Anda di halaman 1dari 20

A.

Bunuh Diri

1. Definisi Bunuh Diri

Kata suicide berasal dari bahasa Latin yang berarti “membunuh diri

sendiri”. Tindakan ini merupakan tindakan yang fatal karena secara sadar

melakukan hal yang dapat membuat diri mati. Meskipun demikian, terdapat

kisaran antara berpikir mengenai bunuh diri dan melakukannya. Beberapa

orang memliki ide untuk bunuh diri yang tidak akan pernah mereka lakukan,

beberapa lagi yang merencanakan berhari-hari, berminggu-minggu, atau

bahkan bertahun-tahun sebelum melakukannya dan orang lain melakukannya

berdasarkan impuls tanpa memikirkannya terlebih dahulu.

2. Faktor Risiko Bunuh Diri

a. Kesehatan fisik

Hubungan penyakit dan kesehatan fisik dengan bunuh diri cukup

bermakna. Perawatan medis sebelumnya berhubungan positif dengan

risiko bunuh diri. 32% orang yang melakukan bunuh diri pernah

mendapatkan perhatian medis dalam 6 bulan sebelum kematiannya.

Penyakit fisik diperkirakan sebagai faktor yang turut andil dalam bunuh

diri.

b. Kesehatan jiwa

Faktor psikologis merupakan hal yang bermakna dalam bunuh diri

seperti penyalagunaan zat, gangguan depresif, skizofrenia dan gangguan

jiwa yang lainnya. Sekitar 95% orang yang melakukan atau mencoba

bunuh diri memiliki diagnosis gangguan jiwa. Risiko bunuh diri pada
orang dengan gangguan depresif sekitar 15% dan 25% orang yang

memiliki riwayat perilaku implusif atau tindakan kekerasan juga berisiko

bunuh diri yang tinggi. Orang yang memiliki riwayat perawatan psikiatri

sebelumnya juga dapat meningkatkan risiko bunuh diri.

Terdapat perbedaan diantara orang muda dan tua yang melakukan

bunuh diri yaitu diagnosis pskiatrik dan stressor yang mengawalinya.

Suatu studi di San Diego, California menunjukkan bahwa penyebab paling

sering bunuh diri yang dilakukan oleh orang berusia dibawah 30 tahun

yaitu diagnosis penyalahgunaan zat dan gangguan kepribadian antisosial,

sedangkan gangguan mood dan gangguan kognitif paling sering pada usia

30 tahun lebih. Stressor yang menjadi penyebab bunuh diri dibawah 30

tahun yaitu perpisahan, penolakan, tidak bekerja dan masalah dengan

hukum. Pada usia diatas 30 tahun keatas, stressor penyakit merupakan

yang paling sering ditemukan.

c. Pasien Pskiatrik

Pasien pskiatrik berisiko 3 hingga 12 kali dibandingkan dengan

bukan pasien psikiatrik. Derajat risikonya bervariasi tergantung dari usia,

jenis kelamin, diagnosis, dan status pasein rawat inap atau rawat jalan.

Pasien pskiatrik laki-laki dan perempuan yang pernah dirawat sebelumnya

masing-masing berisiko 5 dan 10 kali lebih tinggi untuk bunuh diri.

Sedangkan untuk pasien rawat jalan laki-laki dan perempuan yang belum

pernah dirawat di rumah sakit untuk terapi pskiatrik, masing-masing

berisiko 3 dan 4 kali lebih tinggi untuk bunuh diri. Diagnosis pskiatrik
yang berisiko bunuh diri paling tinggi pada kedua jenis kelamin adalah

gangguan mood.

1) Gangguan depresif. Gangguan mood merupakan diagnosa yang paling

lazim dikaitkan dengan bunuh diri. Laki-laki yang bunuh diri lebih

banyak dibandingkan dengan perempuan dan kemungkinan bunuh diri

pada pasein depresi akan meningkat jika mereka lajang, berpisah,

bercerai, janda/duda atau baru berkabung. Bunuh diri pada pasien

deprsei cenderung berada pada usia pertengahan atau lebih tua.

