Anda di halaman 1dari 79

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan Negara berkembang yang memiliki banyak
masalah dalam berbagai sector perkembangan, seperti ekonomi, social,
pendidikan, politik, budaya, dan sebagainya. Dari berbagai macam masalah di
Negara ini menyebabkan penduduk Indonesia mengalami berbagai kesulitan
dalam hidup, seperti (kemiskinan, pengangguran, mahalnya biaya hidup,
penggusuran rumah, banyaknya pekerja imigran, kesenjangan yang begitu
besar antara berbagai kalangan, lingkungan psikososial yang buruk, kesulitan
untuk sekolah, sekolah yang tidak layak, dan mahalnya biaya pendidikan
(Pardede, 2017 dalam Maulana, 2021).
Kesehatan jiwa menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa didefinisikan sebagai kondisi dimana
seseorang individu dapat dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual dan
social sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat
mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan
kontribusi untuk komunitasnya (Pramono, 2021).
Derajat kesehatan jiwa masyarakat dapat dilihat dari angka kejadian
gangguan jiwa. Menurut data WHO (2016) terdapat sekitar 35 juta orang
terkena depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia,
serta 47,5 juta terkena dimensia. Di Indonesia,dengan berbagai factor biologis,
psikologis dan social dengan keanekaragaman penduduk, maka jumlah kasus
gangguan jiwa terus bertambah yang berdampak pada penambahan beban
negara dan penurunan produktivitas manusia untuk jangka panjang. Data
Riskesdas pada tahun 2018 menunjukan prevalensi gangguan mental
emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan
untuk usia 15 tahun ke atas mencapai 9,8% dari jumlah penduduk Indonesia,
meningkat dari tahun 2013 yang hanya sebesar 6%. Sedangkan prevalensi

1
2

gangguan jiwa berat pada tahun 2018, seperti skizofrenia mencapai 7,0 per
1.000 penduduk, angka ini meningkat dari tahun 2013 yang hanya 1,7 per
1.000 penduuduk. Angka kejadian pada pria 1,4% lebih besar dibandingkan
wanita. Tren peningkatan prevalensi gangguan jiwat berat juga terjadi di
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2018 mencapai 10,4 per
1.000 penduduk angka ini meningkat dari tahun 2013 yang hanya 2,7 per
1.000 penduduk. Dengan angka angka tersebut Provinsi DIY menempati
peringkat kedua setelah Bali sebagai Provinsi dengan prevalensi gangguan
jiwa berat secara nasional (Pramono, 2021).
Indonesia merupakan salah satu Negara yang memiliki angka
prevalensi kejadian bunuh diri yang tinggi. Badan Kesehatan Dunia (WHO)
mengungkapkan pada tahun 2017 di Asia Tenggara khususnya di Indonesia
angka bunuh diri mencapai 7.355 atau 0,44 persen dari total kematian yang
ada. Tiga dari seratus ribu kematian dikatakan akibat dari kejadian bunuh diri
dan membuat Indonesia berada di peringkat 172 di dunia (Harian Nasional,
2018).
Bunuh diri adalah upaya yang dilakukan seseorang yang lebih memilih
kematian dari pada kehidupan, dengan cara membunuh diri sendiri secara
sengaja (Mulyani, 2019). Bunuh diri merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang serius dan saat ini menjadi perhatian global. Jumlah
kematian akibat bunuh diri di dunia mendekati 800.000 kematian per tahun
atau 1 kematian setiap 40 detik. Ketika ada satu orang meninggal karena
bunuh diri diperkirakan terdapat 20 kasus percobaan bunuh diri. Bunuh diri
merupakan penyebab kematian kedua pada kelompok umur 15-29 tahun dan
79% terjadi di negara berpendapatan rendah dan menengah. Setiap kasus
bunuh diri merupakan tragedi yang mempengaruhi keluarga, teman, dan
masyarakat serta berakibat jangka panjang bagi orang-orang yang
ditinggalkan. Setiap tanggal 10 September diperingati sebagai Hari
Pencegahan Bunuh Diri Sedunia. Tema yang diusung pada peringatan Hari
Pencegahan Bunuh Diri Sedunia Tahun 2019 adalah “ Bekerja Bersama untuk
3

Mencegah Bunuh Diri” (“ Working Together to Prevent Suicide”).


Peringatan ini bertujuan untuk meningkatkan perhatian dan kepedulian
masyarakat akan kebutuhan orang yang beresiko bunuh diri, orang yang
selamat dari upaya percobaan bunuh diri dan orang-orang yang ditinggal
karena bunuh diri, dengan beragam kegiatan untuk mempromosikan
pemahaman tentang bunuh diri dan kegiatan pencegahan yang efektif
(Kurniawan, dkk. 2019 dalam Rohmah, 2021).
Aspek spiritual berfungsi memberikan ketenangan, kenyamanan,
memperbaiki perilaku dan pengharapan. Beberapa hal yang berhubungan
dengan aspek spiritualitas antara lain adalah faktor psikologis, kesadaran dan
keyakinan individu tentang akhirat. Tingginya spiritualitas seseorang akan
membuat seseorang bersikap lebih baik, mencapai kepuasan dalam
kehidupannya, kejadian traumatik dan kesepian juga lebih sedikit dirasakan
(Mariah et al., 2013 dalam Hidayati, 2021). Penelitian memaparkan
bagaimana peran agama perlu untuk dilibatkan dalam intervensi pencegahan
resiko perilaku bunuh diri. Sebuah penelitian mengungkapkan resiko bunuh
diri dapat diturunkan dengan melibatkan peran keyakinan spiritual atau
keagamaan pada diri individu sehingga tingkat kesehatan mental pun menjadi
lebih baik dan keyakinan spiritual ini seringkali dikaitkan dengan resiko
perilaku bunuh diri yang lebih rendah serta dapat meningkatkan status
kesehatan mental yang lebih baik (Laureiro, 2018).

B. TUJUAN PENULISA
1. Tujuan Umum
Menganalisis terapi spiritual sebagai intervensi pada pasien dengan
masalah keperawatan resiko bunuh diri
2. Tujuan Khusus

a. Mampu menganalisis pengkajian pada klien dengan gangguan resiko


bunuh diri.
b. Mampu menganalisis diagnosa pada klien dengan ganguan resiko
4

bunuh diri.
c. Mampu menganalisis rencana keperawatan pada klien dengan resiko
bunuh diri.
d. Mampu menganalisis implementasi keperawatan lebih fokus ke
spiritual pada klien dengan resiko bunuh diri.
e. Mampu menganalisis evaluasi asuhan keperawatan pada klien dengan
resiko bunuh diri.

C. Manfaat penulisan
1. Bagi Panti Hafara Bantul Yogyakarta
Dapat memberikan informasi tambahan dan masukan-masukan hal baru
dalam pelaksanaan Asuhan Keperawatan Jiwa pada pasien, dengan
masalah bunuh diri di Panti Hafara Bantul Yogyakarta.
2. Bagi STIKes Surya Global Yogyakarta
Laporan Karya Tulis Akhir ini diharapkan menjadi referensi tambahan
yang bermanfaat khususnya bagi semua instansi baik mahasiswa, dosen,
dan petugas yang lain di lingkungan kampus Stikes Surya Global
Yogyakarta terkai masalah resiko bunuh diri.
3. Bagi Ilmu Keperawatan
Menambah keluasan ilmu terapan bidang keperawatan dalam melakukan
asuhan keperawatan dengan pasien yang mengalami resiko bunuh diri
4. Bagi Penulis
a. Penulis dapat memahami, memperluas ilmu pengetahuan, dan
menambah wawasan tentang bunuh diri.
b. Penulis dapat mengaplikasikan kemampuan tindakan kepada pasien
dengan masalah bunuh diri berdasarkan asuhan keperawatan jiwa.

D. Keaslian Penelitian
1. Hidayati (2021) penelitian ini berjudul “Aspek Spiritual Terhadap Resiko
Bunuh Diri Narapidana”. Penelitian ini merupakan jenis penelitian studi
5

literatur. Tahap pertama yaitu pencarian melalui 4 database diantaranya


EBSCOHost, Pubmed, Science Direct, dan Google Scholar. Kata kunci
bahasa Inggris yang digunakan yaitu “Spirituality or religion or faith or
belief system” AND “suicide or self-immolation” AND “prisoner or
inmate or convict or detainee or custodian or offender”. Kemudian
dalam bahasa Indonesia “Spiritual or agama or kepercayaan or
keyakinan” AND “risiko bunuh diri” AND “narapidana or tahanan”.
Total artikel yang ditemukan yaitu 2.634 artikel. Kemudian dilakukan
inklusi dan eksklusi dengan kriteria tahun terbit 10 tahun terakhir (2001-
2021), ketersediaan free full text, berbahasa Indonesia atau bahasa
Inggris, menggunakan seluruh jenis artikel kecuali metaanalysis dan
systematic review, dan populasi pada narapidana. Hasil studi literatur
didapatkan 9 artikel ditemukan adanya keterkaitan antara aspek spiritual
dan resiko bunuh diri terhadap narapidana. Kesimpulan yang didapatkan
semakin tinggi kepercayaan seseorang kepada Tuhan maka semakin
rendah tingkat depresi, kecemasan dan stress yang dirasakan serta dapat
menurunkan angka bunuh diri. Hal ini menunjukan bahwa aspek spiritual
merupakan aspek yang saangat perlu diperhatikan terkait dalam
mengatasi depresi yang berakibat resiko terjadinya bunuh diri pada
individu. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh
peneliti adalah metode penelitian, desain penelitian, tekhnik
pengumpulan sampel, jumlah sampel, tempat dan waktu penelitian.
2. Anhorida (2019) penelitian ini berjudul “Asuhan Keperawatan
Bimbingan Spiritual Pada Klien Gangguan Jiwaharga Diri Rendah Di
Rsj Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang-Malang”. Desain yang
digunakan pada penelitian ini adalah studi kasus. Kriteria yang diambil
pada partisipan adalah klien yang didiagnosa harga diri rendah, jumlah
partisipan 3 orang. Pengumpulan data menggunakan dokumentasi,
wawancara dan observasi. Analisa data dilakukan dengan cara
pengumpulan data, mereduksi data, penyajian data dan penarikan
6

kesimpulan. Pengkajian menggunakan 2 sumber utama yaitu data primer


dari klien dan data sekunder dari perawat dan status medis klien.
Kemudian ditegakkan diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi
dan evaluasi. Dari beberapa data yang didapatkan dari ketiga responden
masalah keperawatan yang muncul adalah gangguan konsep diri harga
diri rendah. Intervensi yang dilakukan selama 4 hari perawatan kepada
ketiga klien yaitu sama. Hasil evaluasi pada ketiga klien yang didapatkan
masalah gangguan konsep diri harga diri rendah dengan terapi bimbingan
spiritual sebagian besar teratasi. Perbedaan pada penelitian ini dengan
penelitian yang peneliti lakukan adalah jumlah sampel, tempat dan waktu
penelitian
3. Litaqia (2019) penelitian ini berjudul “Peran Spiritualitas Dalam
Mempengaruhi Resiko Perilaku Bunuh Diri: A Literature Review”. Studi
literatur (literature review) merupakan cara yang digunakan dalam
mengumpulkan data dan sumber - sumber yang terkait dengan topik/
tema yang akan dibahas dalam suatu penulisan. Sumber-sumber yang
digunakan dalam penulisan studi literatur ini berasal dari 14 artikel
ilmiah dengan menggunakan beberapa database seperti EBSCO,
PROQUEST, PubMed, dan Google Cendekia. Kata kunci (keywords)
yang digunakan dalam pencarian literatur yang terkait topic ini ialah
“spiritual support” OR “religious support” AND “risk of suicide” OR
“suicide attempt” AND “adults”. Metode yang digunakan dalam
penulisan studi literature adalah kegiatan dalam mengumpulkan data
pustaka, membaca, mencatat dan mengelola sumber yang didapat
menjadi sebuah tulisan. Penggunaan data dalam penulisan literature
review ini berasal dari konsep - konsep teori penelitian yang diteliti.
Pengumpulan data dilakukan dengan menyaring 159.320 sumber
literatur menjadi 14 literatur terkait yang menjadi pembahasan dalam
penulisan literature review. Terdapat kriteria inklusi dan eksklusi yang
digunakan dalam menyaring literature yang sesuai dengan topic yang
7

diambil. Adapun kriteria yang ditentukan adalah sumber literature yang


diambil mulai tahun 2015 sampai dengan 2018, menggunakan bahasa
inggris, kesesuaian kata kunci penulisan, dan keterkaitan hasil penulisan
literature dengan pembahasan yang diangkat. Hasil penulisan literatur
dengan pembahasan yang diangkat, terdapat 4 tema yang ditemukan
dalam telaah literatur ini, yaitu faktor-faktor yang menyebabkan ide
bunuh diri, pengalaman bunuh diri dari orang terdekat, dukungan ahli
agama terhadap resiko perilaku bunuh diri, serta intervensi psiko-
religius. Masalah kesehatan mental seperti depresi dapat dicegah dengan
melibatkan peran agama didalamnya. Peran perawat dalam hal ini sangat
penting dalam mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan ide bunuh
diri muncul serta membantu memberikan intervensi pencegahan resiko
perilaku bunuh diri dengan mendorong aspek keagamaannya. Perbedaan
penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah
metode penelitian, desain penelitian, tekhnik pengumpulan sampel,
jumlah sampel, tempat dan waktu penelitian.
8

BAB II
TINJAUAN TEORI

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Pengertian
Skizofrenia adalah suatu penyakit otak persisten dan serius yang
melibatkan perilaku psikotik, pemikiran kongkret, kesulitan dalam
memperoleh informasi dan hubungan interpersonal serta kesulitan dalam
memecahkan masalah (Stuart, 2015).
Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
suatu gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan
pada persepsi, pikiran, dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan
kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit
kognitif tertentu dapat berkembang (Sadock, 2015).
Skizofrenia merupakan sekelompok reaksi psikotik yang
mempengaruhi berbagai area fungsi individu termasuk berfikir dan
berkomunikasi, menerima, menginterpretasikan realitas, merasakan dan
menunjukkan emosi serta perilaku dengan sikap yang dapat diterima
secara sosial (Isaac, 2015).
2. Etiologi
a. Metabolisme.
Gangguan metabolisme disangka sebagai penyebab dari skizofrenia,
karena penderita dengan dengan skizofrenia tampak pucat. Teori
metabolisme mendapat perhatian karena penelitian memakai obat
halusinogenik, seperti meskalin dan Asam Lisergik Dietilamide (LDS-
25). Obat tersebut dapat menimbulkan gejala yang mirip dengan
skizofrenia, tetapi reversible. Skizofrenia disebabkan oleh suatu Inborn
Error of Metabolism, tetapi hubungan terakhir belum ditemukan
(Maramis, 2015).

8
9

b. Endokrin.
Skizofrenia disebabkan oleh gangguan endokrin. Teori ini
dikemukakan karena penyakit skizofrenia sering timbul pada waktu
pubertas, waktu kehamilan dan waktu klimakterium. Gangguan
endokrin ini tidak dapat dibuktikan (Maramis, 2015).
c. Genetik.
Faktor genetik yang dapat menentukan timbulnya skizofrenia. Faktor
genetik telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga yang
menderita skizofrenia dan terutama anak kembar satu telur.
Skizofrenia dipengaruhi oleh gen resesif, potensi ini diperkirakan
sangat kuat, tetapi dapat juga berpotensi lemah, selanjutnya tergantung
pada lingkungan individual (Maramis, 2015).
d. Hipotesis perkembangan syaraf.
Studi autopsi dan studi pencitraan otak memperlihatkan abnormalitas
struktur dan morfologi otak pada penderita skizofrenia antara lain
berupa berat otak yang rata-rata lebih kecil 6% daripada otak normal
dan ukuran anteriorposterior yang 4% lebih pendek, pembesaran
ventrikel otak yang non spesifik, gangguan metabolisme didaerah
frontal dan temporal, dan kelainan susunan seluler pada struktur syaraf
dibeberapa daerah korteks dan subkorteks tanpa adanya glikolisis yang
menandakan kelainan tersebut terjadi pada saat perkembangan
(Maramis, 2015).
e. Neurokimia.
Hipotesis dopamin menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan oleh
overaktivitas pada dopamin mesolimbik, hal ini didukung dengan
temuan bahwa, amfetamin bekerja meningkatkan pelepasan dopamin
dapat menginduksi psikosis yang mirip dengan skizofrenia (Maramis
2011).
10

f. Psikososial.
Kerusakan yang menentukan penyakit mental adalah gangguan dalam
organisasi “ego” yang kemudian mempengaruhi cara interpretasi
terhadap realitas juga kemampuan pengendalian dorongan seks.
Gangguan ini terjadi sebagai akibat distorsi dalam hubungan timbal
balik antar bayi dan ibunya. Penderita skizofrenia tidak pernah dapat
mencapai hubungan yang erat dengan ibunya. Penderita skizofrenia
pada masa bayi, gangguan pada fungsi ego seseorang dapat
menyebabkan perasaan bermusuhan. Distorsi hubungan ibu dan bayi
ini kemudian mengakibatkan terbentuknya suatu kepribadian yang
peka terhadap stress (Maramis 2011).

