Anda di halaman 1dari 63

BUNUH DIRI

A. Pengertian
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri
kehidupan. Bunuh diri mungkin merupakan keputusan terkahir dari individu untuk
memecahkan masalah yang dihadapi (Keliat 1991 : 4).Menurut Beck (1994) dalam Keliat
(1991 hal 3) mengemukakan rentang harapan putus harapan merupakan rentang adaptif
maladaptif.
Bunuh diri adalah setiap aktivitas yang jika tidak dicegah dapat mengarah pada
kematian (Gail w. Stuart, 2007). Bunuh diri adalah pikiran untuk menghilangkan nyawa
sendiri (Ann Isaacs, 2004.)
Kesimpulan dari pengertian diatas bahwa bunuh diri adalah suatu tindakan agresif
yang merusak diri sendiri dengan mengemukakan rentang harapan-harapan putus asa,
sehingga menimbukan tindakan yang mengarah pada kematian.
B. Rentang Respon
Pada umumnya tindakan bunuh diri merupakan cara ekspresi orang yang penuh
stress Perilaku bunuh diri berkembang dalam beberapa rentang diantaranya :
Respon adaptif merupakan respon yang dapat diterima oleh norma-norma sosial dan
kebudayaan yang secara umum berlaku, sedangkan respon maladaptif merupakan respon
yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah yang kurang dapat diterima oleh
norma-norma sosial dan budaya setempat. Respon mal adaptif antara lain :
a. Ketidakberdayaan,

keputusasaan,

apatis

Individu

yang

tidak

berhasilmemecahkan masalah akan meninggalkan masalah, karena merasa


tidak mampu mengembangkan koping yang bermanfaat sudah tidak

berguna lagi, tidak mampu mengembangkan koping yang baru serta yakin
tidak ada yang membantu.
b. Kehilangan, ragu-ragu :Individu yang mempunyai cita-cita terlalu tinggi
dan tidak realistis akan merasa gagal dan kecewa jika cita-citanya tidak
tercapai. Misalnya : kehilangan pekerjaan dan kesehatan, perceraian,
perpisahan individu akan merasa gagal dan kecewa, rendah diri yang
semua dapat berakhir dengan bunuh diri.
c. Depresi : Dapat dicetuskan oleh rasa bersalah atau kehilangan yang
ditandai dengan kesedihan dan rendah diri. Biasanya bunuh diri terjadi
pada saat individu ke luar dari keadaan depresi berat.
d. Bunuh diri Adalah tindakan agresif yang langsung terhadap diri sendiri
untuk
e. mengkahiri kehidupan. Bunuh diri merupakan koping terakhir individu
untuk memecahkan masalah yang dihadapi.

C. Penyebab Bunuh Diri


a. Faktor Predisposisi
Menurut Stuart dan Sundeen (1997), faktor predisposisi bunuh diri antara lain :
1

Diagnostik > 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri,
mempunyai hubungan dengan penyakit jiwa. Tiga gangguan jiwa yang dapat
membuat individu beresiko untuk bunuh diri yaitu gangguan apektif, penyalahgunaan
zat, dan skizofrenia.

Sifat kepribadian, tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan besarnya resiko
bunuh diri adalah rasa bermusuhan, implisif dan depresi.

Lingkungan

psikososial,

Seseorang

yang

baru

mengalami

kehilangan,

perpisahan/perceraian, kehilangan yang dini dan berkurangnya dukungan sosial


merupakan faktor penting yang berhubungan dengan bunuh diri.
4

Riwayat keluarga/factor genetik, Factor genetic mempengaruhi terjadinya resiko


bunuh diri pada keturunannya serta merupakan faktor resiko penting untuk prilaku
destruktif.. Disamping itu adanya penurunan serotonin dapat menyebabkan depresi
yang berkontribusi terjadinya resiko buuh diri.

Faktor biokimia, Data menunjukkan bahwa secara serotogenik, apatengik, dan


depominersik menjadi media proses yang dapat menimbulkan prilaku destrukif diri.

b. Faktor Presipitasi
Faktor pencetus seseorang melakukan percobaan bunuh diri adalah :
1

Perasaan

terisolasi

dapat

terjadi

karena

kehilangan

hubungan

interpersonal/gagal melakukan hubungan yang berarti.


2

Kegagalan beradaptasi sehingga tidak dapat menghadapi stres.

Perasaan marah/bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman pada diri


sendiri.

Cara untuk mengakhiri keputusan.

Selain itu terdapat pula beberapa motif terjadinya bunuh diri, Motif bunuh diri ada
banyak macamnya. Disini penyusun menggolongkan dalam kategori sebab, misalkan :
1

Dilanda keputusasaan dan depresi

Cobaan hidup dan tekanan lingkungan.

Gangguan kejiwaan / tidak waras (gila).

Himpitan Ekonomi atau Kemiskinan (Harta / Iman / Ilmu)

Penderitaan karena penyakit yang berkepanjangan.

Sebagai perawat perlu mempertimbangkan pasien memiliki resiko apabila


menunjukkan perilaku sebagai berikut :
1

Menyatakan pikiran, harapan dan perencanaan tentang bunuh diri

Memiliki riwayat satu kali atau lebih melakukan percobaan bunuh diri.

Memilki keluarga yang memiliki riwayat bunuh diri.

Mengalami depresi, cemas dan perasaan putus asa.

Memiliki ganguan jiwa kronik atau riwayat penyakit mental

Mengalami penyalagunaan NAPZA terutama alcohol

Menderita penyakit fisik yang prognosisnya kurang baik

Menunjukkan impulsivitas dan agressif

Sedang mengalami kehilangan yang cukup significant atau kehilangan yang


bertubi-tubi dan secara bersamaan

10 Mempunyai akses terkait metode untuk melakukan bunuh diri missal pistol,
obat, racun.
11 Merasa ambivalen tentang pengobatan dan tidak kooperatif dengan
pengobatan
12 Merasa kesepian dan kurangnya dukungan social

D. Tanda dan Gejala


Tanda dan Gejala menurut Fitria, Nita (2009)
1

Mempunyai ide untuk bunuh diri.

Mengungkapkan keinginan untuk mati.

Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan.

Impulsif.

Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat patuh).

Memiliki riwayat percobaan bunuh diri.

Verbal terselubung (berbicara tentang kematian, menanyakan tentang obat dosis


mematikan).

Status emosional (harapan, penolakan, cemas meningkat, panic, marah dan


mengasingkan diri).

Kesehatan mental (secara klinis, klien terlihat sebagai orang yang depresi,
psikosis dan menyalahgunakan alcohol).

10 Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan penyakit kronis atau terminal).
11 Pengangguaran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau mengalami kegagalan
dalam karier).

12 Umur 15-19 tahun atau di atas 45 tahun.


13 Status perkawinan (mengalami kegagalan dalam perkawinan).
14 Pekerjaan.
15 Konflik interpersonal.
16 Latar belakang keluarga.
17 Orientasi seksual.
18 Sumber-sumber personal.
19 Sumber-sumber social.
20 Menjadi korban perilaku kekerasan saat kecil.
E. Psikopatologi
Semua prilaku bunuh diri adalah serius apapun tujuannya. Orang yang siap
membunuh diri adalah orang yang merencanakan kematian dengan tindak kekerasan,
mempunyai rencana spesifik dan mempunyai niat untuk melakukannya. Prilaku bunuh diri
biasanya dibagi menjadi 4 kategori :
1

Isyarat Bunuh Diri (suicide gesture)


Isyarat bunuh diri ditunjukkan dengan berprilaku secara tidak langsung ingin
bunuh diri, misalnya dengan mengatakan:tolong jaga anak-anak karena saya akan pergi
jauh! atau segala sesuatu akan lebih baik tanpa saya.
Pada kondisi ini pasien mungkin sudah memiliki ide untuk mengakhiri hidupnya,
namun tidak disertai dengan ancaman dan percobaan bunuh diri. Pasien umumnya
mengungkapkan perasaan seperti rasa bersalah/sedih/marah/putus asa/tidak berdaya.

Pasien juga mengungkapkan hal-hal negative tentang diri sendiri yang menggambarkan
harga diri rendah.
2

Ancaman bunuh diri ( suicide threat)


ancaman bunuh diri umumnya di ucapkan oleh pasien, berisi keinginan untuk
mati di sertai oleh rencana untuk mengakhiri kehidupan dan persiapan alat untuk
melaksanakan rencana tersebut. Secara aktif pasien telah memikirkan rencana bunuh diri,
tetapi tidak disertai dengan percobaan bunuh diri.
Walaupun dalam kondisi ini pasien belum pernah mencoba bunuh diri,
pengawasan ketat harus dilakukan.kesempatan sedikit saja daat di manfaatkan pasien
untuk melaksanakan rencanaa bunuh dirinya.

percobaan bunuh diri (scucide attempt)


percobaan bunuh diri adalah yindakan pasien mencederai atau melukai diri untuk
mengakhiri kehidupannya. Pada kondisi ini, pasien aktif mencoba bunuh diri dengan cara
gantung diri, minum racun, memotong urat nadi, atau menjatuhkan diri dari tempat yang
tinggi.
Setelah melakukan pengajian, perawat dapat merumuskan diagnosis keperawatan
berdasarkan tingkat resiko dilakukannya bunuh diri.

Bunuh Diri
Bunuh

diri

mungkin

terjadi

setelah

tanda

peningkatan

terlewatkan

atau

terabaikan.Orang yang melakukan percobaan bunuh diri dan yang tidak langsung ingin mati
mungkin pada mati jika tanda-tanda tersebut tidak diketahui tepat pada waktunya.

F. Terapi Aktivitas Kelompok, Riyadi, Surojo dan Purwanto Teguh (2009)


1 Model interpersonal
Tingkah laku (pikiran, perasaan dan tindakan) digambarkan melalui hubungan
interpersonal dalam kelompok. Pada model ini juga menggambarkan sebab akibat
tingkah laku anggota, merupakan akibat dari tingkah laku anggota yang lain. Terapist
bekerja dengan individu dan kelompok, anggota belajar dari interaksi antar anggota
dan terapist. Melalui proses ini, tingkah laku atau kesalahan dapat dikoreksi dan
dipelajari.

Data Fokus, Fitria, Nita (2009)


Masalah Keperawatan

Data Fokus

Resiko bunuh diri

Subjektif :
o Mengungkapkan keinginan bunuh diri.
o Mengungkapkan keinginan untuk mati.
o Mengungkapkan rasa bersalah dan
keputusasaan.
o Ada riwayat berulang percobaan bunuh
diri sebelumnya dari keluarga.
o Berbicara tentang kematian, menanyakan
tentang dosis obat yang mematikan.
o Mengungkapkan
adanya
konflik
interpersonal.
o Mengungkapkan telah menjadi korban
perilaku kekeasan saat kecil.
Objektif :
o Impulsif.
o Menunujukkan
mencurigakan

perilaku
(biasanya

yang
menjadi

sangat patuh).
o Ada riwayat panyakit mental (depesi,
psikosis,

dan

penyalahgunaan

alcohol).
o Ada riwayat penyakit fisik (penyakit
kronis atau penyakit terminal).
o Pengangguran
(tidak
bekerja,
kehilangan pekerjaan, atau kegagalan
dalam karier).
o Umur 15-19 tahun atau diatas 45

tahun.
Status perkawinan yang tidak harmonis.

G. Diagnosa
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada prilaku percobaan bunuh diri :
a. Resiko Bunuh Diri
Diagnosa medis yang mungkin muncul pada prilaku percobaan bunuh diri :
b. Depresi
H. Penatalaksanaan
1

Adapun tindakan keperawatan sebagai berikut :


1) Mendiskusikan tentang cara mengatasi keinginan bunuh diri, yaitu dengan
meminta bantuan dari keluarga atau teman.
2) Meningkatkan harga diri pasien, dengan cara:
a. Memberi kesempatan pasien mengungkapkan perasaannya.

b. Berikan pujian bila pasien dapat mengatakan perasaan yang positif.


c. Meyakinkan pasien bahwa dirinya penting
d. Membicarakan tentang keadaan yang sepatutnya disyukuri oleh pasien
e. Merencanakan aktifitas yang dapat pasien lakukan
3) Meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah, dengan cara:
a. Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalahnya
b. Mendiskusikan

dengan

pasien

efektifitas

masing-masing

cara

penyelesaian masalah
c. Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalah yang lebih
baik.
I. Tindakan medis
Adapun tindakan medis sebagai berikut :
1

Dengan pemberian obat anti depresan

Benzodiazepin dapat digunakan apabila klien mengalami cemas atau tertekan.

J. Asuhan Keperawatan Pada Klien Gangguan Resiko Bunuh Diri


1. Pengkajian
Tinjauan kembali riwayat klien untuk adanya stressor pencetus dan data
signifikan tentang :
c. Kerentaan genetik-biologik (riwayat keluarga).
d. Peristiwa hidup yang menimbulkan stres dan kehilangan yang baru dialami.

e. Hasil dan alat pengkajian yang terstandarisasi untuk depresi.


f. Riwayat pengobatan.
g. Riwayat pendidikan dan pekerjaan.
h. Catat ciri-ciri respon psikologik, kognitif, emosional dan prilaku dari individu
dengan gangguan mood.
i. Kaji adanya faktor resiko bunuh diri dan letalitas prilaku bunuh diri :
a) Tujuan klien misalnya agar terlepas dari stres, solusi masalah yang sulit.
b) Rencana bunuh diri termasuk apakah klien memiliki rencana yang teratur
dan cara-cara melaksanakan rencana tersebut.
c) Keadaan jiwa klien (misalnya adanya gangguan pikiran, tingkat gelisah,
keparahan gangguan mood).
d) Sistem pendukung yang ada.
2. Stressor saat ini yang mempengaruhi klien, termasuk penyakit lain (baik psikiatrik
maupun medik), kehilangan yang baru dialami dan riwayat penyalahgunaan zat.
3. Kaji sistem pendukung keluarga dan kaji pengetahuan dasar keluarga klien, atau
keluarga tentang gejala, meditasi dan rekomendasi pengobatan gangguan mood,
tanda-tanda kekambuhan dan tindakan perawatan diri.
K. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul prilaku percobaan bunuh diri :
1. Resiko Bunuh Diri
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul prilaku percobaan bunuh diri :

a. Depresi
Diagnose

Rencana Keperawatan
TUM

Kriteria Evaluasi

Rencana tindakan

TUK

Resiko

Klien tidak Kliendapat membina Ekspresi

bunuhdir

mencedera

hubungan

waja Bina

saling bersahabat,

diri percaya

saling

menunjukkan

sendiri

hubungan
percaya,

rasa menggunakan

senang, ada kontak prinsip


mata, mau berjabat teraupetik,sapa
tangan,

dan

mau klien

menyebutkan nama
Klien

dapat Klien

terlindung

nama baik.

dapat Jauhkan

dari terlindung

perilaku bunuh diri

dengan

klien

dari dari benda-benda

perilaku bunuh diri.

yang

dapat

membahayakan,
awasi klien secara
ketat setiap hari.
Klien

dapat Klien

dapat Dengarkan

mengekspresikan

mengekspresikan

keluhan

yang

perasaannya

perasaannya

dirasakan

klien,

bersikap

empati

untuk
meningkatkan
ungkapan
keraguan,
ketakutan

dan

keputusasaan
Klien

Klien

Bantu

dapatmeningkatkan

dapatmeningkatkan

memahami

untuk

harga diri

harga diri

bahwa klien dapat


mengatasi
keputusasaannya,
kaji dan kerahkan
sumber-sumber
internal individu

Klien

dapat Klien

dapat Ajarkan

menggunakan

menggunakan

mengidentifikasi

koping yang adaptif

koping yang adaptif

pengalamanpengalaman yang
menyenangka,
beri

dorongan

untuk

berbagi

keprihatinan thdp
orang lain.

