Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bunuh diri merupakan kegawatdaruratan pada bidang psikiatri, yang
terkadang sulit atau gagal didiagnosa dari kondisi medis yang berpotensial fatal,
walaupun jarang, tetapi gawat darurat. Bunuh diri merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang penting.
Lebih dari 30.000 orang yang bunuh diri setiap tahun di Amerika Serikat
dengan 600.000 orang pasien yang melakukan percobaan bunuh diri. 1Pada Mental
Atlas 2011, WHO, angka bunuh diri di Indonesia belum ada2.
Walaupun bunuh diri tidak mungkin untuk diprediksi secara pasti, terdapat
beberapa klue yang dapat terlihat, yang membantu praktisi untuk mengurangi
risiko bunuh diri pada pasiennya. Standar perawatan secara umum menfasilitasi
pengurangan risiko, seperti kemungkinan untuk gantung diri. Bunuh diri juga
perlu diperhitungkan pada orang yang mencoba untuk bunuh diri atau orang
terdekat atau keluarga korban bunuh diri.
Bunuh diri merupakan masalah yang penting dan hampir selalu
dilatarbelakangi oleh gangguan mental, biasanya depresi, dan hal tersebut harus
segera ditangani untuk mencegah terjadinya bunuh diri. Terdapat beberapa
psikoterapi dan terapi farmakologi yang dapat membantu untuk membantu pasien
pulih dari gangguan mental sehingga dapat mengurangi risiko untuk melakukan
bunuh diri.
Walaupun sudah banyak terapi yang dapat mengurangi risiko bunuh diri,
tetapi bunuh diri tetap terjadi. Hal tersebut mungkin dikarenakan kurangnya
perhatian dan terapi yang adekuat untuk pasien yang memiliki risiko untuk bunuh
diri. Maka dari itu, referat ini akan membahas mengenai bunuh diri yang akan
dibahas secara rinci dengan harapan dapat digunakan sebagai pegangan untuk
menghadapi pasien dengan risiko bunuh diri.

1
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Case report session ini disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik di
bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Solok dan diharapkan agar dapat
menambah pengetahuan penulis serta sebagai bahan informasi bagi para pembaca.

1.2.2 Tujuan Khusus


Tujuan penulisan dari case report session ini adalah untuk mengetahui
defenisi, etiologi, patofisiologi, gambaran klinis, diagnosis,penatalaksanaan dan
diskusi mengenai kasus ekstraksi forcep pada pasien preeklampsia berat.

1.3 Metode Penulisan


Case report session ini dibuat dengan metode tinjauan kepustakaan yang
merujuk pada berbagai literatur.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Bunuh diri atau suicide merupakan kematian yang diperbuat oleh sang
pelaku sendiri secara sengaja. Edwin Schneidman mendefinisikan bunuh diri
sebagai “tindakan pembinasaan yang disadari dan ditimbulkan diri sendiri,
dipandang sebagai malaise multidimensional pada kebutuhan individual yang
menyebabkan suatu masalah dimana tindakan dirasakan sebagai pemecahan yang
terbaik”. Bunuh diri bukan tindakan yang acak atau tidak bertujuan. Sebaliknya,
bunuh diri merupakan cara keluar dari masalah atau krisis yang hampir selalu
menyebabkan penderitaan yang kuat. Bunuh diri adalah berhubungan dengan
kebutuhan yang dihalangi atau tidak terpenuhi, perasaan keputusasaan, dan
ketidakberdayaan, konflik ambivalen antara keinginan hidup dan tekanan yang
tidak dapat ditanggung, menyempitnya pilihan yang dirasakan, dan kebutuhan
untuk meloloskan diri. Orang yang bunuh diri menunjukkan tanda – tanda
penderitaan.1

2.2 Epidemiologi
Di Amerika terdapat sekitar 30.000 kematian akibat bunuh diri setiap
tahun. Hal ini kontras dengan kematian akibat pembunuhan sekitar 20.000
kematian tiap tahunnya. Walaupun terdapat perpindahan karakteristik populasi
dari kematian yang disebabkan oleh bunuh diri sejak abad lalu (seperti
meningkatnya remaja yang bunuh diri dan menurunnya bunuh diri pada usia
lanjut), angka terjadinya bunuh diri tetap konstan, dengan rata-rata sekitar
12.5/100.000 dari abad 20 dan 21. Secara keseluruhan angka terjadinya bunuh diri
relative stabil, walaupun angka terjadinya bunuh diri pada usia 15 hingga 24 tahun
meningkat dua hingga tiga kali. Bunuh diri menduduki peringkat ke 8 dari seluruh
kematian di Amerika Serikat, setelah penyakit jantung, kanker, penyakit
pembuluh darah otak, Chronic Obstructive Pulmonary Disease, kecelakaan,
pneumonia dan influenza, dan diabetes mellitus. Angka kejadian bunuh diri di
Amerika Serikat berada pada titik tengah angka bunuh diri dari negara industri

3
dan berkembang. Secara internasional, angka terjadinya bunuh diri dalam rentang
tinggi lebih daripada 25/100.000 orang di Scandinavia, Switzerland, Jerman,
Austria, Negara Eropa Timur (disebut lempeng bunuh diri), dan Jepang, rendah
lebih rendah dari 10/100.000 orang di Spanyol, Itali, Irlandia, Mesir, dan
Belanda.173 % dari bunuh diri terjadi di negara berkembang. 3Pada Mental Atlas
2011, WHO, angka bunuh diri di Indonesia belum ada.4Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa kematian akibat bunuh diri di Jakarta tahun 1997-1998
angka bunuh diri meningkat 34 bunuh diri dan pada tahun 2006, sekitar 100.000
orang bunuh diri. Angka bunuh diri di Gunung Kidul 4.48/100.000 pada tahun
2007, dengan jumlah populasi 720.465 orang dan kasus bunuh diri 32 kasus.
Menurut data dari polisi, divisi Operational Gunung Kidul Departemen RI
dilaporkan 2006-2010 sekitar 157 kasus bunuh diri, sebagian besar adalah wanita,
dan pada tahun 2011 dari Januari hingga Agustus ditemukan 18 kasus bunuh diri.3

2.3 Faktor Risiko


2.3.1 Jenis Kelamin
Laki-laki melakukan tindakan bunuh diri empat kali lebih sering dari
wanita. Walau begitu, wanita sebanyak empat kali lebih untuk mencoba bunuh
diri dibanding pria. Metode yang sering digunakan oleh pria yaitu tembak,
gantung, atau lompat dari ketinggian. Pada wanita, metode yang biasa dipilih
yaitu overdosis zat psikoaktif atau racun atau tembak.1

2.3.2 Umur
Angka bunuh diri meningkat dengan bertambahnya usia, terutama pada
usia 50-an tahun. Pada pria, bunuh diri berpuncak pada usia 45 tahun dan pada
wanita berpuncak pada 55 tahun. Orang yang lebih tua lebih jarang melakukan
percobaan bunuh diri dibanding dengan orang yang lebih muda, tetapi lebih sering
berhasil untuk bunuh diri. Walaupun orang usia tua hanya 10% dari total populasi,
25% melakukan bunuh diri. Pada usia lebih dari 75 tahun atau lebih memiliki
angka bunuh diri lebih dari tiga kali dibandingkan dengan usia muda. Walaupun
begitu, angka bunuh diri pada usia muda terus meningkat terutama usia antara 15
tahun hingga 24 tahun. Peningkatan bunuh diri pada wanita lebih cenderung lebih

