ide dan risiko bunuh diri sangat penting
selama episode depresi, karena >70% kematian karena bunuh diri dan upaya bunuh diri pada pasien
dengan gangguan bipolar terjadi selama fase ini. Episode depresi dengan gambaran campuran adalah
periode yang sangat berbahaya dan dikaitkan dengan risiko percobaan bunuh diri atau kematian
yang lebih tinggi dalam jangka pendek. Secara keseluruhan, sangat penting bagi dokter untuk
meninjau faktor risiko dan menentukan pengaturan pengobatan yang tepat untuk mengatasi
masalah keamanan. Metode bunuh diri yang paling umum pada populasi ini adalah dengan meracuni
diri sendiri, sehingga manfaat potensial dari berbagai pengobatan harus dipertimbangkan
dibandingkan dengan risiko toksisitas dan kematian. Sebuah studi menemukan bahwa terdapat lebih
sedikit kematian akibat kadar litium yang mematikan dibandingkan dengan karbamazepin, dan
bahwa opioid dan benzodiazepin adalah golongan obat yang paling umum dikonsumsi pada tingkat
yang mematikan—hal ini perlu diperhatikan mengingat kurangnya kemanjuran obat-obatan ini
dalam gangguan tersebut (Yatham, 2018).

KESIMPULAN
Gangguan afektif bipolar memiliki peran dalam kejadian bunuh diri yang telah menjadi masalah
mendunia. Risiko bunuh diri paling tinggi terjadi pada fase depresi gangguan bipolar. Kasus bunuh
diri pada pasien bipolar merupakan hal kompleks yang melibatkan banyak faktor, namun terdapat
beberapa bukti keterkaitan antara faktor risiko dengan neurobiologis yang mencetuskan kejadian
bunuh diri pada pasien dengan gangguan afektif bipolar. Diantaranya adalah terlibatnya
neurotransmiter serotonin, norefineprin, dopamin dan GABA. Tatalaksana komprehensif diperlukan
sebagai pencegahan bunuh diri pada bipolar, terutama pencegahan terjadinya kasus bunuh diri
berulang. Manajemen terapi dapat berupa farmakologis dan nonfarmakologis setelah penegakan
diagnosis bipolar. Diharapkan dengan dilakukannya penatalksanaan sedini mungkin, resiko bunuh
diri dapat diturunkan. Hingga saat ini, masih dibutuhkan penelitia lebih lanjut mengenai kejadian
bunuh diri pada pasien dengan gangguan afektif bipolar.

REFERENSI
Bachmann S. (2018). Epidemiology of suicide and the psychiatric perspective. Int J
Bauer, M.; Andreassen, O.A.; Geddes, J.R.; Vedel Kessing, L.; Lewitzka, U.; Schulze, T.G (2018).Areas of
uncertainties and unmet needs in bipolar disorders: Clinical and research perspectives. Lancet
Psychiatry 2018, 5, 930–939.
Bernstein HG, et al: Disruption of glutamate-glutamine-GABA cycle significantly impacts on suicidal
behaviour: survey of the literature and own findings on glutamine synthetase. CNS Neurol
Disord Drug Targets 2013;12: 900–913.
Chen, T.Yet al (2019). Divalproex and its effect on suicide risk in bipolar disorder: A systematic
review and meta-analysis of multinational observational studies. J. Affect. Disord. 2019, 245,
812–818.

I Gusti Ngurah Putra Astawa, Dkk |190


JHPP
JURNAL HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
https://jurnalcendekia.id/index.php/jhpp/
Volume: 1 No: 3 Bulan: Juli Tahun: 2023 | Hal : 184-191

Choi, K.W.; Na, E.J.; Hong, J.P.; Cho, M.J.; Fava, M.; Mischoulon, D.; Jeon, H.J (2019). Comparison of
suicide attempts in individuals with major depressive disorder with and without history of
subthreshold hypomania: A nationwide community sample of Korean adults. J. Affect. Disord.
2019, 248, 18–25.
CNN Indonesia . (2021, Januari 7). Kesehatan Mental Disebut Jadi Masalah Besar pada 2021. Diambil
kembali dari cnnindonesia.com: https://www.cnnindonesia.com/gaya-
hidup/20210105072824-255- 589465/kesehatan-mental-disebut-jadi-masalah-besar-pada-
2021
Goldstein, T.R et al (2015). Dialectical behavior therapy for adolescents with bipolar disorder: Results
from a pilot randomized trial. J. Child Adolesc. Psychopharmacol, 25, 140–149.
.Lindqvist D, Janelidze S, Erhardt S, Trä skman-Bendz L, Engströ m G, Brundin L (2011). CSF
biomarkers in suicide attempters – a principal component analysis. Acta Psychiatr Scand 2011;
124 :52–61.
Malhi, GS, et al., (2015). Maintaining mood stability in bipolar disorder: a clinical perspective on
pharmacotherapy. Evid Based Mental Health, 18(1): 1-6.
National Institute of Mental Health. (2016). Bipolar Disorder. Retrieved from
https://www.nimh.nih.gov/health/topics/bipolardisorder/index.shtml#part_145406.
Onie, S., Daswin, A.V., et al. (2022). Suicide in Indonesia in 2022: Underreporting, Provincial Rates,
and Means. DOI: psyarxiv.com/amnhw
Plans, L.et al (2019). A. Association between completed suicide and bipolar disorder: A systematic
review of the literature. J. Affect. Disord. 2019, 242, 111–122
Riskesdas 2018. (2019). Laporan Provinsi Bali. Lembaga Penerbit Badan Penelitian Dan
Pengembangan Kesehatan. Retrieved from https://ejournal2.litbang.kemkes.go.id/index.php
(diakses pada tanggal 4 Juni 2023).
Schaffer, A.et al (2015). Epidemiology, neurobiology and pharmacological interventions related to
suicide deaths and suicide attempts in bipolar disorder: Part I of a report of the International
Society for Bipolar Disorders Task Force on Suicide in Bipolar Disorder. Aust. N. Z. J. Psychiatry
2015, 49, 785–802.
Tondo, L.; Baldessarini, R.J (2018). Antisuicidal Effects in Mood Disorders: Are They Unique to
Lithium? Pharmacopsychiatry 2018, 51, 177–188.
Vazquez, G.H.; Gonda, X.; Lolich, M.; Tondo, L.; Baldessarini, R.J (2018). Suicidal Risk and Affective
Temperaments, Evaluated with the TEMPS-A Scale: A Systematic Review. Harv. Rev. Psychiatry
2018, 26, 8–18.
World Health Organization. (2019). Suicide worldwide in 2019. Geneva: World Health Organization.
Yatham, L., Kennedy, S., Parikh, S., Schaffer, A., Bond, D., Frey, B., Goldstein, B. (2018). Canadian
Network for Mood and Anxiety Treatments (CANMAT) and International Society for Bipolar
Disorders (ISBD) 2018 guidelines for the management of patients with bipolar disorder.
https://doi.org/10.1111/bdi.12609.
Zai CC, Zai GC, Tiwari AK, Manchia M, de Luca V, Shaikh SA, et al (2014). Association study of GABRG2
polymorphisms with suicidal behaviour in schizophrenia patients with alcohol use disorder.
Neuropsychobiol. 2014;69(3):154–8.

I Gusti Ngurah Putra Astawa, Dkk |191


Jurnal Ilmu Psikologi dan Kesehatan
(SIKONTAN)
https://publish.ojs-indonesia.com/index.php/SIKONTAN

HUBUNGAN KESEPIAN DAN IDE BUNUH DIRI YANG DIMODERASI


OLEH DEPRESI PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN ORANG TUA
THE RELATIONSHIP OF LONELINESS AND SUICIDE IDEA MODERATED BY
DEPRESSION IN ADOLESCENT VICTIMS OF PARENTAL DIVORCE

Khumaira Alia Ainunnida


Universitas Airlangga
Email: khumaira.alia.ainunnida-2018@psikologi.unair.ac.id

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kesepian dengan ide bunuh diri yang dimoderasi
oleh depresi pada remaja dengan orangtua yang bercerai. Di dalam penelitian ini dilaksanakan pada 233
remaja dengan orangtua yang bercerai dengan catatan bercerai ≤ 5 tahun. Pengumpulan data dalam
penelitian ini dengan metode survey. Dalam metode pengukurannya, variabel kesepian menggunakan skala
De Jong Gierveld Loneliness Scale, BDI-II (Beck Depression Inventory-II), dan Beck Scale for Suicide
Ideation. Uji analisis data yang penlis gunakan didalam penelitian ini adalah uji non-parametrik. Teknik ini
dipilih karena satu data yang tidak normal. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara
kesepian dengan ide bunuh diri pada remaja dengan orangtua yang bercerai. Pada uji moderasi pada variabel
depresi menunjukkan bahwa variabel depresi semakin memperkuat hubungan antara kesepian dengan ide
bunuh diri.
Kata Kunci: Kesepian, Depresi, Ide Bunuh Diri, Orangtua Bercerai

ABSTRACT
This study aims to determine the relationship between loneliness and suicidal ideation moderated by
depression in adolescents with divorced parents. This study was conducted on 233 adolescents with
divorced parents with divorce records 5 years. Collecting data in this study with the survey method. In the
measurement method, the loneliness variable uses the De Jong Gierveld Loneliness Scale, BDI-II (Beck
Depression Inventory-II), and Beck Scale for Suicide Ideation. The data analysis test that the writer uses
in this study is a non-parametric test. This technique was chosen because of one abnormal data. The results
of this study indicate that there is a relationship between loneliness and suicidal ideation in adolescents
with divorced parents. In the moderating test on the depression variable, it shows that the depression
variable further strengthens the relationship between loneliness and suicidal ideation.
Keywords: Loneliness, Depression, Suicide Ideation, Divorced Parents

PENDAHULUAN mencapai 272,29 juta jiwa. Jawa Timur


Perceraian sering dipandang sebagai merupakan provinsi dengan penduduk
fenomena yang menakutkan dalam kehidupan berstatus cerai hidup terbanyak secara
berkeluarga, tetapi pada kenyataannya, nasional. Jumlahnya mencapai 829,14 ribu
perceraian telah menjadi bagian dari jiwa atau 2,02% dari total penduduk Jawa
kehidupan setiap individu dalam Timur yang mencapai 40,99 juta jiwa.
bermasyarakat. Berdasarkan data Direktorat Tingginya angka perceraian
Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil menunjukkan bahwa kasus perceraian
(Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri tersebar luas di masyarakat. Perubahan nilai
(Kemendagri), terdapat 3,97 juta penduduk yang terjadi di masyarakat Indonesia
yang berstatus perkawinan cerai hidup hingga meningkatkan angka perceraian. Perubahan
akhir Juni 2021. Jumlah itu setara dengan tersebut antara lain pembebasan perempuan di
1,46% dari total populasi Indonesia yang berbagai bidang, awal mula menurunnya

DOI: https://doi.org/10.54443/sikontan.v1i1.194 1
Jurnal Ilmu Psikologi dan Kesehatan
Volume 1 Nomor 1 (2022)