L. Tindakan Keperawatan
Tindakan keperawatan pada pasien dan keluarga terdiri dari tiga macam :
1. Ancaman/percobaan bunuh diri dengan diagnosa keperawatan : Resiko Bunuh Diri
2. Tindakan keperawatan untuk pasien percobaan bunuh diri
a. Tujuan
: Pasien tetap aman dan selamat
b. Tindakan
: Melindungi pasien
3. Untuk melindungi pasien yang mengancam atau mencoba bunuh diri, maka saudara
dapat melakukan tindakan berikut :
1) Menemani pasien terus-menerus sampai dia dapat dipindahkan ketempat
yang aman.
2) Menjauhi semua benda yang berbahaya ( misalnya pisau, silet, gelas, tali
pinggang).
3) Memeriksa apakah pasien benar-benar bahwa saudara akan melindungi
pasien sampai tidak ada keinginan bunuh diri.

SP 1 Pasien : Percakapan untuk melindungi pasien dari percobaan bunuh diri.


ORIENTASI
Assalamualaikum B kenalkan saya adalah perawat A yang bertugas di ruang Mawar ini, saya
dinas pagi dari jam 7 pagi sampai jam 2 siang.
Bagaimana perasaan B hari ini?
Bagaimana kalau kita bercakap-cakap tentang apa yang B rasakan selama ini. Dimana dan
berapa lama kita bicara?
KERJA
Bagaimana perasaan B setelah bencana ini terjadi? Apakah dengan bencana ini B merasa
paling menderita di dunia ini? Apakah B kehilangan kepercayaan diri? Apakah B merasa tak
berharga atau bahkan lebih rendah daripada orang lain? Apakah B merasa bersalah atau
mempersalahkan diri sendiri? Apakah B sering mengalami kesulitan berkonsentrasi? Apakah
B berniat menyakiti diri sendiri, ingin bunuh diri atau B berharap bahwa B mati? Apakah B
pernah mencoba untuk bunuh diri? Apa sebabnya, bagaimana caranya? Apa yang B
rasakan? Jika pasien telah menyampaikan ide bunuh dirinya, segera dilanjutkan dengan
tindakan keperawatan untuk melindungi pasien, misalnya dengan mengatakan: Baiklah,
tampaknya B membutuhkan pertolongan segera karena ada keinginan untuk mengakhiri
hidup. Saya perlu memeriksa seluruh isi kamar B ini untuk memastikan tidak ada bendabenda yang membahayakan B.
Nah B, Karena B tampaknya masih memiliki keinginan yang kuat untuk mengakhiri hidup B,
maka saya tidak akan membiarkan B sendiri.
Apa yang akan B lakukan kalau keinginan bunuh diri muncul? Kalau keinginan itu muncul,
maka untuk mengatasinya B harus langsung minta bantuan kepada perawat diruangan ini
dan juga keluarga atau teman yang sedang besuk. Jadi B jangan sendirian ya? Katakan pada
perawat, keluarga atau teman jika ada dorongan untuk mengakhiri kehidupan.

Saya percaya B dapat mengatasi masalah, OK B?


TERMINASI
Bagaimana perasaan B sekarang setelah mengetahui cara mengatasi perasaan ingin bunuh
diri?
Coba B sebutkan lagi cara tersebut?
Saya akan menemui B terus sampai keinginan bunuh diri hilang
(jangan meninggalkan pasien)

2. Tindakan keperawatan untuk keluarga dengan pasien percobaan bunuh diri


a. Tujuan: Keluarga berperan serta melindungi anggota keluarga yang mengancam
atau mencoba bunuh diri.
b. Tindakan:
1) Menganjurkan keluarga untuk ikut mengawasi pasien serta jangan pernah
meninggalkan pasien sendirian.
2) Menganjurkan keluarga untuk membantu perawat menjauhi barang-barang
berbahaya disekitar pasien.
3) Mendiskusikan dengan keluarga untuk tidak sering melamun

sendiri.

4) Menjelaskan kepada keluarga pentingnya pasien minum obat secara teratur.


SP 1 keluarga: Percakapan dengan keluarga untuk melindungi pasien yang mencoba
bunuh diri.
ORIENTASI

Assalamualaikum Bapak/Ibu, kenalkan saya A yang merawat putra bapak dan ibu
dirumah sakit ini.
Bagaimana kalau kita berbincang-bincang tentang cara menjaga agar B tetap selamat dan
tidak melukai dirinya sendiri. Bagaimana kalau disini saja kita berbincang-bincangnya
Pak/Bu? Sambil kita awasi terus B.
KERJA
Bapak/Ibu, B sedang mengalami putus asa yang berat karena kehilangan pekerjaan dan
ditinggal istrinya, sehingga sekarang B selalu ingin mengakhiri hidupnya. Karena
kondisi B yang dapat mengakhiri kehidupannya sewaktu-waktu, kita semua perlu
mengawasi B terus-menerus. Bapak/Ibu dapat ikut mengawasi ya.. pokoknya kalau
dalam kondisi serius seperti ini B tidak boleh ditinggal sendirian sedikitpun
Bapak/Ibu bisa bantu saya untuk mengamankan barang-barang yang dapat digunakan B
untuk bunuh diri, seperti tali tambang, pisau, silet, tali pinggang. Semua barang-barang
tersebut tidak boleh ada disikitar B. Selain itu, jika bicara dengan B fokus pada halhal positif, hindarkan pernyataan negatif.
Selain itu sebaiknya B punya kegiatan positif seperti melakukan hobby nya bermain sepak
bola, dll supaya tidak sempat melamun sendiri.
TERMINASI
Bagaimana perasaan Bapak/Ibu setelah mengetahui cara mengatasi perasaan ingin bunuh
diri?
Coba Bapak/Ibu sebutkan lagi cara tersebut? Baik mari sama-sama kita temani B,
sampai keinginan bunuh dirinya hilang.

B. Isyarat Bunuh Diri dengan diagnosa harga diri rendah

1. Tindakan keperawatan untuk pasien isyarat bunuh diri


a. Tujuan:

4)

1)

Pasien mendapat perlindungan dari lingkungannya.

2)

Pasien dapat mengungkapkan perasaannya.

3)

Pasien dapat meningkatkan harga dirinya.

Pasien dapat menggunakan cara penyelesaian masalah yang baik.


b. Tindakan keperawatan:
1)

Mendiskusikan tentang cara mengatasi keinginan bunuh diri, yaitu dengan


meminta bantuan dari keluarga atau teman.
2)

Meningkatkan harga diri pasien, dengan cara:


1. Memberi kesempatan pasien mengungkapkan perasaannya.

2. Berikan oujian bila pasien dapat mengatakan perasaan yang posittif.


3. Meyakinkan pasien bahwa dirinya penting.
4. Merencanakan aktifitas yang dapat pasien lakukan.
3)

Meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah, dengan cara:


1.

Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalahnya.


2. Mendiskusikan dengan pasien efektifitas masing-masing cara penyelesaian
masalah.
3.

Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalah yang lebih


baik.

SP 2 Pasien : Percakapan melindungi pasien dari isyarat bunuh diri


ORIENTASI
Assalamualaikum B!, masih ingat dengan saya kan? Bagaimana perasaan B hari ini? O..
jadi B merasa tidak perlu lagi hidup di dunia ini. Apakah B ada perasaan ingin bunuh
diri? Baiklah kalau begitu, hari ini kita akan membahas tentang bagaimana cara
mengatasi keinginan bunuh diri. Mau berapa lama? Dimana? Disini saja yah!
KERJA
Baiklah, tampaknya B membutuhkan pertolongan segera karena ada keinginan untuk
mengakhiri hidup. Saya perlu memeriksa seluruh isi kamar B ini untuk memastikan
tidak ada benda-benda yang membahayakan B.
Nah B, karena B tampaknya masih memiliki keinginan yang kuat untuk mengakhiri
hidup B, maka saya tidak akan membiarkan B sendiri.
Apa yang B lakukan kalau keinginan bunuh diri muncul? Kalau keinginan itu muncul,
maka untuk mengatasinya B harus langsung minta bantuan kepada perawat atau
keluarga dan teman yang sedang besuk. Jadi usahakan B jangan pernah sendirian
ya..?
TERMINASI
Bagaimana perasaan B setelah kita bercakap-cakap? Bisa sebutkan kembali apa yang
telah kita bicarakan tadi? Bagus B. Bagaimana masih ada dorongan untuk bunuh diri?
Kalau masih ada perasaan/dorongan bunuh diri, tolong panggil segera saya atau
perawat yang lain. Kalau sudah tidak ada keinginan bunuh diri, saya akan ketemu B
lagi, untuk membicarakan cara meningkatkan harga diri setengah jam lagi dan disini
saja.
SP 2 Keluarga:

percakapan untuk mengajarkan keluarga tentang cara merawat


anggota keluarga beresiko bunuh diri. (isyarat bunuh diri)

ORIENTASI
Assalamualaikum Bapak/Ibu. Bagaimana keadan Bapak/Ibu?
Hari ini kita akan mendiskusikan tentang tanda dan gejala bunuh diri dan cara
melindungi dari bunuh diri.
Dimana kita akan diskusi? Bagaimana kalau di ruang wawancara? Berapa lama
Bapak/Ibu punya waktu untuk diskusi?
KERJA
Apa yang Bapak/Ibu lihat dari perilaku atau ucapan B?
Bapak/Ibu sebaiknya memperhatikan benar-benar munculnya tanda dan gejala bunu diri.
Pada umunya orang yang akan melakukan bunuh diri menunjukan tanda melalui
percakapan misalnya Saya tidak ingin hidup lagi, orang lain lebih baik tanpa saya.
Apakah B pernah mengatakannya?
Kalau Bapak/Ibu menemukan tanda dan gejala tersebut, maka sebaiknya Bapak/Ibu
mendengarkan ungkapan perasaan dari B secara serius. Pengawasan terhadap B
ditingkatkan, jangan biarkan dia sendirian di rumah atau jangan dibiarkan mengunci
diri di kamar. Kalau menemukan tanda dan gejala tersebut, dan ditemukan alat-alat
yang akan digunakan untuk bunuh diri, sebaiknya dicegah dengan meningkatkan
pengawasan dan memberi dukungan untuk tidak melakukan tindakan tersebut.
Katakan bahwa Bapak/Ibu sayang pada B. Katakan juga kebaikan-kebaikan B.
Usahakan sedikitnya 5 kali sehari Bapak/Ibu memuji B dengan tulus.
Tetapi kalau sudah terjadi percobaan bunuh diri, sebaiknya Bapak/Ibu mencari bantuan
orang lain. Apabila tidak dapat diatasi segeralah rujuk ke Puskesmas atau rumah sakit
terdekat untuk mendapatkan perawatan yang lebih serius. Setelah kembali ke rumah,
Bapak/Ibu perlu membantu agar B terus berobat untuk mengatasi keinginan bunuh
diri.

TERMINASI
Bagaimana Pak/Bu? Ada yang mau ditanyakan? Bapak/Ibu dapat ulangi kembali caracara merawat anggota keluarga yang ingin bunuh diri?
Ya bagus. Jangan lupa pengawasannya ya! Jika ada tanda-tanda keinginan bunuh diri
segera hubungi kami. Kita dapat melanjutkan untuk pembicaraan yang akan datang
tentang cara-cara meningkatkan harga diri B dan penyelesaian masalah.
SP 3 Keluarga :

Melatih keluarga cara merawat pasien risiko bunuh diri/isyarat


bunuh diri

ORIENTASI
Assalamualaikum pak, bu, sesuai janji kita minggu lalu kita sekarang ketemu lagi
Bagaimana pak, bu, ada pertanyaan tentang cara merawat yang kita bicarakan minggu
lalu?
Sekarang kita akan latihan cara-cara merawat tersebut ya pak, bu?
Kita akan coba disini dulu, setelah itu baru kita coba langsung ke B ya?
Berapa lama bapak dan ibu mau kita latihan?
KERJA
Sekarang anggap saya B yang sedang mengatakan ingin mati saja, coba bapak dan ibu
praktekkan cara bicara yang benar bila B sedang dalam keadaan yang seperti ini
Bagus, betul begitu caranya
Sekarang coba praktekkan cara memberikan pujian kepada B
Bagus, bagaimana kalau cara memotivasi B minum obat dan melakukan kegiatan
positifnya sesuai jadual?