4
rendah dibandingkan pria. Bunuh diri merupakan penyebab kematian ketiga pada
usia antara 15 tahun hingga 24 tahun, setelah kecelakaan dan pembunuhan.
Sebagian besar bunuh diri sekarang ini terjadi pada usia antara 15 tahun hingga 44
tahun. Bunuh diri jarang pada usia pubertas.1

2.3.3 Ras
Dua dari tiga bunuh diri adalah pria berkulit putih. Pria dan wanita berkulit
putih memiliki angka bunuh diri tiga kali lebih tinggi dari pria dan wanita berkulit
putih. 1

2.3.4 Agama
Angka bunuh diri dari populasi Katolik Roman lebih rendah dibandingkan
dengan Protestan dan Yahudi.1

2.3.5 Status Perkawinan


Pernikahan memiliki risiko bunuh diri lebih rendah, terutama dengan
adanya anak. Orang yang belum pernah menikah memiliki nilai dua kali lipat
dibanding dengan orang yang sudah menikah. Perceraian meningkatkan risiko
bunuh diri, dengan pria yang bercerai memiliki risiko tiga kali lipat dibandingkan
dengan wanita yang bercerai. Janda dan duda juga memiliki risiko tinggi untuk
bunuh diri.1

2.3.6 Okupasi
Orang dengan status sosial yang lebih tinggi, lebih tinggi pula risiko untuk
bunuh diri. Penurunan status sosial juga meningkatkan risiko bunuh diri.
Pekerjaan, secara umum, melindungi dari bunuh diri. Bunuh diri lebih tinggi pada
pengangguran dari pada orang yang memiliki pekerjaan. Dari tingkatan okupasi,
professional, terutama dokter memiliki risiko yang paling tinggi. Okupasi risiko
tinggi yang lain termasuk pengacara, dokter gigi, seniman, mekanik, agen
asuransi. Bunuh diri meningkat pada saat krisis ekonomi.1

5
2.3.6.1 Bunuh diri pada Profesi Kedokteran
Angka terjadinya bunuh diri pada dokter pria dan wanita di Amerika
Serikat meningkat, dengan wanita dengan risiko lebih tinggi. Data dari Inggris
dan Scandinavia menunjukan angka bunuh diri pada dokter pria dua atau tiga kali
lebih tinggi dibandingkan dengan pria pada populasi general dengan usia yang
sama. Dokter wanita juga memiliki risiko yang lebih tinggi bunuh diri dibanding
dengan wanita lain. Di Amerika Serikat, angka terjadinya bunuh diri pada dokter
wanita sekitar 41 dari 100.000, dibandingkan dengan wanita berkulit putih yaitu
12 dari 100.000 pada usia 25 tahun keatas. Di Indonesia belum ada data mengenai
angka bunuh diri pada profesi dokter. Pada beberapa studi dokter-dokter yang
bunuh diri memiliki gangguan mental, yang lebih sering gangguan depresi,
ketergantungan obat, atau keduanya. Baik dokter pria maupun wanita yang bunuh
diri secara signifikan lebih sering disebabkan oleh overdosis obat dan jarang
dengan tembak dibandingkan dengan populasi pada umumnya, dikarenakan
pengetahuan akan obat dan dosis toksisitas. Dari dokter-dokter, psikiatri
merupakan risiko terbesar untuk bunuh diri, diikuti dokter mata dan dokter
anestesi. Walau begitu, semua spesialistik memiliki risiko untuk bunuh diri.1

2.3.7 Iklim
Tidak ada korelasi yang signifikan iklim dengan bunuh diri. Bunuh diri
lebih sering pada musim semi dan gugur, tetapi tidak pada bulan Desember dan
periode libur.1

2.3.8 Kesehatan Fisik


Relasi kesehatan fisik dengan bunuh diri adalah signifikan. Sekitar
sepertiga orang yang bunuh diri memiliki riwayat berobat dalam 6 bulan sebelum
meninggal dan penyakit diestimasi sebagai faktor konstribusi dari setengah bunuh
diri. Faktor yang berasosiasi dengan sakit dan berkonstribusi baik bunuh diri
maupun percobaan bunuh diri adalah tidak dapat bergerak, terutama ketika
aktivitas fisik penting untuk bekerja atau rekreasi, kelainan figure tubuh, terutama
pada wanita, dan rasa sakit kronis. Pasien yang menjalani hemodialisi memiliki
risiko yang tinggi. Disamping dari efek langsung dari sakit, efek sekunder, seperti

6
masalah hubungan dengan pasangan dan kehilangan pekerjaan merupakan faktor
prognosis. Beberapa obat-obatan dapat menyebabkan depresi, yang menyebabkan
bunuh diri pada beberapa kasus. Obat-obatan tersebut, yaitu reserpine,
kortikosteroid, anti hipertensi, dan beberapa anti kanker. Penyakit yang
berasosiasi dengan alkohol, seperti sirosis, berasosiasi dengan angka bunuh diri
yang tinggi.1

2.3.9 Pasien Psikiatri


Risiko pasien psikiatri untuk bunuh diri 3-12 kali dibanding dengan non-
pasien psikiatri. Derajat risiko bervariasi, tergantung dengan umur, jenis kelamin,
diagnosis, dan status dirawat atau rawat jalan. Pasien psikiatri pria dan wanita
yang dirawat cukup lama memiliki risiko 5-10 kali lebih tinggi untuk bunuh diri.
Pasien yang rawat jalan tanpa pernah dirawat di rumah sakit untuk terapi psikiatri
memiliki risiko 3-4 kali untuk bunuh diri. Diagnosis psikiatik dengan risiko bunuh
diri terbesar pada kedua jenis kelamin yaitu gangguan mood. Secara general
populasi yang melakukan bunuh diri biasanya usia setengah baya atau lebih tua,
tetapi beberapa studi melaporkan meningkatnya pasien psikiatri yang melakukan
bunuh diri relatif pada usia muda. Pada suatu studi, rerata umur bunuh diri pada
pria yaitu usia 29.5 tahun dan wanita 38.4 tahun. Bunuh diri pada usia tua terjadi
karena onset awal dari gangguan mental kronis, yaitu skizophrenia dan gangguan
afektif depresi mayor yang merupakan lebih dari setengah bunuh diri dan
merefleksikan umur dan pola diagnosis yang ditemukan pada sebagian besar studi
dari pasien psikiatri yang bunuh diri. Persentasi pasien psikiatri bunuh diri kecil
tetapi signifikan ketika mereka dirawat. Pada kedua jenis kelamin, risiko bunuh
diri paling tinggi pada minggu pertama sejak pasien masuk rumah sakit. Setelah
3-5 minggu risiko bunuh diri sama seperti risiko pada populasi secara umum.
Periode setelah dikeluarkan dari rumah sakit risiko bunuh diri juga meningkat.
Sebuah follow up dari suatu studi, 5000 pasien yang dipulangkan dari Rumah
Sakit Jiwa Iowa pada 3 bulan pertama setelah dipulangkan, angka bunuh diri pada
pasien wanita 275 kali dari semua pasien wanita, dan 70 kali pada semua pasien
pria. Beberapa studi menunjukkan sepertiga atau lebih dari pasien depresi bunuh
diri dalam jangka waktu 6 bulan setelah keluar rumah sakit; diasumsikan pasien

7
tersebut relaps. Kelompok utama risiko bunuh diri yaitu pasien dengan gangguan
depresi, skizophrenia, dan penyalahgunaan obat, dan pasien yang berulang-ulang
mengunjungi unit gawat darurat. Pasien dengan gangguan panik yang sering ke
UGD, juga meningkatkan risiko bunuh diri.1

