A. Pengertian
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri
kehidupan. Bunuh diri mungkin merupakan keputusan terkahir dari individu untuk
memecahkan masalah yang dihadapi (Keliat 1991 : 4).Menurut Beck (1994) dalam Keliat
(1991 hal 3) mengemukakan rentang harapan putus harapan merupakan rentang adaptif
maladaptif.
Bunuh diri adalah setiap aktivitas yang jika tidak dicegah dapat mengarah pada
kematian (Gail w. Stuart, 2007). Bunuh diri adalah pikiran untuk menghilangkan nyawa
sendiri (Ann Isaacs, 2004.)
Kesimpulan dari pengertian diatas bahwa bunuh diri adalah suatu tindakan agresif
yang merusak diri sendiri dengan mengemukakan rentang harapan-harapan putus asa,
sehingga menimbukan tindakan yang mengarah pada kematian.
B. Rentang Respon
Pada umumnya tindakan bunuh diri merupakan cara ekspresi orang yang penuh
stress Perilaku bunuh diri berkembang dalam beberapa rentang diantaranya :
Respon adaptif merupakan respon yang dapat diterima oleh norma-norma sosial dan
kebudayaan yang secara umum berlaku, sedangkan respon maladaptif merupakan respon
yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah yang kurang dapat diterima oleh
norma-norma sosial dan budaya setempat. Respon mal adaptif antara lain :
a. Ketidakberdayaan,
keputusasaan,
apatis
Individu
yang
tidak
berguna lagi, tidak mampu mengembangkan koping yang baru serta yakin
tidak ada yang membantu.
b. Kehilangan, ragu-ragu :Individu yang mempunyai cita-cita terlalu tinggi
dan tidak realistis akan merasa gagal dan kecewa jika cita-citanya tidak
tercapai. Misalnya : kehilangan pekerjaan dan kesehatan, perceraian,
perpisahan individu akan merasa gagal dan kecewa, rendah diri yang
semua dapat berakhir dengan bunuh diri.
c. Depresi : Dapat dicetuskan oleh rasa bersalah atau kehilangan yang
ditandai dengan kesedihan dan rendah diri. Biasanya bunuh diri terjadi
pada saat individu ke luar dari keadaan depresi berat.
d. Bunuh diri Adalah tindakan agresif yang langsung terhadap diri sendiri
untuk
e. mengkahiri kehidupan. Bunuh diri merupakan koping terakhir individu
untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
Diagnostik > 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri,
mempunyai hubungan dengan penyakit jiwa. Tiga gangguan jiwa yang dapat
membuat individu beresiko untuk bunuh diri yaitu gangguan apektif, penyalahgunaan
zat, dan skizofrenia.
Sifat kepribadian, tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan besarnya resiko
bunuh diri adalah rasa bermusuhan, implisif dan depresi.
Lingkungan
psikososial,
Seseorang
yang
baru
mengalami
kehilangan,
b. Faktor Presipitasi
Faktor pencetus seseorang melakukan percobaan bunuh diri adalah :
1
Perasaan
terisolasi
dapat
terjadi
karena
kehilangan
hubungan
Selain itu terdapat pula beberapa motif terjadinya bunuh diri, Motif bunuh diri ada
banyak macamnya. Disini penyusun menggolongkan dalam kategori sebab, misalkan :
1
Memiliki riwayat satu kali atau lebih melakukan percobaan bunuh diri.
10 Mempunyai akses terkait metode untuk melakukan bunuh diri missal pistol,
obat, racun.
11 Merasa ambivalen tentang pengobatan dan tidak kooperatif dengan
pengobatan
12 Merasa kesepian dan kurangnya dukungan social
Impulsif.
Kesehatan mental (secara klinis, klien terlihat sebagai orang yang depresi,
psikosis dan menyalahgunakan alcohol).
10 Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan penyakit kronis atau terminal).
11 Pengangguaran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau mengalami kegagalan
dalam karier).
Pasien juga mengungkapkan hal-hal negative tentang diri sendiri yang menggambarkan
harga diri rendah.
2
Bunuh Diri
Bunuh
diri
mungkin
terjadi
setelah
tanda
peningkatan
terlewatkan
atau
terabaikan.Orang yang melakukan percobaan bunuh diri dan yang tidak langsung ingin mati
mungkin pada mati jika tanda-tanda tersebut tidak diketahui tepat pada waktunya.
Data Fokus
Subjektif :
o Mengungkapkan keinginan bunuh diri.
o Mengungkapkan keinginan untuk mati.
o Mengungkapkan rasa bersalah dan
keputusasaan.
o Ada riwayat berulang percobaan bunuh
diri sebelumnya dari keluarga.
o Berbicara tentang kematian, menanyakan
tentang dosis obat yang mematikan.
o Mengungkapkan
adanya
konflik
interpersonal.
o Mengungkapkan telah menjadi korban
perilaku kekeasan saat kecil.
Objektif :
o Impulsif.
o Menunujukkan
mencurigakan
perilaku
(biasanya
yang
menjadi
sangat patuh).
o Ada riwayat panyakit mental (depesi,
psikosis,
dan
penyalahgunaan
alcohol).
o Ada riwayat penyakit fisik (penyakit
kronis atau penyakit terminal).
o Pengangguran
(tidak
bekerja,
kehilangan pekerjaan, atau kegagalan
dalam karier).
o Umur 15-19 tahun atau diatas 45
tahun.
Status perkawinan yang tidak harmonis.
G. Diagnosa
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada prilaku percobaan bunuh diri :
a. Resiko Bunuh Diri
Diagnosa medis yang mungkin muncul pada prilaku percobaan bunuh diri :
b. Depresi
H. Penatalaksanaan
1
dengan
pasien
efektifitas
masing-masing
cara
penyelesaian masalah
c. Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalah yang lebih
baik.
I. Tindakan medis
Adapun tindakan medis sebagai berikut :
1
a. Depresi
Diagnose
Rencana Keperawatan
TUM
Kriteria Evaluasi
Rencana tindakan
TUK
Resiko
bunuhdir
mencedera
hubungan
waja Bina
saling bersahabat,
diri percaya
saling
menunjukkan
sendiri
hubungan
percaya,
rasa menggunakan
dan
mau klien
menyebutkan nama
Klien
dapat Klien
terlindung
nama baik.
dapat Jauhkan
dari terlindung
dengan
klien
yang
dapat
membahayakan,
awasi klien secara
ketat setiap hari.
Klien
dapat Klien
dapat Dengarkan
mengekspresikan
mengekspresikan
keluhan
yang
perasaannya
perasaannya
dirasakan
klien,
bersikap
empati
untuk
meningkatkan
ungkapan
keraguan,
ketakutan
dan
keputusasaan
Klien
Klien
Bantu
dapatmeningkatkan
dapatmeningkatkan
memahami
untuk
harga diri
harga diri
Klien
dapat Klien
dapat Ajarkan
menggunakan
menggunakan
mengidentifikasi
pengalamanpengalaman yang
menyenangka,
beri
dorongan
untuk
berbagi
keprihatinan thdp
orang lain.
L. Tindakan Keperawatan
Tindakan keperawatan pada pasien dan keluarga terdiri dari tiga macam :
1. Ancaman/percobaan bunuh diri dengan diagnosa keperawatan : Resiko Bunuh Diri
2. Tindakan keperawatan untuk pasien percobaan bunuh diri
a. Tujuan
: Pasien tetap aman dan selamat
b. Tindakan
: Melindungi pasien
3. Untuk melindungi pasien yang mengancam atau mencoba bunuh diri, maka saudara
dapat melakukan tindakan berikut :
1) Menemani pasien terus-menerus sampai dia dapat dipindahkan ketempat
yang aman.
2) Menjauhi semua benda yang berbahaya ( misalnya pisau, silet, gelas, tali
pinggang).
3) Memeriksa apakah pasien benar-benar bahwa saudara akan melindungi
pasien sampai tidak ada keinginan bunuh diri.
sendiri.
Assalamualaikum Bapak/Ibu, kenalkan saya A yang merawat putra bapak dan ibu
dirumah sakit ini.
Bagaimana kalau kita berbincang-bincang tentang cara menjaga agar B tetap selamat dan
tidak melukai dirinya sendiri. Bagaimana kalau disini saja kita berbincang-bincangnya
Pak/Bu? Sambil kita awasi terus B.
KERJA
Bapak/Ibu, B sedang mengalami putus asa yang berat karena kehilangan pekerjaan dan
ditinggal istrinya, sehingga sekarang B selalu ingin mengakhiri hidupnya. Karena
kondisi B yang dapat mengakhiri kehidupannya sewaktu-waktu, kita semua perlu
mengawasi B terus-menerus. Bapak/Ibu dapat ikut mengawasi ya.. pokoknya kalau
dalam kondisi serius seperti ini B tidak boleh ditinggal sendirian sedikitpun
Bapak/Ibu bisa bantu saya untuk mengamankan barang-barang yang dapat digunakan B
untuk bunuh diri, seperti tali tambang, pisau, silet, tali pinggang. Semua barang-barang
tersebut tidak boleh ada disikitar B. Selain itu, jika bicara dengan B fokus pada halhal positif, hindarkan pernyataan negatif.