Bagus sekali, ternyata bapak dan ibu sudah mengerti cara merawat B
Bagaimana kalau sekarang kita mencobanya langsung kepada B?
(Ulangi lagi semua cara diatas langsung kepada pasien)

TERMINASI
Bagaimana perasaan bapak dan ibu setelah kita berlatih cara merawat B di rumah?
Setelah ini coba bapak dan ibu lakukan apa yang sudah dilatih tadi setiap kali bapak dan
ibu membesuk B
Baiklah bagaimana kalau dua hari lagi bapak dan ibu datang kembali kesini dan kita akan
mencoba lagi cara merawat B sampai bapak dan ibu lancar melakukannya
Jam berapa bapak dan ibu bisa kemari?
Baik saya tunggu, kita ketemu lagi di tempat ini ya pak, bu
SP 3 Pasien: Untuk meningkatkan harga diri pasien isyarat bunuh diri.
ORIENTASI
Assalamualaikum B! Bagaiman perasaan B saat ini? Masih adakah dorongan
mengakhiri kehidupan? Baik, sesuai janji kita 2 jam yang lalu sekarang kita akan
membahas tentang rasa syukur atas pemberian Tuhan yang masih B miliki. Mau
berapa lama? Dimana?
KERJA
Apa saja dalam hidup B yang perlu disyukuri, siapa saja kira-kira yang sedih dan rugi
kalau B meninggal. Coba B ceritakan hal-hal yang baik dalam kehidupan B. Keadaan
yang bagaimana yang membuat B merasa puas? Bagus. Ternyata kehidupan B masih

ada yang baik yang patut B syukuri. Coba B sebutkan kegiatan apa yang masih dapat
B lakukan selam ini?. Bagaimana kalau B mencoba melakukan kegiatan tersebut,
mari kita latih.
TERMINASI
Bagaimana perasaan B setelah kita bercakap-cakap? Bisa sebutkan kembali apa-apa saja
yang B patut syukuri dalam hidup B? Ingat dan ucapkan hal-hal yang baik dalam
kehidupan B jika terjadi dorongan mengakhiri kehidupan (afirmasi). Bagus B. Coba B
ingat-ingat lagi hal-hal lain yang masih B miliki dan perlu disyukuri!. Nanti jam 12
kita bahas tentang cara mengatasi masalah dengan baik. Tempatnya dimana? Baiklah.
Tapi kalau ada perasaan-perasaan yag tidak terkendali segera hubungi saya ya!
SP 3 keluarga :

Membuat perencanaan pulang bersama keluarga dengan


pasien risiko bunuh diri

ORIENTASI
Assalamualaikum pak, bu, hari ini B sudah boleh pulang, maka sebaiknya kita
membicarakan jadual B selama dirumah.
Berapa lama kita bisa diskusi?
Baik mari kita diskusikan.
KERJA
Pak, bu, ini jadwal B selama dirumah sakit, coba perhatikan, dapatkah dilakukan
dirumah? tolong dilanjutkan dirumah, baik jadual aktivitas maupun jadual minum
obatnya.
Hal-hal yang perlu diperhatikan lebih lanjut adalah perilaku yang ditampilkan oleh B
selama di rumah. Kalau misalnya B terus menerus mengatakan ingin bunuh diri,
tampak gelisah dan tidak terkendali serta tidak memperlihatkan perbaikan, menolak

minum obat atau memperlihatkan perilaku membahayakan orang lain, tolong bapak
dan ibu segera hubungi Suster C dirumah sakit harapan peduli,rumah sakit terdekat
dari rumah ibu dan bapak, ini nomor telepon rumah sakitnya: (0771) 12345.
Selanjutnya suster C yang akan membantu memantau perkembangan B
TERMINASI
Bagaimana pak/bu? Ada yang belum jelas?
Ini jadwal kegiatan harian B untuk dibawa pulang. Ini surat rujukan untuk perawat C di
rumah sakit harapan peduli. Jangan lupa kontrol ke rumah sakit sebelum obat habis
atau ada gejala yang tampak. Silahkan selesaikan administrasinya.

TREND DAN ISSUE KEPERAWATAN JIWA

A. Kecenderungan Trend dan Issue Keperawatan Jiwa


Trend dan issue dalam keperawatan jiwa adalah masalah-masalah yang sedang hangat
dibicarakan dan dianggap penting. Masalah-masalah tersebut dapat dianggap ancaman atau

tantangan yang akan berdampak besar pada keperawatan jiwa baik dalam tatanan regional
maupun global.
1. Kesehatan jiwa dimulai masa konsepsi
Di Indonesia banyak gangguan jiwa terjadi mulai pada usia 19 tahun dan kita
jarang sekali melihat fenomena masalah sebelum anak lahir. Perkembangan terkini
menyimpulkan bahwa berbicara masalah kesehatan jiwa harus dimulai dari masa
konsepsi atau bahkan harus dimulai dari masa pranikah. Banyak penelitian yang
menunjukkan adanya keterkaitan masa dalam kandungan dengan kesehatan fisik dan
mental seseorang di masa yang akan datang. Penelitian-penelitian berikut membuktikan
bahwa kesehatan mental seseorang dimulai pada masa konsepsi.Diantara hasil penelitian:
Marc Lehrer( 300 bayi yg diteliti): stimulasi dini ( berupa suara, musik, getaran,
sentuhan ) setelah dewasa memiliki perkembangan fisik, mental dan emosional yg lebih
baik.
Mednick : ada hubungan skizofrenia dengan infeksi virus dalam kandungan.
Mednick membuktikan bahwa mereka yang pada saat epidemi sedang berada pada
trimester dua dalam kandungan mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk menderita
skizofrenia di kemudian hari. Penemuan penting ini menunjukkan bahwa lingkungan luar
yang terjadi pada waktu yang tertentu dalam kandungan dapat meningkatkan risiko
menderita

skizofrenia.

Mednick

menghidupkan

kembali

teori

perkembangan

neurokognitif, yang menyebutkan bahwa pada penderita skizofrenia terjadi kelainan


perkembangan neurokognitif sejak dalam kandungan. Beberapa kelainan neurokognitif
seperti berkurangnya kemampuan dalam mempertahankan perhatian, membedakan suara
rangsang yang berurutan, working memory, dan fungsi-fungsi eksekusi sering dijumpai
pada penderita skizofrenia. Dipercaya kelainan neurokognitif di atas didapat sejak dalam
kandungan dan dalam kehidupan selanjutnya diperberat oleh lingkungan, misalnya,
tekanan berat dalam kehidupan, infeksi otak, trauma otak, atau terpengaruh zat-zat yang
mempengaruhi fungsi otak seperti narkoba. Kelainan neurokognitif yang telah
berkembang ini menjadi dasar dari gejala-gejala skizofrenia seperti halusinasi, kekacauan
proses pikir, waham/delusi, perilaku yang aneh dan gangguan emosi.
2. Trend Peningkatan Masalah Kesehatan Jiwa
Masalah kesehatan jiwa akan meningkat di era globalisasi, sudah terbukti dua
tahun terakhir, hal ini dikarenakan beban hidup yang semakin berat. Klien gangguan jiwa

tidak lagi didominasi kalangan bawah tetapi kalangan mahasiswa, PNS, pegawai swasta,
kalangan pejabat dan masyarakat lapisan menengah ke atas juga tersentuh gangguan
psikotik dan depresif. Penyebab dikalangan menengah ke atas sebagian besar akibat tidak
mampu mengelola stress dan ada juga akibat post power syndrome atau mutasi jabatan.
Kasus-kasus gangguan kejiwaan yang ditangani oleh para psikiater dan dokter di RSJ
menunjukkan bahwa penyakit jiwa tidak mengenal baik strata sosial maupun usia. Ada
orang kaya yang mengalami tekanan hebat, setelah kehilangan semua harta bendanya
akibat kebakaran. Selain itu kasus neurosis pada anak dan remaja, juga menunjukkan
kecenderungan

meningkat.

Neurosis

adalah

bentuk

gangguan

kejiwaan

yang

mengakibatkan penderitanya mengalami stress, kecemasan yang berlebihan, gangguan


tidur, dan keluhan penyakit fisik yang tidak jelas penyebabnya. Neurosis menyebabkan
merosotnya kinerja individu. Mereka yang sebelumnya rajin bekerja, rajin belajar
menjadi lesu, dan sifatnya menjadi emosional. Melihat kecenderungan penyakit jiwa pada
anak dan remaja kebanyakan adalah kasus trauma fisik dan nonfisik. Trauma nonfisik
bisa berbentuk musibah, kehilangan orang tua, atau masalah keluarga.
Tipe gangguan jiwa yang lebih berat, disebut gangguan psikotik. Klien yang
menunjukkan gejala perilaku yang abnormal secara kasat mata. Inilah orang yang kerap
mengoceh tidak karuan, dan melakukan hal-hal yang bisa membahayakan dirinya dan
orang lain, seperti mengamuk.
3. Kecenderungan Faktor Penyebab Gangguan Jiwa
Terjadinya perang, konflik, lilitan krisis ekonomi berkepanjangan merupakan
salah satu pemicu yang memunculkan stress, depresi, dan berbagai gangguan kesehatan
jiwa pada manusia. Menurut data World Health Organization (WHO), masalah gangguan
kesehatan jiwa di seluruh dunia memang sudah menjadi masalah yang sangat serius.
WHO (2001) menyataan, paling tidak ada satu dari empat orang di dunia mengalami
masalah mental. WHO memperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia yang
mengalami gangguan kesehatan jiwa.
Bukti lainnya, berdasarkan data statistik, angka penderita gangguan kesehatan
jiwa memang mengkhawatirkan. Secara global, dari sekitar 450 juta orang yang
mengalami gangguan mental, sekitar satu juta orang diantaranya meninggal karena bunuh
diri setiap tahunnya. Angka ini lumayan kecil jika dibandingkan dengan upaya bunuh diri
dari para penderita kejiwaan yang mencapai 20 juta jiwa setiap tahunnya.

Adanya gangguan kesehatan jiwa ini sebenarnya disebabkan banyak hal. Namun,
menurut Aris Sudiyanto, (Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa (psikiatri) Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, ada tiga golongan penyebab
gangguan jiwa ini. Pertama, gangguan fisik, biologis atau organic. Penyebabnya antara
lain berasal dari faktor keturunan, kelainan pada otak, penyakit infeksi (tifus, hepatitis,
malaria dan lain-lain), kecanduan obat dan alkohol dan lain-lain. Kedua, gangguan
mental, emosional atau kejiwaan. Penyebabnya, karena salah dalam pola pengasuhan
(pattern of parenting) hubungan yang patologis di antara anggota keluarga disebabkan
frustasi, konflik, dan tekanan krisis. Ketiga, gangguan sosial aau lingkungan.
Penyebabnya dapat berupa stressor psikososial (perkawinan, problem orangtua, hubungan
antarpersonal dalam pekerjaan atau sekolah, di lingkungan hidup, dalam masalah
keuangan, hukum, perkembangan diri, faktor keluarga, penyakit fisik, dan lain-lain).
4. Kecenderungan Situasi di Era Globalisasi
Perkembangan IPTEK yg begitu cepat dan perdagangan bebas sebagai ciri
globalisasi, akan berdampak pada semua faktor termasuk kesehatan. Perawat dituntut
mampu mberikan askep yg profesional dan dpt mpertanggung jawabkan secara ilmiah.
Perawat dituntut senantiasa mkembangkan ilmu dan teknologi di bidang keperawatan
khususnya keperawatan jiwa. Perawat jiwa dalam era global harus membekali diri dgn
bahasa internasional, kemampuan komunikasi dan pemanfaatan teknologi komunikasi,
skill yang tinggi dan jiwa entrepreneurship.
5. Globalisasi dan Perubahan Orientasi Sehat
Pengaruh globalisasi terhadap perkembanganyankes termasuk keperawatan
adalahtersedianya alternatif pelayanan dan persaingan penyelenggaraan pelayanan.
(persaingan kualitas). Tenaga kesehatan (perawat jiwa ) harus mempunyai standar
global dalam memberikanpelayanan kesehatan, jika tdk inginketinggalan. Fenomena
masalah kesehatan jiwa, indicatorkeswa di masa mendatang bukan lagi masalah klinis
seperti prevalensi gangguan jiwa, melainkanberorientasi pada konteks kehidupan sosial.
Fokuskesehatan jiwa bukan hanya menangani orang sakit,melainkan pada peningkatan
kualitas hidup. Jadikonsep kesehatan jiwa buka lagi sehat atau sakit, tetapikondisi
optimal yang ideal dalam perilaku dankemampuan fungsi socialParadigma sehat Depkes,
lebih menekankan upayaproaktif untuk pencegahan daripada menunggu diRS, orientasi

upaya kesehatan jiwa lebih pada pencegahan(preventif) dan promotif. Penangan


kesehatan jiwabergeser dari hospital base menjadi community base.
Empat Ciri Pembentuk Struktur Masyarakat Yang Sehat :
a) Suatu masyarakat yang di dalamnya tak ada seorang manusia pun yg diperalat oleh
orang lain. Oleh karena itu seharusnya tidak ada yang diperalat/ memperalat diri
sendiri, diman manusia itu mjd pusat dari semua aktivitas ekonomi maupun politik
diturunkan pada tujuan perkembangan diri manusia.
b) Mendorong aktivitas produktif setiap warganya dalam pekerjaannya, merangsang
perkembangan akal budi dan lebih jauh lagi, mampu membuat manusia untuk
mengungkapkan kebutuhan batinnya berupa seni dan perilaku normatif kolektif.
c) Masyarakat terhindar dari sifat2 rakus, eksploitatif, pemilikan berlebihan, narsisme,
tidak mendapatkan kesempatan meraup keuntungan material tanpa batas.
d) Kondisi masyarakat yang memungkinkan orang bertindak dalam dimensi2 yang dpt
dipimpin dan diobservasi. Partisipasi aktif dan bertanggung jawab dalam kehidupan
masyarakat. Untuk mewujudkan struktur masyarakat sehat, kuncinya : Setiap org
harus meningkatkan kualitas hidup yang dpt menjamin terciptanya kondisi sehat yang
sesungguhnya. Mandiri dan tidak bergantung pada orang lain merupakan orientasi
paradigma kesehatan jiwa.