2.3.10 Gangguan Mental


Hampir 95% dari semua orang yang bunuh diri atau melakukan percobaan
bunuh diri didiagnosa memiliki gangguan mental. Gangguan depresi sekitar 80%,
skizophrenia sekitar 10%, dementia atau delirium sekitar 5% bunuh diri. Dari
orang-orang yang memiliki gangguan mental,25% merupakan ketergantungan
alkohol. Orang dengan waham depresi memiliki risiko bunuh diri yang tinggi.
Riwayat kebiasaan yang impulsif atau tindakan kekerasan meningkatkan risiko
bunuh diri, begitu juga dengan pasien psikiatri. Orang dewasa yang bunuh diri
memiliki diagnosis psikiatri dan stressor yang berbeda dengan remaja dan usia
tua. Diagnosis penyalahgunaan obat-obatan dan kepribadian antisosial terjadi
sering pada bunuh diri pada pasien kurang dari 30 tahun, dan diagnosis gangguan
mood dan kognitif lebih sering pada usia lebih dari 30 tahun. Stresor pada usia
dibawah 30 tahun yaitu perpisahan, ditolak, pengangguran, dan problem legalitas
sedangkan stresor diatas 30 tahun yaitu sakit yang diderita.1

2.3.10.1 Gangguan Depresif


Gangguan mood merupakan diagnosis yang sering berasosiasi dengan
bunuh diri. Psikofarmakologi selama 25 tahun terakhir mungkin telah mereduksi
risiko bunuh diri pada gangguan depresif. Bunuh diri pada pasien depresi biasanya
terjadi pada waktu onset atau akhir dari episode depresi. Angka terjadinya bunuh
diri pada pasien dengan gangguan mood diestimasikan 400/100.000 pada laki-laki
dan 180/100.000 pada wanita. Kemungkinan pasien depresi melakukan bunuh diri
meningkat jika mereka belum memiliki pasangan, perpisahan, bercerai, dan
pasangan meninggal. Pasien dengan gangguan depresi yang bunuh diri biasa pada
usia setengah baya atau lebih tua. Anti sosial meningkatkan risiko bunuh diri dari
pasien depresi. Pasien dengan gangguan depresi yang menjalani terapi, sepertiga

8
melakukan bunuh diri. Hal tersebut terjadi karena pengobatan yang tidak
mencapai dosis teraputik.1

2.3.10.2 Skizophrenia
Risiko bunuh diri tinggi pada pasien dengan skizophrenia. Hingga 10%
pasien meninggal akibat bunuh diri. Di Amerika Serikat, diestimasikan 4000
pasien dengan skizophrenia bunuh diri tiap tahunnya. Onset skizophrenia tipikal
terjadi pada remaja atau dewasa muda, dam sebagian besar pasien bunuh diri pada
awal tahun pertama, pasien yang bunuh diri terutama pasien usia muda. Faktor
risiko bunuh diri pada pasien skizophrenia yaitu usia muda, pria, status belum
menikah, tidak punya pekerjaan, antisosial, tinggal sendiri, sebelumnya
melakukan percobaan bunuh diri, terdapat gejala depresif, dan baru keluar dari
rumah sakit. Setelah mereka keluar dari rumah sakit, mereka mungkin mengalami
kesulitan, seperti diasingkan, perasaan pasrah dan tidak ada harapan, yang dapat
mencapai kondisi depresi, hingga menimbulkan ide untuk bunuh diri. Hanya
persentasi kecil bunuh diri dari instruksi halusinasi atau waham presekutor.
Hingga 50% bunuh diri pada pasien dengan skizophrenia terjadi ketika awal
minggu dan bulan setelah keluar rumah sakit, hanya minoritas yang bunuh diri
saat dirawat.1

2.3.10.3 Ketergantungan Alkohol


Hingga 15 persen dari semua orang ketergantungan alkohol melakukan
bunuh diri. Angka terjadinya bunuh diri dari orang yang ketergantungan alkohol
diestimasikan sekitar 270/100.000; di Amerika Serikat, antara 7.000 hingga
13.000 orang ketergantungan alkohol bunuh diri tiap tahun. Sekitar 80% dari
semua orang ketergantungan alkohol adalah pria. Korban bunuh diri akibat
ketergantungan alkohol biasanya berkulit putih, usia setengah baya, belum
menikah, dan tidak memiliki teman, anti sosial. Hingga 40% pernah melakukan
percobaan bunuh diri.Hingga 40% dari semua bunuh diri pada orang yang
ketergantungan alkohol terjadi dalam waktu setahun dari dirawat di rumah sakit,
terlebih pada pasien usia tua. Beberapa studi menunjukkan banyak orang
ketergantungan alkohol yang melakukan bunuh diri depresi saat dirawat dan

9
hingga dua per tiga didiagnosa memiliki gejala gangguan moodketika periode
mereka melakukan bunuh diri. Sebanyak 50% dari semua korban bunuh diri dari
ketergantungan alkohol mengalami putus hubungan dengan pasangan. Kehilangan
interpersonal dan tidak memiliki hasrat untuk hidup kemungkinan yang membawa
seseorang menjadi ketergantungan alkohol dan berkonstribusi untuk
berkembangnya menjadi gangguan mood, yang sering terjadi seminggu hingga
sebulan sebelum bunuh diri.1

2.3.10.4 Ketergantungan obat lain


Studi yang dilakukan di beberapa negara ditemukan meningkatnya risiko
bunuh diri pada mereka yang menyalahgunakan obat-obatan. Angka terjadinya
bunuh diri pada ketergantungan heroin sekitar 20 kali lebih besar dibandingkan
populasi secara umumnya. Remaja perempuan pengguna obat-obatan intravena
memiliki angka bunuh diri yang tinggi. Terdapatnya dosis letal obat, penggunaan
intravena, asosiasi dengan kepribadian antisosial, kehidupan yang kacau, dan
impulsif merupakan beberapa faktor predisposisi bunuh diri pada orang yang
ketergantungan obat-obatan, terutama ketika mereka disforia, depresi, atau
intoksikasi.1

2.3.10.5 Gangguan Kepribadian


Sebagian orang yang melakukan bunuh diri memiliki asosiasi dengan
gangguan kepribadian. Memiliki gangguan kepribadian merupakan penentu dari
tindakan bunuh diri pada beberapa cara: dengan predisposisi dengan gangguan
mental mayor, seperti gangguan depresif dan ketergantungan alkohol, oleh
kesulitan berhubungan dan bersosialisasi, dengan presipitasi tanpa hasrat
kehidupan, dengan berkurangnya kemampuan untuk mentoleransi dengan
gangguan mental/fisik, dan dengan menarik orang-orang disekitarnya ke dalam
konflik, keluarga, dokter, dan staf rumah sakit. Estimasi 5% dari pasien dengan
antisosial melakukan bunuh diri. Bunuh diri merupakan tiga kali lebih sering
terjadi pada tahanan dibanding populasi pada umumnya. Lebih dari sepertiga
bunuh diri pada tahanan memiliki riwayat pengobatan psikiatri, dan setengah
pernah mencoba untuk mengancam atau mencoba untuk bunuh diri.1

10
Gambar 1. Diagram Venn merangkum data bunuh diri dan relasinya dengan
gangguan mood dan percobaan bunuh diri. (Courtesy of Alec Roy, M.D.)