Sejumlah studi mengungkapkan bahwa bunuh diri pada pasein depresi

cenderung dilakukan pada onset atau di akhir episode depresif. Seperti

pada pasien psikiatrik lainnya, waktu setelah keluar dari rumah sakit

merupakan waktu risiko bunuh diri yang tinggi. Sepertiga atau lebih

pasien depresi yang bunuh diri melakukannya dalam 6 bulan setelah

meninggalkan rumah sakit karena kemungkinan mereka mengalami

kekambuhan. Sebagian besar pasien depresi yang bunuh diri memiliki

riwayat terapi rawat jalan. Studi menunjukkan diantara mereka yang

sedang menjalani terapi mengatakan bahwa terapinya kurang cukup.

2) Skizofrenia. Risiko bunuh diri pada pasien dengan skizofrenia cukup

tinggi. Di Amerika Serikat, perkiraan 4.000 pasien skizofrenia

biasanya pada masa remaja atau dewasa awal. Dengan demikian,

pasien skizofrenik yang melakukan bunuh diri masih berusia muda.

Studi berbasis rumah sakit melaporkan bahwa gejala depresif ada

selama periode terakhir pasien skizofrenia yang melakukan bunuh


diri. Sampai 50% bunuh diri pada pasien skizofrenia terjadi selama

beberapa minggu dan bulan pertama setelah keluar dari rumah sakit,

hanya minoritas yang melakukan bunuh diri saat sedang dirawat.

3) Ketergantungan alkohol. Sebanyak 15% orang dengan ketergantungan

alkohol melakukan bunuh diri. Angka bunuh diri untuk mereka yang

alkoholik diperkirakan sekitar 270 per 100.000 setiap tahun. Sejumlah

studi menunjukkan bahwan pasien yang alkoholik mengalami depresi

selama dirawat di rumah sakit hingga akhirnya bunuh diri.

4) Ketergantungan zat lain. Angka bunuh diri untuk orang yang memiliki

ketergantungan heroin kira-kira 20 kali angka untuk populasi umum.

Ketersedian zat dengan jumlah letal, penggunaan intravena (IV),

gangguan kepribadian antisosial terkait, gaya hidup berantakan, dan

impulsivitas merupakan beberapa faktor predisposisi untuk perilaku

bunuh diri pada orang dengan ketergantungan zat terutama ketika

mereka sedang disforik, depresi, atau intoksikasi.

5) Gangguan kepribadian. Sekitar 5% pasien dengan gangguan

kepribadian antisosial melakukan bunuh diri. Memiliki gangguan

kepribadian mungkin merupakan suatu determinan perilaku bunuh diri

dalam beberapa cara dengan menjadi predisposisi terhadap gangguan

jiwa utama seperti gangguan depresif atau ketergantungan alkohol.

6) Gangguan ansietas. Hampir 20% pasien dengan gangguan panik dan

fobia sosial pernah melakukan percobaan bunuh diri yang tidak


berhasil dilakukan. Meskipun demikian, jika depresi merupakan

gambaran terkait, risiko keberhasilan menjadi meningkat.

d. Perilaku bunuh diri sebelumnya

Percobaan bunuh diri sebelumnya mungkin merupakan indikator

terbaik bahwa pasien memiliki peningkatan risiko untuk bunuh diri.

Sebuah studi menunjukkan bahwa risiko bunuh diri kedua paling tinggi

dalam 3 bulan setelah percobaan yang pertama. Kira-kira 40% pasien

depresi yang bunuh diri pernah mencoba sebelumnya. Depresi tidak hanya

terkait dengan keberhasilan bunuh diri tetapi juga dengan percobaan

bunuh diri. Diagnosis gangguan depresif paling sering dikaitkan ide atau

niat untuk mengakhiri hidup. Hal ini ditunjukkan oleh studi yang

mengungkapkan bahwa niat untuk mati berhubungan secara signifikan

dengan risiko bunuh diri serta keparahan gejala depresi.