6. Kecenderungan Penyakit
Masalah kesehatan jiwa akan menjadi The global burdan of disease (Michard &
Chaterina, 1999). Hal ini akan menjadi tantangan bagi Public Health Policy yang
secara tradisional memberi perhatian yang lebih pada penyakit infeksi. Standar
pengukuran untuk kebutuhan kesehatan global secara tradisional adalah angka kematian
akibat penyakit. Ini telah menyebabkan gangguan jiwa seolah-olah bukan masalah.
Dengan adanya indikator baru, yaitu DALY (Disabilitty Adjusted Life Year) diketahuilah
bahwa gangguan jiwa merupakan masalah kesehatan utama secara internasional.
Perubahan sosial ekonomi yang amat cepat dan situasi sosial politik yang tidak menentu
menyebabkan semakin tigginya angka pengangguran, kemiskinan, dan kejahatan, situasi

ini dapat meningkatkan angka kejadian krisis dan gangguan jiwa dalam kehidupan
manusia ( Antai Otong, 1994).
Untuk menjawab tantangan ini diperlukan tenaga-tenaga- kesehatan seperti
psikiater, psilolog, social Worker, dan perawat psikiatri yang memadai baik dari segi
kuantitas. Saat terjadinya tsunami di Aceh, banyak orang yang terpapar dengan kejadian
Traumatis, yang mengalami, menyaksikan kejadian-kejadian yang berupa ancaman
kematian atau kematian yang sebenarnya dan mereka yang cedera serta yang dalam
ancaman terhadap integritas fisik diri sendiri atau orang lain. Respons yang terjadi berupa
rasa takut yang kuat serta tidak berdaya, sedangkan bagi anak-anak apa yang
menghadapinya akan dieksperikan dengan perilaku yang kacau
Trauma itu merupakan sesuatu yang katastropik, yaitu trauma diluar rentang.
Pengalaman trauma yang umum dialami manusia dalam kejadian sehari-hari. Pengalaman
katastropik dalam berbagai bentuk, baik peperangan (memang sedang terjadi),
pemerkosaan (banyak dialami sebagian wanita di Aceh), maupun bencana alam, (gempa
dan bencana tsunami), sungguh mengerikan. Ini akan membuat mereka dalam keadaan
stress berkepanjangan dan berusaha untuk tidak mengalami stress yang sedemikian.
Dalam kriteria klinik seperti yang disusun dalam Diagnostic and Statical Manual Of
Mental Disorder lll dan Lv serta Pedoman Pengggolongan dan Diagnosis gangguan jiwa
lll di Indonesia menyatakan, gejala yang ditemukan pada mereka itu menggambarkan
suatu yang stress yang terjadi berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Dengan demikian
mereka menjadi manusia yang invalid dalam kondisi kejiwaan dengan akibat dan
resultante akhir penderita ini akan menjadi tidak produktif. Padahal seperti diketahui ada
diantara mereka yang berkali-kali telah mengalami pengalaman katastropik yaitu saat
daerah tersebut ada dalam kondisi berlangsungnya Daerah Operasi Militer dan peristiwaperistiwa sesudahnya. Kondisi itu memang amat melumpuhkan tidak hanya ragawi, tetapi
juga kondisi kejadian masyarakat di daerah NAD. Di kemudian hari, mereka menjadi
manusia yang tanpa alasan selalu berusaha menghindar terhadap kejadian yang mirip,
terutama terhadap kekerasan yang sebernarnya tidak akan terjadi. Mereka juga menjadi
manusia yang selalu bermimpi menakutkan terjadi secara berulang-ulang. Akibatnya,
tidur yang seharusnya kan membuat restorasi terhadap kondisi tubuh, namun yang terjadi
adalah sebaliknya. Mereka berada dalam keadaan lelah dan seakan berada dalam kondisi
depresi. Mungkin saja mereka kan berperilaku atau merasa seakan-akan kejadian

traumatis itu terjadi kmbaki, termasuk pengalaman, ilusi, halusinasi, dan episode kilas
balik dalam bentuk disosiatif. Penelitian mutakhir tentang kajian trauma (trauma studies)
mulai memahami bahwa trauma bukan semata-mata gejala kejiwaan yang bersifat
individual. Trauma muncul sebagai akibat dari saling keterkaitan antara ingatan sosial
dan ingatan pribadi tentang peristiwa yang mengguncang eksistensi kejiwaan. Dalam
konteks tsunami Aceh dan bencana-bencana besar lainnya di Indonesia, kompleksitas
sosial dan kultural sangat penting mengingat bahwa masyarakat telah mengalami dan
menjadi saksi berbagai macam kekerasan sejak berlangsungnya operasi keamanan di
daerah ini. Oleh karena itu, pemahaman tentang trauma sebagai proses sosial dan
sekaligus proses kejiwaan yang bersifat personal mutlak diperlukan untuk mencari jalan
keluar dari lingkaran ingatan traumatis yang dialami oleh klien-klien yang mengalami
yang mengalami bencana di seluruh penjuru Indonesia. Menariknya, Sigmund Freud
sendiri pernah mengemukakan bahwa trauma adalah suatu ingatan yang direpresi. Dan,
karena direpresi itulah maka trauma sering berlangsung secara tidak sadar dalam periode
yang cukup lama. Guncangan psikologis yang disebabkan oleh ingatan mengerikan
tentang gelombang tsunami, tentang mayat-mayat yang berserakan, dan tentang
kehilangan banyak anggota keluarga sekaligus berpotensi untuk membentuk ingatan yang
traumatis. Perawat jiwa pada masa akan datang penting untuk menekuni kajian trauma,
juga menggarisbawahi proses yang dalam studi psikologi sering disebut sebagai
transference. Istilah ini merujuk pada transfer pengalaman traumatis yang terjadi dari
orang yang secara fisik langsung mengalami peristiwa yang mengerikan kepada orang
lain yang tak secara langsung mengalaminya. Freud memberi contoh bahwa psikoanalis
juga dapat mengalami proses transference saat ia secara tak sadar melakukan identifikasi
dengan korban trauma tersebut. Dori Laub, psikiater yang terlibat dalam pembuatan
Shoah, mengatakan bahwa transference itu bisa terjadi saat psikoanalis, atau siapapun
juga yang melakukan wawancara dengan korban.
7. Meningkatknya Post Traumatic Syndrome Disorder
Trauma yang katastropik, yaitu trauma di luar rentang pengalaman trauma yang
umum di alami manusia dlm kejadian sehari-hari. Mengakibatkan keadaan stress
berkepanjangan dan berusaha untuk tidak mengalami stress yang demikian. Mereka
menjdi manusia yang invalid dlam kondisi kejiwaan dengan akibat akhir menjadi tidak

produktif. Trauma bukan semata2 gejala kejiwaan yang bersifat individual, trauma
muncul sebagai akibat saling keterkaitan antara ingatan sosial dan ingatan pribadi tentang
peristiwa yang mengguncang eksistensi kejiwaan.
8. Meningkatnya Masalah psikososial
Lingkup kesehatan jiwa sangat luas dan kompleks, juga saling berhubungandengan
segala aspek kehidupan manusia. Mengacu pd UU No. 23 1992 tentang Kesehatan Dan
Ilmu Psikiatri, masalah kesehatan jiwa secara garis besar digolongkan menjadi :
a) Masalah perkembangan manusia yg harmonis dan peningkatan kualitas hidup, yaitu
masalah kejiwaan yang berkaitan dengan makna dan nilai-nilai kehidupan
manusia.Misalnya:
Masalah kesehatan jiwa yang berkaitan dengan lifecycle kehidupan manusia,
mulai dari persiapan pranikah, anak dalam kandungan, balita, anak, remaja,
dewasa, usia lanjut.
Dampak dari menderita penyakit menahun yang menimbulkan disabilitas.
Pemukiman yang sehat.
Pemindahan tempat tinggal.
b) Masalah psikososial yaitu masalah psikis atau kejiwaan yang timbul akibat terjadinya
perubahan sosial, meliputi :
Psikotik gelandangan (seseorang yang berkeliaran di tempat umum dan
diperkirakan menderita gangguan jiwa psikotik dan dianggap mengganggu

ketertiban/keamanan lingkungan).
Pemasungan penderita gangguan jiwa
Masalah anak jalanan
Masalah anak remaja (tawuran, kenakalan)
Penyalaggunaan Narkotik dan psikotropik
Masalah seksual (penyimpangan seksual, pelecehan seksual dll)
Tindak kekerasan sosial (kemiskinan, penelantaran tdk diberi nafkah, korban
kekerasan pd anak, dll) Stress pasca trauma (ansietas, gangguan emosional,
berulang kali merasakan kembali suatu pengalaman traumatik, bencana alam,
ledakan, kekerasan, penyerangan/ penganiayaan fisik/ seksual, termasuk

pemerkosaan, terorisme, dll)


Stress pascatrauma (ansietas, gangguan emosional, berulangkali merasakan
kembali suatu pengalaman traumatik, bencana alam, ledakan, kekerasaan,
penyerangan/penganiyaan secara fisik atau seksual, termasuk pemerkosaan,
terorisme dan lain-lain).

Migrasi ( masalah psikis/ kejiwaan akibat perubahan sosial, spt cemas,

depresi, stress pasca trauma, dll)


Masalah usia lanjut yang terisolasi (penelataran, penyalahgunaan fisik,
gangguan psikologis, gangguan penyesuaian diri terhadap perubahan,
perubahan minat, gangguan tidur, kecemasan, depresi, gangguan pada daya

ingat, dll).
Masalah kesehatan tenaga kerja di tempat kerja (penurunan produktivitas,
stress di tempat kerja, dll).

9. Trend Bunuh Diri pada Anak dan Remaja


Bunuh diri merupakan masalah psikologis dunia yang sangat mengancam, angka
kejadian terus meningkat dan sangat mengancam Sejak tahun 1958, dari 100.000
penduduk Jepang 25 orang diantaranya meninggal akibat bunuh diri. Sedangkan untuk
negara Austria, Denmark, dan Inggris, rata-rata 25 orang. Urutan pertama diduduki
Jerman dengan angka 37 orang per 100.000 penduduk. Di Amerika tiap 24 menit seorang
meninggal akibat bunuh diri. Jumlah usaha bunuh diri yang sebenarnya 10 kali lebih
besar dari angka tersebut, tetapi cepat tertolong. Kini yang mengkhawatirkan trend bunuh
diri mulai tampak meningkat terjadi pada anak-anak dan remaja. Di Benua Asia, Jepang
dan Korea termasuk Negara yang sering diberitakan bahwa warganya melakukan bunuh
diri. Di Jepang, harakiri (menikam atau merobek perut sendiri) sering dilakukan bawahan
untuk melindungi nama baik atasannya. Sebagai contoh, sekretaris pribadi mantan
Perdana Menteri Takeshita melakukan bunuh diri, ketika skandal suap perusahaan
Recruits Cosmos terbongkar pada tahun 1984 atau yang paling terkenal kasus bunuh
dirinya sopir pribadi mantan Perdana menteri Tanaka, ketika skandal suap Lockheed
terbongkar. Sang sopir menusuk perutnya, demi menjaga kehormatan pimpinannya. Data
dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2003 mengungkapkan bahwa satu juta
orang bunuh diri dalam setiap tahunnya atau terjadi dalam seiap 40 detiknya. Bunuh diri
juga termasuk satu dari tiga penyebab utama kematian pada usia 15-34 tahun, selain
faktor kecelakaan. Metode yg paling disukai = menggunakan pistol, menggantung diri
dan minum racun. Keberhasilan BD pd pria lebih banyak 3 x dr wanita. Bunuh diri :
suatu tindakan mencabut nyawa sendiri dengan sengaja (jalan pntas yang dikutuk Tuhan).

Latar belakangnya beragam : asmara, pekerjaan, cek-cok rmh tangga, ekonomi, perasaan
malu dan terlilit utang.
10. Masalah Napza dan HIV/ AIDS
Gangguan penggunaan zat adiktif ini sangat berkaitan dan merupakan dampak
dari pembangunan serta teknologi dari suatu negara yang semakin maju. Hal terpenting
yang mendukung merebaknya NAPZA di negara kita adalah perangkat hukum yang
lemah bahkan terkadang oknum aparat hukum seringkali menjadi backing, ditambah
dengan keragu-raguan penentuan hukuman bagi pengedar dan pemakai, sehingga
dampaknya SDM Indonesia kalah dengan Malaysia yang lebih bertindak tegas terhadap
pengedar dan pemakai NAPZA. Kondisi ini akan semakin menigkat untuk masa yang
akan datang khususnya dalam era globalisasi. Dalam era globalisasi tersebut terdapat
gerakan yang sangat besar yang disebut dengan istilah Gerakan Kafirisasi. Bila
beberapa dekade yang lalu kita mengenal istilah zionisme, maka dengan ini sejalan
dengan globalisasi kita berhadapan dengan dengan ideologi kafirisasi yang disebut
dengan Neozionisme, sebuah ideologi yang ingin menciptakan tatanan dunia global yang
sekuler dan terlepas sama sekali dari ajaran agama yang mereka anggap sebagai
kepalsuan, racun, dan dogmatis fundamentalis.
Gerakan konspirasi mereka telah membuat carut marut dan tercabiknya wajah
kaum beragama, utamanya umat muslim, mereka menuduh umat islam sebagai
fundamentalis, ekstrimis, dan tiran. Bahkan Hungtington (Misionaris Yahudi) pernah
mengatakan : Musuh Barat terbesar setelah Rusia hancur adalah Islam. Salah
satuprogram mereka adalah menghancurkan islam melalui penghancuran generasi
mudanya dengan cara menebarkan narkotik dan zat adiktif lainnya (NAPZA).
Sekarang para imperalis dan konspirasi Yahudi telah memanfaatkan energi
yang tersimpan dalam generasi negeri ini (1,3 juta orang pemuda) yang berusia 15-25
tahun melalui NAPZA (Narkotik dan Zat Adikif lainnya) dan telah membunuh 30 orang
perbulannya. Masalah lainnya muncul seiring dengan merebaknya pemakaian NAPZA.
Menjelang tahun 2008 pertumbuhan HIV AIDS di dunia dapat mencapai 4 orang
permenit. Ini merupakan ancaman hilangnya kehidupan dan runtuhnya peradaban.
Kita semua, khususnya tim kesehatan harus merasa terpanggil menyelamatkan
generasi penerus bangsa dari cangkraman NAPZA (Narkotika, Alkohol, psikotropika, dan
Zat Adiktif lainnya). Perawat merupakan komponen terbesar dari seluruh tim kesehatan,

maka upaya-upaya pengcegahan dan penatalaksanaan keperawatan menjadi hal yang


sangat penting karena perawat senantiasa berada di sisi klien dalam rentang waktu yang
lama di banding tim kesehatan lainnya. Melalui forum presentasi orientasi keperawatan
jiwa kami berusaha memaparkan suatu topic dengan tema Asuhan Keperawatan pada
Pengguna NAPZA.
11. Paterrn of Parenting dalam Kep. Jiwa
Dengan banyaknya kasus bunuh diri dan depresi pd anak, maka pola asuh
keluarga kembali menjadi sorotan Pola asuh yang baik adalah pola asuh dimana orang tua
menerapkan kehangatan yang tinggi disertai dengan kontrol yang tinggi. Kehangatan
adalah Bagaimana orang tua menjadi teman curhat, teman bermain, teman yang
menyenangkan bagi anak terutama saat rekreasi, belajar dan berkomunikasi. Berbagai
upaya agar anak dekat dan berani bicara pada ortunya saat punya masalah. Ortu menjadi
teman dalam ekspresi feeling anak sehingga anak menjadi sehat jiwanya. Kontrol yg
tinggi

ad.