2.3.10.6 Gangguan Cemas


Percobaan bunuh diri yang tidak sempurna terjadi hampir 20% dari pasien
dengan gangguan panik dan fobia sosial. Jika berasosiasi dengan depresi dapat
meningkatkan terjadinya risiko bunuh diri. 1

11
Gambar 2. Persentase penyebab bunuh diri akibat gangguan mental.4
2.3.11 Percobaan Bunuh Diri Sebelumnya
Percobaan bunuh diri merupakan indicator terbaik, dimana risiko bunuh
diri pasien meningkat. Studi menunjukan sekitar 40% pasien depresi yang
melakukan bunuh diri telah melakukan percobaan bunuh diri sebelumnya.Risiko
untuk percobaan bunuh diri kedua paling sering terjadi dalam waktu 3 bulan
setelah pecobaan pertama. Depresi berasosiasi dengan bunuh diri komplit dan
percobaan bunuh diri. Gejala klinis paling sering berasosiasi dengan intensi untuk
mati merupakan diagnosis dari gangguan depresif. Pasien yang memiliki intensi
bunuh diri yang besar lebih sering pada pria, lebih tua, tidak memiliki pasangan
atau berpisah, dan tinggal sendiri.1

2.4 Etiologi
2.4.1 Faktor Sosiologik
2.4.1.1 Teori Durkheim
Konstribusi utama pertama yang mempelajari pengaruh sosial dan kultural
pada bunuh diri pada abad 19 oleh ahli sosiologi dari Perancis Emile Durkheim.
Pada percobaan untuk menjelaskan pola sosial, Durkheim membagi bunuh diri

12
menjadi 3 kategori sosial: egoistik, altruistik, dan anomik. Bunuh diri egoistik
pada mereka yang tidak kuat berintegrasi dalam kelompok sosial. Integrasi
keluarga yang kurang menjelaskan mengapa orang yang tidak menikah lebih
memungkinkan untuk melakukan bunuh diri dibandingkan yang sudah menikah
dengan memiliki anak yang merupakan kelompok yang terlindungi dari
kemungkinan bunuh diri. Komunitas desa memiliki sosial integrasi yang lebih
dibandingkan dengan daerah perkotaan. Protestan merupakan agama yang kurang
kohesif dibandingkan dengan Katolik Roman, sehingga lebih banyak yang
melakukan bunuh diri. Bunuh diri altruistik pada mereka yang rentanmelakukan
bunuh diri dari integrasi yang melampaui batas dalam sebuah grup, dengan bunuh
diri menjadi hasul dari integrasi, seperti contohnya pada prajurit Jepang yang
mengorbankan hidupnya pada perang. Bunuh diri anomik pada mereka yang
integrasi pada masyarakat terganggu sehingga mereka tidak dapat mengikuti
kebiasaan adat. Anomik menjelaskan mengapa terjadinya perubahan drastic pada
kondisi ekonomi yang membuat orang lebih rentan dibandingkan bila memiliki
keberuntungan. Anomik juga disebut instabilitas pada sosial dan kehancuran
sosial dari norma-norma.1

2.4.2 Faktor Psikologikal


2.4.2.1 Teori Freud
Sigmund Freud menunjukkan peran penting keyakinan psikologik
terhadap bunuh diri. Freud mendeskripsikan hanya satu pasien yang mencoba
bunuh diri, tetapi ia melihat banyak pasien depresi. Dalam tulisannya, “Mourning
and Melancholia”, Freud menyatakan keyakinannya bahwa bunuh diri
mencerminkan agresi yang dibelokan ke dalam terhadap objek cinta yang
terintroyeksi, dan ditangkap secara ambivalen. Freud meragukan bahwa
seharusnya bunuh diri tanpa keinginan untuk membunuh orang lain yang
direpresikan sebelumnya. 1

2.4.2.2 Teori Menninger


Berasal dari temuan Freud, Karl Menninger, pada Man against Himself,
memahami bunuh diri sebagai lawan dari pembununhan karena amarah pasien

13
terhadap orang lain, yang dibalikkan. Dia mendeskripsikan insting kematian
terhadap diri sendiri (konsep kematian Freud) ditambah dengan 3 komponen
permusuhan pada bunuh diri: keinginan untuk membunuh, keinginan untuk
dibunuh, dan keingnan untuk mati. 1

2.4.2.3 Teori yang lain


Peneliti bunuh diri tidak yakin bahwa stuktur psikodinamika atau
kepribadian spesifik memiliki hubungan dengan bunuh diri. Mereka mempercayai
bahwa banyak yang daoat dipelajari mengenai psikodinamika dari pasien bunuh
diri mengani fantasinya tentang apa yang akan terjadi dan apa akibatnya jika
mereka bunuh diri. Fantasi yang sering termasuk keinginan untuk balas dendam,
kekuatan, kontrol, atau hukuman; penebusan dosa, pengorbanan, atau pemulihan;
kabur atau tidur; penyelamatan; lahir kembali, bergabung dengan roh-roh; atau
hidup baru. Pasien bunuh diri paling mungkin berfantasi bunuh diri ketika
kehilangan objek yang dicintai atau memiliki trauma batin, mungkin mengalami
afek yang berat seperti amarah dan rasa bersalah, atau mungkin mereka yang
beridentifikasi dengan korban bunuh diri.
Orang yang depresi mungkin mencoba untuk bunuh diri tepat sebelum
mereka pulih dari depresi. Percobaan bunuh diri dapat menyebabkan depresi telah
berlangsung lama menghilang, terutama jika hal tersebut memenuhi kebutuhan
pasien sebagai hukuman. Banyak pasien mengunakan preokupasi dengan bunuh
diri sebagai cara untuk melawan depresi yang tidak dapat ditoleransi dan rasa
tidak ada harapan. Studi yang dilakukan Auron Beck menunjukkan bahwa tidak
ada harapan merupakan indicator yang akurat dari risiko bunuh diri jangka
panjang. 1

2.4.3 Faktor Biologik


Berkurangnya serotonin pusat berperan dalam bunuh diri. Konsentrasi
yang rendah dari metabolit serotonin 5-hydroxyindoleacetic acid(5-HIAA) pada
cairan cerebrospinal berasosiasi dengan bunuh diri. Studi neurokimia pada post
mortem menunjukan serotonin yang berkurang pada batang otak atau korteks
frontal pada korban bunuh diri. Studi reseptor pada post mortem juga dilaporkan

14
terjadinya perubahan presinaptik dan post sinaptik tempat pengikatan serotonin.
Studi dari cerebrospinal fluid(CSF), neurokimia, dan reseptor mendukung
hipotesis berkurangnya serotonin pusat yang berasosiasi dengan bunuh diri.1

2.4.4 Faktor Genetik


Tindakan bunuh diri diperkirakan diturunkan oleh keluarga. Sebagai
contoh, bunuh diri Margaux Hemingway 1997 adalah bunuh diri ke lima dari 4
generasi keluarga Ernest Hemingway. Pada pasien psikiatri, riwayat keluarga
bunuh diri meningkatkan risiko percobaan bunuh diri dan bunuh diri. Kembar
monozigotik memiliki kemungkinan untuk melakukan percobaan bunuh diri atau
bunuh diri lebih tinggi dibanding dengan dizigotik jika salah satu kembarannya
bunuh diri. Faktor genetik juga mempengaruhi penurunan ambang bunuh diri
yang menyebabkan ketidakmampuan untuk mengontrol kebiasaan
impulsif.Triptophan hydroxylase (TPH) merupakan enzim yang mempengaruhi
biosentesis dari serotonin. Polimorfisme pada gen TPH telah diidentifikasi,
dengan dua lalel U dan L. Karena konsentrasi serotonin yang rendah pada CSF
berasosiasi dengan bunuh diri, memunculkan hipotesa bahwa orang tersebut
memiliki gangguan pada gen yang mengkontrol sintesis dan metabolime dari
serotonin. Alel L berasosiasi dengan peningkatan risiko percobaan bunuh diri dan
bunuh diri. Alel U juga berasosiasi dengan peningkatan risiko bunuh diri tetapi
lebih rendah dibanding dengan alel L. 1