Risiko bunuh diri dapat dibagi dengan melihat tanda-tanda risiko berat dan tanda-

tanda bahaya. Tanda-tanda risiko berat meliputi:

1. Keinginan mati yang bersungguh-sungguh dan pernyataan yang

berulang-ulang bahwa ia ingin mati

2. Depresi dengan gejala rasa bersalah dan berdosa , rasa putus asa, rasa

cemas, rasa tidak berharga lagi, berkurangnya nafsu makan, seks dasn

kegiatan sosial, serta gangguan tidur yang berat.

3. Adanya psikosis terutama yang implusif dan adanya perasaan curiga,

takut dan panik. Keadaan semakin berbahaya jika penderita

mendengar suara yang menyuruhnya untuk mengakhiri hidupnya.


Tanda-tanda bahaya meliputi:

1. Riwayat percobaan bunuh diri

2. Penderita dengan penyakit kronis yang berat dapat melakukan bunuh diri

karena mengalami depresi yang disebabkan oleh penyakit yang dideritanya

3. Ketergantungan obat dan alkohol yang dapat melemahkan kontrol dan

mengubah impuls sehingga memudahkan dorongan untuk bunuh diri

4. Hipokhondriasis. Keluhsn fisik yang konstan dan bermacam-mscam tanpa

sebab yang dapat menimbulkan deprsi yang berbahaya.

5. Bertambahnya umur terutama pria tanpa pekerjaan atau kesibukan yang

berarti ysng dapat menambah perasaan bahwa hidupnya tidak berarti lagi

6. Pengasingan diri

7. Bangkrut. Individu tanpa uang, pekerjaan, teman, harapan atau masa depan

dapat mengurangi gairah untuk hidup dibandingkan individu dengan

kedudukan sosial yang berhasil

8. Riwayat percobaan bunuh diri

9. Kesulitan penyeasuaian diri yang berlangsung lama

10. Tidak jelas adanya keuntungan sekunder. Jika ancaman pasien tertuju pada

orang-orang disekitarnya, mungkin percobaan bunuh diribertujuan untuk

mengharapkan pertolongan sehingga risikonya lebih kecil. Jika tidak

demikian dan ancaman betul-betul ditunjukkan kepada dirinya, maka

risikonya jauh lebih besar

3. Etiologi Bunuh Diri

a. Faktor sosiologis
Seorang sosiologis Perancis bernama Emile Durkheim

mengemukakan suatu studi berupa pengaruh sosial dan budaya pada

bunuh diri yang dilakukan pada abad ke-19. Durkheim membagi bunuh

diri dalam tiga kategori sosial yaitu egoistik, altruistik dan anomik. Bunuh

diri egoistik berlaku bagi mereka yang tidak memiliki integrasi kuat ke

dalam kelompok sosial manapun. Tidak adanya integrasi keluarga

menjelaskan mengapa orang yang tidak nikah lebih rentan bunuh diri

dibandingkan dengan orang menikah. Itulah mengapa pasangan yang

memilik anak adalah kelompok yang terlindungi. Komunitas perdesaan

lebih memiliki integrasi sosial dibandingkan perkotaan sehingga bunuh

diri lebih sedikit.

Bunuh diri altruistik berlaku pada mereka yang rentan terhadap

bunuh diri karena integrasi yang terlalu berlebihan kedalam kelompok.

Contohnya orang yang rela mengorbankan hidupnya dalam peperangan.

