Anda di halaman 1dari 25

Nama.

: Marsha Margaretha
No. Absen :17
Kelas : XI MIPA 6
Hari/tgl : Selasa/24

A.BUNUH DIRI
1. Apa yang dimaksud dengan bunuh diri?

Bunuh diri (bahasa Inggris: suicide, berasal dari kata Latin suicidium,


dari sui caedere, "membunuh diri sendiri") adalah sebuah tindakan sengaja yang
menyebabkan kematian diri sendiri. Bunuh diri sering kali dilakukan
akibat putus asa, yang penyebabnya sering kali dikaitkan dengan gangguan
jiwa misalnya depresi, gangguan bipolar, skizofrenia,
ketergantungan alkohol / alkoholisme, atau penyalahgunaan obat. Faktor-faktor
penyebab stres antara lain
kesulitan keuangan atau masalah dalam hubungan interpersonal sering kali ikut
berperan. Upaya untuk mencegah bunuh diri antara lain adalah dengan
pembatasan akses terhadap senjata api, merawat penyakit jiwa dan
penyalahgunaan obat, serta meningkatkan kondisi ekonomi.
Bunuh diri, yang juga disebut sebagai bunuh diri berhasil, adalah
"tindakan mengambil nyawa diri sendiri". Percobaan bunuh diri atau perilaku

bunuh diri yang tidak fatal adalah perbuatan melukai diri sendiri dengan maksud
untuk mengakhiri nyawa seseorang namun tidak berakhir dengan
kematian. Bunuh diri dengan bantuan adalah ketika seseorang membantu orang
lain mengakhiri nyawanya secara tidak langsung melalui pemberian saran atau
sarana sampai kematian terjadi. Bunuh diri semacam ini merupakan kebalikan
dari euthanasia ketika orang lain lebih memiliki peran aktif dalam
mendatangkan kematian bagi seseorang. Ide bunuh diri adalah pemikiran untuk
mengakhiri hidup seseorang.
Terdapat bermacam-macam metode yang paling sering digunakan untuk bunuh
diri di berbagai negara dan sebagian terkait dengan keberadaan metode tersebut.
Metode yang umum antara lain: gantung diri, racun serangga, dan senjata api. Sekitar
800.000 hingga satu juta orang meninggal karena bunuh diri setiap tahun, sehingga
bunuh diri menduduki posisi ke-10 sebagai penyebab kematian terbesar di dunia. Angka
bunuh diri tercatat lebih banyak dilakukan oleh pria ketimbang wanita, dengan
kemungkinan tiga sampai empat kali lebih besar seorang pria melakukan bunuh diri
dibandingkan wanita. Tercatat ada sekitar 10 hingga 20  juta kasus percobaan bunuh diri
yang gagal setiap tahun. Percobaan bunuh diri semacam ini lebih sering
dilakukan remaja dan wanita.
Dahulu di kebanyakan negara barat, bunuh diri maupun percobaan bunuh diri
merupakan tindakan kriminal yang bisa membuat seseorang dihukum, namun
sekarang hukum tersebut sudah tidak berlaku lagi. Namun di kebanyakan negara Islam,
tindakan ini masih dianggap melanggar hukum. Pada abad ke-20 dan ke-21, bunuh diri
dalam bentuk pengorbanan diri digunakan sebagai sarana protes,
dan kamikaze serta bom bunuh diri digunakan sebagai taktik militer atau teroris.
Di sebagian besar bentuk kekristenan, bunuh diri dianggap dosa, didasarkan
terutama pada tulisan-tulisan para pemikir Kristen berpengaruh dari Abad Pertengahan,
seperti Santo Agustinus dan Santo Thomas Aquinas; tetapi bunuh diri tidak dianggap
sebagai dosa oleh Codex Justinianus di Kekaisaran Romawi Timur.. Dalam Doktrin
Katolik, argumen didasarkan pada perintah Tuhan "Tidak boleh membunuh"
(diberlakukan dalam Perjanjian Baru oleh Yesus dalam Matius 19:18), serta pemikiran
bahwa hidup adalah karunia yang diberikan oleh Tuhan yang tidak boleh ditolak, dan
bahwa bunuh diri merupakan tindakan melawan "hukum alam" sehingga mengganggu
rencana utama Allah bagi dunia.
Namun, diyakini bahwa penyakit mental atau rasa takut menderita yang besar
mengurangi beban tanggung jawab seseorang terhadap tindakannya melakukan bunuh
diri. Argumen yang berlawanan di antaranya: bahwa perintah keenam secara lebih tepat
diterjemahkan menjadi "jangan membunuh", belum tentu berlaku untuk diri sendiri,
bahwa Tuhan telah memberikan kebebasan berkehendak kepada manusia; di mana
seseorang yang mengakhiri hidupnya sendiri tidak lagi melanggar Hukum Tuhan lebih
dari usaha untuk menyembuhkan penyakit; dan bahwa sejumlah kasus bunuh diri yang
dilakukan oleh para pengikut Tuhan tercatat dalam Alkitab tanpa ada hukuman yang
mengerikan.
Yudaisme berfokus pada pentingnya menghargai hidup ini, dan dengan
demikian, bunuh diri sama saja dengan mengingkari kebaikan Tuhan di dunia. Meskipun
demikian, dalam keadaan yang ekstrem bila tampaknya tidak ada pilihan selain dibunuh
atau dipaksa untuk mengkhianati agama mereka, orang-orang Yahudi melakukan bunuh
diri individual atau bunuh diri massal (lihat Masada, Penyiksaan pertama terhadap orang
Yahudi di Prancis, dan Kastil York misalnya) dan bahkan sebagai peringatan yang kelam
terdapat doa dalam liturgi Yahudi yaitu "ketika pisau berada di tenggorokan", bagi
mereka yang mati "untuk menguduskan Nama Tuhan" (lihat Martir). Tindakan ini
menerima tanggapan beragam dari otoritas Yahudi, yang oleh sejumlah orang dianggap
sebagai contoh kemartiran yang heroik, sementara yang lain menyatakan bahwa hal
tersebut merupakan tindakan yang salah, yaitu mengakhiri hidup mereka sendiri justru
saat akan menghadapi kemartiran.
Bunuh diri tidak diperbolehkan dalam ajaran agama Islam. Dalam ajaran
agama Hindu, bunuh diri umumnya tidak disukai dan dianggap berdosa sama seperti
membunuh orang lain dalam masyarakat kontemporer Hindu. Kitab Suci Agama
Hindu menyatakan bahwa orang yang melakukan bunuh diri akan menjadi bagian dari
dunia roh, bergentayangan di bumi sampai waktu di mana ia akan bertemu dengan orang
yang tidak bunuh diri. Namun, ajaran Hindu menerima hak untuk mengakhiri hidup
seseorang melalui praktik non-kekerasan yaitu puasa sampai mati yang disebut
dengan Prayopawesa. Namun Prayopawesa secara ketat dibatasi terbatas bagi orang
yang tidak lagi memiliki keinginan atau ambisi, dan tidak ada tanggung jawab yang
tersisa dalam hidupnya. Jainisme memiliki praktik yang serupa bernama Santhara. Sati,
atau membakar diri yang dilakukan oleh seorang janda merupakan hal yang lazim dalam
masyarakat Hindu selama Abad Pertengahan.