2.5 Prediksi
Klinisi harus dapat mengassess risiko bunuh diri pasien dengan cara
pemeriksaan klinis. Alat prediksi yang berasosiasi dengan risiko bunuh diri pada
tabel 1. Bunuh diri yang dikelompokan menjadi risiko rendah dan tinggi pada
tabel 2. Risiko tinggi memiliki karakteristik yaitu lebih dari 45 tahun, laki-laki,
ketergantungan alkohol, kebiasaan kasar, percobaan bunuh diri sebelumnya, dan
hospitalisasi psikiatri sebelumnya. Penting untuk menanyakan tentang perasaan
dan tindakan untuk bunuh diri. Menanyakan ide bunuh diri pada pasien dengan
depresi tidak akan menanamkan benih bunuh diri pada mereka. 5 % menyatakan

15
secara terbuka bahwa mereka ingin mati. 1Terdapat tanda-tanda penting yang perlu
diperhatikan yang mungkin dapat memprediksi bunuh diri pada tabel 3.

Tabel 1.Faktor – factor yang Berhubungan dengan Resiko Bunuh Diri.1


Urutan Ranking Factor – factor
1 Usia 45 tahun keatas
2 Ketergantungan alcohol
3 Kejengkelan, penyerangan, kekerasan
4 Perilaku bunuh diri sebelumnya
5 Laki – laki
6 Tidak mau menerima pertolongan
7 Episode depresi sekarang yang lebih lama dari biasanya
8 Terapi psikiatri rawat inap sebelumnya

9 Kehilangan atau pepisahan yang belum lama terjadi


10 Depresi

11 Hilangnya kesehatan fisik


12 Pengangguran atau dipecat
13 Tidak menikah, janda/duda atau bercerai

Tabel 2. Evaluasi dari risiko bunuh diri1


Variabel Risiko Tinggi Risiko Rendah
Profil demografi dan social
Usia >45 tahun <45 tahun
Sex Pria Wanita
Status pernikahan Bercerai atau duda atau janda Menikah
Pekerjaan Pengangguran Memiliki pekerjaan
Relasi interpersonal Bermasalah Stabil
Latar belakang keluarga Kacau atau bermasalah Stabil
Kesehatan
Fisik Penyakit kronis Sehat
Hipokondria Merasa sehat
Penggunaan substansi berlebih Penggunaan substansi rendah
Mental Depresi berat Depresi ringan

16
Psikosis Neurosis
Gangguan personalitas yang Personalitas normal
berat
Penyalahgunaan zat Peminum alkohol
Tidak ada harapan hidup Optimis
Aktivitas bunuh diri
Ide bunuh diri Sering, intens, lama Tidak sering, intensitas rendah,
sementara
Percobaan bunuh diri Percobaan berkali-kali Percobaan pertama
Berencana Impulsif
Penyelamatan tidak mungkin Penyelamatan tidak
terhindarkan
Ketidakraguan untuk mati Memiliki keinginan untuk
berubah
Komunikasi diinternalisasikan Komunikasi dieksternalisasikan
(Menyalahkan diri sendiri) (Kemarahan)
Metode mematikan dan Metode dengan letalitas rendah
tersedia dan tidak mudah didapat
Sarana
Pribadi Pencapaian buruk Pencapaian baik
Tilikan buruk Penuh tilikan
Afek tidak ada atau Afek tersedia dan
terkendali buruk terkendali dengan
semestinya
Sosial Rapport buruk Rapport baik
Terisolasi social Terintegrasi secara sosial
Keluarga tidak responsive Keluarga memperhatikan

Tabel 3 Tanda-tanda penting yang perlu diperhatikan pada pasien yang mungkin
dapat memprediksi bunuh diri6,7,8
Tanda-tanda penting yang berisiko tinggi:
 Mengancam untuk menyakiti atau membunuh diri sendiri
 Berbicara atau menulis tentang kematian atau bunuh diri
 Terlihat cara mereka untuk bunuh diri, seperti membeli dan menyimpan tablet obat.
Tanda-tanda yang lain:

17
 Terlihat depresi atau sedih setiap waktu
 Menarik diri dari keluarga dan teman
 Merasa tidak ada harapan hidup
 Merasa tidak ada orang mau membantu dia
 Merasa marah atau mengamuk
 Merasa terjebak pada situasi yang tidak dapat terelakan
 Mengalami perubahan mood yang dramatis
 Penyalahgunaan obat-obatan atau alkohol
 Perubahan kepribadian
 Bertindak impulsif
 Kehilangan minat pada hampir semua aktivitas
 Mengalami perubahan kebiasaan tidur
 Mengalami perubahan kebiasaan makan
 Melakukan pekerjaan atau aktivitas sekolah kurang baik
 Menulis surat wasiat
 Merasa bersalah atau malu yang lebih
 Bertindak gegabah
 Memberikan barang kepunyaan yang penting
 Mendadak menjadi lebih tenang atau lebih senang

 Mengunjungi orang-orang untuk mengucapkan perpisahan

2.6 Tatalaksana
Sebagian besar bunuh diri yang dilakukan oleh pasien psikiatri dapat
dihindari, karena bukti mengindikasi assesmen atau pengobatan yang kurang
sering berasosiasi dengan bunuh diri. Beberapa pasien mengalami penderitaan
yang berat dan intens, atau sangat kronis dan tidak berespon terhadap pengobatan,
sehingga bunuh diri tidak dapat dihindarkan. Walau begitu, pasien seperti itu
jarang. Pasien yang memiliki gangguan personalitas yang berat, dapat sangat
impulsive dan bunuh diri secara spontan, sering ketika mengalami disforia atau
intoksikasi atau keduanya. Evaluasi dari potensial bunuh diri memerlukan
pencarian riwayat psikiatri yang lengkap; melalui pemeriksaan status mental
pasien dan menanyakan tentang gejala depresi, ide, keinginan, rencana, dan
percobaan bunuh diri. Tidak adanya harapan, kehilangan keyakinan, dan
pengalaman kehilangan dapat meningkatkan risiko bunuh diri. Keputusan untuk

18
merawat pasien tergantung dari diagnosis, beratnya depresi dan ide bunuh diri,
kemampuan menerima keadaan pada pasien dan keluarga, situasi kehidupan,
adanya support sosial, dan adanya atau tidak faktor risiko bunuh diri.
Rawat inap pasien dengan ide bunuh diri merupakan keputusan klinis
paling penting yang perlu dibuat. Tidak semua pasien perlu rawat inap; beberapa
dapat dirawat dengan rawat jalan. Walau begitu dengan tidak adanya sistem
support sosial yang kuat, dengan adanya riwayat perilaku impulsif dan rencana
bunuh diri merupakan indikasi rawat inap. Adapun indikasi dan skor bunuh diri
untuk menentukan apakah pasien akan dirawat inap atau tidak:
Indikasi rawat inap pasien percobaan bunuh diri:

 Pasien psikotik
 Pasien masih memikirkan untuk bunuh diri
 Pasien pernah mencoba tindakan bunuh diri
 Keinginan bunuh diri masih berulang
 Relasi dengan support system buruk 
 Tindakan kekerasan

SIRS (Suicidal Intention Rating Scale):

 Skor 0: Tidak ada ide bunuh diri yang lalu dan sekarang
 Skor 1: Ada ide bunuh diri, tidak ada percobaan bunuh diri, tidak
mengancam bunuh diri.
 Skor 2: Memikirkan bunuh diri dengan aktif, tidak ada percobaan bunuh
diri.
 Skor 3: Mengancam bunuh diri, misalnya “Tinggalkan saya sendiri atau
saya bunuh diri”.
 Skor 4: Aktif mencoba bunuh diri.