nilai-nilai agama di masyarakat, dan Perceraian dalam keluarga merupakan


hilangnya stigma sosial terhadap orang yang masa transisi dan membutuhkan penyesuaian
bercerai (Julianto, 2012). Hal-hal tersebut besar, terutama bagi kaum muda. Hal ini
memang meningkatkan prevalensi perceraian disertai dengan perubahan struktur keluarga,
di Indonesia. peran, hubungan dan masalah keuangan, dan
Peristiwa perceraian dalam keluarga memiliki dampak yang signifikan pada fungsi
selalu memiliki dampak yang mendalam. keluarga (Thompson & Rudolph, 2000 dalam
Perpisahan dan perceraian, untuk alasan apa Greef, 2004). Menurut penelitian Parke
pun, adalah masalah emosional yang intens (2008) pada tahun pertama setelah perceraian,
yang dapat menempatkan remaja kedalam orang tua kurang dapat diakses oleh anak-
permasalahan tersebut. Kasus perceraian ini anak mereka, kualitas pengasuhan yang lebih
menciptakan sebuah tekanan, perubahan fisik buruk, dan jauh lebih sulit untuk hanya satu
dan psikologis yang dapat dialami oleh semua orang untuk menetapkan dan menjalankan
keluarga, termasuk ayah, ibu, dan anak. Para peran keluarga. Selain sibuk dengan
ibu akan mengalami kesulitan yang lebih kebutuhan sendiri dan beradaptasi dengan
spesifik dalam menghadapi anak-anaknya, perceraian yang sedang dialami.
seperti perlakuan yang lebih ketat terhadap Santrock (2018) mendefinisikan masa
anak-anaknya dan pemberian perlakuan remaja ialah sebuah masa transisi
dengan intimidasi dan paksaan. Bagi para perkembangan yang dimulai dari masa kanak-
ayah, sulit untuk memikirkan atau kanak menuju ke masa dewasa. Dimulai dari
memikirkan sendiri bagaimana menghadapi memasuki usia sekitar 10 tahun hingga 12
situasi perceraian (Dagun, 1990 dalam Lita, tahun serta berakhir pada usia 18 tahun hingga
A. K. Dewi, 2013). 21 tahun. Dimana remaja pada usia ini belajar
Perceraian dapat meningkatkan risiko membentuk nilai dan keyakinannya serta
masalah kesehatan mental pada remaja berkali mulai mengenali identitas dirinya (Monks, et
lipat. Remaja dalam keluarga yang bercerai al., 2002). Ciri-ciri remaja yang mencari jati
diketahui mengalami kesedihan, kenangan diri adalah rentan terhadap masalah. Masalah
buruk, dan stres perceraian yang remaja dapat dibagi menjadi dua jenis:
berkelanjutan. (Emery & Coiro, 1989; Emery eksternalisasi dan internalisasi (Santrock,
& Forehand, 1994 dalam Buchanan, Maccoby 2018). Jika individu mengarahkan masalah
& Dornbusch, 1996). Remaja dalam keluarga yang dialami anak muda ke dunia luar,
yang bercerai juga memiliki tingkat gangguan biasanya dalam bentuk agresi atau kenakalan
eksternal yang tinggi, seperti perilaku agresi remaja, masalah tersebut dieksternalisasi.
dan penyimpangan perilaku, serta mengalami Internalisasi masalah terjadi ketika remaja
gangguan internal berupa tekanan mental mengalihkan masalah seperti depresi,
dalam bentuk emotional distress (O'Neill, kesepian, dan kecemasan pada diri mereka
2002). Selain itu, remaja dalam keluarga yang sendiri.
bercerai menjadi tidak stabil secara sosial, Dari segi psikologis, remaja dari
terutama ketika berhadapan dengan teman keluarga yang bercerai jauh lebih mungkin
sebaya. Efek ini mempengaruhi interaksi mengalami masalah emosional seperti
sosial dengan orang lain dan dapat kesepian (Yuliawati, Setiawan & Mulya,
berlangsung hingga dewasa (Dagun, 1990 2007), tetapi semua remaja belum tentu
dalam Lita, A. K. Dewi, 2013). kesepian atau merasakan keinginan bunuh

Khumaira Alia Ainunnida 2


Jurnal Ilmu Psikologi dan Kesehatan
(SIKONTAN)
https://publish.ojs-indonesia.com/index.php/SIKONTAN

diri. Selain itu, menurut penelitian Yuliawati, keputusasaan, ide bunuh diri, dan/atau
Setiawan, dan Mulya (2007), remaja dengan perilaku bunuh diri (Chang et al., 2017;
orang tua bercerai justru mengalami Kleiman et al., 2017; Lasgaard, Goossens, &
perubahan positif setelah orang tuanya Elkit, 2011; Stravynski & Boyer, 2001 dalam
bercerai, yaitu menjadi lebih kuat, mandiri, Lazar Rudolf, 2021).
lebih relijius, lebih taat beribadah. Serta lebih Remaja yang orang tuanya bercerai
patuh kepada salah satu orangtua yang tinggal merasa kesepian cenderung memiliki
bersama mereka, atau bahkan remaja tersebut hubungan yang buruk dengan orangtuanya.
tidak mengalami perubahan apapun Pengalaman penolakan dan kehilangan sosok
(Yuliawati, Setiawan & Mulya, 2007). orangtua dapat memiliki efek kesepian jangka
Masa remaja sangat membutuhkan panjang (Yuliawati, Setiawan, dan Mulya,
hubungan interpersonal dengan orang tua. 2007). Orang yang merasa kesepian memiliki
Individu akan mengalami reaksi emosional kepercayaan diri yang rendah, cenderung
dan perilaku kehilangan orang tua. Stres dan terlalu menyalahkan ketidakmampuannya,
konflik akibat hidup dengan orang tua yang dan cenderung kurang memiliki keterampilan
bercerai dapat menyebabkan remaja sosial. Selain itu, tidak dapat diintegrasikan
kehilangan komunikasi dan berpotensi dengan baik kedalam lingkup teman sebaya
merasa kesepian. Stravynski dan Boyer (Santrock, 2018). Remaja yang kesepian
(2001) juga menyatakan bahwa remaja yang merasa terisolasi dan tidak ada yang
kehilangan dukungan sosial dan emosional memberikan keintiman (Santrock, 2018).
dari keluarganya memiliki peningkatan risiko Penelitian dari Alina (2006)
merasa kesepian yang tinggi (Page, et al., menyatakan bahwa kesepian (loneliness)
2006). akibat berpisah dengan orang orang yang
Kesepian dengan demikian disayangi dapat membangun suatu reaksi
digambarkan sebagai (1) perbedaan yang emosional seperti merasakan sedih, kecewa
dirasakan antara kebutuhan atau keinginan bahkan merasa geram yang membuat marah
seseorang untuk kontak sosial dan kontak pada oranglain maupun diri sendiri. Selain itu,
sosial yang sebenarnya, (2) pengalaman kesepian dapat menimbulkan emosi yang
subjektif daripada pengalaman objektif, dan persisten dan membawa malapetaka, bahkan
(3) sebuah hal yang menyedihkan. Perasaan kesepian dapat menumbuhkan keinginan
kesepian dapat bervariasi. sebagaimana seseorang tersebut untuk bunuh diri. Gould,
dibuktikan oleh penelitian yang menangkap Stravynski, Boyer, dan Thompson (2003)
pengalaman seseorang melalui penilaian di menyatakan bahwa kesepian merupakan
lingkungan sesaat (Kleiman et al., 2017 dalam variabel kognitif yang berhubungan dengan
Lazar Rudolf, 2017). Selain itu, kesepian peningkatan risiko bunuh diri (Page et al.,
mungkin kurang lebih akan menyusahkan 2006). Sebuah studi oleh King dan Merchant
pada berbagai titik waktu perkembangan (2008) menjelaskan bahwa kesepian
karena perbedaan konteks dan keinginan merupakan variabel interpersonal sebagai
untuk hubungan sosial. Oleh karena itu, faktor risiko bunuh diri remaja. Joiner (2010)
tekanan karena kesepian dapat berkontribusi juga menyatakan bahwa seseorang yang
pada berbagai masalah kesehatan mental melakukan bunuh diri harus memiliki
sepanjang masa hidup termasuk depresi, setidaknya tiga komponen. Yaitu, 1)

DOI: https://doi.org/10.54443/sikontan.v1i1.194 3
Jurnal Ilmu Psikologi dan Kesehatan
Volume 1 Nomor 1 (2022)

kemampuan untuk menyakiti diri sendiri atau TINJAUAN PUSTAKA


self-injury, 2) perasaan bahwa dirinya Masa remaja adalah masa dimana
membebani orang lain atau lingkungan konflik orang tua cenderung meningkat
sekitar, dan 3) thwarted belongingness, yaitu seiring dengan bertambahnya usia remaja
sebuah perasaan kesepian bahwa individu tersebut (Steinberg, 2016). Ini adalah sebuah
kurang mampu berbaur dan tidak dapat terikat masa krisis dan kerentanan, terutama selama
dengan nilai kelompok atau hubungan yang pembentukan identitas diri. Agar berhasil
lain (Laasgard, Goossens & Elklit, 2010). bertahan dalam masa transisi, kita perlu
Peneliti masih belum sanggup mendukung remaja tersebut secara optimal.
menemukan prevalensi tentang berapa persen Saat itu kebutuhan akan peran orang tua
remaja menggunakan orangtua bercerai yg terhadap remaja lebih besar dari sebelumnya.
memiliki pemikiran untuk bunuh diri. Hal ini Lingkungan keluarga yang tidak memberikan
dikarenakan masih terbatasnya literatur yg kesempatan yang optimal, kurangnya
membahas tentang masalah tersebut. Hasil komunikasi, dan banyak gangguan
penelitian Stravynski & Boyer (2001) memberikan dampak yang sangat negatif bagi
menemukan sebesar 24,7 % individu yg perkembangan remaja (Gunarsa, 2009).
kesepian memiliki pemikiran untuk bunuh Individu dalam masa perkembangan
diri, tetapi penelitian tadi dilakukan dalam remaja dalam keluarga yang bercerai lebih
orang normal, sebagai akibatnya penelitian ini menunjukkan masalah penyesuaian diri
diperlukan bisa mengungkap interaksi antara dibandingkan dengan individu lain dalam
kesepian menggunakan keluarnya ide bunuh keluarga yang tidak bercerai. Pada tahun
diri dalam remaja menggunakan orangtua yg pertama setelah perceraian, kualitas parenting
bercerai. dari orangtua terhadap remaja sering kali
Konsep ide bunuh diri, terutama pada buruk. Orangtua sangat terlihat lebih sibuk
remaja pada orangtua yang bercerai adalah dengan kebutuhan mereka dan penyesuaian
topik yang jarang dibahas dalam penelitian, baru mereka. Mereka merasa marah, bingung,
buku-buku psikologi, dan jurnal. Sebuah studi ketidakstabilan emosi sehingga menghambat
tentang kesepian terkait dengan ide bunuh diri keterampilan mereka untuk aktif terhadap
yang dilakukan oleh Gould (2006), namun kebutuhannya sebagai remaja. Selanjutnya,
belum secara spesifik melihat pada remaja orang tua kurang memiliki kelekatan
dengan orangtua bercerai. Selain itu, variabel (attachment) terhadap anak walau orangtua
kesepian (loneliness) juga jarang menjadi tersebut memiliki waktu yang cukup. Individu
fokus utama penelitian terkait tentang ide pada masa remaja tersebut berkembang secara
bunuh diri, meskipun seringkali dihubungkan tidak stabil dalam hal pergaulan dengan teman
dengan resiko ide bunuh diri. Atas dasar sebayanya. Dampak ini akan terus
penjelasan diatas inilah yang berlangsung hingga mereka dewasa serta akan
melatarbelakangi peneliti untuk melakukan mengganggu interaksi sosialnya sampai
penelitian lebih lanjut mengenai hubungan dalam perkembangan selanjutnya (Dagun,
antara kesepian (loneliness) dan depresi 1990 dalam Lita, A.K. 2013).
terhadap ide bunuh diri pada remaja dengan Remaja yang memiliki orangtuanya
orangtua yang bercerai (divorce). yang bercerai akan merasa menderita karena
mereka ikut merasakan sakit hati karena
beban emosional akibat perpisahan

Khumaira Alia Ainunnida 4


Jurnal Ilmu Psikologi dan Kesehatan
(SIKONTAN)
https://publish.ojs-indonesia.com/index.php/SIKONTAN

orangtuanya yang merasuk ke dalam hati diperoleh dari suatu hubungan tertentu.
mereka, perasaan maupun pikirannya. Remaja Tingkat kesepian yang dirasakan individu
membutuhkan keakraban interpersonal dipengaruhi oleh hubungan sosial (hubungan
dengan orangtuanya (Tobin-Richards, 2001). dengan teman sebaya, family ataupun
Mereka akan mengalami reaksi emosi dan tetangga), standard hubungan (tujuan yang
perilaku karena kehilangan sosok salah satu ingin dicapai dalam suatu hubungan), serta
orangtua. Stress dan konflik yang timbul karakteristik pribadi (misalnya keterampilan
dalam penyesuaian kehidupan dengan sosial, self-esteem, kecemasan).
orangtua yang bercerai membuat remaja Jika remaja tidak mampu mengatasi
kehilangan tempat komunikasi mencurahkan kesepian, dikhawatirkan hal ini akan menjadi
isi hati serta dapat berpotensi membuat remaja hambatan untuk menemukan dan
mengalami perasaan kesepian (loneliness) (Le mengembangkan potensi diri yang terkait
Roux, 2009). dengan tugas perkembangan pembentukan
Remaja yang berasal dari keluarga identitas diri (Santrock 2018). Remaja yang
bercerai secara psikologis memungkinkan kesepian mungkin tidak terintegrasi dengan
mengalami masalah emosi seperti kesepian baik ke dalam sistem teman sebaya mereka
(loneliness), namun belum tentu sepenuhnya dan mungkin tidak memiliki teman dekat
merasa kesepian atau bahkan muncul ide (Santrock, 2018). Kesepian juga dapat
bunuh diri. Ada pula remaja dengan orangtua menyebabkan emosi yang persisten dan
bercerai yang justru mengalami perubahan membawa malapetaka, dan bahkan kesepian
positif setelah terjadinya perpisahan pada dapat mendorong ide bunuh diri (Alina,
orangtua mereka, yaitu remaja tersebut 2006). Kesepian sering dikaitkan dengan
menjadi lebih tegar, mandiri, lebih relijius, aspek psikopatologis lainnya seperti depresi
lebih taat kepada tuhan, serta lebih patuh pada dan ketidakberdayaan (Page et al., 2006).
salah satu orangtua yang tinggal bersama Selain itu, remaja yang kesepian lebih
mereka, atau bahkan sebaliknya (Yuliawati, cenderung memiliki ide bunuh diri jika
Setiawan, & Mulya, 2007). disertai dengan perasaan depresi (Laasgard,
Remaja yang kehilangan social support Goossens, & Elklit, 2010).
dan emotional dari keluarga memiliki resiko Depresi oleh Kaplan dkk. (1991)
tinggi mengalami kesepian (loneliness) dijelaskan sebagai suatu keadaan pada
(Stravynski dan Boyer 2001). Sedangkan individu yang ditandai dengan hilangnya
remaja korban perceraian orangtua yang tidak energi dan minat, perasaan bersalah, kesulitan
memiliki keintiman atau kedekatan serta berkonsentrasi, hilangnya nafsu makan,
keakraban secara interpersonal dengan muncul pikiran tentang kematian atau bunuh
orangtuanya akan memiliki kecenderungan diri. Tanda dan gejala lainnya berupa
kesepian jenis emosional (Weiss, 1973). terjadinya perubahan tingkat aktivitas
Dalam pendekatan kognitif, kesepian kemampuan kognitif, pembicaraan, dan
atau loneliness yang dikemukakan oleh fungsi vegetatif seperti tidur, nafsu makan,
Gierveld, Tilburg dan Dykstra (2006) aktivitas seksual, dan irama biologis lainnya,
menjelaskan bahwasanya kesepian akan dimana perubahanperubahan ini hampir selalu
muncul karena ada kesenjangan yang terjadi menyebabkan gangguan fungsi interpersonal,
antara apa yang diinginkan dan yang