2. Apa saja penyebab bunuh diri ?


Penyebab bunuh diri antara lain gangguan jiwa, penyalahgunaan obat, kondisi
psikologis, budaya, kondisi keluarga dan masyarakat, dan genetik. Penyakit jiwa dan
penyalahgunaan zat biasanya saling berkaitan. Penyebab lain termasuk pernah
melakukan percobaan bunuh  adanya sarana yang tersedia untuk melakukan tindakan
tersebut, peristiwa bunuh diri dalam sejarah keluarga, atau adanya luka trauma
otak. Contohnya, angka bunuh diri di keluarga yang memiliki senjata api jumlahnya
lebih besar daripada di keluarga yang tidak memilikinya. PenyebabFaktor sosial
ekonomi seperti pengangguran, kemiskinan, gelandangan, dan diskriminasi dapat
mendorong pemikiran untuk melakukan bunuh diri. Sekitar 15-40% pelaku
meninggalkan sebuah pesan bunuh diri. Faktor genetik sepertinya bertanggung jawab
terhadap perilaku bunuh diri sebesar 38% hingga 55%. Veteran perang memiliki risiko
lebih besar untuk melakukan bunuh diri yang sebagian disebabkan oleh tingginya angka
penyakit jiwa dan masalah kesehatan fisik yang terkait perang.
Gangguan jiwa
Sering kali terjadi pada seseorang saat melakukan bunuh. diri dengan angka
kejadian berkisar antara 27% hingga lebih dari 90%. Orang yang pernah dirawat di
rumah sakit jiwa memiliki risiko melakukan tindakan bunuh diri yang berhasil sebesar
8.6% selama hidupnya. Sebagian dari orang yang meninggal karena bunuh diri bisa jadi
memiliki gangguan depresi mayor. Orang yang mengidap gangguan depresi mayor atau
salah satu dari gangguan keadaan jiwa seperti gangguan bipolar memiliki risiko lebih
tinggi, hingga mencapai 20 kali lipat, untuk melakukan bunuh diri. Kondisi lain yang
turut terlibat adalah skizofrenia (14%), gangguan kepribadian (14%), gangguan
bipolar, dan gangguan stres pasca-trauma. Sekitar 5% pengidap skizofrenia mati karena
bunuh diri. Gangguan makan juga merupakan kondisi berisiko tinggi lainnya. Riwayat
percobaan bunuh diri pada masa lalu merupakan alat prediksi terbaik terjadinya tindakan
bunuh diri yang akhirnya berhasil. Kira-kira 20% bunuh diri menunjukkan adanya
riwayat percobaan pada masa lampau. Lalu, dari sekian yang pernah mencoba
melakukan bunuh diri memiliki peluang sebesar 1% untuk melakukan bunuh diri yang
berhasil dalam tempo satu tahun kemudian dan lebih dari 5% melakukan bunuh diri
setelah 10 tahun. Meskipun tindakan melukai diri sendiri bukan merupakan percobaan
bunuh diri, namun adanya perilaku suka melukai diri sendiri tersebut meningkatkan
risiko bunuh diri. Dari kasus bunuh diri yang berhasil, sekitar 80% individu yang
melakukannya telah menemui dokter selama setahun sebelum kematian,[25] termasuk
45% di antaranya yang menemui dokter dalam satu bulan sebelum kematian. Sekitar 25–
40% orang yang berhasil melakukan bunuh diri pernah menghubungi layanan kesehatan
jiwa pada tahun sebelumnya.
Penggunaan obat

"The Drunkard's Progress", 1846 menggambarkan bagaimana alkoholisme dapat mengakibatkan bunuh diri

Penyalahgunaan obat adalah faktor risiko bunuh diri paling umum kedua
setelah depresi mayor dan gangguan bipolar. Baik penyalahgunaan obat kronis
maupun kecanduan akut saling berhubungan satu sama lain. Bila digabungkan
dengan kesedihan diri, misalnya ditinggalkan seseorang yang meninggal, risiko
tersebut semakin meningkat. Selain itu, penyalahgunaan obat berkaitan dengan
gangguan kesehatan jiwa. Saat melakukan bunuh diri, kebanyakan orang berada
dalam pengaruh obat yang bersifat sedatif-hipnotis (misalnya alkohol atau
benzodiazepine) dengan adanya alkoholisme pada sekitar 15% sampai 61% kasus.
Negara-negara dengan angka penggunaan alkohol tinggi dan memiliki jumlah bar
lebih banyak secara umum juga memiliki risiko terjadinya bunuh diri lebih tinggi
yang keterkaitannya terutama berhubungan dengan penggunaan minuman
beralkohol hasil distilasi ketimbang jumlah total alkohol yang digunakan. Sekitar
2.2–3.4% dari mereka yang pernah dirawat karena menderita alkoholisme pada
suatu waktu dalam kehidupan mereka meninggal dengan cara bunuh diri. Pecandu
alkohol yang melakukan percobaan bunuh diri biasanya pria, dalam usia tua, dan
pernah melakukan percobaan bunuh diri pada masa lampau. Antara 3 hingga 35%
kematian pada kelompok pemakai heroin diakibatkan oleh bunuh diri (kira-kira 14
kali lipat lebih besar dibandingkan kelompok yang tidak memakai heroin.
Penyalahgunaan kokain dan methamphetamine memiliki korelasi besar terhadap
bunuh diri. Mereka yang menggunakan kokain memiliki risiko terbesar saat
berada dalam fase sakaw. Mereka yang menggunakan inhalansia juga memiliki
risiko besar dengan sekitar 20% di antaranya mencoba melakukan bunuh diri pada
suatu waktu dan lebih dari 65% pernah berpikir untuk melakukannya. Merokok
memiliki keterkaitan dengan risiko bunuh diri. Tidak ada bukti yang cukup kuat
mengapa ada keterkaitan tersebut; namun hipotesis menyatakan bahwa mereka
yang memiliki kecenderungan merokok juga memiliki kecenderungan untuk
melakukan bunuh diri, bahwa merokok menyebabkan masalah kesehatan sehingga
mendorong seseorang untuk mengakhiri hidupnya, dan bahwa merokok
mempengaruhi kimia otak hingga menyebabkan kecenderungan bunuh diri. Meski
demikian, Ganja/Cannabis sepertinya tidak secara tunggal menyebabkan
peningkatan resiko.
Masalah perjudian
Masalah perjudian pada seseorang dikaitkan dengan meningkatnya
keinginan bunuh diri dan upaya-upaya melakukan tindak bunuh diri dibandingkan
dengan populasi umum. Antara 12 dan 24% pejudi patologis berusaha bunuh diri.
Angka bunuh diri di kalangan istri-istri mereka tiga kali lebih besar daripada
populasi umum. Faktor lain yang meningkatkan risiko pada mereka dengan
masalah perjudian meliputi penyakit mental, alkohol dan penyalahgunaan
narkoba.
Kondisi Medis
Terdapat hubungan antara bunuh diri dan masalah kesehatan fisik,
mencakup: sakit kronis, cedera otak traumatis, kanker, mereka yang menjalani
hemodialisis, HIV, lupus eritematosus sistemik, dan beberapa lainnya. Diagnosis
kanker membuat risiko bunuh diri menjadi kira-kira dua kali lipat. Angka kejadian
bunuh diri yang meningkat tetap tinggi setelah disesuaikan dengan penyakit
depresi dan penyalahgunaan alkohol. Pada orang yang memiliki lebih dari satu
kondisi medis, risiko tersebut sangat tinggi. Di Jepang, masalah kesehatan
termasuk dalam daftar utama diperbolehkannya bunuh diri. Gangguan tidur
seperti insomnia dan apnea tidur merupakan faktor risiko mengalami depresi dan
melakukan bunuh diri. Pada beberapa kasus, gangguan tidur mungkin menjadi
faktor risiko independen timbulnya depresi. Sejumlah kondisi medis lainnya
mungkin disertai gejala yang mirip dengan gangguan suasana hati, termasuk:
hipotiroid, Alzheimer, tumor otak, lupus eritematosus sistemik, dan efek samping
dari sejumlah obat (seperti beta blocker dan steroid).

Keadaan psikososia.
Sejumlah keadaan psikologis juga meningkatkan risiko bunuh diri,
meliputi: keputusasaan, hilangnya kesenangan dalam hidup, depresi dan
kecemasan. Kurangnya kemampuan untuk memecahkan masalah, hilangnya
kemampuan seseorang yang dahulu dimilikinya, dan kurangnya pengendalian
impuls juga berperan. Pada orang dewasa lanjut usia, persepsi tentang menjadi
beban bagi orang lain merupakan hal yang penting. Memili kehidupan yang
terjadi dalam beberapa waktu terakhir seperti kehilangan anggota keluarga atau
teman, kehilangan pekerjaan, atau isolasi sosial (seperti hidup sendiri)
meningkatkan risiko tersebut. Orang yang tidak pernah menikah juga berisiko
lebih besar. Bersikap religius dapat mengurangi risiko seseorang untuk melakukan
bunuh diri. Hal ini dikaitkan dengan pandangan negatif sebagian besar agama
yang menentang perbuatan bunuh diri dan dengan lebih besarnya rasa keterikatan
yang bisa diberikan oleh agama. Muslim, di antara umat beragama, tampaknya
memiliki tingkat yang lebih rendah. Sejumlah orang mungkin ingin bunuh diri
untuk melarikan diri dari intimidasi atau tuduhan. Riwayat pelecehan seksual pada
masa kecil dan dan saat menjadi anak asuh juga merupakan faktor risiko.
Pelecehan seksual diyakini memberi kontribusi sekitar 20% dari keseluruhan
risiko. Evolusioner menjelaskan bahwa persoalan bunuh diri bisa meningkatkan
kemampuan inklusif. Hal ini dapat terjadi jika orang yang ingin bunuh diri tidak
dapat lagi memiliki anak dan mengangkat anak dari kerabatnya dengan tetap
bertahan hidup. Hal yang tidak dapat disetujui adalah bahwa kematian pada
remaja yang sehat tidak menyebabkan terjadinya kemampuan inklusif. Proses
adaptasi terhadap lingkungan adat nenek moyang yang sangat berbeda mungkin
menjadi proses yang maladaptif dalam kondisi saat ini.

Kemiskinan dikaitkan dengan risiko bunuh diri.


