Anda di halaman 1dari 11

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Gangguan Perilaku Bunuh Diri


2.1.1 Pengertian Gangguan Perilaku Bunuh Diri
Bunuh diri adalah salah satu penyebab utama kematian di seluruh dunia. Gagasan bunuh
diri mungkin juga muncul pada orang yang tidak mengalami gangguan mental saat mereka
berada dalam keadaan depresi atau mengalami penyakit fisik. Perilaku bunuh diri bukanlah suatu
gangguan psikologis, tetapi sering merupakan ciri atau symptom dari gangguan psikologis yang
mendasarinya, dan biasanya adalah gangguan mood yang menjadi alasan dibalik perilaku
percobaan bunuh diri. Orang yang mempertimbangkan untuk bunuh diri pada saat stress
kemungkinan kurang memiliki keterampilan memecahkan masalah dan kurang dapat
menemukan cara-cara alternative untuk copping dengan stressor yang mereka hadapi. Dalam
kaitannya, bunuh diri ini terkait dengan suatu jaringan yang kompleks dari beberapa faktor.
Namun, jelas bahwa kebanyakan kasus bunuh diri ini dapat dicegah bila orang dengan perasaan
ingin bunuh diri menerima penanganan untuk gangguan yang mendasari perilaku bunuh diri,
termasuk didalamnya adalah depresi, skizofrenia, serta penyalahgunaan alcohol dan zat (Nevid,
2003: 262-266).

2.1.2 Penyebab Gangguan Perilaku Bunuh Diri


Adapun Penyebab orang melakukan bunuh diri antara lain, seperti: \
1. Depresi dan Gangguan Bipolar, 60% dari semua kasus bunuh diri dilakukan oleh orang yang
mengalami gangguan mood atau suasana hati. Gangguan ini cukup luas, meliputi depresi berat
dan gangguan bipolar, yaitu gangguan yang ditandai dengan perubahan suasana hati secara
ekstrim. Orang yang mengalami depresi berkepanjangan sangat berisiko bunuh diri. Ketika
sedang depresi, penderita tak punya tenaga untuk bunuh diri. Tapi seiring berkurangnya gejala
depresi, energy yang tersedia untuk bunuh diri meningkat.

2. Gangguan mental, Sekitar 30% kasus bunuh diri dilakukan oleh orang yang memiliki
gangguan mental selain gangguan mood. Misalnya gangguan stres pasca trauma (post traumatic
stress disorder atau PTSD), skizofrenia, gangguan kepribadian, gangguan tidur, gangguan makan
(terutama anoreksia nervosa), dan kondisi lainnya. Orang yang memiliki 2 gangguan mental
sekaligus paling beresiko bunuh diri. 27

3. Konsumsi alcohol, Alkohol terlibat dalam sekitar 30% kasus bunuh diri. Alkohol
menyebabkan depresi, mengurangi hambatan untuk melakukan bunuh diri dan memicu penilaian
buruk pada diri sendiri. Faktor-faktor ini juga berkaitan dengan kekerasan dan pelecehan yang
juga meningkatkan kemungkinan bunuh diri.

4. Efek samping obat, Beberapa kasus bunuh diri merupakan akibat efek samping obat resep atau
kombinasi obat resep. Chantix, obat untuk mengatasi kebiasaan merokok memiliki efek samping
ini. Kombinasi obat yang buruk juga bisa menyebabkan overdosis dan mematikan.

5. Luka emosional, Penolakan, penghinaan atau rasa malu dapat mendorong orang untuk
melakukan bunuh diri. Penolakan sosial yang dialami sering menyebabkan isolasi sosial yang
juga meningkatkan risiko bunuh diri. Pada akhir 1980-an, penelitian menemukan ada hubungan
antara homoseksualitas, penolakan sosial dan bunuh diri pada remaja, terutama pada pria. Pria
muda homoseksual atau biseksual beresiko besar malkukan upaya bunuh diri daripada pria
heteroseksual.

6. Rasa bersalah, Rasa bersalah akibat menyaksikan atau mengalami penyiksaan, pelecehan,
pertempuran, pembantaian atau kekerasan bisa menjadi penyebab bunuh diri pada beberapa
kasus.

7. Menderita penyakit para, Orang yang sakit parah atau menderita penyakit kronis, lumpuh,
cacat atau kehilangan anggota tubuh terkadang melakukan bunuh diri. Orang yang mengalami
kondisi ini melakukan bunuh diri karena rasa sakit 28 atau ketidaknyamanan yang berhubungan
dengan kondisinya. Bisa juga karena rasa sedih akibat kehilangan fungsi tubuh atau penampilan
yang buruk.