3. Patofisiologi
Perjalanan klinis gangguan skizofrenia berlangsung secara
perlahanlahan meliputi beberapa fase, dimulai dengan keadaan prodromal
(awal sakit), fase aktif, dan keadaan residual (sisa).
a. Fase prodromal
Fase prodromal adalah tanda dan gejala awal suatu penyakit.
Pemahaman pada fase prodromal menjadi sangat penting untuk deteksi
dini, karena dapat memberi kesempatan atau peluang yang lebih besar
untuk mencegah berlarutnya gangguan, disabilitas dan memberi
kemungkinan kesembuhan yang lebih besar jika diberi terapi yang
tepat. Tanda dan gejala prodromal skizofrenia berupa cemas, depresi,
keluhan somatik, perubahan perilaku dan timbulnya minat baru yang
tidak lazim. Gejala prodromal tersebut dapat berlangsung beberapa
bulan atau beberapa tahun sebelum diagnosis pasti skizofrenia
ditegakkan. Keluhan kecemasan dapat berupa perasaan khawatir,
waswas, tidak berani sendiri, takut keluar rumah, dan merasa diteror.
Keluhan somatik dapat berupa nyeri kepala, nyeri punggung,
kelemahan dan gangguan pencernaan. Perubahan minat, kebiasaan dan
11

perilaku dapat berupa pasien mengembangkan gagasan abstrak, filsafat


dan keagamaan. Munculnya gejala prodromal ini dapat terjadi dengan
atau tanpa pencetus, misalnya trauma emosi, frustasi karena
permintaannya tidak terpenuhi, penyalahgunaan zat, berpisah dengan
orang yang dicintai.
b. Fase aktif
Fase aktif skizofrenia ditandai dengan gangguan jiwa yang nyata
secara klinis yakni kekacauan alam pikir, perasaan dan perilaku.
Penilaian pasien terhadap realita mulai terganggu dan pemahaman
dirinya buruk atau bahkan tidak ada. Diagnosis pada pasien gangguan
skizofrenia dapat ditegakkan pada fase aktif, biasanya terdapat waham,
halusinasi, hendaya penilaian realita, serta gangguan alam pikiran,
perasaan dan perilaku.
c. Fase Residual
Pada fase residual ditandai dengan menghilangnya beberapa gejala
klinis skizofrenia, hanya tersisa beberapa gejala sisa, misalnya berupa
penarikan diri, hendaya fungsi peran, perilaku aneh, hendaya
perawatan diri, afek tumpul afek datar, merasa mampu meramal atau
peristiwa yang belum terjadi, ide atau gagasan yang aneh, tidak masuk
akal.
4. Manifestasi klinik
Gejala akut dari skizofrenia meliputi tidak bisa membedakan antara
khayalan dan kenyataan, halusinasi (terutama mendengar suara bisikan),
delusi (keyakinan yang salah namun dianggap benar oleh penderita), ide
karena pengaruh luar (tindakannya dikendalikan oleh pengaruh dari luar
dirinya), proses berfikir yang tidak berurutan (asosiasi longgar),
ambivalen (pemikiran yang saling bertentangan), datar tidak tepat atau
afek yang labil, autisme (menarik diri dari lingkungan sekitar dan hanya
memikirkan dirinya), tidak mau bekerja sama, menyukai hal-hal yang
dapat menimbulkan konflik pada lingkungan sekitar dan melakukan
12

serangan baik secara verbal maupun fisik kepada orang lain, tidak
merawat diri sendiri, dan gangguan tidur maupun nafsu makan. Setelah
terjadinya episode psikotik akut, biasanya penderita skizofrenia
mempunyai gejala sisa (cemas, curiga, motivasi menurun, kepedulian
berkurang, tidak mampu memutuskan sesuatu, menarik diri dari hubungan
bersosialisasi dengan lingkungan sekitar, sulit untuk belajar dari
pengalaman dan tidak bisa merawat diri sendiri (Elin et al. 2016).
5. Penatalaksanaan Medis
Penanganan skizofrenia meliputi 3 pendekatan penting (Sadock dan
Sadock, 2010) meliputi:
a. Menentukan pendekatan penanganan yang didasarkan atas faktor
bagaimana klien dipengaruhi gangguan tersebut dan bagaimana klien
akan terbantu dengan penanganannya.
b. Menggunakan strategi pendekatan farmakologis untuk mengatasi
dugaan ketidakseimbangan kimiawi dan strategi pendekatan non
farmakologis untuk mengatasi masalah non biologis. Adapun jenis
farmakoterapi yang digunakan adalah sebagai berikut:
1) Antipsikotik
2) Obat antipsikotik efektif mencegah penyebaran keadaan akut dan
kejadian relaps. Terdapat dua macam obat antipsikotik, yaitu
antipsikotik tipikal (sederhana) dan antipsikotik atipikal (generasi
baru) (Sadock dan Sadock, 2010). Antipsikotik tipikal
memblokade reseptor dopamin dalam sistem saraf pusat, sehingga
dapat mengurangi gejala psikotik penderita skizofrenia. Obat
golongan ini mempunyai efek sindrom ekstrapiramidal yang lebih
besar daripada golongan antipsikotik atipikal (Varcarolis, 2006).
Gejala ekstrapiramidal yang dimaksud adalah akathisia, distonia,
parkinson, dan tardive dyskinesia (Stuart, 2013). Termasuk dalam
golongan antipsikotik tipikal, yaitu haloperidol, trifluoperazine,
chlorpromazine, dan loxapine. Golongan antipsikotik atipikal
13

mampu mengatasi gejala psikotik dan meningkatkan kualitas hidup


penderita skizofrenia. Obat ini merupakan pilihan utama karena
memiliki efek sindrom ektrapiramidal yang minimal, mampu
mengurangi gejala positif dan negatif skizofrenia dengan baik,
serta meningkatkan kemampuan neurokognitif penderita
skizofrenia (Varcarolis, 2006). Termasuk dalam golongan
antipsikotik atipikal, yaitu clozapine, risperidone, olanzapine, dan
quetiapine.
3) Antimanik
4) Penderita skizofrenia yang disertai dengan gejala akut perilaku
kekerasan diatasi dengan pemberian antimanik, seperti lithium
karbonat (Varcarolis, 2006). Lithium karbonat mampu menekan
episode perilaku kekerasan pada skizofrenia.
5) Antidepresan
6) Menurut Maslim (2007) penggunaan antidepresi diberikan pada
penderita skizofrenia yang mengalami sindrom depresi penyerta.
Sindrom ini ditandai dengan selama 2 minggu dan hampir tiap hari
klien mengalami rasa hati yang murung, hilang minat dan rasa
senang, dan kurang tenaga hingga mudah lelah. Keadaan di atas
disertai dengan gejala pengurangan harga diri dan rasa percaya
diri, gangguan tidur, dan pengurangan nafsu makan sampai pikiran
berdosa dan bunuh diri. Termasuk ke dalam golongan antidepresan
adalah amitriptyline, imipramine, dan sertraline.
7) Obat pencegah Ekstra Pyramidal Syndrome (EPS)
8) Pemberian obat antipsikosis dapat menimbulkan efek sindrom
ekstrapiramidal, yaitu mulut kering, reaksi distonik, akathisia,
tardive dyskinesia. Gejala ini dapat diatasi dengan pemberian obat
pencegah sindrom ekstrapiramidal, seperti trihexyphenidil,
biperidin, dan diphenhidramine hydrochloride (Varcarolis, 2006).
14

c. Mengintegrasikan secara seksama antara regimen terapi obat dan


intervensi psikososial
Studi mengenai efek psikoterapi individual dalam penanganan
skizofrenia telah memberikan data bahwa terapi ini bermanfaat dan
bersifat tambahan terhadap efek terapi farmakologis (Sadock dan
Sadock, 2010). Psikoterapi dalam bentuk psikoanalisis tidak
membawa hasil yang diharapkan bahkan ada yang berpendapat tidak
boleh dilakukan pada penderita skizofrenia karena justru menambah
isolasi dan autisme. Yang dapat membantu penderita adalah
psikoterapi suportif individual atau kelompok, serta bimbingan praktis
dengan maksud mengembalikan penderita ke masyarakat (Maramis
dan Maramis, 2009).
Teknik terapi perilaku kognitif belakangan dicoba pada
penderita skizofrenia dengan hasil yang menjanjikan. Terapi kerja
sangat baik untuk mendorong penderita bergaul dengan orang lain,
penderita lain, perawat dan dokter dengan tujuan agar pasien tidak lagi
mengasingkan diri. Perlu juga diperhatikan lingkungan penderita. Bila
mungkin, diatur sedemikian rupa sehingga ia tidak mengalami stres
terlalu banyak. Lingkungan sekitar yang tidak stabil serta hostilitas
dan ikut campur emosional yang dialami pasien dari orang-orang yang
dekat dengannya akan membawa resiko tinggi untuk kambuh. Untuk
itu terapi keluarga dapat bermanfaat (Maramis dan Maramis, 2009).

B. KONSEP DASAR MASALAH KEPERAWATAN


1. Pengertian
Bunuh diri adalah upaya yang dilakukan seseorang yang lebih memilih
kematian dari pada kehidupan, dengan cara membunuh diri sendiri secara
sengaja. Bunuh diri merupakan permasalahan sosial, yaitu adanya
ketidaksesuaian dalam masyarakat, di mana pada umumnya kebanyakan
orang menunda kematian dengan melakukan segala upaya. Namun
15

seseorang malah melakukan tindakan nekat yang dipantangkan oleh


seluruh agama (Mulyani, 2019).
Resiko bunuh diri adalah perilaku merusak diri yang langsung dan
disengaja untuk mengakhiri kehidupan (Tim Keperawatan Univ. Esa
unggul, 2020).
Beresiko melakukan upaya menyakitidiri sendiri untuk menghakiri
kehidupan (PPNI, 2017).

2. Penyebab
Menurut Durkheim dalam bukunya, terdapat empat penyebab tipe
bunuh diri yang terjadi dalam masyarakat.
a. Egoistic suicide
b. Altruistic suicide
c. Anomic suicide
d. Fatalistic suicide

Yang pertama yaitu egoistic suicide, yang diakibatkan oleh


kepentingannya sendiri lebih besar daripada kepentingan sekitarnya. Yang
kedua yaitu altruistic suicide, dimana kehidupan individu diatur secara
ketat oleh adat dan kebiasaan, yang artinya itu hasil individumelakukan
bunuh diri akibat perintah yang lebih tinggi. egoistic suicide dan egoistic
suicide dapat dianggap sebagai gejala cara individu yang terstruktur ke
dalam masyarakat. Tapi ada bentuk lain8 dari bunuh diri diri Durkein yang
diakibatkan karena kebutuhan individu dan kepuasannya telah diatur oleh
masyarakat yang mengakibatkan kehilangan cita-cita dan norma dalam
kehidupan, yang disebut anomic suicide. Dan jenis bunuh diri yang
terakhir yaitu jenis bunuh diri yang berlawanan dengan anomic suicide
ialah fatalistic suicide, ini adalah bunuh diri yang berasal dari peraturan
yang berlebihan (Durkein, 2002).
Terdapat dua factor seseorang melakukan percobaan bunuh diri yaitu:
16

a. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi merupakan faktor pendukung atau faktor yang
menunjang terjadinya gangguan jiwa pada klien, antara lain : Trauma
interpersonal, Trauma masa kecil, Riwayat korban kekerasan,
Ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan, Depresi,
Depersonalisasi, Emosi yang fluktuatif dan Skizofrenia.
b. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi merupakan faktor pencetus seseorang melakukan
percobaan bunuh diri (Dewi, 2020).

3. Gejala Dan Tanda Mayor Dan Minor


Tidak ada faktor tunggal pada kasus bunuh diri, setiap faktor yang ada
saling berinteraksi. Namun demikian, tidak berarti bahwa seorang individu
yang melakukan bunuh diri memiliki semua karakteristik di bawah ini.
Menurut Ellis dan Rutherford (2008), beberapa karakteristik pikiran
bunuh diri antara lain:
a. Executive Functioning: Cognitive Rigidity, Dichotomous thinking, dan
Deficient Problem-Solving Cognitive rigidity
karakteristik kognitif dimana individu melihat dirinya dan orang
lain sebagai baik atau buruk, memilih antara kesedihan atau kematian,
dimana individu susah atau tidak mungkin dapat berpikir fleksibel
untuk mencari solusi atas masalah yang sedang dihadapi. Individu
yang memiliki pikiran bunuh diri susah untuk membayangkan adanya
alternatif untuk penderitaannya. Cognitive rigidity merupakan
karakteristik yang mendasari dichotomous thinking dan problem-
solving deficit. Karakteristik kedua dari fungsi eksekutif adalah
dichotomous (black or white) thinking, dimana individu berpikir
secara kutub seperti baik dan buruk, berhasil dan gagal, dan lain
sebagainya. Kurangnya kemampuan menyelesaikan masalah
(problem-solving deficit) diasosiasikan dengan dua karakteristik di
17

atas, karena ketidakmampuan menghasilkan solusi alternatif telah


dibuktikan berhubungan dengan baik dengan masalah impersonal atau
masalah interpersonal. Ketidakmampuan menyelesaikan masalah
interpersonal merupakan penghubung antara depresi, hopelessness,
dan intensi bunuh diri. Penyebab problem-solving deficit belum
banyak dipelajari. Namun, dua faktor yang pasti menentukan adalah
overgeneral autobiographical memory dan saraf yang terdapat di otak.
Overgeneral autobiographical memory berguna dalam mengingat
situasi masalah yang mirip yang dialami di masa lalu. Pasien dengan
sejarah percobaan - percobaan bunuh diri menunjukkan
ketidakberfungsian saraf yang besar, dan ketidakberfungsian ini lebih
besar pada pelaku percobaan yang high-lethality.
b. Hopelessness
Hopelessness didefinisikan sebagai harapan individu bahwa
kejadian negatif akan terjadi di masa depan dan dia akan terus gagal
dalam mencapai tujuannya. Melalui penelitian yang dilakukan,
hopelessness merupakan penengah antara depresi dan kecenderungan
bunuh diri. Hopelessness juga berhubungan dengan perilaku bunuh
diri tanpa variabel depresi. Di samping itu, kejadian hidup yang
negatif dapat memprediksi munculnya hopelessness.
c. Alasan untuk hidup
Alasan untuk hidup menunjukkan kemampuan individu
menyatakan pernyataan-pernyataan baik secara eksplisit atau dalam
dirinya sendiri untuk bertahan hidup. Individu yang memiliki pikiran
bunuh diri biasanya susah untuk menyatakan alasan untuk hidup.
Linehan telah mengembangkan RFL (Reasons for Living) yang
merupakan alat untuk membedakan alasan hidup pada individu
suicidal dan non-suicidal yang hasilnya dapat diasosiasikan dengan
beberapa variabel, termasuk diantaranya intensi bunuh diri.
18

d. Perfectionism
Perfeksionisme, yaitu penentuan harapan yang tinggi, telah dikenal
sebagai faktor resiko melakukan bunuh diri. Penentuan harapan yang
tidak realistis ini mengakibatkan self-criticism. Perfeksionisme dapat
dibagi menjadi tiga jenis, diantaranya self- oriented (menetapkan
standar yang tidak realistis untuk diri sendiri), other-oriented
(menuntut kesempurnaan dari orang lain), dan socially prescribed
(mempercayai bahwa orang lain mengharapkan dirinya sempurna).
Dari ketiga jenis perfeksionisme ini, jenis socially prescribed dan self-
oriented berkaitan erat dengan kecenderungan bunuh diri.
e. Konsep diri
Konsep diri adalah kumpulan kepercayaan seseorang mengenai
dirinya. Konsep diri ini terbentuk dari pengalaman masa lalu dan
berhubungan dengan trait kepribadian, kemampuan, karakteristik fisik,
nilai, tujuan, dan peran sosial. Disamping itu, orang yang mempunyai
skema diri yang negatif selalu mencari informasi yang
mengkonfirmasi skema negatif tersebut (self-verification). Salah satu
fungsi konsep diri yaitu untuk menilai diri sendiri, atau yang lebih
sering disebut dengan harga diri (self-esteem). Harga diri merupakan
penilaian keseluruhan seseorang terhadap keberhargaan dirinya
sebagai seorang manusia. Jika seseorang memandang dirinya secara
positif (konsep diri positif), maka dia akan memiliki harga diri yang
tinggi, begitu juga sebaliknya. Di samping itu, pola asuh orang tua
berperan dalam pembentukan harga diri, dimana pola asuh
authoritative diasosiasikan dengan harga diri yang tinggi, dan pola
asuh neglected diasosiasikan dengan harga diri yang rendah. Konsep
diri yang negatif telah dibuktikan merupakan faktor resiko
kecenderungan bunuh diri tanpa variabel karakteristik kognitif lainnya.
19

f. Ruminative Response Style


Gaya berpikir merupakan faktor resiko terjadinya depresi, dan
depresi merupakan prediktor yang kuat dalam perilaku bunuh diri.
Ruminative response style adalah gaya berpikir yang secara terus
menerus berfokus pada mood negatif dan implikasinya. Gaya berpikir
ini terdiri dari dua bentuk, yaitu bentuk pasif (brooding) dan bentuk
aktif (reflection). Brooding merupakan sebuah perbandingan pasif
antara situasi sekarang dengan standar yang tidak tercapai, sedangkan
reflection merupakan gaya berpikir adaptif yang berfokus pada diri
dan bertujuan untuk menyelesaikan masalah dan mengurangi simtom
depresi. Brooding dapat memprediksi terjadinya pikiran bunuh diri
dan depresi. Sedangkan, reflection hingga saat ini masih diprediksikan
sebagai faktor protektif untuk pikiran bunuh diri.
g. Autobiographical Memory
Autobiographical memory merupakan memori mengenai
pengalaman yang pernah dialami dalam kehidupan seseorang. Memori
ini diasosiasikan dengan depresi, post traumatic stress disorder , dan
bunuh diri. Pelaku percobaan bunuh diri menunjukkan kesulitan dalam
tugas mengingat autobiographical memory dan menghasilkan
autobiographical memory yang tidak jelas dan umum. Memori ini
berkaitan dengan bunuh diri dalam 3 hal berikut: autobiographical
memory yang terlalu umum menyebabkan episode gangguan
emosional yang menetap, merusak kemampuan menyelesaikan
masalah karena pengalaman masa lalu tidak dapat digunakan sebagai
referensi untuk strategi mengatasi masalah di masa depan, dan
merusak kemampuan individu untuk membayangkan masa depan
secara spesifik. Hal tersebut dapat meningkatkan tingkat hopelessness
dan kecenderungan bunuh diri pada individu.
20

4. Kondisi Klinis Terkait


a. Sindrom otak akut/kronis
b. Ketidakseimbangan hormone (mis. Premenstrual syndrome,
postpartum psychosis)
c. Penyalahgunaan zat
d. Post traumatic stress disorder (PTSD)
e. Penyakit kronis/terminal (mis. Kanker) (PPNI, 2017).