Selain itu sebaiknya B punya kegiatan positif seperti melakukan hobby nya bermain sepak
bola, dll supaya tidak sempat melamun sendiri.
TERMINASI
Bagaimana perasaan Bapak/Ibu setelah mengetahui cara mengatasi perasaan ingin bunuh
diri?
Coba Bapak/Ibu sebutkan lagi cara tersebut? Baik mari sama-sama kita temani B,
sampai keinginan bunuh dirinya hilang.
4)
1)
2)
3)
ORIENTASI
Assalamualaikum Bapak/Ibu. Bagaimana keadan Bapak/Ibu?
Hari ini kita akan mendiskusikan tentang tanda dan gejala bunuh diri dan cara
melindungi dari bunuh diri.
Dimana kita akan diskusi? Bagaimana kalau di ruang wawancara? Berapa lama
Bapak/Ibu punya waktu untuk diskusi?
KERJA
Apa yang Bapak/Ibu lihat dari perilaku atau ucapan B?
Bapak/Ibu sebaiknya memperhatikan benar-benar munculnya tanda dan gejala bunu diri.
Pada umunya orang yang akan melakukan bunuh diri menunjukan tanda melalui
percakapan misalnya Saya tidak ingin hidup lagi, orang lain lebih baik tanpa saya.
Apakah B pernah mengatakannya?
Kalau Bapak/Ibu menemukan tanda dan gejala tersebut, maka sebaiknya Bapak/Ibu
mendengarkan ungkapan perasaan dari B secara serius. Pengawasan terhadap B
ditingkatkan, jangan biarkan dia sendirian di rumah atau jangan dibiarkan mengunci
diri di kamar. Kalau menemukan tanda dan gejala tersebut, dan ditemukan alat-alat
yang akan digunakan untuk bunuh diri, sebaiknya dicegah dengan meningkatkan
pengawasan dan memberi dukungan untuk tidak melakukan tindakan tersebut.
Katakan bahwa Bapak/Ibu sayang pada B. Katakan juga kebaikan-kebaikan B.
Usahakan sedikitnya 5 kali sehari Bapak/Ibu memuji B dengan tulus.
Tetapi kalau sudah terjadi percobaan bunuh diri, sebaiknya Bapak/Ibu mencari bantuan
orang lain. Apabila tidak dapat diatasi segeralah rujuk ke Puskesmas atau rumah sakit
terdekat untuk mendapatkan perawatan yang lebih serius. Setelah kembali ke rumah,
Bapak/Ibu perlu membantu agar B terus berobat untuk mengatasi keinginan bunuh
diri.
TERMINASI
Bagaimana Pak/Bu? Ada yang mau ditanyakan? Bapak/Ibu dapat ulangi kembali caracara merawat anggota keluarga yang ingin bunuh diri?
Ya bagus. Jangan lupa pengawasannya ya! Jika ada tanda-tanda keinginan bunuh diri
segera hubungi kami. Kita dapat melanjutkan untuk pembicaraan yang akan datang
tentang cara-cara meningkatkan harga diri B dan penyelesaian masalah.
SP 3 Keluarga :
ORIENTASI
Assalamualaikum pak, bu, sesuai janji kita minggu lalu kita sekarang ketemu lagi
Bagaimana pak, bu, ada pertanyaan tentang cara merawat yang kita bicarakan minggu
lalu?
Sekarang kita akan latihan cara-cara merawat tersebut ya pak, bu?
Kita akan coba disini dulu, setelah itu baru kita coba langsung ke B ya?
Berapa lama bapak dan ibu mau kita latihan?
KERJA
Sekarang anggap saya B yang sedang mengatakan ingin mati saja, coba bapak dan ibu
praktekkan cara bicara yang benar bila B sedang dalam keadaan yang seperti ini
Bagus, betul begitu caranya
Sekarang coba praktekkan cara memberikan pujian kepada B
Bagus, bagaimana kalau cara memotivasi B minum obat dan melakukan kegiatan
positifnya sesuai jadual?
Bagus sekali, ternyata bapak dan ibu sudah mengerti cara merawat B
Bagaimana kalau sekarang kita mencobanya langsung kepada B?
(Ulangi lagi semua cara diatas langsung kepada pasien)
TERMINASI
Bagaimana perasaan bapak dan ibu setelah kita berlatih cara merawat B di rumah?
Setelah ini coba bapak dan ibu lakukan apa yang sudah dilatih tadi setiap kali bapak dan
ibu membesuk B
Baiklah bagaimana kalau dua hari lagi bapak dan ibu datang kembali kesini dan kita akan
mencoba lagi cara merawat B sampai bapak dan ibu lancar melakukannya
Jam berapa bapak dan ibu bisa kemari?
Baik saya tunggu, kita ketemu lagi di tempat ini ya pak, bu
SP 3 Pasien: Untuk meningkatkan harga diri pasien isyarat bunuh diri.
ORIENTASI
Assalamualaikum B! Bagaiman perasaan B saat ini? Masih adakah dorongan
mengakhiri kehidupan? Baik, sesuai janji kita 2 jam yang lalu sekarang kita akan
membahas tentang rasa syukur atas pemberian Tuhan yang masih B miliki. Mau
berapa lama? Dimana?
KERJA
Apa saja dalam hidup B yang perlu disyukuri, siapa saja kira-kira yang sedih dan rugi
kalau B meninggal. Coba B ceritakan hal-hal yang baik dalam kehidupan B. Keadaan
yang bagaimana yang membuat B merasa puas? Bagus. Ternyata kehidupan B masih
ada yang baik yang patut B syukuri. Coba B sebutkan kegiatan apa yang masih dapat
B lakukan selam ini?. Bagaimana kalau B mencoba melakukan kegiatan tersebut,
mari kita latih.
TERMINASI
Bagaimana perasaan B setelah kita bercakap-cakap? Bisa sebutkan kembali apa-apa saja
yang B patut syukuri dalam hidup B? Ingat dan ucapkan hal-hal yang baik dalam
kehidupan B jika terjadi dorongan mengakhiri kehidupan (afirmasi). Bagus B. Coba B
ingat-ingat lagi hal-hal lain yang masih B miliki dan perlu disyukuri!. Nanti jam 12
kita bahas tentang cara mengatasi masalah dengan baik. Tempatnya dimana? Baiklah.
Tapi kalau ada perasaan-perasaan yag tidak terkendali segera hubungi saya ya!
SP 3 keluarga :
ORIENTASI
Assalamualaikum pak, bu, hari ini B sudah boleh pulang, maka sebaiknya kita
membicarakan jadual B selama dirumah.
Berapa lama kita bisa diskusi?
Baik mari kita diskusikan.
KERJA
Pak, bu, ini jadwal B selama dirumah sakit, coba perhatikan, dapatkah dilakukan
dirumah? tolong dilanjutkan dirumah, baik jadual aktivitas maupun jadual minum
obatnya.
Hal-hal yang perlu diperhatikan lebih lanjut adalah perilaku yang ditampilkan oleh B
selama di rumah. Kalau misalnya B terus menerus mengatakan ingin bunuh diri,
tampak gelisah dan tidak terkendali serta tidak memperlihatkan perbaikan, menolak
minum obat atau memperlihatkan perilaku membahayakan orang lain, tolong bapak
dan ibu segera hubungi Suster C dirumah sakit harapan peduli,rumah sakit terdekat
dari rumah ibu dan bapak, ini nomor telepon rumah sakitnya: (0771) 12345.
Selanjutnya suster C yang akan membantu memantau perkembangan B
TERMINASI
Bagaimana pak/bu? Ada yang belum jelas?
Ini jadwal kegiatan harian B untuk dibawa pulang. Ini surat rujukan untuk perawat C di
rumah sakit harapan peduli. Jangan lupa kontrol ke rumah sakit sebelum obat habis
atau ada gejala yang tampak. Silahkan selesaikan administrasinya.
tantangan yang akan berdampak besar pada keperawatan jiwa baik dalam tatanan regional
maupun global.
1. Kesehatan jiwa dimulai masa konsepsi
Di Indonesia banyak gangguan jiwa terjadi mulai pada usia 19 tahun dan kita
jarang sekali melihat fenomena masalah sebelum anak lahir. Perkembangan terkini
menyimpulkan bahwa berbicara masalah kesehatan jiwa harus dimulai dari masa
konsepsi atau bahkan harus dimulai dari masa pranikah. Banyak penelitian yang
menunjukkan adanya keterkaitan masa dalam kandungan dengan kesehatan fisik dan
mental seseorang di masa yang akan datang. Penelitian-penelitian berikut membuktikan
bahwa kesehatan mental seseorang dimulai pada masa konsepsi.Diantara hasil penelitian:
Marc Lehrer( 300 bayi yg diteliti): stimulasi dini ( berupa suara, musik, getaran,
sentuhan ) setelah dewasa memiliki perkembangan fisik, mental dan emosional yg lebih
baik.