DOI: https://doi.org/10.54443/sikontan.v1i1.194 5
Jurnal Ilmu Psikologi dan Kesehatan
Volume 1 Nomor 1 (2022)

sosial dan pekerjaannya (Wandasari kesesuaian yang ekstrim (hitam atau putih)
Sulistyorini, 2017). (Wandasari, 2017).
Menurut Beck (1985) sumber depresi Kesepian (loneliness) sering dikaitkan
adalah kognisi negatif. Orang yang depresi dengan risiko ide bunuh diri, tetapi jarang
tampak mempunyai pandangan yang negatif menjadi fokus penelitian bunuh diri. Menurut
mengenai dirinya sendiri, mengenai dunianya penelitian yang dilakukan oleh Page,
dan mengenai masa depannya. Orang yang Yanagishita, Suwanteerangkul, Zarco, Mei-
depresi menarik kesimpulan yang salah dan lee, dan Miao (2006), menyatakan bahwa
akibat dari menilai negatif dirinya, dunianya terdapat hubungan yang signifikan antara
dan masa depannya, sehingga suasana hatinya perilaku bunuh diri dan kesepian, serta
depresif, kemampuannya lumpuh, menolak keputusasaan dan depresi, yang merupakan
harapanharapan, mempunyai harapan bunuh variabel kognitif yang meningkatkan risiko
diri dan terjadi kenaikan ketegangannya. perilaku bunuh diri pada remaja. Hasil
Beck (1976 dalam Wandasari, 2017) penelitian Sravynski dan Boyer (2001) juga
mengemukakan bahwa mencela diri sendiri menyatakan bahwa ada hubungan positif
(self-deprecating) dan cara berpikir yang antara kesepian (loneliness) dan ide bunuh
menyimpang (berpikir negatif) merupakan diri.
inti dari ciri depresi orang dewasa. Beck dkk. Jika perasaan kesepian yang dialami
(dalam Leitenberg dkk., 1986 dalam pada masa remaja disertai dengan depresi,
Wandasari, 2017) selanjutnya menjelaskan ketidakberdayaan, atau kondisi psikopatologis
sebenarnya ada tujuh kesalahan kognitif lainnya, kondisi tersebut dapat meningkatkan
(cognitive error) yang terdapat pada orang risiko berkembangnya ide bunuh diri.
yang depresi, yaitu: a) Overgeneralization Masalah muncul di sini. Oleh karena itu,
yaitu percaya bahwa jika hasil negatif terjadi penulis ingin mengetahui lebih dalam tentang
dalam suatu kejadian maka hasil negatif hubungan antara kesepian dan depresi
tersebut juga akan terjadi pada kejadian yang terhadap ide bunuh diri pada remaja dengan
sama bahkan untuk kejadian yang belum orangtua bercerai.
terjadi, b) Selective abstraction yaitu
mengarahkan pemikiran hanya pada hal-hal METODE
yang negatif, c) Assumsing exsessive Penelitian ini menggunakan tipe
responsibility atau personal causalitas yaitu penelitian kuantitatif. Tipe penelitian ini
menyalahkan diri sendiri sebagai penyebab dipilih sebagai sebuah pendekatan dalam
semua kegagalan atau suatu kejadian negatif, penelitian ini karena lebih mengutamakan
d) Temporal causality atau predicting without pada data-data numerik atau angka yang
sufficient evidence yaitu percaya bahwa jika dilanjutkan dengan pengolahan data secara
sesuatu kejadian buruk terjadi masa lalu, pasti statistik (Azwar, 2003) Sedangkan tipe
hal tersebut juga akan terjadi lagi, e) Making penelitian merupakan prosedur atau cara yang
self-reference yaitu percaya diri sendiri digunakan dalam menjalankan penelitian.
khususnya performance yang buruk menjadi Menurut Neuman (2007) menyatakan bahwa
pusat dari pusat perhatian dari semua orang, f) prosedur yang biasa dipakai dalam penelitian
Castratrophizing yaitu selalu berpikir tentang kuantitatif yaitu survey, eksperimen, content
hal-hal buruk yang akan terjadi, g) Thinking analysis, serta existing statistics. Pada
dichotomously yaitu melihat sesuatu sebagai penelitian ini, penulis menggunakan tipe

Khumaira Alia Ainunnida 6


Jurnal Ilmu Psikologi dan Kesehatan
(SIKONTAN)
https://publish.ojs-indonesia.com/index.php/SIKONTAN

penelitian survey yang berjenis explanatory atau method of summated ratings. Method of
atau menjelaskan hubungan antara variabel summated ratings atau metode rating yang
satu dengan variabel yang lain serta dijumlahkan merupakan metode penskalaan
menyajikan hipotesis yang telah dirumuskan pernyataan sikap yang menggunakan
sebelumnya. Hal tersebut sesuai dengan distribusi respons sebagai dasar penentuan
tujuan penelitian yaitu ingin mengetahui ada skalanya (Azwar, 2003). Skala likert
tidaknya hubungan loneliness terhadap digunakan dalam penelitian ini karena
suicide ideation pada remaja yang mengalami memiliki beberapa kelebihan, yaitu relatif
divorce parenting. Populasi yang digunakan lebih mudah dibuat, reliabilitasnya tinggi,
dalam penelitian ini adalah remaja usia 15 – lebih menghemat waktu, tenaga dan biaya,
18 tahun korban perceraian orangtua. Adapun jangkauan responnya lebih besar sehingga
karakteristik subjek penelitian yang dapat memberikan keterangan yang lebih
digunakan adalah sebagai berjenis kelamin nyata serta jelas tentang pendapat yang
laki-laki dan perempuan, remaja berusia 15 – dimiliki subjek. Skala likert dalam penelitian
18 tahun, mempunyai orangtua yang telah ini nantinya ada dua macam, yaitu skala
bercerai kurang lebih 5 tahun. loneliness dan skala suicide ideation. Variabel
Teknik pengambilan sampel dilakukan loneliness diukur dengan menggunakan hasil
dengan teknik purposive sampling, yaitu adaptasi alat ukur De Jong Gierveld
penulis menentukan sampel sesuai dengan Loneliness Scale, sedangkan variabel suicide
karakteristik subjek penelitian yang diketahui ideation atau ide bunuh diri diukur dengan
sebagai remaja dengan orangtua yang bercerai menggunakan alat ukur skala suicide ideation
≤5 tahun. Purposive sampling adalah dimana dari Beck. Dan Variabel depresi diukur
setiap subjek yang dipilih adalah mereka yang dengan skala BDI-II (Beck Depression
memiliki karakteristik atau kriteria yang telah Inventory-II).
ditentukan peneliti, dengan kata lain Penulis dalam melakukan analisis data
pemilihan individu untuk dijadikan sampel menggunakan software SPSS For Windows
dari populasi disesuaikan dengan tujuan dan untuk melaksanakan uji analisis data
batasan populasi yang digunakan dalam penelitian ini. Penulis melakukan uji analisis
penelitian (Kerlinger, 2004). Meskipun deskriptif terhadap data demografis serta data
demikian, ternyata pada saat dilakukan variabel kesepian, depresi dan ide bunuh diri.
penelitian metode yang digunakan tidak Data penelitian juga dikenai uji normalitas
murni purposive sampling. Hal ini (Kolmogorov-smirnov) dan tes uji liniearitas
dikarenakan ternyata ada variable lain yang (Test of Linearity), serta uji homogenitas
harus dikontrol, seperti depresi. Penulis untuk mengetahui kelayakan data dalam
menggunakan teknik purposive sampling menggunakan teknik parametrik atau non-
karena populasi penelitian yang terbatas, parametrik. Uji hipotesis penelitian ini
cukup sulit dijumpai, dan memiliki ciri-ciri dilakukan menggunakan uji korelasi
atau karakteristik tertentu. nonparametrik (Spearman’s Rank Order),
Metode pengumpulan data dalam arena data menunjukkan tidak normal.
penelitian ini dilakukan dengan metode likert

DOI: https://doi.org/10.54443/sikontan.v1i1.194 7
Jurnal Ilmu Psikologi dan Kesehatan
Volume 1 Nomor 1 (2022)

HASIL DAN PEMBAHASAN Didalam uji normalitas pada data penelitian


Setelah penulis melakukan seluruh uji ini dilakukan dengan menggunakan uji
analisis deskriptif hingga uji asumsi yang normalitas kolmogorov-smirnov agar peneliti
digunakan untuk pembahasan dalam mengetahui batasan sebuah sebaran pada data
penulisan ini, maka kesimpulan dari hipotesis yang dapat dikatakan bahwa data tersebut
akan digunakan dasar analisis dalam normal atau tidak normal. Diketahui nilai
penulisan ini. Uji korelasi Spearman’s Rho signifikansi (Sig.) data loneliness adalah
menunjukkan hasil nilai signifikansi (Sig.) 0,014, nilai signifikansi (Sig.) data depresi
senilai 0,000. Hasil ini menunjukkan bahwa adalah 0,200 dan nilai signifikansi (Sig.) data
Ho ditolak dan menerima Ha. suicide ideation adalah 0,012 taraf nilai
Kesepian dapat bertindak sebagai faktor kolmogorov-smirnov dari ketiga variabel
kunci yang dapat meningkatkan kemungkinan tersebut adalah variabel depresi diatas 0,05
penyebab ide bunuh diri yang berkembang dan variabel loneliness dengan suicide
pada individu tertentu, terutama salah satu ideation memiliki nilai Sig. dibawah 0,05.
aspek kesepian yaitu thwarted belongingness Sehingga dapat disimpulkan bahwa data pada
yang menjadi prediktor sangat penting dalam tersebut tidak normal. Sedangkan apabila
perilaku ide bunuh diri (McClelland et al., dilihat dari pembahasan skewness dan
2020). Sejalan dengan penelitian ini, kesepian kurtosis, hasil nilai skewness dan kurtosis
merupakan faktor determinan positif yang variabel loneliness adalah normal, depresi dan
memiliki hubungan positif pula dengan variable suicide ideation berdistribusi normal.
munculnya ide bunuh diri dengan hasil Dalam hal ini menunjukkan bahwa data dari
koefisien korelasi positif sebesar 0,405 penelitian ini tidak memenuhi asumsi uji
dengan nilai signifikansi 0,000 (p < 0,05) normalitas, dan selanjutnya peneliti memilih
yang menyatakan bahwa kesepian dan ide menggunakan teknik statistik non-parametrik
bunuh diri berkorelasi antara satu dengan untuk melihat hubungan antar variabel.
lainnya.