Bunuh diri anomik berlaku bagi mereka yang integrasinya ke dalam

masyarakat terganggu sehingga mereka tidak dapat mengikuti norma

perilaku yang lazim. Contohnya perubahan drastis ekonomi sehingga

mereka lebih rentan terhadap nunuh diri. Anomik juga mengacu pada

ketidakstabilan sosial dan pecahnya standar dan nilai masyarakat.

b. Faktor psikologis

Beberapa ahli bunuh diri kontemporer tidak menyarankan bahwa

struktur kepribadian atau psikodinamik tertentu terkait dengan bunuh diri.

Banyak yang dapat dipelajari dari psikodinamik pasien bunuh diri dari
khayalan mereka mengenai apa yang akan terjadi dan apa akibatnya jika

mereka bunuh diri. Khayalan-khayalan tersebut seperti keinginan untuk

balas dendam, penebusan kesalahan, pengorbanan atau ganti rugi, kabur,

penyelamatan, kelahiran kembali, dan kehidupan yang baru. Kebanyakan

pasien yang melakukan bunuh diri berfikir dengan cara tersebut bisa

melawan depresi yang tidak dapat ditoleransi dan rasa putus asa.

c. Faktor Biologis

Serotonin sentral yang berkurang berpengaruh besar dalam perilaku

bunuh diri. Suatu kelompok di Institut Karolinska di Swedia yang pertama

kali menemukan bahwa perilaku bunuh diri terkait dengan konsentrasi

serotonin 5-hydroxyindoleacetic acid (5-HIAA) yang rendah di cairan

serebrospinal (CSS) lumbal. Studi neurokimia postmortem menemukan

adanya penurunan serotonin atau 5-HIAA di korteks frontalis atau batang

otang korban bunuh diri. Selain itu studi reseptor postmortem melaporkan

adanya perubahan bermakna pada korban bunuh diri di tempat pengikatan

serotonin prasinaps dan pascasinaps. Rendahnya konsentrasi 5-HIAA di

CSS juga memprediksikan risiko bunuh diri dengan kisaran pendek di

dalam kelompok risiko tinggi pasien depresi yang mencoba bunuh diri.

d. Faktor Genetik

Perilaku bunuh diri cenderung menurun di dalam keluarga seperti

gangguan pskiatrik lainnya. Pada pasien pskiatrik, riwayat bunuh diri di

dalam keluarga dapat meningkatkan risiko percobaan bunuh diri dan

bunuh diri yang berhasil. Tryptophan hydroxylase (TPH) adalah ezim


yang terlibat dalam biosintesis serotonin. Suatu polimorfisme di dalam gen

TPH manusia telah diidentifikasi, dengan dua alel U dan L. Individu dapat

memiliki perubahan gen yang mengendalikan sintesis dan metabolisme

serotonin karena rendahnya konsentrasi 5-HIAA di dalam CSS terkait

perilaku bunuh diri. Pada alkoholik implusif ditemukan konsentrasi 5-

HIAA dalam CSS yang rendah memiliki genotipe LL dan UL yang lebih

banyak. Riwayat percobaan bunuh diri secara signifikan terkait dengan

adanya genotipe TPH yaitu UL dan LL pada semua alkoholik yang

melakukan kekerasan. Dengan demikian, adanya alel L terkait dengan

peningkatan risiko percobaan bunuh diri.

Riwayat percobaan bunuh diri berulang kebanyakan ditemukan

pada subjek dengan genotipe LL sedangkan diantara mereka dengan

genotipe UL ditemukan pada jumlah yang lebih sedikit. Hal ini dapat

dihipotesiskan bahwa alel L dihubungkan dengan perilaku bunuh diri yang

berulang. Adanya satu alel TPH*L dapat menunjukkan berkurangnya

kapasitas untuk menghidroksilasi tryptophan menjadi 5-

hydroxytryptophan di dalam sintesis serotonin sehingga menghasilkan

rendahnya pergantian serotonin sentral dan dengan demikian menurunkan

konsentrasi 5-HIAA di dalam CSS.


Mahasiswa

Mahasiswa menurut kamus besar bahasa Indonesia (KKBI) adalah orang yang

belajar di perguruan tinggi.