Mednick : ada hubungan skizofrenia dengan infeksi virus dalam kandungan.
Mednick membuktikan bahwa mereka yang pada saat epidemi sedang berada pada
trimester dua dalam kandungan mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk menderita
skizofrenia di kemudian hari. Penemuan penting ini menunjukkan bahwa lingkungan luar
yang terjadi pada waktu yang tertentu dalam kandungan dapat meningkatkan risiko
menderita
skizofrenia.
Mednick
menghidupkan
kembali
teori
perkembangan
tidak lagi didominasi kalangan bawah tetapi kalangan mahasiswa, PNS, pegawai swasta,
kalangan pejabat dan masyarakat lapisan menengah ke atas juga tersentuh gangguan
psikotik dan depresif. Penyebab dikalangan menengah ke atas sebagian besar akibat tidak
mampu mengelola stress dan ada juga akibat post power syndrome atau mutasi jabatan.
Kasus-kasus gangguan kejiwaan yang ditangani oleh para psikiater dan dokter di RSJ
menunjukkan bahwa penyakit jiwa tidak mengenal baik strata sosial maupun usia. Ada
orang kaya yang mengalami tekanan hebat, setelah kehilangan semua harta bendanya
akibat kebakaran. Selain itu kasus neurosis pada anak dan remaja, juga menunjukkan
kecenderungan
meningkat.
Neurosis
adalah
bentuk
gangguan
kejiwaan
yang
Adanya gangguan kesehatan jiwa ini sebenarnya disebabkan banyak hal. Namun,
menurut Aris Sudiyanto, (Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa (psikiatri) Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, ada tiga golongan penyebab
gangguan jiwa ini. Pertama, gangguan fisik, biologis atau organic. Penyebabnya antara
lain berasal dari faktor keturunan, kelainan pada otak, penyakit infeksi (tifus, hepatitis,
malaria dan lain-lain), kecanduan obat dan alkohol dan lain-lain. Kedua, gangguan
mental, emosional atau kejiwaan. Penyebabnya, karena salah dalam pola pengasuhan
(pattern of parenting) hubungan yang patologis di antara anggota keluarga disebabkan
frustasi, konflik, dan tekanan krisis. Ketiga, gangguan sosial aau lingkungan.
Penyebabnya dapat berupa stressor psikososial (perkawinan, problem orangtua, hubungan
antarpersonal dalam pekerjaan atau sekolah, di lingkungan hidup, dalam masalah
keuangan, hukum, perkembangan diri, faktor keluarga, penyakit fisik, dan lain-lain).
4. Kecenderungan Situasi di Era Globalisasi
Perkembangan IPTEK yg begitu cepat dan perdagangan bebas sebagai ciri
globalisasi, akan berdampak pada semua faktor termasuk kesehatan. Perawat dituntut
mampu mberikan askep yg profesional dan dpt mpertanggung jawabkan secara ilmiah.
Perawat dituntut senantiasa mkembangkan ilmu dan teknologi di bidang keperawatan
khususnya keperawatan jiwa. Perawat jiwa dalam era global harus membekali diri dgn
bahasa internasional, kemampuan komunikasi dan pemanfaatan teknologi komunikasi,
skill yang tinggi dan jiwa entrepreneurship.
5. Globalisasi dan Perubahan Orientasi Sehat
Pengaruh globalisasi terhadap perkembanganyankes termasuk keperawatan
adalahtersedianya alternatif pelayanan dan persaingan penyelenggaraan pelayanan.
(persaingan kualitas). Tenaga kesehatan (perawat jiwa ) harus mempunyai standar
global dalam memberikanpelayanan kesehatan, jika tdk inginketinggalan. Fenomena
masalah kesehatan jiwa, indicatorkeswa di masa mendatang bukan lagi masalah klinis
seperti prevalensi gangguan jiwa, melainkanberorientasi pada konteks kehidupan sosial.
Fokuskesehatan jiwa bukan hanya menangani orang sakit,melainkan pada peningkatan
kualitas hidup. Jadikonsep kesehatan jiwa buka lagi sehat atau sakit, tetapikondisi
optimal yang ideal dalam perilaku dankemampuan fungsi socialParadigma sehat Depkes,
lebih menekankan upayaproaktif untuk pencegahan daripada menunggu diRS, orientasi
6. Kecenderungan Penyakit
Masalah kesehatan jiwa akan menjadi The global burdan of disease (Michard &
Chaterina, 1999). Hal ini akan menjadi tantangan bagi Public Health Policy yang
secara tradisional memberi perhatian yang lebih pada penyakit infeksi. Standar
pengukuran untuk kebutuhan kesehatan global secara tradisional adalah angka kematian
akibat penyakit. Ini telah menyebabkan gangguan jiwa seolah-olah bukan masalah.
Dengan adanya indikator baru, yaitu DALY (Disabilitty Adjusted Life Year) diketahuilah
bahwa gangguan jiwa merupakan masalah kesehatan utama secara internasional.
Perubahan sosial ekonomi yang amat cepat dan situasi sosial politik yang tidak menentu
menyebabkan semakin tigginya angka pengangguran, kemiskinan, dan kejahatan, situasi
ini dapat meningkatkan angka kejadian krisis dan gangguan jiwa dalam kehidupan
manusia ( Antai Otong, 1994).
Untuk menjawab tantangan ini diperlukan tenaga-tenaga- kesehatan seperti
psikiater, psilolog, social Worker, dan perawat psikiatri yang memadai baik dari segi
kuantitas. Saat terjadinya tsunami di Aceh, banyak orang yang terpapar dengan kejadian
Traumatis, yang mengalami, menyaksikan kejadian-kejadian yang berupa ancaman
kematian atau kematian yang sebenarnya dan mereka yang cedera serta yang dalam
ancaman terhadap integritas fisik diri sendiri atau orang lain. Respons yang terjadi berupa
rasa takut yang kuat serta tidak berdaya, sedangkan bagi anak-anak apa yang
menghadapinya akan dieksperikan dengan perilaku yang kacau
Trauma itu merupakan sesuatu yang katastropik, yaitu trauma diluar rentang.
Pengalaman trauma yang umum dialami manusia dalam kejadian sehari-hari. Pengalaman
katastropik dalam berbagai bentuk, baik peperangan (memang sedang terjadi),
pemerkosaan (banyak dialami sebagian wanita di Aceh), maupun bencana alam, (gempa
dan bencana tsunami), sungguh mengerikan. Ini akan membuat mereka dalam keadaan
stress berkepanjangan dan berusaha untuk tidak mengalami stress yang sedemikian.
Dalam kriteria klinik seperti yang disusun dalam Diagnostic and Statical Manual Of
Mental Disorder lll dan Lv serta Pedoman Pengggolongan dan Diagnosis gangguan jiwa
lll di Indonesia menyatakan, gejala yang ditemukan pada mereka itu menggambarkan
suatu yang stress yang terjadi berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Dengan demikian
mereka menjadi manusia yang invalid dalam kondisi kejiwaan dengan akibat dan
resultante akhir penderita ini akan menjadi tidak produktif. Padahal seperti diketahui ada
diantara mereka yang berkali-kali telah mengalami pengalaman katastropik yaitu saat
daerah tersebut ada dalam kondisi berlangsungnya Daerah Operasi Militer dan peristiwaperistiwa sesudahnya. Kondisi itu memang amat melumpuhkan tidak hanya ragawi, tetapi
juga kondisi kejadian masyarakat di daerah NAD. Di kemudian hari, mereka menjadi
manusia yang tanpa alasan selalu berusaha menghindar terhadap kejadian yang mirip,
terutama terhadap kekerasan yang sebernarnya tidak akan terjadi. Mereka juga menjadi
manusia yang selalu bermimpi menakutkan terjadi secara berulang-ulang. Akibatnya,
tidur yang seharusnya kan membuat restorasi terhadap kondisi tubuh, namun yang terjadi
adalah sebaliknya. Mereka berada dalam keadaan lelah dan seakan berada dalam kondisi
depresi. Mungkin saja mereka kan berperilaku atau merasa seakan-akan kejadian
traumatis itu terjadi kmbaki, termasuk pengalaman, ilusi, halusinasi, dan episode kilas
balik dalam bentuk disosiatif. Penelitian mutakhir tentang kajian trauma (trauma studies)
mulai memahami bahwa trauma bukan semata-mata gejala kejiwaan yang bersifat
individual. Trauma muncul sebagai akibat dari saling keterkaitan antara ingatan sosial
dan ingatan pribadi tentang peristiwa yang mengguncang eksistensi kejiwaan. Dalam
konteks tsunami Aceh dan bencana-bencana besar lainnya di Indonesia, kompleksitas
sosial dan kultural sangat penting mengingat bahwa masyarakat telah mengalami dan
menjadi saksi berbagai macam kekerasan sejak berlangsungnya operasi keamanan di
daerah ini. Oleh karena itu, pemahaman tentang trauma sebagai proses sosial dan
sekaligus proses kejiwaan yang bersifat personal mutlak diperlukan untuk mencari jalan
keluar dari lingkaran ingatan traumatis yang dialami oleh klien-klien yang mengalami
yang mengalami bencana di seluruh penjuru Indonesia. Menariknya, Sigmund Freud
sendiri pernah mengemukakan bahwa trauma adalah suatu ingatan yang direpresi. Dan,
karena direpresi itulah maka trauma sering berlangsung secara tidak sadar dalam periode
yang cukup lama. Guncangan psikologis yang disebabkan oleh ingatan mengerikan
tentang gelombang tsunami, tentang mayat-mayat yang berserakan, dan tentang
kehilangan banyak anggota keluarga sekaligus berpotensi untuk membentuk ingatan yang
traumatis. Perawat jiwa pada masa akan datang penting untuk menekuni kajian trauma,
juga menggarisbawahi proses yang dalam studi psikologi sering disebut sebagai
transference. Istilah ini merujuk pada transfer pengalaman traumatis yang terjadi dari
orang yang secara fisik langsung mengalami peristiwa yang mengerikan kepada orang
lain yang tak secara langsung mengalaminya. Freud memberi contoh bahwa psikoanalis
juga dapat mengalami proses transference saat ia secara tak sadar melakukan identifikasi
dengan korban trauma tersebut. Dori Laub, psikiater yang terlibat dalam pembuatan
Shoah, mengatakan bahwa transference itu bisa terjadi saat psikoanalis, atau siapapun
juga yang melakukan wawancara dengan korban.