5. PENATALAKSANAAN
a. Pengertian Terapi Spiritual
Spiritual berasal dari kata spirit yang berarti “semangat, jiwa, roh,
sukma, mental, batin, rohani dan keagamaan (Tim Penyusun Kamus
Pusat). Sedangkan (Anshori,1995) dalam kamus psikologi mengatakan
bahwa spiritual adalah asumsi mengenai nilai-nilai transcendental.
Spiritual merupakan aspek penting pada kehidupan manusia,
dimana keyakinan spiritual membantu banyakpasien dalam melakukan
koping terhadap stres dan penyakit yang dialami (Triyani,2019).
Di sinilah muncul salah satu alasan bahwa pengalaman spiritualitas
sangat didambakan oleh manusia dengan berbagai macam dan
bentuknya. Dan untuk menggapai pengalaman-pengalaman spiritualits
itu, maka diperlukan upacaraupacara khusus guna mencapainya. Sebab
dari pengalaman keagamaan itu, umumnya muncul hati yang
mencintai yang ditandai dengan kelembutan dan kepekaan. Sehingga
sifat cinta itu akan melahirkan “kasih” kepada sesama makhluk tanpa
membedakan ras serta keberagamaan yang berbeda. Secara substansi
(esoterisme) agama-agama pada hakekatnya sama dan satu.
Perbendaannya terletak pada aplikasi dari esoterisme yang kemudian
memunculkan “eksoterisme” agama. Pada aspek eksoterik inilah
muncul pluralitas agama. Di mana setiap agama memiliki tujuan yang
sama dan objektif yaitu untuk mencapai kepada Tuhan Yang Maha
21

Esa. Antropologi spiritual Islam memperhitungkan empat aspek dalam


diri manusia, yaitu meliputi :
1) Upaya dan perjuangan “psiko-spiritual” demi pengenalan diri dan
disiplin.
2) Kebutuhan universal manusia akan bimbingan dalam berbagai
bentuknya.
3) Hubungan individu dengan Tuhan.
4) Hubungan dimensi sosial individu manusia (Shafwan, 2000).

Spiritualitas mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan hidup,


berperan sebagai sumber dukungan dan kekuatan bagi individu. Pada
saat stres maka individu akan mencari dukungan dari keyakinan
agamanya. Dukungan ini sangat diperlukan untuk menerima keadaan
sakit yang dialami, khususnya jika penyakit tersebut memerlukan
proses penyembuhan yang lama dan hasilnya belum pasti
Melaksanakan ibadah, berdoa, membaca kitab suci dan praktek
keagamaan lainnya sering membantu memenuhi kebutuhan
spiritualitas pasien (Yaseda, Noorlayla, & Effendi 2013).

b. Tujuan Pemberian Terapi Spiritual


Menurut (Ardian 2016) adapun tujuan yang dapat dirasakan oleh
klien dalam melaksanakan terapi spiritual, yaitu:
1) Memberikan rasa nyaman kepada klien, dan klien akan lebih rileks
dan tenang.
2) Memperkuat mentalitas dan konsep yang ada pada diri klien.
3) Klien yang mengalami gangguan jiwa/ ODGJ yang memiliki
persepsi yang salah terkait dirinya, orang lain, maupun lingkungan
sekitarnya, dengan pemberian terapi spiritual maka klien akan
dikembalikan persepsinya terhadap dirinya, orang lain, maupun
lingkungannya.
4) Memiliki dampak yang positif untuk menurunkan stress.
22

5) Membangkitkan rasa percaya diri dan optimisme pada diri klien.


c. Tekhnik Dalam Pemberian Terapi
Menurut (Kushariyadi 2011) adapun teknik yang dapat diberikan
dalam terapi psikoreligius yang meliputi persiapan, prosedur
pelaksanaan, dan kriteria hasil dari terapi psikoreligius.
1) Persiapan
a) Persiapan perlengkapan ibadah, seperti buku kitab suci, bunga,
dupa dan lainnya.
b) Lingkungan yang hening dan tenang agar pada saat melakukan
terapi klien dapat berkonsentrasi dengan baik.
2) Prosedur Pelaksanaan
Ada 2 jenis prosedur yang dapat dilakukan dalam pemberian terapi
spiritual pada klien:
a) Terapi spiritual dilakukan di dalam ruangan tertentu.
Pembicara yang sudah menguasai komunikasi terapeutik dapat
memberikan pencerahan tentang hakikat mengapa manusia di
ciptakan dan mengenalkan tujuan manusia diciptakan. Tujuan
dari diberikan pencerahan untuk mengurangi manusia akan
nafsu/ keinginan yang berlebihan agar lebih memprioritaskan
kebutuhan. Meskipun setiap kebutuhan manusia berbeda- beda,
dengan ini akan membantu manusia kembali kedalam
kesadaran awal yaitu mengetahui kebutuhan dasar manusia.
b) Terapi spiritual yang dilakukan sebagai bentuk bimbingan
individu. Terapi yang dilakukan oleh satu petugas dengan satu
klien, petugas membacakan sesuatu yang harus ditirukan oleh
klien, kemudian petugas meminta klien untuk membacakan
kembali bacaan tersebut. Selain itu petugas juga membimbing
klien proses ibadah sesuai dengan kepercayaan masing-
masing. Meski mengalami gangguan jiwa, beberapa klien
masih memiliki kesadaran terkait dengan spiritual.
23

Adapun langkah- langkah dalam melakukan terapi spiritual,


yaitu:
Duduklah dengan tenang dan santai
(1) Tutuplah kedua mata, dan mengatur nafas
(2) Bernafaslah secara alamiah dan mulai mengucapkan
mantram secara berulang-ulang
(3) Bila ada pikiran yang menganggu, kembalilah fokuskan
pikiran
(4) Lakukan selama 10-20 menit
(5) Jika sudah selesai melakukan terapi, jangan langsung
berdiri duduklah dulu lalu beristirahat, tenangkan pikiran
barulah berdiri dan lakukan kegiatan kembali
3) Kriteria Evaluasi
a) Mengkaji proses dan hasil dari pemberian terapi spiritual
kepada klien dengan menggunakan catatan aktivitas terapi
yang telah dilakukan oleh klien.
b) Menganalisis pemberian terapi spiritual yang telah dilakukan
klien untuk melihat keefektifan terapi pada klien.
c) Menganalisis catatan terapi sehingga perawat dapat
mengetahui proses pemberian terapi spiritual dalam
mengembangkan terapi spiritual kepada klien.
d. Jenis Pemberian Terapi Psikoreligius
1) Dzikir
Dzikir berarti kita selalu mengingat Allah dalam setiap langkah
dan perbuatan yang kita lakukan. Tidak ada yang paling bisa
membuat hati kita menjadi lebih baik kecuali selalu mengingat
kepada Maha Pencipta. Tanamkan dalam diri untuk senantiasa
berdzikir baik dalam lisan maupun perbuatan, sehingga apa yang
kita perbuatan adalah berdasarkan kepada mengharap ridha Allah
SWT semata. Allah SWT berfirman yang artinya;
24

“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi


tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan
mengingat Allah lah hati menjadi tenteram.” (Q. S Ar-Ra’du :
2) Shalat
Shalat yang dimaksud selain shalat wajib lima waktu juga baik
bagi kita untuk memperbanyak shalat sunnah. Karena melalui
shalat, merupakan salah satu cara untuk mendekatkan diri
sekaligus dapat berkomunikasi kepada Allah SWT. Shalat juga
bisa mengobati berbagai jenis penyakit hati seperti sombong, iri,
dengki, termasuk untuk mendapatkan ketenangan jiwa.
Shalat yang dilakukan secara benar dan khusyu’ akan
membantu membuat hati menjadi lebih tenang. Selepas shalat kita
juga bisa mengadu kepada Allah tentang segala keluh kesah kita,
sekaligus berdo’a agar dipermudah dalam menghadapi masalah
hidup. Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya;
“Hanya kepada-Mu lah kami menyembah, dan hanya kepada-
Mu lah kami meminta pertolongan.” (Q. S. Al-Fatihah
3) Sabar
Ketika menghadapi masalah, ingatlah kalau semua itu
diberikan oleh Allah bukan untuk menyulitkan kita, melainkan
untuk menguji iman dan taqwa kita. Ketika kita sadar akan hal
tersebut, yang perlu kita lakukan ialah bersabar dalam menghadapi
segala macam permasalahan dan cobaan yang diberikan. Allah
SWT berfirman yang artinya;
“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang
sabar.” (Q.S. Al-Baqarah : 153).
Dengan bersabar, insya Allah kita bisa menghadapai segala
sesuatunya dengan lebih tenang.
4) Membaca, mendengarkan, serta mengamalkan Al-Qur’an
Allah SWT berfirman yang artinya;
25

“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-


Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang,
gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada
Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di
waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu
Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa
yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang
pemimpinpun.” (Q. S. Az Zumar : 23).
5) Selalu bersangka baik kepada Allah SWT
Yang namanya positive-thinking itu tidak hanya kita lakukan
kepada sesama manusia, melainkan juga kepada Allah SWT. Kita
sadar bahwa hidup tidak pernah lepas daripada ujian atau masalah.
Semuanya adalah atas kehendak Allah SWT. Jangan pernah
menyalahkan takdir Allah atas apa-apa yang terjadi pada hidup kita
karena sebenarnya Allah SWT memberikan ujian tidak lain untuk
menguji iman dan taqwa kita kepada-Nya. Percaya, bahwa selalu
ada hikmah di balik segala cobaan yang kita hadapi.
6) Membiasakan diri bersuci
Menjaga diri dari hadast dan najis dengan cara menjaga wudhu
merupakan salah satu cara untuk mendapatkan ketenangan hati
karena dalam keadaan suci, insya Allah pikiran kita akan menjadi
lebih tenang ditambah dengan selalu mengucap dzikir mengingat
kepada Allah SWT.
7) Menjaga silaturrahmi
Sebagai manusia, kita perlu untuk saling berhubungan dengan
sesama manusia karena kodrat kita memang sebagai makhluk
sosial yang butuh beriteraksi satu sama lain. Akan tetapi, tidak
jarang antar sesama manusia itu terjadi perselisihan atau
kesalahpahaman yang kemudian menyebabkan pertikaian. Ini
merupakan salah satu sumber penyebaba daripada ketidaktenangan
26

hati. Oleh sebab itu, kita dianjurkan untuk menjaga hubungan yang
baik dengan orang lain agar terjalin ketentraman dalam
hidup. Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya;
“Barangsiapa menjamin untukku satu perkara, aku jamin
untuknya empat perkara. Hendaklah dia bersilaturahim
(menjalinkan hubungan baik) nescaya keluarganya akan
mencintainya, diperluas baginya rezeki, ditambah umurnya dan
Allah SWT memasukkan ke dalam surga.”(H. R. Ar-Rabii).
8) Yakin terhadapa pertolongan Allah
Sesulit apapun hidup, seberat apapun masalah yang kita
hadapi, kita yakin bahwa Allah tidak akan memberi cobaan yang
hamba-Nya tidak mampu untuk menghadapinya. Kita yakin bahwa
Allah SWT pasti akan membantu kita melewati semua rintangan
itu asal kita menjalaninya dengan ikhlas dan sabar serta selalu
bertawaqqal kepada-Nya. Sebab, ketidaktenangan terjadi ketika
seseorang selalu memikirkan tentang beratnya hidup, tetapi ia lupa
bahwa ada Allah yang selalu bersamanya. Mintalah pertolongan
kepada Allah, niscaya Dia akan memberi pertolongan. Allah SWT
berfirman yang artinya:
“Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala bantuan itu
melainkan sebagai kabar gembira bagimu dan agar tentram
hatimu karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah dari Allah Yang
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (DalamIslam,2021).
27

C. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian Keperawatan
Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan oleh pasien
untuk menghakiri kehidupannya. Berdasarkan besarnya kematian pasien
melakukan bunuh diri, ada tiga macam,yaitu:
a. Isyarat Bunuh Diri
Isyarat bunuh diri ditujukan dengan berperilaku secara tidak langsung
ingin bunuh diri. Pada kondisi ini pasien mungkin sudah memiliki ide
untuk menghakiri bunuh diri. Pasien umumnya mengungkapkan
perasaan seperti rasa bersalah/ sedih/ marah/ putus asa/ tidak berdaya.
Pasien juga mengungkapkan hal-hal negative tentang diri sendiri yang
menggambarkan harga diri rendah.
b. Ancaman Bunuh Diri
Ancaman bunuh diri umumnya diucapkan oleh pasien, berisi
keinginan untuk mati disertai dengan rencana untuk menghakiri
kehidupan dan persiapan alat untuk melaksanakan rencana tersebut.
Secara aktif pasien telah memikirkan rencana bunuh diri, namun tidak
disertai dengan percobaan bunuh diri.
Walaupun dalam kondisi seperti ini pasien belum pernah mencoba
bunuh diri, pengawasan ketat harus dilaksanakan. Kesempatan sedikit
saja dapat dimanfaatkan pasien untuk melaksanakan rencana bunuh
bunuh diri.
c. Percobaan bunuh diri
Percobaan bunuh diri merupakan tindakan pasien menciderai atau
melukai diri untuk menghakiri kehidupannya. Pada kondisi ini, pasien
aktif mencoba bunuh diri dengan cara gantung diri, minum racun,
memotong urat nadi, atau menjatuhkan diri dari tempat tinggi.
d. Factor presdiposisi
Menanyakan apakah keluarga mengalami gangguan jiwa, bagaimana
hasil pengobatan sebelumnya, apakah pernah melakukan atau
28

mengalami penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari lingkungan,


kekerasan dalam keluarga, dan tindakan criminal. Menanyakan kepada
klien dan keluarga apakah ada yang mengalami gangguan jiwa,
menanyakan kepada klien tentang pengalaman yang tidak
menyenangkan.
e. Pemeriksaan fisik
Memeriksa tanda-tanda vital, tinggi badan, berat badan, dan
tanyakan apakah ada keluhan fisik yang dirasakan klien. Apakah ada
bekas percobaan bunuh diri pada leher, pergelangan tangan maupun di
bagian tubuh lainnya. Pasien biasanya mengeluh sakit pada dirinya,
pusing ataupun tidak dapat melakukan aktifitas seperti biasanya.
Pasien mengeluh bahwa dirinya sudah tidak mampu beraktivitas lagi.
f. Hubungan Sosial
Pasien dengan resiko bunuh diri cenderung ada gangguan dalam
berhubungan dengan orang lain, mereka tidak dapat berhubungan
dengan orang lain, tidak dapat berperan dikelompok masyarakat,
sering mengeluh atau curhat ke orang lain yang dipercayai bahwa ia
ingin mengakhiri hidupnya.
g. Jenis kelamin
Pasien resiko bunuh diri resiko meningkat pada jenis kelamin pria
dibandingan pasien yang dengan jenis kelamin wanita.
h. Riwayat keluarga
Ditinjau dari riwayat keluarga meningkat apabila ada keluarga
dengan percobaan bunuh diri / penyalahgunaan zat.
i. Pencetus ( peristiwa hidup yang baru terjadi)
Kehilangan orang yang dicintai, pengangguran, mendapat malu di
lingkungan social (Nugroho, 2011).
2. Diagnose Keperawatan (Nanda, 2017).
a. Risiko bunuh diri (00150)
b. Distres Spiritual (00066)
29

c. Resiko perilaku kekerasan terhadap orang lain (00138)

3. Rencana Keperawatan

No Nanda NOC NIC

1 Risiko Psychosocial health Safety

Class: Class:
bunuh
Psychological Crisis management
diri
Suicide prevention
(00150)
well- being (6340)
Restraint (1408)  Tentukan
Indikator: adanya resiko bunuh
diri dan derajatnya
 140801
ungkapan  Kontrak (lisan atau

perasaan tertulis) dengan klien


untuk “no self –
 140815
harm” (menyakiti
ungkapan harapan
diri sendiri) selama
 140804 ide
periode tertentu,
bunuhdiri kontrak ulang dalam
(terucap) kurun waktu tertentu
 140805 jika perlu
kontrol  Interaksi dengan
rangsangan klien secararutin
 140826 gunakan untuk menunjukan
sumber kepedulian
pencegahan dan keterbukaan dan
bunuh diri untuk memberi
 140827 gunakan kesempatan klien
30

dukungan untuk
kelompok menyampaik
 140822 rencana an perasaan
masa depan  Lakukan
pendekatan langsung
dan tidak menunda
saat diskusi tentang
bunuh diri
 Hindari membahas
riwayat bunuh diri,
diskusi hal-hal saat ini
dan masa depan
 Diskusikan rencana
yang berhubungan
dengan ide bunuh diri
di masa akan datang
(e.g. faktor pencetus,
siapa yang akan
dihubungi, kemana
meminta bantuan)
 Dampingi klien untuk
mengidentifikasi orang
atau sumber
pendukung (e.g.
keluarga, perawat)
 Mulai pencegahan
bunuh diri (e.g.
observasi dan monitor
klien, sediakan
31

lingkungan protektif)
 Lakukan penilaian
rutin resiko bunuh diri
(setidaknya setiap hari)
untuk menyesuaikan
tindakan pencegahan
bunuh diri yang tepat
 Konsultasi dengan tim
perawat sebelum
modifikasi pencegahan
bunuh diri
 Batasi klien
menggunakan alat
potensial (e.g. benda
tajam, objek serupa
tali)
 Monitor klien selama
menggunakan alat
potensial (e.g. pisau
cukur)
 Tingkatkan
pengawasan klien
disaat petugas sedang
sedikit (e.g. rapat staf,
pergantian shift, waktu
istirahat perawat,
malam hari, hari libur)
 Observasi catat, dan
laporkan adanya
perubahan emosi atau
32

perilaku tertentu yang


meningkatkan resiko
bunuh diri
 Fasilitasi dukungan
untuk klien oleh
keluarga atau teman
2 Distres menahan diri dari bunuh Behavioral
Spiritual diri (1408) Class:
(00066) Indikator: Behavior therapy Activity

 Mengekpresikan therapy (4310)

perasaan  Gunakan komunikasi


teraupetik dalam
 Mengekspresikan
hubungan saling
harapan
percaya
 Mempertahankan  Dorong individu
jalinan hubungan untuk meninjau

 Mendapatkan ulang masa lalu dan

bantuan sesuai berfokus pada

kebutuhan kejadian dan


hubungan yang
 Verbalisasi ide
memberikan
bunh diri
dukungan dan
 Mengontrol kekuatan spiritual
dorongan diri  Dorong partisipan
terkait dengan
 Menahan diri dari
keterlibatan anggota
kumpulan alat
keluarga, teman dan
untuk bunuh diri
orang lain
 Menahan diri dari
 Dengarkan perasaan
menimbulkan
33

pasien
cedera serius
 Tunjukan empati
 Menahan diri dari
terhadap ekspresi
menggunakan zat
klien
tanpa resep yang
 Fasilitasi individu
mengganggu alam
terkait dengan ibadah
perasaan
 Pastikan pada
 Menahan diri dari individu bahwa
bunuh diri perawat selalu ada
untuk mendukung
 Merencanakan
individu melewati
masa depan
masa yang
 Menggunakan
menykitkan
kelompok social
 Bantu individu untuk
 Mendapatkan mengekspresikan dan
pengobatan untuk penyaluran perasaan
depresi marah dengan cara
yang baik dan pantas

4. Pelaksanaan Keperawatan
34

Strategi Pelaksanaan (SP) (Stuart, 2013):


SP 1 Pasien
a. Membina hubungan saling percaya kepada klien.
b. Mengidentifikasi benda-benda yang dapat membahayakan pasien.
c. Mengamankan benda-benda yang dapat membahayakan pasien.
d. Melakukan kontrak treatment.
e. Mengajarkan cara mengendalikan dorongan bunuh diri.
f. Melatih cara mengendalikan dorongan bunuh diri.