Meningkatnya kemiskinan relatif seseorang yang dibandingkan dengan
orang yang ada di sekitarnya dapat meningkatkan risiko bunuh diri. Lebih dari
200.000 petani di India telah melakukan bunuh diri sejak tahun 1997, yang
sebagian karena persoalan utang. Di Cina, kemungkinan peristiwa bunuh diri
terjadi tiga kali lipat di daerah pedesaan di pinggiran kota, yang diyakini akibat
kesulitan keuangan di area ini di negara tersebut.

Media
Media, termasuk internet, memainkan peranan penting. Caranya
menyajikan gambaran bunuh diri mungkin saja memiliki efek negatif dengan
banyaknya tayangan yang mencolok dan berulang yang mengagungkan atau
meromantiskan tindakan bunuh diri dan memberikan dampak terbesar. Bila
digambarkan secara rinci tentang cara melakukan bunuh diri dengan
menggunakan cara tertentu, metode bunuh diri mungkin saja meningkat dalam
populasi secara keseluruhan. Pemicu penularan bunuh diri atau peniruan bunuh
diri ini dikenal sebagai efek Werther, yang diberi nama berdasarkan tokoh
protagonist dalam karya Goethe yang berjudul The Sorrows of Young Werther
yang melakukan bunuh diri. Risiko ini lebih besar pada remaja yang mungkin
meromantiskan kematian. Sementara media massa memiliki pengaruh yang
signifikan, efek dari media hiburan masih tampak samar-samar. Kebalikan dari
efek Werther adalah pengusulan efek Papageno, yaitu cakupan yang baik
mengenai mekanisme cara mengatasi masalah secara efektif, mungkin memiliki
efek perlindungan. Istilah ini didasarkan pada karakter dalam opera Mozart yang
berjudul The Magic Flute yang akan melakukan bunuh diri karena takut
kehilangan orang yang dicintainya sampai teman-temannya menyelamatkannya.
Bila media mengikuti pedoman pelaporan yang sesuai, risiko bunuh diri dapat
diturunkan. Namun, kepatuhan dari industri tersebut bisa saja sulit didapatkan
terutama dalam jangka panjang.

Rasional
Bunuh diri rasional adalah tindakan menghilangkan nyawa sendiri yang
beralasan, meskipun sejumlah orang merasa bahwa bunuh diri tidak pernah masuk
akal. Tindakan menghilangkan nyawa sendiri demi kepentingan orang lain dikenal
sebagai bunuh diri altruistik. Contohnya adalah sesepuh yang mengakhiri hidup
mereka agar dapat meninggalkan makanan dalam jumlah yang lebih besar bagi
orang yang lebih muda dalam masyarakat. Dalam beberapa budaya Eskimo, hal
ini dianggap sebagai tindakan yang terhormat, berani, atau bijaksana.
Serangan bunuh diri adalah sebuah tindakan politik di mana seorang
penyerang melakukan tindakan kekerasan terhadap orang lain sementara mereka
mengerti bahwa hal tersebut akan mengakibatkan kematian mereka sendiri.
Beberapa pelaku bom bunuh diri melakukannya dalam upaya untuk mendapatkan
kesyahidan. Misi Kamikaze dilakukan sebagai kewajiban terhadap suatu hal yang
penting atau tuntutan moral. Bunuh diri-pembunuhan merupakan tindakan
pembunuhan yang diikuti oleh tindakan bunuh diri orang yang melakukan
perbuatan pembunuhan tersebut dalam kurun waktu satu minggu setelahnya.
Bunuh diri massal sering dilakukan di bawah tekanan sosial di mana anggotanya
menyerahkan hidupnya kepada seorang pemimpin. Bunuh diri massal dapat
berlangsung sedikitnya dua orang, yang sering disebut sebagai kesepakatan bunuh
diri. Dalam situasi yang meringankan di mana melanjutkan hidup akan menjadi
sesuatu yang tak tertahankan, beberapa orang memilih bunuh diri sebagai sarana
untuk melarikan diri. Sejumlah tahanan Nazi di kamp konsentrasi diketahui telah
bunuh diri dengan sengaja menyentuh pagar beraliran listrik.
3.Apa saja akibat yang ditimbulkan karena bunuh diri?

Keluarga yang ditinggalkan oleh pelaku bunuh diri tentu akan


menanggung beban yang bertambah berat. Terutama jika yang bunuh diri adalah
seorang suami, yang tidak lain adalah pejuang kehidupan keluarganya. Anaknya
terancam hidup yatim, dan tidak ada lagi yang menjamin kebutuhan hidup istri
dan anak-anaknya. Hutang yang belum terbayar akan menjadi tanggungan ahli
warisnya. Bunuh diri hanya akan menjadi aib bagi dirinya, keluarganya, dan juga
keturunannya. Pelaku bunuh diri sama saja telah melakukan dosa besar. Pelaku
bunuh diri sudah dipastikan akan masuk neraka dan kekal di dalamnya.

4.Apa refleksimu tentang bunuh diri?


Bunuh diri adalah sebuah tindakan sengaja yang menyebabkan kematian diri
sendiri. Bunuh diri sering kali dilakukan akibat putus asa, yang penyebabnya sering kali
dikaitkan dengan gangguan jiwa misalnya depresi, gangguan bipolar, skizofrenia,
ketergantungan alkohol / alkoholisme, atau penyalahgunaan obat. Faktor-faktor
penyebab stres antara lain
kesulitan keuangan atau masalah dalam hubungan interpersonal sering kali ikut berperan.
Upaya untuk mencegah bunuh diri antara lain adalah dengan pembatasan akses
terhadap senjata api, merawat penyakit jiwa dan penyalahgunaan obat, serta
meningkatkan kondisi ekonomi. Kasus - Kasus Bunuh diri, yang juga disebut sebagai
bunuh diri berhasil, adalah "tindakan mengambil nyawa diri sendiri". Percobaan bunuh
diri atau perilaku bunuh diri yang tidak fatal adalah perbuatan melukai diri sendiri dengan
maksud untuk mengakhiri nyawa seseorang namun tidak berakhir dengan
kematian. Bunuh diri dengan bantuan adalah ketika seseorang membantu orang lain
mengakhiri nyawanya secara tidak langsung melalui pemberian saran atau sarana sampai
kematian terjadi. Bunuh diri semacam ini merupakan kebalikan dari euthanasia ketika
orang lain lebih memiliki peran aktif dalam mendatangkan kematian bagi seseorang. Ide
bunuh diri adalah pemikiran untuk mengakhiri hidup seseorang. Contoh bunuh diri
massal yaitu bunuh diri sekte "Jonestown" pada tahun 1978, di mana 918 orang anggota
Peoples Temple, sebuah sekte di Amerika yang dipimpin oleh Jim Jones, mengakhiri
hidup mereka dengan minum anggur Flavor Aid yang dicampur dengan sianida. Lebih
dari 10.000 warga sipil Jepang melakukan bunuh diri pada hari-hari terakhir Pertempuran
Saipan pada tahun 1944, sejumlah orang melompat ke dalam "Jurang Bunuh Diri" dan
"Jurang Banzai".Aksi mogok makan 1981, yang dipimpin oleh Bobby Sands,
menyebabkan 10 orang meninggal dunia. Penyebab kematian tersebut dicatat oleh
petugas forensik sebagai "kelaparan, pemaksaan diri" alih-alih bunuh diri; penyebabnya
telah dimodifikasi menjadi hanya "kelaparan" pada surat kematian setelah mendapat
protes dari keluarga pengunjuk rasa yang mati. Erwin Rommel selama Perang Dunia II
diketahui menyembunyikan rahasia tentang Plot 20 Juli terkait kehidupan Hitler dan
diancam dengan pengadilan publik, hukuman mati dan balas dendam terhadap
keluarganya kecuali jika ia mengakhiri hidupnya sendiri.
TAMBAHAN

METODE BUNUH DIRI

Metode utama bunuh diri berbeda-beda antar negara. Metode utama di berbagai wilayah
di antaranya gantung diri, minum racun pestisida, dan senjata api. Perbedaan ini diyakini
sebagian karena ketersediaan metode yang berbeda. Sebuah tinjauan pada 56 negara
menemukan bahwa gantung diri merupakan metode yang paling umum di sebagian besar
negara, dengan angka 53% untuk kasus bunuh diri pada pria dan 39% untuk kasus bunuh
diri pada wanita.Di seluruh dunia, 30% kasus bunuh diri menggunakan racun pestisida.
Namun, penggunaan metode ini sangat bervariasi mulai dari 4% di Eropa hingga lebih
dari 50% di wilayah Pasifik. Metode tersebut juga umum dilakukan di Amerika Latin
mengingat racun pestisida mudah didapat di lingkungan petani. Di banyak negara,
overdosis obat tercatat sekitar 60% untuk kasus bunuh diri di kalangan wanita dan 30% di
kalangan pria. Banyak tindakan bunuh diri yang tidak direncanakan dan terjadi selama
periode ambivalensi yang akut. Angka kematian per metode bervariasi: senjata api 80-
90%, tenggelam 65-80%, gantung diri 60-85%, gas buang kendaraan 40-60%, lompat
dari tempat yang tinggi 35-60%, gas karbon hasil pembakaran 40-50%, racun pestisida 6-
75%, overdosis obat 1,5-4%.[57] Metode percobaan bunuh diri yang paling umum
dilakukan berbeda dengan metode bunuh diri yang paling sering berhasil dengan angka
mencapai 85% untuk upaya percobaan bunuh diri dengan metode overdosis obat di
negara-negara maju.[23]