7. Meningkatknya Post Traumatic Syndrome Disorder
Trauma yang katastropik, yaitu trauma di luar rentang pengalaman trauma yang
umum di alami manusia dlm kejadian sehari-hari. Mengakibatkan keadaan stress
berkepanjangan dan berusaha untuk tidak mengalami stress yang demikian. Mereka
menjdi manusia yang invalid dlam kondisi kejiwaan dengan akibat akhir menjadi tidak
produktif. Trauma bukan semata2 gejala kejiwaan yang bersifat individual, trauma
muncul sebagai akibat saling keterkaitan antara ingatan sosial dan ingatan pribadi tentang
peristiwa yang mengguncang eksistensi kejiwaan.
8. Meningkatnya Masalah psikososial
Lingkup kesehatan jiwa sangat luas dan kompleks, juga saling berhubungandengan
segala aspek kehidupan manusia. Mengacu pd UU No. 23 1992 tentang Kesehatan Dan
Ilmu Psikiatri, masalah kesehatan jiwa secara garis besar digolongkan menjadi :
a) Masalah perkembangan manusia yg harmonis dan peningkatan kualitas hidup, yaitu
masalah kejiwaan yang berkaitan dengan makna dan nilai-nilai kehidupan
manusia.Misalnya:
Masalah kesehatan jiwa yang berkaitan dengan lifecycle kehidupan manusia,
mulai dari persiapan pranikah, anak dalam kandungan, balita, anak, remaja,
dewasa, usia lanjut.
Dampak dari menderita penyakit menahun yang menimbulkan disabilitas.
Pemukiman yang sehat.
Pemindahan tempat tinggal.
b) Masalah psikososial yaitu masalah psikis atau kejiwaan yang timbul akibat terjadinya
perubahan sosial, meliputi :
Psikotik gelandangan (seseorang yang berkeliaran di tempat umum dan
diperkirakan menderita gangguan jiwa psikotik dan dianggap mengganggu
ketertiban/keamanan lingkungan).
Pemasungan penderita gangguan jiwa
Masalah anak jalanan
Masalah anak remaja (tawuran, kenakalan)
Penyalaggunaan Narkotik dan psikotropik
Masalah seksual (penyimpangan seksual, pelecehan seksual dll)
Tindak kekerasan sosial (kemiskinan, penelantaran tdk diberi nafkah, korban
kekerasan pd anak, dll) Stress pasca trauma (ansietas, gangguan emosional,
berulang kali merasakan kembali suatu pengalaman traumatik, bencana alam,
ledakan, kekerasan, penyerangan/ penganiayaan fisik/ seksual, termasuk
ingat, dll).
Masalah kesehatan tenaga kerja di tempat kerja (penurunan produktivitas,
stress di tempat kerja, dll).
Latar belakangnya beragam : asmara, pekerjaan, cek-cok rmh tangga, ekonomi, perasaan
malu dan terlilit utang.
10. Masalah Napza dan HIV/ AIDS
Gangguan penggunaan zat adiktif ini sangat berkaitan dan merupakan dampak
dari pembangunan serta teknologi dari suatu negara yang semakin maju. Hal terpenting
yang mendukung merebaknya NAPZA di negara kita adalah perangkat hukum yang
lemah bahkan terkadang oknum aparat hukum seringkali menjadi backing, ditambah
dengan keragu-raguan penentuan hukuman bagi pengedar dan pemakai, sehingga
dampaknya SDM Indonesia kalah dengan Malaysia yang lebih bertindak tegas terhadap
pengedar dan pemakai NAPZA. Kondisi ini akan semakin menigkat untuk masa yang
akan datang khususnya dalam era globalisasi. Dalam era globalisasi tersebut terdapat
gerakan yang sangat besar yang disebut dengan istilah Gerakan Kafirisasi. Bila
beberapa dekade yang lalu kita mengenal istilah zionisme, maka dengan ini sejalan
dengan globalisasi kita berhadapan dengan dengan ideologi kafirisasi yang disebut
dengan Neozionisme, sebuah ideologi yang ingin menciptakan tatanan dunia global yang
sekuler dan terlepas sama sekali dari ajaran agama yang mereka anggap sebagai
kepalsuan, racun, dan dogmatis fundamentalis.
Gerakan konspirasi mereka telah membuat carut marut dan tercabiknya wajah
kaum beragama, utamanya umat muslim, mereka menuduh umat islam sebagai
fundamentalis, ekstrimis, dan tiran. Bahkan Hungtington (Misionaris Yahudi) pernah
mengatakan : Musuh Barat terbesar setelah Rusia hancur adalah Islam. Salah
satuprogram mereka adalah menghancurkan islam melalui penghancuran generasi
mudanya dengan cara menebarkan narkotik dan zat adiktif lainnya (NAPZA).
Sekarang para imperalis dan konspirasi Yahudi telah memanfaatkan energi
yang tersimpan dalam generasi negeri ini (1,3 juta orang pemuda) yang berusia 15-25
tahun melalui NAPZA (Narkotik dan Zat Adikif lainnya) dan telah membunuh 30 orang
perbulannya. Masalah lainnya muncul seiring dengan merebaknya pemakaian NAPZA.
Menjelang tahun 2008 pertumbuhan HIV AIDS di dunia dapat mencapai 4 orang
permenit. Ini merupakan ancaman hilangnya kehidupan dan runtuhnya peradaban.
Kita semua, khususnya tim kesehatan harus merasa terpanggil menyelamatkan
generasi penerus bangsa dari cangkraman NAPZA (Narkotika, Alkohol, psikotropika, dan
Zat Adiktif lainnya). Perawat merupakan komponen terbesar dari seluruh tim kesehatan,
ad.
Bagaimana
anak
dilatihmandiri
dan
mengenal
disiplin
di
goncangan dalam kehidupannya, ketika agama tidak lagi menjadi pegangan, ketika nafsu
duniawi menjadi tuhan maka akan banyak perilaku tidak wajar yang muncul, tekanan
ekonomi, tekanan sosial, tekanan psikologis dan tekanan - tekanan yang lain mampu
membuat ego defence mechanisme seseorang menjadi terganggu. Seseorang pada intinya
ingin dianggap penting, perilaku agar dianggap atau terlihat penting ini yang terkadang
merusak integritas pribadinya sendiri, contoh : "agar kelihatan kaya melakukan hutang
dengan beban angsuran diluar kemampuan, akhirnya harus gerilya dengan debt collector,
setiap debt collector datang harus bersembunyi atau bahkan melarikan diri agar hutangnya
tidak ditagih, jika perlu pindah rumah kontrakan". Kejaran dari debt collector bisa membuat
seseorang menjadi tertekan secara psikologis.
Kehidupan sebenarnya bermuara pada dua hal keinginan dan kebutuhan, jika orang
berorientasi pada pemenuhan keinginan maka dia tidak akan mampu melawan keserakahan
yang sudah menguasai hati dan kehidupannya, nafsu menjadi yang terbaik membuat orang
menghalalkan segala cara untuk menang, sebuah kemenangan seorang pecundang sama
buruknya dengan kekalahan pecundang yang sebenarnya, cara menang sebagai pecundang
ini adalah dengan cara sikat kanan, sikat kiri, injak bawah dan menjilat atasan menjadi
sebuah pilihan pahit yang diambil oleh para hedonis ini. Jika saja mutiara kebajikan "siapa
menanam benih maka dia akan menuai, atau setiap perbuatan baik sekecil apapun ada
balasannya dan setiap perbuatan buruk sekecil apapun akan ada balasannya". Manusia harus
mampu menekan keinginan dan memprioritaskan pada pemenuhan kebutuhan, jika kita
memiliki keinginan maka mempertahankan melakukan segala sesuatu dengan cara baik
adalah sebuah keharusan, alam, manusia dan semua ciptaan tuhan sudah diatur oleh sang
pencipta dan manusia tidak perlu ikut membuat aturan yang sudah digariskan oleh tuhan,
ketika manusia melalaikan janji maka sifat manusia sebagai tempat salah dan lupa bisa
menjadi faktor pemakluman terhadap situasi tersebut, tetapi janji tuhan bukanlah faktor yang
dapat ditawar, jika kita berbuat baik maka pasti akan menuai kebaikan jika kita berbuat
buruk akan menuai hal buruk pula.