Prokrastinasi pada mahasiswa akhir

Hasil penelitian Burhani (2016) mengemukakan bahwa mahasiswa menyadari

perilaku prokrastinasi yang dialami. Kegiatan diluar kampus yang menyita waktu

merupakan bentuk tindakan prokrastinasi pada mahasiwa akhir. Tindakan

prokrastinasi pada mahasiswa akhir dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor

internal dan eksternal. Faktor internal berupa rasa malas dan belum mau melepas

status mahasiwanya karena merasa nyaman dan masih ingin bersenang-senang

dengan temannya. Selain itu, rencana setelah lulus kuliah yang belum matang

seperti segera bekerja setelah lulus atau melakukan kegiatan yang lain. Faktor

eksternal berupa lingkungan informan yang tidak mendukung untuk

menyelesaikan skripsi. Ajakan dari teman mereka untuk menunda-nunda skripsi.

Dinamika psikologis pada mahasiswa akhir


Pencegahan Bunuh Diri

Seseorang yang mencoba melakukan bunuh diri sebenarnya berada dalam

situasi keputusasaan dan ketidakbermaknaan. Pada situasi seperti inilah mereka

membutuhkan pertolongan dan intervensi yang tepat sebagai kunci dari upaya

pencegahan bunuh diri. Bunuh diri merupakan masalah yang cukup kompleks.

Oleh karena itu, belum ada cara yang terbukti dapat mencegah tindakan bunuh

diri secara maksimal dan memberikan perlindungan pada seseorang dari

kemungkinan bunuh diri (Winurini, 2020). Selain itu, tidak adanya pendekatan

tunggal yang dapat berdampak pada bunuh diri sehingga upaya pencegahan harus

komprehensif serta terintegrasi antara berbagai sektor.

Pencegahan bunuh diri sangat penting diterapkan dan dikembangkan untuk

menurunkan angka bunuh diri di Indonesia (Zulaikha & Febriyana, 2016). Di

Indonesia, pemerintah melalui Kemeterian Kesehatan melakukan pencegahan

bunuh diri dengan meluncurkan layanan telepon (hotline) yaitu (021) 500-454

pada 10 Oktober 2010. Angka 454 dimaksudkan agar bisa dibaca sebagai ASA

yang bermakna harapan, sebutan untuk hotline ini. Sayangnya, praktis online ini

hanya bertahan selama empat tahun. Layanan ini ditutup di tahun 2014 karena

terjadi kecenderungan penurunan jumlah telepon. Selain itu, jumlah tenaga

psikolog dan psikiater yang melayani konseling itu juga sedikit. Saat ini,

penghidupan kembali Hotline ASA tengah didiskusikan oleh Kementerian

Kesehatan. Pada tanggal 10 Oktober 2015, Kementerian Kesehatan juga

mengembangkan Aplikasi Android Sehat Jiwa yang bertujuan untuk memberikan

informasi mengenai kesehatan mental serta solusi yang mudah dan cepat dalam
melaporkan atau mengecek apabila terdapat pasien kesehatan mental di sekitar

masyarakat. Keberadaan program-program di atas patut diapresiasi namun belum

cukup optimal untuk mencegah bunuh diri karena tidak disertai dengan strategi

pencegahan yang menyeluruh. Masih banyak persoalan yang muncul. Pertama,

stigma sosial. Stigma sosial masih menjadi persoalan utama bagi banyak negara

dalam melakukan pencegahan bunuh diri, termasuk di Indonesia. Pencegahan

bunuh diri belum ditangani secara memadai karena kurangnya kesadaran akan

bunuh diri sebagai masalah kesehatan masyarakat yang utama, sementara mereka

yang memiliki masalah kesehatan mental hingga berpikir untuk bunuh diri

seringkali urung niat untuk meminta pertolongan secara terbuka karena khawatir

akan dinilai negatif oleh masyarakat. Akibatnya mereka mencari pertolongan yang

tidak tepat, misalnya menggunakan obat-obatan penenang tanpa resep dokter,

sehingga intervensi menjadi terlambat dan permasalahan mental semakin parah.