Di Amerika Serikat, 57% kasus bunuh diri melibatkan penggunaan senjata api sehingga
metode ini menjadi agak lebih sering terjadi pada pria dibanding wanita. Penyebab
berikutnya yang paling umum adalah gantung diri pada pria dan meracuni diri sendiri
pada wanita. Kedua metode tersebut secara total mencatat angka sekitar 40% dari kasus
bunuh diri di AS. Di Swiss, di mana hampir semua orang memiliki senjata api, jumlah
terbesar kasus bunuh diri adalah dengan cara gantung diri. Melompat bunuh diri umum
terjadi di Hongkong maupun Singapura dengan angka masing-masing 50% dan 80%.Di
Cina, meminum racun pestisida adalah metode yang paling umum. Di Jepang, masih
terjadi tindakan mengeluarkan isi perut sendiri yang dikenal dengan seppuku atau hara-
kiri, namun demikian, gantung diri adalah yang paling umum.

PENCEGAHAN BUNUH DIRI

Pencegahan bunuh diri merupakan istilah yang digunakan untuk upaya kolektif guna
mengurangi insiden bunuh diri melalui tindakan pencegahan. Mengurangi akses ke
metode tertentu, seperti senjata api atau racun akan mengurangi risikonya. Tindakan lain
di antaranya dengan mengurangi akses ke gas karbon dan penghalang di jembatan serta
platform kereta bawah tanah. Pengobatan kecanduan narkoba dan alkohol, depresi, dan
mereka yang telah mencoba bunuh diri pada masa lalu mungkin juga efektif. Beberapa di
antaranya telah mengusulkan pengurangan akses ke alkohol sebagai strategi pencegahan
(seperti mengurangi jumlah bar). Walaupun saluran bantuan krisis bersifat umum,
terdapat sedikit bukti yang mendukung atau menolak keefektifannya. Pada remaja yang
akhir-akhir ini berpikir untuk bunuh diri, terapi perilaku kognitif tampaknya dapat
bermanfaat untuk memberikan perbaikan. Pembangunan ekonomi melalui
kemampuannya untuk mengurangi kemiskinan mungkin dapat menurunkan tingkat bunuh
diri. Upaya untuk meningkatkan hubungan sosial terutama pada pria usia lanjut mungkin
saja efektif.

Skrining

Ada sedikit data tentang efek skrining populasi umum terhadap angka tertinggi bunuh
diri. Mengingat terdapat angka yang tinggi pada orang yang dinyatakan positif setelah
dites melalui alat ini yang tidak berisiko bunuh diri, ada kekhawatiran bahwa skrining
bisa meningkatkan pemanfaatan sumber daya perawatan kesehatan mental secara
signifikan. Namun, dianjurkan melakukan pengkajian atas orang yang berisiko tinggi.
Bertanya tentang bunuh diri tampaknya tidak akan meningkatkan risikonya.

Penyakit mental

Pada orang yang mengalami masalah kesehatan mental, sejumlah perawatan bisa
mengurangi risiko bunuh diri. Mereka yang aktif berusaha bunuh diri bisa didaftarkan
dalam rehabilitasi untuk mendapatkan perawatan kejiwaan baik secara sukarela atau
secara paksa. Barang yang bisa digunakan untuk menyakiti diri sendiri biasanya
disingkirkan. Beberapa dokter meminta pasiennya untuk menandatangani perjanjian
pencegahan bunuh diri di mana mereka sepakat untuk tidak menyakiti diri sendiri setelah
keluar dari perawatan. Namun, belum ada bukti yang mendukung bahwa praktik tersebut
memiliki efek yang signifikan. Jika pasiennya berisiko rendah, perawatan kesehatan
mental pasien secara rawat jalan bisa dilakukan. Rawat inap jangka pendek belum terlihat
lebih efektif dari kepedulian masyarakat dalam memperbaiki keadaan pada mereka yang
mengalami gangguan kepribadian borderline yang secara kronis berupaya untuk bunuh
diri. Terdapat bukti sementara bahwa psikoterapi, khususnya terapi perilaku dialektis,
mengurangi risiko bunuh diri pada remaja serta yang mengalami gangguan kepribadian
borderline. Namun, belum ada bukti penurunan bunuh diri yang dilakukan. Muncul
kontroversi seputar manfaat dibandingkan bahaya antidepresan. Pada orang-orang muda,
antidepresan yang baru seperti SSRI tampaknya meningkatkan risiko bunuh diri dari 25
per 1000 menjadi 40 per 1000. Namun, antidepresan dapat menurunkan risiko bunuh diri
pada orang yang lebih tua. Litium tampaknya efektif dalam menurunkan risiko pada
mereka yang mengalami gangguan bipolar dan depresi unipolar hingga mendekati tingkat
yang sama seperti populasi umum.
C. Euthanasia
1) Apa yang dimaksud dengan euthanasia?
Eutanasia atau euthanasia adalah istilah yang sering digunakan untuk
menyebut tindakan untuk mengakhiri hidup seseorang tanpa rasa sakit. Eutanasia juga
sering kali disebut sebagai tindakan bunuh diri yang dilakukan di bawah pengawasan
dokter. Sejauh ini, praktik euthanasia telah legal di beberapa negara, namun masih
banyak negara yang dengan tegas juga menantangnya. Hak seseorang untuk hidup
memang merupakan sesuatu yang perlu dilindungi, termasuk oleh negara. Tapi berbeda
dengan hak untuk mati, tindakan semacam euthanasia atau bunuh diri dianggap sebagai
tindakan melawan takdir Tuhan, sehingga masih sangat sulit untuk diterima oleh seluruh
masyarakat dunia. Selain dianggap sebagai langkah bunuh diri, beberapa kasus
euthanasia yang disalahgunakan juga bisa dianggap sebagai bentuk pembunuhan. Secara
etimologis, euthanasia adalah kata yang berasal dari Bahasa Yunani. Euthanasia terdiri
dari kata ‘eu’ yang berarti baik dan ‘thanatos’ yang artinya kematian. Jika digabungkan
maka dapat diartikan bahwa euthanasia adalah ‘kematian yang baik’. Istilah euthanasia
pertama kali digunakan pada masa Hippokrates, seorang ahli medis pada masa Yunani
kuno, sekitar tahun 400-300 SM. Meskipun istilah tersebut sudah dikenalkan pada zaman
itu, tetapi pada masa itu, euthanasia masih belum menjadi hal yang diperbolehkan dalam
dunia medis. Hippokrates termasuk ke dalam dokter yang menyatakan tidak akan
melakukan hal tersebut meskipun diminta. Saat ini, pengertian dari euthanasia adalah
tindakan untuk mengakhiri kehidupan seseorang dengan sengaja melalui proses yang
tidak menimbulkan rasa sakit atau hanya sedikit rasa sakit. Euthanasia justru dilakukan
untuk menghentikan penderitaan pasien yang telah sakit parah dan hampir tidak memiliki
harapan untuk hidup. Umumnya euthanasia dilakukan dengan cara memberi suntikan
yang mematikan atau dengan cara menghentikan penggunaan alat medis yang menunjang
hidup pasien. Sering kali pasien tidak dalam keadaan memungkinkan untuk membuat
pernyataan atas kesediaannya untuk tindakan euthanasia, sehingga keputusan pun
diambil oleh keluarga, tim medis, atau oleh pengadilan.
2) Apa saja penyebab euthanasia?
 Keputusan atau persetujuan itu dilakukan dengan tujuan untuk mengakhiri rasa sakit
secara fisik dan psikologis yang tak tertahankan pada pasien dengan penyakit tak
tersembuhkan (Southern Cross Bioethics Institute, 2002). 
Kemajuan ilmu kedokteran tidak jarang membantu seseorang yang telah berhenti
pernapasannya dan denyut jantungnya untuk bangkit kembali berkat intervensi medis
misalnya alat bantu nafas (respirator). Tapi, terkadang meski fungsi pernapasan dan
jantung kembali normal, kesadaran mereka tidak pulih seperti semula, dan hal
tersebut yang terkadang bersifat permanen. Secara klinis dia tergolong “hidup”, tetapi
dia hanya bertahan hidup dengan bantuan berbagai alat medis (N. Billy, 2008).
Contohnya, dalam kasus perpanjangan umur pasien dengan alat bantu kesehatan,
terkadang hal tersebut tidak mereka inginkan (Parikesit, 2002). Bisa dikatakan bahwa
mereka secara psikologis, dan fisik, sudah tidak mampu menghadapi penyakit yang
mereka idap.

