DISUSUN OLEH :
SITI MARIATUL KIFTI’AH
071202028
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat,
taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan Laporan kegiatan
keperawatan jiwa dengan baik dan lancar. Laporan ini disusun untuk mendokumentasikan
kegiatan praktik klinik keperawatan jiwa oleh Mahasiswa Ners di Universitas Ngudi Waluyo
Tahun Pembelajaran 2021. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini dapat
terselesaikan berkat bimbingan dan dukungan dari beberapa pihak. Pada kesempatan kali ini
penulis bermaksud menyampaikan rasa terima kasih kepada pihak-pihak yang telah mendukung,
memotivasi, serta membimbing dalam menyelesaikan laporan ini. Terima kasih penulis haturkan
kepada :
DAFTAR ISI
I. COVER…………………………………………………………………………………
II. KATA PENGANTAR………………………………………………………………….
III. DAFTAR ISI …………………………………………………………………………..
A. BAB 1 : PENDAHULUAN……………………………………………………………….
1. Latar Belakang…………………………………………………………………….
2. Tujuan………………………………………………………………………………
3. Manfaat…………………………………………………………………………….
B. BAB II :ISI JURNAL………………………………………………………………………
1. Judul Artikel……………………………………………………………………….
2. Penulis /Penelitian…………………………………………………………………...
3. Nama Jurnal…………………………………………………………………………..
4. Ringkasan Jurnal ……………………………………………………………………
C. BAB III: PEMBAHASAN…………………………………………………………………..
1. Analisis Jurnal……………………………………………………………………….
2. Implikasi Keperawatan……………………………………………………………..
3. Kelebihan dan Kekurangan………………………………………………………..
D. BAB IV :PENUTUP…………………………………………………………………………
1. Kesimpulan …………………………………………………………………………
2. Saran…………………………………………………………………………………
E. DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………..
BAB 1
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Menurut Undang Undang No.18 tahun 2018 kesehatan jiwa adalah kondisi
dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial
sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan,
dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya.
Kesehatan jiwa yang baik bagi individu merupakan kondisi individu tersebut terbebas
dari segala jenis gangguan jiwa, dan kondisi individu dapat berfungsi secara normal
dalam menjalankan hidupnya khususnya dalam menyesuaikan diri untuk menghadapi
masalah-masalah yang mungkin ditemui sepanjang hidupnya. Kesehatan jiwa masih
menjadi salah satu permasalahan kesehatan yang signifikan di dunia, termasuk di
Indonesia. Menurut data WHO tahun 2017, terdapat sekitar 300 juta orang terkena
depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta orang terkena skizofrenia, serta 47,5 juta
orang terkena demensia. Menurut data Riskesdas (2013), prevalensi gangguan jiwa berat
di Indonesia yaitu 1,7 per mil dan prevalensi ganggunan mental emosional dengan gejala
depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 14 juta orang atau
6% dari jumlah penduduk Indonesia.
Masalah kesehatan jiwa dapat diakibatkan oleh berbagai hal, misalnya karena
masalah fisik seperti karena kecelakaan, fraktur, amputasi, kerusakan penampilan wajah,
ulkus, serta kehilangan fungsi bagian tubuh (Keliat,2013). Hasil penelitian Putri (2012)
diketahui bahwa adanya hubungan antara kesehatan jiwa dan fisik, dimana pada individu
yang sakit secara fisik menunjukkan adanya masalah psikis hingga gangguan jiwa.
Sebaliknya, individu dengan gangguan jiwa juga menunjukkan adanya gangguan fungsi
fisiknya. Masalah kesehatan jiwa salah satunya yaitu masalah psikososial. Masalah
psikososial merupakan masalah yang bersifat psikologis atau sosial yang timbul karena
adanya tekanan, masalah dan perubahan dalam diri individu yang memberikan pengaruh
timbal balik dan dianggap berpotensi sebagai faktor penyebab gangguan jiwa (Kemenkes,
2012).