Untuk menentukan untuk rawat jalan, klinisi harus menanyakan pasien yang
berencana bunuh diri untuk setuju menghubungi klinisi ketika mereka merasa sulit
untuk mengontrol impuls bunuh diri. Pasien yang setuju hal tersebut, perlu
diyakinkan bahwa mereka dapat mengontrol impuls tersebut dan dapat mencari
pertolongan. Sebagai ganti dari komitmen yang telah dibuat pasien, klinisi perlu
menyediakan waktu 24 jam untuk pasien. Pasien yang tidak dapat membuat
komitmen merupakan indikasi untuk dirawat. Jika pasien direncanakan rawat

19
jalan, klinisi perlu mencatat alamat rumah dan nomor telepon yang dapat
dihubungi untuk kebutuhan emergensi. Jika pasien menolak untuk dirawat
keluarga harus bertanggung jawab terhadap pasien selama 24 jam sehari.
Berdasarkan ES Shneidman, klinisi memiliki beberapa pencegahan untuk
berhadapan pada pasien dengan ide bunuh diri: mengurangi sakit psikologis
dengan mengatur lingkungan pasien yang memiliki banyak stress, meminta
bantuan saudara, pembantu, atau teman untuk turut memantau pasien, dan
menawarkan alternatif untuk tidak bunuh diri. Pasien dengan percobaan bunuh
diri perlu dirawat. Di rumah sakit pasien, perlu mendapatkan terapi sesuai kondiri
pasien; depresi dengan antidepresi dan psikosis dengan antipsikosis. Diperlukan
juga psikoterapi individual, grup, dan keluarga jika tersedia dan pasien perlu
mendapatkan support sosial dan rasa dilindungi. Terapi perlu disesuaikan kembali
dengan kondisi yang ada, misal pada ketergantungan alkohol berasosiasi dengan
problem yang dimiliki pasien, terapi perlu disesuaikan untuk meredakan kondisi
tersebut. Walaupun pasien dengan ide bunuh diri yang akut memiliki prognosis
yang baik, tetapi pasien yang kronis sulit untuk diterapi, dan mereka membuat
orang yang merawat lelah. Observasi ketat juga tidak dapat mencegah bunuh diri.
ECT mungkin diperlukan pada pasien dengan depresi yang berat yang
memerlukan beberapa modalitas terapi.
Pada awal, perawatan perlu dicari objek-objek yang dapat digunakan oleh
pasien untuk bunuh diri dan hal ini perlu dilakukan berulang-ulang untuk
memastikan, terutama saat terjadi eksaserbasi ide bunuh diri. Secara ideal, pasien
rawat inap dengan depresi perlu dirawat pada kamar yang terkunci dimana jendela
juga terkunci, dan terletak dekat dengan tempat jaga perawat untuk
memaksimalkan observasi. Suportif psikoterapi oleh psikiatri perlu dilakukan
untuk meredakan penderitaan pasien. Beberapa pasien dapat menerima ide yang
mereka derita untuk mengetahui sakitnya, dan mereka dapat membaik sempurna.
Pasien yang pulih dari depresi bunuh diri memiliki risiko untuk bunuh diri dimana
depresi telah hilang, pasien merasa menjadi lebih energik dan mereka dapat
menjalankan rencara mereka menjadi tindakan.
Komplikasi lebih jauh yaitu efek dari obat serotonergik, seperti fluoxetin,
dimana merupakan anti depresan yang efektif, terutama pada pasien depresi

20
dengan bunuh diri. Agen tersebut dapat meningkatkan psikomotor withdrawal,
yang membuat pasien bertindak sesuai dengan impuls bunuh diri yang
sebelumnya ada karena mereka memilki energi yang lebih dari sebelumnya.
Terkadang pasien dengan depresi dengan atau tanpa terapi tiba-tiba tampak
menjadi damai dengan diri mereka karena mereka memiliki rencana rahasia untuk
bunuh diri. Klinisi harus curiga pada pasien yang memiliki perubahan klinis yang
dramatis yang menandakan akan dilakukannya bunuh diri. Walaupun jarang,
beberapa pasien berbohong kepada psikiatri tentang keinginan untuk bunuh diri,
maka dari itu perlu assessment lebih hati-hati terutama pada pasien depresi.1
Terdapat terapi farmakologi yang dapat diberikan untuk mencegah
terjadinya bunuh diri. Bila pasien datang dengan perilaku agresif dapat diberikan
antipsikosis potensi tinggi dosis rendah seperti haloperidol (5-10 mg), antipsikotik
atipikal, seperti risperidone dan olanzapine (2,5-10 mg), atau injeksi
benzodiazepine, seperti lorazepam (2-4 mg) dan diazepam (5-10 mg). Kombinasi
antipsikosis dan benzodiazepine kadang sangat efektif. Bila dalam waktu 20-30
menit pasien tetap gelisah, ulangi dosis yang sama. Sebaiknya digunakan preparat
yang memiliki efek sedasi agar gejala psikis tidak tersamarkan dan dapat segera
dilakukan evaluasi diagnosis. Hindari pemberian antipsikosis bila pasien memiliki
resiko kejang, seperti pada penderita epilepsi. Sebelum pemberian antipsikosis,
diberikan terlebih dahulu antikonvulsan, seperti karbamazepin.
Untuk pasien yang sedang mengalami krisis karena baru ditinggal mati
atau baru mengalami suatu kejadian dengan jangka waktu tak lama, biasanya akan
berfungsi kembali setelah memberian tranquilizer ringan, seperti benzodiazepine,
seperti lorazepam 3 x 1 mg per hari selama 2 minggu. Pemberian benzodiazepine,
jangan diresepkan dalam jumlah banyak, diberikan sedikit-sedikit dahulu dan
pasien harus kontrol beberapa hari kemudian. Terapi definitif pasien yang
memiliki kecenderungan bunuh diri yaitu dengan antidepresan. Anti depresan
perlu diberikan pada pasien tetapi biasanya tidak di UGD. Bila diberikan
antidepresan di UGD,perlu dipastikan kepada pasien untuk kontrol keesokan
harinya.