8. Kehilangan dan kesedihan, Kesedihan dan kehilangan juga berkaitan dengan bunuh diri.
Kehilangan orang yang penting, pekerjaan, status sosial, jabatan, aset keuangan, kesehatan, atau
sesuatu yang lain biasanya memicu kesedihan. Kehilangan dan kesedihan dapat memicu krisis
eksistensial di mana orang yang berduka tidak dapat melihat alasan untuk terus hidup. Krisis
yang sama juga dapat terjadi ketika kehilangan status sosial dan sumber daya atau jaminan
keuangan.

9. Memiliki riwayat keluarga bunuh diri, Orang yang memiliki riwayat keluarga pernah
melakukan bunuh diri lebih mungkin mencoba atau melakukan tindak bunuh diri. Orangtua yang
mencoba bunuh diri akan dijadikan model atau contoh bahwa tindakan itu dapat diterima untuk
mengatasi rasa sakit emosional atau stres. Proses belajar ini tetap bertahan saat anak beranjak
dewasa.

10. Dipenjara, Orang yang dipenjara karena melakukan kejahatan berisiko tinggi melakukan
bunuh diri. Sayangnya, sulit mengetahui persisnya mengapa hal ini terjadi karena ada banyak
variable yang ikut bermain. Bunuh diri mungkin menjadi pelarian ketika hukuman yang divonis
terlalu lama. Beberapa tahanan juga melakukan bunuh diri sebagai cara untuk melarikan diri dari
upaya perkosaan oleh tahanan lain.

2.1.3 Diagnosa Gangguan Perilaku Bunuh Diri


Orangtua, dokter, guru dan teman kemungkinan pada posisi untuk mengidentifikasi siapa
yang mungkin berusaha bunuh diri, terutama pada mereka yang telah melakukan perubahan
baru-baru ini dalam perilaku. Anakanak dan remaja seringkali mempercayai hanya teman sebaya
mereka, yang harus diyakinkan untuk tidak menjaga rahasia yang bisa membuat kematian tragis
pada anak yang bunuh diri. Anak yang terlalu cepat berpikir bunuh diri seperti ‘saya harap saya
tidak pernah dilahirkan’ atau ‘saya ingin tidur dan tidak pernah terbangun’ beresiko, tetapi
sehingga anak dengan tanda-tanda ringan, seperti menarik diri dari masyarakat, tinggal kelas,
atau terpisah dari barang milik favorite. Pemerhati kesehatan professional memiliki dua kunci
peranan : mengevaluasi keselamatan anak bunuh diri dan perlu untuk di opname, dan pengobatan
berdasarkan kondisi, seperti depresi atau penyalahgunaan zat-zat terlarang.
Secara langsung menanyakan anak beresiko mengenai pemikiran dan rencana
mengurangi, daripada meningkatkan, resiko dimana anak tersebut akan berusaha bunuh diri
karena mengidentifikasi pikiran bunuh diri bisa menyebabkan intervensi. Hot line krisis,
menyediakan bantuan selama 24 jam, tersedia di banyak perkumpulan, dan menyediakan akses
yang siap untuk seorang simpatik yang bisa memberikan konseling segera dan bantuan dalam
memperoleh perawatan lebih lanjut. Meskipun hal ini sulit untuk dibuktikan bahwa pelayanan ini
secara nyata mengurangi jumlah kematian dari bunuh diri, mereka sangat membantu dalam
mengarahkan anak dan keluarga untuk sumber daya yang tepat.

2.1.4 Pengelompokan Perilaku Bunuh Diri


Berdasarkan besarnya kemungkinan seseorang melakukan bunuh diri menurut Fortinash
& Worret dalam (Aulia et al., 2019) terdapat 4 macam tingkatan perilaku bunuh diri antara lain:
1. Ide Bunuh Diri (Suicidal Ideation)
Ide bunuh diri sebagai pikiran tentang atau berencana untuk terlibat dalam perilaku
dengan tujuan untuk mengakhiri kehidupan (Scott et al., 2015). Menurut Fortinash & Worret
dalam (Aulia et al., 2019) ide bunuh diri meliputi pemikiran atau fantasi langsung maupun tidak
langsung untuk bunuh diri atau perilaku melukai diri sendiri yang diekspresikan secara verbal,
disalurkan melalui tulisan atau pekerjaan seni dengan maksud tertentu maupun memperlihatkan
pemikiran bunuh diri. Ide bunuh diri merupakan proses kontemplasi dari bunuh diri atau sebuah
metoda yang digunakan tanpa melakukan aksi/tindakan, bahkan klien pada tahap ini tidak akan
mengungkapkan idenya apabila tidak ditekan. Walaupun demikian, perlu disadari bahwa klien
pada tahap ini memiliki pikiran tentang keinginan mati.