Tabel 1. Uji Normalitas


Kolmogorov-Smirnov
Statistic df Sig.
Loneliness (X1) 0,067 233 0,014
Depresi (X2) 0,035 233 0,200
Suicide 0,068 233 0,012
Ideation (Y)

Pada uji liniearitas, ketiga variabel bahwa adanya hubungan yang liniear antara
tersebut (loneliness, depresi, dan suicide variabel loneliness, depresi, dan suicide
ideation) dikatakan memiliki hubungan ideation pada remaja dengan parental
liniear apabila memiliki nilai signifikansi divorce.
<0.05 (Priyatno, 2008). Hal ini menunjukkan

Khumaira Alia Ainunnida 8


Jurnal Ilmu Psikologi dan Kesehatan
(SIKONTAN)
https://publish.ojs-indonesia.com/index.php/SIKONTAN

Tabel 2. Uji Linearitas


Sum of Mean
Squares df Square F Sig.
Suicide Between (Combined) 20796.803 25 831.872 3.865 0.00
Ideation (Y) * Groups
Loneliness
(X1)
0,035 Linearity 9549.816 1 9549.816 44.370 0.00
0,068 Deviation 11246.987 24 468.624 2.177 0.02
from
Linearity
207 215.231
232

Pada uji homogenitas menunjukkan Perhitungan uji korelasi ini menggunakan


bahwa data loneliness memiliki nilai SPSS for windows. Berikut adalah hasil uji
signifikansi (Sig.) senilai 0,392. Data data spearman’s rho. Pada tabel uji korelasi
depresi memiliki nilai signifikansi (Sig.) spearman’s rho yang telah dijabarkan diatas,
senilai 0,222. Dan data suicide idetion pada variabel independent (X) serta variabel
memiliki nilai signifikansi (Sig.) senilai dependent (Y) diperoleh nilai koefisien
0,074. Kesimpulannya adalah ketiga variabel korelasi sebesar 0,405 dengan nilai
tersebut memiliki data yang homogen. signifikansi (Sig.) senilai 0,000. Koefisien
korelasi yang memiliki nilai positif, maka hal
Tabel 3. Uji Homogenitas tersebut berarti dalam kedua variabel
Levene Sig. loneliness terhadap suicide ideation memiliki
Statistic arah hubungan yang positif yaitu semakin
Loneliness 1,054 0,392 tinggi loneliness maka semakin tinggi pula
Depresi 1,239 0,222 suicide ideation pada remaja dengan parental
Suicide Ideation 1,370 0.074 divorces. Koefisien korelasi juga
menunjukkan sebuah kuatnya hubungan antar
variabel. Pada nilai koefisien korelasi dalam
Uji asumsi normalitas menunjukkan
penelitian ini adalah 0,405 yang berarti
bahwa data tersebut tidak normal. Maka
variabel loneliness dengan suicide ideation
peneliti dalam uji analisis data didalam
memiliki korelasi yang sedang. Selanjutnya
penelitian ini memilih untuk menggunakan uji
dapat dilihat antara nilai signifikansi (Sig.),
korelasi non-parametrik. Uji non-parametrik
bahwa sebuah penelitian apabila nilai
ini menggunakan uji spearman’s rho. Uji
signifikansi (Sig.) kurang dari <0,05 maka
spearman’s rho ini dipilih dikarenakan hasil
dapat disimpulkan terdapat korelasi yang
uji asumsi diketahui bahwa teknik sampling
signifikan antara variabel loneliness dengan
adalah tidak random sampling. Dependent
suicide ideation. Maka hipotesisnya menolak
variable berdistribusi tidak normal.
H0 dan menerima Ha.

DOI: https://doi.org/10.54443/sikontan.v1i1.194 9
Sikontan Journal
Volume 1 Nomor 1 (2022)

Tabel 4. Uji Korelasi Spearman’s Rho


Suicide
Loneliness Ideation
(X1) (Y)
Spearman's rho Loneliness Correlation 1,000 0,405**
(X) Coefficient
Sig. (2-tailed) . 0,000
N 233 233
Suicide Correlation 0,405** 1,000
Ideation (Y) Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,000 .
N 233 233

Uji moderasi yaitu sebuah analisis data memiliki nilai R 0,691 dan R Square 0,477.
untuk melihat variabel independent yang Nilai R Square pada regresi pertama senilai
berfungsi untuk menguatkan atau bahkan 0,146 atau 14,6% sedangkan setelah ada
melemahkan hubungan antara variabel regresi kedua nilai R Square naik menjadi
independent terhadap variabel dependent. 0,477 atau 47,7% dengan melihat hasil diatas
Yang mana variabel moderator (moderating dapat disimpulkan bahwa dengan adanya
variable) ini adalah variabel depresi. Pada depresi (Variabel Moderator) akan dapat
kedua tabel tersebut dapat dilihat bahwa nilai memperkuat hubungan antara loneliness
R sebesar 0,382 dan nilai R square sebesar terhadap ide bunuh diri pada remaja dengan
0,146. Dan pada uji moderasi pada variabel orangtua parental divorce.
moderator putaran kedua (loneliness*depresi)

Tabel 5. Uji Regresi Moderasi


Model R R Square Adjusted R Square
1 0,691 0,477 0,470

Sum of
Model Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 4188.003 2 2094.001 19.234 .000b
Residual 25040.118 230 108.870
Total 29228.120 232

SIMPULAN akan digunakan dasar analisis dalam


Setelah peneliti melakukan seluruh uji penelitian ini. Uji korelasi spearman’s rho
analisis deskriptif hingga uji asumsi yang menunjukkan hasil nilai signifikansi (Sig.)
digunakan untuk pembahasan dalam senilai 0,000. Hasil ini menunjukkan bahwa
penelitian ini, maka kesimpulan dari hipotesis Ho ditolak dan menerima Ha. Dan hasil dari

DOI: https://doi.org/10.47353/bj.v2i3.110 10
Website: www.ojs.berajah.com
Jurnal Ilmu Psikologi dan Kesehatan
(SIKONTAN)
https://publish.ojs-indonesia.com/index.php/SIKONTAN

uji moderator pada variabel depresi terkait ide bunuh diri (suicide ideation), Beberapa
variabel independent terhadap variabel peristiwa yang terjadi dalam keluarga yang
dependent menunjukkan hasil 0,477 atau dapat menyebabkan depresi seperti orang tua
47,7% maka dapat disimpulkan variabel yang bercerai, parenting orangtua yang
moderator depresi memperkuat hubungaan menuntut, ataupun kekerasan fisik, kekerasan
antara loneliness terhadap suicide ideation. seksual, dan emosional (Lubis, 2009).
Hasil dari penelitian ini menerangkan Individu dengan orangtuanya bercerai juga
bahwa loneliness memiliki hubungan yang memiliki level yang tinggi dalam gangguan
signifikan dengan suicide ideation, serta eksternal seperti agresi, penyimpangan
variabel depresi semakin memperkuat antara perilaku serta gangguan internal dalam bentuk
loneliness terhadap suicide ideation pada emotional distress, seperti depresi dan
remaja dengan orangtua yang bercerai. Maka kecemasan (O’Neill, 2002).
semakin individu merasa kesepian, serta Kesepian sendiri diketahui memiliki
adanya depresi yang meningkat maka korelasi yang spesifik dengan variabel depresi
semakin sering suicide ideation muncul (Brage, dkk., 1995; Seigner & Lilach, 1999
didalam diri individu. Sebaliknya, apabila dalam Page, dkk., 2006). Depresi sangat
subjek tidak merasa kesepian, dan tingkatan relevan dengan sikap menarik diri secara
depresi rendah, maka suicide ideation jarang sosial, negative appraisal, merasa gagal
muncul dalam diri individu (Suicide Ideation dimana hal tersebut dapat meningkatkan
rendah). resiko loneliness dalam diri individu (Young,
Dalam penelitian ini sejalan dengan 1982 dalam Lasgaard, Goossens & Elklit,
penelitian dari Chang (2010) yang 2010). Sacco dan Vaughan (2006)
menjelaskan bahwa loneliness serta peristiwa menjelaskan bahwa loneliness dan depresi
yang negatif sebagai prediktor terhadap risiko pada remaja mempunyai hubungan timbal
bunuh diri pada kaum Hispanik dan juga balik yang saling mempengaruhi dan juga
penelitian Stein, Itzhaky, Levi-Belz & berakibat negatif pada wellbeing serta
Solomon (2017) yang menemukan bahwa psikologis individu.
kesepian dapat memainkan peran penting Sama seperti loneliness, depresi adalah
dalam munculnya ide bunuh diri pada mantan sebuah variabel kognitif yang juga dapat
pejuang perang. Penelitian ini juga meningkatkan resiko munculnya suicide pada
menemukan bahwa loneliness bukan hanya remaja. Hal tersebut sesuai dengan penelitian
sebuah pengalaman yang membebani dalam yang dilakukan oleh Laasgard, Goossens, dan
diri individu, tetapi juga dapat menghambat Elklit (2010) yang menyebutkan bahwa
penanganan adaptif karena perasaan kesepian loneliness dapat meningkatkan resiko
mungkin melibatkan kognisi maladaptif munculnya suicide ideation diri pada remaja,
tentang orang lain dan niat mereka. Penelitian dan depresi berperan sebagai moderator kedua
Haw dan Hawton (2008) juga menemukan variabel tersebut. Pada kenyataannya remaja
bahwa masalah isolasi sosial berkontribusi dengan orangtua bercerai yang mempunyai
lebih banyak untuk upaya melukai diri sendiri relasi atau hubungan buruk dengan orangtua,
seiring dengan bertambahnya usia. keluarga, sahabat, teman akan merasa tidak
Selain kesepian (loneliness), depresi mendapatkan dukungan dari oranglain,
dapat menjadi penyebab remaja mempunyai merasa menjadi beban, tertekan, sehingga

DOI: https://doi.org/10.54443/sikontan.v1i1.194 11
Jurnal Ilmu Psikologi dan Kesehatan
Volume 1 Nomor 1 (2022)

berpikir bahwa bunuh diri adalah jalan keluar loneliness, depresi terhadap suicide ideation
yang terbaik. dikota besar.
Penelitian terdahulu pernah mencoba
mengungkap penyebab suicide ideation pada DAFTAR PUSTAKA
remaja, salah satunya adalah melalui cognitive Ade Wulandari. (2014). Karakteristik
approach. Menjelaskan bahwa kognitif pada Pertumbuhan Perkembangan Remaja dan
Implikasinya terhadap Masalah Kesehatan
individu yang cukup menarik untuk diteliti dan Keperawatannya. Jurnal Keperawatan
karena memiliki potensi untuk berubah-ubah Anak . Volume 2, No. 1, Mei 2014; 39-43.
(Stewart ,dkk., 2005 dalam Page, 2006). Andri, Setia. (2019). Gambaran Depresi pada
Peneliti memasukkan variabel depresi sebagai Mahasiswa Universitas X di Jakarta.
Provitae Jurnal Psikologi Pendidikan 2019,
variabel moderator dalam penelitian ini Vol. 12, No. 2, 81-93
karena mencoba mengungkap apakah variabel Armansyah Matondang. 2014. Faktor-faktor yang
depresi dapat memperkuat/memperlemah mengakibatkan perceraian dalam
terkait hubungan variabel loneliness terhadap perkawinan. Jurnal ilmu pemerintahan dan
sosial politik UMA, 2 (2) 141-150
variabel suicide ideation. Variabel loneliness Artaningtyas.(2012). Children & Divorce (Akibat
memang sangat jarang menjadi fokus utama Perceraian Pada Anak dan Remaja).
penelitian terdahulu walaupun seringkali Asma Abidah. (2020) Hubungan Antara Intensitas
dihubungkan dengan suicide ideation. Penggunaan Media Sosial dan Tingkat
Depresi pada Mahasiswa. Acta
Dari penjelasan diatas, maka jelas Psychologia, Volume 2 Nomor 2, 2020,
bahwa kesepian memiliki hubungan yang Halaman 92-107
signifikan dengan suicide ideation. Serta Buchanan, C.M., Maccoby, E.E., & Dornbusch,
adanya depresi menjadi memperkuat adanya S.M. (1996). Adolescent after divorce.
USA: Harvard Colledge.
ide bunuh diri pada remaja dengan orangtua Captain, C. (2008). Assessing suicide risk,
yang bercerai dapat mendukung penemuan Nursing made incredibly easy,6: p 46– 53.
dari penelitian terdahulu yang menjelaskan Mack T. Hines III, M. M. (2007). Adolescent
bahwa remaja yang memiliki tingkat Adjustment to the Middle School
Transition: The Intersection of Divorce and
loneliness yang tinggi, akan memiliki Gender in Review. RMLE Online, 31:2, 1-
kecenderungan suicide ideation (Stravynski & 15
Boyer, 2001) Chang, E.D., Sanna, L.J., Hirsch, J.K., & Jeglic,
E.L. (2010). Loneliness and negative life
Penelitian ini memang jauh dari
events as predictors of hopelessness and
sempurna, serta juga banyak kelemahan yang suicidal behaviors in hispanics: Evidence
ada didalam penelitian ini, Secara umum for a diathesis stress model. Journal of
kelemahan dalam penelitian ini adalah Clinical Psychology, 66(12), 1-12.
Dagun, S. M. (1990). Psikologi Keluarga: Peranan
menambah jumlah data yang sedikit serta
ayah dalam keluarga. Jakarta: Rineka Cipta.
pelaksanaan secara daring (online). Sehingga Dariyo, Agus. (2004). Psikologi Perkembangan
peneliti tidak tahu apakah responden sesuai Remaja. Bogor Selatan: Ghalia Indonesia.
dengan kriteria. Karena penyebaran kuesioner Diana Savitri Hidayati. (2015). Self Compassion
Dan Loneliness. Jurnal Ilmiah Psikologi
dilakukan secara random yang semuanya
Terapan. Vol. 03, No.01.
dapat mengisi (tidak hanya yang merasa Durand, V.M., & Barlow, D.H. (2018). Essentials
kesepian dan yang terpikir untuk bunuh diri). of Abnormal Psychology (8th ed). USA:
Perlu menambahkan data dari kota besar yang Cengage Learning.
Dykstra, P. A. (2009). Older adult loneliness:
lainnya, agar mengetahui hubungan antara
myth and realities. Eur J Ageing, 6, pp 91-
100.