21
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien


Nama : Ny. A
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 57 Tahun
Agama : Islam
Pendidikaan Terakhir : S1
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status Perkawinan : Menikah
Alamat : Padang Belimbing
Suku bangsa : Minang, Indonesia
Tanggal Masuk : 14 Agustus 2017

22
Tanggal di periksa : 15 Agustus 2017

3.2. Riwayat Psikiatri


1. Status Psikiatri
 Autoanamnesa dilakukan pada tanggal 15 Agustus 2017
 Alloanamnesa dilakukan pada tanggal 15 Agustus 2017 di bangsal jiwa
RSUD Solok
2. Keluhan Utama:
Pasien melakukan percobaan bunuh diri dengan menyayat leher bagian
tengah dengan pisau kurang lebih 30 menit SMRS.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dari IGD RSUD Solok pada tanggal 14 agustus 2017.
Pasien melakukan percobaan bunuh diri dengan menyayat leher bagian tengah
dengan pisau kurang lebih 30 menit SMRS, tampak luka robek di leher bagian
tengah. Pasien melakukan percobaan bunuh diri tersebut dengan menggunakan
pisau yang ada di lemari, pisau berukuran besar yang biasanya digunakan untuk
memotong sapi. Pasien mengeluhkan rasa ingin mati kurang lebih satu minggu
yang ini, pasien merasa putus asa dengan penyakit pada kaki yang tak kunjung
sembuh sehingga tak mampu untuk berjalan. Kurang lebih selama 6 tahun pasien
tidak bisa berjalan akibat syaraf terjepit. Pasien berobat rutin ke poli neurologi
dan melakukan fisioterapi, namun pasien tetap tidak mampu berjalan.Pasien
pernah meminta suntik mati dengan dokter, karena merasa sudah sangat putus
asa.Pasien dulunya pernah di rawat di RSJ HB Sa’anin dan pernah putus
obat.Pasien jugaberobat ke dukun, setelah itu keadaannya menjadi sehat bisa jalan
pakai tongkat 4.Namun, tidak lama kemudian pasien kembali tidak bisa berjalan
lagi. Pasien mudah marah, mengatakan mendapat wahyu dari Allah SWT, dan dia
di janjikan akan masuk surga. Pasien mendengar suara bisikan dan melihat
kucing, tikus, kepala orang tapi keluarga tidak ada yang mendengarnya dan tidak
melihatnya.

4. Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat Psikiatri :

23
Pasien pernah dirawat sebelumnya sekitar 30 tahun yang lalu di RSJ
HB Sa’anin, pasien dirawat karena mengalami depresi akibat tidak lulus
SPG ( sekolah pendidikan guru).
Pada tanggal 12 mei 2017 pasien pernah di rawat di RSJ HB Sa’anin,
saat itu pasien mengatakan dia mendapat wahyu dan di jamin masuk surga.
Pasien juga mendengar suara bisikan dan melihat orang tapi keluarga tidak
mendengar dan melihatnya.
 Riwayat Gangguan Medik :
Pada tanggal 16 juli 2017 pasien di rawat sebelumnya di Neurologi
karena keluhan kakinya tersebut, dokter mengataka bahwa ada syaraf yang
terjepit.
Pasien pernah di rawat sebelumnya sekitar tahun 1982 di RS Cirebon,
karena jatuh dari motor, koma selama 8 hari 8 malam.
 Penggunakan Zat Psikoaktif dan Alkohol
Pasien tidak ada menggunakan zat psikoaktif dan alkohol.

5. Riwayat Kehidupan Pribadi


 Riwayat Prenatal dan Perinatal
Pasien lahir secara normal dengan berat badan normal 3,5 kg dan tidak
ada komplikasi prenatal dan perinatal
 Riwayat masa kanak awal (0-3 tahun)
Pada masa kanak-kanak awal, tidak ada kelainan, tumbuh kembang
cukup baik.
 Riwayat Masa Kanak Pertengahan (4-11 tahun)
Pertumbuhan dan perkembangan pasien pada masa ini normal.Pasien
berkembang menjadi anak yang periang dan mudah bergaul.
 Riwayat Masa Kanak dan Akhir Remaja
Pasien tetap berkembang menjadi seorang yang periang dan mudah
bergaul
 Masa Dewasa

24
Saat pasien lulus SMA pasien ingin melanjutkan ke SPG tetapi pasien
tidak lulus,pasien sempat depresi atas kejadian tersebut.
 Riwayat Pendidikan
S1 : Pasien Tamatan S1
 Riwayat Pekerjaan
Ibu rumah tangga
 Riwayat Perkawinan
Pasien sudah menikah dua kali
 Aktivitas Sosial
Aktivitas sosial pasien awalnya berjalan lancar, namun sejak keadaan
kakinya yang tidak mampu untuk berjalan, pasien sering menyendiri dan
tidak banyak bicara.
 Riwayat Hukum
Pasien tidak pernah melakukan pelanggaran hukum dan terlibat dalam
masalah hukum
 Riwayat Psikoseksual
Tidak ada kelainan, pasien menyukai lawan jenis

 Riwayat Keluarga
Dalam keluarga, tidak ada anggota keluarga pasien yang memiliki
gangguan kejiwaan serta memiliki penyakit yang serupa dengan
pasien.Pasien merupakan anak pertama dari empat bersaudara.Pasien
memiliki satu anak laki-laki.Hubungan dengan saudara-saudara pasien
cukup baik.

GENOGRAM

25
Keterangan:

Perempuan

Pasien

Laki-laki

 Situasi Kehidupan Sekarang


Pasien tinggal dirumah hanya bersama dengan anaknya. Pasien bercerai
dengan suaminya.Pasien kadang sering sendiri dirumah karena anaknya
bekerja di Padang. Lingkungan tempat tinggal pasien merupakan tempak
padat penduduk dan saling berdekatan rumahnya dengan tetangga,
hubungan keluarga pasien dengan tetangga sekitar baik.

3.3. Pemeriksaan Status Mental


1. Deskripsi Umum :
 Penampilan : Pasien berpenampilan sesuai usia, berpakaian kurang
rapi dankurang bersih.
 Perilaku dan aktivitas motorik : Pasien tampak tenang, kontak mata
baik, danmau menjawab semua pertanyaan yang diberikan
 Sikap terhadap pemeriksa : Pasien cukup kooperatif terhadap
pemeriksa.
2. Mood dan Afek
 Mood : Anhedonia
 Afek : Mendatar
 Keserasaian : Mood dan afek serasi
3. Pembicaraan
 Pembicaraan : Spontan

26
 Volume : Kecil
 Artikulasi : Kurang jelas
4. Gangguan Persepsi
 Derealisasi : Tidak dapat dinilai
 Depersonalisasi : Tidak dapat dinilai
 Ilusi : Tidak dapat dinilai
 Halusinasi : visual ( pasien melihat kucing, tikus, kepala orang)
dan auditorik (pasien mendengar orang berbisik-bisik)
5. Pikiran
 Proses pikir : Koheren
 Isi pikiran : Waham Kebesaran ( pasien mengatakan mendapat
wahyu dan pasien akan masuk surge)
6. Fungsi Intektual
 Kesadaran : Composmentis Cooperative
 Orientasi :- Waktu : terganggu
- Tempat : Baik
- Orang : Baik

 Daya ingat :
- Jangka Panjang : Baik ( pasien mengingat tahun lahirnya)
- Jangka sedang : Baik ( pasien dapat mengingat kejadian yang hari
sebelumnya)
- Jangka pendek : Baik ( pasien bisa mengingat apa sarapan tadi
pagi)
- Segera :Baik (pasien bisa mengingat 3 nama benda yang
disebut pemeriksa)
 Konsentrasi dan perhatian : Tidak mudah dialihkan
 Kemampuan membaca dan menulis : Tidak terganggu
 Pikiran abstrak : Tidak terganggu
 Intelegasi dan kemampuan informasi : Tidak terganggu

27
 Kemampuan pengendalian impuls : Tidak terganggu, pasien
tidak mengamuk atau menangis saat wawancara
7. Daya Nilai dan Tilikan
 Daya nilai sosial : Tidak terganggu
 Daya nilai realita : Terganggu
 Tilikan : Derajat 4, menyadari dirinya sakit dan
butuh bantuan namun tidak memahami penyebab sakitnya.
8. Taraf dapat di percaya
Kemampuan pasien dapat dipercaya cukup baik dengan jujur
mengenai peristiwa yang terjadi.