Kedua, ketersediaan tenaga profesional yang terbatas dan distribusinya yang tidak

merata. Ini menjadi masalah karena rasio tenaga profesional memiliki pengaruh

terhadap tingkat bunuh diri melalui intervensi yang tepat waktu. Pengurus Pusat

Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI)

menyebutkan bahwa Indonesia hanya memiliki 987 psikiater. Apabila

dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang sejumlah 264 juta jiwa,

maka dapat diartikan, 1 psikiater harus menangani 264.000 penduduk. Dari

jumlah 987 psikiater, sekitar 68,49% berada di Pulau Jawa, sementara sisanya,

yaitu 31,51% berada di luar Pulau Jawa. Adapun di Pulau Jawa, yaitu sebanyak

28% psikiater terkonsentrasi di Jakarta (bbc.com, 10 Oktober 2019). Sementara


itu, psikolog klinis tercatat sebanyak 1.700 orang, yang artinya, 1 psikolog klinis

harus menangani 155.000 penduduk. Sama halnya dengan psikiater, keberadaan

psikolog klinis pun berpusat di Pulau Jawa (tirto.id, 6 Mei 2019). Rasio psikiater

dan psikolog klinis dengan jumlah penduduk masih tidak sesuai apabila mengacu

pada standar WHO, yaitu 1:30 ribu orang, atau 0,03 per 100.000 orang (tirto.id,

17 Maret, 2017). Eka Viora dari PDSKJI menyebutkan bahwa kurang dari 10 %

penderita gangguan jiwa yang mendapatkan layanan terapi oleh petugas

kesehatan. Kebanyakan masyarakat berobat ke tenaga nonmedis seperti dukun

maupun kiai (ugm.ac.id, 10 Februari 2015). Ketiga, persoalan data tingkat

kematian akibat bunuh diri di Indonesia. Selama ini data yang umum dijadikan

acuan adalah data yang bersumber dari WHO, padahal Indonesia memiliki Sistem

Registrasi Sampel (SRS). Selain itu, data aktual kasus bunuh diri juga belum bisa

dipastikan akurasinya. Bunuh diri seringkali dianggap sebagai aib hingga

keberadaan kasusnya seringkali tertutupi. Padahal, menurut Nova Riyanti Yusuf,

Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa DKI Jakarta,

pemantauan bunuh diri secara berkala di tingkat nasional melalui data yang akurat

adalah dasar dari strategi pencegahan bunuh diri nasional yang efektif.

emperlihatkan bahwa upaya pencegahan bunuh diri belum terintegrasi dengan

baik sehingga belum cukup untuk mengatasi permasalahan bunuh diri. Sejalan

dengan apa yang dikatakan Nova Riyanti Yusuf, penurunan angka kematian

akibat bunuh diri di Indonesia belum diprioritaskan. Sesuai Permenkes No. 5

Tahun 2014, pengobatan dan terapi bagi gangguan kesehatan mental termasuk

dalam skema Jaminan Kesehatan Masyarakat (JKN), tetapi tidak untuk upaya
percobaan bunuh diri. Bunuh diri dianggap sebagai tindakan merugikan diri

sendiri dengan sengaja, bukan penyakit. Bisa dikatakan, bunuh diri bukan hanya

belum diprioritaskan, tetapi juga belum dilihat sebagai masalah kesehatan di

Indonesia. Penanganan bunuh diri bahkan belum tercermin dalam Peta Jalan

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia, meskipun tercantum sebagai

Target Pembangunan Berkelanjutan 3.4.2. Tampaknya, komitmen pemerintah

yang lemah menjadi persoalan utama dalam pencegahan bunuh diri di Indonesia.