SP 2 Pasien
a. Mengidentifikasi aspek positif pasien.
b. Mendorong pasien untuk berfikir positif terhadap diri sendiri.
c. Mendorong pasien untuk menghargai diri sebagai individu
yang berharga.

SP 3 Pasien
a. Mengidentifikasi pola koping yang bisa diterapkan pasien.
b. Menilai pola kopinh yang biasa dilakukan.
c. Mengidentifikasi pola koping yang konstruktif.
d. Mendorong pasien memilih pola koping yang kostruktif.
e. Menganjurkan pasien menerapkan pola koping yang
konstruktif dalam kegiatan harian.

SP 4 Pasien
a. Membuat rencana masa depan yang realistis bersama pasien.
b. Mengidentifikasi cara mencapa rencana masa depan yang realistis.
c. Memberi dorongan pasien melakukan kegiatan dalam rangka
meraih masa depan yang realistis.

SP 1 Keluarga
35

a. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam


merawat pasien.
b. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala resiko bunuh diri,
dan jenis perilaku bunuh diri yang dialami pasien beserta
proses terjadinya.
c. Menjelaskan cara-cara merawat pasien resiko bunuh diri.
SP 2 Keluarga
a. Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat pasien dengan
resiko bunuh diri.
b. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada
pasien resiko bunuh diri
SP 3 Keluarga
a. Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah
termasuk minum obat.
b. Menjelaskan follow up pasien.

5. Evaluasi Keperawatan

Penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan


terencana tentang kesehatan Klien dengan tujuan yang telah ditetapkan,
dilakukan dengan cara bersambung dengan melibatkan klien, keluarga dan
tenaga kesehatan lainnya, proses berkelanjutan untuk menilai efek dari
tindakan keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan sesuai dengan
tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. Evaluasi dapat dibagi dua
yaitu evaluasi proses dan evaluasi formatif, dilakukan setiap selesai
melaksanakan tindakan evaluasi hasil atau sumatif dilakukan dengan
membandingkan respon klien pada tujuan yang telah ditentukan. Tujuan
evaluasi adalah untuk melihat kemampuan klien dalam mencapai tujuan
yang disesuaikan dengan kriteria hasil pada tahap perencanaan (Sumarmi
& Duarsa, 2014 dalam Rohman, 2021).

a. Evaluasi merupakan proses yang berkelanjutan dan dilakukan


36

terusmenerus untuk menilai efek dari tindakan keperawatan yang telah


dilaksanakan evaluasi dapat di bagi menjadi dua yaitu sebagai berikut:
Evaluasi proses (formatif) yang dilakukan setiap selesai melaksanakan
tindakan keperawatan

b. Evaluasi hasil (sumatif) dilakukan dengan cara membandingkan


respon klien dengan tujuan yang telah di tentukan. Evaluasi dapat
dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP sebagai pola pikir
S : Respon subjektif klien terhadap tindakan keperawatan
yang telah dilaksanakan
O : Respon objektif klien terhadap tindakan keperawatan
yang telah dilaksanakan
A :Analisis terhadap data subjektif dan objektif untuk
menyimpulkan apakah masalah masih ada atau telah
teratasi atau muncul masalah baru.
P : Perencanaan tindak lanjut berdasarkan hasil analisis
respon

BAB III
37

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan menggunakan pendekatan
studi kasus. Menurut (Notoatmodjo, 2018) metode penelitian deskriptif yaitu
suatu penelitian yang dilakukan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan
suatu fenomena yang terjadi di dalam masyarakat.

B. Subjek Penelitian
Penelitian ini melibatkan 1 reponden sebagai subjek penelitian, yakni
pasien yang memiliki masalah resiko bunuh diri.

C. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Panti Hafara Bantul Yogyakarta dan
dilaksanakan pada bulan desember 2021.

D. Fokus Study Kasus


Peneliti melakukan analisia terapi inovasi yaitu terapi spiritual kepada
pasien dengan masalah keperawatan resiko bunuh bunuh diri.

E. Batasan Istilah
1. Resiko bunuh diri adalah upaya yang dilakukan seseorang yang lebih
memilih kematian dari pada kehidupan, dengan cara membunuh diri
sendiri secara sengaja.
2. Terapi spiritual merupakan aspek penting pada kehidupan manusia,
dimana keyakinan spiritual membantu banyak pasien dalam melakukan
koping terhadap stres dan penyakit yang dialami

F. Instrumen Penelitian

37
38

1. Observasi : Peneliti melakukan observasi saat melakukan pengkajian pada


responden yang berkaitan dengan keadaan yang dirasakan oleh
responden, dengan cara mengamati adanya perubahan ekspresi wajah,
perubahan perilaku dan respon responden setelah diberikan tindakan
keperawatan.
2. Wawancara : Peneliti dapat mendapatkan data dengan cara mengadakan
tanya jawab kepada pihak yang terkait yaitu responden maupun keluarga
responden terutama mengenai keluhan penyakit yang dirasakan
responden, identitas responden, persepsi tentang penyakit dan kesehatan,
riwayat penyakit keluarga dan responden, pengobatan yang telah dijalani
dan latar belakang kondisi kesehatan responden. Metode ini dilakukan
langsung pada saat proses pelaksanaan tindakan keperawatan dilakukan
sehingga data yang diperoleh benar-benar nyata.
3. Studi Dokumentasi: Peneliti mengumpulkan data dari catatan medik dan
keperawatan serta pemeriksaan penunjang responden.

G. Jalannya Penelitian
Jalannya penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap, yaitu :
1. Tahap Persiapan
Pada tahap ini dimulai dengan melakukan proses pengajuan judul ke tim
bagian KTA, setelah judul diterima kemudian judul dikonsultasikan
kembali dengan dosen pembimbing, kemudian dosen pembimbing
menyarankan mencari masalah terlebih dahulu kemudian masalah tersebut
dijadikan judul penelitian.
2. Tahap Pelaksanaan
Tahap pelaksanaan pada penelitian ini terdiri dari :

a) Melakukan konsultasi proposal dengan dosen pembimbing

b) Melakukan seminar proposal

c) Pengesahan proposal oleh dosen pembimbing, penguji 1 dan


39

ketua STIKes Surya Global Yogyakarta

d) Mengurus etik proposal ke bagian etik STIKes Surya Global


Yogyakarta
e) Mengurus surat izin penelitian ke bagian pengurus KTA STIKes Surya
Global Yogyakarta
f) Melakukan pengentaran surat ke panti Hafara Bantul Yogyakarta
g) Melakukan penelitian pada bulan Desember di panti Hafara Bantul
Yogyakarta (mulai pengkajian, merumuskan masalah, memberikan
intervensi keperawatan, dan evaluasi)

H. Analisis dan Penyajian Data


Pada penelitian ini, peneliti mengambil 1 responden yang mengalami
masalah bunuh diri. Kemudian peneliti akan mengamati perubahan yang
dialami setelah mendapatkan intervensi spiritual. Analisis data yang dilakukan
berupa analisis deskriptif pada kasus penelitian dan penyajian hasil penelitian
dalam bentuk uraian-uraian penjelasan dan bentuk deskripsi terkait
perbandingan sebelum dan sesudah mendapatkan intervensi spiritual.

I. Etika Penelitian
Uji etik pada penelitian ini akan dilaksanakan di STIKes Surya Global
Yogyakarta pada bulan November. Menurut (Notoatmodjo, 2018) Kode etik
penelitian adalah suatu pedoman etik yang berlaku untuk setiap kegiatan
penelitian yang melibatkan antara pihak peneliti, pihak yang diteliti (subjek
penelitian) dan masyarakat yang akan memperoleh dampak hasil penelitian
tersebut. Adapun status hubungan antara peneliti dengan yang diteliti dalam
konteks ini adalah masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban.
Sebagai perwujudan hak-hak responden harus harus didahulukan ini, maka
sebelum dilakukan pengambilan data atau wawancara kepada responden
terlebih dahulu dimintakan persetujuannya (informe consent). Adapun hak
responden dan kewajiban peneliti diantaranya:
40

1. Hak Responden:
a. Hak untuk dihargai privacy-nya
b. Hak untuk merahasiakan informasi yang diberikan
c. Hak memperoleh jaminan keamanan atau keselamatan akibat dari
informasi yang diberikan
d. Hak memperoleh imbalan atau kompensasi
2. Kewajiban peneliti
a. Menjaga privacy responden
b. Menjaga kerahasiaan responden
Memberikan kompensasi

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN
41

PEMBAHASAN

A. HASIL PENELITIAN
Penulis melakukan pengkajian menggunakan teknik pengumpulan data
melalui studi kepustakaan dan studi kasus menggunakan proses keperawatan
dengan pendekatan observasi dan wawancara. Dari hasil pengkajian penulis dapat
disajikan sebagai berikut :
Wawancara merupakan kegiatan utama dalam kajian pengamatan. Definisi
wawancara adalah metode pengumpulan data dengan cara mewawancarai
langsung responden yang diteliti. metode ini memberikan hasil secara langsung
dari kegiatan tanya-jawab secara lisan untuk memperoleh informasi. Bentuk
informasi yang diperoleh dinyatakan dalam tulisan, pada studi kasus ini sumber
data diperoleh dari hasil wawancara terhadap klien dan keluarga klien. Observasi
merupakan salah satu metode pengumpulan data dengan cara mengamati atau
meninjau secara cermat dan langsung di lokasi penelitian untuk mengetahui
kondisi yang terjadi atau membuktikan kebenaran dari sebuah desain penelitian
yang sedang dilakukan (Syafinidawaty, 2020).
Hasil pengkajian penulis sajikan sebagai berikut:
1. Pengkajian Keperawatan
Penulis melakukan pengkajian asuhan keperawatan jiwa pada pasien resiko
bunuh diri di Panti Hafara yaitu pada tanggal 18 Desember 2021 pukul 16.00
WIB dan didapatkan hasil bahwa pasien masuk Panti Hafara pada tanggal 23
November 2018 pada pukul 13.00 WIB.

a. Identitas dan Data Pengkajian

41
42

Tabel 4.1

Identitas dan Data Pengkajian


Identitas pasien Identitas pasien yaitu Ny. D, pasien berjenis kelamin
perempuan, usia 42 tahun, pasien berasal dari
Kebumen. Pasien beragama Islam, suku jawa,
pendidikan terakhir SD Kelas 5, Warga Negara
Indonesia.
Identitas penanggung jawab yaitu orang tua atas
nama Ny. M pekerjaan sebagai Tukang jahit baju
dan pendidikan terakhir tamat SD, alamat
Wonosobo.
Alasan masuk Pasien mengatakan marah-marah terhadap orang
yang dia temui, pasien mengatakan tidur tidak
nyenyak, sering mondar-mandir, 1 hari sebelum
masuk rumah sakit bicara pasien mulai tidak
nyambung, perubahan tingkah laku, pasien tidak
mau makan, pasien merasakan mual, dan pusing, dan
pasien sering melihat sesuatu. Untuk saat ini masal
diatasi sudah teratasi kemudian muncul masalah
baru, 2 hari sebelum pengkajian pasien mengatakan
ingin bunuh diri beberapa kali dengan cara mencoba
menelan biji salak.
Faktor Pasien sebelumnya tidak pernah mengalami
predisposisi gangguan jiwa, dan dulu pasien mengatakan sering
diejek dan dibully oleh teman-temannya.
Pemeriksaan Hasil pemeriksaan fisik yaitu tanda-tanda vital TD:
Fisik 125/70 mmHg, Suhu: 36,8oC, RR 21 x/menit, Nadi:
84x/menit, TB: 159 cm, BB: 52 kg. Pasien tampak
lesu. Pasien ketika diwawancari sedikit tegang, tidak
43

ada sesekali tampak memainkan kedua tangan,


pasien mengatakan tidak tenang dan tidak nyaman.
Kulit tampak bersih, rambut rapid an tidak ada
kotoran, gigi tampak bersih.
Psikososial Pasien merupakan anak kedua dari delapan
bersaudara, pasien memiliki kakak berjenis kelamin
perempuan, adik ketiga laki-laki, adik keempat laki-
laki, adik kelima laki-laki, adik keenam dan ketujuh
perempuan, pasien tinggal di rumah bersama kedua
orang tuanya. Di dalam keluarga diterapkan
komunikasi dua arah antara pasien dengan keluarga
yang tinggal serumahnya.
Gambaran diri, pasien mengatakan tidak membenci
anggota tubuhnya, pasien sedikit tidak percaya
dengan orang lain dan hanya satu yang bisa pasien
percaya yaitu ibunya.
Identitas diri, klien mengatakan sebagai anak kedua
dari kedua orangtua dan memiliki 1 kakak dan 7
adik yang semua sudah menikah.
Peran, pasien tidak pernah mengikuti kegiatan-
kegiatan kelompok di masyarakat, pasien lebih
banyak dirumah membantu ibunya menjahit, jarang
beraktivitas, kebutuhan dilakukan secara mandiri.
Ideal diri, pasien mengatakan tidak ada harapan
terhadap dirinya di masa depan, memilih untuk mati
terlebih dahulu. Jika ada masalah pasien lebih suka
memendam perasaan dan jarang berserah kepada
Allah SWT untuk meminta petunjuk kepada Nya.
Harga diri, klien mengatakan tidak ada kepercayaan
diri, dan sedikit tidak percaya dengan orang-orang
44

sekitar, pasien merasa dikucilkan di lingkungan.


Hubungan sosial, pasien ketika ditanya orang yang
berarti dalam hidupnya adalah ibunya karena pasien
sangat disayangi oleh ibunya. Pasien suka
berinteraksi dengan pasien lainnya, terkadang
bercerita, membantu pasien lain yang sedang susah
misalnya seperti membantu membagikan makanan,
membantu kegiatan di yayasan seperti menyapu. Di
kehidupan masyarakat pasien merasa dikhianati
dengan tetangga-tetangganya.
Spiritual Pasien mengatakan meyakini adanya Allah SWT,
pasien mengatakan memiliki keyakinan agama
Islam, namun cuma sekedar melakukan sholat yang
dijadwalkan oleh yayasan hafara. karena di
lingkungan keluarga pasien juga jarang beribadah
dan tidak pernah melakukan zikir. Pasien beralasan
hidupnya tidak ada arti lagi.
Status mental Penampilan pasien tampak bersih, rambut rapi,
pasien menggunakan pakaian dari rumah sakit, tidak
menggunakan alas kaki, pasien mengatakan mandi
2x sehari, kebersihan gigi dan mulut cukup bersih.
Dengan kesan semuanya yaitu rawat diri cukup.
Pada saat dilakukan wawancara pada awalnya pasien
belum mau bercerita. Pasien tampak gelisah dan
sedikit ketakutan, pasien dapat melakukan aktivitas
fisik secara mandiri terkadang juga dibantu, pasien
terkadang mondar-mandir namun secara langsung
pasien tampak tenang, pasien tampak tidak kotor
namun kulit sedikit kusam, terkadang sering tiduran
di kasur setelah kegiatan bersih-bersih kamar
45

maupun setelah mandi. Cara bicara pasien seperti


orang normal, merespon dengan baik ketika
ditanya, dan pendengar yang baik. Namun
terkadang pembicaraannya meloncat-loncat tidak
sesuai dan kadang tidak nyambung dengan tema
yang dibahas.
Aktivitas motorik pasien tampak sangat gelisah,
pasien takut ketika menceritakan masalah pasien
nantinya informasi akan tersebar luas ke orang lain.
Emosi pasien ketika diwawancarai stabil
Pasien memiliki afek datar, pasien mau berbicara
jika diberi stimulus emosi yang kuat dan nantinya
pasien akan merespon dengan baik.
Interaksi selama wawancara, pasien ketika
wawancara cenderung cemas dan takut, pada
awalnya melihat dengan raut wajah ketakutan namun
ketika sudah banyak bercerita dengan apa yang
dialami, pasien lebih kooperatif, kontak mata cukup
dengan melihat lawan bicara.
Proses pikir, pasien mampu menjawab pertanyaan
sesuai yang diberikan dari peneliti.
Tingkat kesadaran, pasien tidak bingung, merasakan
pusing, gelisah, tidak dapat mengorientasikan lokasi,
waktu, tanggal, bulan dan hanya mampu mengingat
beberapa nama temannya.
Pasien memiliki memori cukup kuat untuk hal-hal
yang dialami pasien seperti mampu menceritakan
asal daerah lengkap dengan arah dan letak
rumahnya, menceritakan aktifitas ketika di rumah,
menceritakan nama-nama keluarga besarnya,
46

menceritakaan makanan kesukaanya dan beberapa


hal yang tidak pasien sukai. Namun pasien lebih
seing menyebut ibunya, pasien mengatakan kangen
terhadap ibunya.
Pasien tidak mampu berhitung secara dasar seperti
1+1, 2+2 dan salah 3+4. Pasien kurang berkosentrasi
ketika bercerita masalah-masalah yang dialami
pasien karena terkadang ceritanya meloncat-loncat
namun pasien mampu untuk mengkaitkan kembali
dengan beberapa alasan.
Kegiatan hidup Perawatan diri dalam kegiatan hidup sehari-hari
sehari-hari Ny.D seperti mandi, kebersihan, BAK/BAB, ganti
(ADL) pakaian, dan makan semuanya bisa dilakukan
sendiri sesuai waktu yang diinginkan. Pasien makan
3x/hari pagi, siang, dan sore dengan porsi yang
disediakan panti Hafara. Pasien dapat makan dan
minum sendiri tanpa bantuan dari teman maupun
perawat. Berat badan pasien saat ini stabil tidak
meningkat dan tidak turun yaitu 52 kg. BAK
±6x/Hri, BAB ±1x/hari atau ±2x/hari di toilet dan
setelah BAK/BAB pasien langsung menyiram dan
membersihkannya.
Pasien mengatakan mandi 2x/hari memakai sabun,
dan kramas dengan shampo.
Pasien mengatakan tadi malam tidak bisa tidur
karena memikirkan ibunya, pasien lebih sering
menghabiskan waktunya rebahan, dan terkadang jika
merasa bingung pasien berjalan-jalan disekitar
kamar. Pasien mengikuti rehabilitasi setiap pagi
hingga siang, mengikuti jadwal bersih- bersih
47

kamar, makan, senam, dan jadwal pemeriksaan dari


tenaga kesehatan.
Mekanisme Pasien memiliki koping maladaptif yaitu merasakan
Koping kecemasan yang berlebihan, rasa kangen yang
dialami pasien jadi memilih untuk bunuh diri. Pasien
lebih banyak berdiam diri setiap kegiatan,
menghindar dari orang lain, ketika diajak bicara,
diam, kurangnya kontak mata dengan lawan bicara.
Pasien mengatakan ketika di rumah jika melihat
benda tajam itu selalu gelisah. Pasien sudah sedikit
tidak percaya dengan orang lain karena merasa
dikucilkan dan diejek.
Pasien merasa hanya mempercayai ibunya.
Masalah Pasien mengatakan tidak pernah terlibat dalam kasus
psikososial dan di masyarakat seperti pencurian, selingkuh dengan
lingkungan suami/pacar orang, tetapi dia dikucilkan dan selalu
dibuli oleh teman-temannya, sehingga pasien
mengalami depresi dan sedikit tidak percaya dengan
orang lain.