3.4. Pemeriksaan Diagnostik Lebih Lanjut


a. Status Internus
- Keadaan umum : Lemah
- Kesadaran : CMC
- Status gizi :Baik
- TandaVital
o Tekanan Darah : 110/70 mmHg
o Frekuensi Nadi :85 x/menit
o Frekuensi nafas : 22 x/menit
o Suhu :36,5ºC
b. Status Neurologis
- Tanda meningeal : Kaku kuduk (-), brudzinki (-), kernig sign
(-)
- Nervus I-XII : Tidak ada kelainan
- Peningkatan TIK : Tidak ada
- Reflek Fisiologis
a. KPR : (--)
b. APaR : (--)
c. Bicep : (++)
d. Tricep : (++)
- Reflek Patologis

28
a. Babinski : (-)
b. Gordon : (-)
c. Chaddok : (-)
d. Scheffer : (-)
e. Hofman : (-)
- Tanda efek Ekstrapiramidal
a. Tremor :Tidak ada
b. Akatisia :Tidak ada
c. Bradikinesia :Tidak ada
d. Cara berjalan : Tidak bisa dinilai
e. Keseimbangan:Normal
f. Rigiditas :Tidak ada
c. Pemeriksaan Penunjang
Hb : 11,2 g/dl
Ht : 33,9 %
Leukosit : 8320 mm3
Trombosit : 310.000 mm3

3.5. Diagnosa Multiaksial


A. Axis I : Gangguan Depresi berat + Tentamen Suicide
B. Axis II : Belum ada diagnosa
C. Axis III : Paraplegi inferior LMN type e.c. susp. HNP lumbal
D. Axis IV : Pasien merasa putus asa tidak bisa berjalan kurang lebih
selama 6 tahun
E. Axis V : GAF 20-11, bahaya mencederai diri/ orang lain, disabilitas
sangat berat dalam komunikasi dan mengurus diri

3.6. Prognosis
Quo ad vitam :Bonam
Quo ad fungsionam : Malam

29
Quo ad sanation :Dubia

3.7. Penatalaksanaan
 Medikamentosa
- Risperidon 2x1,5 mg
- Trihexipenidil 2x2mg
- Clozapin 1x100 mg
- Nopress : 1x20 mg (pagi)
- Cefixime 2x100 mg
 Psikoterapi :
Support terhadap pasien dan keluarga, meminta pasien berbicara atau
berbagi dengan orang terdekatnya apabila merasa sedih, banyak pikiran, dan
jangan mudah putus asa atas penyakit yang di deritanya.Memberikan nasihat
kepada pasien untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, agar pasien
senantiasa terbuka pikirannya sehingga dapat menghilangkan keinginanya untuk
bunuh diri.Keluarga diminta untuk mendampingi dan menjaga pasien agar tidak
melakukan percoban bunuh diri lagi.

BAB IV
ANALISA KASUS

Pasien datang dari IGD RSUD Solok pada tanggal 14 agustus 2017. Pasien
melakukan percobaan bunuh diri dengan menyayat leher bagian tengah dengan
pisau kurang lebih 30 menit SMRS, tampak luka robek di leher bagian tengah.
Pasien melakukan percobaan bunuh diri karena merasa putus asa tidak bisa
berjalan kurang lebih selama 6 tahun akibat syaraf terjepit.Pasien sebelumnya
pernah di rawat di RSJ HB Sa’anin dan juga pernah putus obat.Selain itu, pasien
pernah berobat ke dukun, setelah itu keadaannya menjadi sehat bisa jalan pakai
tongkat 4.Namun, tidak lama kemudian pasien kembali tidak bisa berjalan lagi.
Pasien mudah marah, mengatakan mendapat wahyu dari Allah SWT, dan dia di

30
janjikan akan masuk surga. Pasien juga mendengar suara bisikan dan melihat
kucing, tikus, kepala orang tapi keluarga tidak ada yang mendengarnya dan tidak
melihatnya.
Berdasarkan PPDGJ-III, gejala klinis yang ditemukan pada pasien ini
mengarah kegangguan depresi berat dengan psikotik + tentamen suicide,
dikarenakan terdapat gejala depresi berat yaitu depresi, kehilangan energi,
kehilangan minat, merasa putus asa dan ada ide bunuh diri. Dikatakan dengan ciri
psikotik karena adanya waham kebesaran dan halusinasi auditorik visual serta
auditorik.. Axis II belum ada diagnosa, dan Axis IIIParaplegi inferior LMN type
e.c. susp. HNP lumbal, Axis IVpasien merasa putus asa tidak bisa berjalan
kurang lebih selama 6 tahun, dan Axis V GAF 20-11, bahaya mencederai diri/
orang lain, disabilitas sangat berat dalam komunikasi dan mengurus diri

BAB III
KESIMPULAN

Bunuh diri atau “suicide” adalah tindakan yang bertujuan membunuh diri
sendiri. Hal ini merupakan emergensi pada bidang psikiatri. Setiap tahunnya di
Amerika angka bunuh diri terus meningkat. Indonesia belu memiliki data
epidemiologi bunuh diri. Faktor risiko yang dapat meningkatkan terjadinya bunuh
diri yaitu laki-laki, usia muda atau tua, berkulit putih, status perkawinan,
pekerjaan, kesehatan fisik, kesehatan psikiatri, dan adanya riwayat percobaan
bunuh diri sebelumnya. Seseorang dapat melakukan bunuh diri dimana terdapat
beberapa faktor yang berperan meliputi faktor sosiologik, psikologikal, biologik,
dan genetik. Bunuh diri dapat diprevensi bila mana klinisi dapat melakukan

31
pendekatan kepada pasien dengan mengali faktor risiko yang ada. Terapi pada
pasien dengan ide, rencana, dan percobaan bunuh diri perlu adanya beberapa
modalitas terapi dan support dari lingkungan pasien. Terapi meliputi farmakologi
yang sesuai dengan penyakit atau gangguan mental yang diderita pasien dan juga
psikoterapi. Selain itu, dukungan dari keluarga, teman, klinisi, dan motivasi dari
pasien sendiri yang dapat menunjang pulihnya pasien.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia A. (2007). Kaplan & Sadock's


synopsis of psychiatry : behavioral sciences/clinical psychiatry.
Philadelphia: Wolters Kluwer.
2. Jacobson, Alan M.; Jacobson, James L. (2001). Psychiatric secrets.
Philadelphia: Hanley & Belfus.
3. T. Ronny. Suicide Preventive In Indonesia. Providing Public Advocacy.
Simposium: Role of Physicians in suicide patient.
4. WHO. Mental Health Atlas 2011: Indonesia. Department of Mental Health
and Substance Abuse: World Health Organization.

32
5. Jose Manoel Bertolote, Alexandra Fleischmann. Suicide and psychiatric
diagnosis: a worldwide perspective. Mental Health Policy Paper.
Department of Mental Health and Substance Dependence, World Health
Organization, Geneva, Switzerland.
6. C. Kevin. Suicide Warning Signs. Available from: www.suicide.org/suicide-
warning-signs.html
7. SAVE. Sign and Warning Sign of Suicide. Available from:
www.save.org/index.cfm?fuseaction
=home.viewpage&page_id=705f4071-99a7-f3f5-e2a64a5a8beaadd8
8. NHS. Warning signs – Suicide. Available from:
www.nhs.uk/Conditions/Suicide/Pages/warning-signs.aspx

33

Anda mungkin juga menyukai