2. Ancaman Bunuh Diri (Suicide threats)

Ungkapan secara langsung atau tulisan sebagai ekpresi dari niat melakukan bunuh diri
namun tanpa adanya tindakan. Ancaman bunuh diri mungkin menunjukkan upaya terakhir untuk
mendapatkan pertolongan agar dapat mengatasi masalah. Bunuh diri yang terjadi merupakan
kegagalan koping dan mekanisme adaptif (Aulia et al., 2019). Ancaman bunuh diri disampaikan
kepada orang lain yang berisi keinginan untuk mati disertai rencana untuk mengakhiri hidupnya
dan persiapan alat untuk menjalalankan rencana bunuh dirinya tersebut. Secara aktif seseorang
yang mengancam bunuh diri memikirkan rencana bunuh diri namun tidak disertai percobaan
bunuh diri (Keliat et al., 2011).

3. Isyarat Bunuh Diri (Suicide Gesture)

Isyarat bunuh diri ini ditunjukkan melalui perilaku tidak langsung ingin bunuh diri
seperti mengatakan:”tolong jaga anak saya karena saya akan pergi jauh”, “segala sesuatu akan
menjadi lebih baik tanpa saya”. Pada kondisi ini seseorang sudah memiliki ide untuk bunuh diri
namun tidak disertai ancaman atau percobaan bunuh diri (Keliat et al., 2011). Hal ini terjadi
karena individu memahami ambivalen antara mati dan hidupdan tidakberencana untuk mati.
Individu ini masih memiliki kemauan untuk hidup, ingin diselamatkan dan individu ini sedang
mengalamikonflik mental. Tahap ini sering dinamakan “Crying for help”sebab individu ini
sedang berjuang dengan stres yang tidak mampu diselesaikan (Aulia et al., 2019).

4. Percobaan Bunuh Diri (Suicide Attempts)

Menurut Patel & Jakopac dalam (Aulia et al., 2019) percobaan bunuh diri merupakan
tindakan serius untuk melukai diri secara langsung dimana terkadang menyebabkan luka kecil
atau besar dari seseorang mencoba mengakhiri hidup atau dengan serius mencederai dirinya.
Merupakan tindakan seseorang mencederai atau melukai diri untuk mengakhiri hidupnya. Pada
tahap ini individu aktif untuk mengakhiri hidupnya dengan berbagai cara (Keliat et al., 2011).