Bagaimana

anak

dilatihmandiri

dan

mengenal

disiplin

di

rumahnya.Kemandirian mjd hal yg sangat penting dalamkesehatan jiwa, karena akan


memiliki selfconfidence yang cukup.Orang tua juga melatih anak bertanggung
jawabmengerjakan tugas2 di rumah spt. Mencuci,menyiram bunga dll.
Tipe Pola Asuh :
Autoratif = kontrol tinggi & kehangatan tinggi
Otoriter = kontrol tinggi, kehangatan rendah
Permisif = kontrol rendah, kehangatan tinggi
Neglected = kontrol rendah, kehangatan Rendah
12. Masalah Ekonomi dan Kemiskinan
Pengangguran telah menybabkan rakyat indonesia semakin terpuruk. Daya beli
lemah, pendidikan rendah, lingkungan buruk, kurang gizi, mudah teragitasi, kekebalan
menurun dan infrastruktur yg masih rendah menyebabkan banyak rakyat mengalami
gangguan jiwa. Masalah ekonomi paling dominan menjadi pencetus gangguan jiwa di
Indonesia. Hal ini bisa dibuktikan bahwa saat terjadi kenaikan BBM selalu dsertai dengan
peningkatan dua kali lipat angka gangguan jiwa. Hal ini diperparah dengan biaya sekolah
yang mahal, biaya pengobatan tak terjangkau dan penggusuran yang kerap terjadi.

B. Trend dalam pelayanan keperawatan mental psikiatri


Sehubungan dengan trend masalah kesehatan utama dan pelayanan kesehatan jiwa secara
global, maka fokus pelayanan keperawatan jiwa sudah saatnya berbasis pada komunitas
(community based care) yang member penekanan pada preventif dan promotif.
Sehubungan dengan peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat,
perlu peningkatan dalam bidang ilmu pengetahuan dengan cara mengembangkan institusi
pendidikan yang telah ada dan mengadakan program spesialisasi keperawatan jiwa.
Dalam rangka menjaga mutu pelayanan yang diberikan dan untuk melindungi konsumen,
sudah saatnya ada licence bagi perawat yang bekerja di pelayanan.
Sehubungan dengan adanya perbedaan latar belakang budaya kita dengan narasumber,
yang dalam hal ini kita masih mengacu pada Negara-negara Barat terutama Amerika,
maka perlu untuk menyaring konsep-konsep keperawatan mental psikiatri yang
didapatkan dari luar.

C. Issue Seputar Yankep Mental Psikiatri


a) Pelayanan kep. Mental Psikiatri, kurang dpt dipertanggung jawabkan karena masih
kurangnya hasil2 riset keperawatan Jiwa Klinik.
b) Perawat Psikiatri, kurang siap menghadapi pasar bebas karena pendidikan yg rendah dan
belum adanya licence untuk praktek yang diakui secara internasional.
c) Pembedaan peran perawat jiwa berdasarkan pendidikan dan pengalaman sering kali tdk
jelas Position description. job responsibility dan sistem reward di dlm pelayanan.
d) Menjadi perawat psikiatri bukanlah pilihan bagi peserta didik (mahasiswa keperawatan).
D. Isu Keperawatan Jiwa Terbaru
Menjadikan kesehatan jiwa sebagai prioritas global dengan cara meningkatkan
pelayanan kesehatan jiwa melalui advokasi dan aksi masyarakatPerkembangan teknologi
digital membuat dunia terasa semakin sempit, informasi dari berbagai belahan dunia mampu
di akses dalam waktu yang sangat cepat, perkembangan pengetahuan, perkembangan terapi
menjadi sebuah media perubahan dalam proses penatalaksanaan gangguan jiwa, berdasarkan
isu diatas maka advokasi dan aksi masyarakat menjadi salah satu langkah awal untuk
menekan penderita gangguan jiwa di indonesia pada khususnya dan dunia pada umumnya,
Dua tindakan nyata diatas menjadi tanggung jawab kita semua, tuntutan material,
tuntutan hedonisme dan kesenangan duniawi mampu membuat beberapa orang mengalami

goncangan dalam kehidupannya, ketika agama tidak lagi menjadi pegangan, ketika nafsu
duniawi menjadi tuhan maka akan banyak perilaku tidak wajar yang muncul, tekanan
ekonomi, tekanan sosial, tekanan psikologis dan tekanan - tekanan yang lain mampu
membuat ego defence mechanisme seseorang menjadi terganggu. Seseorang pada intinya
ingin dianggap penting, perilaku agar dianggap atau terlihat penting ini yang terkadang
merusak integritas pribadinya sendiri, contoh : "agar kelihatan kaya melakukan hutang
dengan beban angsuran diluar kemampuan, akhirnya harus gerilya dengan debt collector,
setiap debt collector datang harus bersembunyi atau bahkan melarikan diri agar hutangnya
tidak ditagih, jika perlu pindah rumah kontrakan". Kejaran dari debt collector bisa membuat
seseorang menjadi tertekan secara psikologis.
Kehidupan sebenarnya bermuara pada dua hal keinginan dan kebutuhan, jika orang
berorientasi pada pemenuhan keinginan maka dia tidak akan mampu melawan keserakahan
yang sudah menguasai hati dan kehidupannya, nafsu menjadi yang terbaik membuat orang
menghalalkan segala cara untuk menang, sebuah kemenangan seorang pecundang sama
buruknya dengan kekalahan pecundang yang sebenarnya, cara menang sebagai pecundang
ini adalah dengan cara sikat kanan, sikat kiri, injak bawah dan menjilat atasan menjadi
sebuah pilihan pahit yang diambil oleh para hedonis ini. Jika saja mutiara kebajikan "siapa
menanam benih maka dia akan menuai, atau setiap perbuatan baik sekecil apapun ada
balasannya dan setiap perbuatan buruk sekecil apapun akan ada balasannya". Manusia harus
mampu menekan keinginan dan memprioritaskan pada pemenuhan kebutuhan, jika kita
memiliki keinginan maka mempertahankan melakukan segala sesuatu dengan cara baik
adalah sebuah keharusan, alam, manusia dan semua ciptaan tuhan sudah diatur oleh sang
pencipta dan manusia tidak perlu ikut membuat aturan yang sudah digariskan oleh tuhan,
ketika manusia melalaikan janji maka sifat manusia sebagai tempat salah dan lupa bisa
menjadi faktor pemakluman terhadap situasi tersebut, tetapi janji tuhan bukanlah faktor yang
dapat ditawar, jika kita berbuat baik maka pasti akan menuai kebaikan jika kita berbuat
buruk akan menuai hal buruk pula.
Manusia bisa membuat sebuah hukum, sebuah aturan dalam bentuk undang - undang
dan berbentuk peraturan, isi aturan dan undang - undang bisa memiliki dua sisi, mengikuti
kepentingan penguasa atau memang undang - undang tersebut memang untuk membuat
sebuah keteraturan, ketika raja firaun berkuasa maka dia membuat sebuah undang - undang
bahwa setiap warga yang memiliki anak laki - laki maka anak laki - lakinya tersebut harus

dibunuh. Undang - undang ini tentu untuk kepentingan penguasa karena berdasarkan
ramalan salah satu bayi laki - laki tersebut yang akan mengakhiri kisah kediktaktoran sang
raja. Ketika akhirnya tuhan memberikan sebuah pembalasan dengan sangat kejam dengan
cara menghanyutkan firaun dan semua pengikutnya ditengah lautan maka musnahlah
kesombongan penguasa diktator tersebut.
Kisah - kisah teladan telah banyak yang diceritakan dalam kitab suci, jika manusia
meresapi cerita - cerita tersebut kemudian memperkuat fondasi spiritualitasnya, melakukan
komunikasi dengan pencipta lewat ibadah maka kehidupan akan menuju sebuah keteraturan,
dunia diciptakan dalam bentuk aneka warna dan hitam putih sehingga muncul siang dan
malam, gelap dan terang, mengembalikan manusia ke hakikat diri mereka yang sebenarnya
akan membuat seseorang menemukan dirinya, mereka menerima semua kelebihan dan
kekurangan dan secara sehat menerima setiap perbedaan sebagai sebuah paket utuh dari
adanya persamaan, jika dunia berwarna putih semua maka akan monoton, bahkan asal mula
kejahatan bermula dari rasa iri iblis terhadap adam sehingga adam terbuang dari surga,
manusia pilihan yang diciptakan pertama kali sudah mampu disesatkan oleh iblis maka akan
berapa banyak keturunan adam yang juga mampu disesatkan oleh iblis dengan iming - iming
kenikmatan dunia.

TERAPI AKTIFITAS KELOMPOK(TAK)

A. Definisi TAK
Terapi kelompok adalah terapi psikologi yang dilakukan secara kelompok untuk
memberikan stimulasi bagi pasien dengan gangguan interpersonal (Yosep, 2008).
Terapi aktivitas kelompok merupakan salah satu terapi modalitas yang dilakukan
perawat kepada sekelompok klien yang mempunyai masalah keperawatan yang sama.
Aktivitas digunakan sebagi terapi, dan kelompok digunakan sebagai target asuhan (Kelliat,
2005).
Terapi aktivitas kelompok adalah aktivitas membantu anggotanya untuk identitas
hubungan yang kurang efektif dan mengubah tingkah laku yang maladaptive (Stuart &
Sundeen, 1998).
Terapi aktivitas kelompok adalah salah satu upaya untuk memfasilitasi psikoterapis
terhadap sejumlah klien pada waktu yang sama untuk memantau dan meningkatkan
hubungan antar anggota (Depkes RI, 1997).
B. Tujuan TAK
Depkes RI mengemukakan tujuan terapi aktivitas kelompok secara rinci sebagai
berikut:
1. Tujuan Umum
a. Meningkatkan kemampuan menguji kenyataan yaitu memperoleh pemahaman dan
cara membedakan sesuatu yang nyata dan khayalan.
b. Meningkatkan sosialisasi dengan memberikan kesempatan untuk berkumpul,
berkomunikasi dengan orang lain, saling memperhatikan memberikan tanggapan
terhadap pandapat maupun perasaan ortang lain.
c. Meningkatkan kesadaran hubungan antar reaksi emosional diri sendiri dengan prilaku
defensif yaitu suatu cara untuk menghindarkan diri dari rasa tidak enak karena merasa
diri tidak berharga atau ditolak.

d. Membangkitkan motivasi bagi kemajuan fungsi-fungsi psikologis seperti fungsi


kognitif dan afektif.
2. Tujuan Khusus
a. Meningkatkan identifikasi diri, dimana setiap orang mempunyai identifikasi diri
tentang mengenal dirinya di dalam lingkungannya.
b. Penyaluran emosi, merupakan suatu kesempatan yang sangat dibutuhkan oleh
seseorang untuk menjaga kesehatan mentalnya. Di dalam kelompok akan ada waktu
bagi anggotanya untuk menyalurkan emosinya untuk didengar dan dimengerti oleh
anggota kelompok lainnya.
c. Meningkatkan keterampilan hubungan sosial untuk kehidupan sehari-hari, terdapat
kesempatan bagi anggota kelompok untuk saling berkomunikasi yang memungkinkan
peningkatan hubungan sosial dalam kesehariannya.
C. Dampak therapeutic TAK
Yalom (1985) dalam tulisannya mengenai terapi kelompok telah melaporkan efek
terapeutik dari kelompok. Faktor-faktor tersebut adalah :
1. Universalitas, klien mulai menyadari bahwa bukan ia sendiri yang mempunyai
masalah dan bahwa perjuangannya adalah dengan membagi atau setidaknya dapat
dimengerti oleh orang lain.
2. Menanamkan harapan, sebagian diperantarai dengan menemukan yang lain yang telah
dapat maju dengan masalahnya, dan dengan dukungan emosional yang diberikan oleh
kelompok lainnya.
3. Menanamkan harapan, dapat dialami karena anggota memberikan dukungan satu sama
lain dan menyumbangkan ide mereka, bukan hanya menerima ide dari yang lainnya.
4. Mungkin terdapat rekapitulasi korektif dari keluarga primer yang untuk kebanyakan
klien merupakan problematic. Baik terapis maupun anggota lainnya dapat jadi resepien
reaksi tranferensi yang kemudian dapat dilakukan.
5. Pengembangan keterampilan sosial lebih jauh dan kemampuan untuk menghubungkan
dengan yang lainnya merupakan kemungkinan. Klien dapat memperoleh umpan balik
dan mempunyai kesempatan untuk belajar dan melatih cara baru berinteraksi.
6. Pemasukan informasi, dapat dapat berkisar dari memberikan informasi tentang
ganguan seseorang terhadap umpan balik langsung tentang perilaku orang dan
pengaruhnya terhadap anggota kelompok lainnya.
7. Identifikasi, prilaku imitative dan modeling dapat dihasilkan dari terapis atau anggota
lainnya memberikan model peran yang baik.