Manusia bisa membuat sebuah hukum, sebuah aturan dalam bentuk undang - undang
dan berbentuk peraturan, isi aturan dan undang - undang bisa memiliki dua sisi, mengikuti
kepentingan penguasa atau memang undang - undang tersebut memang untuk membuat
sebuah keteraturan, ketika raja firaun berkuasa maka dia membuat sebuah undang - undang
bahwa setiap warga yang memiliki anak laki - laki maka anak laki - lakinya tersebut harus
dibunuh. Undang - undang ini tentu untuk kepentingan penguasa karena berdasarkan
ramalan salah satu bayi laki - laki tersebut yang akan mengakhiri kisah kediktaktoran sang
raja. Ketika akhirnya tuhan memberikan sebuah pembalasan dengan sangat kejam dengan
cara menghanyutkan firaun dan semua pengikutnya ditengah lautan maka musnahlah
kesombongan penguasa diktator tersebut.
Kisah - kisah teladan telah banyak yang diceritakan dalam kitab suci, jika manusia
meresapi cerita - cerita tersebut kemudian memperkuat fondasi spiritualitasnya, melakukan
komunikasi dengan pencipta lewat ibadah maka kehidupan akan menuju sebuah keteraturan,
dunia diciptakan dalam bentuk aneka warna dan hitam putih sehingga muncul siang dan
malam, gelap dan terang, mengembalikan manusia ke hakikat diri mereka yang sebenarnya
akan membuat seseorang menemukan dirinya, mereka menerima semua kelebihan dan
kekurangan dan secara sehat menerima setiap perbedaan sebagai sebuah paket utuh dari
adanya persamaan, jika dunia berwarna putih semua maka akan monoton, bahkan asal mula
kejahatan bermula dari rasa iri iblis terhadap adam sehingga adam terbuang dari surga,
manusia pilihan yang diciptakan pertama kali sudah mampu disesatkan oleh iblis maka akan
berapa banyak keturunan adam yang juga mampu disesatkan oleh iblis dengan iming - iming
kenikmatan dunia.
A. Definisi TAK
Terapi kelompok adalah terapi psikologi yang dilakukan secara kelompok untuk
memberikan stimulasi bagi pasien dengan gangguan interpersonal (Yosep, 2008).
Terapi aktivitas kelompok merupakan salah satu terapi modalitas yang dilakukan
perawat kepada sekelompok klien yang mempunyai masalah keperawatan yang sama.
Aktivitas digunakan sebagi terapi, dan kelompok digunakan sebagai target asuhan (Kelliat,
2005).
Terapi aktivitas kelompok adalah aktivitas membantu anggotanya untuk identitas
hubungan yang kurang efektif dan mengubah tingkah laku yang maladaptive (Stuart &
Sundeen, 1998).
Terapi aktivitas kelompok adalah salah satu upaya untuk memfasilitasi psikoterapis
terhadap sejumlah klien pada waktu yang sama untuk memantau dan meningkatkan
hubungan antar anggota (Depkes RI, 1997).
B. Tujuan TAK
Depkes RI mengemukakan tujuan terapi aktivitas kelompok secara rinci sebagai
berikut:
1. Tujuan Umum
a. Meningkatkan kemampuan menguji kenyataan yaitu memperoleh pemahaman dan
cara membedakan sesuatu yang nyata dan khayalan.
b. Meningkatkan sosialisasi dengan memberikan kesempatan untuk berkumpul,
berkomunikasi dengan orang lain, saling memperhatikan memberikan tanggapan
terhadap pandapat maupun perasaan ortang lain.
c. Meningkatkan kesadaran hubungan antar reaksi emosional diri sendiri dengan prilaku
defensif yaitu suatu cara untuk menghindarkan diri dari rasa tidak enak karena merasa
diri tidak berharga atau ditolak.
kelompok diatur dengan adanya pemimpin dan anggota, arah komunikasi dipandu oleh
pemimpin, sedangkan keputusan diambil secara bersama.
2. Besar kelompok.
Jumlah anggota kelompok yang nyaman adalah kelompok kecil yang anggotanya
berkisar antara 5-12 orang. Jika angota kelompok terlalu besar akibbatnya tidak semua
anggota
mendapat
kesempatan
mengungkapkan
perasaan,
pendapat,
dan
pengalamannya. Jika terlalu kecil, tidak cukup variasi informasi dan interaksi yang
terjadi (Kelliat, 2005).
3. Lamanya sesi.
Waktu optimal untuk satu sesi adalah 20-40 menit bagi fungsi kelompok yang
rendah dan 60-120 menit bagi fungsi kelompok yang tinggi. Banyaknya sesi
bergantung pada tujuan kelompok, dapat satu kali/dua kali perminggu, atau dapat
direncanakan sesuai dengan kebutuhan (Kelliat, 2005).
F. Proses TAK
Proses terapi aktifitas kelompok pada dasarnya lebih kompleks dari pada terapi
individual, oleh karena itu untuk memimpinnya memerlukan pengalaman dalam psikoterapi
individual. Dalam kelompok terapis akan kehilangan sebagian otoritasnya dan menyerahkan
kepada kelompok.
Terapis sebaiknya mengawali dengan mengusahakan terciptanya suasana yang tingkat
kecemasannya sesuai, sehingga klien terdorong untuik membuka diri dan tidak
menimbulkan atau mengembalikan mekanisme pertahanan diri. Setiap permulaan dari suatu
terapi aktifitas kelompok yang baru merupakan saat yang kritis karena prosedurnya
merupakan sesuatu yang belum pernah dialami oleh anggota kelompok dan mereka
dihadapkan dengan orang lain.
Setelah klien berkumpul, mereka duduk melingkar, terapis memulai dengan
memperkenalkan diri terlebih dahulu dan juga memperkenalkan co-terapis dan kemudian
mempersilakan anggota untuk memperkenalkan diri secara bergilir, bila ada anggota yang
tidak mampu maka terapis memperkenalkannya. Terapis kemudian menjelaskan maksud dan
tujuan serta prosedur terapi kelompok dan juga masalah yang akan dibicarakan dalam
kelompok. Topik atau masalah dapat ditentukan oleh terapis atau usul klien. Ditetapkan
bahwa anggota bebas membicarakan apa saja, bebas mengkritik siapa saja termasuk terapis.
Terapis sebaiknya bersifat moderat dan menghindarkan kata-kata yang dapat diartikan
sebagai perintah.
Dalam prosesnya kalau terjadi bloking, terapis dapat membiarkan sementara. Bloking
yang terlalu lama dapat menimbulkan kecemasan yang meningkatoleh karenanya terapis
perlu mencarikan jalan keluar. Dari keadaan ini mungkin ada indikasi bahwa ada beberapa
klien masih perlu mengikuti terapi individual. Bisa juga terapis merangsang anggota yang
banyak bicara agar mengajak temannya yang kurang banyak bicara. Dapat juga co-terapis
membantu mengatasi kemacetan.
Kalau terjadi kekacauan, anggota yang menimbulkan terjadinya kekacauan
dikeluarkan dan terapi aktifitas kelompok berjalan terus dengan memberikan penjelasan
kepada semua anggota kelompok. Setiap komentar atau permintaan yang datang dari
anggota diperhatikan dengan sungguh-sungguh dan di tanggapi dengan sungguh-sungguh.
Terapis bukanlah guru, penasehat atau bukan pula wasit. Terapis lebih banyak pasif atau
katalisator. Terapis hendaknya menyadari bahwa tidak menghadapi individu dalam suatu
kelompok tetapi menghadapi kelompok yang terdiri dari individu-individu.
Diakhir terapi aktifitas kelompok, terapis menyimpulkan secara singkat pembicaraan
yang telah berlangsung / permasalahan dan solusi yang mungkin dilakukan. Dilanjutkan
kemudian dengan membuat perjanjian pada anggota untuk pertemuan berikutnya. (Kelliat,
2005).
menjadi tiga fase, yaitu orientasi, konflik, dan kohesif. Sementara Tukman (1965)
dalam Stuart dan Laraia (2001) juga membaginya dalam tiga fase, yaitu forming,
storming, dan norming.
a. Tahap orientasi Anggota mulai mencoba mengembangkan sistem sosial masingmasing, leader menunjukkan rencana terapi dan menyepakati kontrak dengan
anggota.
b. Tahap konflik Merupakan masa sulit dalam proses kelompok. Pemimpin perlu
memfasilitasi ungkapan perasaan, baik positif maupun negatif dan membantu
kelompok mengenali penyebab konflik. Serta mencegah perilaku perilaku yang
tidak produktif (Purwaningsih & Karlina, 2009).
c. Tahap kohesif Anggota kelompok merasa bebas membuka diri tentang informasi
dan lebih intim satu sama lain (Keliat, 2004).