Penyebab terjadinya masalah psikososial salah satunya akibat masalah fisik
seperti fraktur ekstremitas bawah. WHO (2011), mencatat kejadian fraktur ekstremitas
akibat kecelakaan lalu lintas tahun 2011 sebanyak 1,3 juta jiwa. Sebanyak 67%
merupakan penduduk usia produktif. Estimasi kecelakaan lalu lintas di Indonesia per
100.000 populasi mencapai 17,7%. Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, tercatat
sebanyak 4.888 jiwa (5,8%) mengalami fraktur.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa masalah kesehatan akibat fraktur masih cukup
besar. Menurut Kemenkes RI (2011), dari sekian banyak kasus fraktur di Indonesia,
fraktur pada ekstremitas bawah memiliki prevalensi yang paling tinggi diantaranya
sekitar 46,2%. Dari 45.987 orang dengan fraktur ekstremitas bawah akibat kecelakaan,
16.629 orang mengalami fraktur femur, 14.027 orang mengalami fraktur cruris, 3.775
orang mengalami fraktur tibia, 970 orang mengalami fraktur pada tulang-tulang kecil
dikaki dan 336 orang mengalami fraktur fibula.
Tanda dan gejala pada pasien yang mengalami fraktur terbuka ekstremitas bawah
yaitu adanya nyeri, deformitas, hematoma yang jelas, edema berat, terganggunya
integritas integumen yang akan berisiko terjadinya infeksi dan waktu penyembuhannya
lebih lama daripada fraktur tertutup. Pada pasien fraktur terbuka atau kominutif dapat
ditangani dengan pemasangan traksi (fiksator) internal atau eksternal. Dengan adanya
pemasangan alat, adanya keterbatasan gerak pada pasien fraktur, perawatan yang
mengharuskan pasien tirah baring dalam waktu lama, kelemahan fisik, adanya luka akan
dapat menimbulkan terjadinya perubahan pada konsep diri pasien salah satunya citra
tubuh, walaupun tidak semua pasien fraktur terbuka ekstremitas bawah akan mengalami
gangguan konsep diri (Brunner, 2017).
Konsep diri terdiri dari harga diri, ideal diri, peran diri, identitas diri dan citra
tubuh. Citra tubuh merupakan sekumpulan dari sikap individu yang disadari dan tidak
disadari terhadap tubuhnya, termasuk persepsi masa lalu dan sekarang, serta perasaan
tentang struktur, bentuk dan fungsi tubuh (Suhron, 2017). Gangguan citra tubuh
merupakan suatu perubahan persepsi tentang tubuh yang diakibatkan oleh perubahan
ukuran, bentuk, struktur, fungsi, makna, objek yang sering kontak dengan tubuh.
Gangguan tersebut diakibatkan kegagalan dalam penerimaan diri akibat adanya persepsi
yang negatif terhadap tubuhnya secara fisik (Muhith, 2015).
Tanda dan gejala gangguan citra tubuh seperti adanya perubahan dan kehilangan
anggota tubuh, baik struktur, bentuk, maupun fungsi tubuh, pasien mengungkapkan
penolakan terhadap perubahan anggota tubuh saat ini, tidak ingin melihat perubahan pada
tubuh, merasa syok, marah, kehilangan, ketakutan, tidak berdaya, tidak berharga,
keputusasaan, dan aktivitas sosial berkurang. Dan jika gangguan citra tubuh tersebut
tidak segera diatasi, maka masalah ini dapat menimbulkan masalah psikososial yang lebih
berat seperti harga diri rendah, isolasi sosial dan resiko bunuh diri bahkan gangguan jiwa
berat (Keliat,2013).
Hasil penelitian Hariana, Sugi dan Yessi Ariani (2017), tentang respon adaptasi
klien dengan fraktur ekstremitas bawah selama masa rawatan di RSUP H. Adam Malik
Medan dan RSU Dr. Pirngadi Medan dari 12 orang responden, terdapat 50% responden
merasa kurang percaya diri bila berhadapan dengan orang lain, 33,4% responden merasa
sesuatu yang buruk akan terjadi pada kakinya yang patah, dan 41,7% responden mudah
tersinggung dan murah marah. Hasil penelitian Hamdani (2019), tentang gambaran citra
tubuh pasien paska operasi fraktur ekstremitas bawah di Rumah Sakit TK II Putri Hijau
Medan menunjukkan bahwa dari 42 orang responden terdapat 24 orang (57%) yang
mengalami gangguan citra tubuh dan 18 orang (43%) yang tidak mengalami gangguan
citra tubuh. Berdasarkan hasil penelitian diatas, maka dibutuhkan peran perawat dengan
melakukan pengkajian secara psikologis (respon emosi) pasien selain melakukan
pengkajian kondisi fisik pasien dengan kemungkinan adanya perasaan cemas dan malu
melalui penilaian pasien terhadap kondisi tubuhnya.