Khumaira Alia Ainunnida 12


Jurnal Ilmu Psikologi dan Kesehatan
(SIKONTAN)
https://publish.ojs-indonesia.com/index.php/SIKONTAN

Emery, R.E. (1999). Marriage, Divorce, and Joiner, T.E. Jr., Van, O.K.A., Witte, T.K.,
Children’s Adjustment (2nd ed). America: Cukrowicz, K.C., & Braithwaite, S., Selby,
Sage Publications, Inc. E.A. (2010). The Interpersonal Theory of
Evina Krisnawati, Christiana Hari Soetjiningsih. Suicide. Psychol Rev. 117: 575-600.
(2017). Hubungan Antara Kesepian Dengan Julianto, A. (2012). Tingginya Tingkat Perceraian
Selfie-Liking Pada Mahasiswa. Jurnal di Indonesia.[On-Line]. Diakses pada
Psikologi Vol. 16 No. 2 Oktober 2017, 122- tanggal 28 Desember 2021 dari
127. http://arifjulianto.wordpress.com
Florencia Irena Mulyana, Fransisca Dessi /2008/06/05/ tingginya-tingkat-
Christanti., Et. al. 2021. Perbedaan Suicide perceraiandi-indonesia/
Ideation pada Remaja Ditinjau dari Big Khamim Zarkasih Putro. (2017). Memahami Ciri
Five Personality Traits. Experientia. Jurnal dan Tugas Perkembangan Masa Remaja.
Psikologi Indonesia. Vol. 9. No. 1. APLIKASIA: Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu
Garvin. (2017). Hubungan Kecerdasan Sosial Agama. Volume 17, Nomor 1, 2017. 25-32
Dengan Kesepian Pada Remaja. Jurnal King, C. A., & Merchant, C.R. (2008). Social and
Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni. Interpersonal Factors Relating to
Vol. 1, No. 2, Oktober 2017: hlm 93-99 Adolescent Suicidality: A Review of The
Gea Lukita Sari, Farida Hidayati. (2015). Literature. Archieves of Suicide Research,
Hubungan Antara Konsep Diri Dengan 21.181-196.
Kesepian Pada Remaja (Studi Korelasi Laasgard, M., Goossens, L., & Elklit, A. (2010).
Pada Siswa Kelas IX SMP Negeri 2 Loneliness, Depressive Symptomatology,
Semarang). Jurnal Empati, April 2015, and Suicide Ideation in Adolescence:
Volume 4(2), 163-168. Cross-sectional and Longitudinal Analyses.
Gierveld, D.J., & Tillburg, T. (1990). Rash Type J. Abnorm Child Psychol. 1007/s10802-
Loneliness Scale Measures of Personality 010-9442-x
and Social Psychological Attitudes. Editor: Lázár, Rudolf. (2021). Psychology of emotions
Robinson, Shaver, & Lawrence, 262-264. motivations and actions series Psychology
Gould, M.S., & Kramer, R.A. (2001). Youth of loneliness. new research. Nova Science
Suicide Prevention.Suicide & Life Publishers.
threatening behavior, 31:6-31. Le Roux, A. (2009). The relationship between
Greeff, A.P., & Merwe, S. (2004). Variables adolescents’ attitudes toward their fathers
Associated With Resilience in Divorced and loneliness: A cross-cultural study.
Families. Social Indicators Research. 68: Journal of Child and Family Studies, 18(2),
59-75. 219-226.
Gunarsa, Ny. S.D. & Gunarsa, S.D. (2009). Stein, J.Y., Itzhaky, L., Levi-Belz, Y., & Solomon,
Psikologi Remaja. Jakarta: Gunung Mulia. Z. (2017). Traumatization, loneliness, and
Haw, C., & Hawton, K. (2008). Life problems and suicidal ideation among former prisoners of
deliberate self-harm: Associations with war: A longitudinally assessed sequential
gender, age, suicidal intent and psychiatric mediation model. Frontiers in Psychiatry, 8,
and personality disorder. Journal of 1 – 9.
Affective Disorders, 109(1-2), 139-148. Lita, A. K. Dewi, 2013. Hubungan antara kesepian
Parke R.D.,(2008). Child Psychology. A dengan Ide Bunuh Diri. Thesis, Universitas
Contemporary View Point.. Mc Graw : Hill Airlangga.
College. Monks, F. J., Knoers, A.M.P., Haditono., &
Ismiati. (2018). Perceraian Orangtua Dan Problem Rahayu, S. (2002). Psikologi
Psikologis Anak. Jurnal At Taujih perkembangan: Pengantar dalam berbagai
Bimbingan dan Konseling Islam Vol. 1 No. bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada
1. University Press.
Jeli Pratiwi., Anna Undarwati. (2014). Suicide McClelland, H., Evans, J. J., Nowland, R.,
Ideation pada Remaja di Kota Semarang. Ferguson, E., & O’Connor, R. C. (2020).
Developmental and Clinical Psychology. Loneliness as a predictor of suicidal
DCP 3 (1) ideation and behaviour: a systematic review
and meta-analysis of prospective studies.

DOI: https://doi.org/10.54443/sikontan.v1i1.194 13
Jurnal Ilmu Psikologi dan Kesehatan
Volume 1 Nomor 1 (2022)

Journal of Affective Disorders, 274, 880– Pupulation-Wide Study. Suicide and Life-
896. Threatening Behavior, 31: 32-40.
https://doi.org/10.1016/j.jad.2020.05.004 Suk, E., Mill, J.V., Vermeiren, ., Ruchkin, V.,
O’Neill, R. (2002). Experiments in living: The Stone, M.S., Doreleijers, T., & Deboutte, D.
Fatherless family. Retrieved August 11, (2009). Adolescent suicidal ideation: a
2005, from comparison of incarcerated and school-
www.civitas.org.uk/pdf/Experiments.pdf based samples. Eur child adolesc
Page, R.M. (2006). Hopelessness and Loneliness psychiatry, 18: 377-383.
Among Suicide Attempters in School- Suryani, L.K., & Lesmana, C.B.J. (2008). Hidup
Based Samples of Taiwanese, Philippine, Bahagia: Perjuangan Melawan Kegelapan.
And Thai Adolescents. Journal of School Jakarta: Pustaka Obor Populer.
Psychology International, 27(5), 583-598. Tony & Herb Etkin (2019). Adolescence: How to
Pallant, J. (2020). SPSS Survival Manual: A Step Survive it, Insight for Parents, Teachers and
by Step Guide to Data Analysis Using SPSS Young Adults. London: Bloomsbury
(7th. Ed.). London: Routledge Continuum
Priyatno, D. (2008). Mandiri Belajar SPSS untuk Viva Budy Kusnandar, 2021. Inilah 10 provinsi
analisis data dan uji statistik. Jakarta: dengan penduduk berstatus cerai hidup
Mediakom. terbanyak. Diunduh dari
Sabatini, Anggawijaya. (2013). Hubungan Antara https://databoks.katadata.co.id/datapublish/
Depresi Dan Prokrastinasi Akademik. 2021/09/07/inilah-10-provinsi-dengan-
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa penduduk-berstatus-cerai-hidup-
Universitas Surabaya Vol.2 No.2 terbanyak)\
Santoso, S. (2009). Panduan Lengkap Menguasai Wallerstein, J.S. (2005). Growing Up in The
Statistik dengan SPSS 17. Jakarta: PT. Divorced Family. Clinical Social Work
Elexmedia Komputindo. Journal, 33, 4.
Santrock (2018). Adolescence, Sixteenth Edition. Wallerstein, J.S., & Kelly, J.B. (1979). Surviving
New York: Mc Graw HillSantrock. (2018). the breakup. New York: Perseus Books
Life-Span Development, Seventeenth Group
Edition. New York: Mc Graw Hill. Wandasari., & Muslim Sabarisman. (2017).
Sears, D.O., Freedman, J.L., & Peplau.L.A. Depresi: Suatu Tinjauan Psikologis. Sosio
(2005). Social Psychology. Pearson Informa Vol. 3. No. 02. Mei – Agustus
Education Tahun 2017. Kesejahteraan Sosial
Seccombe, K. Warner, R.L . 2004. Marriages and Weiss, R. S. (1973). Loneliness: The experience
Families : Relationshipin Social Context. of emotional and social isolation. The MIT
California : Thomson Learning Press
Sri Utami Pajarsari., Ni Made Ari Wilani. (2020). Yuliawati, L., Setiawan, J.L., & Mulya, T.W.
Dukungan Sosial terhadap Kemunculan Ide (2006). Perubahan pada Remaja Tanpa
Bunuh Diri pada Remaja. Widya Cakra: Ayah.Arkhe ,12, (h.9-19).
Journal of Psychology and Humanities. Yurni. (2015). Perasaan Kesepian dan Self-
Steinberg, L. (2016). Adolescence.6 th edition. Esteem pada Mahasiswa. Jurnal Ilmiah
New York: McGraw-Hill.Stravynski, A., Universitas Batanghari Jambi Vol.15 No.4.
Boyer R. (2001). Loneliness in Relation to
Suicide Ideation and Parasuicide: A

Khumaira Alia Ainunnida 14


Lakon: Jurnal Kajian Sastra dan Budaya
Volume 11. No. 2, November 2022

THE INFLUENCE OF SOCIETY IN COMMITTING SUICIDE IN THE


MIDNIGHT LIBRARY NOVEL BY MATT HAIG
Pengaruh Masyarakat terhadap Tindakan Bunuh Diri dalam Novel The Midnight Library Karya
Matt Haig

Novi Fatati Syihamun Nahdiyah

Program Studi Magister Sastra


Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada
Jl. Bulaksumur, Caturtunggal, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia
*e-mail: novifatatisyihamunnahdiyah@mail.ugm.ac.id

Abstract: People believe committing suicide is caused by an individual’s mental disorder.


Therefore, suicide is identified as the individual's responsibility. However, in the theory of suicide
by Emile Durkheim, he offers a different perspective on committing suicide. Durkheim argues
society has influenced the individual's life by committing suicide. According to the phenomena, this
study aims to identify the social factors that influence Nora to suicide in the novel The Midnight
Library by Matt Haig. The study uses a descriptive analysis method and applies the theory of
suicide by Emile Durkheim. The researcher identifies two factors that influenced Nora to suicide,
namely egoistic and fatalistic. The people around Nora (family, friends, and partner) do not have a
good relationship with her. On the other hand, the standardization or ideology of society put more
and more pressure on Nora’s life. These two social factors influence Nora to decide to end her life.

Keywords: Suicide, Social Factor, The Midnight Library

Abstrak: Masyarakat meyakini bahwa tindakan bunuh diri diakibatkan oleh gangguan mental
suatu individu. Oleh sebab itu, tindakan bunuh diri diidentifikasi sebagai sepenuhnya kesalahan
suatu individu. Namun, Emile Durkheim dalam teori bunuh diri menawarkan sudut pandang
berbeda. Durkheim berpendapat bahwa masyarakat memiliki peran dan bertanggung jawab
terhadap tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh suatu individu. Penelitian ini hendak
mengindentifikasi faktor sosial yang mempengaruhi tindakan bunuh diri pada tokoh Nora dalam
novel The Midnight Library karya Matt Haig. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif
analisis dan teori bunuh diri dari Emile Durkheim untuk menganalisis novel tersebut. Penulis
menemukan bahwa tindakan bunuh diri yang dilakukan tokoh Nora terpengaruhi oleh dua faktor
sosial yakni egoistik dan fatalistik. Masyarakat yang berada di sekitarnya (keluarga, sahabat,
bahkan pasangan) tidak memiliki keterdekatan emosional atau hubungan yang baik dengan
Nora. Selain itu, nilai-nilai yang membentuk standarisasi atau ideologi dalam masyarakat menjadi
akibat yang menekan dan meninggalkan keterpurukan terhadap Nora.