3. Fase Kerja Kelompok Pada fase ini, kelompok sudah menjadi tim. Kelompok menjadi
stabil dan realistis (Keliat, 2004). Pada akhir fase ini, anggota kelompok menyadari
produktivitas dan kemampuan yang bertambah disertai percaya diri dan kemandirian
(Yosep, 2007).
4. Fase Terminasi Terminasi yang sukses ditandai oleh perasaan puas dan pengalaman
kelompok akan digunakan secara individual pada kehidupan sehari-hari. Terminasi
dapat bersifat sementara (temporal) atau akhir (Keliat, 2004).
H. Jenis TAK
Terapi aktivitas kelompok (TAK) dibagi empat, yaitu :
1. Terapi aktivitas kelompok stimulasi kognitif/persepsi
Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) stimulasi persepsi adalah terapi yang
menggunakan aktivitas sebagai stimulus terkait dengan pengalaman dan atau kehidupan
untuk didiskusikan dalam kelompok (Keliat, 2004).
Fokus terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi adalah membantu pasien yang
mengalami kemunduran orientasi dengan karakteristik: pasien dengan gangguan
persepsi; halusinasi, menarik diri dengan realitas, kurang inisiatif atau ide, kooperatif,
sehat fisik, dan dapat berkomunikasi verbal (Yosep, 2007).
Adapun tujuan dari TAK stimulasi persepsi adalah pasien mempunyai
kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh paparan stimulus
kepadanya. Sementara, tujuan khususnya: pasien dapat mempersepsikan stimulus yang
dipaparkan kepadanya dengan tepat dan menyelesaikan masalah yang timbul dari
stimulus yang dialami (Darsana, 2007).
Aktivitas mempersepsikan stimulus tidak nyata dan respon yang dialami dalam
kehidupan, khususnya untuk pasien halusinasi. Aktivitas dibagi dalam empat sesi yang
tidak dapat dipisahkan, yaitu:
a. Sesi pertama : mengenal halusinasi
b. Sesi kedua
: mengontrol halusinasi dan menghardik halusinasi
c. Sesi ketiga
: menyusun jadwal kegiatan
d. Sesi keempat : cara minum obat yang benar
2. Terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori
TAK stimulasi sensori adalah TAK yang diadakan dengan memberikan stimulus
tertentu kepada klien sehingga terjadi perubhan perilaku. Bentuk stimulus :
a. Stimulus suara: music
b. Stimulus visual: gambar
c. Stimulus gabungan visual dan suara: melihat televisi, video.
Tujuan dari TAK stimulasi sensori bertujuan agar klien mengalami :
a. Peningkatan kepekaan terhadap stimulus
b. Peningkatan kemampuan merasakan keindahan
c. Peningkatan apresiasi terhadap lingkungan
3. Terapi aktivitas orientasi realita
Terapi Aktivitas Kelompok Oientasi Realita (TAK): orientasi realita adalah upaya
untuk mengorientasikan keadaan nyata kepada klien, yaitu diri sendiri, orang lain,
lingkungan/ tempat, dan waktu.
Klien dengan gangguan jiwa psikotik, mengalami penurunan daya nilai realitas
(reality testing ability). Klien tidak lagi mengenali tempat,waktu, dan orang-orang di
sekitarnya. Hal ini dapat mengakibatkan klien merasa asing dan menjadi pencetus
terjadinya ansietas pada klien. Untuk menanggulangi kendala ini, maka perlu ada
aktivitas yang memberi stimulus secara konsisten kepada klien tentang realitas di
sekitarnya. Stimulus tersebut meliputi stimulus tentang realitas lingkungan, yaitu diri
sendiri, orang lain, waktu, dan tempat.
Tujuan umum yaitu klien mampu mengenali orang, tempat, dan waktu sesuai
dengan kenyataan, sedangkan tujuan khususnya adalah:
a. Klien mampu mengenal tempat ia berada dan pernah berada
b. Klien mengenal waktu dengan tepat.
c. Klien dapat mengenal diri sendiri dan orangorang di sekitarnya dengan tepat.
Aktivitas yang dilakukan tiga sesi berupa aktivitas pengenalan orang, tempat, dan
waktu. Klien yang mempunyai indikasi disorientasi realitas adalah klien halusinasi,
dimensia, kebingungan, tidak kenal dirinya, salah mngenal orang lain, tempat, dan
waktu.Tahapan kegiatan :
a. Sesi I
: Orientasi Orang
b. Sesi II : Orientasi Tempat
c. Sesi III : Orientasi Waktu
4. Terapi aktivitas Sosialisasi
Klien yang mempunyai indikasi aktivitas ini adalah klien dengan perilaku
kekerasan yang telah kooperatif. Aktivitas dibagi dalam beberapa sesi yang tidak dapat
dipisahkan, yaitu : aktivitas mengenal kekerasan yang biasa dilakukan, aktivitas
mencegah kekerasan melalui kegiatan fisik, aktivitas mencegah perilaku kekerasan
melalui interaksi social asertif, aktivitas mencegah perilaku kekerasan melalui
kepatuhan minum obat, aktivitas mencegah perilaku kekerasan melalui kegiatan ibadah.
PRILAKU KEKERASAN
2. Rentang Respon
Rentang respon menurut (Stuart dan Sundeen, 1995)
a. Respon marah yang adaptif meliputi :
1. Pernyataan (Assertion)
Respon marah dimana individu mampu menyatakan atau mengungkapkan rasa
marah, rasa tidak setuju, tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain. Hal ini biasanya
akan memberikan kelegaan.
2. Frustasi
Respons yang terjadi akibat individu gagal dalam mencapai tujuan, kepuasan, atau
rasa aman yang tidak biasanya dalam keadaan tersebut individu tidak menemukan
alternatif lain.
b. Respon marah yang maladaptif meliputi :
1. Pasif
Suatu keadaan dimana individu tidak dapat mampu untuk mengungkapkan
perasaan yang sedang di alami untuk menghindari suatu tuntutan nyata.
2. Agresif
3.
3.
Etiologi
Untuk menegaskan keterangan diatas, pada klien gangguan jiwa, perilaku kekerasan bisa
disebabkan adanya gangguan harga diri: harga diri rendah. Harga diri adalah penilaian
individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan
ideal diri. Dimana gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap
diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal mencapai keinginan.
4.
5.
Proses Kemarahan
Stress, cemas, harga diri rendah, dan bersalah dapat menimbulkan kemarahan. Respons
terhadap marah dapat di ekspresikan secara eksternal maupun internal.
a. Eksternal yaitu konstruktif, agresif.
b. Internal yaitu perilaku yang tidak asertif dan merusak diri sendiri.
c. Mengekspresikan marah dengan perilaku konstruktif dengan menggunakan kata-kata yang
dapt di mengerti dan diterima tanpa menyakiti hati orang lain, akan memberikan perasaan
lega, keteganganpun akan menurun dan perasaan marah teratasi.
d. Marah di ekspresikan dengan perilaku agresif dan menentang, biasanya dilakukan individu
karena ia merasa kuat. Cara ini tidak menyelesaikan masalah bahkan dapat menimbulkan
kemarahan yang berkepanjangan dandapat menimbulkan tingkah laku yang destruktif, amuk
yang ditujukan pada orang lain maupun lingkungan.
e. Perilaku tidak asertif seperti menekan perasaan marah atau melarikan diri dan rasa marah
tidak terungkap. Kemarahan demikian akan menimbulkan rasa bermusuhan yang lama dan
pada suatu saat dapat menimbulkan kemarahan destruktif yang ditujukan pada diri sendiri.
Berbagai pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan factor predisposisi,
artinya mungkin terjadi perilaku kekerasan jika factor berikut di alami oleh individu :
1. Psikologis : kegagalan yang dialami dapat mnimbulkan frustasi yang kemudian dapat
timbul agresif atau amuk. Masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan yaitu
perasaan di tolak, di hina, di aniyaya atau saksi penganiayaan.
2. Perilaku : reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan, sering
mengobservasi kekerasan dirumah atau diluar rumah, semua aspek ini menstimulasi
individu mengadopsi perilaku kekerasan.
3. Sosial budaya : budaya tertutup dan membalas secara alam (positif agresif) dan
control social yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan diterima (permissive)
4. Bioneurologis : banyak pendapat bahwa kerusakan sisitem limbic, lobus frontal, lobus
temporal dan ketidak seimbangan neurotransmiter turut berperan dalam terjadinya
perilaku kekerasan.
b. Faktor Presipitasi
Factor presipitasi dapat bersumber dari klien, lingkungan atau interaksi dengan orang
lain. Kondisi klien seperti ini kelemahan fisik (penyakit fisik), keputus asaan, ketidak
berdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi penyebab perilaku kekerasan.