 Manusia tidak boleh dan tidak seharusnya dipaksa untuk tetap hidup. Mereka
beranggapan bahwa ada saat tertentu dimana usaha untuk terus menyembuhkan
seseorang bukanlah hal yang bijak. “Memaksa” orang untuk tetap hidup dengan alat
bantu nafas yang merupakan hal yang kejam dan tak manusiawi.

 Euthanasia dapat menjadi jalan keluar yang dikarenakan ketidakmampuan untuk


membayar biaya kesehatan. Seperti kita ketahui uang yang harus dikeluarkan untuk
berobat kadang-kadang sangatlah mahal hingga membuat kesempatan untuk
memperoleh pertolongan medis menjadi sulit. Apabila yang seperti itu terjadi, maka
keputusan seperti yang terjadi pada kasus Yuni lah yang terjadi.

 Orang yang beranggapan bahwa “Mati adalah hak” itulah yang sering diteriakkan
oleh orang-orang pro euthanasia.

3) Apa saja akibat yang ditimbulkan karena euthanasia ?


1. Dari sudut pandang pasien
Pasien akan lebih mudah putus asa karena tidak memiliki
semangat untuk berjuang melawan penyakitnya’
2. Dari sudut pandang keluarga pasien
Akan dengan berputus asa akibat beberapa aspek yang ada dalam
keluarga seperti aspek kemanusiaan dan aspek ekonomi.

4) Apa refleksimu tentang euthanasia ?


Eutanasia atau euthanasia adalah istilah yang sering digunakan untuk
menyebut tindakan untuk mengakhiri hidup seseorang tanpa rasa sakit.
Eutanasia juga sering kali disebut sebagai tindakan bunuh diri yang
dilakukan di bawah pengawasan dokter. Sejauh ini, praktik euthanasia telah
legal di beberapa negara, namun masih banyak negara yang dengan tegas juga
menantangnya. Hak seseorang untuk hidup memang merupakan sesuatu yang
perlu dilindungi, termasuk oleh negara. Tapi berbeda dengan hak untuk mati,
tindakan semacam euthanasia atau bunuh diri dianggap sebagai tindakan
melawan takdir Tuhan, sehingga masih sangat sulit untuk diterima oleh
seluruh masyarakat dunia. Selain dianggap sebagai langkah bunuh diri,
beberapa kasus euthanasia yang disalahgunakan juga bisa dianggap sebagai
bentuk pembunuhan. Penyebab Keputusan atau persetujuan dilakukan dengan
tujuan untuk mengakhiri rasa sakit secara fisik dan psikologis yang tak
tertahankan pada pasien dengan penyakit tak tersembuhkan (Southern Cross
Bioethics Institute, 2002). 
Kemajuan ilmu kedokteran tidak jarang membantu seseorang yang telah
berhenti pernapasannya dan denyut jantungnya untuk bangkit kembali berkat
intervensi medis misalnya alat bantu nafas (respirator). Tapi, terkadang meski
fungsi pernapasan dan jantung kembali normal, kesadaran mereka tidak pulih
seperti semula, dan hal tersebut yang terkadang bersifat permanen. Secara
klinis dia tergolong “hidup”, tetapi dia hanya bertahan hidup dengan bantuan
berbagai alat medis (N. Billy, 2008).
Contohnya, dalam kasus perpanjangan umur pasien dengan alat bantu
kesehatan, terkadang hal tersebut tidak mereka inginkan (Parikesit, 2002).
Bisa dikatakan bahwa mereka secara psikologis, dan fisik, sudah tidak
mampu menghadapi penyakit yang mereka idap.
Manusia tidak boleh dan tidak seharusnya dipaksa untuk tetap hidup. Mereka
beranggapan bahwa ada saat tertentu dimana usaha untuk terus
menyembuhkan seseorang bukanlah hal yang bijak. “Memaksa” orang untuk
tetap hidup dengan alat bantu nafas yang merupakan hal yang kejam dan tak
manusiawi.
Euthanasia dapat menjadi jalan keluar yang dikarenakan ketidakmampuan
untuk membayar biaya kesehatan. Seperti kita ketahui uang yang harus
dikeluarkan untuk berobat kadang-kadang sangatlah mahal hingga membuat
kesempatan untuk memperoleh pertolongan medis menjadi sulit. Apabila
yang seperti itu terjadi, maka keputusan seperti yang terjadi pada kasus Yuni
lah yang terjadi.
Orang yang beranggapan bahwa “Mati adalah hak” itulah yang sering
diteriakkan oleh orang-orang pro euthanasia.

5) Euthanasia dilihat dari pelakunya yakni compulsary euthanasia dan voluntari


euthanasia. Apa maksud dari kedua istilah tersebut ?
Euthanasia volunter: terjadi atas permintaan pasien kompeten. Pasien
sepenuhnya menyadari kondisi penyakitnya/sudah diinformasikan, mengerti
apa kemungkinan masa depan dari penyakitnya, menyadari manfaat dan
risiko yang terkait dengan pilihan pengobatan penyakitnya, dan dapat
mengkomunikasikan keinginan mereka dengan jelas tanpa di bawah pengaruh
siapapun, dan meminta bantuan profesional medis untuk mengakhiri
nyawanya.
Euthanasia non-volunter(compulsary): terjadi ketika pasien berada dalam
kondisi tidak sadar atau tidak mampu untuk membuat pilihan otonomik antara
hidup dan mati (misalnya, bayi yang baru lahir atau seseorang dengan
intelegensi rendah, pasien dalam koma panjang atau mengalami kerusakan
otak parah), dan keputusan dibuat oleh orang lain yang berkompeten atas
nama pasien, mungkin sesuai dengan dokumen warisan tertulis mereka, atau
pasien sebelumnya pernah menyatakan secara verbal keinginan untuk mati.
Praktik ini juga mencakup kasus di mana pasien merupakan anak yang
mampu dan kompeten untuk mengambil keputusan secara mental dan
emosional, tapi dianggap tidak cukup umur oleh hukum untuk membuat
keputusan hidup dan mati, sehingga orang lain harus membuat keputusan atas
nama mereka di mata hukum.

6) Euthanasia dilihat dari caranya ada 2 yakni euthanasia aktif dan euthanasia pasif.
Apa saja maksud dari kedua euthanasia aktif dan pasif tersebut ?
o Euthanasia aktif: seseorang (profesional kesehatan) bertindak secara
langsung dan aktif, sengaja menyebabkan kematian pasien — misalnya,
dengan menyuntikkan obat penenang dalam dosis besar.

o Euthanasia pasif: tenaga profesional kesehatan tidak secara langsung


bertindak dalam mengakhiri nyawa pasien, mereka hanya memungkinkan
pasien untuk meninggal dunia dengan alpanya kehadiran fasilitas medis
— misalnya, memberhentikan atau menahan opsi pengobatan.

Memberhentikan pengobatan: misalnya, mematikan mesin yang


menjaga seseorang hidup, sehingga mereka meninggal dari penyakit
mereka. Menahan pengobatan: misalnya, tidak melakukan operasi
yang akan memperpanjang hidup untuk waktu yang singkat atau
perintah DNR (Do Not Resuscitate) — dokter tidak diperlukan untuk
menyadarkan pasien jika jantung mereka berhenti dan dirancang
untuk mencegah penderitaan yang tidak perlu.

TAMBAHAN

EUTHANASIA DITINJAU DARI SUDUT CARA PELAKSANANNYA

Bila ditinjau dari cara pelaksanaannya, eutanasia dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu
eutanasia agresif, eutanasia non agresif, dan eutanasia pasif.

 Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara
sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk
mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien. Eutanasia agresif dapat
dilakukan dengan pemberian suatu senyawa yang mematikan, baik secara oral
maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa mematikan tersebut adalah
tablet sianida.
 Eutanasia non agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis (autoeuthanasia)
digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi di mana seorang pasien
menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis
meskipun mengetahui bahwa penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri
hidupnya. Penolakan tersebut diajukan secara resmi dengan membuat sebuah
"codicil" (pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non agresif pada dasarnya adalah
suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan.
 Eutanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang
tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri
kehidupan seorang pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan
pemberian bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien secara
sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan tidak memberikan bantuan oksigen
bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak memberikan
antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan tindakan operasi yang
seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian
obat penghilang rasa sakit seperti morfin yang disadari justru akan
mengakibatkan kematian. Tindakan eutanasia pasif sering kali dilakukan secara
terselubung oleh kebanyakan rumah sakit.

Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis maupun pihak keluarga
yang menghendaki kematian seseorang, misalnya akibat keputusasaan keluarga karena
ketidaksanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Pada beberapa kasus keluarga
pasien yang tidak mungkin membayar biaya pengobatan, akan ada permintaan dari pihak
rumah sakit untuk membuat "pernyataan pulang paksa". Meskipun akhirnya meninggal,
pasien diharapkan meninggal secara alamiah sebagai upaya defensif medis.

Eutanasia ditinjau dari sudut pemberian izin

Ditinjau dari sudut pemberian izin maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu:

 Eutanasia di luar kemauan pasien: yaitu suatu tindakan eutanasia yang


bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan eutanasia
semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan.
 Eutanasia secara tidak sukarela: Eutanasia semacam ini adalah yang sering kali
menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh
siapapun juga.Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak
berhak untuk mengambil suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang
wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri Schiavo). Kasus ini menjadi sangat
kontroversial sebab beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk
mengambil keputusan bagi si pasien.
 Eutanasia secara sukarela: dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, tetapi hal
ini juga masih merupakan hal kontroversial.

Eutanasia ditinjau dari sudut tujuan

Beberapa tujuan pokok dari dilakukannya eutanasia antara lain yaitu:

 Pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing)


 Eutanasia hewan
 Eutanasia berdasarkan bantuan dokter, ini adalah bentuk lain daripada eutanasia
agresif secara sukarela

KASUS TERLIBAT UETHANASIA


Kasus Hasan Kusuma – Indonesia
Sebuah permohonan untuk melakukan eutanasia pada tanggal 22 Oktober 2004 telah
diajukan oleh seorang suami bernama Hassan Kusuma karena tidak tega menyaksikan
istrinya yang bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun, tergolek koma selama 2 bulan dan di
samping itu ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan merupakan
suatu alasan pula. Permohonan untuk melakukan eutanasia ini diajukan ke Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat. Kasus ini merupakan salah satu contoh bentuk eutanasia yang di
luar keinginan pasien. Permohonan ini akhirnya ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat, dan setelah menjalani perawatan intensif maka kondisi terakhir pasien (7 Januari
2005) telah mengalami kemajuan dalam pemulihan kesehatannya.

Kasus seorang wanita New Jersey - Amerika Serikat


Seorang perempuan berusia 21 tahun dari New Jersey, Amerika Serikat, pada tanggal 21
April 1975 dirawat di rumah sakit dengan menggunakan alat bantu pernapasan karena
kehilangan kesadaran akibat pemakaian alkohol dan zat psikotropika secara
berlebihan.Oleh karena tidak tega melihat penderitaan sang anak, maka orangtuanya
meminta agar dokter menghentikan pemakaian alat bantu pernapasan tersebut. Kasus
permohonan ini kemudian dibawa ke pengadilan, dan pada pengadilan tingkat pertama
permohonan orang tua pasien ditolak, tetapi pada pengadilan banding permohonan
dikabulkan sehingga alat bantu pun dilepaskan pada tanggal 31 Maret 1976. Pasca
penghentian penggunaan alat bantu tersebut, pasien dapat bernapas spontan walaupun
masih dalam keadaan koma. Dan baru sembilan tahun kemudian, tepatnya tanggal 12 Juni
1985, pasien tersebut meninggal akibat infeksi paru-paru (pneumonia).
Kasus Terri Schiavo
Terri Schiavo (usia 41 tahun) meninggal dunia di negara bagian Florida, 13 hari setelah
Mahkamah Agung Amerika memberi izin mencabut pipa makanan (feeding tube) yang
selama ini memungkinkan pasien dalam koma ini masih dapat hidup. Komanya mulai
pada tahun 1990 saat Terri jatuh di rumahnya dan ditemukan oleh suaminya, Michael
Schiavo, dalam keadaan gagal jantung. Setelah ambulans tim medis langsung dipanggil,
Terri dapat diresusitasi lagi, tetapi karena cukup lama ia tidak bernapas, ia mengalami
kerusakan otak yang berat, akibat kekurangan oksigen. Menurut kalangan medis, gagal
jantung itu disebabkan oleh ketidakseimbangan unsur potasium dalam tubuhnya. Oleh
karena itu, dokternya kemudian dituduh malapraktik dan harus membayar ganti rugi
cukup besar karena dinilai lalai dalam tidak menemukan kondisi yang membahayakan ini
pada pasiennya. Setelah Terri Schiavo selama 8 tahun berada dalam keadaan koma, maka
pada bulan Mei 1998 suaminya yang bernama Michael Schiavo mengajukan permohonan
ke pengadilan agar pipa alat bantu makanan pada istrinya bisa dicabut agar istrinya dapat
meninggal dengan tenang, tetapi orang tua Terri Schiavo yaitu Robert dan Mary
Schindler menyatakan keberatan dan menempuh langkah hukum guna menentang niat
menantu mereka tersebut. Dua kali pipa makanan Terri dilepaskan dengan izin
pengadilan, tetapi sesudah beberapa hari harus dipasang kembali atas perintah hakim
yang lebih tinggi. Ketika akhirnya hakim memutuskan bahwa pipa makanan boleh
dilepaskan, maka para pendukung keluarga Schindler melakukan upaya-upaya guna
menggerakkan Senat Amerika Serikat agar membuat undang-undang yang
memerintahkan pengadilan federal untuk meninjau kembali keputusan hakim tersebut.
Undang-undang ini langsung didukung oleh Dewan Perwakilan Amerika Serikat dan
ditandatangani oleh Presiden George Walker Bush. Tetapi, berdasarkan hukum di
Amerika kekuasaan kehakiman adalah independen, yang pada akhirnya ternyata hakim
federal membenarkan keputusan hakim terdahulu.

Kasus "Doctor Death"


Dr. Jack Kevorkian dijuluki "Doctor Death", seperti dilaporkan Lori A. Roscoe [34]. Pada
awal April 1998, di Pusat Medis Adven Glendale[35], California diduga puluhan pasien
telah "ditolong" oleh Kevorkian untuk mengakhiri hidup. Kevorkian berargumen apa
yang dilakukannya semata demi "menolong" pasien-pasiennya. Namun, para
penentangnya menyebut apa yang dilakukannya adalah pembunuhan.
Kasus rumah sakit Boramae – Korea
Pada tahun 2002, ada seorang pasien wanita berusia 68 tahun yang terdiagnosa menderita
penyakit sirosis hati. Tiga bulan setelah dirawat, seorang dokter bermarga Park umur 30
tahun, telah mencabut alat bantu pernapasan (respirator) atas permintaan anak perempuan
si pasien. Pada Desember 2002, anak lelaki almarhum tersebut meminta polisi untuk
memeriksa kakak perempuannya beserta dua orang dokter atas tuduhan melakukan
pembunuhan. Seorang dokter yang bernama dr. Park mengatakan bahwa si pasien
sebelumnya telah meminta untuk tidak dipasangi alat bantu pernapasan tersebut. Satu
minggu sebelum meninggalnya, si pasien amat menderita oleh penyakit sirosis hati yang
telah mencapai stadium akhir, dan dokter mengatakan bahwa walaupun respirator tidak
dicabutpun, kemungkinan hanya dapat bertahan hidup selama 24 jam saja.

Kasus BBC
Seorang warga Swiss bunuh diri dibantu medis atau euthanasia. Disaksikan keluarganya,
ia menenggak obat mematikan di satu klinik di Swiss. Proses menuju kematian itu,
disiarkan oleh televisi BBC. Kontroversi pun sontak merebak. Nama pria itu adalah Peter
Smedley berusia 71 tahun dan sedang sakit parah yang tak mungkin disembuhkan lagi.
Pemilik hotel ini pun memutuskan untuk mengakhiri penderitaan itu dengan cara
meminum obat mematikan. Niatnya itu bisa terlaksana karena di negaranya, Swiss,
euthanasia tidak terlarang. Ia pun meminta dokter di satu klik bernama Dignitas
memberikan obat mematikan, barbituates. Entah bagaimana dia memberikan izin kepada
Sir Terry Pratchett, pembawa acara Terry Pratchett: Choosing To Die, untuk merekam
momen terakhirnya saat meminum racun. Itu terjadi sebelum Natal tahun lalu. Dalam
gambar yang ditayangkan di BBC, sang pasien, Smedley, didampingi dokter dari klinik
dan istrinya Christine. Dalam hitungan detik, ia meninggal di kursinya. Segera setelah
tayangan itu, debat panas muncul di Twitter, media sosial lainnya serta media cetak
membuat BBC dijuluki 'pemandu sorak' euthanasia. Warga pun menulis pengaduannya
pada Dirjen Mark Thompson dan Kepala BBC Lord Patten mengenai acara itu. Warga
menganggap acara ini 'tak pantas'. Kelompok amal, politik dan agama bergabung
menyatakan acara ini 'propaganda' euthanasia. Dalam gugatan, tertulis, "Menayangkan
kematian pasien di acara demi hiburan, BBC harus punya alasan kuat". Baroness
Campbell of Surbiton, Baroness Finlay of Llandaff, Lord Alton of Liverpool dan Lord
Charlie of Berriew mengatakan, BBC menayangkan acara ini guna mendukung bunuh
diri yang dibantu. Alhasil, hampir 900 warga membuat pengaduan resmi pada BBC atas
program itu. Juru bicara BBC menambahkan, "Terkait acara ini, kami punya 82 apresiasi
dan 162 pengaduan, total pengaduan pun menjadi 898". Regulator media Ofcom sendiri
mengakui seperti dikutip Dailymail, BBC mendapat 'banyak' pengaduan.