b. Analisa Data
Analisis data dalam penelitian merupakan proses penelitian yang
sangat penting karena dengan analisis inilah data yang ada akan tampak
manfaatnya terutama dalam memecahkan masalah penelitian dan
mencapai tujuan akhir penelitian. (Fazzal, 2015).
Tabel 4.2
Analisa Data
No Tgl/Jam Data (Subjektif & Etiologi Problem
objektif)
1 18/12/21 DS: Putus Asa Risiko
48

17.00 Bunuh
Pasien mengatakan Diri
ingin bunuh diri
beberapa kali percobaan
dengan cara mencoba
menelan biji salak
karena kangen dengan
ibunya. Pasien
mengatakan tidak ada
harapan terhadap
dirinya di masa depan
DO:
Pasien tampak sangat
gelisah, pasien takut
ketika menceritakan
masalah, ketika
wawancara cenderung
cemas dan takut
2 18/12/21 DS : Merasa Distres
17.00 Pasien mengatakan Hidup Spiritual
memiliki keyakinan Kurang
agama Islam, namun Bermakn
Cuma sekedar a
melakukan sholat
yang dijadwalkan oleh
yayasan hafara. Tidak
pernah melakukan
zikir. Pasien beralasan
hidupnya tidak ada
arti lagi. Jika ada
49

masalah pasien lebih


suka memendam
perasaan dan jarang
berserah kepada Allah
SWT untuk meminta
petunjuk kepada Nya.

DO :

Pasien lebih banyak


berdiam diri setiap
kegiatan, menghindar
dari orang lain, ketika
diajak bicara, diam,
kurangnya kontak
mata dengan lawan
bicara.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat diangkat pada Ny. D meliputi :
a. Risiko Bunuh Diri berhubungan dengan Putus Asa ditandai dengan DS:
pasien mengatakan ingin bunuh diri beberapa kali percobaan dengan cara
mencoba menelan biji salak karena kangen dengan ibunya. Pasien
mengatakan tidak ada harapan terhadap dirinya di masa depan DO: pasien
tampak sangat gelisah, pasien takut ketika menceritakan masalah, ketika
wawancara cenderung cemas dan takut

b. Distres Spiritual berhubungan dengan Merasa Hidup Kurang Bermakna


ditandai dengan DS : Pasien mengatakan memiliki keyakinan agama
Islam, namun Cuma sekedar melakukan sholat yang dijadwalkan oleh
yayasan hafara. Tidak pernah melakukan zikir. Pasien beralasan hidupnya
50

tidak ada arti lagi. Jika ada masalah pasien lebih suka memendam
perasaan dan jarang berserah kepada Allah SWT untuk meminta petunjuk
kepada Nya. DO: Pasien lebih banyak berdiam diri setiap kegiatan,
menghindar dari orang lain, ketika diajak bicara, diam, kurangnya kontak
mata dengan lawan bicara.
3. Diagnosa Keperawatan Prioritas
Diagnosa keperawatan priorotas sebagai berikut :
a. Risiko Bunuh Diri berhubungan dengan Putus Asa
b. Distres Spiritual berhubungan dengan Merasa Hidup Kurang Bermakna
4. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan yang di berikan kepada Ny.D sesuai dengan buku
panduan buku Nursing Intervension Clasification atau NIC (Gloria dan
Howard. 2015), disusun pada hari sabtu tanggal 18 Desember 2021 dengan
meliputi:
a. Risiko Bunuh Diri berhubungan dengan Putus Asa, dengan NOC setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 3x pertemuan diharapakan pasien
dapat meningkatkan harapan hidup pasien dengan kriteria hasil: (Harapan,
(1201) halaman 100), mengungkapkan harapan masa depan yang positif,
mengugkapkan keyakinan, mengungkapkan keinginan untuk hidup,
mengungkapkan kepercayaan pada diri sendiri, menunjukan semangat
hidup. Untuk NIC yaitu (Menejemen Alam Perasaan (5330) halaman
143), monitor status fisik pasien, monitor fungsi kognitif, monitor
kemampuan perawatan diri, dukung pasien dimana dia dapat menoleransi,
untuk terlibat dalam interaksi sosial dan aktivitas dengan orang lain,
interaksi dengan pasien menggunakan interval (waktu) yang teratur dalam
rangka menunjukkan perhatian dan menyediakan kesempatan bagi pasien
untuk membicarakan mengenai perasaannya. Berikan ketrampilan sosial
atau latihan asertif untuk membuat keputusan, sesuai kebutuhan, evaluasi
alam perasaan.
b. Distres Spiritual berhubungan dengan Merasa Hidup Kurang Bermakna,
51

dengan NOC setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x


pertemuan diharapakan menahan diri dari bunuh diri (1408) halamam 314,
dengan kriteria hasil pasien dapat mengekpresikan perasaan,
mengekpresikan harapan, pasien dapat mempertahankan jalinan
hubungan, menahan diri dari kumpulan alat untuk bunuh diri, mengontrol
dorongan diri, menggunakan kelompok dukungan sosial, menggunakan
pelayanan kesehatan jiwa yang tersedia baik jasmani maupun rohani.
Untuk NIC yaitu (Dukungan Spiritual (5420) halaman 101), dengarkan
perasaan klien, gunakan komunikasi terapeutik dalam membangun
hubungan saling percaya dan caring, dorong individu untuk meninjau
ulang masa lalu dan berfokus pada kejadian dan hubungan yang
memberikan dukungan dan kekuatan spiritual, tunjukkan empati terhadap
ekspresi perasaan klien, berbagi mengenai keyakinan sendiri mengenai arti
dan tujuan hidup serta perspektif spiritual dengan baik, gunakan teknik-
teknik mengklarifikasi nilai untuk membantu individu mengklarifikasi
keyakinan dan nilai dengan baik.
5. IMPLEMENTASI
Implementasi dilakukan selama tiga hari, yang pertama dilakukan pada hari
minggu 19 Desember 2021, kedua dilakukan pada hari senin 20 Desember
2021, yang ketiga dilakukan pada hari selasa 21 Desember 2021,
implementasi keperawatan yang diberikan kepada Ny. D disesuaikan dengan
diagnosa dan prioritasnya, pada hari pertama sebagai berikut:
a. Risiko Bunuh Diri berhubungan dengan Putus Asa pada pukul 14.00
memperkenalkan kembali dengan sopan ke pasien, menyapa dengan
ramah pasien baik secara verbal maupun nonverbal, memperkenalkan
nama, membina hubungan saling percaya, melakukan kontrak waktu,
menyampaikan tujuan dan menjaga privasi pasien. Pukul 14.10 melakukan
dialog dengan pasien menanyakan hal yang di sukai dan yang tidak di
sukai pasien. Memberikan pemahaman terkait masalah yang dialami
pasien dengan cara berdoa, bersabar, dan bisa dilakukan dzikir, emosi :
52

stabil. Memonitor fungsi kognitif, memonitor kemampuan perawatan diri,


mendukung pasien dimana dia dapat menoleransi untuk terlibat dalam
interaksi sosial dan aktivitas dengan orang lain.
b. Distres Spiritual berhubungan dengan Merasa Hidup Kurang Bermakna,
dilakukan pukul 14.30, Memberikan nasehat, tausyiah, sugesti, dzikir
(Allahuakbar sebanyak 33x), saran dan wawasan lain-lainnya melalui
komunikasi teraupetik tentang pentingnya dia konsep sabar, tawakal,
ikhtiar dll.

Implementasi hari kedua dilakukan pada hari Senin tanggal 20 Desember


2021 dengan catatan sebagai berikut:
a. Risiko Bunuh Diri berhubungan dengan Putus Asa pada pukul 14.00
menyapa dengan ramah pasien baik secara verbal maupun nonverbal,
berinteraksi dengan pasien menggunakan interval (waktu) yang teratur
dalam rangka menunjukkan perhatian dan menyediakan kesempatan bagi
pasien untuk membicarakan mengenai perasaannya, memberikan
pemahaman terkait masalah yang dialami pasien dengan cara berdoa,
bersabar, dan bisa dilakukan dzikir.
b. Distres Spiritual berhubungan dengan Merasa Hidup Kurang Bermakna,
dilakukan pukul 14.30, Memberikan nasehat, tausyiah, sugesti, dzikir
(Allahuakbar dan subhanallah sebanyak 33x), saran dan wawasan lain-
lainnya melalui komunikasi teraupetik tentang pentingnya dia konsep
sabar, tawakal, ikhtiar dll.

Implementasi hari ketiga dilakukan pada hari Selasa tanggal 21 Desember


2021 dengan catatan sebagai berikut:
a. Risiko Bunuh Diri berhubungan dengan Putus Asa pada pukul 14.00
memberikan ketrampilan sosial atau latihan asertif untuk membuat
keputusan, menyesuaikan kebutuhan, mengevaluasi alam perasaan dengan
cara memberikan saran – saran ketika nanti sudah pulang di rumah untuk
53

menambah kegiatan seperti rajin berolahraga misalnya senam, memasak


makanan yang kemudian bisa di jual, rajin membantu ibunya menjahit
dirumah, dan sebagainya, dan mengingatkan terkait masalah yang dialami
pasien dengan cara berdoa, bersabar, dan bisa dilakukan dzikir.
b. Distres Spiritual berhubungan dengan Merasa Hidup Kurang Bermakna,
dilakukan pukul 14.20, Mendampingi pasien dzikir dan sholat, dan
mengingatkan kembali selalu sholat 5 waktu dan melakukan dzikir,
kemudian mengingatkan pasien tentang pentingnya dia konsep sabar,
tawakal, ikhtiar dll.

6. EVALUASI
Evaluasi keperawatan pada Ny.D pada tanggal 20 Desember 2021 hari
pertama, meliputi:
a. Risiko Bunuh Diri berhubungan dengan Putus Asa pada pukul 13.00 hasil
evaluasi didapatkan yaitu data subyektif : pasien mengatakan namanya
Desi, pasien mau untuk diajak berbincang-bincang mengenai masalah
yang dialami pasien. Pasien menyampaikan hal-hal yang tidak disukai
seperti diejek namun masih ada yang ditutupi atau di rahasiakan, pasien,
Pasien mengatakan kangen sekali dengan mamaknya, sangat pengen
dijenguk kesini. Data obyektif : pasien mampu menyebutkan nama, pasien
mulai menceritakan masalah-masalah yang pasien dialami, pada awalnya
pasien sangat sulit untuk membuka diri. Assement : masalah belum
teratasi. Planning : lanjutkan intervensi, mengajak pasien untuk aktif
dalam kegiatan-kegiatan di Panti Hafara Bantul Yogyakarta yang sudah
dijadwalkan agar rasa kangen dan gelisah berangsur-angsur menghilang,
memonitor respon emosi, fisik, sosial, dan terapi spiritual.
b. Distres spiritual berhubungan dengan Merasa Hidup Kurang Bermakna,
hasil evaluasi didapatkan yaitu data subyektif pasien mengatakan jarang
melakukan sholat 5 waktu, pasien selalu merindukan mamaknya, dan akan
melakukan dzikir setiap kangen dengan mamaknya. Data obyektif : pasien
54

tampak gelisah dan putus asa namun pasien tetap menutupi dengan
penampilan tenang, kondisi rawat diri pasien cukup. Assemen : masalah
belum teratasi. Planning : lanjutkan intervensi dengan mengobservasi
kegiatan beribadah pasien dan respon pasien, kolaborasi dengan
perawat/penjaga panti Hafara untuk memantau sholat dan dzikir pasien,
dorong pasien untuk melakukan aktivitas sehari-hari sesuai kemampuan.

Evaluasi hari kedua dilakukan pada tanggal 21 Desember 2021, meliputi:


a. Risiko Bunuh Diri berhubungan dengan Putus Asa pada pukul 13.10 hasil
evaluasi antara lain, data subyektif : pasien mengatakan sudah sedikit bisa
tidak memikirkan mamaknya. Data obyektif : pasien mulai menceritakan
masalah-masalah yang dialami ketika di rumah, pasien terkadang masih
gelisah, pasien lebih kooperatif dari hari pertama. Assesment: masalah
teratasi sebagian Planning : lanjutkan intervensi, mengajak pasien untuk
aktif dalam kegiatan-kegiatan di RS agar rasa gelisah berangsur-angsur
menghilang, memonitor respon emosi, fisik, sosial, dan terapi spiritual.
b. Distres spiritual berhubungan dengan Merasa Hidup Kurang Bermakna,
hasil evaluasi didapatkan yaitu data subyektif pasien mengatakan sudah
sholat zuhur dan sudah mandi. Data obyektif : pasien tampak lebih segar,
lebih rapi, dan bersih. Assement : masalah teratasi sebagian. Planning :
lanjutkan intervensi mengobservasi kemampuan pasien dalam kegiatan
beribadah, dorong pasien untuk melakukan aktivitas sehari-hari sesuai
kemampuan terutama beribadah kepada Allas SWT, seperti sholat 5 waktu
tepat waktu dan melakukan dzikir, membantu teman yang sedang
kesusahan misalnya mengambilkan makanan ketika saat waktunya jadwal
makan.
Evaluasi hari ketiga dilakukan pada tanggal 22 Desember 2021, meliputi:
a. Risiko Bunuh Diri berhubungan dengan Putus Asa pada pukul 14.10 hasil
evaluasi antara lain data subyektif : pasien mengatakan masih sedikit
kangen dengan mamaknya, dari kemaren sudah tidak kangen lagi dengan
55

mamaknya seperti kemaren-kemaren. obyektif : pasien kooperatif dari hari


sebelumnya, pasien tampak ceria, pasien banyak memberikan respon, aktif
berinteraksi dengan pasien lain, pasien mengikuti rehabilitasi dan senam
pagi hari ini dan terapi bernyanyi. Assesment : masalah teratasi sebagian.
Planning: lanjutkan intervensi, mengajak pasien untuk selalu bersemangat
menjalani aktivitas sehari-hari karea sumber kebahagiaan ada di dalam diri
sendiri dan yang menciptakan diri sendiri, memberikan terapi aktivitas
rekreasi dan diversional (misalnya, bernyanyi kelompok, menggambar,
bermain bola kertas, menonton), memonitor respon emosi, fisik, dan
sosial.
b. Distres spiritual berhubungan dengan Merasa Hidup Kurang Bermakna,
hasil evaluasi didapatkan yaitu data subyektif pasien mengatakan
memasrahkan semua masalah kepada Allah SWT, pasien mengatakan
ingin berubah menjadi manusia yang lebih baik, pasien berjanji untuk
melakukan sholat 5 waktu dan sering melakukan zhikir, pasien
mengatakan ingin cepat pulang. Data obyektif: pasien tampak antusias,
pasien tampak gembira, pasien tampak lebih lega bisa menceritakan
masalah-masalah yang dialami, pasien sudah bagus untuk melakukan
kontak mata, pasien sudah menggunakan jilbab yang sebelumnya tidak
menggunakan jilbab. Assement : masalah teratasi sebagian. Planning :
dorong pasien untuk selalu melaksanakan sholat 5 waktu dan dzikir dan
berserah diri kepada Allah SWT.