Demikian pula dengan situasi lingkungan yang ribut, padat, kritikan yang mengarah pada
penghinaan, kehilangan orang yang dicintainya / pekerjaan dan kekerasan merupakan
factor penyebab yang lain. Interaksi yang profokatif dan konflik dapat pula memicu
perilaku kekerasan.
a. Tingkah Laku
b. Menyatakan dengan jelas (assertiveness)
c. Memberontak (acting out)
d. Amuk atau kekerasan (violence)
7.
Mekanisme Koping
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diharapkan pada penatalaksanaan stress, termasuk
upaya penyelasaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk
melindungi diri (tuart dan sundeen, 1998 hal : 33).
Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien marah untuk melindungi diri antara
lain :
a. Sublimasi : menerima suatu sasaran pengganti yang mulia. Artinya dimata masyarakat
untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan penyaluranya secara normal. Misalnya
seseorang yang sedang marah melampiaskan kemarahannya pada obyek lain seperti
meremas remas adona kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuanya adalah untuk
mengurangi ketegangan akibat rasa marah.
b. Proyeksi : menyalahkan orang lain kesukaranya atau keinginanya yang tidak baik,
misalnya seorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual
terhadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temanya tersebut mencoba merayu,
mencumbunya
c. Represi : mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk kealam sadar.
Misalnya seorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang tidak disukainya. Akan
tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang
tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh tuhan. Sehingga perasaan benci itu
ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakanya.
d. Reaksi formasi : mencegah keinginan yang berbahaya bila di ekspresikan. Dengan
melebih lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakanya sebagai
rintangan. Misalnya seseorang yang tertarik pada teman suaminya, akan memperlakukan
orang tersebut dengan kuat.
e. Deplacement : melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan. Pada obyek
yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan emosi itu.
Misalnya : timmy berusia 4 tahun marah karena ia baru saja mendapatkan hukuman dari
ibunya karena menggambar didinding kamarnya. Dia mulai bermai perang-perangan
dengan temanya.
8.
Penatalaksanaan Umum
a. Farmakoterapi
Klien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan yang tepat. Adapun
pengobatan dengan neuroleptika yang mempunyai dosis efektif tinggi contohnya
Clorpromazine HCL yang berguna untuk mengendalikan psikomotornya. Bila tidak ada
dapat digunakan dosis efektif rendah, contohnya Trifluoperasine estelasine, bila tidak ada
juga maka dapat digunakan Transquilizer bukan obat anti psikotik seperti neuroleptika,
tetapi meskipun demikian keduanya mempunyai efek anti tegang, anti cemas, dan anti
agitasi.
b. Terapi Okupasi
Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja, terapi ini bukan pemberian pekerjaan
atau kegiatan itu sebagai media untuk melakukan kegiatan dan mengembalikan
kemampuan berkomunikasi, karena itu dalam terapi ini tidak harus diberikan pekerjaan
tetapi segala bentuk kegiatan seperti membaca Koran, main catur dapat pula dijadikan
media yang penting setelah mereka melakukan kegiatan itu diajak berdialog atau
berdiskusi tentang pengalaman dan arti kegiatan uityu bagi dirinya. Terapi ini merupakan
langkah awal yangb harus dilakukan oleh petugas terhadap rehabilitasi setelah
dilakukannyan seleksi dan ditentukan program kegiatannya.
c. Peran serta keluarga
Keluarga merupakan system pendukung utama yang memberikan perawatan langsung pada
setiap keadaan(sehat-sakit) klien. Perawat membantu keluarga agar dapat melakukan lima
tugas kesehatan, yaitu mengenal masalah kesehatan, membuat keputusan tindakan
kesehatan, memberi perawatan pada anggota keluarga, menciptakan lingkungan keluarga
yang sehat, dan menggunakan sumber yang ada pada masyarakat. Keluarga yang
mempunyai kemampuan mengatasi masalah akan dapat mencegah perilaku maladaptive
(pencegahan primer), menanggulangi perilaku maladaptive (pencegahan skunder) dan
memulihkan perilaku maladaptive ke perilaku adaptif (pencegahan tersier) sehingga derajat
kesehatan klien dan kieluarga dapat ditingkatkan secara opti9mal. (Budi Anna
Keliat,1992).
d. Terapi somatic
Menurut Depkes RI 2000 hal 230 menerangkan bahwa terapi somatic terapi yang diberikan
kepada klien dengan gangguan jiwa dengan tujuan mengubah perilaku yang mal adaftif
menjadi perilaku adaftif dengan melakukan tindankan yang ditunjukkan pada kondisi fisik
klien, tetapi target terapi adalah perilaku klien.
e. Terapi kejang listrik
Terapi kejang listrik atau elektronik convulsive therapy (ECT) adalah bentuk terapi kepada
klien dengan menimbulkan kejang grand mall dengan mengalirkan arus listrik melalui
elektroda yang ditempatkan pada pelipis klien. Terapi ini ada awalnya untukmenangani
skizofrenia membutuhkan 20-30 kali terapi biasanya dilaksanakan adalah setiap 2-3 hari
sekali (seminggu 2 kali).
Menurut Yosep (2009), pada dasarnya pengkajian pada klien perilaku kekerasan
ditunjukkan pada semua aspek, yaitu biopsikososial-kultural-spritual.
a. Aspek biologis
Respon fisologis timbul karena kegiatan sistem syaraf otonom bereaksi terhadap sekresi
epineprin sehingga tekanan darah meningkat, tachikardi, muka merah, pupil melebar,
pengeluaran urin meningkat.
b. Aspek emosional
Individu yang marah merasa tidak nyaman, merasa tidak berdaya, jengkel, frustasi, dendam,
ingin memukul orang lain, mengamuk, bermusuhan dan sakit hati, menyalakan dan menuntut.
c. Aspek intelektual
Sebagai besar pengalam hidup individu didapatkan melalui proses intelektual, peran panca
indera sangat penting untuk beradaptasi dengan lingkunganyng selanjutnya diolah dalam proses
intelektual sebagai suatu pengalaman.
d. Aspek sosial
Meliputi interaksi sosial, budaya, konsep rasa percaya dan ketergantungan. Emosi marah sering
merangsang kemarahan orang lain.
e. Aspek spritual
Kepercayaan, nilai, dan moral mempengaruhi hubungan individu dengan lingkungan.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko menciderai diri dan orang lain atau lingkungan : perilaku kekerasan.
3. Rencana Keperawatan
No
1
Diagnosa Keperawatan
Resiko menciderai diri
dan orang lain: perilaku
kekerasan.
Tujuan
Kriteria evaluasi
Interven
Setelah.....kali interaksi
1. Bina
perca
pasien menunjukkan :
meng
1. Klien mau menjawab
kom
salam
a.
Me
2. Klien
mau
menjabat
pan
tangan
b.
Seb
3. Klien mau menyabutkan
per
nama
men
4. Klien mau tersenyum
c.
Jela
5. Ada kontak mata
inte
6. Mau mengetahui nama
d.
Jela
perawat
kon
7. Mau menyediakan waktu
dib
untuk kontak
e. Ber
emp
f. Lak
sing
51
1. Klien
dapat 1. Anju
mengungkapkan
meng
perasaannya
diala
2. Klien
dapat 2. Obse
mengungkapkan penyebab
perila
marah, baik dari diri
klien
sendiri nmaupun orang 3. Simp
lain dan lingkungan.
jengk
diala
1. Klien
dapat 1. Anjur
mengunngkapkan
yang
meng
dialami saat marah.
dialam
2. Klien
dapat 2. Obsev
menyimpulkan
tandaperila
tanda marah yang dialami.
klien.
3. Simp
jengk
dialam
TUK 4 :
Klien dapat
mengidentifikasi perilaku
kekerasan yang biasa
dilakukan.
1. Klien
dapat 1. Anju
mengungkapkan perilaku
meng
kekerasan yang biasa
perila
dilakukan
biasa
2. Klien dapat bermain peran 2. Bant
dengan perilaku kekerasan
peran
yang biasa dilakukan.
perila
3. Klien dapat mengetahui
biasa
cara yang biasa dapat 3. Bica
menyelesaikan masalah
apak
atau tidak.
klien
masa
1. Berb
kerug
1. Klien dapat menjelaskan
mengidentifikasi akibat
dilak
akibat dari cara yang
dari perilaku kekerasan.
2. Bersa
digunakan klien.
meny
cara
oleh
3. Tany
Apa
mem
yang
TUK 6 : Klien dapat
1. Klien
dapat 1. Bant
mendemonstrasikan
mendemonstrasikan
cara
yang
cara mengontrol
mengontrol
perilaku
klien
kekerasan.
2. Bant
perilaku kekerasan.