2.1.5 Treatment Gangguan Perilaku Bunuh Diri


Penanganan awal yang dapat diberikan adalah krisis intervensi yang bertujuan untuk
memberikan pengalaman yang baik antara keluarga dan staf medik gawat darurat, mengatur
harapan realistis tentang follow up treatment, dan mendapatkan komitmen dari remaja yang
bunuh diri serta keluarganya untuk kembali dan melakukan evaluasi lebih lanjut. Pelaku
percobaan bunuh diri harus dirawat inap jika kondisinya tidak stabil dan perilakunya tidak bisa
diprediksi. Gambaran diagnostik yang bisa digunakan sebagai indikasi untuk rawat inap adalah
depresi mayor dengan gejala psikotik, siklus cepat perilaku impulsif dan iritabel, psikotik dengan
halusinasi perintah dan penyalahgunaan alkohol dan zat terlarang (AACAP, 2001).
Penanganan selanjutnya dilakukan menggunakan teknik psikoterapi yang bertujuan untuk
mengurangi perasaan tidak berdaya, marah, cemas, putus asa, serta untuk mereorientasi
perspektif kognitif dan emosional dari anak/remaja yang melakukan bunuh diri. Jenis-jenis
psikoterapi yang dapat digunakan yaitu terapi perilaku kognitif, psikoterapi interpersonal,
dialectical behavioral therapy (DBT), psikoterapi psikodinamik dan terapi keluarga (Rathus dan
Miller, 2002; Calear et al., 2015). Psikofarmakologi diberikan berdasarkan gangguan yang
mendasari perilaku bunuh diri. Pelaku bunuh diri yang memiliki riwayat gangguan bipolar,
pertama kali harus diberikan mood stabilizer sebelum mendapatkan anti depresan, dan lithium
merupakan pengobatan lini pertama. SSRI dipilih sebagai penatalaksanaan depresi pada anak dan
remaja. Obat antidepresan golongan trisiklik harus dihindari karena efek yang mematikan
(Pfeffer, 2000; Baron et al., 2009).
2.2 Gangguan Penyalahgunaan Zat dan Obat
2.2.1 Pengertian Gangguan Penyalahgunaan Zat dan Obat
Gangguan penyalahgunaan zat adalah penggunaan obat-obatan (termasuk alkohol) secara
terus-menerus meskipun ada bahaya besar dan konsekuensi yang merugikan. Gangguan
penggunaan zat ditandai dengan serangkaian masalah mental/emosional, fisik, dan perilaku
seperti rasa bersalah kronis; ketidakmampuan untuk mengurangi atau berhenti mengonsumsi zat
meskipun telah dicoba berulang kali; mengemudi saat mabuk; dan gejala penarikan fisiologis.
Kelas obat yang terlibat dalam SUD meliputi: alkohol; ganja; phencyclidine dan halusinogen
lainnya, seperti arylcyclohexylamine; inhalant; opioid; sedative, Obat tidur, atau anxiolytic;
stimulan; tembakau; dan zat lain atau yang tidak diketahui.
Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi ke-5 (2013), juga
dikenal sebagai DSM-5, diagnosis DSM-IV, penyalahgunaan zat dan ketergantungan zat
digabungkan ke dalam kategori gangguan penggunaan zat. Tingkat keparahan gangguan
penggunaan zat dapat sangat bervariasi; dalam diagnosis SUD DSM-5, tingkat keparahan SUD
individu dikualifikasikan sebagai ringan, sedang, atau berat berdasarkan berapa banyak dari 11
kriteria diagnostik yang terpenuhi. International Classification of Diseases revisi 11 (ICD-11)
membagi gangguan penyalahgunaan napza menjadi dua kategori: (1) pola penggunaan napza
yang berbahaya; dan (2) ketergantungan zat.

2.2.2 Penyebab Gangguan Penyalahgunaan Zat dan Obat


1. Faktor Individu
Tiap individu memiliki perbedaan tingkat resiko untuk menyalahgunakan NAPZA.
Faktor yang mempengruhi individu terdiri dari faktor kepribadian dan faktor konstitusi. Alasan-
alasan yang biasanya berasal dari diri sendiri sebagai penyebab penyalahgunaan NAPZA antara
lain:
a. Keingintahuan yang besar untuk mencoba, tanpa sadar atau berpikir panjang mengenai
akibatnya
b. Keinginan untuk bersenang-senang
c. Keinginan untuk mengikuti trend atau gaya
d. Keinginan untuk diterima oleh lingkungan atau kelompok
e. Lari dari kebosanan, masalah atau kesusahan hidup
f. Pengertian yang salah bahwa penggunaan sekali-sekali tidak menimbulkan ketagihan
g. Tidak mampu atau tidak berani menghadapi tekanan dari lingkungan atau kelompok pergaulan
untuk menggunakan NAPZA
h. Tidak dapat berkata TIDAK terhadap NAPZA
2. Faktor Lingkungan, meliputi:
a. Lingkungan Keluarga --- Hubungan ayah dan ibu yang retak, komunikasi yang kurang efektif
antara orang tua dan anak, dan kurangnya rasa hormat antar anggota keluarga merupakan faktor
yang ikut mendorong seseorang pada gangguan penggunaan zat.
b. Lingkungan Sekolah --- Sekolah yang kurang disiplin, terletak dekat tempat hiburan, kurang
memberi kesempatan pada siswa untuk mengembangkan diri secara kreatif dan positif, dan
adanya murid pengguna NAPZA merupakan faktor kontributif terjadinya penyalahgunaan
NAPZA.
c. Lingkungan Teman Sebaya --- Adanya kebutuhan akan pergaulan teman sebaya mendorong
remaja untuk dapat diterima sepenuhnya dalam kelompoknya. Ada kalanya menggunakan
NAPZA merupakan suatu hal yng penting bagi remaja agar diterima dalam kelompok dan
dianggap sebagai orang dewasa.