Pencegahan bunuh diri menurut conwell terdiri dari tiga tahapan, yakni

pencegahan primer, sekunder, dan tersier. Pencegahan primer yaitu suatu upaya

pencegahan terjadinya perilaku bunuh diri atau keadaan yang berkembang

menjadi upaya bunuh diri. Pencegahan ini juga bertujuan untuk mereduksi jumlah

kasus baru. Pencegahan sekunder adalah suatu upaya menemukan sedini mungkin

krisis bunuh diri atau merujuk pada deteksi dini dan memberi penanganan yang

tepat pada individu yang memiliki keinginan bunuh diri agar tidak berlanjut

menjadi bunuh diri. Tujuan dari pencegahan sekunder ini adalah menurunkan

kemungkinan percobaan bunuh diri pada pasien dengan risiko tinggi. Pencegahan

tersier adalah tindakan yang ditunjukkan untuk menyelamatkan seseorang yang

melakukan bunuh diri, mengurangi gejala psikiatris dan penyakit sosial pada

kelompok berisiko. Pelayanan tertier di tunjukkan pada pelayanan di ruang gawat

darurat dan di bangsal rawat inap psikiatri.

Penilaian Risiko Bunuh Diri


Faktor risiko bunuh diri dapat sering muncul, namun bunuh diri tidak selalu

terjadi. Cara terbaik untuk menilai ide-ide bunuh diri yaitu wawancara secara

langsung atau melakukan skrining self report. Tanyakan kepada penderita

Alat penapisan resiko bunuh diri telah dikembangkan dan digunakan pada pasien

anak dan remaja. Berikut ini beberapa diantaranya: Ask Suicide Screening

Question(ASQ), Risk for Suicide Quessionare (RSQ), The Mood and Feeling

Quessionare (MFQ), Treatment Emergen Activation and Suicidality Assessment

Profile (TEASAP), Columbia Suicide Severity Ratting Scale (C-SSRS), Suicide

Behaviour Quessionaire (SBQ-R), Suicidal Ideation Quessionaire (SIQ)


Jenis-Jenis Perilaku Bunuh Diri
DEPRESI

Definisi Depresi

Depresi merupakan gangguan suasana hati yang semakin umum terjadi di

masyarakat. Meskipun demikian, depresi merupakan penyakit yang tidak

terdeteksi secara luas. Depresi dapat ditandai dengan penurunan afek (mood),

gangguan psikomotor dan gangguan somatik. Penurunan afek ditandai dengan

perasaan sedih dan penurunan minat. Penurunan psikomotor ditandai dengan

perlambatan gerakan, lesu, letih. Penurunan somatik ditandai dengan gangguan

tidur, nafsu makan dan gairah seks menurun.

Gangguan depresi menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental

Disorder 5 (DSM-5) meliputi gangguan disregulasi mooddisruptif, gangguan

depresi berat, gangguan depresi menetap (distimia), gangguan disforik

pramenstruasi, gangguan depresi yang diinduksi substansi/medikasi, gangguan

depresi akibat kondisi medis lain, gangguan depresi spesifik lain, dan gangguan

depresi yang tidak spesifik. Seseorang dikatakan mengalami depresi jika

mengalami lima atau lebih gejala depresi fisik dan psikologis selama lebih dari

dua minggu secara berturut-turut (APA, 2020)

Etiologi Depresi

a. Faktor biologi

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat kelainan pada amin

biogenik, seperti 5-HIAA (5-Hidroksi Indol Asetic Acid), HVA

(Homovanilic Acid), MPGH (5 methoxy-0-hidroksi phenil glikol), di

dalam darah, urin dan cairan serebrospinal pada gangguan mood.