Kata Kunci: Bunuh Diri, Faktor Sosial, The Midnight Library

PENDAHULUAN
Tindakan bunuh diri merupakan fenomena sosial yang tidak jarang terjadi pada
suatu individu. Freud (1961) mengatakan fenomena bunuh diri sebagai Thanatos,
sebuah insting untuk melukai dan mengakhiri diri sendiri. Bunuh diri merupakan
tindakan untuk mengakhiri kehidupan sebagai jalan untuk menyelesaikan masalah
(Gamayanti, 2014). Ditekankan pula oleh Santi Marliana (2012) bahwa tindakan bunuh
diri merupakan keputusan untuk mengakhiri hidup dalam keadaan sadar berdasarkan
kemauannya sendiri. Terdapat banyak bentuk tindakan bunuh diri, yakni bunuh diri
dengan menembak diri sendiri, menyayat pergelangan tangan, mengantung diri,
meminum obat-obatan, atau cara bunuh diri yang paling disukai masyarakat Indonesia
©2022 Novi Fatati Syihamun Nahdiyah. Published in LAKON: Jurnal Kajian Sastra dan Budaya. Published 122
by Universitas Airlangga, Department of Literary and Cultural Studies. This article published under the
Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License
Lakon: Jurnal Kajian Sastra dan Budaya
Volume 11. No. 2, November 2022

yakni meloncat dari ketinggian (Marliana, 2012). Hal tersebut dikarenakan suatu
individu merasakan penderitaan dan kesengsaraan dalam hidupnya. Keadaan tersebut
tidak jarang terjadi akibat interaksi dan ekspektasi masyarakat yang terlalu tinggi atau
terlalu rendah terhadap suatu individu. Oleh sebab itu, tindakan bunuh diri dijadikan
jalan terbaik untuk melepaskan diri dari kepedihan atas kehidupan tersebut.
Mayoritas masyarakat meyakini bahwa tindakan bunuh diri diakibatkan oleh
gangguan psikologis individu. Oleh sebab itu, tindakan bunuh diri menjadi kesalahan
yang sepenuhnya dilakukan oleh suatu individu. Namun, tindakan bunuh diri
seharusnya tidak hanya menjadi tanggung jawab suatu individu saja melainkan juga
masyarakat. Masyarakat memiliki peran penting dalam mempengaruhi atau
membentuk perasaan, pikiran, dan tindakan, termasuk tindakan bunuh diri yang
dilakukan suatu individu. Meskipun tindakan bunuh diri merupakan kejadian yang
menghilangkan nyawa suatu individu, namun interaksi sosial serta aturan-aturan yang
berada dalam masyarakat memiliki pengaruh yang kuat terhadap kehidupan suatu
individu (Marliana, 2012). Dengan demikian, kecemasan, ketakutan, dan kerendahan
diri yang dirasakan oleh seseorang tidak dapat hadir begitu saja tanpa pengaruh orang-
orang di sekitarnya.
Dalam fenomena bunuh diri tersebut, Durkheim membedakan dengan tegas
terkait fakta sosial dan fakta psikologi. Fakta psikologi merupakan fenomena yang telah
dimiliki suatu individu sejak lahir sehingga tidak ada sebab-akibat dari masyarakat.
Sedangkan, fakta sosial sangat berhubungan dengan kehidupan bermasyarakat
sehingga tidak dapat dijelaskan melalui fakta psikologi. Fakta sosial merupakan bagian
eksternal dari suatu individu. Marliana (2012) menyebutkan bahwa fakta sosial dapat
berupa tindakan, pikiran, dan perasaan yang berada di luar kesadaran individu. Dalam
Marliana (2012), Durkheim memperhatikan tindakan bunuh diri bukan sebagai
tindakan individu melainkan dipengaruhi oleh masyarakt. Pendapat Durkheim tersebut
merujuk pada angka yang tercatat mengenai fenomena bunuh diri yang terjadi di
masyarakat. Dengan demikian, tindakan bunuh diri melibatkan kesadaran yang berada
di luar dirinya, yakni gejala-gejala sosial ketika nilai atau norma masyarakat memaksa
individu untuk turut menjalani hal tersebut (Marliana, 2012).
Individu memiliki keterikatan yang tidak dapat dihindari dengan lingkungan
masyarakat sekitar. Oleh sebab itu, masyarakat memiliki peran yang sangat
berpengaruh terhadap kehidupan suatu individu. Secara tidak langsung, interaksi yang
dilakukan antara suatu individu dan masyarakat tertentu memiliki pengaruh terhadap
pembentukan dan perkembangan perilaku, pikiran, dan mental individu, termasuk
keputusan atas tindakan bunuh diri. Tindakan bunuh diri yang dilakukan suatu individu
memiliki faktor-faktor yang terhubung dengan tekanan, dorongan, dan pengaruh dari
masyarakat (Durkheim, 1952). Dalam sebuah studi kasus, ketika suatu individu merasa
tidak dapat menjalankan norma yang berlaku, tidak dapat memenuhi ekspektasi
masyarakat, atau tidak dapat berinteraksi dengan baik, ia cenderung akan mengalami
perasaan-perasaan yang mengganggu kehidupannya. Dengan demikian, perasaan
tersebut menjadi pemantik suatu individu memutuskan untuk melakukan tindakan
bunuh diri.
Fenomena tersebut turut dinarasikan dalam novel The Midnight Library karya
Matt Haig yang diterbitkan pada tahun 2021. Novel tersebut menceritakan tokoh
perempuan bernama Nora Seed. Ibu Nora meninggal karena sakit; Ayahnya meninggal
karena serangan jantung sejak mengetahui Nora ingin berhenti berenang; Kakak laki-
lakinya memberi jarak dengan Nora sejak dia memutuskan berhenti sebagai vokalis The
Labyrinths; Sahabatnya, Izzy tidak lagi bertukar kabar sejak Nora membatalkan rencana

123
Lakon: Jurnal Kajian Sastra dan Budaya
Volume 11. No. 2, November 2022

untuk tinggal bersama di Australia; dan, dua hari sebelum pesta pernikahannya, Nora
membatalkan untuk mengucapkan janji setia hidup selamanya dengan Dan, laki-laki
yang telah menjadi mantan calon suaminya. Kemudian, Nora mengalami lebih banyak
kekacauan dalam hidupnya. Dia dipecat dari tempat kerja di mana dia telah bekerja
lebih dari 12 tahun. Leo, satu-satunya murid yang belajar piano pada Nora turut
mengundurkan diri. Tidak cukup sampai di sana, Mr. Banerjee, tetangga Nora yang
sudah lansia sudah menemukan apoteker untuk mengurus obat-obatannya sehingga ia
tidak lagi membutuhkan pertolongan Nora. Dengan berbagai kerangka peristiwa
menyakitkan yang tidak berhenti menghantam, Nora tidak sanggup bertahan di
kehidupan yang terlalu sesak untuk ditinggali. Dia berakhir dengan memutuskan untuk
bunuh diri.
Emile Durkheim dalam bukunya Suicide yang diterbitkan pada tahun 1952
membahas perihal peran masyarakat yang dapat mempengaruhi tindakan bunuh diri
terhadap suatu individu. Terdapat dua fakta sosial pada kasus bunuh diri, yakni
integrasi dan regulasi. Integrasi merupakan pemahaman kolektif terkait keyakinan dan
nilai yang berada di masyarakat. Sedangkan, regulasi adalah peraturan atau norma-
norma yang dibentuk oleh masyarakat. Di dalam buku tersebut Durkheim
mengklasifikasikan tindakan bunuh diri dalam empat kategori. Berdasarkan integrasi,
terdapat egoistik dan alturistik. Di sisi lain, terdapat anomik dan fatalistik yang merujuk
pada regulasi.
Pertama, egoistik yakni tindakan bunuh diri yang diakibatkan oleh keadaan di
mana suatu individu memiliki kesenjangan dengan lingkungannya. Pada bagian ini
menjelaskan suatu individu yang merasa bahwa masyarakat tidak dapat menerimanya
dengan baik. Di sisi lain, suatu individu yang memiliki individualistik tinggi di mana ia
cenderung apatis meskipun lingkungan telah menerimanya dengan sangat baik.
Hubungan yang sangat tidak terikat dengan masyarakat menjadikan suatu individu
teralienasi. Dengan demikian, suatu individu akan merasa bahwa tindakan bunuh diri
yang dilakukan tidak akan merugikan siapa-siapa dan tidak ada yang merasa kehilangan
dengan kematiannya.
Meskipun demikian, hubungan yang sangat dekat dengan lingkungan turut
berpotensi mengakibatkan tindakan bunuh diri alturistik. Kategori ini menyebutkan
suatu individu yang menjalin hubungan sosial dengan sangat kuat, mewujudkan setiap
keinginan-keinginan lingkungannya, dan memiliki prinsip bahwa nilai persaudaraan di
atas segalanya. Dengan demikian, suatu individu akan menderita jika orang terdekatnya
terluka. Di sisi lain akibat dari integrasi yang begitu kuat mengakibatkan suatu individu
tekekang dan terkontrol oleh lingkungannya. Terdapat beberapa faktor dalam kategori
ini: Pertama, bunuh diri akibat kewajiban, misalnya tradisi masyarakat di India kuno
menyiratkan istri untuk turut mati bersama suami, jika tidak dia akan dikucilkan oleh
masyarakat. Kedua, bunuh diri akibat dukungan masyarakat, sebagaimana seorang
prajurit yang mengorbankan dirinya dalam perang. Ketika gugur dalam perang
tersebut, ia akan mendapatkan penghargaan dan penghormatan dari masyarakat.
Ketiga, bunuh diri untuk kepuasan diri sendiri, yakni suatu individu merasa bangga dan
puas mempertontonkan tindakan bunuh diri yang dilakukannya. Kategorisasi tersebut
menggambarkan suatu individu yang memiliki hubungan atau keterikatan kuat dengan
masyarakat.
Kategori selanjutnya, bunuh diri anomik dideskripsikan sebagai tindakan bunuh
diri akibat dari regulasi yang terlalu rendah. Tindakan bunuh diri dilakukan karena
tidak terdapat pengaturan bagi tujuan dan aspirasi individu. Manusia diatur oleh
norma-norma yang berada di masyarakat. Namun, kekaburan atau rendahnya norma

124
Lakon: Jurnal Kajian Sastra dan Budaya
Volume 11. No. 2, November 2022

tersebut mengakibatkan suatu individu mengalami kebinggungan untuk menjalani


kehidupan. Aturan yang selama ini diterapkan dan dijadikan pedoman untuk
mengambil keputusan menjadi hilang. Hal tersebut menghambat suatu individu untuk
melengkapi kebutuhan dan keinginannya. Oleh sebab itu, akibat keinganan yang tidak
terpenuhi, kebutuhan yang tidak tercukupi, dan ketidak-teraturan sistem yang
menyebabkan krisis ekonomi, politik, hukum mengakibatkan suatu individu memilih
untuk melepaskan kesengsaraan dengan mengakhiri hidup.
Kemudian, terdapat kategori fatalistik yakni tindakan bunuh diri akibat dari
norma dan nilai yang terlalu tinggi dalam masyarakat. Suatu individu tidak memiliki
pilihan selain mengikuti norma dan nilai yang berlaku di masyarakat. Mereka hanya
dapat patuh dan tunduk pada perintah. Oleh sebab itu, tindakan bunuh diri tersebut
dilakukan suatu individu ketika seseorang merasa tidak sanggup bertahan akibat
pergerakannya terlalu dikekang dan diatur oleh peraturan, masa depannya ditutup
tanpa belas kasihan, dan keinganannya dihambat karena disiplin yang berlebihan. Dari
keempat kategori bunuh diri tersebut, Durkheim mengatakan bahwa integrasi dan
regulasi perlu memiliki keseimbangan atas kehidupan suatu individu.
Penelitian terkait fenomena sosial tindakan bunuh diri pernah dilakukan oleh
Tania Intan dan Ferli Hasanah pada tahun 2021 berjudul Cinta, Kematian, dan
Perempuan, Dalam Kumpulan Cerpen Jatuh Cinta adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri
karya Bernard Batubara. Pendekatan psikologi sastra dan kritik sastra feminis
digunakan dalam penelitian ini. Penulis menggunakan landasan teori bunuh diri dari
Durkheim, Freud, dan Camus. Penelitian tersebut menggambarkan bahwa cinta menjadi
penyebab tindakan bunuh diri. Bunuh diri yang dilakukan para tokoh merupakan
kategori agoistik dan fatalistik. Citra perempuan dalam novel tersebut merupakan
perempuan yang setia, femme fatale, dan berkuasa dalam hubungan percintaan. Cinta
yang ditampilkan Bernad dalam cerpen-cerpen tesebut merupakan cinta yang lemah
lembut, tidak menyenangkan, bahkan mematikan.
Pada tahun 2019 sebuah penelitian berjudul Hannah Baker’s Egoistic Suicide in Jay
Asher’s Thirteen Reasons Why dituliskan oleh Felicia Indriyani. Penulis menggunakan
pendekatan psikologi dan sosiologi untuk menganalisis kasus bunuh diri tersebut. Teori
bunuh diri dari Emile Durkehim digunakan untuk menjawab persoalan bagaimana
bunuh diri egoistik Hannah Baker dideskripsikan di dalam novel, dan apa saja upaya
dari tokoh utama lain, Clay Jensen, untuk mencegah potensi bunuh diri egoistik.
Penelitian tersebut menunjukkan hasil bahwa Hannah berencana melakukan tindakan
bunuh diri egoistik akibat dua hal, yakni kurangnya integrasi sosial antara Hannah dan
masyarakat serta kurangnya dukungan dari keluarga dan sekolah. Di sisi lain, Clay
Jensen mencoba untuk membangun koneksi dan ikatan dengan Skye Miller untuk
mencegah kemungkinan tindakan bunuh diri egoistik.
Terakhir, Anggun Nirmala Safitri, Imam Basuki, dan Erna Cahyawati melakukan
sebuah penelitian yang berjudul Commiting Suicide: a Failure in Reaching American
Dream Reflected in Arthur Miller’s Death of a Salesman pada tahun 2012. Terdapat tiga
permasalahan yang akan didiskusikan dalam penelitian tersebut, yaitu gambaran
American Dream yang dikejar oleh Loman, penyebab bunuh diri yang dilakukan Loman,
dan bagaimana kegagalan mencapai American Dream memunculkan keinginan Loman
untuk bunuh diri. Pendekatan sosiologi sastra dan teori bunuh diri dari Emile Durkeim
digunakan untuk menemukan jawaban atas ketiga polemik tersebut. Mereka
menemukan bahwa Loman mendambakan kehidupan yang sukses dengan rumah yang
nyaman dan anak yang menjadi businessman. Namun, dia depresi dan keuangan
menurun drastis sehingga Loman tidak dapat mencapai mimpi-mimpi tersebut. Oleh

125
Lakon: Jurnal Kajian Sastra dan Budaya
Volume 11. No. 2, November 2022

sebab itu, Lman memutuskan untuk bunuh diri bukan hanya karena tidak mampu
menghadapi kenyataan, namun juga supaya mendapatkan asuransi untuk keluarganya.
Berdasarkan ketiga penelitian terdahulu dapat dilihat bahwa belum ada penulis
yang membahas penyebab bunuh diri akibat kurangnya interaksi (agoistik) dan
tingginya regulasi (fatalistik) yang dialami suatu individu. Dengan demikian, penelitian
ini akan mendiskusikan bagaimana lingkungan mempengaruhi tindakan bunuh diri
terhadap suatu individu mengggunakan teori bunuh diri Emile Durkheim. Oleh sebab
itu, penulis menformulasikan rumusan masalah berupa bagaimana lingkungan
masyarakat mempengaruhi tokoh Nora dalam novel untuk melakukan tindakan bunuh
diri. Penulis hendak mengidentifikasi faktor-faktor sosial yang terlibat dalam tindakan
bunuh diri suatu individu dan mendiskusikan bahwa lingkungan turut memiliki peran
yang dapat mempengaruhi tindakan suatu individu.

METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis, yaitu suatu
metode untuk mempelajari status kelompok manusia, suatu objek, suatu rangkaian
kondisi, suatu sistem pemikiran, dan suatu peristiwa. Metode tersebut bertujuan untuk
membuat gambaran yang sistematis dan akurat terkait hubungan antara fakta dan
fenomena yang diteliti (Nazir,1988). Penelitian ini menggunakan sumber data primer
dan sumber data sekunder. Sumber data primer berupa novel The Midnight Library
karya Matt Haig. Sedangkan, sumber data sekunder berdasarkan pada buku Suicide
karya Emile Durkheim, dan jurnal-jurnal yang membahas fenomena bunuh diri.
Peneliti menggunakan beberapa tahapan berupa: Pertama, peneliti membaca,
mencermati, memahami, dan menggaris-bawahi narasi-narasi yang berhubungan
dengan fakotor-faktor tindakan bunuh diri di dalam novel The Midnight Library. Kedua,
peneliti memindahkan keseluruhan data-data yang sudah digaris-bawahi ke dalam
Microsoft Word. Ketiga, peneliti memilah dan mengklasifikasikan data-data tersebut
dengan empat faktor dari tindakan bunuh diri. Keempat, peneliti menganalisis terkait
narasi dalam novel dan dua faktor sosial (egoistik dan fatalistik) dari Emile Durkheim.
Terakhir, peneliti menyimpulkan penelitian tersebut dengan jawaban atas rumusan
masalah yang dituliskan dalam pendahuluan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Durkheim berpendapat bahwa masyarakat memiliki peran dan tanggung jawab
besar terhadap tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh suatu individu. Dia
mengatakan bahwa segala bentuk integrasi atau regulasi yang terlalu tinggi atau
cenderung rendah dapat mempengaruhi tindakan yang dilakukan oleh manusia. Dalam
novel The Midnight Library tokoh Nora termasuk dalam klasifikasi Agoistic Suicide,
yakni hubungan sosial dalam masyarakat tidak terlalu terikat dengan suatu individu
atau integrasi yang rendah. Suatu individu mengalami kesepian dan merasa sendiri
karena lingkungan masyarakat—teman sebaya, kelompok, atau keluarga—tidak dapat
mendukung dan menerima kehadirannya dengan baik (Biroli, 2018).

“No one needed her. She was superfluous to the universe.


Three hours before she decided to die, her whole being ached with regret.
It reminded her that everyone was better off without her.”

Potongan cerita di atas menasikan bahwa Nora merasa kehidupan akan lebih baik
tanpa kehadirannya. Nora tumbuh tanpa keterikatan emosional dengan lingkungannya.
Ayahnya mati akibat serangan jantung sejak Nora memutuskan untuk berhenti
126
Lakon: Jurnal Kajian Sastra dan Budaya
Volume 11. No. 2, November 2022

berenang. Ibunya menderita sakit sejak lama. Kakak laki-laki Nora memberikan jarak
sejak Nora mengundurkan diri sebagai vokalis dari band The Labyrinths yang didirikan
mereka. Kemudian, dua hari sebelum perayaan, Nora membatalkan pernikahannya
dengan Dan. Terakhir, sahabat Nora, Izzy turut memberikan jarak sejak Nora
membatalkan rencana mereka untuk tinggal bersama di Australia setelah membatalkan
pernikahannya dengan Dan. Tidak ada yang menetap di samping Nora. Dia sendiri tanpa
teman, tanpa keluarga, dan tanpa ada yang memintanya untuk bertahan hidup. Oleh
sebab itu, Nora merasa bahwa tidak akan ada yang menderita atau terluka setelah
kepergiaannya. Dia terlalu banyak menyalahkan dirinya sendiri. Hal tersebut semakin
ditekankan pada narasi di bawah ini.
“Like I still want to die. I have wanted to die for quite a while. I have carefully calculated that
the pain of me living as the bloody disaster that is myself is greater than the pain anyone else
will feel if I were to die. In fact, I’m sure it would be relief. I’m not useful to anyone. I was bad at
work. I have dissapointed everyone. I am a waste of a carbon footprint, to be honest. I hurt
people. I have no one left.”

Selain itu, sejak remaja Nora tidak pernah dekat dengan lingkungannya. Dia hanya
difokuskan untuk berlatih berenang oleh Ayahnya. Setiap waktu dan seluruh tenaganya
hanya dikerahkan untuk berenang. Tidak ada hal lain dan lebih penting selain berenang.
Dia hanya berteman dengan air dan pelatih. Tidak ada teman dan permainan. Hal
tersebut digambarkan dengan narasi “she won races in local and then national
competitions, but as she reached fifteen it became too much. The daily swims, length after
length after length. “I had to quit”. Di sisi lain, Nora cenderung suka menyendiri. Dia
suka tidak dikenal. Dia suka tidak terlihat. Dia tidak suka menjadi pusat perhatian.
Namun, menjadi pemenang akan mengambil perhatian banyak orang. Orang-orang akan
sangat memperhatikan setiap hal secara rinci hingga memungkinkan untuk
mengomentari hal privasi dalam dirinya. Oleh sebab itu, Nora memutuskan untuk tidak
berenang lagi. Dia meninggalkan satu-satunya kehidupan yang dijalani, ditekuni, dan
ditinggali selama bertahun-tahun. Selain karena Nora merasa latihannya terlalu
berlebihan, komentar orang-orang tentang bahunya yang terlihat seperti laki-laki saat
menggunakan baju renang turut berperan dalam keputusan yang dibuat Nora.
Penjelasan tersebut dinarasikan sebagaimana di bawah ini.

“Why did you quit?”


“As soon as I started winning swimming races, I became seen and I didn’t want to be seen. And
not only seen but seen in a swimsuit at the exact age you are self-obsessing about your body.
Someone said I had boy’s shoulders. It was stupid thing but there were lots of stupid things and
you feel them all at that age. As a teenager I’d have happily been invisible. People called me
“The Fish”. The didn’t mean it as a compliment. I was shy. It was one of the reasons why I
preferred the library to the playing field. It seems a small thing, but it really helped, having that
space.”

Ketika Nora memutuskan untuk berhenti berenang, tidak ada yang menerima dan
mendukung keputusannya, bahkan Ayahnya. Tokoh Ayah dalam cerita terlalu banyak
memberikan tekanan dan meletakkan harapan yang tinggi pada Nora. Seolah-olah dia
mengatakan bahwa tidak ada hal baik dan tidak ada kebahagiaan yang bisa didapatkan
Nora selain menjadi perenang profesional. Tokoh Ayah di sini menjadikan kehidupan
anaknya menjadi kehidupan dirinya. Oleh sebab itu, dia terlalu banyak terlibat dalam
memutuskan banyak hal dan melupakan bahwa seorang anak berhak menentukan jalan
kehidupannya secara utuh.

127
Lakon: Jurnal Kajian Sastra dan Budaya
Volume 11. No. 2, November 2022

Mrs. Elm nodded. “And the bond you’d developed with your dad frayed and almost snapped
completely.”
“Pretty much.”
She pictured her father’s face, in the car, on a drizzle-scratched Sunday morning outside
Bedford Leisure Centre, as she told him she didn’t want to swim in competitions any more. That
look of disappointment and profound frustration.
“But you could make a success of your life. You’re never going to be a pop star, but this is
something real. It’s right in front of you. If you keep training, you’ll end up at the Olympics. I
know it.”
She had been cross with him saying that. As if there was a very thin path to a happy life and it
was the path he had decided for her. As if her own agency in her own life was automatically
wrong.

Potongan-potongan di atas menggambarkan suatu individu yang tidak


mendapatkan dukungan, tidak diterima dengan baik, dan tidak memiliki keterikatan
emosional dengan lingkungan masyarakat cenderung memiliki potensi merasakan
kesendirian dan kesepian sehingga mengakibatkan suatu tindakan bunuh diri. Individu
tersebut tidak memiliki alasan untuk tetap bertahan. Dia merasa bahwa keputusannya
mengakhiri hidup tidak akan merugikan dan menyakiti oranglain. Tidak akan yang
menangis. Tidak akan ada yang berduka atas kepergiannya. Oleh sebab itu, suatu
individu yang ingin melakukan tindakan bunuh diri menganggap tidak ada masalah jika
harus menyudahi kehidupannya.
Di sisi lain, dalam novel The Midnight Library, tindakan bunuh diri yang dilakukan
oleh Nora turut berada dalam klasifikasi Fatalistik Suicide, yakni tindakan bunuh diri
akibat dari nilai dan norma yang terlalu tinggi dalam masyarakat. Nilai dan norma yang
tinggi tersebut menyebabkan ketidakberdayaan suatu individu, mau tidak mau atau
suka tidak suka individu dipaksa untuk tunduk dan takluk. Oleh sebab itu, suatu
individu merasa terlalu diatur dan dikekang sehingga menjadikan masa depan terblokir
dan keinginan pribadi terhambat oleh disiplin yang berlebihan (Biroli, 2018). Suatu
individu akan merasa bahwa dirinya tidak memiliki kebebasan memilih dan
menentukan terhadap kehidupan yang dimiliki. Sebagaimana narasi dalam novel.
“I’m Kerry-Anne. Remember you from school. The swimmer. Super brain. Didn’t whatshisface,
Mr. Blandford, do an assembly on you once? Said you were going to end up at the Olympics?”

Nora Nodded.
“So, did you?”
“I, um, gave it up. Was more into music ... at the time. Then life happened.”
“So what do you do now?”
“I’m ... between things.”
“Got anyone, then? Bloke? Kids?”
“Well, don’t hang about. Tick-tock-tick-tock.”
“I’m thirty five. And I’m not sure I want.”

Potongan cerita di atas menggambarkan ekspektasi masyarakat bahwa peran


ideal perempuan dapat melahirkan anak atau mempunyai pasangan. Kemudian,
ekspektasi lainnya adalah suatu individu dikatakan luar biasa ketika memiliki otak
pintar dan memiliki pencapaian seperti menjadi pemenang dalam Olympics. Ketika
Nora telah bekerja selama bertahun-tahun di suatu toko dalam pedesaan, hal tersebut
dianggap kehidupan yang tidak layak untuk dipertahankan secara berkelanjutan.
Sebagaimana ungkapan pemilik toko tempat Nora bekerja tersebut. Dia menginginkan
Nora bekerja di tempat yang lebih layak sehingga memaksa Nora untuk meninggalkan
pekerjaannya sebagai pegawai toko biasa. “Did you picture yourself stuck in your

128
Lakon: Jurnal Kajian Sastra dan Budaya
Volume 11. No. 2, November 2022

hometown working in a shop?” Dengan kata lain, pemilik toko mengatakan bahwa Nora
tidak layak jika hanya hidup di desa sebagai pegawai toko tanpa ia mempertimbangkan
kenyamanan yang telah Nora dapatkan di sana.
Nilai-nilai yang dihadirkan dalam masyarakat terkait apa yang pantas dan tidak
pantas, layak dan tidak layak, baik dan tidak baik membuat sebuah standarisasi dalam
kehidupan manusia. Sebagaimana tokoh Nora dalam novel yang memutuskan untuk
tidak berenang dan bermain musik lagi melainkan memilih untuk menjaga toko. Namun,
hal tersebut dianggap pekerjaan yang tidak ideal sehingga dia dipaksa untuk turut
meninggalkannya. Sebuah pemahaman dalam masyarakat bahwa hal-hal besar adalah
pencapaian yang luar biasa sehingga hal yang dianggap biasa akan dimarginalisasikan.
Hal tersebut menyebabkan suatu indvidu merasa tidak berharga dan tidak menjalani
hidup dengan baik sehingga hanya menyisakan penyelasan dan ratapan.
“Swimmer. Musician. Philosopher. Spouse. Traveller. Glaciologist. Happy. Loved.
Nothing.
Nora was only able to think of herself in terms of the things she wasn’t. The things she hadn’t
been able to become. And there really were quite a lot of things she hadn’t become. The regrets
which were permanent repeat in her mind. I haven’t become an Olympic swimmer. I haven’t
become a glaciologist. I haven’t become Dan’s wife. I haven’t become a mother. I haven’t
become the lead singer of The Labyrinths. I haven’t managed to become a truly good or truly
happy person. I haven’t managed to look after Voltaire.”