8. Kekohesifan kelompok dan pemilikan dapat menjadi kekuatan dalam kehidupan


seseorang. Bila terapi kelompok menimbulkan berkembangnya rasa kesatuan dan
persatuan memberi pengaruh kuat dan memberi perasaan memiliki dan menerima yang
dapat menjadi kekuatan dalam kehidupan seseorang.
9. Pengalaman antar pribadi mencakup pentingnya belajar berhubungan antar pribadi,
bagaimana memperoleh hubungan yang lebih baik, dan mempunyai pengalaman
memperbaiki hubungan menjadi lebih baik.
10. Atarsis dan pembagian emosi yang kuat tidak hanya membantu mengurangi
ketegangan emosi tetapi juga menguatkan perasaan kedekatan dalam kelompok.
11. Pembagian eksisitensial memberikan masukan untuk mengakui keterbatasan
seseorang, keterbatasan lainnya, tanggung jawab terhadap diri seseorang.
D. Indikasi dan Kontra indikasi TAK
Adapun indikasi dan kontra indikasi terapi aktivitas kelompok (Depkes RI (1997)
adalah:
1. Semua klien terutama klien rehabilitasi perlu memperoleh terapi aktifitas kelompok
kecuali mereka yang : psikopat dan sosiopat, selalu diam dan autistic, delusi tak
terkontrol, mudah bosan.
2. Ada berbagai persyaratan bagi klien untuk bisa mengikuti terapi aktifitas kelompok
antara lain : sudah ada observasi dan diagnosis yang jelas, sudah tidak terlalu gelisah,
agresif dan inkoheren dan wahamnya tidak terlalu berat, sehingga bisa kooperatif dan
tidak mengganggu terapi aktifitas kelompok.
3. Untuk pelaksanaan terapi aktifitas kelompok di rumah sakit jiwa di upayakan
pertimbangan tertentu seperti : tidak terlalu ketat dalam tehnik terapi, diagnosis klien
dapat bersifat heterogen, tingkat kemampuan berpikir dan pemahaman relatif setara,
sebisa mungkin pengelompokan berdasarkan problem yang sama.

E. Pengorganisasian kelompok TAK


Pengorganisasian kelompok untuk melakukan TAK sebagai berikut (Kelliat, 2005) :
1. Struktur kelompok.
Struktur kelompok menjelaskan batasan, komunikasi, proses pengambilan
keputusan dan hubungan otoritas dalam kelompok. Struktur kelompok menjaga
stabilitas dan membantu pengaturan pola perilaku dan interaksi. Struktur dalam

kelompok diatur dengan adanya pemimpin dan anggota, arah komunikasi dipandu oleh
pemimpin, sedangkan keputusan diambil secara bersama.
2. Besar kelompok.
Jumlah anggota kelompok yang nyaman adalah kelompok kecil yang anggotanya
berkisar antara 5-12 orang. Jika angota kelompok terlalu besar akibbatnya tidak semua
anggota

mendapat

kesempatan

mengungkapkan

perasaan,

pendapat,

dan

pengalamannya. Jika terlalu kecil, tidak cukup variasi informasi dan interaksi yang
terjadi (Kelliat, 2005).
3. Lamanya sesi.
Waktu optimal untuk satu sesi adalah 20-40 menit bagi fungsi kelompok yang
rendah dan 60-120 menit bagi fungsi kelompok yang tinggi. Banyaknya sesi
bergantung pada tujuan kelompok, dapat satu kali/dua kali perminggu, atau dapat
direncanakan sesuai dengan kebutuhan (Kelliat, 2005).
F. Proses TAK
Proses terapi aktifitas kelompok pada dasarnya lebih kompleks dari pada terapi
individual, oleh karena itu untuk memimpinnya memerlukan pengalaman dalam psikoterapi
individual. Dalam kelompok terapis akan kehilangan sebagian otoritasnya dan menyerahkan
kepada kelompok.
Terapis sebaiknya mengawali dengan mengusahakan terciptanya suasana yang tingkat
kecemasannya sesuai, sehingga klien terdorong untuik membuka diri dan tidak
menimbulkan atau mengembalikan mekanisme pertahanan diri. Setiap permulaan dari suatu
terapi aktifitas kelompok yang baru merupakan saat yang kritis karena prosedurnya
merupakan sesuatu yang belum pernah dialami oleh anggota kelompok dan mereka
dihadapkan dengan orang lain.
Setelah klien berkumpul, mereka duduk melingkar, terapis memulai dengan
memperkenalkan diri terlebih dahulu dan juga memperkenalkan co-terapis dan kemudian
mempersilakan anggota untuk memperkenalkan diri secara bergilir, bila ada anggota yang
tidak mampu maka terapis memperkenalkannya. Terapis kemudian menjelaskan maksud dan
tujuan serta prosedur terapi kelompok dan juga masalah yang akan dibicarakan dalam
kelompok. Topik atau masalah dapat ditentukan oleh terapis atau usul klien. Ditetapkan
bahwa anggota bebas membicarakan apa saja, bebas mengkritik siapa saja termasuk terapis.
Terapis sebaiknya bersifat moderat dan menghindarkan kata-kata yang dapat diartikan
sebagai perintah.

Dalam prosesnya kalau terjadi bloking, terapis dapat membiarkan sementara. Bloking
yang terlalu lama dapat menimbulkan kecemasan yang meningkatoleh karenanya terapis
perlu mencarikan jalan keluar. Dari keadaan ini mungkin ada indikasi bahwa ada beberapa
klien masih perlu mengikuti terapi individual. Bisa juga terapis merangsang anggota yang
banyak bicara agar mengajak temannya yang kurang banyak bicara. Dapat juga co-terapis
membantu mengatasi kemacetan.
Kalau terjadi kekacauan, anggota yang menimbulkan terjadinya kekacauan
dikeluarkan dan terapi aktifitas kelompok berjalan terus dengan memberikan penjelasan
kepada semua anggota kelompok. Setiap komentar atau permintaan yang datang dari
anggota diperhatikan dengan sungguh-sungguh dan di tanggapi dengan sungguh-sungguh.
Terapis bukanlah guru, penasehat atau bukan pula wasit. Terapis lebih banyak pasif atau
katalisator. Terapis hendaknya menyadari bahwa tidak menghadapi individu dalam suatu
kelompok tetapi menghadapi kelompok yang terdiri dari individu-individu.
Diakhir terapi aktifitas kelompok, terapis menyimpulkan secara singkat pembicaraan
yang telah berlangsung / permasalahan dan solusi yang mungkin dilakukan. Dilanjutkan
kemudian dengan membuat perjanjian pada anggota untuk pertemuan berikutnya. (Kelliat,
2005).

G. Perkembangan Kelompok TAK


Kelompok sama dengan individu, mempunyai kapasitas untuk tumbuh dan
berkembang. Kelompok akan berkembang melalui empat fase, yaitu: Fase prakelompok;
fase awal kelompok; fase kerja kelompok; fase terminasi kelompok (Stuart & Laraia, 2001
dalam Cyber Nurse, 2009).
1. Fase Prakelompok Dimulai dengan membuat tujuan, menentukan leader, jumlah
anggota, kriteria anggota, tempat dan waktu kegiatan, media yang digunakan. Menurut
Dr. Wartono (1976) dalam Yosep (2007), jumlah anggota kelompok yang ideal dengan
cara verbalisasi biasanya 7-8 orang. Sedangkan jumlah minimum 4 dan maksimum
10. Kriteria anggota yang memenuhi syarat untuk mengikuti TAK adalah : sudah
punya diagnosa yang jelas, tidak terlalu gelisah, tidak agresif, waham tidak terlalu
berat (Yosep, 2007).
2. Fase Awal Kelompok Fase ini ditandai dengan ansietas karena masuknya kelompok
baru, dan peran baru. Yalom (1995) dalam Stuart dan Laraia (2001) membagi fase ini

menjadi tiga fase, yaitu orientasi, konflik, dan kohesif. Sementara Tukman (1965)
dalam Stuart dan Laraia (2001) juga membaginya dalam tiga fase, yaitu forming,
storming, dan norming.
a. Tahap orientasi Anggota mulai mencoba mengembangkan sistem sosial masingmasing, leader menunjukkan rencana terapi dan menyepakati kontrak dengan
anggota.
b. Tahap konflik Merupakan masa sulit dalam proses kelompok. Pemimpin perlu
memfasilitasi ungkapan perasaan, baik positif maupun negatif dan membantu
kelompok mengenali penyebab konflik. Serta mencegah perilaku perilaku yang
tidak produktif (Purwaningsih & Karlina, 2009).
c. Tahap kohesif Anggota kelompok merasa bebas membuka diri tentang informasi
dan lebih intim satu sama lain (Keliat, 2004).
3. Fase Kerja Kelompok Pada fase ini, kelompok sudah menjadi tim. Kelompok menjadi
stabil dan realistis (Keliat, 2004). Pada akhir fase ini, anggota kelompok menyadari
produktivitas dan kemampuan yang bertambah disertai percaya diri dan kemandirian
(Yosep, 2007).
4. Fase Terminasi Terminasi yang sukses ditandai oleh perasaan puas dan pengalaman
kelompok akan digunakan secara individual pada kehidupan sehari-hari. Terminasi
dapat bersifat sementara (temporal) atau akhir (Keliat, 2004).
H. Jenis TAK
Terapi aktivitas kelompok (TAK) dibagi empat, yaitu :
1. Terapi aktivitas kelompok stimulasi kognitif/persepsi
Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) stimulasi persepsi adalah terapi yang
menggunakan aktivitas sebagai stimulus terkait dengan pengalaman dan atau kehidupan
untuk didiskusikan dalam kelompok (Keliat, 2004).
Fokus terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi adalah membantu pasien yang
mengalami kemunduran orientasi dengan karakteristik: pasien dengan gangguan
persepsi; halusinasi, menarik diri dengan realitas, kurang inisiatif atau ide, kooperatif,
sehat fisik, dan dapat berkomunikasi verbal (Yosep, 2007).
Adapun tujuan dari TAK stimulasi persepsi adalah pasien mempunyai
kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh paparan stimulus
kepadanya. Sementara, tujuan khususnya: pasien dapat mempersepsikan stimulus yang
dipaparkan kepadanya dengan tepat dan menyelesaikan masalah yang timbul dari
stimulus yang dialami (Darsana, 2007).

Aktivitas mempersepsikan stimulus tidak nyata dan respon yang dialami dalam
kehidupan, khususnya untuk pasien halusinasi. Aktivitas dibagi dalam empat sesi yang
tidak dapat dipisahkan, yaitu:
a. Sesi pertama : mengenal halusinasi
b. Sesi kedua
: mengontrol halusinasi dan menghardik halusinasi
c. Sesi ketiga
: menyusun jadwal kegiatan
d. Sesi keempat : cara minum obat yang benar
2. Terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori
TAK stimulasi sensori adalah TAK yang diadakan dengan memberikan stimulus
tertentu kepada klien sehingga terjadi perubhan perilaku. Bentuk stimulus :
a. Stimulus suara: music
b. Stimulus visual: gambar
c. Stimulus gabungan visual dan suara: melihat televisi, video.
Tujuan dari TAK stimulasi sensori bertujuan agar klien mengalami :
a. Peningkatan kepekaan terhadap stimulus
b. Peningkatan kemampuan merasakan keindahan
c. Peningkatan apresiasi terhadap lingkungan
3. Terapi aktivitas orientasi realita
Terapi Aktivitas Kelompok Oientasi Realita (TAK): orientasi realita adalah upaya
untuk mengorientasikan keadaan nyata kepada klien, yaitu diri sendiri, orang lain,
lingkungan/ tempat, dan waktu.
Klien dengan gangguan jiwa psikotik, mengalami penurunan daya nilai realitas
(reality testing ability). Klien tidak lagi mengenali tempat,waktu, dan orang-orang di
sekitarnya. Hal ini dapat mengakibatkan klien merasa asing dan menjadi pencetus
terjadinya ansietas pada klien. Untuk menanggulangi kendala ini, maka perlu ada
aktivitas yang memberi stimulus secara konsisten kepada klien tentang realitas di
sekitarnya. Stimulus tersebut meliputi stimulus tentang realitas lingkungan, yaitu diri
sendiri, orang lain, waktu, dan tempat.
Tujuan umum yaitu klien mampu mengenali orang, tempat, dan waktu sesuai
dengan kenyataan, sedangkan tujuan khususnya adalah:
a. Klien mampu mengenal tempat ia berada dan pernah berada
b. Klien mengenal waktu dengan tepat.
c. Klien dapat mengenal diri sendiri dan orangorang di sekitarnya dengan tepat.
Aktivitas yang dilakukan tiga sesi berupa aktivitas pengenalan orang, tempat, dan
waktu. Klien yang mempunyai indikasi disorientasi realitas adalah klien halusinasi,
dimensia, kebingungan, tidak kenal dirinya, salah mngenal orang lain, tempat, dan
waktu.Tahapan kegiatan :

a. Sesi I
: Orientasi Orang
b. Sesi II : Orientasi Tempat
c. Sesi III : Orientasi Waktu
4. Terapi aktivitas Sosialisasi
Klien yang mempunyai indikasi aktivitas ini adalah klien dengan perilaku
kekerasan yang telah kooperatif. Aktivitas dibagi dalam beberapa sesi yang tidak dapat
dipisahkan, yaitu : aktivitas mengenal kekerasan yang biasa dilakukan, aktivitas
mencegah kekerasan melalui kegiatan fisik, aktivitas mencegah perilaku kekerasan
melalui interaksi social asertif, aktivitas mencegah perilaku kekerasan melalui
kepatuhan minum obat, aktivitas mencegah perilaku kekerasan melalui kegiatan ibadah.