2. Fisik : tarik nafas dalam
meng
olahraga
menyiram
manf
52
tanaman,
dipili
3. Verbal : mengatakan secara 3. Bant
langsung dengan tidak
mem
menyakiti.
terse
4. Spiritual : sembahyang, 4. Beri
berdoa atau ibadah klien.
posit
klien
terse
5. Anju
meng
telah
jengk
53
PENGKAJIAN
Pengumpulan data, analisa data dan perumusan masalah klien
PENGKAJIAN
Dalam pengkajian
Wawancara pengkajian yang memerlukan keterampilan komunikasi efektif secara linguistic dan
kultural, wawancara, observasi perilaku, tinjauan catatan-catatan data dasar, dan pengkajian
komprehensif tehadap klien dan sistem yang relevan memungkinkan oerawat kesehatan jiwa-psikiatri
untuk membuat penilaian klinis dan rencana tindakan yang tepat dengan klien.
PENGKAJIAN
1. Identitas Klien
2. Keluhan utama / alasan masuk
3. Faktor predisposisi
4. Aspek fisik / biologis
5. Aspek psikososial
6. Status mental
7. Kebutuhan persiapan pulang
8. Mekanisme koping
9. Masalah psikososial dan lingkungan
10. Pengetahuan
11. Aspek medis
DATA PENGKAJIAN
Data objektif
Data subjektif
Data primer
55
Data sekunder
ANALISA DATA
Kesimpulan
1. Tidak ada masalah tetapi ada kebutuhan
a. Perlu pemeliharaan kesehatan (follow up periodic), klien tidak ada masalah dan
memiliki pengetahuan untuk
antisipasi
masalah
DIAGNOSA
penilaian klinis tentang respon aktual atau potensial dari individu, keluarga atau masyarakat terhadap
masalah kesehatan atau proses kehidupan
(Carpenito, 1995)
RUMUSAN DIAGNOSA :
Permasalahan (P) berhubungan dengan Etiologi (E)
56
Dapat disusun dengan menyusun masalah-masalah keperawatan dalam bentuk pohon masalah
Landasan untuk pemberian asuhan keperawatan kesehatan jiwa adalah pengenalan dan
pengidentifikasian pola respons terhadap masalah kesehatan jiwa atau penyakit psikiatri yang
actual dan potensial.
57
( christensen.2009, hal 123 ). Konsep adalah suatu keyakinan yang kompleks terhadap suatu
obyek, benda, suatu peristiwa atau fenomena berdasarkan pengalaman dan persepsi seseorang
berupa ide, pandangan atau keyakinan. Model konsep adalah rangkaian konstruksi yang sangat
abstrak dan berkaitan yang menjelaskan secara luas fenomena-fenomena, mengekspresikan
asumsi dan mencerminkan masalah. ( christensen.2009, hal 29 )
Teori adalah hubungan beberapa konsep atau suatu kerangka konsep atau definisi yang
memberikan suatu pandangan sistematis terhadap gejala-gejala atau fenomena fenomena
dengan menentukan hubungan spesifik antara konsep tersebut dengan maksud untuk
menguraikan, menerangkan, meramalkan dan atau mengendalikan suatu fenomena. Teori dapat
diuji, diubah atau digunakan sebagai suatu pedoman dalam penelitian. (Christensen.2009, hal 26)
Model konseptual keperawatan merupakan suatu cara untuk memandang situasi dan
kondisi pekerjaan yang melibatkan perawat di dalamnya. Model konseptual keperawatan
memperlihatkan petunjuk bagi organisasi dimana perawat mendapatkan informasi agar mereka
peka terhadap apa yang terjadi pada suatu saat dengan apa yang terjadi pada suatu saat juga dan
tahu apa yang harus perawat kerjakan. Konsep keperawatan terus dikembangkan dan diterapkan
serta diuji melalui pendidikan dan praktik keperawatan ( christensen.2009, hal 29 ). Tujuan dari
model konseptual keperawatan ( christensen.2009, hal 33 ) :
1.
2.
3.
4.
5.
Menjelaskan dengan tegas ruang lingkup dan tujuan asuhan keperawatan bagi setiap anggota
tim keperawatan.
Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berupaya meningkatkan dan
mempertahankan perilaku paien yang berperan pada fungsi yang terintegrasi. Sistem pasien atau
klien dapat berupa individu, keluarga, kelompok, organisasi, atau komunitas. American nurses
association mendefinisikan keperawatan kesehatan jiwa sebagai suatu bidang spesialisasi praktik
keperawatan yang menerapkan teori perilaku manusia sebaai ilmunya dan penggunaan diri yang
bermanfaat sebagai kiatnya ( Stuart. 2007, hal. 2 ).
59
2. Model Interpersonal
60
Model ini dikembangkan oleh Harry Stack Sullivan. Sebagai tambahan Hildegard Peplau
mengembangkan teori interpersonal perawatan. Pandangan interpersonal terhadap
penyimpangan perilaku, teori interpersonal meyakini bahwa perilaku berkembang dari
hubungan interpersonal. Sullivan menekankan besarnya pengaruh perkembangan masa anakanak terhadap kesehatan jiwa individu.
Kecemasan pertama yang sungguh-sungguh dialami sewaktu bayi pada saat merasakan
kecemasan ibu. Selanjutnya kecemasan dihubungkan dengan penolakan/tidak direstui oleh
orang-orang yang dekat/penting bagi individu. Jika anak hanya menerima stimulus penolakan
atau kecemasan atau kritik, maka anak akan mengembangkan sistem diri yang negatif.
Menurut Sullivan: individu memandang orang lain sesuai dengan yang ada pada dirinya.
Ada 2 dorongan yang dimiliki pada individu:
a.
Berhubungan dengan kebutuhan budaya seperti penyesuaian norma sosial, nilai suatu
kelompok tertentu
Proses terapinya yaitu mengoreksi pengalaman interpersonal dengan mengalami
hubungan yang sehat dengan terapis, klien akan belajar berhubungan interpersonal yang
memuaskan dengan re-edukasi dan mengembangkan hubungan saling percaya.
3. Sosial Model
Model ini berfokus pada lingkungan sosial yang mempengaruhi individu dan pengalaman
hidupnya. Pandangan sosial terhadap penyimpangan perilaku, kondisi sosial bertanggung
jawab terhadap penyimpangan perilaku, perilaku yang dianggap normal pada suatu daerah
tertentu mungkin sebagai penyimpangan pada daerah yang lain.
Individu yang sudah dilabel/dicap jika tidak dapat menyesuaikan diri dengan norma
lingkungan, maka perilaku tersebut memerlukan perawatan/dirawat.
Menurut Szazz, individu bertanggung jawab terhadap perilakunya. Individu tersebut
harus mampu mengontrol untuk menyesuaikan perilakunya dengan yang diharapkan
61
masyarakatnya. Kaplan, meyakini bahwa situasi sosial dapat mencetuskan gangguan jiwa.
Oleh karena itu, konsep pencegahan primer, sekunder dan tertier sangat penting. Situasi yang
dapat menjadi pencetus:
a.
b.
c.
Prevensi primer
b.
c.
Crisis intervensi
4. Eksistensi Model
Teori ini berfokus pada pengalaman individu pada saat ini dan disini. Pandangan model
eksistensi terhadap penyimpangan perilaku, penyimpangan perilaku terjadi jika individu
putus hubungan dengan dirinya dan lingkungan. Keasingan akan dirinya dan lingkungan
dapat terjadi karena hambatan ataularangan pada diri individu. Individu merasa putus asa,
sedih, sepi, kurang kesadaran akan dirinya dan penerimaan diri yang mencegah partisipasi
dan penghargaan pada hubungan dengan orang lain.
Klien sudah kehilangan atau tidak mungkin menemukan nilai-nilai yang memberi arti pada
eksistensinya.
Proses terapi:
a.
Terapi Logo
62
Merupakan terapi orientasi masa depan (future orientated therapy). Individu meneliti arti
dari kehidupan, karena tanpa arti berarti tidak eksis. Tujuan: agar individu sadar akan
tanggung jawabnya.
5. Supportive Therapy ( Wermon, Rockland)
Penyebab gangguan jiwa dalam konsep ini adalah: factor biopsikososial dan respo
maladaptive saat ini. Aspek biologisnya menjadi masalah seperti: sering sakit maag,
migraine, batuk-batuk. Aspek psikologisnya mengalami banyak keluhan seperti :
mudah cemas, kurang percaya diri, perasaan bersalah, ragu-ragu, pemarah. Aspek
sosialnya memiliki masalah seperti : susah bergaul, menarik diri,tidak disukai,
bermusuhan, tidak mampu mendapatkan pekerjaan, dan sebagainya. Semua hal
tersebut terakumulasi menjadi penyebab gangguan jiwa. Fenomena tersebut muncul
akibat ketidakmamupan dalam beradaptasi pada masalah-masalah yang muncul saat
ini dan tidak ada kaitannya dengan masa lalu.
Prinsip proses terapinya adalah menguatkan respon copinh adaptif, individu
diupayakan mengenal telebih dahulu kekuatan-kekuatan apa yang ada pada dirinya;
kekuatan mana yang dapat dipakai alternative pemecahan masalahnya.
Perawat harus membantu individu dalam melakukan identifikasi coping yang
dimiliki dan yang biasa digunakan klien. Terapist berupaya menjalin hubungan yang
hangat dan empatik dengan klien untuk menyiapkan coping klien yang adaptif.
63