Neurotransmitter yang terkait dengan patologi depresi adalah serotinin dan

epineprin. Penurunan serotinin dapat mencetuskan depresi dan pada pasien

bunuh diri, beberapa pasien memiliki serotinin yang rendah. Pada terapi

despiran mendukung teori bahwa norepineprin berperan dalam

patofisiologi depresi (Kaplan, 2010). Selain itu aktivitas dopamin menurun

pada depresi. Hak tersebut tampak pada pengobatan yang menurunkan

konsentrasi dopamin seperti respirin dan penyakit dimana konsentrasi

dopamin menurun seperti parkinson.

b. Faktor Genetik

Seseorang yang dalam keluarganya diketahui menderita depresi berat

memilki risiko lebih besar menderita gangguan depresi dibandingkan

dengan masyarakat pada umumnya. Gen berpengaruh dalam terjadinya

depresi tetapi ada banyak gen di dalam tubuh kita dan tidak ada seorang

pun peneliti yang mengetahui secara pasti bagaimana gen bekerja. Dan

tidak ada bukti langsung bahwa ada penyakit depresi yang disebabkan oleh

faktor keturunan.

Seseorang tidak akan menderita depresi hanya karena ayah, ibu, atau

saudara menderita depresi, tetapi risiko terkena depresi meningkat. Gen

lebih berpengaruh terhadap orang-orang yang punya periode dimana mood

mereka tinggi dan mood mereka rendah atau gangguan bipolar. Tidak

semua oran terkena depresi bahkan jika ada depresi dalam keluarga,

biasanya diperlukan suatu kejadian hidup yang memicu terjadinya depresi.

c. Faktor psikososial
Ada sejumlah faktor psikososial yang diprediksi sebagai penyebab

gangguan mental pada lanjut usia yang pada umunya berhubungan dengan

kehilangan. Faktor psikososial tersebut adalah hilangnya peranan sosial,

hilangnya otonomi, kematian teman atau sanak saudara, penurunan

kesehatan, peningkatsn isolasi diri, keterbatasan finansial dan penurunan

fungsi kognitif. Selain itu, faktor psikososial yang mempengaruhi depresi

meliputi peristiwa kehidupan, dan stresor lingkungan, kepribadian,

psikodinamika, kegagalan yang berulang, teori kognitif dan dukungan

sosial.

Klasifikasi Gangguan Depresi

Episode depresi berat dengan gangguan psikotik merupakan depresi yang parah

walau bukan penderita psikotik. Diagnosis gangguan ini ditegakkan berdasarkan

adanya gejala episode depresif berat ditambah gejala psikotik. Gejala psikotik

yang ditemukan seperti waham atau halusinasi. Dalam Panduan Pedoman

Diagnostik Gangguan Jiwa III (PPDGJ III) gejala utama depresi pada derajst

ringan, sedang dan berat meliputi afek depresi, kehilangan minat dan kegembiraan

dan berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah serta

menurunya aktivitas. Gejala lainnya antara lain:

a. Konsentrasi dan perhatian berkurang

b. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang

c. Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna

d. Pandangan tentang masa depan yang suram dan pesimistis

e. Gagasan tentang bunuh diri


f. Tidur terganggu

g. Nafsu makan berkurang

Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan masa

sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakan diagnosis. Akan tetapi periode

lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasanya berat dan berlangsung

cepat. Kategori diagnosis depresif berat tanpa gejala psikotik:

a. Semua 3 gejala depresi harus ada

b. Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya dan beberapa

diantaranya berintesitas berat

c. Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang

mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk

melaporkan banyak gejala secara rinci. Dalam hal demikian, penilaian

secara menyuluruh terhadap episode depresif berat masih dapat dibenarkan

d. Episode depresif setidaknya harus berlangsung sekurang-kurangnya dua

minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan bronset sangat cepat, maka

masih dibenarkan untuk menegakksn diagnosis dalam kurung waktu dua

minggu

e. Sangat tidak mungkin pasien aksn mampu meneruskan kegiatan sosial,

pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat

terbatas (Kesehatan, 2013)

Anda mungkin juga menyukai