PRILAKU KEKERASAN

A. Askep Teori Jiwa Pada Pasien Gangguan Prilaku Kekerasan


1. Pengertian
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan
yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun
lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang
tidak konstruktif. (Stuart dan Sundeen, 1995).
Perilaku kekerasan merupakan respons terhadap stressor yang dihadapi oleh
seseorang, ditunjukkan dengan perilaku actual melakukan kekerasan, baik pada diri sendiri,
orang lain maupun lingkungan, secara verbal maupun nonverbal, bertujuan untuk melukai
orang lain secara fisik maupun psikologis (Berkowitz, 2000).
Suatu keadaan dimana klien mengalami perilaku yang dapat membahayakan klien
sendiri, lingkungan termasuk orang lain dan barang-barang (Maramis, 2004).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan
yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri maupun orang lain disertai
dengan amuk dan gaduh gelisah yang tidak terkontrol ( kusuka hartono. 2010 )

2. Rentang Respon
Rentang respon menurut (Stuart dan Sundeen, 1995)
a. Respon marah yang adaptif meliputi :
1. Pernyataan (Assertion)
Respon marah dimana individu mampu menyatakan atau mengungkapkan rasa
marah, rasa tidak setuju, tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain. Hal ini biasanya
akan memberikan kelegaan.
2. Frustasi
Respons yang terjadi akibat individu gagal dalam mencapai tujuan, kepuasan, atau
rasa aman yang tidak biasanya dalam keadaan tersebut individu tidak menemukan
alternatif lain.
b. Respon marah yang maladaptif meliputi :
1. Pasif
Suatu keadaan dimana individu tidak dapat mampu untuk mengungkapkan
perasaan yang sedang di alami untuk menghindari suatu tuntutan nyata.
2. Agresif

3.

Perilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan individu untuk


menuntut suatu yang dianggapnya benar dalam bentuk destruktif tapi masih terkontrol.
Amuk dan kekerasan
Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat disertai hilang kontrol, dimana individu
dapat merusak diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.

3.

Etiologi
Untuk menegaskan keterangan diatas, pada klien gangguan jiwa, perilaku kekerasan bisa
disebabkan adanya gangguan harga diri: harga diri rendah. Harga diri adalah penilaian
individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan
ideal diri. Dimana gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap
diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal mencapai keinginan.

4.

Tanda dan Gejala


a. Muka merah
b. Pandangan tajam
c. Otot tegang
d. Nada suara tinggi
e. Berdebat dan sering pula tampak klien memaksakan kehendak
f. Memukul jika tidak senang

5.

Proses Kemarahan
Stress, cemas, harga diri rendah, dan bersalah dapat menimbulkan kemarahan. Respons
terhadap marah dapat di ekspresikan secara eksternal maupun internal.
a. Eksternal yaitu konstruktif, agresif.
b. Internal yaitu perilaku yang tidak asertif dan merusak diri sendiri.
c. Mengekspresikan marah dengan perilaku konstruktif dengan menggunakan kata-kata yang
dapt di mengerti dan diterima tanpa menyakiti hati orang lain, akan memberikan perasaan
lega, keteganganpun akan menurun dan perasaan marah teratasi.
d. Marah di ekspresikan dengan perilaku agresif dan menentang, biasanya dilakukan individu
karena ia merasa kuat. Cara ini tidak menyelesaikan masalah bahkan dapat menimbulkan
kemarahan yang berkepanjangan dandapat menimbulkan tingkah laku yang destruktif, amuk
yang ditujukan pada orang lain maupun lingkungan.
e. Perilaku tidak asertif seperti menekan perasaan marah atau melarikan diri dan rasa marah
tidak terungkap. Kemarahan demikian akan menimbulkan rasa bermusuhan yang lama dan
pada suatu saat dapat menimbulkan kemarahan destruktif yang ditujukan pada diri sendiri.

6. Faktor Predisposisi dan Faktor Presipitasi


a. Faktor Predisposisi

Berbagai pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan factor predisposisi,
artinya mungkin terjadi perilaku kekerasan jika factor berikut di alami oleh individu :
1. Psikologis : kegagalan yang dialami dapat mnimbulkan frustasi yang kemudian dapat
timbul agresif atau amuk. Masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan yaitu
perasaan di tolak, di hina, di aniyaya atau saksi penganiayaan.
2. Perilaku : reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan, sering
mengobservasi kekerasan dirumah atau diluar rumah, semua aspek ini menstimulasi
individu mengadopsi perilaku kekerasan.
3. Sosial budaya : budaya tertutup dan membalas secara alam (positif agresif) dan
control social yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan diterima (permissive)
4. Bioneurologis : banyak pendapat bahwa kerusakan sisitem limbic, lobus frontal, lobus
temporal dan ketidak seimbangan neurotransmiter turut berperan dalam terjadinya
perilaku kekerasan.
b. Faktor Presipitasi
Factor presipitasi dapat bersumber dari klien, lingkungan atau interaksi dengan orang
lain. Kondisi klien seperti ini kelemahan fisik (penyakit fisik), keputus asaan, ketidak
berdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi penyebab perilaku kekerasan.
Demikian pula dengan situasi lingkungan yang ribut, padat, kritikan yang mengarah pada
penghinaan, kehilangan orang yang dicintainya / pekerjaan dan kekerasan merupakan
factor penyebab yang lain. Interaksi yang profokatif dan konflik dapat pula memicu
perilaku kekerasan.
a. Tingkah Laku
b. Menyatakan dengan jelas (assertiveness)
c. Memberontak (acting out)
d. Amuk atau kekerasan (violence)

7.

Mekanisme Koping
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diharapkan pada penatalaksanaan stress, termasuk
upaya penyelasaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk
melindungi diri (tuart dan sundeen, 1998 hal : 33).
Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien marah untuk melindungi diri antara
lain :
a. Sublimasi : menerima suatu sasaran pengganti yang mulia. Artinya dimata masyarakat
untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan penyaluranya secara normal. Misalnya
seseorang yang sedang marah melampiaskan kemarahannya pada obyek lain seperti

meremas remas adona kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuanya adalah untuk
mengurangi ketegangan akibat rasa marah.
b. Proyeksi : menyalahkan orang lain kesukaranya atau keinginanya yang tidak baik,
misalnya seorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual
terhadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temanya tersebut mencoba merayu,
mencumbunya
c. Represi : mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk kealam sadar.
Misalnya seorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang tidak disukainya. Akan
tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang
tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh tuhan. Sehingga perasaan benci itu
ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakanya.
d. Reaksi formasi : mencegah keinginan yang berbahaya bila di ekspresikan. Dengan
melebih lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakanya sebagai
rintangan. Misalnya seseorang yang tertarik pada teman suaminya, akan memperlakukan
orang tersebut dengan kuat.
e. Deplacement : melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan. Pada obyek
yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan emosi itu.
Misalnya : timmy berusia 4 tahun marah karena ia baru saja mendapatkan hukuman dari
ibunya karena menggambar didinding kamarnya. Dia mulai bermai perang-perangan
dengan temanya.
8.

Penatalaksanaan Umum
a. Farmakoterapi
Klien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan yang tepat. Adapun
pengobatan dengan neuroleptika yang mempunyai dosis efektif tinggi contohnya
Clorpromazine HCL yang berguna untuk mengendalikan psikomotornya. Bila tidak ada
dapat digunakan dosis efektif rendah, contohnya Trifluoperasine estelasine, bila tidak ada
juga maka dapat digunakan Transquilizer bukan obat anti psikotik seperti neuroleptika,
tetapi meskipun demikian keduanya mempunyai efek anti tegang, anti cemas, dan anti
agitasi.
b. Terapi Okupasi
Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja, terapi ini bukan pemberian pekerjaan
atau kegiatan itu sebagai media untuk melakukan kegiatan dan mengembalikan
kemampuan berkomunikasi, karena itu dalam terapi ini tidak harus diberikan pekerjaan
tetapi segala bentuk kegiatan seperti membaca Koran, main catur dapat pula dijadikan
media yang penting setelah mereka melakukan kegiatan itu diajak berdialog atau

berdiskusi tentang pengalaman dan arti kegiatan uityu bagi dirinya. Terapi ini merupakan
langkah awal yangb harus dilakukan oleh petugas terhadap rehabilitasi setelah
dilakukannyan seleksi dan ditentukan program kegiatannya.
c. Peran serta keluarga
Keluarga merupakan system pendukung utama yang memberikan perawatan langsung pada
setiap keadaan(sehat-sakit) klien. Perawat membantu keluarga agar dapat melakukan lima
tugas kesehatan, yaitu mengenal masalah kesehatan, membuat keputusan tindakan
kesehatan, memberi perawatan pada anggota keluarga, menciptakan lingkungan keluarga
yang sehat, dan menggunakan sumber yang ada pada masyarakat. Keluarga yang
mempunyai kemampuan mengatasi masalah akan dapat mencegah perilaku maladaptive
(pencegahan primer), menanggulangi perilaku maladaptive (pencegahan skunder) dan
memulihkan perilaku maladaptive ke perilaku adaptif (pencegahan tersier) sehingga derajat
kesehatan klien dan kieluarga dapat ditingkatkan secara opti9mal. (Budi Anna
Keliat,1992).
d. Terapi somatic
Menurut Depkes RI 2000 hal 230 menerangkan bahwa terapi somatic terapi yang diberikan
kepada klien dengan gangguan jiwa dengan tujuan mengubah perilaku yang mal adaftif
menjadi perilaku adaftif dengan melakukan tindankan yang ditunjukkan pada kondisi fisik
klien, tetapi target terapi adalah perilaku klien.
e. Terapi kejang listrik
Terapi kejang listrik atau elektronik convulsive therapy (ECT) adalah bentuk terapi kepada
klien dengan menimbulkan kejang grand mall dengan mengalirkan arus listrik melalui
elektroda yang ditempatkan pada pelipis klien. Terapi ini ada awalnya untukmenangani
skizofrenia membutuhkan 20-30 kali terapi biasanya dilaksanakan adalah setiap 2-3 hari
sekali (seminggu 2 kali).

B. Askep Teori Pada Pasien Gangguan Prilaku Kekerasan


1. Pengkajian
Faktor perilaku penyebab kekerasan

Menurut Yosep (2009), pada dasarnya pengkajian pada klien perilaku kekerasan
ditunjukkan pada semua aspek, yaitu biopsikososial-kultural-spritual.
a. Aspek biologis
Respon fisologis timbul karena kegiatan sistem syaraf otonom bereaksi terhadap sekresi
epineprin sehingga tekanan darah meningkat, tachikardi, muka merah, pupil melebar,
pengeluaran urin meningkat.
b. Aspek emosional

Individu yang marah merasa tidak nyaman, merasa tidak berdaya, jengkel, frustasi, dendam,
ingin memukul orang lain, mengamuk, bermusuhan dan sakit hati, menyalakan dan menuntut.
c. Aspek intelektual
Sebagai besar pengalam hidup individu didapatkan melalui proses intelektual, peran panca
indera sangat penting untuk beradaptasi dengan lingkunganyng selanjutnya diolah dalam proses
intelektual sebagai suatu pengalaman.
d. Aspek sosial
Meliputi interaksi sosial, budaya, konsep rasa percaya dan ketergantungan. Emosi marah sering
merangsang kemarahan orang lain.
e. Aspek spritual
Kepercayaan, nilai, dan moral mempengaruhi hubungan individu dengan lingkungan.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko menciderai diri dan orang lain atau lingkungan : perilaku kekerasan.

3. Rencana Keperawatan
No
1

Diagnosa Keperawatan
Resiko menciderai diri
dan orang lain: perilaku
kekerasan.

Tujuan

Kriteria evaluasi

Interven

TUM : Klien dapat


melanjutkan peran sesuai
dengan tanggung jawab.
TUK:
Klien dapat membina
hubungan saling
percaya.

Setelah.....kali interaksi
1. Bina
perca
pasien menunjukkan :
meng
1. Klien mau menjawab
kom
salam
a.
Me
2. Klien
mau
menjabat
pan
tangan
b.
Seb
3. Klien mau menyabutkan
per
nama
men
4. Klien mau tersenyum
c.
Jela
5. Ada kontak mata
inte
6. Mau mengetahui nama
d.
Jela
perawat
kon
7. Mau menyediakan waktu
dib
untuk kontak
e. Ber
emp
f. Lak
sing

TUK 2 : Klien dapat


mengnidentifikasi
penyebab perilaku
kekerasan

51

1. Klien
dapat 1. Anju
mengungkapkan
meng
perasaannya
diala
2. Klien
dapat 2. Obse
mengungkapkan penyebab
perila
marah, baik dari diri
klien
sendiri nmaupun orang 3. Simp
lain dan lingkungan.
jengk
diala

TUK 3 : klien dapat


mengidentifikasi tandatanda perilaku
kekerasan.

1. Klien
dapat 1. Anjur
mengunngkapkan
yang
meng
dialami saat marah.
dialam
2. Klien
dapat 2. Obsev
menyimpulkan
tandaperila
tanda marah yang dialami.
klien.
3. Simp
jengk
dialam

TUK 4 :
Klien dapat
mengidentifikasi perilaku
kekerasan yang biasa
dilakukan.

TUK 5: Klien dapat

1. Klien
dapat 1. Anju
mengungkapkan perilaku
meng
kekerasan yang biasa
perila
dilakukan
biasa
2. Klien dapat bermain peran 2. Bant
dengan perilaku kekerasan
peran
yang biasa dilakukan.
perila
3. Klien dapat mengetahui
biasa
cara yang biasa dapat 3. Bica
menyelesaikan masalah
apak
atau tidak.
klien
masa

1. Berb
kerug
1. Klien dapat menjelaskan
mengidentifikasi akibat
dilak
akibat dari cara yang
dari perilaku kekerasan.
2. Bersa
digunakan klien.
meny
cara
oleh
3. Tany
Apa
mem
yang
TUK 6 : Klien dapat
1. Klien
dapat 1. Bant
mendemonstrasikan
mendemonstrasikan
cara
yang
cara mengontrol
mengontrol
perilaku
klien
kekerasan.
2. Bant
perilaku kekerasan.
2. Fisik : tarik nafas dalam
meng
olahraga
menyiram
manf
52

tanaman,
dipili
3. Verbal : mengatakan secara 3. Bant
langsung dengan tidak
mem
menyakiti.
terse
4. Spiritual : sembahyang, 4. Beri
berdoa atau ibadah klien.
posit
klien
terse
5. Anju
meng
telah
jengk

53

PENGKAJIAN DAN DIAGNOSA

PENGKAJIAN
Pengumpulan data, analisa data dan perumusan masalah klien

Data klien secara holistic (biologis, psikologis, sosial dan spiritual)

PENGKAJIAN

Merupakan langkah mengidentifikasi data obyektif dan subyektif

Tujuan : mengidentifikasi apa maslah keperawatan klien

Metode : Wawancara, observasi, pemeriksaan fisik, pengukuran

Mengidentifikasi data senjang untuk merumuskan masalah keperawatan

Dalam pengkajian

Perawat kesehatan jiwa mengumpulkan data kesehatan klien.