Perawat melakukan pengkajian pada gambaran diri pasien dengan memperhatikan
tingkat persepsi pasien terhadap dirinya, menilai gambaran citra tubuh dan ideal diri
pasien, serta adanya gangguan penampilan peran dan gangguan identitas dengan
meninjau persepsi pasien terhadap perilaku pasien (Nurhalimah, 2016). Menurut Keliat
(2013) tindakan keperawatan yang sesuai dengan standar asuhan keperawatan jiwa
mencakup tindakan psikoterapeutik yang dilakukan kepada pasien dengan menggunakan
teknik komunikasi terapeutik dalam membina hubungan dengan pasien dan keluarga agar
pasien tidak lagi mempunyai gangguan citra tubuh. Standar pelaksanaan yang diberikan
untuk pasien yaitu membina hubungan saling percaya, mendiskusikan tentang citra tubuh,
dan cara meningkatkan citra tubuh serta melatih interaksi secara bertahap. Sedangkan
strategi pelaksanaan untuk keluarga yaitu mendiskusikan tentang gangguan citra tubuh,
melatih keluarga cara merawat pasien dan menyusun rencana tindakan untuk pasien
2. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
b. Tujuan khusus
1) Untuk menganalisis harga diri rendah pada pasien sebelum dilakukan terapi
kognitif
2) Untuk menganalisis masalah harga diri rendah pada pasien setelah dilakukan
terapi kognitif
1. Manfaat teoritis
a. Bagi pengembangan keilmuan
Diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pembanding
keperawatan,sebagai bahan kajian lebih mendalam dan dapat menjadi referensi
penelitian serta dapat digunakan sebagai literature terapi kognitif dapada masalah
HDR
2. Manfaat praktis
a. Bagi peneliti
Peneliti dapat meningkatkan wawasan pengetahuan serta
pengalaman,keterampilan dalam menganalisa apakah ada pengaruh Pengaruh Terapi
Kognitif dapa masalah HDR
b. Bagi institusi
Menambah pustaka dan kurikulum serta referensi bagi dosen dalam
pengembangan ilmu keperawatan ,dan pengembangan materi keperawatan jiwa
dalam pemberian asuhan keperawatanpada masalah HDR.
c. Bagi layanan kesehatan
BAB II
ISI JURNAL
PEMBAHASAN
Pada artikel artikel maupun jurnal jurnal yang telah ditemukan dari ke4 jurnal tersebut
telah dibandingkan antara jurnal yang satu dengan jurnal yang lainnya menunjukkan bahwa
T”erapi kognif yang diberikan pada pasien harga diri rendah memiliki pengaruh yang
bermakna terhadap peningkatan harga diri” pada populasi tertentu.
Terapi kognitif merupakan terapi yang didasarkan pada kesalahan berfikir klien dengan
muncul pikiran otomatis negatif yang mendorong pada penilaian negatif terhadap diri
sendiri dan orang lain (Varcarolis, 2013). Terapi kognitif berfokus pada pemrosesan pikiran
dengan segera yaitu bagaimana individu mempersepsikan atau menginterpretasi
pengalamannya dan menentukan bagaimana cara dia merasakan dan berperilaku
Hal ini sesuai dengan penelitian Pasaribu (2012) yang menyatakan bahwa terapi kognitif
dan terapi penghentian pikiran secara bermakna dapat meningkatkan kemampuan
mengontrol pikiran negatif pasien kanker.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa adanya peningkatan skor harga diri pada
kelompok intervensi secara bermakna dibandingkan dengan pada kelompok kontrol di
mana pada kelompok intervensi didapat selisih peningkatan harga diri yang bermakna, yang
berarti harga diri pada remaja pada kelompok intervensi dapat meningkat setelah diberikan
terapi generalis dan terapi kognitif.