7. TERAPI SPIRITUAL SEBAGAI TINDAKAN KEPERAWATAN


UTAMA
Tindakan keperawatan utama yang digunakan saat implementasi
pasien yang memiliki masalah keperawatan resiko bunuh diri yaitu terapi
56

spiritual, dimana yang sudah dijelaskan dibagian implementasi dan evaluasi


yang terdapat perubahan yang signifika pada pasien, dari awalnya pasien
mengatakan ingin bunuh diri karena sangat rindu dengan ibunya dan pasien
sholat Cuma sekedar mengikuti kegiatan yang sudah dijadwalkan (sholat dan
terapi kelompok), tidak pernah zhikir dan Pasien beralasan hidupnya tidak ada
arti lagi, jika ada masalah pasien lebih suka memendam perasaan dan jarang
berserah kepada Allah SWT untuk meminta petunjuk kepada Nya dan pasien
tampak sangat gelisah, pasien takut ketika menceritakan masalah, ketika
wawancara cenderung cemas dan takut dan pasien lebih banyak berdiam diri
setiap kegiatan, menghindar dari orang lain, ketika diajak bicara, diam,
kurangnya kontak mata dengan lawan bicara. Kemudian setelah dilakukan
terapi spiritual (Memberikan nasehat, tausyiah, sugesti, dzikir, saran dan
wawasan lain-lainnya melalui komunikasi teraupetik tentang pentingnya dia
konsep sabar, tawakal, ikhtiar dll, mengajari dan mengawasi zhikir) selama 3
hari terdpat perubahan yang signifikan pada pasien mengatakan memasrahkan
semua masalah kepada Allah SWT dan tidak ingin bunuh diri lagi, pasien
mengatakan ingin berubah menjadi manusia yang lebih baik, pasien berjanji
untuk melakukan sholat 5 waktu dan sering melakukan zhikir, pasien
mengatakan ingin cepat pulang. Pasien tampak antusias, pasien tampak
gembira, pasien tampak lebih lega bisa menceritakan masalah-masalah yang
dialami, pasien sudah bagus untuk melakukan kontak mata, pasien sudah
menggunakan jilbab yang sebelumnya tidak menggunakan jilbab. Kelanjutan
dari intervensi dan implementasi ini akan diteruskan oleh perawat yang
merawat pasien di Panti Hafara agar tidak terputusnya perubahan pada pasien
selama mendapatkan terapi spiritual dari peneliti, kemudian tidak hanya satu
pasien, terapi spiritual diterapkan sebagai tindakan keperawatan khususnya
untuk pasien yang memiliki masalah keperawatan resiko bunuh diri.

B. PEMBAHASAN
Penulis melakukan pembahasan pada bab ini tentang masalah-masalah yang
57

muncul pada kasus yang ditemukan selama pemberian asuhan keperawatan yang
dimulai pada tanggal 18-22 Desember 2021
Peneliti akan membahas tentang masalah-masalah yang muncul pada kasus
yang ditemukan selama observasi pemberian asuhan keperawatan pada Ny.D
dengan diagnosa medis Skizofrenia. Kesenjangan tersebut dilihat dengan
memperhatikan aspek-aspek pada tahap keperawatan dimulai dari tahap
pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi, sampai evaluasi
sesuai dengan buku aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan diagnosa medis
(Nurafif dan Kusuma. 2015), dalam buku tersebut metodologi proses keperawatan
berdasarkan diagnosa medis untuk mempermudah menyelesaikan masalah
kesehatan pasien secara teori ilmiah dan asuhan keperawatan yang meliputi :
pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi, sampai evaluasi.
Kesenjangan tersebut di lihat dengan memperhatikan aspek-aspek tahapan
penyusunan asuhan keperawatan dimulai dari tahap pengkajian, perencanaan,
pelaksanaan, sampai ke tahap evaluasi pada asuhan keperawatan Ny.D dengan
diagnosa medis skizofrenia di Panti Hafara Bantul Yogyakarta.
1. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Identitas pasien yaitu Ny. D, pasien berjenis kelamin perempuan, usia 42
tahun, pasien berasal dari Kebumen. Pasien beragama Islam, suku jawa,
pendidikan terakhir SD Kelas 5, Warga Negara Indonesia.
Identitas penanggung jawab yaitu orang tua atas nama Ny. M pekerjaan
sebagai Tukang jahit baju dan pendidikan terakhir tamat SD, alamat
Wonosobo.
Alasan masuk pasien mengatakan marah-marah terhadap orang yang dia
temui, pasien mengatakan tidur tidak nyenyak, sering mondar-mandir, 1 hari
sebelum masuk rumah sakit bicara pasien mulai tidak nyambung, perubahan
tingkah laku, pasien tidak mau makan, pasien merasakan mual, dan pusing,
dan pasien sering melihat sesuatu. Untuk saat ini masal diatasi sudah teratasi
kemudian muncul masalah baru, 2 hari sebelum pengkajian pasien
mengatakan ingin bunuh diri beberapa kali dengan cara mencoba menelan biji
58

salak.
Bunuh diri adalah prakarsa perbuatan yang mengarah pada kematian
pemrakarsa. Bunuh diri merupakan sebuah tindakan sadar dari seseorang
menggunakan kehendak bebasnya untuk mengakhiri (mematikan)
kehidupannya dari dunia ini (Nainggolan, 2021). Perilaku destruktif diri yaitu
setiap aktivitas yang jika tidak dicegah dapat mengarah kepada kematian.
Perilaku ini dapat diklasifikasikan sebagai langsung dan tidak langsung.
Perilaku destruktif diri langsung mencakup setiap bentuk aktivitas bunuh diri.
Niatnya adalah kematian dan individu menyadari hal ini sebagai hasil yang
diinginkan dan rentang waktu perilaku berjangka pendek. Perilaku destruktif
diri tidak langsung meliputi setiap aktivitas yang merusak kesejahteraan fisik
individu dan dapat mengarah kepada kematian. Individu tidak menyadari
tentang potensial terjadi kematian akibat perilakunya dan biasanya lebih lama
dari pada perilaku bunuh diri (Stuart, 2006). Sebagai contoh pada hasil
kegiatan pasien menelan biji salah ingin bunuh diri karena terlalu kangen
dngan ibunya.
Berdasarkan hasil pengkajian penyebab munculnya rasa ingin bunuh diri
yaitu pasien sebelumnya tidak pernah mengalami gangguan jiwa, dan dulu
pasien mengatakan sering diejek dan dibully oleh teman-temannya.
Faktor risiko bunuh diri pada pasien dipengaruhi oleh faktor psikologi
diantaranya adalah depresi, stres, kecemasan dan depresi (Hawari, 2013).
Sementara untuk faktor psikologis dimana orang yang merasa depresi,
kesedihan, dan putus asa memiliki kemungkinan lebih tinggi terhadap perilaku
bunuh diri. Selanjutnya depresi merupakan gangguan alam perasaan yang
ditandai dengan kemurungan dan kesedihan, kehilangan gairah hidup,
perasaan tidak berguna, putus asa serta dapat muncul pikiran-pikiran tentang
bunuh diri (Hawari, 2013). Dalam pembahasan tentang faktor keluarga
didapatkan bahwa pada perempuan terdapat hubungan yang positif pada
tingkat dukungan sosial yang dirasakan dari keluarga, orang lain dan teman-
teman. Pada laki-laki, tingkat keluarga dan orang lain terdapat hubungan yang
59

positif terkait satu sama lain, tapi tidak terkait dengan dukungan dari teman-
teman. Bertengkar dengan pasangan, bertengkar dengan anggota keluarga
yang lain, bertentangan dengan teman atau tetangga, kesulitan keuangan
keluarga, dan penyakit serius secara independen terkait dengan percobaan
bunuh diri (Zhang 2015).
Kebanyakan perilaku bunuh diri muncul karena keinginan untuk melarikan
diri dari perasaan yang tidak tertahankan, seperti dendam, isolasi sosial, atau
kebencian. Perasaan kehilangan memainkan peranan yang penting sebagai
faktor pencetus langsung bunuh diri pada remaja, baik kehilangan yang akut
ataupun kehilangan yang sudah terakumulasi. Istilah “kehilangan” disini
digunakan untuk menunjukkan kehilangan karena kematian atau perpisahan
yang permanen (misalnya, perceraian orang tua) yang mengakibatkan
kerenggangan atau hilangnya figur yang dicintai (Saputri, 2020).
Hasil dari pemeriksaan spiritual adalah pasien mengatakan meyakini
adanya Allah SWT, pasien mengatakan memiliki keyakinan agama Islam,
namun cuma sekedar melakukan sholat yang dijadwalkan oleh yayasan hafara.
karena di lingkungan keluarga pasien juga jarang beribadah dan tidak pernah
melakukan zikir. Pasien beralasan hidupnya tidak ada arti lagi.
Spiritual sholat dan dzikir merupakan bentuk pendekatan atau keyakinan
dengan Allah untuk melakukan suatu ibadah sebagai media berkomunikasi
dan menyadaro kebesaran dan keagungan Allah. Beberapa manfaat sholat dan
dzikir pada pasien skizofenia yaitu memberikan ketenangan, ketentraman
dan sebagai pemusatan perhatian bagi emosional pasien skizofrenia.
Penatalaksanaaan pada pasien skizofrenia menggunakan kegiatan spiritual
sholat dan dzikir dapat emningkatkan konsentrasi dan memberikan gejala
positif untuk mengurangi gejala negative. aktivitas spiritual sholat dan dzikir
ini dapat dijadikan sebagai terapi tambahan selain terapi farmakologi dan
non farmakologi sepertim TAK, terapi menggambar dan lain sebagainya
karena mulai tidak efektifnya terapi non farmakologitersebut sehingga pasien
resisten terhadap terapi yang dilakukan berulang-ulang. Sholat dan dzikir
60

dapat digunakan sebagai sarana pasien untuk mengungkapkan apa yang


pasien rasakan ketika pasien tidak dapat bercerita dengan keluarga maupun
perawat (Ningrum, 2020).
Aktivitas motorik pasien tampak sangat gelisah, pasien takut ketika
menceritakan masalah pasien nantinya informasi akan tersebar luas ke orang
lain. Emosi pasien ketika diwawancarai stabil. Pasien memiliki afek datar,
pasien mau berbicara jika diberi stimulus emosi yang kuat dan nantinya pasien
akan merespon dengan baik. Model terapi psikososial terakhir yang mampu
menurunkan risiko bunuh diri individu penderita gangguan bipolar adalah
Manajemen Diri. Melalui manajemen diri yang dibantu oleh pendamping
terapi, seluruh subjek peneliti menjadi semakin mampu mengelola perasaan
serta energi-energi negatif dalam diri mereka. Buku harian atau jurnal mereka
gunakan untuk pengelolaan emosi secara positif. Mereka juga menjadikan
model terapi ini sebagai bentuk kedisiplinan (Banfatin 2019).
Pasien memiliki koping maladaptif yaitu merasakan kecemasan yang
berlebihan, rasa kangen yang dialami pasien jadi memilih untuk bunuh diri.
Pasien lebih banyak berdiam diri setiap kegiatan, menghindar dari orang lain,
ketika diajak bicara, diam, kurangnya kontak mata dengan lawan bicara.
Pasien mengatakan ketika di rumah jika melihat benda tajam itu selalu
gelisah. Pasien sudah sedikit tidak percaya dengan orang lain karena merasa
dikucilkan dan diejek. Respons maladaptif adalah perilaku mencederai diri
sendiri secara tidak langsung, melukai diri, dan bunuh diri. Respon ini
biasanya berupa perilaku destruktif diri yaitu setiap aktivitas yang jika tidak
dicegah dapat mengarah kepada kematian. Perilaku ini dapat diklasifikasikan
sebagai langsung dan tidak langsung. Perilaku destruktif diri langsung
mencakup setiap bentuk aktivitas bunuh diri. Niatnya adalah kematian dan
individu menyadari hal ini sebagai hasil yang diinginkan dan rentang waktu
perilaku berjangka pendek. Perilaku destruktif diri tidak langsung meliputi
setiap aktivitas yang merusak kesejahteraan fisik individu dan dapat mengarah
kepada kematian. Individu tidak menyadari tentang potensial terjadi kematian
61

akibat perilakunya dan biasanya lebih lama dari pada perilaku bunuh diri
(Stuart, 2006)
Masalah psikososial pasien mengatakan tidak pernah terlibat dalam kasus
di masyarakat seperti pencurian, selingkuh dengan suami/pacar orang, tetapi
dia dikucilkan dan selalu dibuli oleh teman-temannya, sehingga pasien
mengalami depresi dan sedikit tidak percaya dengan orang lain. Seperti
penelitian (Kartika, 2020) mengatakan masalah psikososial seperti depresi,
ansietas/cemas dan stres sering dialami oleh seseorang di usia sekolah/remaja.
Masalah tersebut bersumber dari individu, komunitas/teman sebayanya,
keluarga, penyalahgunaan narkoba, kenakalan remaja, masalah psikososial
tersebut dapat berdampak masalah risiko bunuh diri. Risiko bunuh diri
diakibatkan oleh stressor kehidupan, lingkungan dan psikologis, hal tersebut
menyebabkan seseorang dengan adanya stressor dapat berkeinginan bunuh
diri (Nock et al., 2013). Sejalan dengan penelitian (Kusumayanti, 2020)
bahwa factor psikologis mempengaruhi resiko bunuh diri pada pasien,
semakin meningkatnya faktor psikologis maka risiko bunuh diri meningkat
atau semakin menurun faktor psikologis maka risiko bunuh diir menurun.
Selain itu factor ligkungan sosial juga mempengaruhi resiko bunuh diri,
dengan faktor lingkungan sosial keluarga tinggi memiliki ide bunuh diri
rendah dan sebagian responden yang memiliki ide bunuh diri tinggi memiliki
faktor lingkungan sosial keluarga yang rendah (Rantung, 2021).
Maka berdasarkan data diatas, penulis mengambil kesimpulan antara teori
dan kasus nyata, tidak ada kesenjangan, karena data dari kasus nyata sama
dengan teori baik penyebab,tanda dan gejala.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Berdasarkan teori, setelah data terkumpul dan didokumentasikan, dalam
format pengkajian kesehatan jiwa maka seseorang perawat harus mampu
melakukan analisis data dan menetapkan suatu kesimpulan terhadap masalah
62

yang dialami pasien. Hasil kesimpulan tersebut kemudian dirumuskan


menjadi masalah keperawatan (Yusuf, dkk 2015).
Berdasarkan hasil analisa data dari pengkajian penulis mendapatkan
diagnoga yang disusun sesuai dengan panduan perumusan diagnosa yaitu:
a. Risiko Bunuh Diri berhubungan dengan Putus Asa
Risiko Bunuh Diri berhubungan dengan Putus Asa ditandai dengan
Data Subyektif: pasien mengatakan ingin bunuh diri beberapa kali
percobaan dengan cara mencoba menelan biji salak karena kangen dengan
ibunya. Pasien mengatakan tidak ada harapan terhadap dirinya di masa
depan Data Obyektif: pasien tampak sangat gelisah, pasien takut ketika
menceritakan masalah, ketika wawancara cenderung cemas dan takut.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Dewi, 2020), dimana
penelitiannya menggunakan diagnose RBD (Resiko Bunuh Diri), Alasan
masuk Tn. W dibawa ke RSJ Grhasia Yogyakarta oleh keluarganya
dikarenakan dengan Data Subyektif (DS) tibatiba klien berupaya bunuh
diri. Terdapat beberapa kali dengan menggunakan tali. Klien juga
mengatakan bahwa dirinya merasa tidak bahagia karena hidupnya
monoton. Data Objektif (DO) klien bicara lambat, kontak mata kurang
karena klien cenderung memandang satu titik, bukan memandang lawan
bicaranya. Banyak Faktor Pasien Ingin Bunuh Diri, Menurut ( Guo, 2019)
factor penyebab bunuh diri yaitu: factor biologi, factor jiwa, karakteristik
kepribadian, factor kognitif, factor perilaku, pengalaman hidup yang
negative, factor keluarga, factor social dan lingkungan, factor budaya.
b. Distres Spiritual berhubungan dengan Merasa Hidup Kurang Bermakna
Distres Spiritual berhubungan dengan Merasa Hidup Kurang
Bermakna ditandai dengan DS : Pasien mengatakan memiliki keyakinan
agama Islam, namun Cuma sekedar melakukan sholat yang dijadwalkan
oleh yayasan hafara. Tidak pernah melakukan zikir. Pasien beralasan
hidupnya tidak ada arti lagi. Jika ada masalah pasien lebih suka
memendam perasaan dan jarang berserah kepada Allah SWT untuk
63

meminta petunjuk kepada Nya. DO: Pasien lebih banyak berdiam diri
setiap kegiatan, menghindar dari orang lain, ketika diajak bicara, diam,
kurangnya kontak mata dengan lawan bicara.
Makna hidup sebagai kesadaran akan adanya satu kesempatan atau
kemungkinan yang dilator belakangi oleh realitas atau menyadari apa yang
bisa dilakukan pada situasi tertentu. Makna hadir dan penting bagi
kehidupan manusia, dan itu merupakan tanggung jawab bagi setiap
manusia untuk menemukan makna dalam kehidupan mereka, lebih
daripada menginvestasikan atau menciptakan makna hidup. Makna hidup
ditemukan di setiap detik kehidupan manusia, hidup tidak pernah berhenti
memiliki makna, meskipun dalam keadaan kritis dan bahkan kematian.
Dalam kondisi dan situasi tidak memiliki pilihan, manusia masih memiliki
kebebasan untuk memandang diri mereka sendiri dan memilih sikap
terhadap diri mereka sendiri dan situasi apapun yang terjadi pada mereka
(Putri, 2012).
Rendahnya harapan dan alasan hidup seseorang akan memungkinkan
individu tersebut mengalami depresi dan melakukan tindakan bunuh diri
(Luo et al., 2016).

3. INTERVENSI
Berdasarkan masalah keperawatan yang ditemukan saat melakukan
pengkajian penulis menyusun intervensi sesuai dengan teori pada NOC dan
NIC (2018).
a. Risiko Bunuh Diri berhubungan dengan Putus Asa, dengan NOC setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 3x pertemuan diharapakan pasien
dapat meningkatkan harapan hidup pasien dengan kriteria hasil: (Harapan,
(1201) halaman 100), mengungkapkan harapan masa depan yang positif,
mengugkapkan keyakinan, mengungkapkan keinginan untuk hidup,
mengungkapkan kepercayaan pada diri sendiri, menunjukan semangat
hidup. (Menejemen Alam Perasaan (5330) halaman 143), monitor status
64

fisik pasien, monitor fungsi kognitif, monitor kemampuan perawatan diri,


dukung pasien dimana dia dapat menoleransi, untuk terlibat dalam
interaksi sosial dan aktivitas dengan orang lain, interaksi dengan pasien
menggunakan interval (waktu) yang teratur dalam rangka menunjukkan
perhatian dan menyediakan kesempatan bagi pasien untuk membicarakan
mengenai perasaannya. Berikan ketrampilan sosial atau latihan asertif
untuk membuat keputusan, sesuai kebutuhan, evaluasi alam perasaan.
b. Distres Spiritual berhubungan dengan Merasa Hidup Kurang Bermakna,
dengan NOC setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x
pertemuan diharapakan menahan diri dari bunuh diri (1408) halamam 314,
dengan kriteria hasil pasien dapat mengekpresikan perasaan,
mengekpresikan harapan, pasien dapat mempertahankan jalinan hubungan,
menahan diri dari kumpulan alat untuk bunuh diri, mengontrol dorongan
diri, menggunakan kelompok dukungan sosial, menggunakan pelayanan
kesehatan jiwa yang tersedia baik jasmani maupun rohani. Untuk NOC
yaitu (Dukungan Spiritual (5420) halaman 101), dengarkan perasaan klien,
gunakan komunikasi terapeutik dalam membangun hubungan saling
percaya dan caring, dorong individu untuk meninjau ulang masa lalu dan
berfokus pada kejadian dan hubungan yang memberikan dukungan dan
kekuatan spiritual, tunjukkan empati terhadap ekspresi perasaan klien,
berbagi mengenai keyakinan sendiri mengenai arti dan tujuan hidup serta
perspektif spiritual dengan baik, gunakan teknik-teknik mengklarifikasi
nilai untuk membantu individu mengklarifikasi keyakinan dan nilai
dengan baik.

4. IMPLEMENTASI
Setelah dilakukan penyusunan intervensi keperawatan pada Ny.D penulis
melakukan penyusunan implementasi keperawatan berdasarkan diagnosis dan
intervensi yang tersusun.
65

Peneliti melakukan observasi tehadap pelaksanaan atau implementasi


asuhan keperawatan pada Ny.D dan peneliti menilai terdapat hubungan yang
sesuai dari pelaksanaan asuhan keperawatanNy.D dengan konsep pelaksanaan
asuhan keperawatan teori dalam buku keperawatan jiwa (Hudak, 2012).
Adapaun implementasi yang dilakukan antara lain: menyapa dengan ramah
pasien baik secara verbal maupun nonverbal, berinteraksi dengan pasien
menggunakan interval (waktu) yang teratur dalam rangka menunjukkan
perhatian dan menyediakan kesempatan bagi pasien untuk membicarakan
mengenai perasaannya, memberikan pemahaman terkait masalah yang dialami
pasien dengan cara berdoa, bersabar, dan bisa dilakukan dzikir.
Pada pertemuan pertama yang dilakukan yakni bina hubungan saling
percaya pada klien. Bina hubungan saling percaya dapat berjalan dengan
efektif dengan menggunakan komunikasi terapeutik. (Kozier, 2012)
menjelaskan bahwa penerapan komunikasi terapeutik dapat membuat pasien
puas terhadap pelayanan keperawatan. (Allender, 2014) menjelaskan bahwa
komunikasi yang efektif secara interpersonal untuk menimbulkan rasa percaya
klien yakni dengan bersikap empati dengan keadaan klien yang perawat
temui. Dengan demikian, agar dapat membuat pasien menjadi percaya dan
menceritakan apa yang dirasakan perlu bagiperawat untuk bersikap empati.
Implementasi diatas sejalan dengan penelitian yang dilakukan (Sumangkut,
2019), BHSP berperan penting dalam proses penyembuhan dan perawatan
pasien gangguan jiwa. BHSP bertujuan agar pasien gangguan jiwa bisa
merasa nyaman dengan perawat, dan menimbulkan rasa percaya kepada
perawat. Ketika sudah terjalin kepercayaan kepada pasien gangguan jiwa,
secara otomatis pasien gangguan jiwa akan terbuka untuk menceritakan
perasaan dan masalah yang dialami oleh pasien gangguan jiwa. Sehingga
dengan membina hubungan saling percaya antara perawat dan pasien
gangguan jiwa, perawat dengan mudah menangani dan merawat pasien
gangguan jiwa, dan pasien gangguan jiwa pun bisa memahami dan mengikuti
arahan atau perintah dari perawat. Dengan terjalinnya hubungan saling
66

percaya atau BHSP perawat dengan pasien gangguan jiwa, maka untuk
menerapkan komunikasi terapeutik sangat mudah dan efektif dengan begitu
maka terciptanya rasa kepercayaan pasien terhadap perawat. Salah satu solusi
peredaman bunuh diri adalah dengan menggunakan terapi pendampingan
psikososial atau terapi pendampingan berbasis keluarga. Penurunan risiko
bunuh diri dalam penelitian ini adalah ketika pada episode depresi subjek
tidak berpikir untuk melakukan upaya bunuh diri namun langsung mencari
bantuan dan pada saat episode mania ia tidak melakukan hal- hal ekstrim yang
mengancam jiwa.
Memberikan saran dan wawasan lain-lainnya melalui komunikasi
teraupetik tentang pentingnya dia konsep sabar, tawakal, ikhtiar dll.nasehat,
tausyiah, sugesti, dzikir.
Ketenangan dan ketentraman dapat diperoleh dengan perjalanan rohani,
yang melalui tahap: (1) upaya mengalihakan hati yang sakit menjadi hati yang
sehat.(2) memberikan bekal harian yang lazim disertai dengan santapan yang
dibutuhkan setiap saat,sehingga hati mampu memelihara dan mempertahankan
kondisi keimanan yang tinggi. Dengan kata lain setiap orang harus melakukan
dan mempertahankan proses atau kondisi rohaniah yang sedemikian lamanya,
hingga akhirnya menjumpai Allah. ‘’Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang
Tuhanmu yang diyakini ( QS Al Hijr 99), yaitu maut dan ajal. Dan jalan
menuju perbaikan hati adalah ilmu dan amal. Dzikir menduduki peringkat
pertama dalam amal tersebut. Itulah tiga perkara penting: ilmu, amal, dzikir
(Muhajir, 2016).
Spiritualitas merupakan bentuk keyakinandalam hubungan dengan Yang
Maha Kuasa, keyakinan spiritual akan menjadikan seseorang memper
tahankan keharmonisan, keselarasan dengan dunia luar. Keyakinan spiritual
dapat mempengaruhi tingkat kesehatan dan prilaku dalam perawatan pasien.
Terpenuhinya kebutuhan spiritual apabila seseorang tersebut mampu
mengembangkan rasa syukur, sabar sertaikhlas (Triyani, 2019).
Model-model terapi yang dinilai efektif dalam meningkatkan
67

keberfungsian sosial maupun menurunkan risiko bunuh diri memiliki


kesamaan yaitu, adanya keterlibatan orang lain secara fisik maupun
emosional, menekankan sifat afeksi (perhatian, dukungan, dan rasa kasih
sayang) sebagai kunci utama pendampingan, serta melakukan penyaluran
energi dan perasaan negatif ke arah yang positif. Makna hidup terdiri dari tiga
konsep utama yaitu nilai creative values (nilai kreatif), experintal values (nilai
penghayatan), dan attitudinal values (nilai bersikap). Nilai kreatif adalah nilai
yang didapatkan melalui kontribusi seseorang dalam hidup dan dapat juga
terdiri dari kontribusi yang dilakukan oleh seseorang yang membuat individu
tersebut merasakan bahwa dia menjadi bagian dari hidup yang bermakna.
Nilai penghayatan sering disebut sebagai berkah yang diterima dalam hidup,
Dengan menjadi tulus dan baik, manusia mampu merasakan makna. Nilai
penghayatan makna hidup bukanlah aspek yang digali dengan cara lain seperti
observasi. Makna hidup adalah aspek yang cukup privat dan bersifat subjektif
sehingga hanya individu itu sendiri yang dapat mengetahui seutuhnya (Putri,
2012). Relation with self (hubungan dengan diri sendiri) Hubungan dengan
diri sendiri merupakan bagaimana seseorang tersebut menilai dirinya sendiri.
Seseorang yang memiliki penerimaan diri yang baik terhadap penyakit yang
dideritanya dapat melakukan introspeksi diri, sehingga dapat mengambil
hikmah dibalik setiap kejdian yang dialaminya. Dengan demikian hal tersebut
dapat menimbulkan rasa syukur dan menjadikanya sebagai sumber kekuatan
meskipun merasa sakit (Nur’aeni, 2013). Terdapat hal yang berhubungan
dengan penerimaan diri ini, diantaranya pengalaman negatif terkait
penderitaan fisik maupun pengobatan, hal ini penting karena aspek kesehatan
fisik merupakan salah satu sumber kekuatan yang dimiliki.

Relation with other (hubungan dengan orang lain) Hubungan dengan


orang lain atau aspek sosial merupakan aspek yang juga sangat berperan
dalam mempengaruhi aspek spiritualitas seseorang. Perhatian dan kasih
sayang dari keluarga, teman dan lingkungan terdekat dapat menjadi sumber
68

kekuatan dan kebahagian tersendiri bagi seseorang yang sedang mengalami


kesakitan. Selain itu berada ditengah tengah orang terdekat dapat
menimbulkan perasaan bermanfaat bagi orang lain meskipun dalam keadaan
sakit (Nuraeni, 2013). Transcendence (hubungan dengan tuhan) Aspek ini
merupakan aspek yang sering disalah artikan sebagai satu satunya hal yang
mempengaruhi spiritualitas seseorang. Doa dan ritual agama dapat
memberikan ketenangan dan merupakan bagian terpenting dalam kehidupan
seseorang (Kozier, 2006). Selain itu, doa dan ritual agama dapat
membangkitkan harapan dan rasa percaya diri pada seseorang yang sakit dan
dapat meningkatkan kekebalan tubuh sehingga mempercepat proses
penyembuhan (Hawari, 2013).

5. EVALUASI
Evaluasi yang sesuai dengan landasan teori adalah melakukan identifikasi
sejauh mana dari rencana keperawatan tercapai atau tidak, dimana evaluasi ini
menggunakan format SOAP (subjektif, objektif, assesmen, plaining) Dinarti,
(2013), hasil evaluasi yang didapatakan pada kedua diagnosa antara lain:
a. Risiko Bunuh Diri berhubungan dengan Putus Asa hasil evaluasi antara
lain data subyektif : pasien mengatakan apakah bisa bertemu dengan
mamaknya nanti? Dari kemaren sudah tidak kangen lagi dengan
mamaknya seperti kemaren-kemaren. obyektif : pasien kooperatif dari hari
sebelumnya, pasien tampak ceria, pasien banyak memberikan respon, aktif
berinteraksi dengan pasien lain, pasien mengikuti rehabilitasi dan senam
pagi hari ini dan terapi bernyanyi. Assesment : masalah teratasi sebagian.
Planning: lanjutkan intervensi, mengajak pasien untuk selalu bersemangat
menjalani aktivitas sehari-hari karea sumber kebahagiaan ada di dalam diri
sendiri dan yang menciptakan diri sendiri, memberikan terapi aktivitas
rekreasi dan diversional (misalnya, bernyanyi kelompok, menggambar,
bermain bola kertas, menonton), memonitor respon emosi, fisik, dan
sosial.
69

b. Distres spiritual berhubungan dengan Merasa Hidup Kurang Bermakna,


hasil evaluasi didapatkan yaitu data subyektif pasien mengatakan
memasrahkan semua masalah kepada Allah SWT, pasien mengatakan
ingin berubah menjadi manusia yang lebih baik, pasien berjanji untuk
melakukan sholat 5 waktu dan sering melakukan zhikir, pasien
mengatakan ingin cepat pulang. Data obyektif: pasien tampak antusias,
pasien tampak gembira, pasien tampak lebih lega bisa menceritakan
masalah-masalah yang dialami, pasien sudah bagus untuk melakukan
kontak mata, pasien sudah menggunakan jilbab yang sebelumnya tidak
menggunakan jilbab. Assement : masalah teratasi sebagian. Planning :
dorong pasien untuk selalu melaksanakan sholat 5 waktu dan dzikir dan
berserah diri kepada Allah SWT.

6. TERAPI SPIRITUAL SEBAGAI TINDAKAN KEPERAWATAN


UTAMA
Tindakan keperawatan utama yang digunakan saat implementasi
pasien yang memiliki masalah keperawatan resiko bunuh diri yaitu terapi
spiritual, terdapat perubahan yang signifika pada pasien setelah diberikan
terapi spiritual, dari awalnya pasien mengatakan ingin bunuh diri karena
sangat rindu dengan ibunya dan pasien sholat Cuma sekedar mengikuti
kegiatan yang sudah dijadwalkan, tidak pernah zhikir dan Pasien beralasan
hidupnya tidak ada arti lagi, jika ada masalah pasien lebih suka memendam
perasaan dan jarang berserah kepada Allah SWT untuk meminta petunjuk
kepada Nya dan pasien tampak sangat gelisah, pasien takut ketika
menceritakan masalah, ketika wawancara cenderung cemas dan takut dan
pasien lebih banyak berdiam diri setiap kegiatan, menghindar dari orang lain,
ketika diajak bicara, diam, kurangnya kontak mata dengan lawan bicara.
Kemudian setelah dilakukan terapi spiritual (Memberikan nasehat, tausyiah,
sugesti, dzikir, saran dan wawasan lain-lainnya melalui komunikasi teraupetik
tentang pentingnya dia konsep sabar, tawakal, ikhtiar dll, mengajari dan
70

mengawasi zhikir) selama 3 hari terdapat perubahan yang signifikan pada


pasien mengatakan memasrahkan semua masalah kepada Allah SWT dan
tidak ingin bunuh diri lagi, pasien mengatakan ingin berubah menjadi manusia
yang lebih baik, pasien berjanji untuk melakukan sholat 5 waktu dan sering
melakukan zhikir, pasien mengatakan ingin cepat pulang. Pasien tampak
antusias, pasien tampak gembira, pasien tampak lebih lega bisa menceritakan
masalah-masalah yang dialami, pasien sudah bagus untuk melakukan kontak
mata, pasien sudah menggunakan jilbab yang sebelumnya tidak menggunakan
jilbab. Kelanjutan dari intervensi dan implementasi ini akan diteruskan oleh
perawat yang merawat pasien di Panti Hafara agar tidak terputusnya
perubahan pada pasien selama mendapatkan terapi spiritual dari peneliti,
kemudian tidak hanya satu pasien, terapi spiritual diterapkan sebagai tindakan
keperawatan khususnya untuk pasien yang memiliki masalah keperawatan
resiko bunuh diri.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Muhajir (2016) yaitu
memberikan intervensi keperawatan yang dilakukan pada masalah
keperawatan risiko bunuh diri yaitu membina hubungan saling percaya, klien
dapat mengepresikan perasaannya dengan perencanaan bersifat hargai dan
bersahabat dan bersikap empati. Intervensi inovasi yang dilakukan adalah
SP1P melalui tindakan terapi pendekatan Spiritual, implementasi pada Tn,
M.A dengan diagnosa keperawatan risiko bunuh diri dilakukan selama tiga
hari, tindakan dilakukan sesuai dengan intervensi yang disusun. Semua
intervensi keperawatan diimplementasikan sesuai dengan kondisi klien,
kemudian hasil setelah dilakukan tindakan terapi pendekatan Spitual
menunjukkan bahwa ada terjadi penurunan keinginan bunuh diri dari rentang
respon bunuh diri (Maladaptif) menjadi Beresiko destruktif sampai
peningkatan diri (Adaptif). Hal tersebut menjadi indikator pasien dapat
mengontrol keinginan bunuh diri yang dialami dengan masalah resiko bunuh
diri.
Hasil penelitian (Hidayati, 2021) yaitu menjelaskan aspek spiritual ini
71

memiliki fungsi memberikan ketenangan, dan memperbaiki perilaku.


Spiritualitas terhubung dengan fungsi psikologis, keyakinan dan kesadaran
pada individu dan keterhubungannya dengan akhirat.
Terapi spiritual islami mengacu kepada konsep pensucian jiwa
(Tazkiyatunnufus) Imam Al-Ghazali. Beliau membagi 3 tahap pensucian jiwa,
yaitu:takhali (tahap pensucian diri), tahalli (tahap pengembangan diri), dan
tajali (tahap penemuan diri) a). Takhalli (pensucian diri). Tahap ini bertujuan
untuk membersihkan diri dari sifat-sifat buruk, negative thinking, dan segala
kebiasaan-kebiasaan buruk yang dilakukan manusia. Ada tiga cara yang dapat
dilakukan untuk mensucikan diri, seperti: Mandi taubat, shalat taubat, dan
memperbanyak istighfar kepada Allah Swt. b). Tahalli (pengembangan diri).
Pada tahap ini manusia dilatih untuk mengembangkan potensi-potensi positif
yang ada dalam dirinya dengan membangun nilai-nilai kebaikan dan
kebermaknaan dalam hidupnya; dan c). Tajalli (penemuan diri). Pada tahap ini
manusia telah mengenali dirinya. Ada 4 masalah pokok yang kenali pada
tahap ini, yaitu: siapa diri manusia; darimana manusia berasal; untuk apa
manusia ada dan kemana setelah manusia tiada. Keempat hal tersebut
terintegrasi dalam satu kata kunci, yaitu terbangunnya paradigma Ilahiyah
dalam diri manusia. Adapun terapi spiritual islami bersifat: a) pleksibel, yaitu
dapat dilakukan kapan saja baik secara individual maupun secara kelompok;
b) preventif, yaitu: dapat dilakukan bagi setiap orang yang tidak menderita
penyakit psikologis; c) kuratif, yaitu dilakukan dalam rangka pengobatan atau
penyembuhan bagi orang yang mengalami penyakit psikologis; d) rehabilitasi,
yaitu tahap pemulihan bagi setiap orang yang baru pulih dari penyakitnya
(Razak, 2014).