C. Bunuh Diri & Euthanasia


1. Tuliskan pandangan atau konsep bunuh diri dan euthanasia dari sudut:
a) Kesehatan
 Euthanasia adalah tindakan mengakhiri kehidupan seseorang yang disengaja. Tujuan
dari euthanasia adalah untuk mengurangi atau meringankan rasa sakit seseorang yang
menderita penyakit kronis dan sudah tidak dapat disembuhkan lagi.Menentukan
apakah euthanasia boleh dilakukan oleh seorang dokter ataupun tidak akan selalu
menjadi sebuah perdebatan yang panjang. Jika dilihat dari sudut pandang bahwa
seorang dokter telah mengambil Sumpah Hippokrates sebelum menjalankan
tanggung jawab mereka, maka euthanasia seharusnya tidak dilakukan dalam keadaan
apapun. Namun dalam kehidupan nyata, kita harus mengakui bahwa dalam beberapa
keadaan, seorang dokter akan menghadapi kenyataan sulit ketika menghadapi pasien
yang di akhir hayatnya sehingga euthanasia mungkin menjadi satu-satunya pilihan
yang mungkin dilakukan. Euthanasia sendiri memiliki beberapa jenis mulai dari
euthanasia aktif maupun pasif serta euthanasia yang disadari maupun tidak
disadari.Jika kita melihat euthanasia yang aktif, seorang dokter secara langsung
memberikan pengobatan yang akan mengakhiri kehidupan dari pasien yang sedang
ditanganinya. Hal ini jelas tidak diperbolehkan dan tidak bisa dianggap sebagai
bagian dari hak kehidupan seorang pasien. Pertimbangan ini penting karena seorang
dokter harus berjuang sebisa mungkin untuk menyelamatkan kehidupan sang pasien
walaupun dalam keadaan yang mustahil. Permasalahan akan muncul dalam
euthanasia pasif karena yang dilakukan dalam keadaan ini adalah seorang dokter
berhenti memberikan pengobatan kepada seorang pasien yang dianggap tidak
memiliki kemampuan untuk sembuh dan kondisi badannya sudah mendekati akhir
dari kehidupannya. Dalam hal ini, proses euthanasia yang pasif masih bisa
dipertimbangkan karena setidaknya seorang dokter akan melakukan konsultasi
dengan pasien tersebut (jika masih bisa memberikan izin untuk melakukan tindakan
euthanasia) atau dengan anggota keluarga terdekat jika pasien tidak bisa mengambil
keputusan secara sadar. Beberapa pertimbangan yang mendukung tindakan
euthanasia dilakukan, seperti keadaan keuangan keluarga yang kurang
memungkinkan untuk membiayai pasien yang sangat kecil kemungkinannya untuk
selamat. Selain itu, pada beberapa kasus, ada juga pertimbangan lain seperti pada
pasien yang berada dalam kondisi koma atau mengalami dementia, maka secara tidak
langsung seorang dokter mungkin harus mengambil tindakan euthanasia tanpa
persetujuan dari pasien dengan mempertimbangkan kepentingan terbaik dari pasien
tersebut. Namun hal ini sangat dilarang menjadi faktor penentu dalam melakukan
tindakan euthanasia karena hal ini bisa ditafsirkan juga sebagai bentuk pemaksaan
kehendak dokter tersebut, bukan kepentingan terbaik dari pasien yang ditanganinya.

 Bunuh diri dapat memengaruhi siapa saja, namun ada beberapa karakteristik dan
kondisi yang meningkatkan risiko tersebut. Akan tetapi, seseorang mungkin lebih
cenderung mencoba untuk bunuh diri jika memiliki gangguan mental. Sekitar 90
persen orang yang melakukan bunuh diri mengalami masalah psikologis pada saat
kematian mereka. Dalam bidang kesehatan dapat mengakibatkan bunuh diri yang
dapat diakibatkan dengan rasa sakit yang mendalam akibatnya orang tersebut tidak
tahan lagi untuk menahan rasa sakit yang ada.

Berikut adalahbeberapa kondisi kesehatan yang dapat memicu terjadinya bunuh


diri, di antaranya:
Gangguan bipolar

Orang yang memiliki gangguan bipolar memiliki risiko 20 kali lebih tinggi untuk
melakukan percobaan bunuh diri ketimbang orang normal. Penderita gangguan
bipolar biasanya kerap mengalami perubahan suasana hati yang sangat drastis.
Mereka bisa merasa sangat gembira dan bersemangat, dan mendadak berubah
menjadi sedih, kehilangan semangat dan bahkan depresi.

Depresi berat

Ciri-ciri orang yang mengalami depresi berat adalah merasa putus asa, suasana hati
yang buruk, merasa lelah, atau kehilangan minat dan motivasi. Ciri-ciri semacam ini
dapat memberi dampak buruk bagi kehidupan orang tersebut secara menyeluruh.
Pada akhirnya memicu mereka untuk lebih mungkin mencoba untuk bunuh diri. 

Gangguan kepribadian

Gangguan kepribadian merupakan suatu kondisi yang menyebabkan penderitanya


memiliki pola pikir dan perilaku yang tidak sehat dan berbeda dari rata-rata orang
biasanya. Kondisi ini bisa membuat penderitanya sulit untuk merasakan, memahami,
atau berinteraksi dengan orang lain. Gangguan kepribadian disebabkan oleh
kombinasi dari situasi-situasi atau latar belakang kehidupan yang tidak
menyenangkan dengan gen yang membentuk emosi seseorang yang diwariskan dari
orang tuanya.

Skizofrenia

Skizofrenia adalah gangguan serius yang mempengaruhi bagaimana seseorang


berpikir, merasa dan bertindak. Individu dengan kondisi ini sering mengalami
kesulitan membedakan realitas dari delusi mereka. Akibatnya, mereka seringkali
menjadi penyendiri dan mengalami kesulitan bergaul dengan orang lain serta sulit
berurusan dengan situasi sosial. Diperkirakan, 1 dari 20 orang dengan skizofrenia
akan mencoba untuk bunuh diri.

Anoreksia nervosa

Menjauhi makanan sebisa mungkin dan selalu berbohong bahwa mereka tidak lapar
atau sudah makan. Itulah tanda-tanda pengidap anoreksia. Kalangan ini merasa
dirinya gemuk sehingga membuat mereka terus-menerus menurunkan berat badan.
Diperkirakan 20 persen pengidap anoreksia akan melakukan percobaan bunuh diri
setidaknya sekali selama hidupnya.
b) Kebudayaan
 Bunuh Diri
Dalam bidang kebudayaan mencakup peraturan perundang undangan. Di sebagian
besar negara-negara Barat, bunuh diri tidak lagi merupakan kejahatan, tetapi masih
dianggap demikian di sebagian besar negara-negara Eropa Barat mulai dari Abad
Pertengahan sampai setidaknya tahun 1800-an. Banyak negara Islam yang menetapkan
bunuh diri sebagai tindak pidana. Di Australia, bunuh diri bukan merupakan tindak
pidana. Namun, menasihati, menghasut, atau membantu dan menghasut orang lain untuk
mencoba bunuh diri merupakan tindak kejahatan, dan hukum secara eksplisit
memungkinkan setiap orang untuk menggunakan "kekuatan yang sewajarnya diperlukan"
untuk mencegah orang lain dari melakukan bunuh diri. Wilayah Barat Australia sempat
secara singkat memiliki hukum bunuh diri yang dibantu dokter mulai dari tahun 1996
sampai 1997. Tidak satu pun negara di Eropa saat ini yang menganggap bahwa bunuh diri
atau percobaan bunuh diri adalah sebuah kejahatan. Inggris dan Wales tidak menganggap
lagi bunuh diri sebagai kejahatan melalui Suicide Act 1961 dan di Republik Irlandia pada
tahun 1993. Kata "commit" digunakan dalam referensi untuk itu menjadi ilegal namun
banyak organisasi telah menghentikannya karena konotasi negatif. Di India, bunuh diri
merupakan tindakan ilegal dan keluarga yang masih hidup mungkin akan menghadapi
kesulitan hukum. Di Jerman, eutanasia aktif merupakan tindakan ilegal dan siapa saja
yang hadir selama berlangsungnya bunuh diri dapat dituntut karena gagal memberikan
bantuan dalam keadaan darurat. Swiss baru-baru ini mengambil langkah untuk
melegalkan bunuh diri yang dibantu untuk sakit mental yang kronis. Pengadilan tinggi
Lausanne, dalam putusannya tahun 2006, telah memberikan hak kepada seseorang tanpa
nama yang memiliki gangguan kejiwaan yang lama untuk mengakhiri hidupnya
sendiri.Di Amerika Serikat, bunuh diri tidak ilegal, tetapi mungkin dikaitkan dengan
hukuman bagi orang yang mencobanya. Bunuh diri yang dibantu dokter merupakan
tindakan yang legal di negara bagian Oregon dan Washington.