Potongan-potongan narasi di atas menunjukan standarisasi atau idealisasi yang


ditetapkan dalam masyarakat dapat memberikan tekanan yang luar biasa pada suatu
individu. Dia harus memenuhi ekspetasi masyarakat, melakukan sesuatu yang besar,
dan menjadi sesuatu yang luar biasa untuk dapat diterima dengan baik. Oleh sebab itu,
ketika suatu individu merasa dirinya tidak memenuhi kriteria orang-orang pada
umumnya, dia akan merasakan kegagalan, penyesalan, dan ratapan dalam hidup.
Keadaan tersebut memiliki potensi suatu individu melakukan tindakan bunuh diri.

KESIMPULAN
Penulis menemukan dua faktor tokoh Nora dalam novel The Midnight Library
melakukan tindakan bunuh diri, yakni egoistik dan fanalistik. Berdasarkan kategori
Egoistik Suicide, Nora tidak memiliki memori dan keterikatan emosional dengan
lingkungannya. Ayah Nora menjadikan kehidupan Nora sebagai kehidupannya. Oleh
sebab itu, Nora dilatih begitu keras berenang untuk mewujudkan impiannya tampil di
Olympics. Hubungan mereka semakin memburuk sejak Nora memutuskan untuk tidak
berenang lagi. Nora ditinggal mati oleh Ibunya yang menderita sakit. Kakak laki-lakinya
memberikan jarak setelah Nora memutuskan meninggalkan grup band yang
didirikannya. Sahabatnya, Izzy tidak lagi hadir sejak Nora membatalkan keputusannya
untuk tinggal bersama di Australia. Terakhir, Nora membatalkan pernikahannya dengan
Dan dua hari sebelum perayaan. Tidak ada tokoh yang tersisa dalam hidupnya. Selain
keluarga, sahabat, dan pasangan yang tidak lagi dimiliki Nora, dia cenderung pemalu,
dia tidak suka dikenal, tidak suka menjadi pusat perhatian, dia terbiasa dalam
kesendirian tanpa teman.
Di sisi lain, kategori kedua yakni Fatalistik Suicide. Tokoh Nora berada di
lingkungan yang memiliki standarisasi atau idealisasi yang tinggi. Hal tersebut
membentuk sudut pandang dan pola pikir Nora bahwa suatu individu harus memiliki
pencapaian yang tinggi, melakukan hal besar, dan menjadi individu yang luar biasa;
bahwa perempuan harus memiliki anak dan pasangan. Ketika suatu individu tidak
memiliki hal tersebut, dia cenderung akan merasa tidak berguna, tidak menjalankan
129
Lakon: Jurnal Kajian Sastra dan Budaya
Volume 11. No. 2, November 2022

hidup dengan baik, dan menyisakan penyesalan. Perasaan-perasaan yang bersumber


dari nilai-nilai yang menekan dalam masyarakat menyebabkan suatu individu
berpotensi untuk melakukan tindakan bunuh diri.
Kedua faktor yang teridentifikasi tersebut, yakni integrasi yang rendah (egoistik)
dan regulasi yang tinggi (fatalistik) menjadi penyebab tindakan bunuh diri yang
dilakukan oleh tokoh Nora dalam novel The Midnight Libabry. Oleh sebab itu,
masyarakat turut membentuk pola pikir dan sudut pandang yang dimiliki, serta
tindakan yang dilakukan oleh suatu individu. Dengan demikian, penelitian ini hendak
memberikan pemahaman bahwa masyarakat turut memiliki peran dan bertanggung
jawab terhadap tindakan bunuh diri yang dilakukan suatu individu. Berdasarkan
penelitian ini, masyarakat dapat melihat bentuk interaksi dan regulasi yang dapat
memberikan tekanan dan mengganggu pikiran suatu individu.

DAFTAR PUSTAKA
Biroli, A. (2018). Bunuh Diri dalam Perspektif Sosiologi. Simulacra, 1(2), 213-223.

Durkheim, Emile. (1952). Suicide: A Study in Sociology. New York: The Free Press.

Freud, S. (1961). Beyond the pleasure principle. (J. Strachey, Ed.). W W Norton & Co.
Gamayanti, W. (2014). Usaha bunuh diri berdasarkan teori ekologi
Bronfenbrenner. Psympathic: Jurnal Ilmiah Psikologi, 1(2), 204-230.
Intan, T., & Hasanah, F. (2021). Cinta, kematian, dan perempuan, dalam kumpulan
cerpen Jatuh cinta adalah cara terbaik untuk bunuh diri karya Bernard
Batubara. Aksara: Jurnal Bahasa dan Sastra, 22(2), 182-197.
Indriyani, F. (2019) Hannah Baker’s egoistic suicide in Jay Asher’s Thirteen Reasons
Why. Undergraduate thesis, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.

Marliana, Santi. (2012). “Bunuh Diri sebagai Pilihan Sadar Individu”: Analisa Kritis
Filosofis terhadap Konsep Bunuh Diri Emile Durkheim. (Skrispi). Fakultas Ilmu
Pengetahuan dan Budaya, Universitas Indonesia, Depok.

Nazir, M. (1988). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Safitri, N. A., Basuki, I., Cahyawati, E. (2012). Commiting Suicide: a Failure in Reaching
American Dream Reflected in Arthur Miller’s Death of a Salesman. UNEJ Jurnal. 1(1)

130
PEMBAHASAN

A. Pembahasan Jurnal Perilaku Bunuh Diri Pada Gangguan Afektif Bipolar: Sebuah
Tinjauan Pustaka
Penulis : I Gusti Ngurah Putra Astawa dan Rini Trisnowati
Instansi : Program Studi Spesialis Kedokteran Jiwa, Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana
Jurnal : Jurnal Hasil Penelitian dan Pengembangan
Volume & Halaman : Volume 1 No. 3 Hal 184-191
Tahun Terbit : Juli 2023

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh keterikatan gangguan bipolar dengan


percobaan bunuh diri. I Gusti Ngurah Putra dan Rini melakukan penelitian ini guna
meningkatkan kemampuan diagnostik dan penatalaksanaan yang tepat bagi penderita
gangguan bipolar sehingga dapat menurunkan kejadian bunuh diri. Penelitian ini
dibuka dengan fakta bahwa sekitar 25%-50% dari total individu dengan gangguan
bipolar akan melakukan percobaan bunuh diri. Hal ini terjadi ketika penderita gangguan
bipolar masuk dalam episode depresi dan episode campuran.
Metode penelitian yang digunakan oleh keduanya adalah literature review
menggunakan sumber data yang berasal dari Pubmed dan Google Scholar. Metode ini
dimulai dengan melakukan pemilihan topik, pengumpulan artikel yang relevan, analisis
serta sitesis literatur, dan mengembangkan penu;isan review.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penderita gangguan bipolar yang
melakukan percobaan bunuh diri utamanya ditentukan oleh jenis/polaritas
episode/keadaan suasana hati saat ini. Episode depresi mayor dan episode campuran
memberikanresiko tertinggi sedangkan episode mania (euforia), hipomania, dan
eutimik jarang memberikan dampak signifikan. Pencegahan bunuh diri pada penderita
gangguan bipolar dapat dilakukan dengan lithium, bahkan bisa digunakan juga untuk
penderita MDD. Ini diakibatkan karena lithium terbukti menurunkan 60% resiko bunuh
diri pada penderita gangguan mood.
Kesimpulan yang didapatkan yaitu bahwa gangguan bipolar memang memiliki
peran dalam kejadian bunuh diri. Perlu dilakukan penatalaksanaan sedini mungkin
untuk menurunkan resiko bunuh diri tersebut.
Secara keseluruhan penulis telah menjabarkan hasil yang cukup lengkap, namun
penggunaan literature review membuat penelitian ini kurang efektif dan dapat
mrnimbulkan bias dalam penelitian.

B. Pembahasan Jurnal Hubungan Kesepian dan Ide Bunuh Diri yang Dimoderasi
oleh Depresi pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua
Penulis : Khumaira Alia Ainunnida
Instansi : Universitas Airlangga
Jurnal : Jurnal Ilmu Psikologi dan Kesehatan (SIKONTAN)
Volume & Halaman : Volume 1 No. 1, Hal 1-14
Tahun Terbit : 2022

Dilakukannya penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara


kesepian dengan ide bunuh diri yang dimoderasi oleh depresi pada remaja dengan orang
tua yang bercerai. Penelitiaan ini menggunakan 233 responden berupa remaja dengan
orang tua yang bercerai ≤ 5 tahun.
Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini dengan metode survei
dan variabel kesepian menggunakan skala De Jong Gierveld Loneliness Scale, BDI-II
(Beck Depression Inventory-II), dan Beck Scale for Suicide Ideation. Uji analisis data
yang Khumaira gunakan didalam penelitian ini adalah uji non-parametrik. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara kesepian dengan ide bunuh diri
pada remaja dengan orangtua yang bercerai. Pada uji moderasi pada variabel depresi
menunjukkan bahwa variabel depresi semakin memperkuat hubungan antara kesepian
dengan ide bunuh diri.
Kesimpulan yang didapat dalam penelitian ini bahwa jelas kesepian memiliki
hubungan yang signifikan dengan ide bunuh diri. Serta adanya depresi menjadi
memperkuat adanya ide bunuh diri pada remaja dengan orang tua yang bercerai dapat
mendukung penemuan dari penelitian terdahulu yang menjelaskan bahwa remaja yang
memiliki tingkat kesepian yang tinggi, akan memiliki kecenderungan ide bunuh diri.
Secara keseluruhan, penelitian ini menggunakan metode yang tepat, namun
jumlah data yang dibagikan secara online membuat penelitian ini bisa saja memiliki
responden yang tidak tepat sasaran.
C. Pembahasan Jurnal Pengaruh Masyarakat terhadap Tindakan Bunuh Diri dalam
Novel The Midnight Library Karya Matt Haig

Penulis : Novi Fatati Syihamun Nahdiyah


Instansi : Program Studi Magister Sastra Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
Jurnal : Jurnal Kajian Sastra dan Budaya
Volume & Halaman : Volume 11 No. 2, Hal 122-130
Tahun Terbit : November 2022

Penelitian ini didasari oleh keyakinan masyarakat bahwa tindakan bunuh diri
diakibatkan oleh gangguan mental suatu individu.. Namun, Emile Durkheim dalam
teori bunuh diri menawarkan sudut pandang berbeda. Durkheim berpendapat bahwa
masyarakat memiliki peran dan bertanggung jawab terhadap tindakan bunuh diri yang
dilakukan oleh suatu individu. Penelitian ini bertujuan mengindentifikasi faktor sosial
yang mempengaruhi tindakan bunuh diri pada tokoh Nora dalam novel The Midnight
Library karya Matt Haig.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis dan teori bunuh diri dari
Emile Durkheim untuk menganalisis novel tersebut. Novi menemukan bahwa tindakan
bunuh diri yang dilakukan tokoh Nora terpengaruhi oleh dua faktor sosial yakni egoistik
dan fatalistik. Masyarakat yang berada di sekitarnya (keluarga, sahabat,
bahkan pasangan) tidak memiliki keterdekatan emosional atau hubungan yang baik
dengan Nora. Selain itu, nilai-nilai yang membentuk standarisasi atau ideologi dalam
mansyarakat menjadi akibat dan yang meninggalkan keterpurukan pada Nora.
Kesimpulan dari penelitian ini yakni integrasi yang rendah (egoistik) dan
regulasi yang tinggi (fatalistik) menjadi penyebab tindakan bunuh diri yang dilakukan
oleh tokoh Nora dalam novel The Midnight Libabry. Oleh sebab itu, masyarakat turut
membentuk pola pikir dan sudut pandang yang dimiliki, serta tindakan yang dilakukan
oleh suatu individu.
Penelitian ini memang membawa angin segar bagi perspektif baru masyarakat
mengenai tindakan bunuh diri, apalagi didukung dengan teori yang dipaparkan Emile
Durkheim. Namun, pemilihan novel sebagai bahan penelitian dirasa kurang tepat,
karena akan menimbulkan persepsi bahwa penelitian ini didukung oleh karya rekaan
atau karangan belaka.

Anda mungkin juga menyukai