Hal ini mendukung teori yang dikemukakan oleh Townsend (2014) yang menerangkan
bahwa proses pelaksanaan terapi kognitif merupakan suatu terapi yang berorientasi pada
tujuan penyelesaian masalah pasien. Di awal pertemuan, terapis harus mengidentifikasi
masalahmasalah yang dihadapi pasiennya. Kemudian bersama-sama menetapkan tujuan dan
hasil yang diharapkan dalam terap
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Suerni dkk.
(2013) yang meneliti tentang Penerapan Terapi Kognitif Dan Psikoedukasi Keluarga Pada
Klien Harga Diri Rendah didapatkan hasil penerapan pada 15 klien dengan tindakan
keperawatan generalis dan terapi kognitif menunjukkan penurunan tanda dan gejala harga
diri rata-rata 54,94%; peningkatan kemampuan rata-rata 89,57%. Berdasarkan penurunan
tanda dan gejala, peningkatan kemampuan klien maka terapi kognitif direkomendasikan
pada klien dengan harga diri rendah. Penelitian lain yang dilakukan oleh Farahmand et al
(2013) menemukan bahwa terjadi peningkatan harga diri yang signifikan pada pasien
depresif dibandingkan dengan kelompok kontrol setelah diintervensi dengan terapi kognitif
di Iran. Temuan lainnya pada remaja perempuan yang memiliki masalah berat.
2. IMPLIKASI KEPERAWATAN
Dalam beberapa artikel yang telah direview ini mempunya beberapa kekurangan maupun
batasan meliputi: Sulitnya peneliti menemukan artikel internasional dengan tahun publikasi
terbaru yang dapat didownload dengan gratis,untukk mendapatkan artikel /jurnal yang
memiliki hasil yang sama sendiri sangat sulit kareana tingkat keberhasilan terapi pada pasien
HDR sendiri depengaruhi berbagai macam faktor, setiap artikel maupun jurnal dengan
metode serta populasi yang berbeda sendiri dapat mempengaruhi tingkat keefektifan terapi.
Dari ke 4 artikel salah satu artikelmya sendiri tidak membandingkan atau tidak ada hasil
yang dapat mempekuat hasil penelitian yang dilakukan peneliti tersebut atau tidak ada hasil
Comparation,Selanjutnya jurnal jurnal tersebut tidak memaparkan manfaat/ implikasi dari
jurnal tersebut, Abstrak yang disajikan sulitnya menemukan artikel yang sudah terindex
yang sesuai dengan populasi sehingga peneliti harus membaca populasi sampel dari dalam
artikel tidak bisa hanya dilihat dari judul dan abstrak, untuk mengetahui pengaruh terapi
kognituf secara efektif dibutuhkan banyak artikel artikel literature review tahun terbaru serta
index jurnal yang valid.
BAB IV
PENUTUP
1. KESIMPULAN
a. Dari hasil analisis jurnal diatas dapat ditari kesimpulan bahwa terapi kognitif dapat
menerunkan masalah harga diri rendah
b. keberhasilan terapi kognif pada pasien harga diri rendah sendiri dapt dipengaruhi oleh
beberapa faktor salah satunya motivasi diri sendiri,dukungan keluarga dll
2. SARAN
Pelayanan kesehatan jiwa di lembaga pembinaan khusus perlu dikembangkan
sebagai upaya promotif, preventif dan kuratif untuk dapat meningkatkan kesehatan jiwa
di lembaga pembinaan khusus dengan mengadakan kerja sama dengan pihak institusi
pendidikan tinggi. Ke depan, perlu dikembangkan penelitian lanjutan sebagai model
terapi yang dikolaborasikan dengan terapi kognitif untuk upaya meningkatkan harga diri
di lembaga pembinaan .
DAFTAR PUSTAKA
Armeliza, V. (2013). Gambaran konsep diri remaja di lembaga pemasyarakatan. PSIK
UNRI: Pekanbaru.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. (2012). Fenomena Kenakalan
Remaja di Indonesia.http://ntb.bkkbn.go.id/Lists/ Artikel/
Atalay, F. & Atalay, H. (2006). Gender Differences is Patients With Schizofrenia in Terms of
Badan Litbang KemenKes RI. (2008). Riset kesehatan dasar tahun 2007. Jakarta.