 Euthanasia

Dalam konsep Budaya euthanasia merupakan perbuatan terlarang dan diancam


pidana seperti yang diatur Pasal 344 KUHP, namun pencantuman larangan ini kurang
efisien, karena sampai sejauh ini belum ada kasus yang sampai ke pengadilan. Pada pasal
344 KUHP menyatakan bahwa perbuatan euthanasia sebagai suatu perbuatan yang tidak
dilarang dengan mencantumkan syarat-syarat tertentu yang disebut “Dieskrimminalisasi”.
Selain itu, pada pasal 344 KUHP menyatakan bahwa perbuatan euthanasia sebagai suatu
perbuatan yang tidak dilarang. Menurut Jame Rachles dalam situasi sakit berat, terutama
sakit terminal (tidak bisa sembuh lagi).

c) Agama
 Katolik
Sejak pertengahan abad ke-20, Gereja Katolik telah berjuang untuk
memberikan pedoman sejelas mungkin mengenai penanganan terhadap
mereka yang menderita sakit tak tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran
moral gereja mengenai eutanasia dan sistem penunjang hidup. Paus Pius XII,
yang tak hanya menjadi saksi dan mengutuk program-program egenetika dan
eutanasia Nazi, melainkan juga menjadi saksi atas dimulainya sistem-sistem
modern penunjang hidup, adalah yang pertama menguraikan secara jelas
masalah moral ini dan menetapkan pedoman

 Hindu
Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang di dalam ajaran Hindu
dengan pemikiran bahwa perbuatan tersebut dapat menjadi suatu factor yang
mengganggu pada saat reinkarnasi oleh karena menghasilkan "karma" buruk.
Kehidupan manusia adalah merupakan suatu kesempatan yang sangat
berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam kehidupan kembali.
Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh
diri, maka rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap
berada didunia fana sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia
mencapai masa waktu di mana seharusnya ia menjalani kehidupan (Catatan:
misalnya umurnya waktu bunuh diri 17 tahun dan seharusnya ia ditakdirkan
hidup hingga 60 tahun maka 43 tahun itulah rohnya berkelana tanpa arah
tujuan), setelah itu maka rohnya masuk ke neraka menerima hukuman lebih
berat dan akhirnya ia akan kembali ke dunia dalam kehidupan kembali
(reinkarnasi) untuk menyelesaikan "karma" nya terdahulu yang belum selesai
dijalaninya kembali lagi dari awal.

 Buddha
Ajaran agama Buddha sangat menekankan kepada makna dari kehidupan di
mana penghindaran untuk melakukan pembunuhan makhluk hidup adalah
merupakan salah satu moral dalam ajaran Budha. Berdasarkan pada hal
tersebut di atas maka tampak jelas bahwa euthanasia adalah sesuatu perbuatan
yang tidak dapat dibenarkan dalam ajaran agama Budha. Selain daripada hal
tersebut, ajaran Budha sangat menekankan pada "welas asih" ("karuna").
Mempercepat kematian seseorang secara tidak alamiah adalah merupakan
pelanggaran terhadap perintah utama ajaran Budha yang dengan demikian
dapat menjadi "karma" negatif kepada siapapun yang terlibat dalam
pengambilan keputusan guna memusnahkan kehidupan seseorang tersebut.

 Islam
Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, tetapi hak tersebut
merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat
menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22: 66; 2: 243).
Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak
ada teks dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang bunuh
diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, "Dan
belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan
dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS 2: 195),
dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah engkau membunuh dirimu
sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya adalah "Janganlah kamu saling
berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang membunuh
seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya
sendiri.
Eutanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-
maut (eutanasia), yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang
dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan
meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif.
Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981,
dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya
eutanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing)
dalam alasan apapun juga.

 Ajaran agama Yahudi


Ajaran agama Yahudi melarang eutanasia dalam berbagai bentuk dan
menggolongkannya kedalam "pembunuhan". Hidup seseorang bukanlah
miliknya lagi melainkan milik dari Tuhan yang memberikannya kehidupan
sebagai pemilik sesungguhnya dari kehidupan. Walaupun tujuannya mulia
sekalipun, sebuah tindakan mercy killing ( pembunuhan berdasarkan belas
kasihan), adalah merupakan suatu kejahatan berupa campur tangan terhadap
kewenangan Tuhan. Dasar dari larangan ini dapat ditemukan pada Kitab
Kejadian dalam alkitab Perjanjian Lama Kej 1:9 yang berbunyi:" Tetapi
mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan menuntut balasnya; dari
segala binatang Aku akan menuntutnya, dan dari setiap manusia Aku akan
menuntut nyawa sesama manusia". Pengarang buku: HaKtav v'haKaballah
menjelaskan bahwa ayat ini adalah merujuk kepada larangan tindakan
eutanasia.

 Ajaran Protestan
Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki
pendekatan yang berbeda-beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan
orang yang membantu pelaksanaan eutanasia.
Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya: [32]

 Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya menyatakan


bahwa: " penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan
pasien terminal membutuhkan suatu keputusan yang dapat dipertanggung
jawabkan tentang hingga kapankah peralatan penyokong kehidupan tersebut
benar-benar dapat mendukung kesempatan hidup pasien, dan kapankah batas
akhir kesempatan hidup tersebut".
 Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi sebagai
suatu perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan fundamental.
Dalam kasus di mana perawatan medis tersebut menjadi sia-sia dan
memberatkan, maka secara tanggung jawab moral dapat dihentikan atau
dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi.
Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik
untuk melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya
bahwa kematian tubuh adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju ke
kehidupan yang lebih baik. Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan
Protestan mengakui bahwa apabila tindakan mengakhiri kehidupan ini
dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk perbuatan dosa, juga dimasa depan
merupakan suatu racun bagi dunia perawatan kesehatan, memusnahkan harapan
mereka atas pengobatan. Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum
kristiani dalam menanggapi masalah "bunuh diri" dan "pembunuhan berdasarkan
belas kasihan (mercy killing) adalah dari sudut "kekudusan kehidupan" sebagai
suatu pemberian Tuhan. Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga adalah
bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian tersebut.

2) Apa saja usaha-usaha agar tidak terjadi kasus bunuh diri dan
euthanasia?
1. Ingat bahwa emosi bisa berubah
Selalu ingat bahwa perasaan tak selalu sama setiap waktu. Seperti roda yang
berputar, emosi akan selalu berubah dalam setiap waktu. Dengan
menanamkan keyakinan tersebut, perasaan putus asa akan berubah menjadi
rasa bahagia pada esok hari.

2. Ingat orang lain


Jika perasaan bunuh diri mendera, selalu ingat ada orang lain yang
membutuhkan kehadiran Anda. Orang lain akan merasa sedih dan menderita
jika Anda tetap memutuskan untuk bunuh diri.

3. Banyak yang bisa dilakukan


Selalu ingat ada banyak hal menarik dan menyenangkan yang bisa dilakukan
dalam hidup. Kegiatan ini tak lagi bisa dijalani setelah Anda mengakhiri
hidup.

4. Mencari solusi
Saat perasaan kacau balau muncul, tubuh tak dapat berpikir mengenai solusi
lain selain bunuh diri. Namun, ini bukan berarti tak ada solusi, hanya saja
Anda belum melihatnya. Hal ini biasanya muncul akibat rasa sakit secara
emosional yang intens menghambat otak untuk berpikir jernih.
Hal yang harus dilakukan adalah menghubungi terapis, konselor, psikiater,
guru, teman, dan orang terkasih untuk memberikan pertolongan.

5. Mencari tempat aman


Ketika rasa ingin bunuh diri muncul, segera cari tempat aman dan pastikan
untuk tidak melakukan apa-apa selain menenangkan diri. Jauhi diri dari
benda-benda yang dapat menyakiti seperi pisau atau senjata api. Selain itu,
pastikan tubuh tidak mengonsumsi alkohol dan obat-obatan karena dapat
memperkuat keinginan bunuh diri.

Anda mungkin juga menyukai