Tingkat Suicide Ideation (SI) juga dapat diturunkan dengan Private


Religious Practice (PRP) dan Religious Support (RS), dengan menerapkan
PRP dan RS ini dapat meminimalisir gejala-gejala depresi sehingga pada
agama digunakan sebagai target utama dalam intervensi pencegahan bunuh
72

diri (Cole-Lewis, 2016). Berdasarkan systematic review mengungkapkan


memberikan akses komunitas agama pada individu yang memiliki ide untuk
bunuh diri merupakan hal yang perlu dilakukan yang dimaksudkan untuk
mendukung harapan hidup mereka. Akan tetapi perlu diperhatikan afiliasi
agama tiap individu yang berbeda-beda (Lawrence, 2016 dalam Litaqia,
2019).
Agama dinilai dapat melindungi keinginan seseorang untuk melakukan
bunuh diri. Penelitian sebelumnya memiliki kesulitan dalam penelitiannya
dikarenakan ada banyaknya dimensi dalam agama (afiliasi, partisipasi, dan
doktrin). Selain itu dimensi bunuh diri lainnya seperti (ide, usaha, dan
penyelesaian). Risiko bunuh diri yang paling besar dialami oleh individu
dengan pengalaman mengetahui orang terdekatnya yang melakukan tindakan
bunuh diri ataupun meninggal dengan bunuh diri. Pengalaman bunuh diri
memungkinkan seorang individu memiliki perubahan sikap terhadap ide
bunuh diri dan hal ini perlu untuk diselidiki. Kebutuhan dalam memahami
sikap pribadi individu terhadap individu yang memiliki pengalaman
mengetahui kejadian kematian bunuh diri ini dapat diindetifikasi agar dapat
dikembangkannya intervensi dalam pencegahan tindakan bunuh diri (Pitman,
2017).

BAB V
PENUTUP

A. KESIMPULAN
73

Berdasarkan hasil penelitian observasi pasien Ny. D yang dirawat di Panti


Hafara Bantul Yogyakarta dengan diagnosa medis Skizofrenia dilakukan
pengkajian hingga evaluasi, peneliti dapat mengambil kesimpulan dan saran
sebagai berikut :
1. Hasil pengkajian telah ditemukan masalah Resiko Bunuh Diri dan Distres
Spiritual
2. Diagnosa yang muncul Resiko Bunuh Diri dan Distres Spiritual
3. Untuk intervensi yang digunakan pada pasien sudah menggunakan standar
intervensi Nursing Intervention Classification (NIC) tahun 2018, dengan
intervensi Harapan, Menejemen Alam Perasaan, Menahan Diri dari Bunuh
Diri, Dukungan Spiritual.
4. Tindakan keperawatan pada pasien disesuaikan dengan rencana tindakan
yang telah penulis susun sesuai dengan asuhan keperawatan jiwa.
Tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien sesuai dengan rencana
keperawatan yang telah direncanakan berdasarkan teori yang ada dan
disesuaikan dengan kebutuhan dengan masalah-masalah keperawatan yang
dialami pasien.
5. Evaluasi pada pasien berdasarkan kriteria yang peneliti susun pada kasus
Resiko Bunuh Diri dari 2 diagnosa keperawatan yang ditegakkan, satu dari
diagnosa keperawatan yang pencapaiannya hampir maksimal sesuai
dengan rencana keperawatan, yaitu diagnosa distress spiritual, setelah
evaluasi pasien mengalami perubahan yang sighnifikan. Sedangkan untuk
diagnosa resiko bunuh diri teratasi sebagian.
6. Terapi spiritual sebagai intervensi pada pasien dengan masalah
keperawatan resiko bunuh diri terdapat perubahan yang signifika pada
pasien setelah diberikan terapi untuk pasien resiko bunuh diri.
B. SARAN
Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti dapat digunakan sebagai salah
73
satu bahan pembelajaran dan acuan bagi perawat dalam memberikan asuhan
keperawatan secara komprehensif dan profesional khususnya pada pasien
74

ganggguan jiwa.
1. Bagi Panti Hafara Bantul Yogyakarta
Dengan adanya mahasiswa penelitian ini, diharapkan tersedianya buku
rekam medis setiap satu pasien, tidak hanya catatan perawat saja untuk
memudahkan melihat perkembangan dan mengakses data pasien.
Kemudian terapi spiritual dapat ditingkatkan lagi untuk kegiatan pasien
yang ada di panti hafara.
2. Bagi STIKes Surya Global Yogyakarta
Laporan Karya Tulis Akhir ini diharapkan menjadi referensi tambahan
yang bermanfaat khususnya bagi mahasiswa keperawatan serta dapat
dijadikan sumber rujukan bagi penulis yang akan datang tentang asuhan
keperawatan terhadap pasien dengan gangguuan jiwa khususnya untuk
masalah bunuh diri.
3. Bagi Ilmu Keperawatan
Sebagai bahan masukan dalam proses belajar mengajar dan menjadi
referensi tambahan sehingga dapat menerapkan tindakan terapi Spiritual
(membaca alquran) dalam pelaksanaan asuhan keperawatan dengan pada
klien risiko bunuh diri.
4. Bagi Peneliti
Diharapkan dapat memberikan intervensi inovasi lainnya dalam
penurunan resiko bunuh diri.

DAPTAR PUSTAKA

Aini, K. Mariyati. 2020. Pengalaman Perawat Unit Perawat Intensif Psikiatri Dalam
Merawat Klien dengan Resiko Bunuh Diri. Jurnal Keperawatan Jiwa Volume 8
75

No 1, Hal 89 - 96, Februari 2020.


https://jurnal.unimus.ac.id/index.php/JKJ/article/view/5064/pdf#. Diakses pada
10 Oktober 202.

Allender, J.A, Rector, C, & Warner, A.D. 2014. Community and public health
nursing: promoting the public’s health. Philadelphia: Lippincott William &
Wilkins.

Anshori, M.H. 1995. Kamus Psikologi. Usaha Kanisius: Surabaya.

Ardian, I. 2016. Konsep Spiritualitas Dan Religiusitas (Spiritual And Religion)


Dalam Konteks Keperawatan Pasien Diabetes Melitus Tipe 2. Jurnal
Keperawatan dan Pemikiran Ilmiah. 2 (5).1-9.
https://www.researchgate.net/publication/323240995_SPIRITUAL_AND_REL
IGION_CONCEPT_IN_NURSING_FOR_DIABETIC_MELITUS_PATIENTS
. Diakses pada 10 Oktober 2021.

Banfatin. F.F. 2013. Identifikasi Peningkatan Keberfungsian Sosial dan Penurunan


Risiko Bunuh Diri bagi Penderita Gangguan Kesehatan Mental Bipolar
Disorder di Kota Medan melalui Terapi Pendampingan Psikososial. Jurnal
Ilmiah Kesehatan Vol. 14 No. 2, September 2013, Page 110-115. Diakses pada
25 Desember 2021.

Bulechek, G.M, dkk. 2016. Nursing Intervention Classifications (NIC) edisi 6.


Mocomedia: Elsevier.

Caroline, W. 2016. Psikologi edisi 9. Erlangga : BukuKita.com

Cole, Y.C.L, dkk. 2016. Protective Role of Religious Involvement


AgainstDepression and Suicidal Ideation Among Youth with Interpersonal
Problems. J. Relig. Health 55, 1172–1188.
https://doi.org/10.1007/s10943-016-0194-y. Diakses pada 27 Desember 2021.

Dalamislam, R. 2021. 10 Cara Agar Hati Tenang Menurut Islam.


https://dalamislam.com/dasar-islam/cara-agar-hati-tenang-dalam-islam. Diakses
Pada 11 Oktober 2021.

Dewi, I.W.P. Erawati, E. 2020. Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Klien Skizofrenia
dengan Resiko Bunuh Diri. Jurnal Keperawatan Jiwa Volume 8 No 2 Hal 211 -
216, Mei 2020. https://core.ac.uk/download/pdf/327119171.pdf. Diakses pada
10 Oktober 2021.

Durkhein, E. 2002. Suicide, A Study in Sociology. Publishing : Glencoe III :Free


Press
76

Elin, A. E., 2016. ISO Farmakoterapi. PT ISFI: Jakarta.

Ellis, T.E. & Rutherford. 2008. Cognitive and Suicede. Teori Ekologi.

Guo, M. & Zou. 2019. Tinjauan Pustaka Bunuh Diri.


https://repository.unair.ac.id/110403/5/5.%20BAB%202%20TINJAUAN
%20PUSTAKA%20.pdf. Diakses Pada 27 Desember 2021.

Harian Nasional. 2018. http://www.harnas.co/2018/11/11/gangguan- jiwa-rentan-


picu-bunuh-diri. Diakses Pada 08 Oktober 2021.

Hawari, D. (2013). Manajemen stres, cemas dan depresi. Jakarta: Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia.

Herdman. T. 2017. Diagnosa Keperawatan (NANDA Edisi 10). Jakarta: EGC.

Hudak & Gallo, 2012. Keperawatan Kritis: Pendekatan Asuhan Holistic Vol 1.
Jakarta: EGC.

Isaac. 2015. Panduan Belajar Keperawatan Kesehatan Jiwa & Psikiatrik. Edisi 3.
EGC: Jakarta.

Kartika, C. A., Alfianto, A.G., Kurniyanti, M. A. 2020. Pertolongan Pertama


Kesehatan Jiwa Pada Siswa Dengan Masalah Psikososial Yang Berisiko Bunuh
Diri. Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa Volume 3 No 2, Hal 161 – 172, Mei 2020.
https://core.ac.uk/download/pdf/327188779.pdf. Diakses pada 27 Desember
2021.

Kozier,B., Glenora E., & Audrey, B. 2010. Buku Ajar Fundamental Keperawatan
( Alih bahasa : Esty Wahyu ningsih, Devi yulianti, yuyun yuningsih. Dan Ana
lusyana ). Jakarta: EGC.

Kushariyadi. 2011. Asuhan keperawatan pada klien lanjut usia. Jakarta: Salemba
Medika

Kusumayanti, N.K.D.W. & Swedarma, K.E. & Nurhesti, P.O.Y. Hubungan Faktor
Psikologis Dengan Risiko Bunuh Diri Pada Remaja Sma Dan Smk Di Bangli
Dan Klungkung. Community of Publishing In Nursing (COPING), p-ISSN
2303-1298, e-ISSN 2715-1980 Volume 8, Nomor 2, Agustus 2020.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/coping/article/download/62225/36618. Diakses
Pada 28 Desember 2021.

Loureiro, A.C.. dkk. 2018. The Influence of Spirituality and Religiousness on Suicide
Risk and Mental Healt of Patients Undergoing Hemodialysis. A.C.T. Loureiro et
al./ Comprehensive Psychiatry 80 (2018) 39-45.
77

https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/28972917/. Diakses pada 08 Oktober 2021.

Luo, X. dkk. 2016. Reasonsfor living and hope as the protective factors against
suicidality in Chinese patients with depression: a cross sectional study:
BMC Psychiatry 16. https://doi.org/10.1186/s12888-016-0960-0. Diakses pada
27 Desember 2021.

Maramis, W.F. 2015. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi ke-2, Air Langga
University Press: Surabaya.

Muhajir. 2016. Analisis Praktik Klinik Keperawatan Jiwa Pada Pasien Resiko Bunuh
Diri Dengan Pemberian Terapi Pendekatan Spritual Terhadap Penurunan
Keinginan Bunuh Diri Di Ruang Elang Rsjd Atma Husada Mahakam
Samarinda. Karya Tulis Akhir Profesi.
https://dspace.umkt.ac.id/bitstream/handle/463.2017/807/MUHAJIR.pdf?
sequence=1&isAllowed=y. Diakses Pada 28 Desember 2021.

Moorhead, S., dkk. 2013. Nursing Outcomes Clasifications (NOC) edisi 5.

Mocomedia: Elsevier.Mulyani,A. Eridiana,W. 2019. Faktor-Faktor yang


melatarbelakangi Fenomena Bunuh Diri di Gunung Kidul. Sosiates (2019) 8(2).
https://www.mendeley.com/catalogue/7bb474c4-9dc3-3fe5-803c-
72eaea720327/. Diakses pada 09 Oktober 2021.

Nainggolan, D. 2021. Kajian Teologis Terhadap Tindakan Bunuh Diri. Jurnal Luxnos
Volume 7 nomor 1 2021.
https://luxnos.sttpd.ac.id/index.php/20_luxnos_20/article/view/dapot_2021/
dapot_2021. Diakses pada 26 Desember 2021.

Ningrum, D.C. & Irwati, K. 2020. Keluhan Pasien Skizofrenia saat Melakukan Sholat
dan Dzikir di Rumah Sakit Jiwa Ghrasia. Proceedings The 1st UMY Grace 2020
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Undergraduate Conference.
https://prosiding.umy.ac.id/grace/index.php/pgrace/article/view/19/17. Diakses
pada 26 Desembr 2021.

Nock, M. K. dkk. 2013. Suicide among soldiers: A review of psychosocial risk and
protective factors. Psychiatry (New York).
https://doi.org/10.1521/psyc.2013.76.2 .97. Diakses pada 27 Desember 2021.

Notoatmodjo, S. 2018. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta

Nuraeni, A. & Suryani H. 2014. Persepsi Perawat Dan Pasien Sindrom Koroner Akut
Terhadap Kebutuhan Spiritual. Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia, 10(1).
https://luxnos.sttpd.ac.id/index.php/20_luxnos_20/article/view/dapot_2014/
dapot_2014. Diakses pada 27 Desember 2021.
78

Nurarif, A. H. & Kusuma, H. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis dan NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: Mediaction.

Pramono, H. Sadarwati & Rohmadi, H. 2021. Gambaran Diagnosis Keperawatan di


IGD RSJ Grhasia Yogyakarta. Jurnal Ilmiah Kesehatan Vol. 14 No. 2,
September 2021, Page 110-115.file:///C:/Users/user/Downloads/580-Article
%20Text-1293-1-10-20210924.pdf. Diakses pada 08 Oktober 2021.

Putri,P.K. & Ambarini, T.K. 2012. Makna Hidup Penderita Skizofrenia Pasca Rawat
Inap . Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental 118 Vol. 1 No. 03,
Desember 2012 . http://www.journal.unair.ac.id/download-fullpapers-
jpkk43b5ca41cbfull.pdf. Diakses pada 27 Desember 2021.

Rantung, G.M.V. Pangemanan, D.H.C. & Bidjuni, H.J. 2021. Hubungan Faktor
Lingkungan Sosial Dengan Ide Bunuh Diri Pada Remaja Di Kabupaten
Minahasa Provinsi Sulawesi Utara. Jurnal Keperawatan, Volume 9, No. 2,
Agustus 2021, (Hal. 71-76).
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jkp/article/download/36783/34204.
Diakses pada 28 Desember 2021.

Razak,A. Mokhtar, M.K. & Sulaiman, S.W.S. 2014. Terapi Spiritual Islami : Suatu
Model Penanggulangan Gangguan Depresi. Intuisi Jurnal Ilmiah Psikologi 6 (2)
(2014).
https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/INTUISI/article/view/13313/7370.
Diakses Pada 28 Desember 2021.

Rohmah. 2021. Analisis Asuhan Keperawatan Jiwa dengan Masalah Bunuh Diri di
Wisma Srikandi RSJ Grhasia Yogyakarta. Hal. 3

Sadock, B. J. & Sadock, V. A. 2010. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri
Klinis. 2nd edn. Edited by H. Muttaqin and R. N. E. Sihombing. Penerbit
Buku Kedokteran EGC.

Saputri, R. & Rahayu,D.A. 2020. Penurunan Resiko Bunuh Diri Dengan Terapi
Relaksasi Guided Imagery Pada Pasien Depresi Berat. Ners Muda, Vol 1 No 3,
Desember 2020/ page 165-171. file:///C:/Users/user/Downloads/6212-17444-1-
PB.pdf. Diakses Pada 28 Desember 2021.

Shafwan,M.W. 2000. Wacana Spiritual Timur dan Barat. Penerbit Qalam:


Yogyakarta, hlm. 7

Sadock, B, B. 2015. Synopsis of Psychiatry Behavioral Sciences Clinical Psychyatry


10th edition. Lippincott William & wilknis. USA.
79

Stuart. 2006. Keperawatan Psikitrik: Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 5. Jakarta:
EGC.

Stuart, G. W. 2013. Principle and practice of Psychiatric nursing, 10th Edition. In St.
Louis.

Stuar, L. 2015. Buku Saku Keperawatan Jiwa. EGC: Jakarta.

Sugiyono. 2018. Metode Penelitian Pendidikan. Alfabeta : Bandung.

Syafinidawaty. 2020. Pengertian Observasi.


https://raharja.ac.id/2020/11/10/observasi/. Diakses pada 24 Desember 2021.

Tim Keperawatan Univ. Esa unggul, 2020. Modul Asuhan Keperawatan Pada Klien
Resiko Bunuh Diri. https://digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Course-9724-
MODUL%20%20RESIKO%20BUNUH%20DIRI.Image.Marked.pdf. Diakses
pada 09 Oktober 2021.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1988, hlm. 857

Triyani, F.A. & Dwidiyanti,M. & Suerni,T. 2019. Gambaran Terapi Spiritualpada
Pasien Skizofrenia:Literaturreview. JurnalIlmu Keperawatan JiwaVolume2No1,
Hal19–24,Mei2019.
https://journal.ppnijateng.org/index.php/jikj/article/view/250/171. Diakses Pada
28 Desember 2021.

Varcarolis, E. 2006. Psychiatric Nursing Clinical Guide; Assesment Tools and


Diagnosis. Philadhelpia: W.B Saunders Co.

Yaseda, G. Y., Noorlayla, S. F., & Effendi, M. A. (2013). Hubungan Peran Perawat
dalam Pemberian Terapi Spiritual terhadap Perilaku Pasien dalam Pemenuhan
Kebutuhan Spiritual di Ruang ICU RSM Ahmad Dahlan Kota Kediri. Jurnal
Ilmiah Kesehatan, 2(2), 41–49. Retrieved from
http://jurnal.strada.ac.id/sjik/index.php/sjik/article/view/53

Anda mungkin juga menyukai