54

Wawancara pengkajian yang memerlukan keterampilan komunikasi efektif secara linguistic dan
kultural, wawancara, observasi perilaku, tinjauan catatan-catatan data dasar, dan pengkajian
komprehensif tehadap klien dan sistem yang relevan memungkinkan oerawat kesehatan jiwa-psikiatri
untuk membuat penilaian klinis dan rencana tindakan yang tepat dengan klien.

PENGKAJIAN
1. Identitas Klien
2. Keluhan utama / alasan masuk
3. Faktor predisposisi
4. Aspek fisik / biologis
5. Aspek psikososial
6. Status mental
7. Kebutuhan persiapan pulang
8. Mekanisme koping
9. Masalah psikososial dan lingkungan
10. Pengetahuan
11. Aspek medis
DATA PENGKAJIAN
Data objektif
Data subjektif
Data primer

55

Data sekunder
ANALISA DATA
Kesimpulan
1. Tidak ada masalah tetapi ada kebutuhan
a. Perlu pemeliharaan kesehatan (follow up periodic), klien tidak ada masalah dan
memiliki pengetahuan untuk

antisipasi

masalah

b. Perlu peningkatan kesehatan (prevensi dan promosi) sbg program antisipasi


masalah
2.

Ada masalah dengan kemungkinan


a. Resiko terjadinya masalah, ada faktor yang dapat menimbulkan masalah
b. Aktual terjadi masalah dengan disertai data pendukung

DIAGNOSA
penilaian klinis tentang respon aktual atau potensial dari individu, keluarga atau masyarakat terhadap
masalah kesehatan atau proses kehidupan
(Carpenito, 1995)
RUMUSAN DIAGNOSA :
Permasalahan (P) berhubungan dengan Etiologi (E)

Merupakan gabungan 2 maslah keperawatan ( problem dan etiologi )

56

Dihubung : berhubungan dengan

Dapat disusun dengan menyusun masalah-masalah keperawatan dalam bentuk pohon masalah

Menggambarkan kondisi klien

Dalam menentukan diagnose

Perawat kesehatan jiwa menganalisa data pengkajian dalam menentukan diagnosa.

Landasan untuk pemberian asuhan keperawatan kesehatan jiwa adalah pengenalan dan
pengidentifikasian pola respons terhadap masalah kesehatan jiwa atau penyakit psikiatri yang
actual dan potensial.

Contoh diagnose keperawatan jiwa


1.resiko prilaku kekerasan=mencedrai orang lain,diri sendiri,lingkungan
2. gangguan persepsi = halusinasi
3. gangguan proses pikir=waham
4. defisit perawatan diri
5. motivasi perawatan diri
6. isolasi social
7. gangguan konsep diri= harga diri rendah= berduka fungsional
8 resiko bunuh diri
9. kerusakan komunikasi verbal
10. penatalaksanaan regimen therapeutic= tidak efektif,pengobatan tidak efektif,putus obat,koping
individual tidak efektif

57

KONSEP DASAR MODEL JIWA

Model adalah contoh, menyerupai, merupakan pernyataan simbolik tentang fenomena,


menggambarkan teori dari skema konseptual melalui penggunaan symbol dan diafragma
58

( christensen.2009, hal 123 ). Konsep adalah suatu keyakinan yang kompleks terhadap suatu
obyek, benda, suatu peristiwa atau fenomena berdasarkan pengalaman dan persepsi seseorang
berupa ide, pandangan atau keyakinan. Model konsep adalah rangkaian konstruksi yang sangat
abstrak dan berkaitan yang menjelaskan secara luas fenomena-fenomena, mengekspresikan
asumsi dan mencerminkan masalah. ( christensen.2009, hal 29 )
Teori adalah hubungan beberapa konsep atau suatu kerangka konsep atau definisi yang
memberikan suatu pandangan sistematis terhadap gejala-gejala atau fenomena fenomena
dengan menentukan hubungan spesifik antara konsep tersebut dengan maksud untuk
menguraikan, menerangkan, meramalkan dan atau mengendalikan suatu fenomena. Teori dapat
diuji, diubah atau digunakan sebagai suatu pedoman dalam penelitian. (Christensen.2009, hal 26)
Model konseptual keperawatan merupakan suatu cara untuk memandang situasi dan
kondisi pekerjaan yang melibatkan perawat di dalamnya. Model konseptual keperawatan
memperlihatkan petunjuk bagi organisasi dimana perawat mendapatkan informasi agar mereka
peka terhadap apa yang terjadi pada suatu saat dengan apa yang terjadi pada suatu saat juga dan
tahu apa yang harus perawat kerjakan. Konsep keperawatan terus dikembangkan dan diterapkan
serta diuji melalui pendidikan dan praktik keperawatan ( christensen.2009, hal 29 ). Tujuan dari
model konseptual keperawatan ( christensen.2009, hal 33 ) :
1.
2.

Menjaga konsisten asuhan keperawatan.


Mengurangi konflik, tumpang tindih, dan kekosongan pelaksanaan asuhan keperawatan oleh
tim keperawatan.

3.

Menciptakan kemandirian dalam memberikan asuhan keperawatan.

4.

Memberikan pedoman dalam menentukan kebijaksanaan dan keputusan.

5.

Menjelaskan dengan tegas ruang lingkup dan tujuan asuhan keperawatan bagi setiap anggota
tim keperawatan.
Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berupaya meningkatkan dan
mempertahankan perilaku paien yang berperan pada fungsi yang terintegrasi. Sistem pasien atau
klien dapat berupa individu, keluarga, kelompok, organisasi, atau komunitas. American nurses
association mendefinisikan keperawatan kesehatan jiwa sebagai suatu bidang spesialisasi praktik
keperawatan yang menerapkan teori perilaku manusia sebaai ilmunya dan penggunaan diri yang
bermanfaat sebagai kiatnya ( Stuart. 2007, hal. 2 ).

59

2.2 Beberapa model konsep keperawatan jiwa:


1. Model Psikoanalisa
Model ini menjelaskan bahwa gangguan jiwa dapt terjadi pada seseorang apabila ego(akal)
tidak berfungsi dalam mengontrol id (kehendak nafsu atau insting). Ketidakmampuan seseorang
dalam menggunakan akalnya (ego) untuk mematuhi tata tertib, peraturan, norma, agama(super
ego/das uber ich), akan mendorong terjadinya penyimpangan perilaku (deviation of Behavioral).
Faktor penyebab lain gangguan jiwa dalam teori ini adalah adanya konflik intrapsikis terutama
pada masa anak-anak. Misalnya ketidakpuasan pada masa oral dimana anak tidak mendapatkan
air susu secara sempurna, tidak adanya stimulus untuk belajar berkata- kata, dilarang dengan
kekerasan untuk memasukkan benda pada mulutnya pada fase oral dan sebagainya. Hal ini akan
menyebabkan traumatic yang membekas pada masa dewasa.
Proses terapi pada model ini adalah menggunakan metode asosiasi bebas dan analisa mimpi,
transferen untuk memperbaiki traumatic masa lalu. Misalnya klien dibuat dalam keadaan
ngantuk yang sangat. Dalam keadaan tidak berdaya pengalaman alam bawah sadarnya digali
dengamn pertanyaan-pertanyaan untuk menggali traumatic masa lalu. Hal ini lebih dikenal
dengan metode hypnotic yang memerlukan keahlian dan latihan yang khusus.
Dengan cara demikian, klien akan mengungkapkan semua pikiran dan mimpinya, sedangkan
therapist berupaya untuk menginterpretasi pikiran dan mimpi pasien.
Peran perawat adalah berupaya melakukan assessment atau pengkajian mengenai keadaankeadaan traumatic atau stressor yang dianggap bermakna pada masa lalu misalnya ( pernah
disiksa orang tua, pernah disodomi, diperlakukan secar kasar, diterlantarkan, diasuh dengan
kekerasan, diperkosa pada masa anak), dengan menggunakan pendekatan komunikasi terapeutik
setelah terjalin trust (saling percaya)

2. Model Interpersonal
60

Model ini dikembangkan oleh Harry Stack Sullivan. Sebagai tambahan Hildegard Peplau
mengembangkan teori interpersonal perawatan. Pandangan interpersonal terhadap
penyimpangan perilaku, teori interpersonal meyakini bahwa perilaku berkembang dari
hubungan interpersonal. Sullivan menekankan besarnya pengaruh perkembangan masa anakanak terhadap kesehatan jiwa individu.
Kecemasan pertama yang sungguh-sungguh dialami sewaktu bayi pada saat merasakan
kecemasan ibu. Selanjutnya kecemasan dihubungkan dengan penolakan/tidak direstui oleh
orang-orang yang dekat/penting bagi individu. Jika anak hanya menerima stimulus penolakan
atau kecemasan atau kritik, maka anak akan mengembangkan sistem diri yang negatif.
Menurut Sullivan: individu memandang orang lain sesuai dengan yang ada pada dirinya.
Ada 2 dorongan yang dimiliki pada individu:
a.

Dorongan untuk kepuasan

Berhubungan dengan kebutuhan dasar seperti: lapar, tidur, kesepian, nafsu.


b.

Dorongan untuk keamanan

Berhubungan dengan kebutuhan budaya seperti penyesuaian norma sosial, nilai suatu
kelompok tertentu
Proses terapinya yaitu mengoreksi pengalaman interpersonal dengan mengalami
hubungan yang sehat dengan terapis, klien akan belajar berhubungan interpersonal yang
memuaskan dengan re-edukasi dan mengembangkan hubungan saling percaya.
3. Sosial Model
Model ini berfokus pada lingkungan sosial yang mempengaruhi individu dan pengalaman
hidupnya. Pandangan sosial terhadap penyimpangan perilaku, kondisi sosial bertanggung
jawab terhadap penyimpangan perilaku, perilaku yang dianggap normal pada suatu daerah
tertentu mungkin sebagai penyimpangan pada daerah yang lain.
Individu yang sudah dilabel/dicap jika tidak dapat menyesuaikan diri dengan norma
lingkungan, maka perilaku tersebut memerlukan perawatan/dirawat.
Menurut Szazz, individu bertanggung jawab terhadap perilakunya. Individu tersebut
harus mampu mengontrol untuk menyesuaikan perilakunya dengan yang diharapkan
61

masyarakatnya. Kaplan, meyakini bahwa situasi sosial dapat mencetuskan gangguan jiwa.
Oleh karena itu, konsep pencegahan primer, sekunder dan tertier sangat penting. Situasi yang
dapat menjadi pencetus:
a.

Kemiskinan, situasi keuangan tidak stabil, pendidikan tidak adekuat.

b.

Kurang mampu mengatasi stress.

c.

Kurang support system.

Situasi tersebut di atas dapat diantisipasi dan dapat dicegah.


Proses terapi:
a.

Prevensi primer

b.

Kesehatan jiwa masyarakat

c.

Crisis intervensi

4. Eksistensi Model
Teori ini berfokus pada pengalaman individu pada saat ini dan disini. Pandangan model
eksistensi terhadap penyimpangan perilaku, penyimpangan perilaku terjadi jika individu
putus hubungan dengan dirinya dan lingkungan. Keasingan akan dirinya dan lingkungan
dapat terjadi karena hambatan ataularangan pada diri individu. Individu merasa putus asa,
sedih, sepi, kurang kesadaran akan dirinya dan penerimaan diri yang mencegah partisipasi
dan penghargaan pada hubungan dengan orang lain.
Klien sudah kehilangan atau tidak mungkin menemukan nilai-nilai yang memberi arti pada
eksistensinya.
Proses terapi:
a.

Rasional Emotif Therapy

Konfrontasi digunakan untuk bertanggung jawab terhadap perilakunya. Klien didorong


untuk menerima dirinya, bagaimana adanya bukan karena apa yang akan dilakukan.
b.

Terapi Logo
62

Merupakan terapi orientasi masa depan (future orientated therapy). Individu meneliti arti
dari kehidupan, karena tanpa arti berarti tidak eksis. Tujuan: agar individu sadar akan
tanggung jawabnya.
5. Supportive Therapy ( Wermon, Rockland)
Penyebab gangguan jiwa dalam konsep ini adalah: factor biopsikososial dan respo
maladaptive saat ini. Aspek biologisnya menjadi masalah seperti: sering sakit maag,
migraine, batuk-batuk. Aspek psikologisnya mengalami banyak keluhan seperti :
mudah cemas, kurang percaya diri, perasaan bersalah, ragu-ragu, pemarah. Aspek
sosialnya memiliki masalah seperti : susah bergaul, menarik diri,tidak disukai,
bermusuhan, tidak mampu mendapatkan pekerjaan, dan sebagainya. Semua hal
tersebut terakumulasi menjadi penyebab gangguan jiwa. Fenomena tersebut muncul
akibat ketidakmamupan dalam beradaptasi pada masalah-masalah yang muncul saat
ini dan tidak ada kaitannya dengan masa lalu.
Prinsip proses terapinya adalah menguatkan respon copinh adaptif, individu
diupayakan mengenal telebih dahulu kekuatan-kekuatan apa yang ada pada dirinya;
kekuatan mana yang dapat dipakai alternative pemecahan masalahnya.
Perawat harus membantu individu dalam melakukan identifikasi coping yang
dimiliki dan yang biasa digunakan klien. Terapist berupaya menjalin hubungan yang
hangat dan empatik dengan klien untuk menyiapkan coping klien yang adaptif.

6. Medical ( Meyer, Kraeplin)


Menurut konsep ini gangguan jiwa cenderung muncul akibat multifactor yang
kompleks meliputi: aspek fisik, genetic, lingkungan dan factor sosial. Sehingga focus
penatalaksanaannya harus lengkap melalui pemeriksaan diagnostic, terapi somatic,
farmakologik dan teknik interpersonal. Perawat berperan dalam berkolaborasi dengan
tim medis dalam melakukan prosedur diagnostic dan terapi jangka panjang, therapist
berperan dalam pemberian terapi, laporan mengenai dampak terapi, menentukan
diagnose, dan menentukan jenis pendekatan terapi yang digunakan. (therapy, repport
effects, diagnose illness, therapeutic approuch).

63

Anda mungkin juga menyukai