2.1.3 Ciri-Ciri Orang Dengan Gangguan Penyalahgunaan Zat dan Obat


1. Fisik
 Jalan sempoyongan, bicara pelo, apatis, mengantuk;
 Kebersihan dan kesehatan tidak terawat;
 Banyak bekas suntikan/sayatan;
 Ditemukan alat bantu penggunaan (jarum suntuk, bong, pipet, alumunium foil, botol
minuman, dll).
2. Tingkah laku
 Pola tidur berubah;
 Suka berbohong dan mencuri;
 Sering mengurung diri di kamar, kamar mandi, menghindar bertemu keluarga;
 Sering bepergian, menerima telepon atau didatangi orang tidak dikenal;
 Membelanjakan uang secara tidak wajar.
3. Emosi
 Emosional/lebih agresif;
 Sering curiga tanpa sebab yang jelas;
 Sulit konsentrasi, prestasi di sekolah menurun;
 Hilang minat pada hobi/kegiatan yang disenangi.

2.1.4 Treatment Gangguan Penyalahgunaan Zat dan Obat


 Pengobatan Ketergantungan Zat
Program pengobatan biasanya menawarkan sesi terapi individu, kelompok atau keluarga.
Perawatan juga berfokus pada pemahaman tentang sifat kecanduan, bebas dari narkoba, dan
mencegah kekambuhan. Tingkat perawatan berbeda-beda tergantung kebutuhan setiap orang,
seperti program rawat jalan, residensial, dan rawat inap (rehabilitasi). 
 Detoksifikasi
Detoksifikasi bertujuan untuk memungkinkan penyalahguna berhenti mengonsumsi obat yang
menimbulkan kecanduan secepat dan seaman mungkin. Bagi sebagian orang, mungkin aman
menjalani terapi ini secara rawat jalan. Masa pemutusan diri dari ketergantungan zat, seperti
depresan, stimulan atau opioid, menghasilkan efek samping yang berbeda dan memerlukan
pendekatan yang berbeda. Detoksifikasi mungkin melibatkan pengurangan dosis obat secara
bertahap atau penggantian sementara zat lain. 

 Overdosis Opioid
Dalam overdosis opioid, nalokson, antagonis opioid, dapat diberikan oleh penyalahguna dengan
keadaan darurat atau siapa saja yang mengalami overdosis. Nalokson dapat membalikkan efek
obat opioid sementara.

 Terapi Perilaku
Terapi perilaku merupakan bentuk psikoterapi yang bisa dilakukan oleh psikolog atau psikiater.
Penderita juga mungkin membutuhkan konseling dari konselor yang berlisensi. Terapi dan
konseling bisa dilakukan dengan individu, keluarga, atau kelompok. Terapis atau psikolog dapat
melakukan beberapa hal, seperti: 
 Membantu penderita mencari cara untuk mengatasi kecanduan narkoba. 
 Memberikan saran strategi untuk menghindari narkoba dan mencegah kekambuhan.
 Memberikan saran tentang cara mengatasi kekambuhan jika itu terjadi. 
 Mendiskusikan tentang masalah yang berkaitan dengan pekerjaan, masalah hukum, dan
hubungan dengan keluarga dan teman. 
 Mengajak anggota keluarga untuk membantu penderita mengembangkan keterampilan
komunikasi yang lebih baik dan bersikap suportif. 
 Mengatasi kondisi kesehatan mental lainnya. 

 Terapi Kelompok

Hal positif yang bisa didapatkan dari terapi kelompok yaitu mengetahui bahwa kecanduan adalah
gangguan kronis dengan bahaya yang dapat kambuh. Terapis atau konselor berlisensi membantu
penderita menemukan kelompok pendukung. Kamu juga dapat menemukan kelompok
pendukung di komunitas yang dapat ditemukan di internet.  Dikutip dari American Psychiatric
Association, gangguan penyalahgunaan zat bisa memengaruhi banyak aspek kehidupan
seseorang, sehingga berbagai jenis pengobatan sering kali diperlukan. Kolaborasi antara
pengobatan dan terapi individu atau kelompok adalah yang paling efektif. Pendekatan
pengobatan ini menangani situasi individu dan masalah medis, psikiatris, dan sosial yang terjadi
bersamaan sehingga dapat mengarah pada pemulihan. 
DAFTAR PUSTAKA

Zulaikha, A., & Febriyana, N. (2018). Bunuh Diri pada Anak dan Remaja. Suicide in Children and
Adolescent, 66-67.

Fausiah, F & Widury, J. (2003). Bahan Ajar Mata Kuliah Psikologi Abnormal. Jakarta: Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai